SlideShare a Scribd company logo
1 of 132
Download to read offline
KAJIAN BUDAYA KERJA ORGANISASI PEMERINTAH DAERAH DI
KALIMANTAN
129 + viii, 2005
Perpustakaan Nasional RI:
Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
A. ISBN 000-00000-0-0
1. Budaya Kerja 2. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah
Tim Peneliti :
Gugum Gumelar, SH (Peneliti Utama)
Drs. Asli Amin, M.Si (Peneliti)
Meiliana, SE.,M.Si (Peneliti)
Baharudin, S.Sos.,M.Pd (Pembantu Peneliti)
Said Fadhil, S.IP (Pembantu Peneliti)
Aryono Mulyono, BBA (Koordinator Penelitian)
Sekterariat:
Ma’mun, SE.,M.Si
Mustari Kurniawati, S.IP
Editor :
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
Siti Zakiyah, S.Si.
Said Fadhil, SIP
Windra Mariani, SH
Diterbitkan Oleh:
Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III)
LAN Samarinda
UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,-
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR
Secara luas telah diketahui bahwa birokrasi atau administrasi publik
memiliki kewenangan bebas untuk bertindak (discretionary power atau freies
ermessen) dalam rangka memberikan pelayanan umum (public service) serta
menciptakan kesejahteraan masyarakat (bestuurzorg). Untuk itu, kepada
birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk
mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan
publik (public policy).
Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah
(keharusan) atau larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau
melaksanakan perbuatan tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan
sanksi tertentu pula. Inilah implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik.
Dengan kata lain, pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang
memperhatikan aspek dampak dan / atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut.
Itulah sebabnya, sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering
ditolak oleh masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan
dimensi etis dan moral dalam masyarakat. Beberapa contoh konkrit kebijakan
yang tidak populer dimata masyarakat adalah penggusuran dengan alasan
untuk penetingan umum, pengurangan/penghapusan subsidi BBM/TDL,
peningkatan tunjangan struktural pejabat tinggi, pembentukan lembaga-
lembaga ekstra struktural yang membebani anggaran, dan sebagainya.
Oleh karena itu, suatu kebijakan publik hendaknya tidak hanya
menonjolkan nilai-nilai benar – salah, tetapi harus lebih dikembangkan kepada
sosialisasi nilai-nilai baik – buruk. Sebab, suatu tindakan yang benar menurut
hukum, belum tentu baik secara moral dan etis.
Mengingat kelemahan dalam pendekatan yuridis yang selama ini
diterapkan, maka perlu dikembangkan pendekatan baru dalam perumusan
kebijakan publik, yakni pendekatan etika/moral yang berbasis pada nilai
i
budaya atau cultural bangsa. Dengan kata lain, perumusan (formulation) dan
penerapan (implementation) kebijakan publik ini harus dilakukan sebaik
mungkin, sebab suatu kebijakan pemerintah tidak hanya mengandung
konsekuensi yuridis semata, tetapi juga konsekuensi etis atau moral. Konsekuensi
dari pendekatan baru ini adalah bahwa suatu kebijakan publik harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1) keterikatannya untuk menjamin
terselenggaranya kepentingan/kesejahteraan rakyat banyak, serta 2)
keterikatannya dengan upaya untuk memajukan daerah/tanah air dimana
kebijakan tersebut dirumuskan.
Implikasi terpenting dari penonjolan dimensi etika dalam
penyelenggaran negara ini adalah terbebasnya para pejabat negara dan pejabat
pemerintahan dari praktek-praktek kotor dan tidak terpuji, misalnya KKN.
Birokrasi yang sehat dan bermoral, merupakan prasyarat munculnya kebijakan
publik yang berkualitas prima, dengan ciri-ciri: 1) mampu mengatasi
permasalahan aktual yang sedang dihadapi, 2) mampu memberikan manfaat
nyata secara positif dan konstruktif, 3) mampu memprediksi dampak-dampak
negatif yang mungkin timbul beserta alternatif pemecahannya, 4) mampu
memerankan diri sebagai fungsi mediasi dan moderasi dalam suatu kontroversi,
5) memiliki daya akseptabilitas dan aplikasi yang tinggi, serta 6) memiliki
konsistensi dengan kebijakan terkait dan mampu menghindarkan
kemungkinan terjadinya diskriminasi dalam implementasi.
Mengingat pentingnya pendekatan budaya dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi publik, maka kajian yang
mencoba mengelaborasi sejauh mana nilai-nilai etika, moral, dan budaya
bangsa telah terimplementasikan dalam praktek birokrasi dan pelayanan
publik, kami pandang sangat penting. Dan dengan semangat untuk
mendiseminasikan nilai-nilai itulah, PKP2A III LAN Samarinda mencoba
mengkaji penerapan budaya kerja di lingkungan organisasi pemerintah daerah
di Kalimantan. Dengan dilaksanakannya penelitiann ini, diharapkan dapat
lebih memacu lagi kinerja organisasi, baik dalam level individu, kelompok,
ii
maupunn level kesisteman.
Dengan selesainya penelitian ini, Tim Peneliti ingin menghaturkan
ucapan terima kasih yang tak ternilai kepada nara sumber lapangan maupun
nara sumber akademis. Juga kepada jajaran pimpinan LAN yang telah memberi
arahan yang sangat penting, Tim menyampaikan penghargaan yang setinggi-
tingginya. Tidak lupa kepada seluruh anggota Tim yang telah bekerja keras tak
mengenal waktu, hanya jabat tangan eratlah yang bisa kami tawarkan.
Kami sadar bahwa “tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu,
segala saran, masukan, kritik, koreksi, bahkann sanggahan akan kkami terima
dengan hati dan tangan terbuka disertai ucapau terimakasih. Akhir kata, Tim
berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi instansi
pemerintah dalam upaya lebih membangun budaya kerja yang lebih baik.
Samarinda, Desember 2005
Tim Peneliti
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................. iv
Daftar Tabel ........................................................................................................... vi
Daftar Gambar ...................................................................................................... vii
Ringkasan Eksekutif ............................................................................................ viii
Executive Summary.............................................................................................. x
Bab I Pendahuluan...................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah .................................................................. 3
C. Kerangka Pikir tentang Perubahan Organisasi dan
Perlunya Penerapan Budaya Kerja .......................................... 3
D. Ruang Lingkup ........................................................................... 11
E. Tujuan dan Kegunaan ............................................................... 11
F. Hasil yang Diharapkan.............................................................. 12
Bab II Makna dan Arah Pengembangan Budaya Kerja Nasional ...... 13
A. Makna Budaya Kerja.................................................................. 13
B. Pengembangan Budaya Kerja................................................... 15
C. Arah Pengembangan Budaya Kerja Nasional........................ 23
Bab III Metodologi Penelitian ..................................................................... 26
A. Rancangan Penelitian ................................................................ 26
B. Sampel / Responden Penelitian .............................................. 26
C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 26
D. Tahapan dan Jangka Waktu Penelitian ................................... 27
E. Variabel Penelitian...................................................................... 27
F. Definisi Operasional Variabel .................................................. 34
Bab IV Hasil dan Pembahasan..................................................................... 44
A. Implementasi Budaya Kerja Organisasi Pemda di
Kalimantan .................................................................................. 44
B. Implementasi Budaya Kerja di 4 Kabupaten/Kota di
Kalimantan ................................................................................. 47
1. Kota Singkawang, Kalimantan Barat................................. 47
2. Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur ................... 59
3. Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah .......................... 69
4. Kota Banjar Baru, Kalimantan Selatan .............................. 80
iv
Bab V Penutup .............................................................................................. 92
A. Kesimpulan.................................................................................. 92
B. Rekomendasi .............................................................................. 93
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 99
LAMPIRAN
Lampiran 1 Instrumen Penelitian
Lampiran 1 SK Tim Pelaksana Kajian Budaya Kerja Organisasi
Pemerintah Daerah Di Kalimantan
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Daerah Sampel/Tujuan Kajian ................................................... 11
Tabel 3.1. Operasionalisasi Indikator Kedalam Sub-sub Indikator......... 28
Tabel 4.1. Implementasi Nilai-Nilai Budaya Kerja di 4
Kabupaten/Kota di Kalimantan................................................. 44
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Peta Kota Singkawang.................................................................. 48
Gambar 4.2. Wilayah Administratif Kutai Timur........................................... 59
Gambar 4.3. Wilayah Administrasi Kabupaten Kapuas................................ 70
vii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Keberhasilan birokrasi dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya
tidak hanya tergantung pada kemampuan intelektual dan kompetensi
manajerialnya saja, namun juga sangat ditentukan pada aspek sikap perilaku
(behavior) dan budaya kerja di lingkungan tempat tugasnya (organizational
culture). Itulah sebabnya, upaya membangun kompetensi intelektual dan
manajerial harus diimbangi dengan upaya mendorong penerapan budaya kerja
secara tepat dan optimal.
Dalam rangka memperkuat dimensi budaya dalam sektor publik ini
telah ditempuh beberapa langkah konkrit antara lain penataran P4, Gerakan
Disiplin Nasional (GDN), penerapan instrumen penilaian dengan DP3,
implementasi Waskat (pengawasan melekat) dan Tim Anti Korupsi, dan
sebagainya. Namun sejauh ini belum nampak hasil seperti yang diharapkan,
bahkan dalam era otonomi ini cenderung ditemukan banyak fenomena
penyimpangan yang bersumber dari lemahnya budaya kerja seperti KKN,
kasus-kasus asusila, rendahnya tingkat kehadiran pegawai pada waktu-waktu
tertentu seperti lebaran, konflik kepentingan antar instansi (contoh: antara
eksekutif dan legislatif), dan sebagainya.
Mengingat hal tersebut, maka kajian ini mencoba mengidentifikasi
kondisi obyektif dan implementasi budaya kerja organisasi pemerintahan, serta
memotret sejauhmana praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah telah
bersesuaian dengan prinsip-prinsip budaya kerja. Dari hasil identifikasi tadi,
diharapkan kajian ini dapat menawarkan alternatif kebijakan yang lebih
operasional dalam menumbuhkan dan membangun budaya kerja organisasi
pemerintah daerah, sehingga dapat memacu kinerja pelayanan sektor publik
secara lebih baik. Dalam hal ini, prinsip-prinsip budaya kerja yang dinilai
terdiri dari 17 pasang, masing-masing adalah: komitmen terhadap visi dan misi,
wewenang dan tanggung jawab, keikhlasan dan kejujuran, integritas dan
profesionalisme, kreativitas dan kepekaan terhadap lingkungan tugas,
kepemimpinan dan keteladanan, kebersamaan dan dinamika kelompok,
ketepatan dan kecepatan, rasionalitas dan emosi, keteguhan dan ketegasan,
disiplin dan keteraturan bekerja, keberanian dan kearifan dalam mengambil
keputusan/menganai konflik, dedikasi dan loyalitas, semangat dan motivasi,
ketekunan dan kesabaran, keadilan dan keterbukaan, serta penguasaan iptek.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa secara umum daerah belum
menaruh perhatian yang memadai untuk memperkuat budaya kerja di
lingkungannya masing-masing. Dari 4 (empat) daerah yang di survey, baru
Kabupaten Kutai Timur yang sudah punya Peraturan Daerah tentang
viii
implementasi budaya kerja untuk organisasi pemerintah daerah. Itupun masih
lebih banyak bersifat “retorika” karena belum dapat berjalan dengan baik
sesuai kaidah yang ada. Disamping itu, di seluruh daerah juga belum ditemui
adanya kelompok-kelompok budaya kerja (KBK) yang berfungsi untuk
menunjang pelaksanaan tupoksi organisasi.
Belum optimalnya penerapan budaya kerja bagi organisasi perangkat
daerah ini nampaknya bersumber dari beberapa kondisi, antara lain belum
adanya pemahaman secara utuh diantara jajaran aparatur daerah mengenai
esensi dan manfaat budaya kerja. Selain itu upaya sosialisasi dan diseminasi
dari instansi Pusat tentang tahapan dan teknik penerapan budaya kerja juga
belum terprogram secara sistematis.
Oleh karena prinsip-prinsip budaya kerja sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menpan No. 25/KEP/M.PAN/4/2002 belum terimplementasikan
dengan baik, maka belum dapat diketahui sejauhmana pengaruh 17 variable
budaya kerja terhadap peningkatan kinerja pembangunan dan pemerintahan
daerah. Hasil penelitian baru dapat mengidentifikasikan komponen-komponen
budaya kerja yang relatif sudah baik, serta komponen-komponen budaya kerja
lainnya yang masih memerlukan peningkatan atau pembenahan. Meskipun
demikian, kajian ini merekomendasikan agar upaya peningkatan budaya kerja
dilakukan secara komprehensif dengan penekanan pada variable/komponen
tertentu. Upaya peningkatan praktek budaya kerja sendiri dapat ditempuh
melalui pembentukan KBK untuk setiap SKPD (satuan kerja pemerintah
daerah), pelatihan dan bimbingan teknis tentang aspek-aspek startegis budaya
kerja, serta peningkatan pengawasan dan monitoring/evaluasi program dan
kegiatan di setiap SKPD.
ix
EXECUTIVE SUMMARY
STUDY ON ORGANIZATIONAL CULTURE OF LOCAL GOVERNMENT
IN KALIMANTAN
Bureaucracy success in implementing its main duty and function does
not merely depend on the ability of its management intellectuality and
competency, but also on behavior aspect and organizational culture. Therefore,
the effort of building intellectual and management competency should be
balanced by the effort of implementing the precise and optimum organizational
culture.
In the framework of empowering the culture dimension in public sector,
there are some concrete steps that have been taken such as guidelines for
carrying out the principles of Pancasila training (penataran P4), National
Discipline Movement (Gerakan Disiplin Nasional), application of evaluation
instrument by using DP3, Close Inspection, Anti-Corruption Team, etc.
However, the result is not satisfaction. In this autonomy era, many of the
deviation phenomena such as corruption, collusion, and nepotism (KKN),
immoral cases, the low-level attendance of employees in certain circumstances
like Lebaran celebration, conflict of interest among institutions (for example:
between executive and legislative) come from the weakness of organizational
culture.
Considering the above matters, this study tries to identify the objective
condition and the implementation of organizational culture of the government,
and also to portray the execution of territorial government that suits the
organizational culture. From this identification, it is expected that this study can
be considered as an alternative for a more operational policy in developing and
building organizational culture of regional government in order to improve the
performance service in public area.
There are 17 sets of organizational culture that are evaluated i.e.
commitment toward vision and mission, authority and responsibility, sincerity
and honesty, integrity and professionalism, creativity and sensitivity toward
work environment, leadership and model, togetherness and group dynamics,
accuracy and velocity, rationalization and emotion, dependability and firmness,
discipline and work regularity, bravery and wisdom in making
decision/handling conflicts, dedication and loyalty, enthusiasm and motivation,
diligence and patience, equality and openness, and mastery of information and
technology.
Result of the study shows that in general, regional government has not
put enough attention to strengthen the organizational culture in its territory.
Among 4 surveyed regions, only East Kutai Regency has Local Regulation on
x
the implementation of organizational culture for regional government
organization. However, the regulation is “rhetorical” since it does not run
accordingly. Besides, there are not any organizational culture groups found to
support the Application of Organization Main Duty and Function (TUPOKSI).
The lack application of organizational culture in this region is caused by
some reasons like inadequate comprehension among local apparatus about the
essence and function of organizational culture. Moreover, the socialization and
dissemination from central institute about the stage and technic of
organizational culture application is not systematically planned.
Since the principals of organizational culture as stated in Menpan (State
Minister for Control of Machinery of the State) decree No.
25/KEP/M.PAN/4/2002 have not been implemented respectably, as a result, it
is difficult to find out the effect of 17 variables of organizational culture toward
the quality development of local government. Recent research can identify
components of organizational culture which are relatively good, and other
components which still need improvement. However, this study recommends
that the effort of organizational culture should be done comprehensively by
emphasizing on certain variable/components. The effort of improving
organizational culture practice can be undertaken through establishing KBK for
every Local Government Work Unit (Satuan Kerja Pemerintah Daerah-SKPD),
technical training and consultation on the strategic aspects of organizational
culture, and also increasing the control and monitoring/evaluation of the
program and activity in every SKPD.
xi
BAB I
PENDAHULUAN
B. Latar Belakang
Semenjak lebih dari satu abad yang lalu, birokrasi di seluruh belahan
dunia telah memiliki stigma yang negatif. Hal ini nampak dari pernyataan
Kanselir Jerman periode 1870-1890, Otto von Bismarck, pada tahun 1891
bahwa “birokrasi adalah apa yang mendatangkan kesengsaraan bagi kita”.
Keluhan-keluhan tentang inefisiensi, pelayanan yang lambat, biaya siluman,
sampai KKN sudah menjadi rahasia umum. Pada skala yang lebih makro
dapat dilihat fenomena-fenomena berupa tingginya indeks korupsi versi
Transparency International yang menempatkan Indonesia di posisi ke-6
terkorup diantara 158 negara, atau country risk (indeks tingkat risiko)
Indonesia yang berada pada posisi ke-150, dari 185 negara yang di survei.
Dari aspek pembangunan SDM, Human Development Report 2003 yang
dipublikasikan oleh UNDP melaporkan bahwa dari 173 negara di dunia,
Indonesia ternyata berada di posisi 110, di bawah Philipina, Cina, dan
bahkan Vietnam. Selain itu, World Investment Report (WIR) 2003 membuat
peringkat indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI) 1999-2000, diantara
140 negara, Indonesia ternyata menempati urutan ke-138, dua di bawahnya
adalah Gabon dan Suriname.
Tidak aneh jika kemudian berbagai negara gencar melakukan
program reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi sendiri memang sebuah
proses dan tuntutan yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, birokrasi pada
hakekatnya adalah mesin negara (the machine of the state) yang berfungsi
menjalankan seluruh tugas pemerintahan dan pembangunan dalam rangka
merealisasikan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam konstitusi
negara. Selanjutnya, inti dari birokrasi adalah SDM aparatur. Hal ini
1
mengandung pengertian bahwa peningkatan kompetensi individual
pegawai dan kompetensi jabatan (struktural maupun fungsional), serta
pembenahan perilaku dan etika pejabat publik perlu mendapat perhatian
serius sebagai bagian integral dari proses reformasi birokrasi. Dengan kata
lain, profesionalisme birokrasi akan dapat dicerminkan dari kemampuan
dan kualitas SDM aparaturnya.
Berbagai upaya sudah dijalankan, mulai dari penataran P4, Gerakan
Disiplin Nasional (GDN), instrumen penilaian dengan DP3, sampai
implementasi Waskat (pengawasan melekat) dan Tim Anti Korupsi, namun
sejauh ini belum nampak hasil seperti yang diharapkan. Pada tataran
kesisteman juga telah dilakukan berbagai upaya dengan berbagai
pendekatan teoritis/konseptual seperti privatisasi dan perubahan ekonomi
perencanaan menjadi ekonomi pasar (Savas, 1987; World Bank, 1996);
reinventing government (David Osborne dan Ted Gaebler, 1992); knowlegde-
creating organization (Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi, 1995); learning
organization sebagai disiplin ke-5 (Peter Senge, 1995); banishing bureaucracy
(David Osborne dan Peter Plastrik, 1996); dan lain-lain. Namun nampaknya,
kondisi dan kinerja birokrasi masih belum menampakkan hasil positif.
Paparan di atas menyiratkan bahwa ada sesuatu yang salah pada
organisasi pemerintahan di Indonesia, termasuk para aparatnya. Salah satu
yang patut diperhatikan adalah masalah budaya kerja organisasi, termasuk
pula masalah sikap profesionalisme, etika, semangat pengabdian, komitmen
terhadap tugas, serta motivasi dari setiap insan pelayanan publik. Dalam
kaitan ini, MENPAN telah merumuskan 17 perilaku (persepsi, sikap dan
cara kerja) sebagai indikator peningkatan budaya kerja yaitu perilaku-
perilaku yang dianggap perlu ditingkatkan untuk peningkatan fungsi
pelayanan aparatur negara (baik kepada masyarakat, maupun ke dalam
instansi sendiri dan antar instansi pemerintah).
Guna mengkaji lebih jauh tentang implementasi kebijakan MENPAN
di tingkat aparat pemerintah di daerah, serta mengidentifikasi kondisi
2
empirik budaya kerja aparatur di daerah, maka dipandang perlu untuk
melakukan kajian tentang budaya kerja ini, khususnya untuk konteks
Pemerintah Daerah di Kalimantan.
C. Perumusan Masalah
Dari berbagai fenomena yang dipaparkan pada latar belakang diatas,
maka dapat dirumuskan adanya 2 (dua) permasalahan utama, yakni:
1. Masih ditemuinya praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang
tidak sesuai dengan budaya kerja organisasi sehingga kurang dapat
berkontribusi secara optimal untuk menciptakan efektivitas, efisiensi,
dan kinerja organisasi pemerintahan daerah secara optimal.
2. Adanya indikasi bahwa kebijakan pemerintah daerah selama ini kurang
terprogram secara sistematis untuk menciptakan budaya kerja yang
kondusif di lingkungannya masing-masing.
D. Kerangka Pikir tentang Perubahan Organisasi dan Perlunya Penerapan
Budaya Kerja
Perlunya penerapan budaya kerja dalam instansi pemerintah tidak
dapat dilepaskan dari adanya perubahan paradigma organisasi sektor
publik. Beberapa perubahan yang terjadi seiring dengan bergulirnya
reformasi total sistem ketatanegaraan ini antara lain dari pola manajemen
gotong royong menjadi renumerasi, dari paternalistis menjadi rasionalistis,
dari individualistis menjadi kolektivitas, dari otoriter menjadi demokratis,
dari sentralistis menjadi desentralistis, dari tertutup menjadi terbuka, dari
kaku menjadi luwes, dari birokratis menjadi debirokratis, dari “government”
menjadi “governance”, serta dari “bad governance” menjadi “good governance”.
Secara umum dapat dikatakan bahwa arah perubahan tersebut
adalah bergesernya pola organisasi mekanik menjadi organisasi organis.
Paradigma mekanik (mechanism paradigm) menganggap organisasi sebagai
suatu mesin yang bekerja dengan suatu keteraturan dan keajegan tertentu
3
yang menekankan adanya suatu tingkat produktivitas tertentu, yang ingin
mencapai taraf efisiensi tertentu, dan yang dikendalikan oleh suatu
legitimasi otoritas pimpinan (Thoha, 1988: 133). Dalam model organisasi
mekanik ini tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien
melalui mekanisme pembagian kerja, spesialisasi dan hubungan kerja yang
hierarkhis. Ajaran ini terutama banyak dikembangkan dari pandangan
Adam Smith dan Frederick Taylor yang mengusulkan adanya pembagian
efisien dari tenaga kerja melalui spesialisme, atau pengendalian efektif dari
tenaga kerja melalui hierarki vertikal (Obolensky, 1996: ix-x). Dengan kata
lain – menurut paradigma mekanik – efisiensi dalam organisasi dapat
ditingkatkan hanya apabila terdapat pengerangkaan (strucuturing) dan
pengendalian (controlling) terhadap partisipasi anggota organisasi. Oleh
karenanya, dalam organisasi mekanik banyak diterapkan upaya
pemotivasian pegawai melalui pemberian insentif, sementara disisi lain cara
kerja pegawai didasarkan pada spesialisasi yang diawasi secara ketat.
Hasilnya adalah suatu organisasi yang berstruktur piramida, menerapkan
kesatuan komando (chain of command), jenjang pengawasan yang seringkali
berlapis, spesialisasi berdasarkan fungsi, serta penerapan pembagian kerja
lini dan staf (line and staff).
Sebaliknya paradigma organik (organism paradigm) memandang
organisasi sebagai suatu sistem yang menekankan pada unsur manusia
sebagai pelaku utama. Dalam model organisasi ini, efisiensi dan efektivitas
bukan merupakan aspek utama dalam pencapaian tujuan organisasi, sebab
produk (output) tidak dipandang sebagai hal yang utama. Aspek yang
dianggap lebih penting dalam organisasi model organik ini adalah adanya
keseimbangan antara faktor manusia dengan faktor lingkungannya.
Dikaitkan dengan sifat organisasi, maka pada paradigma mekanik,
organisasi lebih menganut sistem tertutup (close system), dimana organisasi
dilihat sebagai suatu kesatuan yang merdeka serta tidak ada ikatan dengan
variabel-variabel lainnya (Thoha, 1988: 133). Dengan demikian jika muncul
4
berbagai persoalan, maka faktor penyebab serta metode pemecahannya
selalu dikembalikan kepada internal factors seperti susunan organisasi, tugas
pokok dan fungsi, atau hubungan formal; sedangkan faktor-faktor
lingkungan diluar organisasi (external factors) yang mempunyai kontribusi
juga terhadap munculnya persoalan tersebut, justru tidak diperhitungkan.
Selama ini paradigma organisasi mekanik banyak diterapkan pada
sistem kelembagaan pemerintah yang antara lain mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: 1) adanya spesialisasi tugas, 2) mengutamakan sarana dan
pertanggungjawaban, 3) inisiatif penyelesaian konflik di dalam organisasi
berasal dari atasan, 4) interaksi antar anggota organisasi cenderung vertikal
dengan gaya yang diarahkan untuk mencapai kepatuhan, 5) kentalnya
sistem komando dan hubungan struktural antara atasan dengan bawahan.
Dengan ciri-ciri demikian, model organisasi mekanik juga disebut sebagai
model birokratis, yang menurut Weber justru merupakan tipe ideal dari
organisasi (Thoha, 1988: 138).
Pada suatu mllieu masyarakat dengan tingkat kehidupan yang relatif
statis, atau pada suatu lingkungan yang belum banyak menerima arus
perubahan dari lingkungan sekitarnya, maka tipe organisasi ini dapat
berjalan dengan baik serta dapat menjadi instrumen yang efektif dalam
rangka mencapai tujuan bersama.
Akan tetapi pada masyarakat yang tingkat kehidupannya tinggi dan
dinamis serta banyak berinteraksi dengan kelompok-kelompok lainnya
yang seringkali lebih besar, maka sifat-sifat dan ciri-cirinya yang kaku jelas
tidak dapat dipertahankan lagi. Model organisasi mekanik ini banyak
berpengaruh terhadap administrasi negara – khususnya di negara-negara
sedang berkembang – sebab organisasi di lingkungan pemerintahan
bercirikan model organisasi birokrasi, yaitu struktur organisasi tipikal yang
berusaha mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan manusia di dalam suatu
organisasi (Bennis dalam Thoha, 1988: 151).
5
Berbeda pada organisasi mekanik, maka pada organisasi yang bertipe
organik lebih banyak menerapkan pendekatan sistem terbuka (open system)
yang menitikberatkan faktor manusia dan cara manusia tersebut
berperilaku dalam kegiatan-kegiatan organisasi senyatanya. Oleh
karenanya, dalam pendekatan ini faktor lingkungan yang memiliki
kemungkinan pengaruh terhadap organisasi, sangat diperhatikan.
Dalam perspektif manajemen perubahan (change management),
perubahan dalam suatu organisasi sebagaimana diungkapkan diatas adalah
sebuah keniscayaan. Dalam hal ini, organisasi modern sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor lingkungan, baik pada skala mikro maupun makro, baik
pada scope internal maupun eksternal. Hal ini mengindikasikan bahwa
lingkungan selalu berubah, sedangkan organisasi harus selalu
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya. Mengenai adanya
perubahan lingkungan ini, sampai-sampai Stephen R. Covey memberikan
istilah baru bagi dunia yang selalu berubah yaitu “a white water world”
(Hesselbern, et. al., 1996: 150).
Perubahan lingkungan yang terjadi dan mempengaruhi organisasi dapat
dicontohkan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi telah
menciptakan masyarakat informasi tingkat tinggi (high information mass)
dengan ciri-ciri antara lain kemudahan dan kecepatan akses terhadap
informasi dari manapun dan kemanapun, kemampuan melakukan
hubungan dengan siapapun tanpa terhalang oleh batas-batas teritorial
(borderless society), dan sebagainya. Contoh lain yang dapat ditunjukkan
disini adalah ekspansi pembangunan industri dan laju pertumbuhan
ekonomi yang pesat, sering melahirkan dampak-dampak sampingan
(externalities) seperti membengkaknya pengangguran, menyebarnya
pemukiman kumuh (slums) di perkotaan, tingginya angka kriminalitas,
kesenjangan, dan sebagainya.
Dengan adanya perubahan-perubahan seperti tersebut diatas, maka
suatu organisasi (baik sektor publik maupun privat), jelas tidak mungkin
6
dapat bertahan tanpa melakukan perubahan-perubahan, baik secara
inkremental maupun secara evolusioner. Dengan kata lain, adanya
perubahan paradigmatis diatas, tentu harus diikuti dengan upaya
penyesuaian organisatoris baik pada dimensi struktur maupun dimensi
kultur. Pada dimensi struktur, beberapa penyesuaian yang diperlukan
meliputi penyusunan aturan atau regulasi, struktur kelembagaan dan
departementasi, hubungan antar lembaga, mekanisme kerja dan SOP
(standard operating procedures), analisis lingkungan internal dan eksternal
(ALI & ALE), dan sebagainya. Sementara pada dimensi kultur, yang
diperlukan adalah penguatan nilai-nilai, pola pikir / mindset, motivasi dan
kepribadian, sikap dan perilaku, dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan evolusi organisatoris ini, Morgan (1996: 180 –
181) menyatakan bahwa organisasi selalu menghadapi metamorfosa seperti
metamorfosanya ulat menjadi kupu-kupu. Artinya, hanya ada dua pilihan
bagi organisasi, yaitu berubah atau mati. Namun pilihan untuk berubah
merupakan pilihan yang tepat, sebab bagi organisasi yang tidak memiliki
fleksibilitas yang tinggi, tidak mungkin akan dapat bertahan hidup kecuali
mereka mengubah atau menstruktur kembali organisasinya.
Pernyataan Morgan tersebut menyiratkan bahwa suatu organisasi
hendaknya menerapkan sistem terbuka (open system). Menurut Nigro &
Nigro (1980: 137-138), karakteristik organisasi sistem terbuka adalah sebagai
berikut:
1. Secara ajeg mencari dan memerlukan sumber-sumber (inputs) dalam
bentuk material dan kemanusiaan.
2. Organisasi mentransformasikan inputs dalam bentuk hasil-hasil seperti
barang-barang dan jasa pelayanan melalui proses teknologi dan sosial.
3. Organisasi sistem terbuka mengirimkan hasil produksinya ke pihak
luar yaitu lingkungannya, dan hasil-hasil tersebut merupakan bahan
masukan bagi organisasi kelompok-kelompok dan atau individu-
individu lainnya.
7
4. Struktur organisasi dikembangkan di sekitar kegiatan-kegiatan yang
telah mempola dalam bentuk yang ajeg, yaitu dalam putaran masukan,
proses dan keluaran.
5. Organisasi hidup dengan mengembangkan suatu mekanisme yang
beragam untuk meneliti, menyimpan dan mengalokasikan sumber-
sumber yang langka secara efisien.
6. Organisasi sistem terbuka lebih memperhatikan tujuan-tujuan
organisasi dengan mengontrol kegiatan-kegiatan baik didalam maupun
diluar organisasi, karena adanya umpan balik berupa informasi
mengenai keadaan lingkungan, pelaksanaan organisasi dan kegiatan-
kegiatan kedalam.
7. Adanya keseimbangan dan kestabilan antara faktor-faktor didalam dan
diluar organisasi yang dicapai melalui adaptasi terhadap perubahan-
perubahan lingkungan.
8. Pengembangan struktural dan spesialisasi tugas yang dilakukan setiap
waktu merupakan jawaban-jawaban umum yang sistematik dalam
rangka mencari sumber-sumber dan adaptasi.
Selanjutnya untuk bisa merubah suatu organisasi dari bentuknya
yang lama kearah yang lebih baru, Morgan (1996: 12) mensyaratkan bahwa
organisasi tersebut perlu melakukan inovasi. Inovasi sendiri diartikannya
sebagai perubahan yang kreatif dengan tujuan memprakarsai masa depan
yang baru, organisasi baru dengan nilai baru. Dan oleh karena perubahan
organisasi yang lama kearah yang baru ini ditempuh melalui inovasi, maka
organisasi yang baru dapat disebut pula inovisasi. Adapun inovasi tadi
dapat dikatakan sebagai proses kreatif jika dapat melaksanakan beberapa
