SlideShare a Scribd company logo
1 of 146
Page 1 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Plastik dan Sampah:
Pantauan bulan Oktober 2021
Oleh: Riza V. Tjahjadi
Tiga issue utama yang mencolok muncul dari pantauan bulan
Oktober 2021, Pertama, kisruh kehadiran sampah Tangerang Selatan
Ke TPA Cilowong Serang. Kedua, teridentifikasinya plastik mikro pada
botol susu bayi tetapi pada gallon dan potensi ancaman bagi
kesehatan manusia. Ketiga adalah kontribusi plastik dalam proses
terjadinya emisi karbon; dalam konteks menjelang
COP Perubahan Iklim di Glasgow Inggeris
OTD 2 tahun lalu
9 Oktober 2019
Page 2 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Kemasan Minyak Goreng Seyogyanya Ramah
Lingkungan, Tapi Belum Ada SNI-nya
Rabu, 09 Oktober 2019 18:09
Kemasan Minyak Goreng Diharapkan Berbahan
Plastik Ramah Lingkungan
ilustrasi (ANTARA/Aldino Anatusa)
JAKARTA (HN) -Kementerian
Perdagangan meminta produsen
minyak goreng mulai membuat
kemasan ekonomis pada Januari
2020. Menurut Peneliti Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta
Riza V Tjahjadi, aturan baru itu,
bisa menjadi peluang industri
kemasan plastik ramah
lingkungan untuk mengisi pasar
minyak goreng.
―Ini kesempatan yang sangat baik dan peluang yang selebar-lebarnya buat
industri produsen plastik untuk tawarkan plastik berstandar SNI yang
ekolabel kepada perusahaan minyak goreng,‖ kata Riza kepada HARIAN
NASIONAL, baru-baru ini.
Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan diharapkan
dapat memfasilitasi peluang industri plastik ramah lingkungan demi
terciptanya cita-cita pemerintah dalam hal pengurangan sampah plastik.
―Jadi, nanti bisa memperkaya variasi tipe plastik kemasan,‖ ujar Riza.
Lebih lanjut Riza mengatakan, sampai pada Mei 2019, Badan Standarisasi
Nasional (BSN) melalui Pusat Standarisasi Lingkungan dan Kehutanan
(Puslitan) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah
me-review Standar Nasional Indonesia (SNI) plastik ramah lingkungan
untuk tas belanja dan SNI plastik daur ulang, juga untuk tas belanja plastik
berbahan daur ulang.
―Ada dua jenis plastik yang sedang direview yaitu plastik yang bisa lapuk
dalam waktu enam sampai 12 bulan, dan dua sampai tujuh tahun,
sementara plastik konvensional yang saat ini digunakan itu rata-rata bisa
lapuk sampai 500 tahun,‖ ujarnya.
Setiap lembaga terkait diharapkan bisa membangun sinergi dalam hal
pengaplikasian kemasan plastik berstandar SNI yang ramah lingkungan.
Saat ini sudah ada beberapa macam wadah makanan (food tray) dari tipe
plastik ramah lingkungan yang bisa lapuk dalam 2-5 tahun.
Page 3 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
―Saran saya pakai kemasan plastik yang ramah lingkungan yang bisa
lapuk plastiknya dalam waktu 2-5 tahun. Tetapi memang soal keamanan
belum dijamin sepenuhnya. Sambil menunggu dilakukannya kajian standar
keamanan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di bawah
koordinasi BSN,‖ ujar Riza.
Sementara itu, Kepala Subdirektorat Sistem dan Harmonisasi Akreditasi
Lembaga Inspeksi dan Lembaga Sertifikasi BSN Raden Ewang Kurniawan
mengatakan sampai saat ini belum ada standar SNI untuk kemasan
produk khususnya untuk produk pangan. ―Kalau itu kita harus koordinasi
dulu ke BPOM, kalau kemasan plastik untuk suatu produk itu belum ada
standarisasinya,‖ ujar Ewang melalui sambungan telepon.
Saat ini sudah ada dua SNI baru yang ditetapkan BSN yakni SNI
7818:2014 untuk kantong plastik mudah terurai dan SNI 7188.7:2016
untuk kriteria ekolabel atau produk tas belanja plastik dan bioplastik mudah
terurai. ―Jadi beda peruntukkan yah, bukan kemasan produk,‖ ujar Ewang.
Adapun standarisasi SNI untuk untuk produk seperti syarat mutu, telah
diatur oleh BSN hanya saja belum ada kewajiban untuk semua produk
menggunakan standar SNI. ―Cuma kalau itu diwajibkan, yah harga suatu
produk per kemasannya pasti naik lagi,‖ ujarnya .
Terkait rencana pemerintah mengatur kemasan minyak goreng mulai awal
tahun depan, pihaknya belum mendapat informasi dari kementerian terkait
mengenai apakah ada kewajiban buat produsen untuk menggunakan
kemasan yang berstandar ramah lingkungan.
―Belum ada pembicaraan terkait itu, tapi tentu saja kita berharap agar
kemasan produk apa pun itu termasuk pangan seperti minyak goreng agar
menggunakan kemasan yang ramah lingkungan,‖ ujar Ewang.
Reportase : MOH SAID MASHUR
Editor : Fifia A Himawan
© Harian Nasional. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.
http://m.harnas.co/2019/10/09/kemasan-minyak-goreng-diharapkan-
berbahan-plastik-ramah-lingkungan-
Rabu, 09 Oktober 2019 04:00
Minyak Kemasan Harus Murah
JAKARTA (HN) -
Harga minyak goreng kemasan harus dijual murah kepada konsumen. Kebijakan
itu agar tidak membebani daya beli masyarakat setelah pemerintah melarang
minyak goreng curah awal tahun depan, Ketua Umum Gabungan Pengusaha
Page 4 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan,
harga murah dimungkinkan karena produsen kecil tidak dibebani untuk
menyediakan investasi merek dan minim biaya pemasaran.
Pedagang menata minyak curah dagangannya di
Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (8/10/2019).
(ANTARA | MUHAMMAD ADIMAJA )
"Produsen juga harus menjelaskan
bagaimana jika membeli satu liter
atau satu kilogram. Jadi seharusnya
(minyak kemasan) bisa dijual jauh
lebih murah daripada yang
bermerek," kata Adhi kepada
HARIAN NASIONAL di Jakarta,
Selasa (8/10).
Menurut dia, pelarangan minyak
goreng curah dapat membuka
potensi bisnis baru pengemasan
resmi dan berizin dari pemerintah.
Pabrik besar dapat berkoordinasi
dengan mengirim dengan jumlah
besar ke daerah, lalu dikemas
dengan ukuran yang diinginkan
pasar.
"Ini kan juga bisa menjadi usaha bagi masyarakat perdesaan agar bisa
mendistribusikan lebih dalam lagi. Saya kira ini banyak potensi yang bisa
didalami," ujarnya.
Adhi mengatakan, pemerintah telah berkoordinasi dengan berbagai tingkat
pengusaha sebelum diresmikan Minggu (6/10) oleh Menteri Perdagangan. Adhi
mengklaim pelaku usaha dan produsen telah menyepakati ketentuan pemerintah
untuk menjalankan minyak kemasan. "Semua (pengusaha) sudah sepakat
menjalankan itu," katanya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI)
Ngadiran mengatakan, mayoritas minyak curah diminati pengusaha dan
masyarakat kalangan menengah-bawah. "Pedagang gorengan, warteg,
masyarakat (kecil) mayoritas masih menggunakan (minyak curah)," ujar
Ngadiran.
Ia mendukung upaya pemerintah meningkatkan standardisasi mutu dan kelaikan
minyak goreng domestik dengan menjaga higienitas lewat pengemasan.
Pengemasan minyak eceran di pasar dapat meningkatkan kebersihan produk
dan menjamin kesehatan masyarakat.
Namun, ia berharap pemerintah dapat menjaga selisih harga antara minyak
curah sebelum dan sesudah dikemas agar tidak terlampau tinggi bagi
konsumen. Saat ini, harga minyak goreng eceran di pasar rakyat dan minyak
goreng bermerek hanya selisih Rp 2.000.
Berdasarkan pantauan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) per 8
Oktober 2019, rata-rata nasional harga minyak goreng curah naik Rp 100 (0,9
persen) menjadi Rp 11.200/kg, minyak goreng kemasan merk I naik Rp 100 (0,7
Page 5 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
persen) menjadi Rp 14.450/kg, dan minyak goreng kemasan merk II naik Rp 50
(0,37 persen) menjadi Rp 13.650/kg.
Ngadiran menyarankan pemerintah tidak menggeneralisasi kemasan minyak
goreng dalam ukuran besar. Masyarakat umum masih membeli minyak curah
dalam ukuran kecil.
Selain itu, pemerintah dapat memberikan subsidi silang bagi pengusaha minyak
curah agar dapat menjual produk minyak kemasan dengan harga murah.
"Masyarakat kalau beli minyak curah ukuran 0,25 atau 0,50 kilogram. (Jadi)
jangan sampai harga berbeda jauh karena dikemas, itu tidak betul. Kalau beda
Rp 300 hingga Rp 500, masih wajar," katanya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akhirnya meralat pernyataan
sebelumnya. Pemerintah tidak akan melarang peredaran minyak goreng curah
di pasar.
"Pemerintah masih tetap memberikan kesempatan penggunaan minyak goreng
curah, juga mempersilakan bagi masyarakat yang masih menggunakan minyak
goreng curah," kata Enggartiasto dalam siaran pers.
Dia menilai, konsumen harus terlindungi. Higienitas dan kehalalan produk
minyak goreng harus disiapkan. Pemerintah juga mengharapkan pelaku industri
segera mengisi pasar dengan minyak goreng kemasan sederhana dan
mematuhi harga eceran tertinggi (HET) Rp 11 ribu per liter.
Reportase : Khairul Kahfi
Editor : Didik Purwanto
© Harian Nasional. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.
http://m.harnas.co/2019/10/08/minyak-kemasan-harus-murah
Akhirnya
Permendag 36 tahun 2020 masih izinkan
minyak goreng curah beredar hingga 2021
Senin, 13 April 2020 | 17:24 WIB
Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah
menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 36 tahun 2020 tentang
Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan pada 2 April 2020.
Permendag ini merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Perdagangan
nomor 80 tahun 2014 tentang minyak goreng wajib kemasan yang sudah
beberapa kali diubah.
Kemendag menyebut, untuk menjamin mutu dan higienitas minyak goreng sawit
yang dijual kepada konsumen, ketentuan mengenai minyak goreng sawit
dengan kemasan perlu diatur kembali.
Page 6 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Meski sudah mewajibkan minyak goreng sawit dijual dalam bentuk kemasan,
tetapi Kemendag masih mengizinkan adanya penjualan minyak goreng curah
yang beredar pasar hingga akhir 2021.
"Pada saat peraturan menteri ini mulai berlaku, minyak goreng sawit dalam
bentuk curah yang beredar di pasar masih dapat diperdagangkan sampai
dengan tanggal 31 Desember 2021," demikian bunyi pasal 27 Permendag
36/2020.
Sementara itu, ada berbagai hal yang dimuat dalam Permendag terbaru ini,
mulai dari ketentuan umum minyak goreng sawit wajib kemasan, minyak goreng
sawit kemasan sederhana, penggunaan merek Minyakita, hingga pembinaan
dan pengawasan.
Dalam aturan ini disebutkan bahwa produsen, pengemas dan/atau pelaku usaha
yang memperdagangkan minyak goreng sawit kepada konsumen wajib
memperdagangkan minyak goreng sawit dengan menggunakan kemasan
dengan kemasan paling besar sebanyak 25 kg dalam berbagai bentuk.
Baca Juga: Kemendag izinkan minyak goreng curah beredar hingga akhir 2020
Kemasan yang digunakan tersebut wajib menggunakan bahan yang tidak
membahayakan manusia.
Produsen dan pengemas diminta untuk bertanggung jawab terhadap mutu dan
higienitas minyak goreng sawit dan kemasan yang diperdagangkan kepada
konsumen.
Pengecer pun diizinkan untuk mengemas ulang minyak goreng yang
didistribusikan oleh produsen dan/atau pengemas.
Namun, pengemasan tersebut dilakukan secara langsung di hadapan konsumen
dengan ukuran yang lebih kecil sesuai permintaan konsumen dan menggunakan
mesin pengisi kemasan minyak goreng sawit yang disediakan produsen.
Pengecer yang mengemas ulang juga wajib menggunakan kemasan yang
digunakan produsen atau pengemas.
Peraturan ini juga mengatur tentang minyak goreng sawit kemasan sederhana.
Dimana, disebutkan produsen dan pengemas harus menyediakan minyak
goreng sawit kemasan sederhana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
usaha kecil dan menengah.
Nantinya, harga jual minyak goreng sawit kemasan sederhana di tingkat
konsumen akan ditetapkan oleh menteri.
Sementara itu, ada pula sejumlah pasal yang mengatur tentang penggunaan
merek Minyakita, dimana Minyakita merupakan mereka dagang untuk minyak
goreng sawit yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
Kemendag.
Page 7 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Dalam pemberlakuan kebijakan minyak goreng sawit wajib kemasan ini pun
dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap produsen, pengemas serta
pelaku usaha .Pembinaan tersebut terbagi atas konsultasi, bimbingan teknis
dan/atau promosi.
Namun, produsen, pengemas dan/atau pelaku usaha yang melanggar ketentuan
pun akan dikenai sanksi. Bagi produsen, pengemas serta pelaku usaha yang
melanggar ketentuan kewajiban minyak goreng sawit sebagaimana yang
ditetapkan akan dikenai sanksi administratif.
Pengecer yang melanggar ketentuan kewajiban penggunaan kemasan yang
disediakan produsen atau pengemas pun dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif terebut berupa peringatan tertulis, pencabutan izin usaha
dan/atau izin operasional/komersial di bidang perdagangan.
Dengan adanya peraturan menteri ini, permendag 80/M-DAG/PER/10/2014
tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan beserta perubahannya dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Tag Minyak Goreng harga minyak goring Minyak Goreng Curah
minyak goreng kemasan minyak goreng kemasan sederhana
Copyright 2021. All rights reserved
https://nasional.kontan.co.id/news/permendag-36-tahun-2020-masih-izinkan-
minyak-goreng-curah-beredar-hingga-2021?page=all
Tanggapan dari pemegang SNI ramah lingkungan
[10/10 12.08 PM] Sugi GreenHope: Hello Pak Riza, apa kabar ?
[10/10 12.08 PM] Sugi GreenHope: Link ini sdh tidak aktif lagi ya ?
[10/10 12.09 PM] Sugi GreenHope: Pak Riza ada pikiran apa ?
Ini harus ada kemauan dari pemilik/produsen minyak goreng itu sendiri -
apa mereka ada pikiran kesana ?
[10/10 2.39 PM] Riza V Tjahjadi: OOO gt... Cuma update pernyataan.
Saya dua (2) tahun lalu. Selain itu BSN kayaknya setuju ide kemasan
Ramah Lingkungan ... Tetapi jalan/ prosesnya panjangnya, ya, kalau Bos
Sugi proaktif ke arah terciptanya SNI?
OK Tks
Page 8 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
More Plastic Is On the Way: What It Means for
Climate Change
BY RENEE CHO |FEBRUARY 20, 2020
Plastic trash floating in a river. Photo: Emilian Robert Vicol
With the recent fracking boom causing low gas prices, fossil fuel
companies are seeking other ways to bolster their profits — by making
more plastic. Just as the world is starting to address its enormous plastic
pollution problem, these companies are doubling down on plastic, with
huge potential consequences for climate and the environment.
The over-abundance of natural gas has resulted in the lowest gas prices
since 2016. Consequently, some fossil fuel companies are being forced to
shut down drilling rigs and file for bankruptcy protection. Big companies
like Exxon Mobil, Shell and Saudi Aramco, which see signs of a coming
decline in fossil fuel use, are compensating for the low prices by investing
in plastic production, since plastics are made from oil, gas and their
byproducts. As a result, the World Economic Forum expects plastic
production to double by 2040.
Natural gas contains ethane, which is a building block of plastic. Because
the U.S. has extracted so much ethane with its natural gas, over $200
billion have been invested into 333 new chemical and plastics projects, as
of the end of 2019.
Growth in ethane production, consumption and exports. Photo: USEIA
Judith Enck, former regional EPA director and a founder of Beyond
Plastics, has said that 2020 is a critical year because many of the new
plastic production facilities in the U.S. are in the permitting process; ―If
even a quarter of these ethane cracking facilities are built,‖ she said, ―it‘s
locking us into a plastic future that is going to be hard to recover from.‖
One analyst from the data and analytics firm IHS Markit said that unless
plastic production is slowed down, ―they‘ll just find something else to wrap
in plastic.‖
Ethane crackers
Ethane is an odorless and colorless constituent of natural gas. To make
plastic, companies separate it from the natural gas mixture and convey it in
liquid form via pipeline to an ―ethane cracker,‖ a large industrial plant that
uses intense heat to crack or break apart ethane molecules. These
molecules then reform into ethylene, a basic building block of the
petrochemical industry that is used to make resins, adhesives, chemicals,
and plastics. In the process, ethane crackers can emit pollutants such as
nitrogen oxides, sulfur dioxide and particulate matter, as well as benzene,
Page 9 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
which is carcinogenic, and volatile organic compounds that can react with
sunlight to form ground-level ozone.
The United States already produces around 40 percent of the world‘s
ethane-based petrochemicals and is the largest exporter of ethane, selling
to Norway, the U.K., and Scotland, and to China and India, where plastic
demand is rising.
The Department of Energy (DOE) expects that by 2025, the eastern U.S.,
including Appalachia, will be producing 20 times more ethane than it did in
2013.