hal sebagai berikut: mengubah arah, mencari sesuatu yang baru, melihat ke
sekitarnya, membuat sesuatu yang berbeda terjadi, memikirkan hal-hal
yang baru, memberikan ide-ide baru, mengerjakan sesuatu yang tidak
mungkin, mencegah cara menghakimi, mengabaikan hal-hal yang pasti,
mengendalikan dua pandangan yang berbeda pada waktu yang bersamaan,
8
melihat sesuatu dengan kacamata baru, membiarkan pilihan tetap terbuka,
kerja keras, membesar-besarkan sesuatu hal, mau bertanya, menemukan
pilihan atau alternatif, serta memiliki lebih dari satu pilihan (Morgan, 1996 :
15-16).
Organisasi yang tidak hanya mendasarkan diri pada aturan-aturan
formal, namun juga mendorong tumbuhnya proses inovasi (innovative
organization) dan pembelajaran (learning organization) guna menciptakan
iklim yang kondusif untuk tumbuhnya kreativitas, ketajaman intuisi, daya
imaginasi, kemampuan adaptasi, dan sebagainya, dapat dikatakan sebagai
organisasi yang telah menerapkan prinsip-prinsip budaya kerja. Dalam hal
ini, budaya kerja sangat dibutuhkan di lingkungan organisasi pemerintahan
diyakini dapat menjadi kekuatan pendorong dan pengungkit (leverage)
untuk mencapai kinerja yang optimum. Sebab, budaya kerja merupakan
pendekatan baru manajemen modern yang lebih mendasarkan diri pada
nilai-nilai kebersamaan, keseimbangan, kesejajaran, dan keterbukaan, serta
saling percaya dan saling menghargai. Disamping itu, penerapan budaya
kerja diharapkan juga dapat merangsang tumbuhnya kreativitas, intuisi,
motivasi, dan komitmen dari seluruh anggota suatu organisasi. Dengan
demikian, pendekatan budaya (cultural approach) yang diusung dapat
menjadi pelengkap dari pendekatan struktural kedinasan (structural
approach) yang biasa diterapkan dalam organisasi mekanis seperti birokrasi
pemerintahan (Weberian Bureaucracy).
Sebagai ilustrasi, di Malaysia telah berlangsung perubahan budaya
dan kerja iklim organisasi dari pola-pola lama yang menghambat kemajuan,
kepada kondisi baru yang menuntut kebersamaan dan perbaikan kinerja.
Beberapa perubahan nilai tadi adalah perubahan dari suka buang waktu
menjadi tidak suka buang waktu, dari tunggu arahan baru kerja menjadi
tidak tunggu arahan kerja, dari bekerja sendiri/tidak minta pandangan
orang menjadi selalu berbincang atau syura (bermusyawarah), dari tidak
peduli dengan kualitas hasil kerja menjadi menghasilkan kerja yang terbaik,
9
dari tunggu waktu pulang menjadi tidak kenal waktu, dari tidak suka
menolong menjadi suka menolong, dari bekerja setengah hati menjadi
bekerja sepenuh hati, dari suka membantah menjadi taat kepada ketua /
arahan, dari mencontoh yang tidak baik dan tidak bisa menjadi teladan
menjadi mencontoh yang baik dan menjadi contoh bagi orang lain, dari
selalu masam menjadi selalu senyum, dari benci pelanggan menjadi
memberi keutamaan kepada pelanggan, dari tidak bangga dengan
organisasi dan hasil kerja menjadi bangga dengan organisasi dan hasil kerja;
dari hasad, bohong, dengki, tidak dapat dipercaya menjadi mengamalkan
prinsip jujur, benar, ikhlas, amanah; dari membuka rahasia orang menjadi
menutup aib orang, dari tidak sabar dan suka marah-marah menjadi sabar
dan jarang marah, dari kasar dan sombong menjadi lembut dan rendah diri,
dari suka mencari kesalahan orang menjadi mencari kebaikan orang, serta
dari suka mengampu (menjilat) menjadi memuji pada tempatnya.
Pada tataran individual, perubahan budaya kerja organisasi tadi
juga diikuti oleh perubahan pada tataran pola kepemimpinan (leadership).
Dalam hal ini, terjadi perubahan dari konsep, posisi dan peran “manajer”
menjadi konsep, posisi dan peran “leader”. Konsep “manajer” biasanya
merupakan posisi yang bercirikan dan/atau memerankan fungsi-fungsi
mengatur (regulating), merupakan tiruan, mempertahankan kondisi yang
ada, mengandalkan pada pengawasan yang kaku (strict controlling),
memiliki pandangan jangka pendek (short-term vission), bertanya bagaimana
dan kapan, memandang ke bawah, menerima status quo, prajurit klasik
yang baik, serta melakukan hal dengan benar (do the thing right). Sedangkan
konsep “leader” biasanya merupakan posisi yang bercirikan atau
memerankan fungsi-fungsi inovasi (inovating), asli, mengembangkan
(developing), menumbuhkan inspirasi (inspiring), membangun kepercayaan
(trust building), memiliki pandangan jangka panjang (long-term vission),
bertanya apa dan bagaimana, memandang cakrawala, menantang dirinya
sendiri (self-challenging), serta melakukan hal yang benar (do the right thing).
10
Satu hal yang dibutuhkan adalah bagaimana membumikan konsep
dan prinsip-prinsip budaya kerja tadi kedalam praktek sehari-hari prosesi
organisasi. Disini, diperlukan adanya instrumen pendukung baik dalam
bentuk pedoman pelaksanaan, format-format atau formulir pelaksanaan
program kerja, mekanisme dan tahapan yang harus dijalankan, maupun
upaya evaluasi dan pemantauan keberhasilannya. Hal-hal inilah yang
antara lain akan dikaji lebih lanjut dan direkomendasikan dalam penelitian
ini.
E. Ruang Lingkup
Pada dasarnya, kajian ini akan difokuskan pada aspek-aspek budaya
kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Menpan. Sedangkan dari
jangkauan wilayah, kajian ini akan mengkaji 4 (empat) Kabupaten/Kota yang
setiap kabupaten/kota mewakili 1 Propinsi di Kalimantan. Adapun penentuan
sampelnya dilakukan secara Stratified Purposive Sampling (pengambilan sampel
dengan tujuan tertentu yang dilakukan berstrata), dengan daerah-daerah yang
akan diteliti adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1
Daerah Sampel/Tujuan Kajian
No. Wilayah Daerah Sampel
1 Kalimantan Timur • Kab. Kutai Timur
2 Kalimantan Barat • Kota Singkawang
3 Kalimantan Selatan • Kab. Banjar Baru
4 Kalimantan Tengah • Kab. Kapuas
F. Tujuan dan Kegunaan
Penyelenggaraan kajian ini diharapkan dapat mencapai tujuan-
tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kondisi dan implementasi budaya kerja organisasi
11
pemerintahan, atau menilai dan mengkaji sejauhmana praktek
penyelenggaraan pemerintahan daerah telah bersesuaian dengan
prinsip-prinsip budaya kerja sebagaimana ditetapkan oleh MENPAN.
2. Untuk mencari alternatif kebijakan yang lebih operasional dalam
menumbuhkan dan membangun budaya kerja organisasi pemerintah
daerah, sehingga dapat memacu kinerja organisasi sektor publik secara
lebih baik.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil kajian ini adalah
meningkatnya praktek dan implementasi kebijakan tentang budaya kerja di
kalangan pemerintah daerah, sehingga dapat mendukung kebijakan
dan/atau upaya untuk memperkuat sikap mental dan orientasi kerja bagi
SDM Aparatur yang ada sekaligus memperkokoh kinerja organisasi secara
menyeluruh.
G. Hasil yang diharapkan
Hasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya
sebuah laporan tentang permasalahan, kondisi dan arah penataan
kewenangan dan kelembagaan daerah, khususnya di wilayah Kalimantan.
Disamping itu, laporan hasil kajian ini berisi pula tentang rekomendasi
kebijakan tentang aspek-aspek penataan kewenangan dan kelembagaan
daerah, serta langkah-langkah atau tahapan yang diperlukan.
12
BAB II
KERANGKA TEORETIS DAN KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN BUDAYA KERJA NASIONAL
A. Arti dan Makna Budaya Kerja
Budaya Kerja secara harfiahnya terdiri dari dari dua kata yaitu budaya
dan kerja, kata budaya berasal dari bahasa sanksekerta ”budhayah”, bentuk
jamak dari budhi yang artinya ‘akal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan
akal pikiran, nilai-nilai dan sikap mental’. Budhi daya berarti memberdayakan
budi sebagaimana alam bahasa inggris dikenal culture yang artinya mengolah
atau mengerjakan sesuatu (pertanian) yang kemudian berkembang sebagai cara
manuasia mengaktualisasikan rasa (value), karsa (creativity) dan karya-karyanya
(performance). Menurut Koentjaraningrat (2000), Budaya diartikan sebagai
keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.
Dari pengertian tersebut budaya mengandung makna sebagai berikut: 1).
Adanya pola nilai, sikap tingkah laku termasuk bahasa, hasil karsa dan karya;
2) Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai dan lingkungannya
yang melahirkan makna dan pandangan hidup, yang yang akan
mempengaruhi sikap dan tingkah laku; 3). Budaya merupakan hasil dari
pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan serta proses seleksi terhadap norma-
norma yang ada dalam cara dirinya berinteraksi sosial atau menempatkan
dirinya di tengah-tengah lingkungan tertentu; dan 4). Dalam proses budaya
terdapat proses saling mempengaruhi dan saling ketergantungan, baik sosial
maupun lingkungan non-sosial.
Menurut Ahmad Fuad Fanani dalam Harian Sinar Harapan tanggal 12
Desember 2005, Budaya adalah sistem nilai, yaitu nilai-nilai yang sudah
menjadi suatu sistem dan tidak berdiri lepas satu-satu, dan menjadi keyakinan
13
bersama untuk berimajinasi dan berekspresi.
Sedangkan kata kerja dapat diartikan sebagai berikut: 1) Kerja adalah
hukuman. Manusia sebenarnya hidup bahagia tanpa kerja di Taman Firdaus,
tetapi karena ia jatuh ke dalam dosa, maka ia dihukum: untuk bisa hidup
sebentar manusia harus bekerja banting tulang cari makan. Salah satu
bentuk hukuman adalah kerja paksa; 2) Kerja adalah beban. Bagi orang
malas, kerja adalah beban. Juga bagi kaum budak atau pekerja yang berada
dalam posisi lemah; 3) Kerja adalah kewajiban. Dalam birokrasi atau
kontraktual, kerja adalah kewajiban, guna memenuhi perintah atau
mernbayar hutang; 4) Kerja adalah sumber penghasilan. Hal ini jelas. Kerja
sebagai sumber nafkah merupakan anggapan dasar masyarakat pada
umumnya; 5) Kerja adalah kesenangan. Kerja sebagai kesenangan seakan
hobi atau sport. Hal ini ada kaitannya dengan leisure, sampai pada yang
workaholic; 6) Kerja adalah gengsi, prestise. Kerja sebagai gengsi berkaitan
dengan status dan jabatan. Jabatan struktural misalnya, jauh lebih
diidamkan ketimbang jabatan fungsional; 7) Kerja adalah aktualisasi diri. Di
sini kerja dikaitkan dengan peran, cita-cita atau ambisi. Bagi seseorang yang
menganut anggapan dasar ini, lebih baik jadi kepala ayam ketimbang ekor
sapi; 8) Kerja adalah panggilan jiwa. Kerja di sini berkaitan dengan bakat.
Dari sini tumbuh profesionalisme dan pengabdian kepada kerja; 9) Kerja
adalah pengabdian dengan tulus, tanpa pamrih; 10) Kerja adalah hidup.
Hidup diabdikan dan diisi unt'ak dan dengan kerja; 11) Kerja adalah ibadah.
Kerja merupakan bukti pengabdian dan rasa syukur untuk mengolah dan
memenuhi panggilan illahi; dan 12) Kerja adalah suci. Kerja harus dihormati
dan jangan dicemarkan dengan perbuatan dosa, kesalahan, pelanggaran dan
kejahatan. menurut Jalaluddin Rachmat (2003) "Kerja" adalah segala kegiatan
ekonomis yang dimaksudkan untuk memperoleh upah, baik berupa kerja
fisik material atau kerja intelektual.
Budaya Kerja sebagai refleksi dari Kata ”Budaya” dan ”kerja” dalam
Keputusan menteri Pendayagunaan Aparatur negara RI
14
No.25/KEP/M.PAN/4/2002 diartikan sebagai sikap dan perilaku individu dan
kelompok aparatur negara yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan
tugas dan pekerjaannya sehari-hari. Proses pembentukan sikap dan perilaku itu
diarahkan kepada terciptanya aparatur negara yang profesional, bermoral yang
memiliki persepsi yang tepat terhadap pekerjaan, sehingga prestasi kerja
merupakan aktualisasi jati dirinya.
Dalam ”Pengembangan Budaya Kerja dalam Perspektif Islam” (2003),
Budaya Kerja dimaknakan sebagai pola tingkah laku dan nilai-nilai yang
disepakati karyawan dalam bekerja, misalnya perilaku dalam menjalankan
tugas, karier, promosi, reward dan sebagainya. Sementara itu, Triguno (1996)
menyetakan bahwa Budaya Kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh
pandangan hidup sebgai nilai-nilai yang menjadi sifat , kebisaan dankekuatan
pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau
orgamisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-
cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai ”kerja” atau ”bekerja”.
Dalam seminar KORPRI Daerah Istimewa Yogyakarta, November 1992,
berkesimpulan bahwa: 1). Budaya Kerja adalah salah satu komponen kualitas
manusia yang sangat melekat dengan identitas bangsa dan menjadi tolok ukur
dasar dalam pembangunan; 2). Budaya Kerja dapat menentukan integritas
bangsa dan menjadi penyumbang utama dalam menjamin kesinambungan
kehidupan bangsa; dan 3). Budaya Kerja erat kaitannya dengan nilai-nilai yang
dimilikinya terutama falsafah bangsa yang mampu mendorong prestasi kerja
setinggi-tingginya.
B. Pengembangan Budaya Kerja
Sejak awal tahun 1970-an pemerintah telah menetapkan berbagai
kebijakan untuk menegakkan disiplin aparatur sebagai dasar dalam
pengembangan budaya kerja, antara lain : kebijakan di bidang kepegawaian,
seperti Undang-Undang (UU) No. 8/1974 tentang pokok-pokok kepegawaian,
15
Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil, UU No. 43/1999 tentang Perubahan atas UU No.8/1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian, PP No. 42/2003 tentang Pembinaan Jiwa Korps
dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.
Dalam Pasal 5 UU No. 8/1974 dinyatakan bahwa:’ Setiap Pegawai Negeri
wajib mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh
pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab”. Adapun dalam PP No. 30/1980
tersebut dinyatakan adanya tanggung jawab dan larangan yang harus
dipatuhioleh seluruh Pegawai Negeri. Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No.43/1999
dinyatakan bahwa Pegawai Negeri berkedudukan sebagai Aparatur Negara
yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,
pemerintahan dan pembangunan. Kemudian pada Pasal 4 UU No. 43/1999
dinyatakan bahwa setiap Pegawai Negeri wajib setia dan taat kepada Pancasila,
Uud 1945, Negara, dan Pemerintah serta wajib menjaga perastuan dan
kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, dalam PP No. 42/2004 dinyatakan bahwa Jiwa Korps
Pegawai Negeri Sipil adalah rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan,
kerjasama, tanggungjawab, dedikasi, disiplin, kreativitas,kebanggaan dan rasa
memiliki organisasi Pegawai Negeri Sipil dan kesatuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan dalam PP ini dinyatakan bahwa Kode Etik
Pegawai Negeri Sipil adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan
Pegawai Negeri Sipil di dalam melaksanakan tugasnya dalam pergaulan hidup
sehari-hari. PP ini mengatur bagaiman etika PNS dalam dalam bernegara,
dalam berorganisasi terhadap diri sendiri dan terhadap sesama Pegawai Negeri
Sipil.
Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut di atas berkaitan dengan
upaya mewujudkan Good governance, bersih dan bebas dari KKN. Dalam
hubungan ini, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No.
16
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme,
menegaskan komitmen kita bersama. Berkenaan dengan pemberantasan
Korupsi telah dikeluarkan UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Kedua undang-undang tersebut yaitu UU No. 28/1999 dan UU
No. 31/1999 selanjutnya mengalami perubahan. Perubahan tersebut
dimaksudkan antara lain untuk menjamin kepastian hukum, menghindari
keragaman peraturan hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam
memberantas tindak pidana korupsi. Perubahan atas UU No. 31/ 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan dengan membentuk UU No.
20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, pada tahun 2001. Masih dalam rangka pemberantasan
tindak pidana korupsi, dikeluarkan UU No. 30/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 30/2002 tersebut mencabut UU
No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Melalui UU No. 30/2002 tersebut telah
dibentuk lembaga yang khusus menangani pemberantasan korupsi yaitu
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbagai kebijakan tersebut di atas pada dasarnya melandasi
pengembangan budaya kerja aparatur Negara, yang antara lain telah
dituangkan dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 04/1991 tentang Pedoman Pemasyarakatan Budaya Kerja, sebagai
pemacu bagi aparatur pemerintah dalam upaya pengembangan dan
penerapan budaya kerja di lingkungan birokrasi.
Dalam perkembangannya, untuk lebih meningkatkan komitmen aparatur
dalam mengembangkan dan menerapkan budaya kerja, Kementerian PAN-RI
mengeluarkan Keputusan No. 25/KEP/M.PAN/ 4/2002 tentang Pedoman
Pengembangan Budaya Aparatur Negara yang mencakup: (1) Kebijakan
17
Pengembangan Budaya Kerja Aparatur; (2) Nilai-nilai Dasar Budaya Kerja
Aparatur Negara; (3) Penerapan Nilai-nilai Budaya Kerja Aparatur Negara; dan
(4) Sosialisasi Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. Pedoman
pengembangan Budaya Kerja P,paratur Negara tersebut merupakan pedoman
dalam melaksanakan budaya kerja aparatur negara pada lingkungan instansi/
lembaga masing-masing, untuk menumbuhkan dan meningkatkan semangat/
etos kerja, disiplin dan tanggung jawab moral aparaturnya secara terus-
menerus dan konsisten, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
Berbagai upaya yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan tersebut di
atas, menegaskan pentingnya kaidah, norma dan nilai dalam pengembangan
dan penerapan budaya kerja aparatur dalam melaksanakan tugas yang menjadi
kewenangan dan tanggungjawabnya. Tugas Aparatur adalah melaksanakan
tugas pemerintahan dan pembangunan sebagai upaya untuk mencapai tujuan
nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Untuk
mencapai tujuan tersebut diperlukan sosok aparatur pemerintah yang mampu
melaksanakan tugas secara profesional dengan dilandasi kaidah, nilai dan
norma sehingga akan tercipta etika kerja yang penuh tanggungjawab, sebagai
suatu budaya kerja aparatur negara.
Pengembangan konkritisasi budaya kerja aparatur negara yang bertujuan
untuk menciptakan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat secara baik dan
benar, serta berkelanjutan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
perlu segera diwujudkan. Hal ini untuk menghadapi tantangan yang dihadapi
aparatur negara yang cukup memprihatinkan, terutama karena dalam praktek
selama ini para pemimpin dan aparatur negara masih sering mengabaikan
nilai-nilai moral dan budaya kerja aparatur negara. Masalah mendasar dalam
memahami dan mengimplementasikan budaya kerja itu merupakan tugas berat
yang ditempuh secara utuh menyeluruh dalam waktu panjang, karena
menyangkut proses pembangunan karakter, sikap dan perilaku serta
peradaban bangsa. Sebagai budaya maka budaya kerja aparatur negara dapat
dikenali wujudnya dalam bentuk nilai-nilai yang terkandung didalamnya,
18
institusi atau sistem kerja, sikap dan perilaku SDM aparatur yang
melaksanakannya.
Dalam Keputusan MENPAN Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002, tiga
unsur penting dan saling berinteraksi dalam pengembangan budaya kerja
yaitu nilai-nilai, institusi /sistem kerja dan SDM aparatur negara, serta
faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Ketiga unsur tersebut menjadi
perhatian dalam menata budaya kerja, bermula dari pilihan nilai-nilai apa
yang hendak dipakai sebagai acuan, kemudian diinternalisasikan dalam
setiap pribadi aparatur negara dan diimplementasikan dalam setiap sistem,
prosedur dan tatalaksana sehingga menghasilkan kinerja berupa produk
atau jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat.
Pengembangan budaya kerja aparatur negara agar dapat lebih berhasil
dan tidak mengulang kegagalan dimasa lalu yang lebih bersifat indoktrinasi,
maka strategi dan metode penerapan nilai-nilai budaya kerja, perlu
disesuaikan dengan lingkup, jenis dan bobot masalah yang dihadapi oleh
aparatur negara dalam melaksanakan tugas di lingkungan kerja masing
masing. Disamping itu juga menggunakan sistem dan metode kerja tepat
guna sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat
universal dan terbuka.
Peningkatan kinerja aparatur negara baik secara individu perunit
organisasi instansi dan secara nasional akan dapat berdayaguna dan
berhasilguna bila nilai-nilai dasar budaya kerja dapat diterapkan melalui
proses sosialisasi, intemalisasi, dan institusionalisasi dengan cara sebagai
berikut:
a. Penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk pengembangan jati diri, sikap
dan perilaku aparatur negara sebagai pelayan masyarakat.
b. Penerapan nilai-nilai budaya kerja melalui pengembangan kerjasama
dan dinamika kelompok.
c. Penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki kebijakan public.
d. Penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan
19
manajemen dan pelayanan masyarakat.
e. Penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan
pengawasan, evaluasi kinerja dan penegakkan hukum secara
konsisten.
Budaya kerja ini diharapkan tidak terhenti hanya sebagai wacana
ataupun indoktrinasi saja, melainkan benar-benar bisa terwujud sebagai
"Standard Operating Procedure " yang diharapkan dapat membantu
organisasi pemerintah dalam memperbaiki proses kinerjanya.
Pendekatan dapat ditempuh secara sinergis yaitu sosialisasi dari dalam
aparatur negara sendiri, dipadukan dengan sosialisasi kepada
masyarakat. Sosialisasi kepada masyarakat ini sangat strategis karena dapat
membentuk opini publik yang diharapkan dapat berdampak positif
terhadap perubahan lingkungan sosial yang mampu "memaksa"
perubahan sikap dan perilaku setiap aparatur negara.
Langkah-langkah pokok sosialisasi dan pengembangan budaya kerja
aparatur negara :
a. Internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai budaya kerja kedalam proses
dan sistem pelaksanaan setiap tugas dan pekerjaan sehari-hari disetiap
unit kerja instansi pemerintah melalui:
1). Komitmen dan keteladanan dari pimpinan instansi untuk
melaksanakan secara nyata dan konsisten nilai-nilai budaya kerja
sesuai dengan visi, misi, aturan-aturan yang berlaku dalam
melaksanakan tugas sehari-hari bukan hanya sekedar mengucapkan
atau menyuruh orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak
melaksanakannya;
2). Pengembangan dinamika kelompok kerja untuk meningkatkan kinerja
dan memperbaiki tatalaksana serta metode kerja secara berkelanjutan;
3). Penyelenggaraan pendidikan dan latihan pengembangan budaya kerja,
baik melalui diklat reguler mauput diklat teknis budaya kerja disemua
jenjang.
20
b. Mengembangkan partisipasi dan opini publik untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif untuk mendukung program pengembangan
budaya kerja aparatur negara. Untuk ini sejauh mungkin memanfaatkan
jasa media massa baik cetak maupun elektronik. Para pakar, tokoh-tokoh
masyarakat dan LSM didorong untuk berpartisipasi dan menyampaikan
pandangan mengenai budaya kerja ini untuk meningkatkan kinerja
aparatur negara, utamanya dalam memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat.
Melalui konsepsi Kerangka Dasar Pengembangan Budaya Kerja
Aparatur Negara, setiap Pemimpin Unit Kerja Instansi Pemerintah di pusat
dan daerah diharapkan segera mengambil prakarsa dan langkah-langkah
sebagai berikut :
a. Membentuk kelompok-kelompok kerja atau mengaktifkan kelompok kerja
yang telah ada sesuai dengan kebutuhan.
b. Memahami kembali isi, jiwa dan semangat UUD 45, Visi dan Misi, Tupoksi,
Renstra dan Rapeta Instansinya masing-masing, kemudian mendalami
panduan umum pengembangan budaya kerja aparatur Negara.
c. Melakukan evaluasi kinerja instansinya secara menyeluruh, pencapaian
sasaran-sasaran program utama, tugas pokok dan fungsi sesuai dengan
kewenangan serta bidang tugasnya.
d. Identifikasi dan inventarisasi masalah-masalah mendasar penyebab
rendahnya kinerja aparatur negara, rendahnya kualitas pelayanan
masyarakat dan terjadinya praktek KKN dilingkungan instansinya selama
ini.
e. Melakukan analisis secara sistematis dan mendalam akar yang telah
teridentifikasi dan terinventerisasi pada langkah sebelubnya, masalah
terutama dilihat dari segi pelaksanaan peraturan perundangan,
pelaksanaan prinsip-prinsip manajemen, tata pemerintahan yang baik
serta sikap dan perilaku aparatur negara, untuk menemukan altenatif
pemecahan terbaik yang dapat dilaksanakan.
21
f. Menyusun rencana strategik pengembangan budaya kerja aparatur negara,
untuk peningkatan kinerja instansi, memperbaiki pelayanan masyarakat,
dan mempercepat pemberantasan KKN untuk jangka waktu 5 (Lima)
tahun di lingkungan kerjanya mulai Tahun 2002.
g. Menyusun rencana teknis operasional pengembangan budaya kerja setiap
tahun di lingkungan kerjanya secara jelas rinci dan praktis, terutama untuk
peningkatan kinerja instansi, mempercepat pemberantasan praktek KKN
dan memperbaiki pelayanan masyarakat.
h. Melaksanakan dan memperbaiki program kerja pengembangan budaya
kerja tersebut secara bertahap dan berkelanjutan cnemperbaiki pelayanan
masyarakatdalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat.
i. Memantau, mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan pengembaagan
budaya kerja tersebut, secara terus menerus.
j. Menerapkan hasil-hasil kerja kelompok pengembangan budaya kerja
untuk meningkatkan kinerja dilingkungan instansi. sesuai dengan
lingkup dan bidang tugasnya.
k. Melaporkan perkembangan pelaksanaan program tersebut pada setiap
akhir tahun kepada pimpinan Instansinya secara hierarkis/fungsional
dan disampaikan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Adapun sasaran dalam jangka pendek dan menengah yang ingin
dicapai meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Menumbuhkembangkan nilai-nilai moral dan budaya kerja produktif
kepada setiap aparatur negara yang bersumber dari nilai-nilai
Pancasila, agama, tradisi, dan nilai-nilai kerja produktif modem,
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
2) Memperbaiki persepsi, pola pikir dan perilaku aparatur negara yang
menyimpang dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan
dan pelayanan masyarakat, sekaligus untuk mempercepat
pemberantasan praktek KKN;
3) Meningkatkan kinerja aparatur negara melalui kelompok-kelompok kerja
22
dan forum forum profesional, agar lebih peka, kreatif dan dinamis
untuk memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan, sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat serta
dayasaing di dalam negeri maupun intemasional;
4) Memperbaiki citra aparatur negara dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada aparatur pemerintah.
C. Arah Pengembangan Budaya Kerja Nasional
Profesor Sudjoko dalam diskusi yang membahas buku Batas Nalar
Karya Donald B. Calne tanggal 23 Februari 2006 mengatakan bahwa saat
ini bangsa Indonesia sedang menjauh dari moral dan nalar semua orang
mencurigai sesamanya dan hal tersebut merupakan benih dari
perpecahan. Dan jika tak hati-hati, hal tersebut akan membahayakan
Indonesia sendiri. Runtuhnya moral yang melanda bangsa Indonesia
adalah merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi
terjadi mulai dari birokrasi paling tingggi hingga tingkat RT/RW
sehingga Republik Indonesia tergolong dalam negara paling korup di
dunia.
Tahun 2005, dari potret moral, suap dan KKN adalah tahun yang sangat
buram, memprihatinkan dan tidak manusiawi. Keprihatinan ini diperkuat lagi
oleh laporan Transparency International Indonesia (Bali Post, 24/12) yang
mengidentifikasi sejumlah departemen dan lembaga negara yang sangat korup
di Tanah Air.
Dalam diskusi yang sama Sutradara Gintings juga menyatakan
bahwa hingga saat ini reformasi dan demokrasi belum menyentuh moral
dan nalar kehidupan berbangsa sehingga diperlukan strategi budaya
untuk menyinergikan moral dan nalar, baik dalam kehidupan berbangsa
maupun bernegara. Reformasi baru menyentuh bidang politik akan
tetapi reformasi belum menyentuh birokrasi. Reformasi politik jauh lebih
maju dibandingkan dengan reformasi birokrasi, akan tetapi keputusan
23
politik yang dibuat hanya sedikit saja yang bisa dilaksanakan.
Tidak salah bila sering muncul ungkapan reformasi tanpa akhir,
bahkan terkesan seperti bangsa kehilangan pegangan dan pedoman yang
disebabkan oleh sulitnya keluar dari keterpurukan, meskipun era
reformasi itu sendiri telah digulirkan sejak pertengahan tahun 1998.
Pemberantasan KKN yang tidak kunjung tuntas, malah terkesan semakin
parah yang semakin menguatkan ungkapan tersebut.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam harian Kompas tanggal
31 Desember 2005 menginginkan tumbuhnya budaya unggul (cultural of
excellence) yang berlandaskan kesadaran akan kemampuan diri sendiri
sehingga dapat menjadi identitas dan semangat kelembagaan Negara.
Budaya unggul didefinisikan sebagai semangat dan kultur untuk mencapai
kemajuan dengan cara kita harus bisa, kita harus berbuat yang terbaik.
Lebih lanjut Presiden mengharapkan budaya unggul ini dapat
terwujud menjadi kultur nasional yang diharapkan dapat tertanam di
universitas, sekolah-sekolah, lembaga-lembaga pemerintah, partai
politik, militer, polisi, provinsi, Kabupaten, Kota dan lain-lain. Dengan
budaya unggul, para intelektual bisa lebih mengembangkan kemampuan
diri, tak sekedar menjadi pemikir akan tetapi juga mewujudkan gagasan-
gagasannya. Pengelolaan pemerintahan dengan baik akan dapat
mengatasi semua masalah yang muncul.
Budaya unggul merupakan tantangan bagi setiap aparatur negara
yang diharapkan menjadi arah pengembangan Budaya Kerja Nasional.
Budaya unggul diwujudkan melaui budaya kerja keras, proaktif,
bersinergi, budaya saling percaya, konsistensi menuju tujuan bersama,
cerdas dan cakap menguasai ilmu pengetahuan disertai orientasi nilai
yang mendukungnya.
Budaya unggul bangsa dapat menjadi semangat yang mendorong
kemajuan bangsa, budaya unggul sudah ada sejak zaman Nabi
Muhammad SAW yang ditandai dalam perjalanan Nabi Muhammad dari
24
Mekah ke Madinah. Pada zaman Aristoteles Budaya Unggul terwujud
dalam dalam bentuk desain, seni, dan praktis demokratisasi.
Dalam Keputusan Menteri Negara PAN, Pengembangan budaya kerja
aparatur negara, diarahkan untuk meningkatkan kinerja pemerintah
melalui pembinaan aparatur yang etis, bermoral, berdisiplin, profesional,
produktif, dan bertanggung jawab, dalam rangka mewujudkan
kepemerintahan yang baik, sekaligus untuk memantapkan dan memelihara
persatuan bangsa dan menjaga integritas nasional secara lestari. Rumusan
arah kebijakan tersebut terkesan sangat luas, walaupun cukup dipahami
bahwa budaya adalah suatu konstruksi struktural yang terbentuk oleh
paradigma yang diinginkan untuk menguasai wacana (discourse) yang
hidup ditengah sekelompok masyarakat. Pengembangan budaya kerja
lebih terbatas pada instrumen yang secara umum berlaku dalam ikhtiar
meningkatkan kinerja suatu organisasi. Adapun pola pengembangan di
setiap instansi tentu saja akan dipengaruhi oleh nilai, tujuan dan
keadaan eksternal yang melingkupi instansi yang bersangkutan sebagai
suatu identitas.
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian persepsi yang sesuai
dengan tujuannya dirancang untuk dapat menguraikan, menjawab, dan
menjabarkan kondisi dan implementasi Budaya Kerja di lingkungan
Pemerintah daerah di wilayah Kalimantan dalam rangka peningkatan disiplin
dan produktivitas kinerja pelayanan kepada publik.
B. Sampel / Responden Penelitian
Penilaian terhadap penerapan Budaya Kerja pada dasarnya perlu
dilakukan terhadap seluruh instansi pemerintahan, baik di tingkat Pusat
maupun Daerah, baik unsur pelaksana tupoksi daerah (Dinas) maupun unsur
penunjang (Lembaga Teknis dan Sekretariat). Namun mengingat berbagai
keterbatasan yang ada, maka penelitian ini akan memfokuskan hanya pada
Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota di wilayah Kalimantan dengan
pengambilan sampel menggunakan metode Stratified Purposive Sampling
(Pengambilan sampel dengan tujuan tertentu yang dilakukan berstrata).
C. Teknik Pengumpulan Data
Sedangkan teknik dan/atau instrumen pengumpulan data yang
digunakan ada 2 (dua) cara, yaitu:
• Penyebaran dan pengisian kuesioner.
• Penjaringan data sekunder untuk menunjang analisis, seperti laporan
kegiatan, hasil penelitian, dokumen perencanaan, dan sebagainya.
26
D. Tahapan dan Jangka Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 9 (sembilan) bulan mulai awal
Aparil 2005 hingga akhir Desember 2005. Adapun tahapan kegiatan secara
umum adalah sebagai berikut:
• Persiapan penelitian: terdiri dari kegiatan penyusunan kerangka acuan (terms
of reference) dan instrumen penelitian (questionnaire); penetapan lokasi dan
sampel penelitian; penyempurnaan desain penelitian (reseacrh design); serta
persiapan administratif lainnya (pembentukan tim, rapat-rapat pembahasan,
rencana survei lapangan, persuratan, dll).
• Pengumpulan Data, dilakukan studi referensi dan kunjungan lapangan guna
memotret fenomena yang terjadi;
• Pengolahan data dan Analisis: data yang terkumpul diolah untuk kemudian
dianalisis. Jika diperlukan, data aktual yang terolah perlu dilakukan
klarifikasi ulang ke lokus penelitian untuk memperoleh akurasi informasi,
sehingga analisis dapat dijamin lebih akurat.
• Penulisan Laporan: hasil analisis dalam bentuk draft laporan akhir
diseminarkan untuk memperoleh pandangan dan pengukuhan para pakar,
selanjutnya disusun laporan akhir dan dilakukan pencetakan untuk
dijadikan bahan pengambilan keputusan, pegangan konsultasi manajemen
kebijakan di daerah, serta pegangan bagi daerah obyek penelitian.
E. Variabel Penelitian
Penelitian ini akan memfokuskan pada 17 (tujuh) indikator Budaya
Kerja sebagaimana dirumuskan oleh MENPAN, yakni: Komitmen terhadap
Visi, Misi, Organisasi, Tujuan, Kebijakan dan Perundang-Undangan yang
berlaku; Wewenang dan Tanggung Jawab, Keikhlasan dan Kejujuran, Integritas
dan Profesionalisme, Kreativitas dan Kepekaan terhadap lingkungan tugas,
Kepemimpinan dan keteladanan, Kebersamaan dan Dinamika Kelompok/
Organisasi, Ketepatan (keakurasian dan Kecepatan, Rasionalitas dan Emosi,
Keteguhan dan Ketegasan, Disiplin dan keteraturan kerja, Keberanian dan
27
Kearifan dalam Mengambil Kepeutusan/ Menangani Konflik, Dedikasi dan
Loyalitas, Semangat dan Motovasi, Ketekunan dan Kesabaran, Keadilan dan
Keterbukaan, Penguasaan Iptek yang diperlukan untuk melaksanakan Tugas/
Pekerjaannya, Selanjutnya, ketujuh belas indikator tadi akan dijabarkan lebih
lanjut ke dalam bentuk sub-sub indikator, sedangkan pengukurannya dengan
menggunakan skala Likert 1 sampai dengan 5, selanjutnya akan dianalisis
secara deskriptif yang diinterpretasikan secara naratif.
Tabel 3.1
Operasionalisasi Indikator Kedalam Sub-sub Indikator
No
Indikator
Budaya Kerja
Sub-Sub Indiaktor
1. Komitmen
terhadap Visi,
Misi, Organisasi,
Tujuan,
Kebijakan dan
Perundang-
Undangan yang
berlaku
• Tujuan dan rencana Kerja yang dibuat oleh pimpinan
untuk kurun waktu tertentu sudah baik dan sesuai
dengan visi dan misi organisasi
• Program kerja yang dicanangkan untuk jangka waktu
tertentu sudah realistis dan sesuai dengan visi dan
misi organisasi
• Realisasi pelaksanaan program/kegiatan yang
dicanangkan sudah mulai menggambarkan atau
mendekati visi dan misi organisasi yang ditetapkan.
• Program/kegiatan kerja yang direncanakan dan/atau
yang dilaksanakan dari periode waktu tertentu, sudah
dengan baik menggambarkan kesinambungan dalam
rangka pencapaian visi dan misi organisasi.
2. Wewenang dan
Tanggung Jawab
• Pimpinan dan pegawai dalam lingkungan organisasi
ketika melaksanakan hak dan kekuasaannya untuk
menjalankan tugas/pekerjaan kantor dan
memberikan pelayanan kepada masyarakat, sudah
dilakukan dengan pendekatan yang baik dan adil.
• Selalu menampilkan sikap untuk menanggung segala
sesuatu yang terjadi baik itu hal yang baik ataupun
hal yang buruk (atau berani mengambil resiko) dalam
menjalankan tugas dan pekerjaan kantor yang
menjadi tanggungjawab pegawai.
• Memiliki sikap dan cara kerja yang tidak
menyimpang dalam menggunakan kewenangan yang
dilimpahkan kepadanya, baik terhadap pihak internal
organisasi ataupun terhadap masyarakat yang
menjadi konsumen organisasi.
28
• Setiap pegawai yang memiliki kewenangan dalam
organisasi cenderung menggunakan kewenangannya
untuk menciptakan iklim/ kondisi kerja serta arahan
kerja secara baik sehingga setiap anggota organisasi
dapat melaksanakan tugas/pekerjaan secara
produktif, efektif, dan efisien.
3. Keikhlasan dan
Kejujuran
• Segala barang dan jasa yang dipergunakan oleh
pimpinan dan/atau setiap pegawai dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat dan/atau
dalam operasional kegiatan internal organisasi sudah
dipertanggungjawabkan dengan baik dan terbuka.
• Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
para pegawai dalam lingkungan organisasi sudah
memberikan layanan administratif yang baik dan
sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku
dalam organisasi.
• Setiap pegawai di lingkungan organisasi dalam
memberikan laporan kerja kepada atasan atau
pimpinannya sudah dilakukan secara baik atau sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.
• Pimpinan dan setiap pegawai dengan ikhlas dan jujur
menjalankan tugas dan kewenangannya sehingga
tercapai kualitas kerja yang tinggi dan memuaskan.
4. Integritas dan
Profesionalisme
• Pimpinan dan pegawai dalam lingkungan organisasi
ketika bekerja selama ini sudah menunjukkan
pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan perilaku yang
bermutu dan baik dalam mengembangkan organisasi
dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.
• Pimpinan dan pegawai dalam organisasi sudah
dengan baik menampakkan keahlian tertentu sesuai
bidang tugasnya di organisasi dalam melaksanakan
kegiatan kantor dan pemberian layanan kepada
masyarakat.
• Setiap pegawai di lingkungan organisasi sudah
mempunyai kecakapan dan menguasai segala seluk
beluk bidang tugasnya.
• Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab
organisasi para pegawai di lingkungan organisasi
sudah menampakkan hasil kerja yang produktif,
berkualitas, efektif, dan efisien.
5. Kreativitas dan
Kepekaan
• Setiap pegawai selalu berusaha memberikan ide dan
saran yang dipandang baik dan berguna kepada
29
terhadap
lingkungan
tugas
atasan dan pengembangan organisasi.
• Setiap pegawai memiliki cara-cara kerja baru dalam
menangani persoalan dan pekerjaan yang ada dalam
organisasi.
• Setiap pegawai mampu mengetahui kelemahan dan
kekuatan organisasi serta memiliki kemampuan
antisipatif terhadap peluang dan hambatan yang ada
atau datang dari lingkungan organisasi.
• Setiap pegawai selalu memiliki kemauan dan
kemampuan untuk melakukan proses pembelajaran
terhadap persoalan, kemajuan ilmu pengetahuan, dan
teknologi serta isu-isu yang berkembang dalam
masyarakat yang berkaitan dengan organisasi.
6. Kepemimpinan
dan keteladanan
• Pimpinan dan/atau rekan kerja selalu mampu
mengemukakan pendapat dan arahan yang jelas,
benar, dan tepat kepada bawahan dan/atau sesama
pegawai dalam organisasi.
• Memiliki kemampuan yang baik untuk
menggerakkan bawahan dalam melakukan tugas-
tugas pokok dari setiap unit kerja organisasi guna
pencapaian tujuan organisasi.
• Pemimpin dan juga setiap pegawai, pada umumnya
menjadi contoh yang baik dalam kehadiran kerja,
pekerjaan (tugas dan tanggung jawab) ataupun sikap
dan perilaku.
• Pimpinan secara umum memiliki kemampuan untuk
memberikan dorongan atau suri teladan kerja kepada
bawahan dan rekan kerja, bertindak tegas serta tidak
memihak.
7. Kebersamaan
dan Dinamika
Kelompok/
Organisasi
• Secara umum memiliki usaha dan sikap untuk
terjadinya proses saling memberitahukan secara
terus-menerus tentang tugas dan pekerjaan dalam
organisasi.
• Menunjukkan kemampuan untuk melakukan
berbagai kegiatan, tugas, dan pekerjaan secara
bersama-sama atau kooperatif dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi.
• Dinamis atau mampu menempatkan diri dan bekerja
pada setiap situasi kerja di lingkungan organisasi.
• Selalu menyelesaikan persoalan-persoalan organisasi
dengan pertemuan-pertemuan dan/atau rapat
organisasi.
30
8. Ketepatan
(keakurasian
dan Kecepatan
• Sudah dengan baik menanggapi arahan dan instruksi
atasan atau rekan kerja secara tepat dan cepat
berkaitan dengan tugas dan/atau pekerjaan yang
dilimpahkan.
• Pegawai secara umum melaksanakan tugas dan/atau
pekerjaan secara terukur, tepat, dan cepat.
• Pada umumnya memberikan laporan tugas dan/atau
pekerjaan secara tepat dan tepat waktu.
• Dalam bertindak atau melakukan tugas yang
diberikan pimpinan atau rekan kerja, saat itu segera
dilakukan dengan cepat dan tepat.
9. Rasionalitas dan
Emosi
• Mampu bekerja secara logis dan sistematis terhadap
setiap tugas dan pekerjaan kantor juga tugas-tugas
yang berhubungan dengan pemberian pelayanan
kepada konsumen, baik internal (rekan kerja di unit
kerja lain) atau eksternal (masyarakat yang
berkepentingan dengan organisasi).
• Pimpinan dan pegawai sudah dapat membuat
perencanaan kegiatan secara matang, masuk akal,
dan aplikatif.
• Setiap pegawai memiliki perilaku bertindak dan
bekerja secara dewasa tanpa menyepelekan atau
menyinggung perasaan rekan kerja ataupun
bawahan.
• Setiap pegawai dapat mengoperasionalisasikan
uraian tugas pokok organisasi (unit kerja) dalam
tindakan atau program/kegiatan yang nyata dan
masuk akal.
10. Keteguhan dan
Ketegasan
• Kokoh mempertahankan pendapat dan ide-ide yang
berhubungan dengan pembinaan dan pengembangan
organisasi.
• Kesetiaan atau berpegang teguh pada visi, misi, dan
tujuan organisasi, serta terhadap peraturan, janji
KORPRI, dan kebijaksanaan di dalam organisasi.
• Secara umum memberi arahan atau bimbingan
terhadap bawahan dan/atau sesama pegawai secara
jelas dan terarah dalam rangka pengembangan diri
sesama pegawai, pengembangan organisasi, dan
pencapaian tujuan organisasi.
• Memiliki kepastian dalam bertindak terhadap tugas
dan pekerjaan yang merupakan wewenang dan
tanggung jawab pegawai dalam kaitan dengan
31
pencapaian tujuan organisasi.
11. Disiplin dan
keteraturan kerja
• Masuk dan pulang kerja sesuai dengan ketentuan-
ketentuan jam kerja yang berlaku dalam organisasi.
Dan jika pulang sebelum jam kerja selalu meminta
izin kepada pihak yang berwenang di dalam
organisasi.
• Memperlihatkan tindakan yang mentaati peraturan
perudangan-undangan yang berlaku serta
kebijaksanaan internal organisasi.
• Menunjukkan secara menyeluruh sikap dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
tertib sesuai dengan bidang tugasnya.
• Memiliki sikap dan tindakan yang menunjukkan
keteraturan dalam bekerja, memberikan laporan
tugas dan kewenangan sesuai dengan beban kerja
yang diberikan, serta menyimpan dan memilihara
secara tertib barang-barang milik organisasi.
12. Keberanian dan
Kearifan dalam
Mengambil
Kepeutusan/
Menangani
Konflik
• Bila pegawai menghadapi persoalan-persoalan yang
penting dan kritis atau terjadinya konflik dalam
organisasi, sudah dengan baikkah pimpinan
menyikapinya dengan tindakan keputusan yang
bijaksana dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
• Setiap keputusan yang diambil berkaitan dengan
keberlangsungan kehidupan organisasi dilakukan
secara baik dengan menyertakan semua pegawai
dalam organisasi.
• Pimpinan dan setiap pegawai dalam organisasi
sudah memiliki sikap percaya diri yang kuat dalam
mengambil keputusan berkenaan dengan
pelaksanaan tugas dan kewenangannya dalam
organisasi.
• Apakah setiap konflik yang muncul dalam organisasi
sudah dengan baik dikelola atau diselesaikan secara
baik demi produktivitas, efisiensi, dan efektifitas
organisasi.
13. Dedikasi dan
Loyalitas
• Menunjukkan secara optimal pengorbanan tenaga,
pikiran, dan waktu dalam pelaksanaan tugas dan
pekerjaan yang diberikan demi eksistensi dan
pengembangan organisasi.
• Mau dan mampu bekerja di luar jam kerja (lembur
kerja) serta ditugaskan keluar lingkungan organisasi
dalam kaitan dengan ruang lingkup kegiatan
32
organisasi.
• Menjunjung tinggi kehormatan organisasi, negara,
dan senantiasa mengedepankan kepentingan dan
tujuan organisasi daripada kepentingan dan tujuan
pribadi di dalam pelaksanakan tugas dan kegiatan di
dalam organisasi.
• Patuh terhadap kebijakan organisasi, pimpinan, dan
peraturan yang berlaku dalam organisasi dengan
penuh kesadaran dan tanggung jawab.
14. Semangat dan
Motovasi
• Menunjukkan aktivitas yang giat dan bergairah
dalam menerima tugas dan tanggung jawab yang
diberikan oleh atasan ataupun yang sudah menjadi
kewajiban dari pegawai sesuai tugas pokok dari unit
yang bersangkutan di dalam organisasi.
• Memunculkan dorongan yang positif terhadap rekan
kerja baik melalui contoh perbuatan dalam
keseharian bekerja di organisasi ataupun melalui
arahan dan nasihat yang membimbing.
• Selalu berusaha menjadi teladan yang baik dalam
menjalankan tugas dan kewajiban di organisasi.
• Melihat setiap pekerjaan yang baru sebagai suatu
tantangan untuk pengembangan diri dan organisasi.
15. Ketekunan dan
Kesabaran
• Menunjukkan keseriusan atau kesungguhan dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab di
organisasi.
• Menunjukkan kesungguhan dalam mematuhi setiap
peraturan perudangan-undangan, kebijaksanaan,
dan tujuan organisasi.
• Memiliki ketenangan hati dalam menghadapi
berbagai persoalan internal organisasi.
• Mampu menyelesaikan setiap tugas dan tanggung
jawab organisasi dengan tenang dan tidak tergesa-
gesa demi tercapainya produktivitas, efektifitas, dan
efisiensi organisasi.
16. Keadilan dan
Keterbukaan
• Memperlihatkan pelayanan administratif, konsultasi,
ataupun informasi kepada semua masyarakat yang
memerlukan bantuan atau membutuhkan tenaga dan
pikiran yang berkaitan dengan organisasi.
• Memiliki kemauan untuk tanggung-gugat secara
terbuka, hal-hal di dalam organisasi yang berkaitan
dengan kepentingan atau urusan masyarakat.
• Tidak sewenang-wenang membuat kebijakan atau
33
keputusan yang berkaitan dengan kepentingan
internal organisasi dan masyarakat.
• Memiliki kemauan untuk terbuka kepada aspirasi,
tuntutan, kemauan/harapan masyarakat berkaitan
dengan hal-hal atau kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan pelayanan masyarakat oleh
organisasi.
17. Penguasaan
Iptek yang
diperlukan
untuk
melaksanakan
Tugas/
Pekerjaannya
• Kemampuan untuk dapat mengoperasionalkan
mesik ketik dan/atau komputer minimal Microsoft
Word, guna membantu kelancaran pelaksanaan
tugas atau pekerjaan administratif organisasi.
• Kemauan yang kuat untuk terus meningkatkan
pengetahuan yang berkaitan dengan tugas atau
pekerjaan yang dijalankan, baik melalui jalur formal,
membaca buku, kursus, ataupun pendidikan dan
pelatihan (diklat).
• Memiliki sikap mau belajar untuk meningkatkan
kinerja tugas dan pekerjaan melebihi standar prestasi
yang ditetapkan.
• Memiliki kemampuan dan sikap berpikir yang
sistematis dan edukatif dalam menggunakan
kemampuan pengetahuan teknis untuk dapat
dikembangkan atau ditularkan kepada orang lain
atau sesama rekan kerja dalam organisasi.
F. Definisi Operasional Variabel
1. Komitmen dan Konsistensi terhadap Visi, Misi dan Tujuan
Organisasi
a. Komitmen berarti keteguhan hati, tekad yang mantap dan janji
untuk melakukan atau mewujudkan sesuatu yang diyakini.
b. Konsistensi, berarti ketetapan, kesesuaian, ketaatan dan keman-
tapan dalam bertindak sesuai dengan visi, misi, janji, prinsip,
amanah, kebijakan atau aturan yang ditetapkan (taat asas).
c. Visi adalah pandangan ke depan dan arah tujuan yang ingin
diwujudkan.
d. Misi adalah tugas yang diemban untuk mencapai sasaransasaran
pokok/strategis dan tujuan organisasi tertentu.
34
e. Organisasi, yaitu kelompok orang dan sarana kerjasama untuk
mencapai tujuan.
f. Pengertiannya: Memegang teguh sepenuh hati dan berjanji
melaksanakan tugas yang harus diemban secara taat asas, yang
telah ditetapkan oleh sekelompok orang atau badan yang terikat
dalam satu wadah kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Wewenang dan Tanggung Jawab
a. Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.]
b. Tanggung jawab adalah kesediaan menanggung sesuatu. Bila salah
wajib memperbaiki atau dapat dituntut, dan diperkarakan.
c. Pengertian: seorang aparatur negara dalam menjalankan tugasnya
diberi wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan kedudukan
dan posisi jabatannya. Hendaknya kewenangan dan tanggungjawab
yang diberikan itu dijalankan dengan baik, agar tidak ada pihak lain
yang dirugikan.
3. Keikhlasan dan Kejujuran
a. Ikhlas dalam norma etika dan agama dapat diartikan rela sepenuh
hati, datang dari luhuk hati, tidak mengharapkan imbalan atau
balas jasa atas suatu perbuatan, khususnya yang berdampak positif
pada orang lain, dan semata-mata karena menjalankan
tugas/amanah demi Tuhan (Lillahi ta'ala).
b. Kejujuran atau dikenal dengan kata "Siddiq", adalah komponen
rohani yang memantulkan berbagai sikap yang berpihak kepada
kebenaran dan sikap moral yang terpuji (morally upright).
c. Jujur adalah orang yang benar dalam setiap kata, perbuatan dan
keadaan bathinnya. Jujur ditunjukkan oleh perilaku yang diikuti
dengan sikap tanggung jawab atas sesuatu yang diperbuatnya.
d. Kejujuran berarti juga keberanian untuk mengatasi dirinya sendiri,
berani menolak dan bertindak melawan segala kebatilan yang
bertentangan dengan suara hati/kalbunya.
35
4. Integritas dan Profesionalisme
a. Seorang yang bekerja dalam sebuah instansi/lembaga harus dapat
menyatu dengan bidang kerjanya dan sistem yang ada serta tidak
melakukan tindakan negatif karena pekerjaan itu sebagai sandaran
hidup.
b. Orang yang mempunyai integritas yang baik adalah orang yang
tidak diragukan lagi serta selalu konsisten dalam kata dan
perbuatan.
c. Inti profesionalisme: kepandaian, keahlian, dan keterampilan
tertentu. Profesional adalah orang yang terampil, andal dan sangat
bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Orang yang
tidak mempunyai integritas biasanya tidak profesional.
Profesionalisme pada intinya adalah kompetensi untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar.
d. Salah satu penyebab terpenting dari tidak adanya integritas dan
profesionalisme adalah tidak adanya sistem merit yang jelas untuk
mengukur kinerja pegawai.
5. Kreativitas dan Kepekaan
a. Kreativitas berarti adanya ide-ide baru secara spontan muncul dari
seseorang karena suatu hal yang dianggap penting atau mendesak
dalam kehidupan dan pekerjaannya. Ide-ide tersebut diolah menjadi
suatu inovasi yang dapat diaplikasikan pada kerja individu atau
organisasi yang lebih baik atau menguntungkan. Inovasi itu bisa baik
dan diadopsi menjadi nilai yang baik dan benar, tetapi bisa juga ide-
ide itu gagal mencapai sesuatu nilai mengandung resiko kalau kita
tidak waspada.
b. Kepekaan, berarti respon seseorang atau organisasi dalam
menghadapi sesuatu peristiwa yang mungkin menguntungkan,
merugikan atau membahayakan. Tingkat kepekaan dapat berbeda-
beda tergantung pada manusia dan peristiwanya. Kepekaan dapat
36
bersifat reaktif, tetapi juga proaktif atau kejelian mengenal
peluang. Jika fungsi kepekaan ini dimiliki oleh aparatur dalam
organisasi mereka akan cepat menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang terjadi di luar lingkungan organisasi dan
peluang untuk menyelamatkan diri dan organisasi lebih dini
dapat disiapkan.
6. Kepemimpinan dan Keteladanan
a. Kepemimpinan (leadership), berarti kesadaran diri sebagai seorang
pemimpin yang ditunjukkan melalui kemampuannya untuk
mempengaruhi dan menjadikan dirinya sebagai teladan, serta
mampu memotivasi orang lain terutama bawahannya agar
tergerak mencapai sasaran yang lebih tinggi berdasarkan nilai-nilai
moral yaitu integritas, komitmen, konsistensi, profesional dan
kemampuan komunikasi. Dengan demikian, kepemimpinan
merupakan seni mengemudi dan mengendalikan organisasi, secara
cerdik, pandai, berpengalaman, peka, proaktif, selalu dekat dengan
yang dipimpin, visioner dan berperan sebagai juru bicara, pelatih,
sumber perubahan dan pembaharuan. Dalam kaitan ini, gaya
kepemimpinan mempunyai daya tingkat motivasi yang efektif
untuk keberhasilan manajemen. Pengaruhnya tergantung pada
lingkup dan intensitas tuntutan manajemen dalam menghadapi
lingkungan intemal dan ekstemal. Bentuk gaya kepemimpinan
antara lain:
• Altruistic leadership, yaitu kepemimpinan yang ingin
mempengaruhi dan membentuk agar orang lain mampu
berkembang;
• Khalifah FilArdli adalah misi kepemimpinan sebagai wakil
Tuhan di muka bumi merupakan misi untuk membawa
kesejukan bagi semua memberikan arti bagi lingkungan dan
kerinduan untuk memberdayakan diri dan orang lain sesuai
37
dengan nilai-nilai moral yang tinggi guna pencapaian hasil
optimal yaitu amal saleh;
• Leadership by example (Uswatun khasanah) adalah pola
kepemimpinan dengan menjadikan dirinya sebagai contoh
teladan bagi orang lain, terutama bawahannya. Dalam
keteladanannya itu terpancar rasa moral integritas yang tinggi,
komitmen, kompetensi, konsistensi dan kemampuan
berkomunikasi;
• Transformational Leadership, yaitu kepemimpinan yang dinamis,
selalu mengadakan perubahan, dengan memotivasi bawahan
untuk bekerja guna mencapai sasaran yang lebih tinggi;
• Kepemimpinan berdasarkan kepercayaan (trust), penghargaan
(respect), dan berdasarkan kemuliaan pribadi atau kelompok
tertentu (honorable).
b. Keteladanan, adalah sikap perilaku yang dinyatakan secara sadar
(misalnya: perintah, cara berbicara, bertindak) maupun tidak
disadari (misalnya: kebiasaan-kebiasaan, cara bersikap dan
bertingkah laku) dari seorang pemimpin yang dipersepsi oleh
bawahannya sebagai sesuatu yang memicu atau mendorong
bawahan untuk mencontoh. Sikap prilaku yang menjadi kerangka
acuan (frame of references) bawahan dalam hal yang berkaitan
langsung dengan pekerjaan maupun nilai-nilai (profesi dan moral)
sehingga bawahan akan bertindak sesuai dengan kerangka acuan
positif berdasarkan rasa hormat dan penghormatan. Sifat
pemimpin yang tingkah laku atau perilakunya dapat ditiru dan
menjadi teladan bagi bawahannya dan orang lain antara lain
adalah takwa, profesional, belajar terus, integritas, adil, arif, tegas
dan bertanggung jawab, ramah, rendah hati, gembira, silih asih, asah,
asuh, sabar, dan tersenyum.
7. Kebersamaan dan Dinamika Kelompok
38
a. Kebersamaan (togetherness) adalah suatu sikap dan perilaku
sekelompok individu yang secara bersama-sama pada suatu ruang
atau waktu yang sama menunjukkan tingkah laku secara spontan.
Sikap kelompok individu itu untuk sementara menunjukkan
kesatuan perasaan dan aksi karena dorongan bersama dan simpati
yang berpusat pada obyek, tuntutan, atau ide yang sama.
b. Kebersamaan dimaksudkan sebagai suasana hati yang merasakan
dirinya bagian dari satu kelompok kerja tertentu, sehingga tumbuh
perasaan bersama dalam kelompok yang kuat yang melahirkan
kelompok kerja dan sinerji dalam melaksanakan tugas bersama.
c. Setiap individu berpikir dalam format keseluruhan dan bukan
bagian-bagian, dan berpikir bahwa keberadaan dirinya hanya
mungkin bila bersama dengan orang lain.
d. Dinamika kelompok adalah sikap dan perilaku suatu kelompok
yang teratur yang anggotanya mempunyai kepentingan dan
tujuan.yang sama.
e. Keputusan dan pengembangan sikap kelompok disesuaikan
dengan situasi yang dialami secara bersama-sama guna
mengembangkan ide-ide individu/anggota kelompok ke arah
yang lebih maju untuk mencapai tujuan kelompok yang telah
ditentukan secara bersama.
f. Dinamika kelompok merupakan cara kerja kelompok yang bersifat
dinamis, kreatif, dan sinerji dalam melayani dan atau mencapai
sasaran kerja secara menyeluruh.
g. Dinamika kelompok merupakan salah satu bentuk dan cara
pemasyarakatan budaya kerja (PBK) yang berada dalam institusi
tertentu sehingga setiap individu merasakan bagian dari
kelompoknya, dan karena mereka menyadari akan bekerja
berdasarkan norma-norma kelompoknya.
8. Ketepatan dan Kecepatan
39
a. Ketepatan, maknanya adalah mengena sasaran, mencapai tujuan,
ketelitian, dan bebas kesalahan.
b. Kecepatan, maknanya adalah menggunakan waktu yang lebih
pendek. Ketepatan dan kecepatan memberikan kepastian dalam
arti waktu, kuantitas, kualitas dan finansial yang sangat
dibutuhkan dalam pelaksanaan pekerjaan dan pemberian
pelayanan masyarakat.
9. Rasionalitas dan Kecerdasan Emosi
a. Berpikir cerdas, obyektif, logis, sistematik, banyak terkait dengan
proses ilmiah atau kemampuan intelektual.
b. Kecerdasan memandang sesuatu dari aspek akal (ratio) yang
menentukan nilai benar atau salah. Fungsi ratio terletak pada otak
kiri, kemampuan logika, matematis, sistematik, sebabakibat, eksak
(Intellectual Quotient /IQ).
c. Kecerdasan emosi memandang sesuatu dari aspek perasaan (emosi),
matahati (Emotional Quotient/EQ), terietak pada otak sisi kanan,
bersifat spontan, kreatif, inovatif, holistik, integratif, rinestetik,
ruang, komunikasi kooperatif, silih asih-asah-asuh, dan lain-lain
( perasaan, kepekaan, bagian dari karakter, ketangguhan).
10. Keteguhan dan Ketegasan
a. Keteguhan berarti kuat dalam berpegang pada aturan, nilai moral,
prinsip-prinsip manajemen dan lain-lain.
b. Ketegasan adalah sifat, watak, dan tindakan yang jelas dan tidak
ragu-ragu.
11. Disiplin dan Keteraturan Kerja
a. Secara konseptual disiplin lebih merujuk pada sikap yang selalu
taat kepada aturan, norma, dan prinsip-prinsip tertentu, sedangkan
keteraturan lebih menunjukkan perilaku yang konsisten mengikuti
ketentuan dan prosedur tertentu.
b. Kata "disiplin" berasal kata "discipline", discipulus (latin), yang berarti
40
mengikuti dengan taat. Disiplin berarti juga kemampuan untuk
mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam
situasi yang sangat menekan sekalipun. Disiplin mengikuti tata
tertib peraturan yang harus ditaati (ketaatan).
c. Keteraturan kerja yaitu mengikuti jadwal dan sistem kerja yang
tersusun dan terencana secara baik, misal seseorang yang bekerja
mengikuti peraturan dan cara kerjanya terencana dengan baik,
mengikuti kebijakan-kebijakan program, prosedur kerja, prinsip
dan proses manajemen, dan sebagainya. Sikap bekerja berdasarkan
pada sistem kerja (standard of operational) serta norma-norma
yang berlaku yang bersifat sistematis, dinamis dan berorientasi
pada hasil.
12. Keberanian dan Kearifan
a. Keberanian diartikan sebagai berani menanggung resiko dalam
pembuatan keputusan dengan cepat dan tepat waktu (peran EQ
sangat besar dibandingkan IQ).
b. Kearifan merupakan landasan membentuk nilai-nilai bersumber
dari otak sebelah kanan yang penuh nilai balk dan buruk
(EQ/SQ/AQ) sehingga orang dapat memilih nilai-nilai yang
paling cocok dalam manajemen untuk memecahkan berbagai
masalah dan menghadapi tantangan baru dengan mengambil
tindakan yang diperlukan.
13. Dedikasi dan Loyalitas
Dedikasi dan loyalitas adalah sifat rela berkorban dan jiwa pengabdian
terhadap instansi, banQsa, negara, dan taat serta setia dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya.
14. Semangat dan Motivasi
a. Semangat adalah daya atau energi yang mendorong perilaku
sampai pada tingkatnya yang tertinggi, sedangkan motivasi lebih
merujuk kepada tujuan dari perilaku yang dasamya adalah
41
kebutuhan dari pelaku yang bersangkutan.
b. Orang harus mulai dengan pemenuhan kebutuhan yang paling
dasar yaitu kebutuhan fisik-biologis termasuk rasa aman, sebelum
meningkat ke jenjang yang lebih tinggi yaitu rasa memiliki dan
harga diri, dan yang tertinggi aktualisasi diri.
15. Ketekunan dan Kesabaran
a. Ketekunan berarti teliti, rajin mendalami sesuatu pekerjaan/tugas
yang secara konsisten dan berkelanjutan sesuai dengan komitmen
yang disepakati.
b. Kesabaran berarti tidak emosional, tidak tergesa-gesa, asalkan
tercapai tujuannya tanpa mengorbankan kepentingan orang lain.
Kesabaran merupakan sikap mental seseorang yang bersifat
tangguh, tekun dan bersungguh-sungguh, amanah untuk
mencapai sasaran kerja dan prestasi kerja terbaiknya, tidak asal
jadi. Dalam sikap kesabaran tersebut, termuat suasana hati yang
kuat dalam menghadapi tekanan. Tekanan yang dimaksud dapat
berupa target pekerjaan atau godaan intemal (korupsi,
penyalahgunaan jabatan) dan eksternal (suap, kolusi dan
nepotisme).
16. Keadilan dan Keterbukaan
Seorang aparatur negara yang memperlakukan orang lain sesuai
dengan fungsi, peran dan tanggung jawabnya, dan memperhatikan hak
dan kewajiban masyarakat, sehingga dalam menjalankan tugas tidak
melakukan kegiatan secara sembunyi-sembunyi (tertutup) dan tidak
menimbulkan prasangka tidak baik.
17. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
a. Ilmu pengetahuan adalah hasil studi dan penelitian obyek tertentu
baik mumi maupun terapan, diolah dengan metode tertentu sehingga
bermanfaat bagi kehidupan individu, instansi dan masyarakat luas.
Ilmu pengetahuan menjadi dominan dalam proses manajemen, sebab
42
tanpa itu manajemen akan ketinggalan jaman dan kalah bersaing.
Sedangkan teknologi adalah cara atau metode kerja untuk menghasil-
kan sesuatu produk barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan oleh
suatu instansi dan masyarakat.
b. Ilmu pengetahuan harus bisa dialihkan (ditransformasikan) menjadi
nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam manajemen, agar mencapai
hasil yang optimal, efektif dan efisien. Teknologi dikembangkan
dengan kegiatan studi dan penelitian agar dapat diterapkan menjadi
nilai kerja seharihari yang baik dan mencari serta mengembangkan
cara/ metode kerja baru yang lebih cepat, tepat, mudah dan efisien.
43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Nilai-Nilai Budaya Kerja Organisasi Pemda di Kalimantan
Tabel 4.1
Implementasi Nilai-Nilai Budaya Kerja di 4 Kabupaten/Kota di Kalimantan
Skor Rata-Rata & Kategori
No
Indikator Singka-
wang
Banjar
Baru
Kapuas Kutim
Skor
Rata-
Rata
1 Komitmen Terhadap Visi,
Misi, Organisasi, Tujuan,
Kebijakan dan Perundang-
undangan yang Berlaku
4,12 (B) 3,94 (B) 4,26 (SB) 3,99 (B) 4,09 (B)
2 Wewenang dan Tanggung
Jawab
4,15 (B) 3,77 (B) 4,28 (SB) 4,17 (B) 4,15 (B)
3 Keikhlasan dan Kejujuran 4,10 (B) 4,02 (B) 4,08 (B) 4,11 (B) 4,09 (B)
4 Integritas dan Profesionalitas 3,90 (B) 3,85 (B) 4,06 (B) 3,89 (B) 3,93 (B)
5 Kreativitas dan Kepekaan
terhadap Lingkungan Tugas
3,87 (B) 3,79 (B) 3,88 (B) 3,92 (B) 3,88 (B)
6 Kepemimpinan dan
Keteladanan
4,19 (B) 4,10 (B) 4,14 (B) 4,06 (B) 4,12 (B)
7 Kebersamaan dan Dinamika
Kelompok Organisasi
4,20 (SB) 4,00 (B) 4,08 (B) 4,09 (B) 4,11 (B)
8 Ketepatan (Keakurasian) dan
Kecepatan
3,93 (B) 3,73 (B) 3,98 (B) 3,99 (B) 3,94 (B)
9 Rasionalitas dan Emosi 3,99 (B) 3,96 (B) 4,04 (B) 3,98 (B) 4,00 (B)
10 Keteguhan dan Ketegasan 4,09 (B) 3,92 (B) 4,13 (B) 4,23 (SB) 4,13 (B)
11 Disiplin dan Keteraturan
Kerja
4,22 (SB) 3,98 (B) 3,98 (B) 4,26 (SB) 4,14 (B)
12 Keberanian dan Kearifan
dalam Mengambil
Keputusan/Menangani
Konflik
4,08 (B) 4,04 (B) 4,13 (B) 4,00 (B) 4,06 (B)
13 Dedikasi dan Loyalitas 4,23 (SB) 4,29 (SB) 4,09 (B) 4,35 (SB) 4,24 (SB)
14 Semangat dan Motivasi 4,16 (B) 4,17 (B) 4,12 (B) 4,18 (B) 4,16 (B)
15 Ketekunan dan Kesabaran 4,14 (B) 4,38 (SB) 4,15 (B) 4,26 (SB) 4,21 (SB)
16 Keadilan dan Keterbukaan 4,11 (B) 4,54 (SB) 4,06 (B) 4,15 (B) 4,16 (B)
17 Penguasaan Iptek 4,05 (B) 4,65 (SB) 4,11 (B) 4,18 (B) 4,18 (B)
SKOR RATA-RATA 4,09 (B) 4,08 (B) 4,09 (B) 4,11 (B) 4,10 (B)
Sumber: Kuesioner Penelitian (2005, diolah)
44
Keterangan:
TB : Tidak Baik
KB : Kurang Baik
BB : Belum Baik
B : Baik
SB : Sangat Baik
Nilai-nilai dasar (indikator) Budaya Kerja yang dirumuskan oleh
MENPAN telah diterapkan dengan baik di Kalimantan khususnya di
Kabupaten/Kota yang disurvei yaitu dengan skor 4,10. Jawaban Responden
menggambarkan bahwa indikator terbaik adalah Dedikasi dan Loyalitas
dengan skor 4,24, kemudian secara berurutan disusul oleh Ketekunan dan
Kesabaran (4,21), Penguasaan Iptek yang diperlukan untuk melaksanakan
tugas (4,18), Semangat dan Motivasi (4,16), Keadilan dan Keterbukaan (4,16),
Wewenang dan Tanggung Jawab (4,15), Disiplin dan Keteraturan Kerja
(4,14), Keteguhan dan Ketegasan (4,13), Kepemimpinan dan Keteladanan
(4,12), Kebersamaan dan Dinamika Kelompok Organisasi (4,11), Komitmen
terhadap Visi, Misi Organisasi kebijakan dan Perundang-undangan yang
berlaku (4,09), Keikhlasan dan Kejujuran (4,09), Keberanian dan Kearifan
dalam Mengambil Keputusan/Menangani Konflik (4,06), Rasionalitas dan
Emosi (4,00), Ketepatan (Keakurasian) dan kecepatan (3,94), Integritas dan
Profesionalitas (3,93) dan indikator yang terendah/terlemah dalam
membangun/mengembangkan Budaya Kerja adalah Kreativitas dan
Kepekaan terhadap Lingkungan Tugas yaitu dengan skor 3,88.
Hal ini mengindikasikan bahwa aparatur di wilayah Kalimantan
harus lebih berusaha memberikan ide dan saran yang baik dan berguna
dalam pengembangan organisasi, menciptakan cara-cara kerja baru dalam
menangani persoalan dan pekerjaan, berusaha mengetahui kelemahan dan
kekuatan organisasi serta memiliki kemampuan antisipatif terhadap
hambatan yang ada atau datang dari lingkungan organisasi dan setiap
aparatur hendaknya memiliki kemauan dan kemampuan untuk melakukan
proses pembelajaran terhadap persoalan, kemajuan iptek serta isu-isu yang
45
berkembang dalam masyarakat yang berkaitan dengan organisasi, di
samping itu aparatur pemerintah hendaknya terus lebih meningkatkan
profesionalismenya khususnya yang menyangkut bidang tugasnya
sehingga akan menampakkan hasil kerja yang produktif dan berkualitas
untuk mengurangi anggapan dari masyarakat bahwa aparatur
pemerintah ”tidak profesional”. Indikator-indikator lain juga perlu terus
ditingkatkan lagi penerapannya dalam melaksanakan tugas organisasi.
Pencapaian 17 Indikator Budaya Kerja dari seluruh Kabupaten/Kota
yang disurvei menunjukkan kondisi yang cukup beragam misalnya saja
pada indikator Penguasaan iptek yang diperlukan untuk melaksanakan
tugas di Kabupaten Banjar Baru mendapatkan Skor 4,65 atau masuk pada
kategori sangat baik, sementara pada tiga daerah lainnya cukup seragam
kondisinya yaitu dinilai baik. Namun jika dilihat dari skornya indikator
terendah dalam membangun Budaya Kerja menunjukkan kondisi yang
cukup seragam pada ke-4 daerah yang disurvei, dimana indikator
Kreativitas dan Kepekaan terhadap Lingkungan Tugas masih dinilai paling
lemah dalam membangun Budaya Kerja di wilayah Kalimantan khususnya
di 4 daerah yang disurvei sehingga perlu mendapatkan prioritas untuk terus
ditingkatkan dan terus dipacu.
Dilihat dari daerah yang disurvei menunjukkan kondisi yang
seragam, skor seluruh daerah masuk pada kategori ”Baik”. Meskipun ke-17
nilai dasar/indikator Budaya Kerja yang dirumuskan oleh MENPAN sudah
diterapkan dengan baik, akan tetapi pengaruhnya terhadap budaya kerja
aparatur itu sendiri belumlah diketahui, apalagi jika melihat realita di
lapangan. Mungkin yang paling mencolok adalah terhadap memberikan
layanan kepada masyarakat yang terkesan apa adanya sangat jauh dari
kesan pelayanan prima.
Dari empat daerah yang disurvei, hanya Kabupaten Kutai Timur saja
yang telah memiliki payung hukum terhadap pengembangan Budaya Kerja
aparatur berupa Keputusan Bupati No. 309/02.188.45/HK/IX/2004 tentang
46
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda
Budaya Kerja Pemda