In 2018, DOE published a report about the potential for Appalachia to
become a new ―ethane hub‖ because of its Marcellus and Utica shale
resources, and the Trump administration is touting the plastics and
petrochemical industry as the next big thing for the region.
The new Shell cracker under construction on the Ohio River in PA. Photo: Drums600
Ohio, Pennsylvania, and West Virginia‘s share of U.S. natural gas
production has gone from two percent in 2008 to 27 percent in 2017. IHS
Markit projects that these three states, also known as the Shale Crescent,
will supply 37 percent of the U.S.‘s natural gas by 2040, enough to support
five large ethane crackers. Shell is currently building a $6 billion ethane
cracker 25 miles northwest of Pittsburgh.
New petrochemical plants are also planned near the Gulf Coast of Texas
and Louisiana and the Lower Mississippi River, an area already called
―Cancer Alley‖ because of the toxic emissions from its existing
petrochemical plants. Two large ethane crackers came online on the Gulf
Coast in December with two smaller facilities scheduled to open soon.
Plastic proliferation and pollution
The annual demand for plastic has almost doubled since 2000. And the
growing global population, improving economic conditions and
technological progress will create even more demand for plastics in the
future, according to a report by the International Energy Agency (IEA).
Currently, the U.S. and other developed countries use up to 20 times as
much plastic per person as India, Indonesia and other developing
countries.
Plastic shopping bags. Photo: Peteruetz
The U.S. also produces more plastic packaging waste per capita than any
other country. This throw away plastic packaging makes up 40 percent of
all plastic, with most ending up in landfills; the rest is incinerated or
recycled. A Center for International Environmental Law (CIEL) report,
Page 10 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Plastic & Climate, found that as of the end of 2015, 8,300 million metric
tons of virgin plastic had been produced globally, two-thirds of which
remains in the environment.
Every year, almost 10 million metric tons of plastic wind up in the ocean,
where it is consumed by marine animals, and plastic waste is found on
beaches in even the most remote places on Earth. Plastic also pollutes
land, especially on farms where sewage sludge is used for fertilizer.
A seal trapped in plastic pollution. Photo: Nels Israelson
Bisphenol A (BPA), a chemical component in the plastic of some water
bottles and the lining of tin cans, has been found in the cord blood of nine
out of 10 infants and in the urine of 95 percent of adult Americans tested.
Some research indicates that it can disrupt hormone and reproductive
systems. Microplastic and tiny plastic fibers have been found in honey,
sugar, beer, processed foods, shellfish, salt, detergent, bottled water and
tap water; however, the health effects of microplastics are still unclear.
The climate implications of plastic
Plastic not only poses an immense pollution problem—it also exacerbates
climate change. The CIEL report warns that the greenhouse gas emissions
from plastic jeopardize our ability to keep the global temperature rise below
1.5˚C. If plastic production stays on its current trajectory, by 2030,
greenhouse gas emissions from plastic could reach 1.34 billion tons per
year, equivalent to the emissions produced by 300 new 500MW coal-fired
power plants. This is because more than 99 percent of plastics are made
from fossil fuels, both natural gas and crude oil—and because plastic
results in greenhouse gas emissions at every stage of its lifecycle.
Extraction and transport
Greenhouse gas emissions result initially when forested land and fields are
cleared to make way for wellpads and pipes to drill for oil and natural gas.
Forests are cleared for drilling. Photo: Jason Woodhead
If one-third of the 19.2 million acres in the U.S. that have been cleared for
extraction was once forested, it means that almost 1.7 billion metric tons of
carbon dioxide have been emitted as a consequence of deforestation;
moreover, the forested land‘s ability to take up an additional 6.5 million
metric tons of carbon each year has been eliminated.
The fracking process emits methane, a greenhouse gas that, over 20
years, traps more than 84 times more heat in the atmosphere than does
carbon dioxide. Methane results from flaring and leakage, which can occur
anywhere from the well to the end user.
Page 11 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Emissions are also produced by combusting the fuel to operate the drilling
equipment.
In 2015, emissions from extraction and transport for plastic production
were 9.5-10.5 million metric tons of CO2 in the U.S. alone—the equivalent
of the emissions of 2.1 million passenger cars driven for a year.
Refining and manufacture
―Plastics is among the most energy-intensive materials to produce,‖
according to the head of CIEL. Ethane cracking is energy intensive
because of the high heat needed, and produces significant emissions, as
do the chemical refining processes that make other plastics.
The annual emissions from the new Shell ethane cracker and an
ExxonMobil ethylene plant in Baytown, TX are projected to be equivalent to
adding almost 800,000 new cars to the road. Greenhouse gas emissions
from the Shell plant alone could cancel out all the benefits of nearby
Pittsburgh‘s carbon reduction measures. And these are just two of the over
300 planned petrochemical projects being built in the U.S. mainly to
produce plastic and plastic feedstocks.
Discarded plastic
After it‘s used, plastic is incinerated, recycled or ends up in a landfill.
Carbon from the fossil fuel feedstock is locked into plastic products and
emitted when plastic is incinerated or decomposes. In 2015, 25 percent of
global plastic waste was incinerated; in the U.S., emissions from plastic
incineration were equivalent to 5.9 million metric tons of CO2, equivalent to
the emissions from heating 681,000 homes for a year.
Only about 8.4 percent of plastic is recycled. But, according to scientists
from UC Santa Barbara, even recycling plastic produces greenhouse gas
emissions, as fossil fuels are combusted to run the machines that shred
plastic waste and heat it up to make other products.
Plastic pollution in Ghana. Photo: Muntaka Chasant
Plastics in the environment, such as those that persist in landfills and litter
coastlines all over the world, have been found by University of Hawaii
researchers to release the greenhouse gases methane and ethylene when
sunlight hits them; moreover, emissions from plastic on the ocean surface
increase as the plastic breaks down.
Could microplastics affect the ocean‘s ability to absorb carbon dioxide?
Page 12 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
The ocean absorbs carbon dioxide from the atmosphere, thus reducing the
amount of warming emissions would cause if they remained in the
atmosphere. Phytoplankton in the ocean play an essential role in this
process, taking carbon dioxide from the atmosphere and storing it in the
ocean via photosynthesis. Scientists are currently trying to determine if
microplastics in the ocean interfere with phytoplankton‘s ability to
sequester carbon.
Joaquim Goes, a research professor at the Earth Institute‘s Lamont-
Doherty Earth Observatory, said that although he has not seen any studies
that show a direct effect of microplastics on phytoplankton, ―We have seen
microplastics attach onto phytoplankton under the microscope.
Phytoplankton can shed extra sticky carbohydrates through
photosynthesis, and plastics can attach onto the sticky material. One thing
you can assume is that if you have too many microplastic particles, they
compete with phytoplankton for light.‖
Microplastics in the Chesapeake Bay Watershed. Photo: Chesapeake Bay Program
Marco Tedesco, a research professor at Lamont-Doherty Earth
Observatory, who currently researches microplastic in snow and how it
evolves, said that the chemicals used to make plastic could have unknown
effects. ―The chemicals that have been used during their lifecycle are
heavily toxic and there‘s very little regulation about the use of these
elements when it comes to plastics,‖ said Tedesco. ―So the treatment of
microplastics requires an extra level of attention because of the potential
harm related to the chemicals that are used to treat plastics to make them
colorful, more resilient, and impermeable. After a certain point, all the
chemicals can permeate through the plastic and you don‘t know what the
consequences are.‖
In fact, a 2019 study by researchers from Macquairie University in Australia
studied how substances leached from plastic affected Prochlorococcus, a
tiny type of phytoplankton considered a key player in the photosynthetic
process that fixes carbon. Exposure to the leachate compromised its in
vitro growth and photosynthetic capacity and resulted in changes in its
genome.
There is still much that scientists don‘t know about microplastics, their
impacts on the environment or what to do about them, but one thing we do
know: ―Anything that we produce that we put into the atmosphere or on our
planet—microplastics and CO2—are going to be around. They‘re not going
anywhere,‖ said Tedesco, ―You can stop producing plastics now and you
can stop emitting CO2 now, but the effect of what‘s left in the atmosphere
or what‘s around in terms of microplastics will still be huge…. And there‘s
really no clear technological path to the removal of microplastics at any
scale.‖
Page 13 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
What solutions could yield results?
Recycling
Right now, plastic recycling in the U.S. is not working well. For decades,
the U.S. sent its recycled plastic to China, but in 2017, China banned
certain types of solid waste—mainly plastics. Without a market for recycled
plastic, recycling is no longer economically viable for many municipalities.
The Plastic Pollution Coalition estimates that in 2018, only two percent of
municipal plastic waste was recycled in the U.S. and six times more plastic
was burned than recycled.
Plastic recycling in Bangladesh. Photo: UN Women Asia & the Pacific
That year, the U.S. sent 68,000 shipping containers of recycled plastic to
countries such as Bangladesh, Laos, Cambodia, Philippines, Turkey,
Ethiopia and Senegal — countries that are not able to handle most of their
own plastic waste.