More Related Content

What's hot

Analisis SWOT dalam Organisasi
Analisis SWOT dalam OrganisasiAnalisis SWOT dalam Organisasi
Analisis SWOT dalam OrganisasiFahmi Hakam
 
Siklus & lingkungan kebijakan publik
Siklus & lingkungan kebijakan publikSiklus & lingkungan kebijakan publik
Siklus & lingkungan kebijakan publikSiti Sahati
 
Peranan DPRD dalam Penetapan APBD berdasarkan Anggaran Berbasis Kinerja
Peranan DPRD dalam Penetapan APBD berdasarkan Anggaran Berbasis KinerjaPeranan DPRD dalam Penetapan APBD berdasarkan Anggaran Berbasis Kinerja
Peranan DPRD dalam Penetapan APBD berdasarkan Anggaran Berbasis KinerjaDadang Solihin
 
24. agenda iii pka-modul manajemen resiko-
24. agenda iii pka-modul manajemen resiko-24. agenda iii pka-modul manajemen resiko-
24. agenda iii pka-modul manajemen resiko-temanna #LABEDDU
 
PM Risk management plan
PM Risk management planPM Risk management plan
PM Risk management planBagus Wahyu
 
3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakan3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakanMuh Firyal Akbar
 
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)Herlambang Bagus
 
Sm, annisa nurlestari, hapzi ali, analisis swot pada pt indofood sumber makmu...
Sm, annisa nurlestari, hapzi ali, analisis swot pada pt indofood sumber makmu...Sm, annisa nurlestari, hapzi ali, analisis swot pada pt indofood sumber makmu...
Sm, annisa nurlestari, hapzi ali, analisis swot pada pt indofood sumber makmu...Annisa Nurlestari
 
Pengukuran Good Governance Index
Pengukuran Good Governance IndexPengukuran Good Governance Index
Pengukuran Good Governance IndexDadang Solihin
 
Menulis Naskah Rekomendasi Kebijakan
Menulis Naskah Rekomendasi KebijakanMenulis Naskah Rekomendasi Kebijakan
Menulis Naskah Rekomendasi KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Bentuk negara : sistem pemerintahan polybios
Bentuk negara : sistem pemerintahan polybiosBentuk negara : sistem pemerintahan polybios
Bentuk negara : sistem pemerintahan polybiosAmphie Yuurisman
 
Sejarah new public service
Sejarah new public serviceSejarah new public service
Sejarah new public servicePutra Manurung
 
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan Kebijakan
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan KebijakanContoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan Kebijakan
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 

What's hot (20)

Analisis SWOT dalam Organisasi
Analisis SWOT dalam OrganisasiAnalisis SWOT dalam Organisasi
Analisis SWOT dalam Organisasi
 
Siklus & lingkungan kebijakan publik
Siklus & lingkungan kebijakan publikSiklus & lingkungan kebijakan publik
Siklus & lingkungan kebijakan publik
 
Pembeda sp, sop, spm, spp
Pembeda sp, sop, spm, sppPembeda sp, sop, spm, spp
Pembeda sp, sop, spm, spp
 
Peranan DPRD dalam Penetapan APBD berdasarkan Anggaran Berbasis Kinerja
Peranan DPRD dalam Penetapan APBD berdasarkan Anggaran Berbasis KinerjaPeranan DPRD dalam Penetapan APBD berdasarkan Anggaran Berbasis Kinerja
Peranan DPRD dalam Penetapan APBD berdasarkan Anggaran Berbasis Kinerja
 
PPT SIDANG SKRIPSI.pptx
PPT SIDANG SKRIPSI.pptxPPT SIDANG SKRIPSI.pptx
PPT SIDANG SKRIPSI.pptx
 
Hukum kepolisian
Hukum kepolisianHukum kepolisian
Hukum kepolisian
 
24. agenda iii pka-modul manajemen resiko-
24. agenda iii pka-modul manajemen resiko-24. agenda iii pka-modul manajemen resiko-
24. agenda iii pka-modul manajemen resiko-
 
PM Risk management plan
PM Risk management planPM Risk management plan
PM Risk management plan
 
3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakan3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakan
 
Organisasi Pemerintahan di Indonesia
Organisasi Pemerintahan di IndonesiaOrganisasi Pemerintahan di Indonesia
Organisasi Pemerintahan di Indonesia
 
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
 
Sm, annisa nurlestari, hapzi ali, analisis swot pada pt indofood sumber makmu...
Sm, annisa nurlestari, hapzi ali, analisis swot pada pt indofood sumber makmu...Sm, annisa nurlestari, hapzi ali, analisis swot pada pt indofood sumber makmu...
Sm, annisa nurlestari, hapzi ali, analisis swot pada pt indofood sumber makmu...
 
Pengukuran Good Governance Index
Pengukuran Good Governance IndexPengukuran Good Governance Index
Pengukuran Good Governance Index
 
Menulis Naskah Rekomendasi Kebijakan
Menulis Naskah Rekomendasi KebijakanMenulis Naskah Rekomendasi Kebijakan
Menulis Naskah Rekomendasi Kebijakan
 
Rencana kerja skpd
Rencana kerja skpdRencana kerja skpd
Rencana kerja skpd
 
Bentuk negara : sistem pemerintahan polybios
Bentuk negara : sistem pemerintahan polybiosBentuk negara : sistem pemerintahan polybios
Bentuk negara : sistem pemerintahan polybios
 
Sejarah new public service
Sejarah new public serviceSejarah new public service
Sejarah new public service
 
Administrasi Pembangunan
Administrasi PembangunanAdministrasi Pembangunan
Administrasi Pembangunan
 
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan Kebijakan
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan KebijakanContoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan Kebijakan
Contoh Penerapan Agenda Setting & Perumusan Kebijakan
 
siklus kebijakan publik
siklus kebijakan publiksiklus kebijakan publik
siklus kebijakan publik
 

Similar to Budaya Kerja Pemda

Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...
Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...
Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...Tri Widodo W. UTOMO
 
Modul whole of government cetak
Modul whole of government cetakModul whole of government cetak
Modul whole of government cetakHarun Surya
 
1. whole of government
1. whole of government1. whole of government
1. whole of governmentdillaazhar
 
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publik
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publikBudaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publik
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publikDian Herdiana
 
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GG
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GGPembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GG
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GGTri Widodo W. UTOMO
 
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasievaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasiBidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...
Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...
Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...Tri Widodo W. UTOMO
 
Kuliah Kebijakan Publik
Kuliah Kebijakan PublikKuliah Kebijakan Publik
Kuliah Kebijakan PublikDadang Solihin
 
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...Tri Widodo W. UTOMO
 
Uts tgl 21 10-2016 s2 manaj unpam r209
Uts tgl 21 10-2016 s2 manaj unpam r209Uts tgl 21 10-2016 s2 manaj unpam r209
Uts tgl 21 10-2016 s2 manaj unpam r209dinitilovaslamet
 
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...Deny Dermawan
 
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...Deny Dermawan
 
Aksi reaksi dan peran litbang
Aksi reaksi dan peran litbangAksi reaksi dan peran litbang
Aksi reaksi dan peran litbangRustan Amarullah
 
Materi 9 good governance dan otonomi daerah
Materi 9 good governance dan otonomi daerahMateri 9 good governance dan otonomi daerah
Materi 9 good governance dan otonomi daerahfirdaanggraeni2
 
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...Tri Widodo W. UTOMO
 
Etika Pelayanan Publik
Etika Pelayanan PublikEtika Pelayanan Publik
Etika Pelayanan PublikDian Herdiana
 

Similar to Budaya Kerja Pemda (20)

4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf
4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf
4. Policy Brief Inovasi Administrasi Negara (2021).pdf
 
Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...
Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...
Quo Vadis Reformasi Birokrasi, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi I...
 
Modul whole of government cetak
Modul whole of government cetakModul whole of government cetak
Modul whole of government cetak
 
1. whole of government
1. whole of government1. whole of government
1. whole of government
 
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publik
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publikBudaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publik
Budaya birokrasi dan efektifitas pelayanan publik
 
5. etika publik_
5. etika publik_5. etika publik_
5. etika publik_
 
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GG
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GGPembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GG
Pembangunan Administrasi Publik Dalam Mendukung RB dan GG
 
Kesiapan kabupaten/ kota kompetisi bidang pelayanan publik
Kesiapan kabupaten/ kota kompetisi bidang pelayanan publikKesiapan kabupaten/ kota kompetisi bidang pelayanan publik
Kesiapan kabupaten/ kota kompetisi bidang pelayanan publik
 
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasievaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
 
hilirisasi.pdf
hilirisasi.pdfhilirisasi.pdf
hilirisasi.pdf
 
Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...
Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...
Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...
 
Kuliah Kebijakan Publik
Kuliah Kebijakan PublikKuliah Kebijakan Publik
Kuliah Kebijakan Publik
 
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...
Sinergi Agenda Litbang Dalam Mendukung Kebijakan Strategis Daerah Kalimantan ...
 
Uts tgl 21 10-2016 s2 manaj unpam r209
Uts tgl 21 10-2016 s2 manaj unpam r209Uts tgl 21 10-2016 s2 manaj unpam r209
Uts tgl 21 10-2016 s2 manaj unpam r209
 
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...
 
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Corruption and Fraud, Univer...
 
Aksi reaksi dan peran litbang
Aksi reaksi dan peran litbangAksi reaksi dan peran litbang
Aksi reaksi dan peran litbang
 
Materi 9 good governance dan otonomi daerah
Materi 9 good governance dan otonomi daerahMateri 9 good governance dan otonomi daerah
Materi 9 good governance dan otonomi daerah
 
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...
Pengembangan Model Best Practices Penyelenggaraan Manajemen Pemerintah dan Pe...
 
Etika Pelayanan Publik
Etika Pelayanan PublikEtika Pelayanan Publik
Etika Pelayanan Publik
 

More from Tri Widodo W. UTOMO

Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanStrategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanTri Widodo W. UTOMO
 
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiInovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTransformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTri Widodo W. UTOMO
 
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluStrategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluTri Widodo W. UTOMO
 
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNPengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNTri Widodo W. UTOMO
 
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTri Widodo W. UTOMO
 
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikManajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikTri Widodo W. UTOMO
 
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarProspek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarTri Widodo W. UTOMO
 
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightGamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightTri Widodo W. UTOMO
 
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahSignifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahTri Widodo W. UTOMO
 
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaPeta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaTri Widodo W. UTOMO
 
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiKab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiTri Widodo W. UTOMO
 
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanPerumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Recharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangRecharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTransformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTransformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTri Widodo W. UTOMO
 
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaKorpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaTri Widodo W. UTOMO
 
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakInovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakTri Widodo W. UTOMO
 
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui Inovasi
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui InovasiMenjunjung Tinggi Sijunjung Melalui Inovasi
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui InovasiTri Widodo W. UTOMO
 

More from Tri Widodo W. UTOMO (20)

Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanStrategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
 
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiInovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
 
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTransformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
 
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
 
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluStrategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
 
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNPengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
 
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
 
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikManajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
 
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarProspek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
 
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightGamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
 
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahSignifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
 
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaPeta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
 
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiKab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
 
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanPerumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
 
Recharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangRecharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang Panjang
 
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTransformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
 
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTransformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
 
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaKorpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
 
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakInovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
 
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui Inovasi
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui InovasiMenjunjung Tinggi Sijunjung Melalui Inovasi
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui Inovasi
 

Recently uploaded

Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptxTata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptxBudyHermawan3
 
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptxPB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptxBudyHermawan3
 
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptxMembangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptxBudyHermawan3
 
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptxInovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptxBudyHermawan3
 
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptxPengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptxBudyHermawan3
 
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptxAparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptxBudyHermawan3
 
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama Desapptx
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama DesapptxPB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama Desapptx
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama DesapptxBudyHermawan3
 
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptxPB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptxBudyHermawan3
 
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024ssuser8905b3
 
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptxKonsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptxBudyHermawan3
 
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdfPemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdfHarisKunaifi2
 
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptxmars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptxSusatyoTriwilopo
 
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke IntegrasiPenyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasiasaliaraudhatii
 
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdf
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdfSalinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdf
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdfdrmdbriarren
 
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptxLAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptxBudyHermawan3
 

Recently uploaded (15)

Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptxTata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
 
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptxPB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
 
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptxMembangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
 
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptxInovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
 
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptxPengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
 
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptxAparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
 
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama Desapptx
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama DesapptxPB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama Desapptx
PB.2.3 KERJA SAMA DESA. Perspektif Kerja sama Desapptx
 
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptxPB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
 
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024
 
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptxKonsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
 
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdfPemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
 
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptxmars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
 
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke IntegrasiPenyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
 
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdf
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdfSalinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdf
Salinan Materi Sosialisasi PEKPPP 2022 - bukti dukung lebih rinci.pdf
 
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptxLAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
 