Recycled plastic used to be cheaper than new plastic, but because of the
boom in petrochemical production in the U.S., and because of the demand
for recycled plastic from sustainable companies, virgin plastic is becoming
cheaper than recycled. As an example, Nestle, which is often considered
one of the world‘s worst plastic polluters, is going to pay above market rate
for recycled plastic in an attempt to reach its goal of reducing virgin plastic
use by one-third by 2025.
Plastic bans
Microbeads. Photo: MPCA Photos
As of 2018, 127 countries had some type of legislation regulating plastic
bags, according to a United Nations Environment Programme report.
These bills might involve limiting the bags‘ manufacture or use, taxing them
or regulating their disposal. Twenty-seven countries have banned certain
plastic products, such as packaging, plates, cups and straws. Sixty-three
countries have required extended producer responsibility for single-use
plastics, where producers of the plastic are responsible, financially or
physically, to deal with their disposal.
In the U.S., the only federal ban on plastics is the Microbead-free Waters
Act of 2015, forbidding the use of microbeads in cosmetics. Eight states
have enacted other plastic restrictions, and 24 states have passed
approximately 330 local plastic bag laws.
A global campaign against single-use plastics could make a larger dent in
oil demand than electric cars.
Page 14 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Christof Ruehl, a senior research scholar at Columbia University‘s Center
on Global Energy Policy, is sanguine about the effectiveness of these bans
and recycling. He and a colleague researched the potential impacts of a
modest reduction in the demand for packaging material and a small
improvement in plastic recycling. They cited three outcomes. ―It brings
peak oil demand forward by about five years into the mid- to late 2020s,‖
said Ruehl. ―Secondly, it creates stranded assets because a lot of
especially national companies are now heavily investing into new
petrochemical facilities, because they believe plastic demand will continue
rising. And thirdly—this I found really amazing—the impact of a successful
campaign globally against the use of single-use plastics has a larger dent
in oil demand than the dent caused by electric cars.‖ In other words,
effective regulations on plastic could reduce oil demand by at least as
much as the adoption of electric cars 20 years from now.
The CIEL report studied possible solutions to the plastic pollution problem
and determined that five measures would reduce greenhouse gas
emissions the most and deliver environmental and social benefits:
Ending the production and use of single-use, disposable plastic;
Stopping development of new oil, gas, and petrochemical infrastructure;
Promoting zero-waste communities;
Requiring extended producer responsibility;
Adopting and enforcing ambitious targets to reduce greenhouse gas
emissions from all sectors, including plastic production.
It‘s important to bear in mind, however, that even if it were possible to
achieve these measures and eliminate all demand for plastic, ―You will
have to replace the plastic with something else,‖ said Ruehl. ―That
something else would use energy and produce carbon emissions. Glass
and paper, for example, are very energy-intensive. So in order to get a
complete picture, you would have to study these replacements, but no one
has done that yet.‖
Tags:
Center on Global Energy PolicyethaneFrackingLamont-Doherty Earth
ObservatorymicroplasticsNatural Gasplasticplastic bansplastic
pollutionrecycling
International Research Institute for Climate and SocietyLamont-Doherty
Earth Observatory
Authors
Page 15 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Advanced Consortium on Cooperation, Conflict, and ComplexityAlex
HallidayAdrienne KenyonAlex FischerAbby MeolaRoger AndersonAudrey
RammingAndrew RevkinAdam SobelAlix TrébaolAastha UpretyAnuradha
VaranasiRobert S. ChenCassie XuCathy VaughanColumbia Center on
Sustainable InvestmentCenter for International Earth Science Information
NetworkCharlotte MunsonColumbia Water CenterCenter for Research on
Environmental DecisionsCari ShimkusCourtney SmallCourtney St. JohnDaniel
BurgessDebbie CookDebra TillingerDavida HellerDiana B SierraDavid
MaurrasseDonna ShillingtonDiego VillarrealDwi SusantoDale WillmanEarth
InstituteEve WarburtonElza BouhassiraEinat LevEvan LimCenter on Global
Energy PolicyEmily O'HaraEric HolthausElizabeth RobinsonEmily
RothenbergEve SolomonElisabeth SydorFarah HegaziKyle FrischkornFrancesco
FiondellaFrank NitscheGina AckermanGavin SchmidtElisabeth
GawthropGabriella CohenGeoffrey HealGilma MantillaGisela WincklerGrennan
Joseph MillikenGrace PalmerGrant GoodrichHamsa SubramaniamHannah
ChangHima BataviaHayley MartinezIndrani DasInternational Research Institute
for Climate and SocietyIvy MorganJaclyn Leigh CarlsenJames WarieroJessica
CrespoJeffrey SachsJennifer VettelJesper FrantJessica FanzoJeremy
HinsdaleJill A. VanTongerenJim CochranJim GahertyJonathan NicholsJohn
McArthurJohn MutterJacquelyn TurnerJu Young LeeJulia Apland HitzJulie
ArrighiKatherine AllenKalpana VenkatasubramanianKate BrashKate MorrisKate
WeinbergerKatherine ReganKatie HornerKatie JohnsonKavita Jain-CocksKelsie
DeFranciaKelsey DyezKevin KrajickKate Kennedy FreemanKim Anne
KastensKim MartineauKlaus LacknerKristin FrancozKatherine SchulmanKirsty
TintoKelcie WaltherKyu LeeKathy ZhangLakis PolycarpouIsabel Amos-
LandgrafLareef ZubairLaura LyLauren BarredoLauren ZieglerLenfest
CenterLeesa KoLonnie ThompsonLaura PirainoLily RobertsLindsay SiegelLucia
RodriguezMadeleine RubensteinMargie TurrinMariapaola SuttoMarie DeNoia
AronsohnMary-Elena CarrMattias ChesleyMeag
https://news.climate.columbia.edu/2020/02/20/plastic-production-climate-
change/
Plastikmikro pun ada pada botol susu bayi… kajian
MICROPLASTICS
Bottle-Fed Babies May Consume Millions of
Microplastic Particles a Day
Jordan Davidson
Oct. 20, 2020 11:52AM EST
HEALTH + WELLNESS
New research finds baby bottles may release millions of microplastic
particles with each feeding. Beeki / Needpix
Page 16 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
The process of preparing and mixing
a baby bottle formula seems
innocuous, but new research finds
this common occurrence is actually
releasing millions of microplastic
particles from the bottle's lining,
Wired reported.
Microplastics are particles that are
smaller than five millimeters long.
Sterilizing and mixing formula may
also release trillions of nanoplastic
particles, which are billionths of a
meter long, Wired reported.
The new study published in Nature Food found that the amount of
microplastic babies consume is much larger than previous estimates. "We
were absolutely gobsmacked," study co-author John Boland told The
Guardian. "A study last year by the World Health Organization (WHO)
estimated adults would consume between 300 and 600 microplastics a day
— our average values were on the order of a million or millions."
"The numbers are, well, frightening," Deonie Allen, who studies
microplastics at the University of Strathclyde in Scotland, but wasn't
involved in the research, told Wired. "They're bigger than any exposure
tests that have been done before for human uptake."
The researchers examined the amount of formula that infants up to a year
old consumed in 48 global regions. They discovered that, on average,
bottle-fed babies were exposed to 1.6 million microplastic particles a day,
The Guardian reported.
"We have to start doing the health studies to understand the implications,"
Boland told The Guardian. "We're already working with colleagues to look
at what buttons in the immune system these particles begin to press."
The researchers explained their methodology and results in The
Conversation. They used common polypropylene baby bottles, and
followed the WHO's 2007 guidelines for preparing baby formula. This
involved cleaning, sterilizing and mixing formula. The results were that
bottles released up to 16 million particles per liter of water heated to 158
degrees F. The number of particles jumped to 55 million at 203 degrees F.
Not only does hotter water shed more microplastics, but so does shaking
the bottle, which is a common practice for reconstituting formula.
However, the researchers also created a simple four-step method for
reducing microplastic exposure, detailed in The Conversation:
Page 17 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Rinse sterilized feeding bottles with cool, sterile water.
Always prepare formula in a non-plastic container.
After formula has cooled to room temperature, transfer it into the cooled,
sterilized feeding bottle.
Avoid rewarming prepared formula in plastic containers, especially with a
microwave oven.
The last step resonated with Boland. He told Wired, "I think the important
learning is never, ever, ever use a microwave oven to heat anything with a
plastic container. Because what happens is you get in fact the local heating
of the plastic and the water together, which gives enhanced levels of
microplastic generation. And so that combination we think is particularly
potent."
Microplastics Found in Human Organs for First Time - EcoWatch ›
Microplastics Are Raining Down on Cities - EcoWatch ›
People Eat 50,000+ Microplastics Every Year, New Study Finds ... ›
Microplastics are in our food and water. How that affects our health ... ›
Microplastics have moved into virtually every crevice on Earth ›
Study: Plastic Baby Bottles Shed Microplastics When Heated ... ›
plastic pollutionpublic healthhealthfoodsciencemicroplastics
https://www.ecowatch.com/amp/microplastics-baby-bottles-
2648408090?__twitter_impression=true
Plastics
Twenty firms produce 55% of world’s plastic waste, report
reveals Plastic Waste Makers index identifies those driving
climate crisis with virgin polymer production
Sandra Laville
Tue 18 May 2021 01.00 BST
Twenty companies are responsible for producing more than half of all the
single-use plastic waste in the world, fuelling the climate crisis and creating
an environmental catastrophe, new research reveals.