Budaya Kerja Pemda

  • 1.
  • 2.
  • 3. KAJIAN BUDAYA KERJA ORGANISASI PEMERINTAH DAERAH DI KALIMANTAN 129 + viii, 2005 Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) A. ISBN 000-00000-0-0 1. Budaya Kerja 2. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah Tim Peneliti : Gugum Gumelar, SH (Peneliti Utama) Drs. Asli Amin, M.Si (Peneliti) Meiliana, SE.,M.Si (Peneliti) Baharudin, S.Sos.,M.Pd (Pembantu Peneliti) Said Fadhil, S.IP (Pembantu Peneliti) Aryono Mulyono, BBA (Koordinator Penelitian) Sekterariat: Ma’mun, SE.,M.Si Mustari Kurniawati, S.IP Editor : Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA Siti Zakiyah, S.Si. Said Fadhil, SIP Windra Mariani, SH Diterbitkan Oleh: Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III) LAN Samarinda UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002 Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
  • 4. KATA PENGANTAR Secara luas telah diketahui bahwa birokrasi atau administrasi publik memiliki kewenangan bebas untuk bertindak (discretionary power atau freies ermessen) dalam rangka memberikan pelayanan umum (public service) serta menciptakan kesejahteraan masyarakat (bestuurzorg). Untuk itu, kepada birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan publik (public policy). Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan) atau larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula. Inilah implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik. Dengan kata lain, pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan aspek dampak dan / atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah sebabnya, sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering ditolak oleh masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan dimensi etis dan moral dalam masyarakat. Beberapa contoh konkrit kebijakan yang tidak populer dimata masyarakat adalah penggusuran dengan alasan untuk penetingan umum, pengurangan/penghapusan subsidi BBM/TDL, peningkatan tunjangan struktural pejabat tinggi, pembentukan lembaga- lembaga ekstra struktural yang membebani anggaran, dan sebagainya. Oleh karena itu, suatu kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai benar – salah, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai baik – buruk. Sebab, suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum tentu baik secara moral dan etis. Mengingat kelemahan dalam pendekatan yuridis yang selama ini diterapkan, maka perlu dikembangkan pendekatan baru dalam perumusan kebijakan publik, yakni pendekatan etika/moral yang berbasis pada nilai i
  • 5. budaya atau cultural bangsa. Dengan kata lain, perumusan (formulation) dan penerapan (implementation) kebijakan publik ini harus dilakukan sebaik mungkin, sebab suatu kebijakan pemerintah tidak hanya mengandung konsekuensi yuridis semata, tetapi juga konsekuensi etis atau moral. Konsekuensi dari pendekatan baru ini adalah bahwa suatu kebijakan publik harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1) keterikatannya untuk menjamin terselenggaranya kepentingan/kesejahteraan rakyat banyak, serta 2) keterikatannya dengan upaya untuk memajukan daerah/tanah air dimana kebijakan tersebut dirumuskan. Implikasi terpenting dari penonjolan dimensi etika dalam penyelenggaran negara ini adalah terbebasnya para pejabat negara dan pejabat pemerintahan dari praktek-praktek kotor dan tidak terpuji, misalnya KKN. Birokrasi yang sehat dan bermoral, merupakan prasyarat munculnya kebijakan publik yang berkualitas prima, dengan ciri-ciri: 1) mampu mengatasi permasalahan aktual yang sedang dihadapi, 2) mampu memberikan manfaat nyata secara positif dan konstruktif, 3) mampu memprediksi dampak-dampak negatif yang mungkin timbul beserta alternatif pemecahannya, 4) mampu memerankan diri sebagai fungsi mediasi dan moderasi dalam suatu kontroversi, 5) memiliki daya akseptabilitas dan aplikasi yang tinggi, serta 6) memiliki konsistensi dengan kebijakan terkait dan mampu menghindarkan kemungkinan terjadinya diskriminasi dalam implementasi. Mengingat pentingnya pendekatan budaya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi publik, maka kajian yang mencoba mengelaborasi sejauh mana nilai-nilai etika, moral, dan budaya bangsa telah terimplementasikan dalam praktek birokrasi dan pelayanan publik, kami pandang sangat penting. Dan dengan semangat untuk mendiseminasikan nilai-nilai itulah, PKP2A III LAN Samarinda mencoba mengkaji penerapan budaya kerja di lingkungan organisasi pemerintah daerah di Kalimantan. Dengan dilaksanakannya penelitiann ini, diharapkan dapat lebih memacu lagi kinerja organisasi, baik dalam level individu, kelompok, ii
  • 6. maupunn level kesisteman. Dengan selesainya penelitian ini, Tim Peneliti ingin menghaturkan ucapan terima kasih yang tak ternilai kepada nara sumber lapangan maupun nara sumber akademis. Juga kepada jajaran pimpinan LAN yang telah memberi arahan yang sangat penting, Tim menyampaikan penghargaan yang setinggi- tingginya. Tidak lupa kepada seluruh anggota Tim yang telah bekerja keras tak mengenal waktu, hanya jabat tangan eratlah yang bisa kami tawarkan. Kami sadar bahwa “tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, segala saran, masukan, kritik, koreksi, bahkann sanggahan akan kkami terima dengan hati dan tangan terbuka disertai ucapau terimakasih. Akhir kata, Tim berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi instansi pemerintah dalam upaya lebih membangun budaya kerja yang lebih baik. Samarinda, Desember 2005 Tim Peneliti iii
  • 7. DAFTAR ISI Kata Pengantar...................................................................................................... i Daftar Isi................................................................................................................. iv Daftar Tabel ........................................................................................................... vi Daftar Gambar ...................................................................................................... vii Ringkasan Eksekutif ............................................................................................ viii Executive Summary.............................................................................................. x Bab I Pendahuluan...................................................................................... 1 A. Latar Belakang............................................................................. 1 B. Perumusan Masalah .................................................................. 3 C. Kerangka Pikir tentang Perubahan Organisasi dan Perlunya Penerapan Budaya Kerja .......................................... 3 D. Ruang Lingkup ........................................................................... 11 E. Tujuan dan Kegunaan ............................................................... 11 F. Hasil yang Diharapkan.............................................................. 12 Bab II Makna dan Arah Pengembangan Budaya Kerja Nasional ...... 13 A. Makna Budaya Kerja.................................................................. 13 B. Pengembangan Budaya Kerja................................................... 15 C. Arah Pengembangan Budaya Kerja Nasional........................ 23 Bab III Metodologi Penelitian ..................................................................... 26 A. Rancangan Penelitian ................................................................ 26 B. Sampel / Responden Penelitian .............................................. 26 C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 26 D. Tahapan dan Jangka Waktu Penelitian ................................... 27 E. Variabel Penelitian...................................................................... 27 F. Definisi Operasional Variabel .................................................. 34 Bab IV Hasil dan Pembahasan..................................................................... 44 A. Implementasi Budaya Kerja Organisasi Pemda di Kalimantan .................................................................................. 44 B. Implementasi Budaya Kerja di 4 Kabupaten/Kota di Kalimantan ................................................................................. 47 1. Kota Singkawang, Kalimantan Barat................................. 47 2. Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur ................... 59 3. Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah .......................... 69 4. Kota Banjar Baru, Kalimantan Selatan .............................. 80 iv
  • 8. Bab V Penutup .............................................................................................. 92 A. Kesimpulan.................................................................................. 92 B. Rekomendasi .............................................................................. 93 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 99 LAMPIRAN Lampiran 1 Instrumen Penelitian Lampiran 1 SK Tim Pelaksana Kajian Budaya Kerja Organisasi Pemerintah Daerah Di Kalimantan v
  • 9. DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Daerah Sampel/Tujuan Kajian ................................................... 11 Tabel 3.1. Operasionalisasi Indikator Kedalam Sub-sub Indikator......... 28 Tabel 4.1. Implementasi Nilai-Nilai Budaya Kerja di 4 Kabupaten/Kota di Kalimantan................................................. 44 vi
  • 10. DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1. Peta Kota Singkawang.................................................................. 48 Gambar 4.2. Wilayah Administratif Kutai Timur........................................... 59 Gambar 4.3. Wilayah Administrasi Kabupaten Kapuas................................ 70 vii
  • 11. RINGKASAN EKSEKUTIF Keberhasilan birokrasi dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya tidak hanya tergantung pada kemampuan intelektual dan kompetensi manajerialnya saja, namun juga sangat ditentukan pada aspek sikap perilaku (behavior) dan budaya kerja di lingkungan tempat tugasnya (organizational culture). Itulah sebabnya, upaya membangun kompetensi intelektual dan manajerial harus diimbangi dengan upaya mendorong penerapan budaya kerja secara tepat dan optimal. Dalam rangka memperkuat dimensi budaya dalam sektor publik ini telah ditempuh beberapa langkah konkrit antara lain penataran P4, Gerakan Disiplin Nasional (GDN), penerapan instrumen penilaian dengan DP3, implementasi Waskat (pengawasan melekat) dan Tim Anti Korupsi, dan sebagainya. Namun sejauh ini belum nampak hasil seperti yang diharapkan, bahkan dalam era otonomi ini cenderung ditemukan banyak fenomena penyimpangan yang bersumber dari lemahnya budaya kerja seperti KKN, kasus-kasus asusila, rendahnya tingkat kehadiran pegawai pada waktu-waktu tertentu seperti lebaran, konflik kepentingan antar instansi (contoh: antara eksekutif dan legislatif), dan sebagainya. Mengingat hal tersebut, maka kajian ini mencoba mengidentifikasi kondisi obyektif dan implementasi budaya kerja organisasi pemerintahan, serta memotret sejauhmana praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah telah bersesuaian dengan prinsip-prinsip budaya kerja. Dari hasil identifikasi tadi, diharapkan kajian ini dapat menawarkan alternatif kebijakan yang lebih operasional dalam menumbuhkan dan membangun budaya kerja organisasi pemerintah daerah, sehingga dapat memacu kinerja pelayanan sektor publik secara lebih baik. Dalam hal ini, prinsip-prinsip budaya kerja yang dinilai terdiri dari 17 pasang, masing-masing adalah: komitmen terhadap visi dan misi, wewenang dan tanggung jawab, keikhlasan dan kejujuran, integritas dan profesionalisme, kreativitas dan kepekaan terhadap lingkungan tugas, kepemimpinan dan keteladanan, kebersamaan dan dinamika kelompok, ketepatan dan kecepatan, rasionalitas dan emosi, keteguhan dan ketegasan, disiplin dan keteraturan bekerja, keberanian dan kearifan dalam mengambil keputusan/menganai konflik, dedikasi dan loyalitas, semangat dan motivasi, ketekunan dan kesabaran, keadilan dan keterbukaan, serta penguasaan iptek. Hasil penelitian menggambarkan bahwa secara umum daerah belum menaruh perhatian yang memadai untuk memperkuat budaya kerja di lingkungannya masing-masing. Dari 4 (empat) daerah yang di survey, baru Kabupaten Kutai Timur yang sudah punya Peraturan Daerah tentang viii
  • 12. implementasi budaya kerja untuk organisasi pemerintah daerah. Itupun masih lebih banyak bersifat “retorika” karena belum dapat berjalan dengan baik sesuai kaidah yang ada. Disamping itu, di seluruh daerah juga belum ditemui adanya kelompok-kelompok budaya kerja (KBK) yang berfungsi untuk menunjang pelaksanaan tupoksi organisasi. Belum optimalnya penerapan budaya kerja bagi organisasi perangkat daerah ini nampaknya bersumber dari beberapa kondisi, antara lain belum adanya pemahaman secara utuh diantara jajaran aparatur daerah mengenai esensi dan manfaat budaya kerja. Selain itu upaya sosialisasi dan diseminasi dari instansi Pusat tentang tahapan dan teknik penerapan budaya kerja juga belum terprogram secara sistematis. Oleh karena prinsip-prinsip budaya kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Menpan No. 25/KEP/M.PAN/4/2002 belum terimplementasikan dengan baik, maka belum dapat diketahui sejauhmana pengaruh 17 variable budaya kerja terhadap peningkatan kinerja pembangunan dan pemerintahan daerah. Hasil penelitian baru dapat mengidentifikasikan komponen-komponen budaya kerja yang relatif sudah baik, serta komponen-komponen budaya kerja lainnya yang masih memerlukan peningkatan atau pembenahan. Meskipun demikian, kajian ini merekomendasikan agar upaya peningkatan budaya kerja dilakukan secara komprehensif dengan penekanan pada variable/komponen tertentu. Upaya peningkatan praktek budaya kerja sendiri dapat ditempuh melalui pembentukan KBK untuk setiap SKPD (satuan kerja pemerintah daerah), pelatihan dan bimbingan teknis tentang aspek-aspek startegis budaya kerja, serta peningkatan pengawasan dan monitoring/evaluasi program dan kegiatan di setiap SKPD. ix
  • 13. EXECUTIVE SUMMARY STUDY ON ORGANIZATIONAL CULTURE OF LOCAL GOVERNMENT IN KALIMANTAN Bureaucracy success in implementing its main duty and function does not merely depend on the ability of its management intellectuality and competency, but also on behavior aspect and organizational culture. Therefore, the effort of building intellectual and management competency should be balanced by the effort of implementing the precise and optimum organizational culture. In the framework of empowering the culture dimension in public sector, there are some concrete steps that have been taken such as guidelines for carrying out the principles of Pancasila training (penataran P4), National Discipline Movement (Gerakan Disiplin Nasional), application of evaluation instrument by using DP3, Close Inspection, Anti-Corruption Team, etc. However, the result is not satisfaction. In this autonomy era, many of the deviation phenomena such as corruption, collusion, and nepotism (KKN), immoral cases, the low-level attendance of employees in certain circumstances like Lebaran celebration, conflict of interest among institutions (for example: between executive and legislative) come from the weakness of organizational culture. Considering the above matters, this study tries to identify the objective condition and the implementation of organizational culture of the government, and also to portray the execution of territorial government that suits the organizational culture. From this identification, it is expected that this study can be considered as an alternative for a more operational policy in developing and building organizational culture of regional government in order to improve the performance service in public area. There are 17 sets of organizational culture that are evaluated i.e. commitment toward vision and mission, authority and responsibility, sincerity and honesty, integrity and professionalism, creativity and sensitivity toward work environment, leadership and model, togetherness and group dynamics, accuracy and velocity, rationalization and emotion, dependability and firmness, discipline and work regularity, bravery and wisdom in making decision/handling conflicts, dedication and loyalty, enthusiasm and motivation, diligence and patience, equality and openness, and mastery of information and technology. Result of the study shows that in general, regional government has not put enough attention to strengthen the organizational culture in its territory. Among 4 surveyed regions, only East Kutai Regency has Local Regulation on x
  • 14. the implementation of organizational culture for regional government organization. However, the regulation is “rhetorical” since it does not run accordingly. Besides, there are not any organizational culture groups found to support the Application of Organization Main Duty and Function (TUPOKSI). The lack application of organizational culture in this region is caused by some reasons like inadequate comprehension among local apparatus about the essence and function of organizational culture. Moreover, the socialization and dissemination from central institute about the stage and technic of organizational culture application is not systematically planned. Since the principals of organizational culture as stated in Menpan (State Minister for Control of Machinery of the State) decree No. 25/KEP/M.PAN/4/2002 have not been implemented respectably, as a result, it is difficult to find out the effect of 17 variables of organizational culture toward the quality development of local government. Recent research can identify components of organizational culture which are relatively good, and other components which still need improvement. However, this study recommends that the effort of organizational culture should be done comprehensively by emphasizing on certain variable/components. The effort of improving organizational culture practice can be undertaken through establishing KBK for every Local Government Work Unit (Satuan Kerja Pemerintah Daerah-SKPD), technical training and consultation on the strategic aspects of organizational culture, and also increasing the control and monitoring/evaluation of the program and activity in every SKPD. xi
  • 15. BAB I PENDAHULUAN B. Latar Belakang Semenjak lebih dari satu abad yang lalu, birokrasi di seluruh belahan dunia telah memiliki stigma yang negatif. Hal ini nampak dari pernyataan Kanselir Jerman periode 1870-1890, Otto von Bismarck, pada tahun 1891 bahwa “birokrasi adalah apa yang mendatangkan kesengsaraan bagi kita”. Keluhan-keluhan tentang inefisiensi, pelayanan yang lambat, biaya siluman, sampai KKN sudah menjadi rahasia umum. Pada skala yang lebih makro dapat dilihat fenomena-fenomena berupa tingginya indeks korupsi versi Transparency International yang menempatkan Indonesia di posisi ke-6 terkorup diantara 158 negara, atau country risk (indeks tingkat risiko) Indonesia yang berada pada posisi ke-150, dari 185 negara yang di survei. Dari aspek pembangunan SDM, Human Development Report 2003 yang dipublikasikan oleh UNDP melaporkan bahwa dari 173 negara di dunia, Indonesia ternyata berada di posisi 110, di bawah Philipina, Cina, dan bahkan Vietnam. Selain itu, World Investment Report (WIR) 2003 membuat peringkat indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI) 1999-2000, diantara 140 negara, Indonesia ternyata menempati urutan ke-138, dua di bawahnya adalah Gabon dan Suriname. Tidak aneh jika kemudian berbagai negara gencar melakukan program reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi sendiri memang sebuah proses dan tuntutan yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, birokrasi pada hakekatnya adalah mesin negara (the machine of the state) yang berfungsi menjalankan seluruh tugas pemerintahan dan pembangunan dalam rangka merealisasikan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam konstitusi negara. Selanjutnya, inti dari birokrasi adalah SDM aparatur. Hal ini 1
  • 16. mengandung pengertian bahwa peningkatan kompetensi individual pegawai dan kompetensi jabatan (struktural maupun fungsional), serta pembenahan perilaku dan etika pejabat publik perlu mendapat perhatian serius sebagai bagian integral dari proses reformasi birokrasi. Dengan kata lain, profesionalisme birokrasi akan dapat dicerminkan dari kemampuan dan kualitas SDM aparaturnya. Berbagai upaya sudah dijalankan, mulai dari penataran P4, Gerakan Disiplin Nasional (GDN), instrumen penilaian dengan DP3, sampai implementasi Waskat (pengawasan melekat) dan Tim Anti Korupsi, namun sejauh ini belum nampak hasil seperti yang diharapkan. Pada tataran kesisteman juga telah dilakukan berbagai upaya dengan berbagai pendekatan teoritis/konseptual seperti privatisasi dan perubahan ekonomi perencanaan menjadi ekonomi pasar (Savas, 1987; World Bank, 1996); reinventing government (David Osborne dan Ted Gaebler, 1992); knowlegde- creating organization (Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi, 1995); learning organization sebagai disiplin ke-5 (Peter Senge, 1995); banishing bureaucracy (David Osborne dan Peter Plastrik, 1996); dan lain-lain. Namun nampaknya, kondisi dan kinerja birokrasi masih belum menampakkan hasil positif. Paparan di atas menyiratkan bahwa ada sesuatu yang salah pada organisasi pemerintahan di Indonesia, termasuk para aparatnya. Salah satu yang patut diperhatikan adalah masalah budaya kerja organisasi, termasuk pula masalah sikap profesionalisme, etika, semangat pengabdian, komitmen terhadap tugas, serta motivasi dari setiap insan pelayanan publik. Dalam kaitan ini, MENPAN telah merumuskan 17 perilaku (persepsi, sikap dan cara kerja) sebagai indikator peningkatan budaya kerja yaitu perilaku- perilaku yang dianggap perlu ditingkatkan untuk peningkatan fungsi pelayanan aparatur negara (baik kepada masyarakat, maupun ke dalam instansi sendiri dan antar instansi pemerintah). Guna mengkaji lebih jauh tentang implementasi kebijakan MENPAN di tingkat aparat pemerintah di daerah, serta mengidentifikasi kondisi 2
  • 17. empirik budaya kerja aparatur di daerah, maka dipandang perlu untuk melakukan kajian tentang budaya kerja ini, khususnya untuk konteks Pemerintah Daerah di Kalimantan. C. Perumusan Masalah Dari berbagai fenomena yang dipaparkan pada latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan adanya 2 (dua) permasalahan utama, yakni: 1. Masih ditemuinya praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sesuai dengan budaya kerja organisasi sehingga kurang dapat berkontribusi secara optimal untuk menciptakan efektivitas, efisiensi, dan kinerja organisasi pemerintahan daerah secara optimal. 2. Adanya indikasi bahwa kebijakan pemerintah daerah selama ini kurang terprogram secara sistematis untuk menciptakan budaya kerja yang kondusif di lingkungannya masing-masing. D. Kerangka Pikir tentang Perubahan Organisasi dan Perlunya Penerapan Budaya Kerja Perlunya penerapan budaya kerja dalam instansi pemerintah tidak dapat dilepaskan dari adanya perubahan paradigma organisasi sektor publik. Beberapa perubahan yang terjadi seiring dengan bergulirnya reformasi total sistem ketatanegaraan ini antara lain dari pola manajemen gotong royong menjadi renumerasi, dari paternalistis menjadi rasionalistis, dari individualistis menjadi kolektivitas, dari otoriter menjadi demokratis, dari sentralistis menjadi desentralistis, dari tertutup menjadi terbuka, dari kaku menjadi luwes, dari birokratis menjadi debirokratis, dari “government” menjadi “governance”, serta dari “bad governance” menjadi “good governance”. Secara umum dapat dikatakan bahwa arah perubahan tersebut adalah bergesernya pola organisasi mekanik menjadi organisasi organis. Paradigma mekanik (mechanism paradigm) menganggap organisasi sebagai suatu mesin yang bekerja dengan suatu keteraturan dan keajegan tertentu 3
  • 18. yang menekankan adanya suatu tingkat produktivitas tertentu, yang ingin mencapai taraf efisiensi tertentu, dan yang dikendalikan oleh suatu legitimasi otoritas pimpinan (Thoha, 1988: 133). Dalam model organisasi mekanik ini tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien melalui mekanisme pembagian kerja, spesialisasi dan hubungan kerja yang hierarkhis. Ajaran ini terutama banyak dikembangkan dari pandangan Adam Smith dan Frederick Taylor yang mengusulkan adanya pembagian efisien dari tenaga kerja melalui spesialisme, atau pengendalian efektif dari tenaga kerja melalui hierarki vertikal (Obolensky, 1996: ix-x). Dengan kata lain – menurut paradigma mekanik – efisiensi dalam organisasi dapat ditingkatkan hanya apabila terdapat pengerangkaan (strucuturing) dan pengendalian (controlling) terhadap partisipasi anggota organisasi. Oleh karenanya, dalam organisasi mekanik banyak diterapkan upaya pemotivasian pegawai melalui pemberian insentif, sementara disisi lain cara kerja pegawai didasarkan pada spesialisasi yang diawasi secara ketat. Hasilnya adalah suatu organisasi yang berstruktur piramida, menerapkan kesatuan komando (chain of command), jenjang pengawasan yang seringkali berlapis, spesialisasi berdasarkan fungsi, serta penerapan pembagian kerja lini dan staf (line and staff). Sebaliknya paradigma organik (organism paradigm) memandang organisasi sebagai suatu sistem yang menekankan pada unsur manusia sebagai pelaku utama. Dalam model organisasi ini, efisiensi dan efektivitas bukan merupakan aspek utama dalam pencapaian tujuan organisasi, sebab produk (output) tidak dipandang sebagai hal yang utama. Aspek yang dianggap lebih penting dalam organisasi model organik ini adalah adanya keseimbangan antara faktor manusia dengan faktor lingkungannya. Dikaitkan dengan sifat organisasi, maka pada paradigma mekanik, organisasi lebih menganut sistem tertutup (close system), dimana organisasi dilihat sebagai suatu kesatuan yang merdeka serta tidak ada ikatan dengan variabel-variabel lainnya (Thoha, 1988: 133). Dengan demikian jika muncul 4
  • 19. berbagai persoalan, maka faktor penyebab serta metode pemecahannya selalu dikembalikan kepada internal factors seperti susunan organisasi, tugas pokok dan fungsi, atau hubungan formal; sedangkan faktor-faktor lingkungan diluar organisasi (external factors) yang mempunyai kontribusi juga terhadap munculnya persoalan tersebut, justru tidak diperhitungkan. Selama ini paradigma organisasi mekanik banyak diterapkan pada sistem kelembagaan pemerintah yang antara lain mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) adanya spesialisasi tugas, 2) mengutamakan sarana dan pertanggungjawaban, 3) inisiatif penyelesaian konflik di dalam organisasi berasal dari atasan, 4) interaksi antar anggota organisasi cenderung vertikal dengan gaya yang diarahkan untuk mencapai kepatuhan, 5) kentalnya sistem komando dan hubungan struktural antara atasan dengan bawahan. Dengan ciri-ciri demikian, model organisasi mekanik juga disebut sebagai model birokratis, yang menurut Weber justru merupakan tipe ideal dari organisasi (Thoha, 1988: 138). Pada suatu mllieu masyarakat dengan tingkat kehidupan yang relatif statis, atau pada suatu lingkungan yang belum banyak menerima arus perubahan dari lingkungan sekitarnya, maka tipe organisasi ini dapat berjalan dengan baik serta dapat menjadi instrumen yang efektif dalam rangka mencapai tujuan bersama. Akan tetapi pada masyarakat yang tingkat kehidupannya tinggi dan dinamis serta banyak berinteraksi dengan kelompok-kelompok lainnya yang seringkali lebih besar, maka sifat-sifat dan ciri-cirinya yang kaku jelas tidak dapat dipertahankan lagi. Model organisasi mekanik ini banyak berpengaruh terhadap administrasi negara – khususnya di negara-negara sedang berkembang – sebab organisasi di lingkungan pemerintahan bercirikan model organisasi birokrasi, yaitu struktur organisasi tipikal yang berusaha mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan manusia di dalam suatu organisasi (Bennis dalam Thoha, 1988: 151). 5
  • 20. Berbeda pada organisasi mekanik, maka pada organisasi yang bertipe organik lebih banyak menerapkan pendekatan sistem terbuka (open system) yang menitikberatkan faktor manusia dan cara manusia tersebut berperilaku dalam kegiatan-kegiatan organisasi senyatanya. Oleh karenanya, dalam pendekatan ini faktor lingkungan yang memiliki kemungkinan pengaruh terhadap organisasi, sangat diperhatikan. Dalam perspektif manajemen perubahan (change management), perubahan dalam suatu organisasi sebagaimana diungkapkan diatas adalah sebuah keniscayaan. Dalam hal ini, organisasi modern sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, baik pada skala mikro maupun makro, baik pada scope internal maupun eksternal. Hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan selalu berubah, sedangkan organisasi harus selalu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya. Mengenai adanya perubahan lingkungan ini, sampai-sampai Stephen R. Covey memberikan istilah baru bagi dunia yang selalu berubah yaitu “a white water world” (Hesselbern, et. al., 1996: 150). Perubahan lingkungan yang terjadi dan mempengaruhi organisasi dapat dicontohkan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi telah menciptakan masyarakat informasi tingkat tinggi (high information mass) dengan ciri-ciri antara lain kemudahan dan kecepatan akses terhadap informasi dari manapun dan kemanapun, kemampuan melakukan hubungan dengan siapapun tanpa terhalang oleh batas-batas teritorial (borderless society), dan sebagainya. Contoh lain yang dapat ditunjukkan disini adalah ekspansi pembangunan industri dan laju pertumbuhan ekonomi yang pesat, sering melahirkan dampak-dampak sampingan (externalities) seperti membengkaknya pengangguran, menyebarnya pemukiman kumuh (slums) di perkotaan, tingginya angka kriminalitas, kesenjangan, dan sebagainya. Dengan adanya perubahan-perubahan seperti tersebut diatas, maka suatu organisasi (baik sektor publik maupun privat), jelas tidak mungkin 6
  • 21. dapat bertahan tanpa melakukan perubahan-perubahan, baik secara inkremental maupun secara evolusioner. Dengan kata lain, adanya perubahan paradigmatis diatas, tentu harus diikuti dengan upaya penyesuaian organisatoris baik pada dimensi struktur maupun dimensi kultur. Pada dimensi struktur, beberapa penyesuaian yang diperlukan meliputi penyusunan aturan atau regulasi, struktur kelembagaan dan departementasi, hubungan antar lembaga, mekanisme kerja dan SOP (standard operating procedures), analisis lingkungan internal dan eksternal (ALI & ALE), dan sebagainya. Sementara pada dimensi kultur, yang diperlukan adalah penguatan nilai-nilai, pola pikir / mindset, motivasi dan kepribadian, sikap dan perilaku, dan sebagainya. Dalam kaitan dengan evolusi organisatoris ini, Morgan (1996: 180 – 181) menyatakan bahwa organisasi selalu menghadapi metamorfosa seperti metamorfosanya ulat menjadi kupu-kupu. Artinya, hanya ada dua pilihan bagi organisasi, yaitu berubah atau mati. Namun pilihan untuk berubah merupakan pilihan yang tepat, sebab bagi organisasi yang tidak memiliki fleksibilitas yang tinggi, tidak mungkin akan dapat bertahan hidup kecuali mereka mengubah atau menstruktur kembali organisasinya. Pernyataan Morgan tersebut menyiratkan bahwa suatu organisasi hendaknya menerapkan sistem terbuka (open system). Menurut Nigro & Nigro (1980: 137-138), karakteristik organisasi sistem terbuka adalah sebagai berikut: 1. Secara ajeg mencari dan memerlukan sumber-sumber (inputs) dalam bentuk material dan kemanusiaan. 2. Organisasi mentransformasikan inputs dalam bentuk hasil-hasil seperti barang-barang dan jasa pelayanan melalui proses teknologi dan sosial. 3. Organisasi sistem terbuka mengirimkan hasil produksinya ke pihak luar yaitu lingkungannya, dan hasil-hasil tersebut merupakan bahan masukan bagi organisasi kelompok-kelompok dan atau individu- individu lainnya. 7
  • 22. 4. Struktur organisasi dikembangkan di sekitar kegiatan-kegiatan yang telah mempola dalam bentuk yang ajeg, yaitu dalam putaran masukan, proses dan keluaran. 5. Organisasi hidup dengan mengembangkan suatu mekanisme yang beragam untuk meneliti, menyimpan dan mengalokasikan sumber- sumber yang langka secara efisien. 6. Organisasi sistem terbuka lebih memperhatikan tujuan-tujuan organisasi dengan mengontrol kegiatan-kegiatan baik didalam maupun diluar organisasi, karena adanya umpan balik berupa informasi mengenai keadaan lingkungan, pelaksanaan organisasi dan kegiatan- kegiatan kedalam. 7. Adanya keseimbangan dan kestabilan antara faktor-faktor didalam dan diluar organisasi yang dicapai melalui adaptasi terhadap perubahan- perubahan lingkungan. 8. Pengembangan struktural dan spesialisasi tugas yang dilakukan setiap waktu merupakan jawaban-jawaban umum yang sistematik dalam rangka mencari sumber-sumber dan adaptasi. Selanjutnya untuk bisa merubah suatu organisasi dari bentuknya yang lama kearah yang lebih baru, Morgan (1996: 12) mensyaratkan bahwa organisasi tersebut perlu melakukan inovasi. Inovasi sendiri diartikannya sebagai perubahan yang kreatif dengan tujuan memprakarsai masa depan yang baru, organisasi baru dengan nilai baru. Dan oleh karena perubahan organisasi yang lama kearah yang baru ini ditempuh melalui inovasi, maka organisasi yang baru dapat disebut pula inovisasi. Adapun inovasi tadi dapat dikatakan sebagai proses kreatif jika dapat melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: mengubah arah, mencari sesuatu yang baru, melihat ke sekitarnya, membuat sesuatu yang berbeda terjadi, memikirkan hal-hal yang baru, memberikan ide-ide baru, mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin, mencegah cara menghakimi, mengabaikan hal-hal yang pasti, mengendalikan dua pandangan yang berbeda pada waktu yang bersamaan, 8