Among the global businesses responsible for 55% of the world‘s plastic
packaging waste are both state-owned and multinational corporations,
including oil and gas giants and chemical companies, according to a
comprehensive new analysis.
Page 18 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Quick Guide
The top 20 producers of single use plastic
Show
The Plastic Waste Makers index reveals for the first time the companies
who produce the polymers that become throwaway plastic items, from face
masks to plastic bags and bottles, which at the end of their short life pollute
the oceans or are burned or thrown into landfill.
It also reveals Australia leads a list of countries for generating the most
single-use plastic waste on a per capita basis, ahead of the United States,
South Korea and Britain.
ExxonMobil is the greatest single-use plastic waste polluter in the world,
contributing 5.9m tonnes to the global waste mountain, concludes the
analysis by the Minderoo Foundation of Australia with partners including
Wood Mackenzie, the London School of Economics and Stockholm
Environment Institute. The largest chemicals company in the world, Dow,
which is based in the US, created 5.5m tonnes of plastic waste, while
China‘s oil and gas enterprise, Sinopec, created 5.3m tonnes.
Eleven of the companies are based in Asia, four in Europe, three in North
America, one in Latin America, and one in the Middle East. Their plastic
production is funded by leading banks, chief among which are Barclays,
HSBC, Bank of America, Citigroup and JPMorgan Chase.
The enormous plastic waste footprint of the top 20 global companies
amounts to more than half of the 130m metric tonnes of single-use plastic
thrown away in 2019, the analysis says.
It's not just oceans: scientists find plastic is also polluting the air
Single-use plastics are made almost exclusively from fossil fuels, driving
the climate crisis, and because they are some of the hardest items to
recycle, they end up creating global waste mountains. Just 10%-15% of
single-use plastic is recycled globally each year.
The analysis provides an unprecedented glimpse into the small number of
petrochemicals companies, and their financial backers, which generate
almost all single-use plastic waste across the world.
Al Gore, the environmentalist and former US vice-president, said the
groundbreaking analysis exposed how fossil fuel companies were rushing
to switch to plastic production as two of their main markets – transport and
electricity generation – were being decarbonised.
Page 19 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
―Since most plastic is made from oil and gas – especially fracked gas – the
production and consumption of plastic are becoming a significant driver of
the climate crisis,‖ said Gore.
―Moreover, the plastic waste that results – particularly from single-use
plastics – is piling up in landfills, along roadsides, and in rivers that carry
vast amounts into the ocean.‖
The plastic waste crisis grows every year. In the next five years, global
capacity to produce virgin polymers for single-use plastics could grow by
more than 30%.
By 2050 plastic is expected to account for 5%-10% of greenhouse gas
emissions.
Why have sperm counts more than halved in the past 40 years?
―An environmental catastrophe beckons: much of the resulting single-use
plastic waste will end up as pollution in developing countries with poor
waste management systems,‖ the report‘s authors said. ―The projected
rate of growth in the supply of these virgin polymers … will likely keep new,
circular models of production and reuse ‗out of the money‘ without
regulatory stimulus.‖
The report said the plastics industry across the world had been allowed to
operate with minimal regulation and limited transparency for decades.
―These companies are the source of the single-use plastic crisis: their
production of new ‗virgin‘ polymers from oil, gas and coal feedstocks
perpetuates the take-make-waste dynamic of the plastics economy.‖
The report said this undermines the shift to a circular economy, including
the production of recycled polymers from plastic waste, reusing plastic and
using substitute materials. Just 2% of single-use plastic was made from
recycled polymers in 2019.
―Plastic pollution is one of the greatest and most critical threats facing our
planet,‖ said Dr Andrew Forrest AO, chairman of the Minderoo Foundation.
―The current outlook is set to get worse and we simply cannot allow these
producers of fossil fuel-derived plastics to continue as they have done
without check. With our oceans choking and plastic impacting our health,
we need to see firm intervention from producers, governments and the
world of finance to break the cycle of inaction.‖
Topics Plastics Packaging Plastic bags Corporate social responsibility
Oil and gas companies Oil
Takeaway food and drink litter dominates ocean plastic, study shows
3 months
Page 20 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Turkey to ban plastic waste imports
4 months
UK plastics sent for recycling in Turkey dumped and burned, Greenpeace finds
4 months
It‟s on our plates and in our poo, but are microplastics a health risk?
Scientists find way to remove polluting microplastics with bacteria
5 months
„Single-use plastics‟ to be phased out in Australia from 2025 include plastic utensils and
straws
5 months
© 2021 Guardian News & Media Limited or its affiliated companies. All
rights reserved.
https://amp.theguardian.com/environment/2021/may/18/twenty-firms-
produce-55-of-worlds-plastic-waste-report-
reveals?__twitter_impression=true
AUSTRALIA
Plastic waste and climate change - what's the connection?
30 Jun 2021
KEYWORDS plastic climate change greenhouse gas emission
From an interview with Kerri Major
Engagement Manager Partnerships & Innovation, WWF-Australia
Growing up in Singapore, I didn't question the role of plastic. Durable and
cheap, it was everywhere, and everyone used it. It wasn‘t until my
environmentally-conscious mother started refusing plastic bags from shops
and even reusing laundry water for flushing - that I came to understand the
impact that plastic had on our environment.
Now I know all too well. And the impacts are way more sinister than
anyone first thought.
Because the world's growing production of plastics - about 100 million
tonnes annually - is not just clogging landfill sites and threatening our
oceans and marine life; it's accelerating climate change.
Plastic is one of the most persistent pollutants on Earth. It's made to last -
and it does, often for 400 years or more. And at every step in its lifecycle,
Page 21 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
even long after it has been discarded, plastic creates greenhouse gas
emissions that are contributing to the warming of our world.
A report by the Center for International Environmental Law, released in
May, concluded that the impact of plastic production on the world's climate
this year will equate to the output of 189 coal-fired power stations. By
2050, when plastic production is expected to have tripled, it will be
responsible for up to 13% of our planet's total carbon budget - on a par
with what 615 power stations emit.
So how is plastic implicated in climate change?
Almost all plastic is derived from materials (like ethylene and propylene)
made from fossil fuels (mostly oil and gas). The process of extracting and
transporting those fuels, then manufacturing plastic creates billions of
tonnes of greenhouse gases. For example, 4% of the world's annual
petroleum production is diverted to making plastic, and another 4% gets
burned in the refining process.
But how we manage all the plastic that then goes into circulation is equally
troubling. Of the almost 3 million tonnes of plastic that Australia produces
each year, 95% is discarded after a single use. Less than 12% is recycled,
which leaves a staggering amount to be disposed of - in landfills or
incinerated.
We used to rely on countries like China, Myanmar and Cambodia to handle
our waste plastic. It was convenient to bale it up and ship it offshore for
someone else to deal with.
However, the poorly-regulated incineration in those developing nations
posed considerable threats to human health and the environment.
Globally, in this year alone, researchers estimate that the production and
incineration of plastic will pump more than 850 million tonnes of
greenhouse gases into the atmosphere. By 2050, those emissions could
rise to 2.8 billion tonnes.
Alarmingly, at least 8 million tonnes of discarded plastic also enters our
oceans each year, and plastic pollution at sea is on course to double by
2030. Plastic has even been found in the deepest place on Earth - in the
Mariana Trench, nearly 11 kilometres below sea level.
In our oceans, which provide the largest natural carbon sink for
greenhouse gases, plastic leaves a deadly legacy. It directly chokes and
smothers a host of marine animals and habitats and can take hundreds of
years to break down.
As it does, sunlight and heat cause the plastic to release powerful
greenhouse gases, leading to an alarming feedback loop. As our climate
Page 22 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
changes, the planet gets hotter, the plastic breaks down into more
methane and ethylene, increasing the rate of climate change, and so
perpetuating the cycle.
The smaller particles (known as microplastics) that break off and disperse
are also unwittingly ingested by marine animals, including plankton, and
some of the fish we eat. And why should we care about plankton? Well
these tiny powerhouses play a critical role in taking carbon dioxide from the
atmosphere and water and sequestering it in deep ocean sinks. The full
effects of this are still being studied, but the essential premise is this: when
microplastics threaten plankton populations, more carbon will re-enter the
waters and atmosphere.
Given that our oceans have successfully absorbed 30-50% of atmospheric
carbon produced since the start of the industrial era, it's easy to see just
what's at stake. And this leads us back to the plastic consumption on land
that is driving this mounting plastic pollution crisis.
The more plastic we make, the more fossil fuels we need, the more we
exacerbate climate change.
The only way we can now address the problem is to curb the production of
plastic, especially of the single-use variety, and to ramp up recycling.