  • 23. melihat sesuatu dengan kacamata baru, membiarkan pilihan tetap terbuka, kerja keras, membesar-besarkan sesuatu hal, mau bertanya, menemukan pilihan atau alternatif, serta memiliki lebih dari satu pilihan (Morgan, 1996 : 15-16). Organisasi yang tidak hanya mendasarkan diri pada aturan-aturan formal, namun juga mendorong tumbuhnya proses inovasi (innovative organization) dan pembelajaran (learning organization) guna menciptakan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya kreativitas, ketajaman intuisi, daya imaginasi, kemampuan adaptasi, dan sebagainya, dapat dikatakan sebagai organisasi yang telah menerapkan prinsip-prinsip budaya kerja. Dalam hal ini, budaya kerja sangat dibutuhkan di lingkungan organisasi pemerintahan diyakini dapat menjadi kekuatan pendorong dan pengungkit (leverage) untuk mencapai kinerja yang optimum. Sebab, budaya kerja merupakan pendekatan baru manajemen modern yang lebih mendasarkan diri pada nilai-nilai kebersamaan, keseimbangan, kesejajaran, dan keterbukaan, serta saling percaya dan saling menghargai. Disamping itu, penerapan budaya kerja diharapkan juga dapat merangsang tumbuhnya kreativitas, intuisi, motivasi, dan komitmen dari seluruh anggota suatu organisasi. Dengan demikian, pendekatan budaya (cultural approach) yang diusung dapat menjadi pelengkap dari pendekatan struktural kedinasan (structural approach) yang biasa diterapkan dalam organisasi mekanis seperti birokrasi pemerintahan (Weberian Bureaucracy). Sebagai ilustrasi, di Malaysia telah berlangsung perubahan budaya dan kerja iklim organisasi dari pola-pola lama yang menghambat kemajuan, kepada kondisi baru yang menuntut kebersamaan dan perbaikan kinerja. Beberapa perubahan nilai tadi adalah perubahan dari suka buang waktu menjadi tidak suka buang waktu, dari tunggu arahan baru kerja menjadi tidak tunggu arahan kerja, dari bekerja sendiri/tidak minta pandangan orang menjadi selalu berbincang atau syura (bermusyawarah), dari tidak peduli dengan kualitas hasil kerja menjadi menghasilkan kerja yang terbaik, 9
  • 24. dari tunggu waktu pulang menjadi tidak kenal waktu, dari tidak suka menolong menjadi suka menolong, dari bekerja setengah hati menjadi bekerja sepenuh hati, dari suka membantah menjadi taat kepada ketua / arahan, dari mencontoh yang tidak baik dan tidak bisa menjadi teladan menjadi mencontoh yang baik dan menjadi contoh bagi orang lain, dari selalu masam menjadi selalu senyum, dari benci pelanggan menjadi memberi keutamaan kepada pelanggan, dari tidak bangga dengan organisasi dan hasil kerja menjadi bangga dengan organisasi dan hasil kerja; dari hasad, bohong, dengki, tidak dapat dipercaya menjadi mengamalkan prinsip jujur, benar, ikhlas, amanah; dari membuka rahasia orang menjadi menutup aib orang, dari tidak sabar dan suka marah-marah menjadi sabar dan jarang marah, dari kasar dan sombong menjadi lembut dan rendah diri, dari suka mencari kesalahan orang menjadi mencari kebaikan orang, serta dari suka mengampu (menjilat) menjadi memuji pada tempatnya. Pada tataran individual, perubahan budaya kerja organisasi tadi juga diikuti oleh perubahan pada tataran pola kepemimpinan (leadership). Dalam hal ini, terjadi perubahan dari konsep, posisi dan peran “manajer” menjadi konsep, posisi dan peran “leader”. Konsep “manajer” biasanya merupakan posisi yang bercirikan dan/atau memerankan fungsi-fungsi mengatur (regulating), merupakan tiruan, mempertahankan kondisi yang ada, mengandalkan pada pengawasan yang kaku (strict controlling), memiliki pandangan jangka pendek (short-term vission), bertanya bagaimana dan kapan, memandang ke bawah, menerima status quo, prajurit klasik yang baik, serta melakukan hal dengan benar (do the thing right). Sedangkan konsep “leader” biasanya merupakan posisi yang bercirikan atau memerankan fungsi-fungsi inovasi (inovating), asli, mengembangkan (developing), menumbuhkan inspirasi (inspiring), membangun kepercayaan (trust building), memiliki pandangan jangka panjang (long-term vission), bertanya apa dan bagaimana, memandang cakrawala, menantang dirinya sendiri (self-challenging), serta melakukan hal yang benar (do the right thing). 10
  • 25. Satu hal yang dibutuhkan adalah bagaimana membumikan konsep dan prinsip-prinsip budaya kerja tadi kedalam praktek sehari-hari prosesi organisasi. Disini, diperlukan adanya instrumen pendukung baik dalam bentuk pedoman pelaksanaan, format-format atau formulir pelaksanaan program kerja, mekanisme dan tahapan yang harus dijalankan, maupun upaya evaluasi dan pemantauan keberhasilannya. Hal-hal inilah yang antara lain akan dikaji lebih lanjut dan direkomendasikan dalam penelitian ini. E. Ruang Lingkup Pada dasarnya, kajian ini akan difokuskan pada aspek-aspek budaya kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Menpan. Sedangkan dari jangkauan wilayah, kajian ini akan mengkaji 4 (empat) Kabupaten/Kota yang setiap kabupaten/kota mewakili 1 Propinsi di Kalimantan. Adapun penentuan sampelnya dilakukan secara Stratified Purposive Sampling (pengambilan sampel dengan tujuan tertentu yang dilakukan berstrata), dengan daerah-daerah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: Tabel 1.1 Daerah Sampel/Tujuan Kajian No. Wilayah Daerah Sampel 1 Kalimantan Timur • Kab. Kutai Timur 2 Kalimantan Barat • Kota Singkawang 3 Kalimantan Selatan • Kab. Banjar Baru 4 Kalimantan Tengah • Kab. Kapuas F. Tujuan dan Kegunaan Penyelenggaraan kajian ini diharapkan dapat mencapai tujuan- tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kondisi dan implementasi budaya kerja organisasi 11
  • 26. pemerintahan, atau menilai dan mengkaji sejauhmana praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah telah bersesuaian dengan prinsip-prinsip budaya kerja sebagaimana ditetapkan oleh MENPAN. 2. Untuk mencari alternatif kebijakan yang lebih operasional dalam menumbuhkan dan membangun budaya kerja organisasi pemerintah daerah, sehingga dapat memacu kinerja organisasi sektor publik secara lebih baik. Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil kajian ini adalah meningkatnya praktek dan implementasi kebijakan tentang budaya kerja di kalangan pemerintah daerah, sehingga dapat mendukung kebijakan dan/atau upaya untuk memperkuat sikap mental dan orientasi kerja bagi SDM Aparatur yang ada sekaligus memperkokoh kinerja organisasi secara menyeluruh. G. Hasil yang diharapkan Hasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya sebuah laporan tentang permasalahan, kondisi dan arah penataan kewenangan dan kelembagaan daerah, khususnya di wilayah Kalimantan. Disamping itu, laporan hasil kajian ini berisi pula tentang rekomendasi kebijakan tentang aspek-aspek penataan kewenangan dan kelembagaan daerah, serta langkah-langkah atau tahapan yang diperlukan. 12
  • 27. BAB II KERANGKA TEORETIS DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN BUDAYA KERJA NASIONAL A. Arti dan Makna Budaya Kerja Budaya Kerja secara harfiahnya terdiri dari dari dua kata yaitu budaya dan kerja, kata budaya berasal dari bahasa sanksekerta ”budhayah”, bentuk jamak dari budhi yang artinya ‘akal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran, nilai-nilai dan sikap mental’. Budhi daya berarti memberdayakan budi sebagaimana alam bahasa inggris dikenal culture yang artinya mengolah atau mengerjakan sesuatu (pertanian) yang kemudian berkembang sebagai cara manuasia mengaktualisasikan rasa (value), karsa (creativity) dan karya-karyanya (performance). Menurut Koentjaraningrat (2000), Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Dari pengertian tersebut budaya mengandung makna sebagai berikut: 1). Adanya pola nilai, sikap tingkah laku termasuk bahasa, hasil karsa dan karya; 2) Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup, yang yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku; 3). Budaya merupakan hasil dari pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan serta proses seleksi terhadap norma- norma yang ada dalam cara dirinya berinteraksi sosial atau menempatkan dirinya di tengah-tengah lingkungan tertentu; dan 4). Dalam proses budaya terdapat proses saling mempengaruhi dan saling ketergantungan, baik sosial maupun lingkungan non-sosial. Menurut Ahmad Fuad Fanani dalam Harian Sinar Harapan tanggal 12 Desember 2005, Budaya adalah sistem nilai, yaitu nilai-nilai yang sudah menjadi suatu sistem dan tidak berdiri lepas satu-satu, dan menjadi keyakinan 13
  • 28. bersama untuk berimajinasi dan berekspresi. Sedangkan kata kerja dapat diartikan sebagai berikut: 1) Kerja adalah hukuman. Manusia sebenarnya hidup bahagia tanpa kerja di Taman Firdaus, tetapi karena ia jatuh ke dalam dosa, maka ia dihukum: untuk bisa hidup sebentar manusia harus bekerja banting tulang cari makan. Salah satu bentuk hukuman adalah kerja paksa; 2) Kerja adalah beban. Bagi orang malas, kerja adalah beban. Juga bagi kaum budak atau pekerja yang berada dalam posisi lemah; 3) Kerja adalah kewajiban. Dalam birokrasi atau kontraktual, kerja adalah kewajiban, guna memenuhi perintah atau mernbayar hutang; 4) Kerja adalah sumber penghasilan. Hal ini jelas. Kerja sebagai sumber nafkah merupakan anggapan dasar masyarakat pada umumnya; 5) Kerja adalah kesenangan. Kerja sebagai kesenangan seakan hobi atau sport. Hal ini ada kaitannya dengan leisure, sampai pada yang workaholic; 6) Kerja adalah gengsi, prestise. Kerja sebagai gengsi berkaitan dengan status dan jabatan. Jabatan struktural misalnya, jauh lebih diidamkan ketimbang jabatan fungsional; 7) Kerja adalah aktualisasi diri. Di sini kerja dikaitkan dengan peran, cita-cita atau ambisi. Bagi seseorang yang menganut anggapan dasar ini, lebih baik jadi kepala ayam ketimbang ekor sapi; 8) Kerja adalah panggilan jiwa. Kerja di sini berkaitan dengan bakat. Dari sini tumbuh profesionalisme dan pengabdian kepada kerja; 9) Kerja adalah pengabdian dengan tulus, tanpa pamrih; 10) Kerja adalah hidup. Hidup diabdikan dan diisi unt'ak dan dengan kerja; 11) Kerja adalah ibadah. Kerja merupakan bukti pengabdian dan rasa syukur untuk mengolah dan memenuhi panggilan illahi; dan 12) Kerja adalah suci. Kerja harus dihormati dan jangan dicemarkan dengan perbuatan dosa, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan. menurut Jalaluddin Rachmat (2003) "Kerja" adalah segala kegiatan ekonomis yang dimaksudkan untuk memperoleh upah, baik berupa kerja fisik material atau kerja intelektual. Budaya Kerja sebagai refleksi dari Kata ”Budaya” dan ”kerja” dalam Keputusan menteri Pendayagunaan Aparatur negara RI 14
  • 29. No.25/KEP/M.PAN/4/2002 diartikan sebagai sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya sehari-hari. Proses pembentukan sikap dan perilaku itu diarahkan kepada terciptanya aparatur negara yang profesional, bermoral yang memiliki persepsi yang tepat terhadap pekerjaan, sehingga prestasi kerja merupakan aktualisasi jati dirinya. Dalam ”Pengembangan Budaya Kerja dalam Perspektif Islam” (2003), Budaya Kerja dimaknakan sebagai pola tingkah laku dan nilai-nilai yang disepakati karyawan dalam bekerja, misalnya perilaku dalam menjalankan tugas, karier, promosi, reward dan sebagainya. Sementara itu, Triguno (1996) menyetakan bahwa Budaya Kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebgai nilai-nilai yang menjadi sifat , kebisaan dankekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau orgamisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita- cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai ”kerja” atau ”bekerja”. Dalam seminar KORPRI Daerah Istimewa Yogyakarta, November 1992, berkesimpulan bahwa: 1). Budaya Kerja adalah salah satu komponen kualitas manusia yang sangat melekat dengan identitas bangsa dan menjadi tolok ukur dasar dalam pembangunan; 2). Budaya Kerja dapat menentukan integritas bangsa dan menjadi penyumbang utama dalam menjamin kesinambungan kehidupan bangsa; dan 3). Budaya Kerja erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dimilikinya terutama falsafah bangsa yang mampu mendorong prestasi kerja setinggi-tingginya. B. Pengembangan Budaya Kerja Sejak awal tahun 1970-an pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk menegakkan disiplin aparatur sebagai dasar dalam pengembangan budaya kerja, antara lain : kebijakan di bidang kepegawaian, seperti Undang-Undang (UU) No. 8/1974 tentang pokok-pokok kepegawaian, 15
  • 30. Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, UU No. 43/1999 tentang Perubahan atas UU No.8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, PP No. 42/2003 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Dalam Pasal 5 UU No. 8/1974 dinyatakan bahwa:’ Setiap Pegawai Negeri wajib mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab”. Adapun dalam PP No. 30/1980 tersebut dinyatakan adanya tanggung jawab dan larangan yang harus dipatuhioleh seluruh Pegawai Negeri. Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No.43/1999 dinyatakan bahwa Pegawai Negeri berkedudukan sebagai Aparatur Negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Kemudian pada Pasal 4 UU No. 43/1999 dinyatakan bahwa setiap Pegawai Negeri wajib setia dan taat kepada Pancasila, Uud 1945, Negara, dan Pemerintah serta wajib menjaga perastuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya, dalam PP No. 42/2004 dinyatakan bahwa Jiwa Korps Pegawai Negeri Sipil adalah rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan, kerjasama, tanggungjawab, dedikasi, disiplin, kreativitas,kebanggaan dan rasa memiliki organisasi Pegawai Negeri Sipil dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dalam PP ini dinyatakan bahwa Kode Etik Pegawai Negeri Sipil adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil di dalam melaksanakan tugasnya dalam pergaulan hidup sehari-hari. PP ini mengatur bagaiman etika PNS dalam dalam bernegara, dalam berorganisasi terhadap diri sendiri dan terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut di atas berkaitan dengan upaya mewujudkan Good governance, bersih dan bebas dari KKN. Dalam hubungan ini, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. 16
  • 31. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, menegaskan komitmen kita bersama. Berkenaan dengan pemberantasan Korupsi telah dikeluarkan UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua undang-undang tersebut yaitu UU No. 28/1999 dan UU No. 31/1999 selanjutnya mengalami perubahan. Perubahan tersebut dimaksudkan antara lain untuk menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman peraturan hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Perubahan atas UU No. 31/ 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan dengan membentuk UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada tahun 2001. Masih dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, dikeluarkan UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 30/2002 tersebut mencabut UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Melalui UU No. 30/2002 tersebut telah dibentuk lembaga yang khusus menangani pemberantasan korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai kebijakan tersebut di atas pada dasarnya melandasi pengembangan budaya kerja aparatur Negara, yang antara lain telah dituangkan dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 04/1991 tentang Pedoman Pemasyarakatan Budaya Kerja, sebagai pemacu bagi aparatur pemerintah dalam upaya pengembangan dan penerapan budaya kerja di lingkungan birokrasi. Dalam perkembangannya, untuk lebih meningkatkan komitmen aparatur dalam mengembangkan dan menerapkan budaya kerja, Kementerian PAN-RI mengeluarkan Keputusan No. 25/KEP/M.PAN/ 4/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Aparatur Negara yang mencakup: (1) Kebijakan 17
  • 32. Pengembangan Budaya Kerja Aparatur; (2) Nilai-nilai Dasar Budaya Kerja Aparatur Negara; (3) Penerapan Nilai-nilai Budaya Kerja Aparatur Negara; dan (4) Sosialisasi Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. Pedoman pengembangan Budaya Kerja P,paratur Negara tersebut merupakan pedoman dalam melaksanakan budaya kerja aparatur negara pada lingkungan instansi/ lembaga masing-masing, untuk menumbuhkan dan meningkatkan semangat/ etos kerja, disiplin dan tanggung jawab moral aparaturnya secara terus- menerus dan konsisten, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Berbagai upaya yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan tersebut di atas, menegaskan pentingnya kaidah, norma dan nilai dalam pengembangan dan penerapan budaya kerja aparatur dalam melaksanakan tugas yang menjadi kewenangan dan tanggungjawabnya. Tugas Aparatur adalah melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan sebagai upaya untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sosok aparatur pemerintah yang mampu melaksanakan tugas secara profesional dengan dilandasi kaidah, nilai dan norma sehingga akan tercipta etika kerja yang penuh tanggungjawab, sebagai suatu budaya kerja aparatur negara. Pengembangan konkritisasi budaya kerja aparatur negara yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat secara baik dan benar, serta berkelanjutan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu segera diwujudkan. Hal ini untuk menghadapi tantangan yang dihadapi aparatur negara yang cukup memprihatinkan, terutama karena dalam praktek selama ini para pemimpin dan aparatur negara masih sering mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja aparatur negara. Masalah mendasar dalam memahami dan mengimplementasikan budaya kerja itu merupakan tugas berat yang ditempuh secara utuh menyeluruh dalam waktu panjang, karena menyangkut proses pembangunan karakter, sikap dan perilaku serta peradaban bangsa. Sebagai budaya maka budaya kerja aparatur negara dapat dikenali wujudnya dalam bentuk nilai-nilai yang terkandung didalamnya, 18
  • 33. institusi atau sistem kerja, sikap dan perilaku SDM aparatur yang melaksanakannya. Dalam Keputusan MENPAN Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002, tiga unsur penting dan saling berinteraksi dalam pengembangan budaya kerja yaitu nilai-nilai, institusi /sistem kerja dan SDM aparatur negara, serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Ketiga unsur tersebut menjadi perhatian dalam menata budaya kerja, bermula dari pilihan nilai-nilai apa yang hendak dipakai sebagai acuan, kemudian diinternalisasikan dalam setiap pribadi aparatur negara dan diimplementasikan dalam setiap sistem, prosedur dan tatalaksana sehingga menghasilkan kinerja berupa produk atau jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat. Pengembangan budaya kerja aparatur negara agar dapat lebih berhasil dan tidak mengulang kegagalan dimasa lalu yang lebih bersifat indoktrinasi, maka strategi dan metode penerapan nilai-nilai budaya kerja, perlu disesuaikan dengan lingkup, jenis dan bobot masalah yang dihadapi oleh aparatur negara dalam melaksanakan tugas di lingkungan kerja masing masing. Disamping itu juga menggunakan sistem dan metode kerja tepat guna sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat universal dan terbuka. Peningkatan kinerja aparatur negara baik secara individu perunit organisasi instansi dan secara nasional akan dapat berdayaguna dan berhasilguna bila nilai-nilai dasar budaya kerja dapat diterapkan melalui proses sosialisasi, intemalisasi, dan institusionalisasi dengan cara sebagai berikut: a. Penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk pengembangan jati diri, sikap dan perilaku aparatur negara sebagai pelayan masyarakat. b. Penerapan nilai-nilai budaya kerja melalui pengembangan kerjasama dan dinamika kelompok. c. Penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki kebijakan public. d. Penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan 19
  • 34. manajemen dan pelayanan masyarakat. e. Penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan pengawasan, evaluasi kinerja dan penegakkan hukum secara konsisten. Budaya kerja ini diharapkan tidak terhenti hanya sebagai wacana ataupun indoktrinasi saja, melainkan benar-benar bisa terwujud sebagai "Standard Operating Procedure " yang diharapkan dapat membantu organisasi pemerintah dalam memperbaiki proses kinerjanya. Pendekatan dapat ditempuh secara sinergis yaitu sosialisasi dari dalam aparatur negara sendiri, dipadukan dengan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi kepada masyarakat ini sangat strategis karena dapat membentuk opini publik yang diharapkan dapat berdampak positif terhadap perubahan lingkungan sosial yang mampu "memaksa" perubahan sikap dan perilaku setiap aparatur negara. Langkah-langkah pokok sosialisasi dan pengembangan budaya kerja aparatur negara : a. Internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai budaya kerja kedalam proses dan sistem pelaksanaan setiap tugas dan pekerjaan sehari-hari disetiap unit kerja instansi pemerintah melalui: 1). Komitmen dan keteladanan dari pimpinan instansi untuk melaksanakan secara nyata dan konsisten nilai-nilai budaya kerja sesuai dengan visi, misi, aturan-aturan yang berlaku dalam melaksanakan tugas sehari-hari bukan hanya sekedar mengucapkan atau menyuruh orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak melaksanakannya; 2). Pengembangan dinamika kelompok kerja untuk meningkatkan kinerja dan memperbaiki tatalaksana serta metode kerja secara berkelanjutan; 3). Penyelenggaraan pendidikan dan latihan pengembangan budaya kerja, baik melalui diklat reguler mauput diklat teknis budaya kerja disemua jenjang. 20
  • 35. b. Mengembangkan partisipasi dan opini publik untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mendukung program pengembangan budaya kerja aparatur negara. Untuk ini sejauh mungkin memanfaatkan jasa media massa baik cetak maupun elektronik. Para pakar, tokoh-tokoh masyarakat dan LSM didorong untuk berpartisipasi dan menyampaikan pandangan mengenai budaya kerja ini untuk meningkatkan kinerja aparatur negara, utamanya dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Melalui konsepsi Kerangka Dasar Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, setiap Pemimpin Unit Kerja Instansi Pemerintah di pusat dan daerah diharapkan segera mengambil prakarsa dan langkah-langkah sebagai berikut : a. Membentuk kelompok-kelompok kerja atau mengaktifkan kelompok kerja yang telah ada sesuai dengan kebutuhan. b. Memahami kembali isi, jiwa dan semangat UUD 45, Visi dan Misi, Tupoksi, Renstra dan Rapeta Instansinya masing-masing, kemudian mendalami panduan umum pengembangan budaya kerja aparatur Negara. c. Melakukan evaluasi kinerja instansinya secara menyeluruh, pencapaian sasaran-sasaran program utama, tugas pokok dan fungsi sesuai dengan kewenangan serta bidang tugasnya. d. Identifikasi dan inventarisasi masalah-masalah mendasar penyebab rendahnya kinerja aparatur negara, rendahnya kualitas pelayanan masyarakat dan terjadinya praktek KKN dilingkungan instansinya selama ini. e. Melakukan analisis secara sistematis dan mendalam akar yang telah teridentifikasi dan terinventerisasi pada langkah sebelubnya, masalah terutama dilihat dari segi pelaksanaan peraturan perundangan, pelaksanaan prinsip-prinsip manajemen, tata pemerintahan yang baik serta sikap dan perilaku aparatur negara, untuk menemukan altenatif pemecahan terbaik yang dapat dilaksanakan. 21
  • 36. f. Menyusun rencana strategik pengembangan budaya kerja aparatur negara, untuk peningkatan kinerja instansi, memperbaiki pelayanan masyarakat, dan mempercepat pemberantasan KKN untuk jangka waktu 5 (Lima) tahun di lingkungan kerjanya mulai Tahun 2002. g. Menyusun rencana teknis operasional pengembangan budaya kerja setiap tahun di lingkungan kerjanya secara jelas rinci dan praktis, terutama untuk peningkatan kinerja instansi, mempercepat pemberantasan praktek KKN dan memperbaiki pelayanan masyarakat. h. Melaksanakan dan memperbaiki program kerja pengembangan budaya kerja tersebut secara bertahap dan berkelanjutan cnemperbaiki pelayanan masyarakatdalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat. i. Memantau, mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan pengembaagan budaya kerja tersebut, secara terus menerus. j. Menerapkan hasil-hasil kerja kelompok pengembangan budaya kerja untuk meningkatkan kinerja dilingkungan instansi. sesuai dengan lingkup dan bidang tugasnya. k. Melaporkan perkembangan pelaksanaan program tersebut pada setiap akhir tahun kepada pimpinan Instansinya secara hierarkis/fungsional dan disampaikan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Adapun sasaran dalam jangka pendek dan menengah yang ingin dicapai meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) Menumbuhkembangkan nilai-nilai moral dan budaya kerja produktif kepada setiap aparatur negara yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila, agama, tradisi, dan nilai-nilai kerja produktif modem, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; 2) Memperbaiki persepsi, pola pikir dan perilaku aparatur negara yang menyimpang dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat, sekaligus untuk mempercepat pemberantasan praktek KKN; 3) Meningkatkan kinerja aparatur negara melalui kelompok-kelompok kerja 22
  • 37. dan forum forum profesional, agar lebih peka, kreatif dan dinamis untuk memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat serta dayasaing di dalam negeri maupun intemasional; 4) Memperbaiki citra aparatur negara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada aparatur pemerintah. C. Arah Pengembangan Budaya Kerja Nasional Profesor Sudjoko dalam diskusi yang membahas buku Batas Nalar Karya Donald B. Calne tanggal 23 Februari 2006 mengatakan bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang menjauh dari moral dan nalar semua orang mencurigai sesamanya dan hal tersebut merupakan benih dari perpecahan. Dan jika tak hati-hati, hal tersebut akan membahayakan Indonesia sendiri. Runtuhnya moral yang melanda bangsa Indonesia adalah merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi terjadi mulai dari birokrasi paling tingggi hingga tingkat RT/RW sehingga Republik Indonesia tergolong dalam negara paling korup di dunia. Tahun 2005, dari potret moral, suap dan KKN adalah tahun yang sangat buram, memprihatinkan dan tidak manusiawi. Keprihatinan ini diperkuat lagi oleh laporan Transparency International Indonesia (Bali Post, 24/12) yang mengidentifikasi sejumlah departemen dan lembaga negara yang sangat korup di Tanah Air. Dalam diskusi yang sama Sutradara Gintings juga menyatakan bahwa hingga saat ini reformasi dan demokrasi belum menyentuh moral dan nalar kehidupan berbangsa sehingga diperlukan strategi budaya untuk menyinergikan moral dan nalar, baik dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara. Reformasi baru menyentuh bidang politik akan tetapi reformasi belum menyentuh birokrasi. Reformasi politik jauh lebih maju dibandingkan dengan reformasi birokrasi, akan tetapi keputusan 23
  • 38. politik yang dibuat hanya sedikit saja yang bisa dilaksanakan. Tidak salah bila sering muncul ungkapan reformasi tanpa akhir, bahkan terkesan seperti bangsa kehilangan pegangan dan pedoman yang disebabkan oleh sulitnya keluar dari keterpurukan, meskipun era reformasi itu sendiri telah digulirkan sejak pertengahan tahun 1998. Pemberantasan KKN yang tidak kunjung tuntas, malah terkesan semakin parah yang semakin menguatkan ungkapan tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam harian Kompas tanggal 31 Desember 2005 menginginkan tumbuhnya budaya unggul (cultural of excellence) yang berlandaskan kesadaran akan kemampuan diri sendiri sehingga dapat menjadi identitas dan semangat kelembagaan Negara. Budaya unggul didefinisikan sebagai semangat dan kultur untuk mencapai kemajuan dengan cara kita harus bisa, kita harus berbuat yang terbaik. Lebih lanjut Presiden mengharapkan budaya unggul ini dapat terwujud menjadi kultur nasional yang diharapkan dapat tertanam di universitas, sekolah-sekolah, lembaga-lembaga pemerintah, partai politik, militer, polisi, provinsi, Kabupaten, Kota dan lain-lain. Dengan budaya unggul, para intelektual bisa lebih mengembangkan kemampuan diri, tak sekedar menjadi pemikir akan tetapi juga mewujudkan gagasan- gagasannya. Pengelolaan pemerintahan dengan baik akan dapat mengatasi semua masalah yang muncul. Budaya unggul merupakan tantangan bagi setiap aparatur negara yang diharapkan menjadi arah pengembangan Budaya Kerja Nasional. Budaya unggul diwujudkan melaui budaya kerja keras, proaktif, bersinergi, budaya saling percaya, konsistensi menuju tujuan bersama, cerdas dan cakap menguasai ilmu pengetahuan disertai orientasi nilai yang mendukungnya. Budaya unggul bangsa dapat menjadi semangat yang mendorong kemajuan bangsa, budaya unggul sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW yang ditandai dalam perjalanan Nabi Muhammad dari 24
  • 39. Mekah ke Madinah. Pada zaman Aristoteles Budaya Unggul terwujud dalam dalam bentuk desain, seni, dan praktis demokratisasi. Dalam Keputusan Menteri Negara PAN, Pengembangan budaya kerja aparatur negara, diarahkan untuk meningkatkan kinerja pemerintah melalui pembinaan aparatur yang etis, bermoral, berdisiplin, profesional, produktif, dan bertanggung jawab, dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik, sekaligus untuk memantapkan dan memelihara persatuan bangsa dan menjaga integritas nasional secara lestari. Rumusan arah kebijakan tersebut terkesan sangat luas, walaupun cukup dipahami bahwa budaya adalah suatu konstruksi struktural yang terbentuk oleh paradigma yang diinginkan untuk menguasai wacana (discourse) yang hidup ditengah sekelompok masyarakat. Pengembangan budaya kerja lebih terbatas pada instrumen yang secara umum berlaku dalam ikhtiar meningkatkan kinerja suatu organisasi. Adapun pola pengembangan di setiap instansi tentu saja akan dipengaruhi oleh nilai, tujuan dan keadaan eksternal yang melingkupi instansi yang bersangkutan sebagai suatu identitas. 25
  • 40. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian persepsi yang sesuai dengan tujuannya dirancang untuk dapat menguraikan, menjawab, dan menjabarkan kondisi dan implementasi Budaya Kerja di lingkungan Pemerintah daerah di wilayah Kalimantan dalam rangka peningkatan disiplin dan produktivitas kinerja pelayanan kepada publik. B. Sampel / Responden Penelitian Penilaian terhadap penerapan Budaya Kerja pada dasarnya perlu dilakukan terhadap seluruh instansi pemerintahan, baik di tingkat Pusat maupun Daerah, baik unsur pelaksana tupoksi daerah (Dinas) maupun unsur penunjang (Lembaga Teknis dan Sekretariat). Namun mengingat berbagai keterbatasan yang ada, maka penelitian ini akan memfokuskan hanya pada Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota di wilayah Kalimantan dengan pengambilan sampel menggunakan metode Stratified Purposive Sampling (Pengambilan sampel dengan tujuan tertentu yang dilakukan berstrata). C. Teknik Pengumpulan Data Sedangkan teknik dan/atau instrumen pengumpulan data yang digunakan ada 2 (dua) cara, yaitu: • Penyebaran dan pengisian kuesioner. • Penjaringan data sekunder untuk menunjang analisis, seperti laporan kegiatan, hasil penelitian, dokumen perencanaan, dan sebagainya. 26
  • 41. D. Tahapan dan Jangka Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama 9 (sembilan) bulan mulai awal Aparil 2005 hingga akhir Desember 2005. Adapun tahapan kegiatan secara umum adalah sebagai berikut: • Persiapan penelitian: terdiri dari kegiatan penyusunan kerangka acuan (terms of reference) dan instrumen penelitian (questionnaire); penetapan lokasi dan sampel penelitian; penyempurnaan desain penelitian (reseacrh design); serta persiapan administratif lainnya (pembentukan tim, rapat-rapat pembahasan, rencana survei lapangan, persuratan, dll). • Pengumpulan Data, dilakukan studi referensi dan kunjungan lapangan guna memotret fenomena yang terjadi; • Pengolahan data dan Analisis: data yang terkumpul diolah untuk kemudian dianalisis. Jika diperlukan, data aktual yang terolah perlu dilakukan klarifikasi ulang ke lokus penelitian untuk memperoleh akurasi informasi, sehingga analisis dapat dijamin lebih akurat. • Penulisan Laporan: hasil analisis dalam bentuk draft laporan akhir diseminarkan untuk memperoleh pandangan dan pengukuhan para pakar, selanjutnya disusun laporan akhir dan dilakukan pencetakan untuk dijadikan bahan pengambilan keputusan, pegangan konsultasi manajemen kebijakan di daerah, serta pegangan bagi daerah obyek penelitian. E. Variabel Penelitian Penelitian ini akan memfokuskan pada 17 (tujuh) indikator Budaya Kerja sebagaimana dirumuskan oleh MENPAN, yakni: Komitmen terhadap Visi, Misi, Organisasi, Tujuan, Kebijakan dan Perundang-Undangan yang berlaku; Wewenang dan Tanggung Jawab, Keikhlasan dan Kejujuran, Integritas dan Profesionalisme, Kreativitas dan Kepekaan terhadap lingkungan tugas, Kepemimpinan dan keteladanan, Kebersamaan dan Dinamika Kelompok/ Organisasi, Ketepatan (keakurasian dan Kecepatan, Rasionalitas dan Emosi, Keteguhan dan Ketegasan, Disiplin dan keteraturan kerja, Keberanian dan 27