Reducing plastic use and waste is a key component of WWF's work. We're
committed to collaborating with our supporters, corporate partners and
industry bodies to improve plastic management and limit its environmental
impact. It's critical if we are to curb greenhouse gas emissions that are
exacerbating climate change, and to protect our marine environments.
Thanks to Mum, I'm now a passionate advocate for recycling. I believe
there‘s much we can do to re-use the plastics we produce, but it's no
longer enough. It's time to put single-use plastic under wraps and begin re-
imagining a future without it.
Recommended reading
Update: An important step towards stopping plastic pollution
There‘s an important update in the plastics space! The Australian
Government has committed to support a global binding agreement as part
of a UN treat ...
READ MORE
Sustainability
The true cost of plastics
Page 23 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
In a groundbreaking piece of research, WWF and global consultancy firm Dalberg have
worked together to estimate the true cost of plastics to society a ...
READ MORE
© WWF-Australia 2018, All rights reserved.
Site terms Photos and graphics © WWF or used with permission. Text available under Creative
Commons licence.
https://www.wwf.org.au/news/blogs/plastic-waste-and-climate-change-
whats-the-connection#gs.d0ze1a
Allianz Indonesia melalui Yayasan Allianz Peduli turut serta dalam
World Cleanup Day 2021, dengan menanam 2.000 pohon mangrove di
Pulau Harapan, Kepulauan SEribu
Peduli Lingkungan, Allianz Indonesia Ikut dalam
Aksi 'World Cleanup Day'
Sabtu, 25 September 2021 | 14:13 WIB
Windarto
Jakarta, Investor.id – Allianz Indonesia melalui Yayasan Allianz Peduli
(YAP) kembali berpartisipasi dalam World Cleanup Day 2021 (WCD)
dengan serangkaian kegiatan, di antaranya penanaman 2.000 pohon
mangrove di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Selain itu, ada pula
pemberdayaan komunitas lokal serta melibatkan masyarakat untuk
berdonasi menanam mangrove. Hutan mangrove merupakan salah satu
ekosistem dengan kelompok tumbuhan yang memiliki banyak manfaat
bagi lingkungan dan makhluk hidup sekitarnya, sehingga kegiatan
penanaman pohon mangrove ini dapat menjaga kelestarian alam,
terutama wilayah pantai.
Perwakilan YAP Sunadi mengatakan, partisipasi YAP pada World Cleanup
Day 2021 merupakan kelanjutan komitmen dan kepedulian Allianz
Indonesia terhadap lingkungan. Seperti diketahui, dunia saat ini sedang
menghadapi gangguan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global.
―Oleh karena itu, kami tidak pernah berhenti mengedukasi dan
menginspirasi masyarakat luas untuk turut peduli dan melestarikan
lingkungan melalui ragam program atau kampanye yang kami inisiasi,
seperti penanaman pohon mangrove, webinar edukasi terkait lingkungan
bagi masyarakat, serta pemberdayan komunitas petani mangrove dan
bank sampah,‖ kata Sunadi.
Tahun ini merupakan tahun ketiga bagi YAP melakukan kegiatan
penanaman pohon mangrove. Namun, ada yang berbeda dari tahun-tahun
Page 24 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
sebelumnya karena pada WCD 2021 masyarakat dapat berkontribusi
dengan mengikuti ‗Instagram Photo Challenge Donasi Mangrove,‘ dan
untuk setiap post yang diunggah dapat dikonversi dengan satu pohon
mangrove. Syaratnya, masyarakat dapat mengunggah foto saat
melakukan kegiatan peduli lingkungan seperti memilah sampah,
membersihkan lingkungan sekitar, menanam pohon, dan mendaur ulang
sampah.
Selain dapat membagikan cerita melalui media sosial, masyarakat juga
bisa berkontribusi menyumbangkan pohon mangrove dan turut
mendukung kegiatan sosial Allianz Indonesia melalui Yayasan Allianz
Peduli. Caranya dengan berbelanja merchandise resmi Allianz Indonesia
di https://azboutique.gifted.id/ , seperti botol minum atau peralatan makan
yang bisa digunakan berulang kali sehingga bisa mengurangi sampah
plastik sekali pakai. Untuk setiap pembelian minimal Rp150 ribu dan
kelipatannya akan dikonversikan dengan satu pohon mangrove.
Masyarakat yang telah berpartisipasi menyumbangkan pohon mangrove
ini akan mendapatkan sertifikat elektronik sebagai bentuk kontribusinya
pada kelestarian lingkungan. Kegiatan donasi pohon mangrove ini bukan
hanya berlansung selama World Cleanup Day saja, tetapi masyarakat
tetap dapat berkontribusi menyelamatkan bumi dengan menggunakan
polis elektronik, satu polis elektronik yang terdaftar sama dengan satu
pohon mangrove untuk ditanam.
Lebih lanjut, YAP juga bekerja sama dengan Majalah Bobo mengadakan
kelas virtual untuk anak-anak, "Membuat Sampah Menjadi Kreasi Mainan
Daur Ulang". Sebuah kelas yang mengajarkan bagaimana menyulap
sampah yang ada di rumah menjadi sebuah mainan yang bernilai. Selain
memanfaatkan sampah di rumah, kegiatan ini juga berguna untuk
mengasah kreativitas masyarakat, khususnya generasi penerus, untuk
lebih bijak mengelola sampah.
Masalah pengolahan sampah juga menjadi bahan diskusi dalam webinar
World Cleanup Day 2021 pada 18 September 2021 lalu, yang
dilaksanakan bersama dengan CarbonEthics. Webinar ini menghadirkan
CEO & Co-Founder Rekosistem, Ernest C. Layman, ―Salah satu alasan
kami mendirikan Rekosistem adalah karena masih belum optimalnya
sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Rekosistem hadir untuk
meningkatkan produktivitas di sektor pengelolaan sampah dengan
menghubungkan masyarakat dengan mitra daur ulang sehingga sampah
yang terkumpul didaur ulang dengan transparansi laporan data yang jelas
dan reward point yang pada akhirnya memotivasi masyarakat untuk
memilah sampah lebih banyak dan menerapkan gaya hidup zero waste
dari rumah mereka,‖
Lebih lanjut, Mustafa, Ketua Kelompok Petani Mangrove Pulau Harapan,
yang aktif melakukan kegiatan penanaman mangrove turut menyampaikan
Page 25 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
kekhawatirannya terkait dengan sampah yang berakhir di laut.
Menurutnya, menjaga kebersihan lingkungan bebas dari sampah juga
penting dilakukan karena sampah dapat mengganggu proses
pertumbuhan mangrove. Mustafa juga menekankan pentingnya
keberadaan ekosistem mangrove sangat penting sebagai salah satu cara
mitigasi krisis iklim yang dampaknya paling dirasakan oleh masyarakat
pesisir.
Kelestarian lingkungan harus didukung oleh kualitas sumber daya manusia
(SDM) yang mengelola lingkungan tersebut. Sehingga tidak hanya YAP
bersama dengan Yayasan CarbonEthics Indonesia menyumbangkan
pohon mangrove, tetapi juga melakukan kegiatan edukasi dan
pemberdayaan petani mangrove, sampai dengan bulan Desember
mendatang, agar para petani mampu meningkatkan kualitas produksinya.
Selain itu, YAP juga memberikan edukasi tentang bank sampah dengan
pendekatan personal (door to door) ke masyarakat Kepulauan Seribu agar
lingkungan pesisir tetap terjaga kebersihannya.
Webinar World Cleanup Day 2021 sekaligus menjadi penutup rangkaian
kegiatan yang diinisiasi oleh YAP. Usaha bersama untuk menjaga
lingkungan sebagai rumah kita bersama penting untuk dilakukan, korporasi
juga harus berkontribusi terhadap konservasi lingkungan. Hal ini
diwujudkan Allianz Indonesia melalui program-program CSR, membuat
strategi bisnis yang berkelanjutan, dan mendukung komunitas lokal dan
sekitar.
Editor : Maswin (maswin@investor.co.id )
Sumber : Majalah Investor
Copyright ©2021 Investor.id | All Rights Reserved
https://investor.id/investory/264754/peduli-lingkungan-allianz-indonesia-
ikut-dalam-aksi-39world-cleanup-day39
Indonesia’s pandemic-fuelled problem:
Mounds of medical waste
From masks and gloves to IVs and COVID tests, reporter Adi Renaldi visits the landfills
and dumpsites that are now home to toxic medical waste.
Bagong Suyoto, from the NGO National Waste Coalition, holds up intravenous drip
lines with needles still attached, collected by scavengers from landfills on the outskirts
of Jakarta, Indonesia [101 East/Al Jazeera]
By Adi Renaldi
1 Oct 2021
Page 26 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
The overpowering stench is the first thing that I notice, filling my nose and
making my eyes water. Then I see the mountains of rotting waste. This is
Burangkeng, one of Indonesia‘s largest landfills, in the city of Bekasi some
30km from the capital, Jakarta.
On the surface it looks like any other large dumpsite, but among the
regular rubbish lies a growing amount of toxic medical waste. From blood-
filled drip lines to masks, medical gloves and COVID-19 tests. All hidden in
plain sight.
Asia‘s Pandemic Waste EmergencyWhy has COVID-19 taken hold in
Indonesia?What‘s behind Indonesia‘s COVID-19 surge?Cemeteries full as
Indonesia reports 1,000 COVID deaths in a day
As a journalist investigating the impact of the pandemic on Indonesia‘s
waste system, I have spent a great deal of time reporting from morgues,
cemeteries and hospitals, watching how the virus takes tens of thousands
of lives and renders others hopeless and isolated.
Every time I go into the field, I feel isolated, too, as I have to separate from
my family for fear of spreading the virus. I have come to Burangkeng to
find out what happens to COVID-19 waste.
At the entrance, I meet Bagong Suyoto. He is surrounded by heavy trucks
full of waste from across Jakarta, waiting to unload.
Reporter Adi Renaldi and Bagong Suyoto from the National Waste Coalition uncover
used intravenous drip lines, dumped in the Burangkeng landfill [101 East/Al Jazeera]
A man in his early 50s, he knows this site well and visits it regularly. He
heads an NGO called National Waste Coalition (KPNas) and for more than
two decades has been advocating for better management of waste in
Indonesia.
―I did not have an understanding about waste at first, I wasn‘t even
interested in it. But after I investigated it, I found out that waste is a
problem for the environment and for humanity,‖ he says.
‗Used and dumped‘
Since the early days of the pandemic, Suyoto has noticed a rapid increase
in the amount of untreated medical waste appearing in Jakarta‘s landfills.
He is going to show me how easy it is to find.
It does not take us long. Just a few metres inside Burangkeng landfill,
Suyoto locates intravenous (IV) drip bags and lines scattered among other
types of plastic waste. Then he spots COVID-19 rapid tests.
Page 27 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Discarded COVID-19 rapid tests and other medical waste are found mixed
in with with regular rubbish at the Burangkeng landfill in Bekasi city [101
East/Al Jazeera]
―There are still many in here,‖ he says. ―They look like they have just
recently been used and dumped in here.‖
According to the United Nations Environment Program (PDF), the rate of
medical waste disposal has risen by 500 percent in Jakarta and four other
Asian capital cities.
As we sift through used masks with gloved hands and poke bags filled with
old medicines, I wonder how this waste came to be here, among
household debris.
Suyoto tells me that most of the medical waste he finds is mixed with
regular waste inside plastic bags. Because the waste is concealed, it is
difficult to track how it enters the landfill, or to trace it back to its source.
Further inside the dump, as we squat on the side of a track watching trucks
unload, Suyoto says the medical waste is mixed like this purely for
economic purposes.
He explains that it is far cheaper for hospitals and clinics to dump their
waste than pay disposal businesses to remove it.
By law, medical waste should be incinerated or sterilised. But the reality is
only 4 percent of Indonesia‘s 3,000 hospitals have a licence to operate an
incinerator.
The Burangkeng landfill in Bekasi city, 30km from Jakarta, is one of the country‘s
largest [101 East/Al Jazeera]
In July 2021, the Minister of Environment and Forestry Siti Nurbaya
acknowledged the growing problem of medical waste. She announced the
government would relax some rules for hospitals and clinics that were
struggling with increased waste, allowing the operation of some
unauthorised incinerators under the ministry‘s supervision.
To a man like Suyoto, who has fought to bring the government‘s attention
to this problem for decades, this response is not enough to stem the
growing tide.
―Governments must provide more thermal technology or incinerator
technology to destroy medical waste, especially waste related to the
COVID pandemic treatment. The government must be serious about it,‖ he
tells me.
Page 28 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
At the source
To see the source of medical waste first-hand, I visit the University of
Indonesia Hospital. As I walk in, lines of people wearing masks stretch past
the front door as they wait for treatment. Of the 160 to 170 patients
admitted here every day, 80 percent have COVID-19.
I meet Siti Kurnia Astuti, who manages the hospital‘s waste. She takes me
on a tour of the hospital, showing me how staff in the COVID ward take off
their PPE, carefully placing it in marked bags and then in bins, which will
be wheeled to the disposal area at the back of the building.
Here, we find workers weighing the medical waste and storing it for
collection. Astuti tells me the amount has quadrupled during the pandemic,
rising to 10 tonnes each month.
Siti Kurnia Astuti is the head of sanitation at the University of Indonesia Hospital. She
shows reporter Adi Renaldi where the hospital stores its medical waste before
collection [101 East/Al Jazeera]
The hospital used to have its own working incinerator to burn this waste,
but it broke down. Now, they must pay a company about 70 cents per
kilogram to take it away and process it for them.
―So you can imagine how high the cost is that needs to be paid by the
hospital, just in waste processing. While, if we process it using our own
incinerator, we can save about 50 percent of the cost,‖ Astuti says.
But she still worries about where it could end up, and says the hospital
sometimes follows the trucks that take the waste away, to ensure it is not
being dumped.
Back at the Burangkeng landfill, I watch hundreds of waste pickers
scavenging through the piles of rubbish, as if looking for treasure. Carrying
large bamboo baskets and metal picks, they search for items that can be
sold.
IV drip bags and lines are prized products that can be sold for 38 cents per
kilogram to unscrupulous recycling plants.
Scavengers and middlemen
Wilson Pandhika is the secretary-general of Indonesia Plastic Recyclers,
an association that represents 120 plastic recycling businesses. He says
the industry relies heavily on the informal sector.
He also admits that sourcing plastics from unofficial waste collectors has
led to a convoluted supply chain with layers of middlemen.
Page 29 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
The scavengers who collect medical waste are also putting themselves at
great risk.
Near some landfills on Jakarta‘s outskirts, is a village of people who pick through the
rubbish to find recyclable items to sell, including some medical waste [101 East/Al
Jazeera]
Suyoto takes me to meet them at a village near the Burangkeng landfill.
Here we find small children running around and playing games while men
clean IV drip lines and bottles, stacking them into baskets and bags.
Suyoto picks up some lines with needles still poking off the end and one of
the scavengers tells us how he once got pricked by a needle while
collecting waste.
―You can get tetanus from it!‖ Suyoto warns him.
Needle-stick injuries can lead to serious infections while contact with other
types of medical waste can result in chemical or radiation burns.
Solutions to the problem
Indonesia‘s waste management system is a major concern among
environmentalists. The country has more than 400 landfills on almost 9,000
hectares (22,240 acres) of land.
The practice of dumping waste in open landfills without proper
management, has created mountains of rubbish as high as 40 metres in
another of Jakarta‘s landfills – Bantar Gebang. Built in the 1980s, each day
it receives an estimated 7,500 tonnes of waste. It is predicted it will reach
its capacity in 2021, according to the Regional Development and Planning
Agency.
But you don‘t have to go to a landfill to clearly see that the country is
struggling with the amount of medical waste being generated. Discarded
masks on the streets are now a common sight.
Scientist Dr Akbar Hanif Dawam Abdullah has perfected a method to recycle used
masks into plastic pellets [101 East/Al Jazeera]
I am not the only one taking notice of this. Dr Akbar Hanif Dawam
Abdullah, a scientist at the Cibinong Science Centre, did the maths.
He says, ―Fifty percent of the urban population are wearing disposable
masks. It‘s a big number. Indonesia has 270 million people and if half of
them are wearing disposable masks, we would have 130 million. And if
Page 30 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
they change masks every day … we tried to calculate it and found that it
produces more than 100 tonnes of disposable masks waste per day.‖
I visit Dr Dawam at his lab in Bandung, West Java, some 150km southeast
of Jakarta, where he and his team have been working tirelessly to find
solutions. When I ask him to explain why he decided to tackle this problem,
his eyes light up and he becomes animated.
Dr Dawam has studied bioplastics for five years, and knows that most
medical protective equipment contains a plastic called polypropylene that
can be recycled.
He shows me the various bits of equipment in his lab as his assistants,
wearing goggles, gloves and white coats, demonstrates the method they
have perfected to turn masks into plastic pellets.
Dr Akbar Hanif Dawam Abdullah monitors the melted plastic as it emerges
along a conveyor belt [101 East/Al Jazeera]
First, they sterilise the masks using alcohol or bleach, then dry them. The
sterilised masks are then melted down at 170 degrees Celsius (338
degrees Fahrenheit).
I watch as the melted plastic comes out of a machine in a long blue sticky
line and is fed onto a conveyor before being cut to pieces.
Dr Dawam proudly holds up the results to show me – colourful pellets that
can be made into new plastic products, including more protective
equipment.
He tells me he is waiting for new regulations to start the implementation of
programmes like his, and that some small and medium recycling industries
are already interested.