  • 42. Kearifan dalam Mengambil Kepeutusan/ Menangani Konflik, Dedikasi dan Loyalitas, Semangat dan Motovasi, Ketekunan dan Kesabaran, Keadilan dan Keterbukaan, Penguasaan Iptek yang diperlukan untuk melaksanakan Tugas/ Pekerjaannya, Selanjutnya, ketujuh belas indikator tadi akan dijabarkan lebih lanjut ke dalam bentuk sub-sub indikator, sedangkan pengukurannya dengan menggunakan skala Likert 1 sampai dengan 5, selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif yang diinterpretasikan secara naratif. Tabel 3.1 Operasionalisasi Indikator Kedalam Sub-sub Indikator No Indikator Budaya Kerja Sub-Sub Indiaktor 1. Komitmen terhadap Visi, Misi, Organisasi, Tujuan, Kebijakan dan Perundang- Undangan yang berlaku • Tujuan dan rencana Kerja yang dibuat oleh pimpinan untuk kurun waktu tertentu sudah baik dan sesuai dengan visi dan misi organisasi • Program kerja yang dicanangkan untuk jangka waktu tertentu sudah realistis dan sesuai dengan visi dan misi organisasi • Realisasi pelaksanaan program/kegiatan yang dicanangkan sudah mulai menggambarkan atau mendekati visi dan misi organisasi yang ditetapkan. • Program/kegiatan kerja yang direncanakan dan/atau yang dilaksanakan dari periode waktu tertentu, sudah dengan baik menggambarkan kesinambungan dalam rangka pencapaian visi dan misi organisasi. 2. Wewenang dan Tanggung Jawab • Pimpinan dan pegawai dalam lingkungan organisasi ketika melaksanakan hak dan kekuasaannya untuk menjalankan tugas/pekerjaan kantor dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, sudah dilakukan dengan pendekatan yang baik dan adil. • Selalu menampilkan sikap untuk menanggung segala sesuatu yang terjadi baik itu hal yang baik ataupun hal yang buruk (atau berani mengambil resiko) dalam menjalankan tugas dan pekerjaan kantor yang menjadi tanggungjawab pegawai. • Memiliki sikap dan cara kerja yang tidak menyimpang dalam menggunakan kewenangan yang dilimpahkan kepadanya, baik terhadap pihak internal organisasi ataupun terhadap masyarakat yang menjadi konsumen organisasi. 28
  • 43. • Setiap pegawai yang memiliki kewenangan dalam organisasi cenderung menggunakan kewenangannya untuk menciptakan iklim/ kondisi kerja serta arahan kerja secara baik sehingga setiap anggota organisasi dapat melaksanakan tugas/pekerjaan secara produktif, efektif, dan efisien. 3. Keikhlasan dan Kejujuran • Segala barang dan jasa yang dipergunakan oleh pimpinan dan/atau setiap pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan/atau dalam operasional kegiatan internal organisasi sudah dipertanggungjawabkan dengan baik dan terbuka. • Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat para pegawai dalam lingkungan organisasi sudah memberikan layanan administratif yang baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku dalam organisasi. • Setiap pegawai di lingkungan organisasi dalam memberikan laporan kerja kepada atasan atau pimpinannya sudah dilakukan secara baik atau sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. • Pimpinan dan setiap pegawai dengan ikhlas dan jujur menjalankan tugas dan kewenangannya sehingga tercapai kualitas kerja yang tinggi dan memuaskan. 4. Integritas dan Profesionalisme • Pimpinan dan pegawai dalam lingkungan organisasi ketika bekerja selama ini sudah menunjukkan pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan perilaku yang bermutu dan baik dalam mengembangkan organisasi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. • Pimpinan dan pegawai dalam organisasi sudah dengan baik menampakkan keahlian tertentu sesuai bidang tugasnya di organisasi dalam melaksanakan kegiatan kantor dan pemberian layanan kepada masyarakat. • Setiap pegawai di lingkungan organisasi sudah mempunyai kecakapan dan menguasai segala seluk beluk bidang tugasnya. • Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab organisasi para pegawai di lingkungan organisasi sudah menampakkan hasil kerja yang produktif, berkualitas, efektif, dan efisien. 5. Kreativitas dan Kepekaan • Setiap pegawai selalu berusaha memberikan ide dan saran yang dipandang baik dan berguna kepada 29
  • 44. terhadap lingkungan tugas atasan dan pengembangan organisasi. • Setiap pegawai memiliki cara-cara kerja baru dalam menangani persoalan dan pekerjaan yang ada dalam organisasi. • Setiap pegawai mampu mengetahui kelemahan dan kekuatan organisasi serta memiliki kemampuan antisipatif terhadap peluang dan hambatan yang ada atau datang dari lingkungan organisasi. • Setiap pegawai selalu memiliki kemauan dan kemampuan untuk melakukan proses pembelajaran terhadap persoalan, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi serta isu-isu yang berkembang dalam masyarakat yang berkaitan dengan organisasi. 6. Kepemimpinan dan keteladanan • Pimpinan dan/atau rekan kerja selalu mampu mengemukakan pendapat dan arahan yang jelas, benar, dan tepat kepada bawahan dan/atau sesama pegawai dalam organisasi. • Memiliki kemampuan yang baik untuk menggerakkan bawahan dalam melakukan tugas- tugas pokok dari setiap unit kerja organisasi guna pencapaian tujuan organisasi. • Pemimpin dan juga setiap pegawai, pada umumnya menjadi contoh yang baik dalam kehadiran kerja, pekerjaan (tugas dan tanggung jawab) ataupun sikap dan perilaku. • Pimpinan secara umum memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau suri teladan kerja kepada bawahan dan rekan kerja, bertindak tegas serta tidak memihak. 7. Kebersamaan dan Dinamika Kelompok/ Organisasi • Secara umum memiliki usaha dan sikap untuk terjadinya proses saling memberitahukan secara terus-menerus tentang tugas dan pekerjaan dalam organisasi. • Menunjukkan kemampuan untuk melakukan berbagai kegiatan, tugas, dan pekerjaan secara bersama-sama atau kooperatif dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. • Dinamis atau mampu menempatkan diri dan bekerja pada setiap situasi kerja di lingkungan organisasi. • Selalu menyelesaikan persoalan-persoalan organisasi dengan pertemuan-pertemuan dan/atau rapat organisasi. 30
  • 45. 8. Ketepatan (keakurasian dan Kecepatan • Sudah dengan baik menanggapi arahan dan instruksi atasan atau rekan kerja secara tepat dan cepat berkaitan dengan tugas dan/atau pekerjaan yang dilimpahkan. • Pegawai secara umum melaksanakan tugas dan/atau pekerjaan secara terukur, tepat, dan cepat. • Pada umumnya memberikan laporan tugas dan/atau pekerjaan secara tepat dan tepat waktu. • Dalam bertindak atau melakukan tugas yang diberikan pimpinan atau rekan kerja, saat itu segera dilakukan dengan cepat dan tepat. 9. Rasionalitas dan Emosi • Mampu bekerja secara logis dan sistematis terhadap setiap tugas dan pekerjaan kantor juga tugas-tugas yang berhubungan dengan pemberian pelayanan kepada konsumen, baik internal (rekan kerja di unit kerja lain) atau eksternal (masyarakat yang berkepentingan dengan organisasi). • Pimpinan dan pegawai sudah dapat membuat perencanaan kegiatan secara matang, masuk akal, dan aplikatif. • Setiap pegawai memiliki perilaku bertindak dan bekerja secara dewasa tanpa menyepelekan atau menyinggung perasaan rekan kerja ataupun bawahan. • Setiap pegawai dapat mengoperasionalisasikan uraian tugas pokok organisasi (unit kerja) dalam tindakan atau program/kegiatan yang nyata dan masuk akal. 10. Keteguhan dan Ketegasan • Kokoh mempertahankan pendapat dan ide-ide yang berhubungan dengan pembinaan dan pengembangan organisasi. • Kesetiaan atau berpegang teguh pada visi, misi, dan tujuan organisasi, serta terhadap peraturan, janji KORPRI, dan kebijaksanaan di dalam organisasi. • Secara umum memberi arahan atau bimbingan terhadap bawahan dan/atau sesama pegawai secara jelas dan terarah dalam rangka pengembangan diri sesama pegawai, pengembangan organisasi, dan pencapaian tujuan organisasi. • Memiliki kepastian dalam bertindak terhadap tugas dan pekerjaan yang merupakan wewenang dan tanggung jawab pegawai dalam kaitan dengan 31
  • 46. pencapaian tujuan organisasi. 11. Disiplin dan keteraturan kerja • Masuk dan pulang kerja sesuai dengan ketentuan- ketentuan jam kerja yang berlaku dalam organisasi. Dan jika pulang sebelum jam kerja selalu meminta izin kepada pihak yang berwenang di dalam organisasi. • Memperlihatkan tindakan yang mentaati peraturan perudangan-undangan yang berlaku serta kebijaksanaan internal organisasi. • Menunjukkan secara menyeluruh sikap dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara tertib sesuai dengan bidang tugasnya. • Memiliki sikap dan tindakan yang menunjukkan keteraturan dalam bekerja, memberikan laporan tugas dan kewenangan sesuai dengan beban kerja yang diberikan, serta menyimpan dan memilihara secara tertib barang-barang milik organisasi. 12. Keberanian dan Kearifan dalam Mengambil Kepeutusan/ Menangani Konflik • Bila pegawai menghadapi persoalan-persoalan yang penting dan kritis atau terjadinya konflik dalam organisasi, sudah dengan baikkah pimpinan menyikapinya dengan tindakan keputusan yang bijaksana dalam menyelesaikan persoalan tersebut. • Setiap keputusan yang diambil berkaitan dengan keberlangsungan kehidupan organisasi dilakukan secara baik dengan menyertakan semua pegawai dalam organisasi. • Pimpinan dan setiap pegawai dalam organisasi sudah memiliki sikap percaya diri yang kuat dalam mengambil keputusan berkenaan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya dalam organisasi. • Apakah setiap konflik yang muncul dalam organisasi sudah dengan baik dikelola atau diselesaikan secara baik demi produktivitas, efisiensi, dan efektifitas organisasi. 13. Dedikasi dan Loyalitas • Menunjukkan secara optimal pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan yang diberikan demi eksistensi dan pengembangan organisasi. • Mau dan mampu bekerja di luar jam kerja (lembur kerja) serta ditugaskan keluar lingkungan organisasi dalam kaitan dengan ruang lingkup kegiatan 32
  • 47. organisasi. • Menjunjung tinggi kehormatan organisasi, negara, dan senantiasa mengedepankan kepentingan dan tujuan organisasi daripada kepentingan dan tujuan pribadi di dalam pelaksanakan tugas dan kegiatan di dalam organisasi. • Patuh terhadap kebijakan organisasi, pimpinan, dan peraturan yang berlaku dalam organisasi dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. 14. Semangat dan Motovasi • Menunjukkan aktivitas yang giat dan bergairah dalam menerima tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh atasan ataupun yang sudah menjadi kewajiban dari pegawai sesuai tugas pokok dari unit yang bersangkutan di dalam organisasi. • Memunculkan dorongan yang positif terhadap rekan kerja baik melalui contoh perbuatan dalam keseharian bekerja di organisasi ataupun melalui arahan dan nasihat yang membimbing. • Selalu berusaha menjadi teladan yang baik dalam menjalankan tugas dan kewajiban di organisasi. • Melihat setiap pekerjaan yang baru sebagai suatu tantangan untuk pengembangan diri dan organisasi. 15. Ketekunan dan Kesabaran • Menunjukkan keseriusan atau kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab di organisasi. • Menunjukkan kesungguhan dalam mematuhi setiap peraturan perudangan-undangan, kebijaksanaan, dan tujuan organisasi. • Memiliki ketenangan hati dalam menghadapi berbagai persoalan internal organisasi. • Mampu menyelesaikan setiap tugas dan tanggung jawab organisasi dengan tenang dan tidak tergesa- gesa demi tercapainya produktivitas, efektifitas, dan efisiensi organisasi. 16. Keadilan dan Keterbukaan • Memperlihatkan pelayanan administratif, konsultasi, ataupun informasi kepada semua masyarakat yang memerlukan bantuan atau membutuhkan tenaga dan pikiran yang berkaitan dengan organisasi. • Memiliki kemauan untuk tanggung-gugat secara terbuka, hal-hal di dalam organisasi yang berkaitan dengan kepentingan atau urusan masyarakat. • Tidak sewenang-wenang membuat kebijakan atau 33
  • 48. keputusan yang berkaitan dengan kepentingan internal organisasi dan masyarakat. • Memiliki kemauan untuk terbuka kepada aspirasi, tuntutan, kemauan/harapan masyarakat berkaitan dengan hal-hal atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat oleh organisasi. 17. Penguasaan Iptek yang diperlukan untuk melaksanakan Tugas/ Pekerjaannya • Kemampuan untuk dapat mengoperasionalkan mesik ketik dan/atau komputer minimal Microsoft Word, guna membantu kelancaran pelaksanaan tugas atau pekerjaan administratif organisasi. • Kemauan yang kuat untuk terus meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan tugas atau pekerjaan yang dijalankan, baik melalui jalur formal, membaca buku, kursus, ataupun pendidikan dan pelatihan (diklat). • Memiliki sikap mau belajar untuk meningkatkan kinerja tugas dan pekerjaan melebihi standar prestasi yang ditetapkan. • Memiliki kemampuan dan sikap berpikir yang sistematis dan edukatif dalam menggunakan kemampuan pengetahuan teknis untuk dapat dikembangkan atau ditularkan kepada orang lain atau sesama rekan kerja dalam organisasi. F. Definisi Operasional Variabel 1. Komitmen dan Konsistensi terhadap Visi, Misi dan Tujuan Organisasi a. Komitmen berarti keteguhan hati, tekad yang mantap dan janji untuk melakukan atau mewujudkan sesuatu yang diyakini. b. Konsistensi, berarti ketetapan, kesesuaian, ketaatan dan keman- tapan dalam bertindak sesuai dengan visi, misi, janji, prinsip, amanah, kebijakan atau aturan yang ditetapkan (taat asas). c. Visi adalah pandangan ke depan dan arah tujuan yang ingin diwujudkan. d. Misi adalah tugas yang diemban untuk mencapai sasaransasaran pokok/strategis dan tujuan organisasi tertentu. 34
  • 49. e. Organisasi, yaitu kelompok orang dan sarana kerjasama untuk mencapai tujuan. f. Pengertiannya: Memegang teguh sepenuh hati dan berjanji melaksanakan tugas yang harus diemban secara taat asas, yang telah ditetapkan oleh sekelompok orang atau badan yang terikat dalam satu wadah kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. 2. Wewenang dan Tanggung Jawab a. Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.] b. Tanggung jawab adalah kesediaan menanggung sesuatu. Bila salah wajib memperbaiki atau dapat dituntut, dan diperkarakan. c. Pengertian: seorang aparatur negara dalam menjalankan tugasnya diberi wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan kedudukan dan posisi jabatannya. Hendaknya kewenangan dan tanggungjawab yang diberikan itu dijalankan dengan baik, agar tidak ada pihak lain yang dirugikan. 3. Keikhlasan dan Kejujuran a. Ikhlas dalam norma etika dan agama dapat diartikan rela sepenuh hati, datang dari luhuk hati, tidak mengharapkan imbalan atau balas jasa atas suatu perbuatan, khususnya yang berdampak positif pada orang lain, dan semata-mata karena menjalankan tugas/amanah demi Tuhan (Lillahi ta'ala). b. Kejujuran atau dikenal dengan kata "Siddiq", adalah komponen rohani yang memantulkan berbagai sikap yang berpihak kepada kebenaran dan sikap moral yang terpuji (morally upright). c. Jujur adalah orang yang benar dalam setiap kata, perbuatan dan keadaan bathinnya. Jujur ditunjukkan oleh perilaku yang diikuti dengan sikap tanggung jawab atas sesuatu yang diperbuatnya. d. Kejujuran berarti juga keberanian untuk mengatasi dirinya sendiri, berani menolak dan bertindak melawan segala kebatilan yang bertentangan dengan suara hati/kalbunya. 35
  • 50. 4. Integritas dan Profesionalisme a. Seorang yang bekerja dalam sebuah instansi/lembaga harus dapat menyatu dengan bidang kerjanya dan sistem yang ada serta tidak melakukan tindakan negatif karena pekerjaan itu sebagai sandaran hidup. b. Orang yang mempunyai integritas yang baik adalah orang yang tidak diragukan lagi serta selalu konsisten dalam kata dan perbuatan. c. Inti profesionalisme: kepandaian, keahlian, dan keterampilan tertentu. Profesional adalah orang yang terampil, andal dan sangat bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Orang yang tidak mempunyai integritas biasanya tidak profesional. Profesionalisme pada intinya adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar. d. Salah satu penyebab terpenting dari tidak adanya integritas dan profesionalisme adalah tidak adanya sistem merit yang jelas untuk mengukur kinerja pegawai. 5. Kreativitas dan Kepekaan a. Kreativitas berarti adanya ide-ide baru secara spontan muncul dari seseorang karena suatu hal yang dianggap penting atau mendesak dalam kehidupan dan pekerjaannya. Ide-ide tersebut diolah menjadi suatu inovasi yang dapat diaplikasikan pada kerja individu atau organisasi yang lebih baik atau menguntungkan. Inovasi itu bisa baik dan diadopsi menjadi nilai yang baik dan benar, tetapi bisa juga ide- ide itu gagal mencapai sesuatu nilai mengandung resiko kalau kita tidak waspada. b. Kepekaan, berarti respon seseorang atau organisasi dalam menghadapi sesuatu peristiwa yang mungkin menguntungkan, merugikan atau membahayakan. Tingkat kepekaan dapat berbeda- beda tergantung pada manusia dan peristiwanya. Kepekaan dapat 36
  • 51. bersifat reaktif, tetapi juga proaktif atau kejelian mengenal peluang. Jika fungsi kepekaan ini dimiliki oleh aparatur dalam organisasi mereka akan cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi di luar lingkungan organisasi dan peluang untuk menyelamatkan diri dan organisasi lebih dini dapat disiapkan. 6. Kepemimpinan dan Keteladanan a. Kepemimpinan (leadership), berarti kesadaran diri sebagai seorang pemimpin yang ditunjukkan melalui kemampuannya untuk mempengaruhi dan menjadikan dirinya sebagai teladan, serta mampu memotivasi orang lain terutama bawahannya agar tergerak mencapai sasaran yang lebih tinggi berdasarkan nilai-nilai moral yaitu integritas, komitmen, konsistensi, profesional dan kemampuan komunikasi. Dengan demikian, kepemimpinan merupakan seni mengemudi dan mengendalikan organisasi, secara cerdik, pandai, berpengalaman, peka, proaktif, selalu dekat dengan yang dipimpin, visioner dan berperan sebagai juru bicara, pelatih, sumber perubahan dan pembaharuan. Dalam kaitan ini, gaya kepemimpinan mempunyai daya tingkat motivasi yang efektif untuk keberhasilan manajemen. Pengaruhnya tergantung pada lingkup dan intensitas tuntutan manajemen dalam menghadapi lingkungan intemal dan ekstemal. Bentuk gaya kepemimpinan antara lain: • Altruistic leadership, yaitu kepemimpinan yang ingin mempengaruhi dan membentuk agar orang lain mampu berkembang; • Khalifah FilArdli adalah misi kepemimpinan sebagai wakil Tuhan di muka bumi merupakan misi untuk membawa kesejukan bagi semua memberikan arti bagi lingkungan dan kerinduan untuk memberdayakan diri dan orang lain sesuai 37
  • 52. dengan nilai-nilai moral yang tinggi guna pencapaian hasil optimal yaitu amal saleh; • Leadership by example (Uswatun khasanah) adalah pola kepemimpinan dengan menjadikan dirinya sebagai contoh teladan bagi orang lain, terutama bawahannya. Dalam keteladanannya itu terpancar rasa moral integritas yang tinggi, komitmen, kompetensi, konsistensi dan kemampuan berkomunikasi; • Transformational Leadership, yaitu kepemimpinan yang dinamis, selalu mengadakan perubahan, dengan memotivasi bawahan untuk bekerja guna mencapai sasaran yang lebih tinggi; • Kepemimpinan berdasarkan kepercayaan (trust), penghargaan (respect), dan berdasarkan kemuliaan pribadi atau kelompok tertentu (honorable). b. Keteladanan, adalah sikap perilaku yang dinyatakan secara sadar (misalnya: perintah, cara berbicara, bertindak) maupun tidak disadari (misalnya: kebiasaan-kebiasaan, cara bersikap dan bertingkah laku) dari seorang pemimpin yang dipersepsi oleh bawahannya sebagai sesuatu yang memicu atau mendorong bawahan untuk mencontoh. Sikap prilaku yang menjadi kerangka acuan (frame of references) bawahan dalam hal yang berkaitan langsung dengan pekerjaan maupun nilai-nilai (profesi dan moral) sehingga bawahan akan bertindak sesuai dengan kerangka acuan positif berdasarkan rasa hormat dan penghormatan. Sifat pemimpin yang tingkah laku atau perilakunya dapat ditiru dan menjadi teladan bagi bawahannya dan orang lain antara lain adalah takwa, profesional, belajar terus, integritas, adil, arif, tegas dan bertanggung jawab, ramah, rendah hati, gembira, silih asih, asah, asuh, sabar, dan tersenyum. 7. Kebersamaan dan Dinamika Kelompok 38
  • 53. a. Kebersamaan (togetherness) adalah suatu sikap dan perilaku sekelompok individu yang secara bersama-sama pada suatu ruang atau waktu yang sama menunjukkan tingkah laku secara spontan. Sikap kelompok individu itu untuk sementara menunjukkan kesatuan perasaan dan aksi karena dorongan bersama dan simpati yang berpusat pada obyek, tuntutan, atau ide yang sama. b. Kebersamaan dimaksudkan sebagai suasana hati yang merasakan dirinya bagian dari satu kelompok kerja tertentu, sehingga tumbuh perasaan bersama dalam kelompok yang kuat yang melahirkan kelompok kerja dan sinerji dalam melaksanakan tugas bersama. c. Setiap individu berpikir dalam format keseluruhan dan bukan bagian-bagian, dan berpikir bahwa keberadaan dirinya hanya mungkin bila bersama dengan orang lain. d. Dinamika kelompok adalah sikap dan perilaku suatu kelompok yang teratur yang anggotanya mempunyai kepentingan dan tujuan.yang sama. e. Keputusan dan pengembangan sikap kelompok disesuaikan dengan situasi yang dialami secara bersama-sama guna mengembangkan ide-ide individu/anggota kelompok ke arah yang lebih maju untuk mencapai tujuan kelompok yang telah ditentukan secara bersama. f. Dinamika kelompok merupakan cara kerja kelompok yang bersifat dinamis, kreatif, dan sinerji dalam melayani dan atau mencapai sasaran kerja secara menyeluruh. g. Dinamika kelompok merupakan salah satu bentuk dan cara pemasyarakatan budaya kerja (PBK) yang berada dalam institusi tertentu sehingga setiap individu merasakan bagian dari kelompoknya, dan karena mereka menyadari akan bekerja berdasarkan norma-norma kelompoknya. 8. Ketepatan dan Kecepatan 39
  • 54. a. Ketepatan, maknanya adalah mengena sasaran, mencapai tujuan, ketelitian, dan bebas kesalahan. b. Kecepatan, maknanya adalah menggunakan waktu yang lebih pendek. Ketepatan dan kecepatan memberikan kepastian dalam arti waktu, kuantitas, kualitas dan finansial yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pekerjaan dan pemberian pelayanan masyarakat. 9. Rasionalitas dan Kecerdasan Emosi a. Berpikir cerdas, obyektif, logis, sistematik, banyak terkait dengan proses ilmiah atau kemampuan intelektual. b. Kecerdasan memandang sesuatu dari aspek akal (ratio) yang menentukan nilai benar atau salah. Fungsi ratio terletak pada otak kiri, kemampuan logika, matematis, sistematik, sebabakibat, eksak (Intellectual Quotient /IQ). c. Kecerdasan emosi memandang sesuatu dari aspek perasaan (emosi), matahati (Emotional Quotient/EQ), terietak pada otak sisi kanan, bersifat spontan, kreatif, inovatif, holistik, integratif, rinestetik, ruang, komunikasi kooperatif, silih asih-asah-asuh, dan lain-lain ( perasaan, kepekaan, bagian dari karakter, ketangguhan). 10. Keteguhan dan Ketegasan a. Keteguhan berarti kuat dalam berpegang pada aturan, nilai moral, prinsip-prinsip manajemen dan lain-lain. b. Ketegasan adalah sifat, watak, dan tindakan yang jelas dan tidak ragu-ragu. 11. Disiplin dan Keteraturan Kerja a. Secara konseptual disiplin lebih merujuk pada sikap yang selalu taat kepada aturan, norma, dan prinsip-prinsip tertentu, sedangkan keteraturan lebih menunjukkan perilaku yang konsisten mengikuti ketentuan dan prosedur tertentu. b. Kata "disiplin" berasal kata "discipline", discipulus (latin), yang berarti 40
  • 55. mengikuti dengan taat. Disiplin berarti juga kemampuan untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam situasi yang sangat menekan sekalipun. Disiplin mengikuti tata tertib peraturan yang harus ditaati (ketaatan). c. Keteraturan kerja yaitu mengikuti jadwal dan sistem kerja yang tersusun dan terencana secara baik, misal seseorang yang bekerja mengikuti peraturan dan cara kerjanya terencana dengan baik, mengikuti kebijakan-kebijakan program, prosedur kerja, prinsip dan proses manajemen, dan sebagainya. Sikap bekerja berdasarkan pada sistem kerja (standard of operational) serta norma-norma yang berlaku yang bersifat sistematis, dinamis dan berorientasi pada hasil. 12. Keberanian dan Kearifan a. Keberanian diartikan sebagai berani menanggung resiko dalam pembuatan keputusan dengan cepat dan tepat waktu (peran EQ sangat besar dibandingkan IQ). b. Kearifan merupakan landasan membentuk nilai-nilai bersumber dari otak sebelah kanan yang penuh nilai balk dan buruk (EQ/SQ/AQ) sehingga orang dapat memilih nilai-nilai yang paling cocok dalam manajemen untuk memecahkan berbagai masalah dan menghadapi tantangan baru dengan mengambil tindakan yang diperlukan. 13. Dedikasi dan Loyalitas Dedikasi dan loyalitas adalah sifat rela berkorban dan jiwa pengabdian terhadap instansi, banQsa, negara, dan taat serta setia dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. 14. Semangat dan Motivasi a. Semangat adalah daya atau energi yang mendorong perilaku sampai pada tingkatnya yang tertinggi, sedangkan motivasi lebih merujuk kepada tujuan dari perilaku yang dasamya adalah 41
  • 56. kebutuhan dari pelaku yang bersangkutan. b. Orang harus mulai dengan pemenuhan kebutuhan yang paling dasar yaitu kebutuhan fisik-biologis termasuk rasa aman, sebelum meningkat ke jenjang yang lebih tinggi yaitu rasa memiliki dan harga diri, dan yang tertinggi aktualisasi diri. 15. Ketekunan dan Kesabaran a. Ketekunan berarti teliti, rajin mendalami sesuatu pekerjaan/tugas yang secara konsisten dan berkelanjutan sesuai dengan komitmen yang disepakati. b. Kesabaran berarti tidak emosional, tidak tergesa-gesa, asalkan tercapai tujuannya tanpa mengorbankan kepentingan orang lain. Kesabaran merupakan sikap mental seseorang yang bersifat tangguh, tekun dan bersungguh-sungguh, amanah untuk mencapai sasaran kerja dan prestasi kerja terbaiknya, tidak asal jadi. Dalam sikap kesabaran tersebut, termuat suasana hati yang kuat dalam menghadapi tekanan. Tekanan yang dimaksud dapat berupa target pekerjaan atau godaan intemal (korupsi, penyalahgunaan jabatan) dan eksternal (suap, kolusi dan nepotisme). 16. Keadilan dan Keterbukaan Seorang aparatur negara yang memperlakukan orang lain sesuai dengan fungsi, peran dan tanggung jawabnya, dan memperhatikan hak dan kewajiban masyarakat, sehingga dalam menjalankan tugas tidak melakukan kegiatan secara sembunyi-sembunyi (tertutup) dan tidak menimbulkan prasangka tidak baik. 17. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi a. Ilmu pengetahuan adalah hasil studi dan penelitian obyek tertentu baik mumi maupun terapan, diolah dengan metode tertentu sehingga bermanfaat bagi kehidupan individu, instansi dan masyarakat luas. Ilmu pengetahuan menjadi dominan dalam proses manajemen, sebab 42
  • 57. tanpa itu manajemen akan ketinggalan jaman dan kalah bersaing. Sedangkan teknologi adalah cara atau metode kerja untuk menghasil- kan sesuatu produk barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan oleh suatu instansi dan masyarakat. b. Ilmu pengetahuan harus bisa dialihkan (ditransformasikan) menjadi nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam manajemen, agar mencapai hasil yang optimal, efektif dan efisien. Teknologi dikembangkan dengan kegiatan studi dan penelitian agar dapat diterapkan menjadi nilai kerja seharihari yang baik dan mencari serta mengembangkan cara/ metode kerja baru yang lebih cepat, tepat, mudah dan efisien. 43
  • 58. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Implementasi Nilai-Nilai Budaya Kerja Organisasi Pemda di Kalimantan Tabel 4.1 Implementasi Nilai-Nilai Budaya Kerja di 4 Kabupaten/Kota di Kalimantan Skor Rata-Rata & Kategori No Indikator Singka- wang Banjar Baru Kapuas Kutim Skor Rata- Rata 1 Komitmen Terhadap Visi, Misi, Organisasi, Tujuan, Kebijakan dan Perundang- undangan yang Berlaku 4,12 (B) 3,94 (B) 4,26 (SB) 3,99 (B) 4,09 (B) 2 Wewenang dan Tanggung Jawab 4,15 (B) 3,77 (B) 4,28 (SB) 4,17 (B) 4,15 (B) 3 Keikhlasan dan Kejujuran 4,10 (B) 4,02 (B) 4,08 (B) 4,11 (B) 4,09 (B) 4 Integritas dan Profesionalitas 3,90 (B) 3,85 (B) 4,06 (B) 3,89 (B) 3,93 (B) 5 Kreativitas dan Kepekaan terhadap Lingkungan Tugas 3,87 (B) 3,79 (B) 3,88 (B) 3,92 (B) 3,88 (B) 6 Kepemimpinan dan Keteladanan 4,19 (B) 4,10 (B) 4,14 (B) 4,06 (B) 4,12 (B) 7 Kebersamaan dan Dinamika Kelompok Organisasi 4,20 (SB) 4,00 (B) 4,08 (B) 4,09 (B) 4,11 (B) 8 Ketepatan (Keakurasian) dan Kecepatan 3,93 (B) 3,73 (B) 3,98 (B) 3,99 (B) 3,94 (B) 9 Rasionalitas dan Emosi 3,99 (B) 3,96 (B) 4,04 (B) 3,98 (B) 4,00 (B) 10 Keteguhan dan Ketegasan 4,09 (B) 3,92 (B) 4,13 (B) 4,23 (SB) 4,13 (B) 11 Disiplin dan Keteraturan Kerja 4,22 (SB) 3,98 (B) 3,98 (B) 4,26 (SB) 4,14 (B) 12 Keberanian dan Kearifan dalam Mengambil Keputusan/Menangani Konflik 4,08 (B) 4,04 (B) 4,13 (B) 4,00 (B) 4,06 (B) 13 Dedikasi dan Loyalitas 4,23 (SB) 4,29 (SB) 4,09 (B) 4,35 (SB) 4,24 (SB) 14 Semangat dan Motivasi 4,16 (B) 4,17 (B) 4,12 (B) 4,18 (B) 4,16 (B) 15 Ketekunan dan Kesabaran 4,14 (B) 4,38 (SB) 4,15 (B) 4,26 (SB) 4,21 (SB) 16 Keadilan dan Keterbukaan 4,11 (B) 4,54 (SB) 4,06 (B) 4,15 (B) 4,16 (B) 17 Penguasaan Iptek 4,05 (B) 4,65 (SB) 4,11 (B) 4,18 (B) 4,18 (B) SKOR RATA-RATA 4,09 (B) 4,08 (B) 4,09 (B) 4,11 (B) 4,10 (B) Sumber: Kuesioner Penelitian (2005, diolah) 44
  • 59. Keterangan: TB : Tidak Baik KB : Kurang Baik BB : Belum Baik B : Baik SB : Sangat Baik Nilai-nilai dasar (indikator) Budaya Kerja yang dirumuskan oleh MENPAN telah diterapkan dengan baik di Kalimantan khususnya di Kabupaten/Kota yang disurvei yaitu dengan skor 4,10. Jawaban Responden menggambarkan bahwa indikator terbaik adalah Dedikasi dan Loyalitas dengan skor 4,24, kemudian secara berurutan disusul oleh Ketekunan dan Kesabaran (4,21), Penguasaan Iptek yang diperlukan untuk melaksanakan tugas (4,18), Semangat dan Motivasi (4,16), Keadilan dan Keterbukaan (4,16), Wewenang dan Tanggung Jawab (4,15), Disiplin dan Keteraturan Kerja (4,14), Keteguhan dan Ketegasan (4,13), Kepemimpinan dan Keteladanan (4,12), Kebersamaan dan Dinamika Kelompok Organisasi (4,11), Komitmen terhadap Visi, Misi Organisasi kebijakan dan Perundang-undangan yang berlaku (4,09), Keikhlasan dan Kejujuran (4,09), Keberanian dan Kearifan dalam Mengambil Keputusan/Menangani Konflik (4,06), Rasionalitas dan Emosi (4,00), Ketepatan (Keakurasian) dan kecepatan (3,94), Integritas dan Profesionalitas (3,93) dan indikator yang terendah/terlemah dalam membangun/mengembangkan Budaya Kerja adalah Kreativitas dan Kepekaan terhadap Lingkungan Tugas yaitu dengan skor 3,88. Hal ini mengindikasikan bahwa aparatur di wilayah Kalimantan harus lebih berusaha memberikan ide dan saran yang baik dan berguna dalam pengembangan organisasi, menciptakan cara-cara kerja baru dalam menangani persoalan dan pekerjaan, berusaha mengetahui kelemahan dan kekuatan organisasi serta memiliki kemampuan antisipatif terhadap hambatan yang ada atau datang dari lingkungan organisasi dan setiap aparatur hendaknya memiliki kemauan dan kemampuan untuk melakukan proses pembelajaran terhadap persoalan, kemajuan iptek serta isu-isu yang 45
  • 60. berkembang dalam masyarakat yang berkaitan dengan organisasi, di samping itu aparatur pemerintah hendaknya terus lebih meningkatkan profesionalismenya khususnya yang menyangkut bidang tugasnya sehingga akan menampakkan hasil kerja yang produktif dan berkualitas untuk mengurangi anggapan dari masyarakat bahwa aparatur pemerintah ”tidak profesional”. Indikator-indikator lain juga perlu terus ditingkatkan lagi penerapannya dalam melaksanakan tugas organisasi. Pencapaian 17 Indikator Budaya Kerja dari seluruh Kabupaten/Kota yang disurvei menunjukkan kondisi yang cukup beragam misalnya saja pada indikator Penguasaan iptek yang diperlukan untuk melaksanakan tugas di Kabupaten Banjar Baru mendapatkan Skor 4,65 atau masuk pada kategori sangat baik, sementara pada tiga daerah lainnya cukup seragam kondisinya yaitu dinilai baik. Namun jika dilihat dari skornya indikator terendah dalam membangun Budaya Kerja menunjukkan kondisi yang cukup seragam pada ke-4 daerah yang disurvei, dimana indikator Kreativitas dan Kepekaan terhadap Lingkungan Tugas masih dinilai paling lemah dalam membangun Budaya Kerja di wilayah Kalimantan khususnya di 4 daerah yang disurvei sehingga perlu mendapatkan prioritas untuk terus ditingkatkan dan terus dipacu. Dilihat dari daerah yang disurvei menunjukkan kondisi yang seragam, skor seluruh daerah masuk pada kategori ”Baik”. Meskipun ke-17 nilai dasar/indikator Budaya Kerja yang dirumuskan oleh MENPAN sudah diterapkan dengan baik, akan tetapi pengaruhnya terhadap budaya kerja aparatur itu sendiri belumlah diketahui, apalagi jika melihat realita di lapangan. Mungkin yang paling mencolok adalah terhadap memberikan layanan kepada masyarakat yang terkesan apa adanya sangat jauh dari kesan pelayanan prima. Dari empat daerah yang disurvei, hanya Kabupaten Kutai Timur saja yang telah memiliki payung hukum terhadap pengembangan Budaya Kerja aparatur berupa Keputusan Bupati No. 309/02.188.45/HK/IX/2004 tentang 46