―Some industries know it, but they don‘t dare to proceed. The society has
shown their enthusiasm in this matter. Some people have even started to
sterilise [masks], to wash it, to collect,‖ he says. ―It‘s like we are halfway,
we just need to continue.‖
SOURCE: AL JAZEERA
https://www.aljazeera.com/features/2021/10/1/indonesia-pandemic-fuelled-
problem-covid-medical-waste
Page 31 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Menyedihkan, Setengah Ton Sampah Plastik
Bergelantungan di Pohon Bantaran Kali Porong
Rangga Prasetya Aji Widodo
1 Oktober 2021, 04:00 WIB
Membebaskan lilitan sampah plastik yang bergelantungan di atas pohon Bantaran Kali
Porong, Desa Kedungmunggal, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto, Jawa
Timur /Zona Surabaya Raya/
ZONA SURABAYA RAYA - Kebiasaan buruk masyarakat membuang
sampah plastik sembarangan masih banyak ditemukan.
Setengah ton sampah plastik bergelantungan di antara ranting pepohonan
bambu di Desa Kedungmunggal, Kecamatan Pungging, Kabupaten
Mojokerto. Karena sudah terlilit di dahan bambu, sampah plastik ini sulit
dilepaskan.
Perlu bantuan 75 orang untuk melepaskan sampah plastik yang sudah
membandel. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Basah (Ecoton)
melakukan Kegiatan Operasi Plastik Kali Porong ini pada Kamis 30
September 2021.
Agenda bersih-bersih sampah plastik ini didukung the Body Shop, Balai
Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS Brantas), Dinas Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (PUPR) Mojokerto, Jasa Tirta Rolak Songgo, dan
Relawan Sungai Nusantara.
"Sampah plastik yang berhasil dibersihkan dari pohon-pohon di
Kedungmunggal sekitar 5 kuintal (setara 500 Kg atau setengah ton, red)
sampah plastik," tutur Mochamad Yunus selaku mahasiswa Jurusan
Agribisnis Universitas Trunojoyo Madura.
"Sampah plastik ini terdiri dari tas kresek, sampah sachet bungkus
makanan, sampah pokok sekali pakai, tali, pakaian, senar, botol-gelas
plastik, dan sampah styrofoam yang melilit pada pohon waru dan rumpun
bambu di tepi sungai," ujarnya.
Ketika sampah plastik seberat setengah ton itu dimasukkan ke dalam
karung, hasilnya tertampung sebanyak 30 goni.
Sedangkan, bila sampah plastik yang bergelantungan di dahan-dahan
bambu itu terendam dan terkena air, akibatnya menjadi mikroplastik,
hingga berpotensi mencemari sumber makanan laut pada Kali Porong.
"Kami menghimbau pada warga di daerah aliran Sungai Brantas dan Kali
Porong untuk tidak membuang sampah plastik sekali pakai ke sungai atau
sembarang tempat. Karena sampah plastik ini (muaranya) akan ke Sungai
Page 32 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Brantas dan Kali Porong," ucap Sofi Azilan Aini sebagai relawan Sungai
Nusantara.
Sofi mengatakan bila ingin terhindar dari pencemaran mikroplastik dalam
sumber makanan laut, maka berhenti membuang sampah plastik ke
sungai.
Pada ekspedisi pembersihan lingkungan sebelumnya, Sofi menemukan
lebih dari 1.000 pohon di tepi Kali Porong yang terlilit sampah plastik,
apalagi membersihkannya begitu sulit.***
Editor: Julian Romadhon
TAGS sampah plastik Bantaran kali
PT Kolaborasi Mediapreneur Nusantara
Jl. Asia Afrika No. 75 Bandung - Jawa Barat, 40111, Ph. 022-4241600
Email: prmnnewsroom@pikiran-rakyat.com
©2021 Pikiran Rakyat Media Network
https://zonasurabayaraya.pikiran-rakyat.com/surabaya-raya/pr-
1852707391/menyedihkan-setengah-ton-sampah-plastik-bergelantungan-
di-pohon-bantaran-kali-porong
Heboh! Warna Air Sungai Cisadane Berubah Merah Darah,
Satpol PP Kota Tangerang Selatan Angkat Bicara
Peristiwa | 3 Oktober 2021 | 18:15 WIB
Penampakan Sungai Cisadane di
kawasan Kavling Serpong, Tangerang
Selatan, Banten yang mendadak berubah
warna menjadi merah darah. (Sumber:
Wartakotalive.com via Tribunnews.com)
TANGERANG SELATAN, KOMPAS.TV - Baru-baru ini publik dikejutkan
oleh penampakan air Sungai Cisadane, tepatnya di kawasan Kavling
Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten, yang berubah warna menjadi
merah darah.
Menanggapi fenomena tersebut, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Kota Tangerang Selatan pun langsung turun ke lokasi kejadian.
Page 33 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Kabid Penegakan Hukum Perundang-undangan Satpol PP Kota
Tangerang Selatan Sapta Mulyana mengonfirmasi bahwa pihaknya telah
melakukan pengecekan sementara.
Hasilnya, perubahan warna air Sungai Cisadane kemungkinan besar
disebabkan oleh pembuangan limbah bekas pengolahan sampah plastik.
Baca Juga: Wagub DKI Sebut Akan Segera Merelokasi Warga Terdampak
Normalisasi Sungai ke Rusun Pasar Rumput
"Ya, kalau dari segi kesalahan, (limbah) yang dibuang itu ada kandungan
zat kimia yang membahayakan," jelas Sapta, Sabtu (2/10/2021) dikutip
dari Tribunnews.com.
Meski begitu, lanjut Sapta, pihaknya masih perlu melakukan sejumlah
pengecekan lagi terkait limbah apa yang dibuang oleh tempat pengolahan
sampah plastik tersebut.
Sehingga, sebelum hasil uji laboratorium menyatakan bahwa limbah
tersebut membahayakan ekosistem Sungai Cisadane, penindakan pun
belum bisa dilakukan.
"Jadi, kami belum ada penindakan karena saat ke sana (Sungai
Cisadane), mereka (pihak pengolahan sampah plastik) sedang
membongkar plastik yang kecil. Nanti kamu tunggu evaluasi dari tim yang
turun ke lapangan," ujarnya.
Sebelumnya, sebuah video pendek membuat heboh jagad media sosial
Tanah Air karena menunjukkan warna air Sungai Cisadane yang berubah
menjadi merah darah di kawasan Kavling Serpong, Kota Tangerang
Selatan.
Warta Kota melaporkan, salah seorang warga sekitar yang bernama Danu
(38) membenarkan adanya kegiatan pembuangan limbah cair dari tempat
pengolahan sampah plastik ke aliran Sungai Cisadane.
Menurut pengakuan Danu, limbah cair tersebut kerap kerap kali berbuih
dan mengeluarkan bau kimia yang menyengat.
"Limbah itu kayaknya bukan limbah biasa, seperti dicampur bahan kimia
juga. Kalau warnanya apa saja? Ya, kadang putih, hitam, kadang merah,"
ungkap Danu.
"Jika lagi bau, aromanya sangat menyengat. Baunya seperti bahan kimia
gitu. Namanya juga limbah," sambungnya.
Penulis : Aryo Sumbogo
Page 34 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Editor : Edy A. Putra
Sumber : Tribunnews.com/Wartakotalive.com
https://www.kompas.tv/article/217963/heboh-warna-air-sungai-cisadane-
berubah-merah-darah-satpol-pp-kota-tangerang-selatan-angkat-
bicara?medium=whatsapp&smid=ee4be9dcaf0c68446fbac62ff7c5127
Siapa Sangka Taman Cantik Boyolali Ini Dulunya Tempat
Pembuangan Sampah
Ragil Ajiyanto - detikNews
Selasa, 05 Okt 2021 17:01 WIB
Taman Mekarsari, di Dukuh Mekarsari, Desa Kaligentong, Kecamatan Gladagsari,
Kabupaten Boyolali, Selasa (5/10/2021). (Foto: Ragil Ajiyanto/detikcom)
Boyolali - Siapa sangka taman yang indah dan asri di sebuah kampung,
Boyolali, Jawa Tengah ini dulunya adalah tempat pembuangan sampah
sementara. Kesan kumuh, bau busuk menyengat, dan menjijikkan kini
sudah tidak terlihat lagi di sini.
Ya, warga RT 01/02 Dukuh Mekarsari, Desa Kaligentong, Kecamatan
Gladagsari, Kabupaten Boyolali berhasil mengubahnya menjadi taman
yang indah. Warga memberi nama tempat di bantaran Kali Salak itu
Taman Mekarsari, sesuai nama kampungnya. Tempat ini pun kini banyak
dikunjungi warga, cuan pun mengalir.
"Awalnya cuma ngobrol santai dengan warga, bagaimana mengatasi
masalah sampah di tempat ini, karena banyaknya sampah sampai ke
sungai, jadi kesannya kumuh, bau dan warga yang mau lewat sini kan
jijik," kata Adi Wisnu Cahyono, Ketua RT 01/02 Dukuh Mekarsari, Desa
Kaligentong ditemui di Taman Mekarsari, Selasa (5/10/2021).
Sepanjang jembatan Kali Salak, Dukuh Mekarsari, ini dulunya dipenuhi
semak belukar yang rimbun. Tak jauh dari situ, ada tempat pembuangan
sampah yang menjadi andalan warga membuang sampah. Bau
menyengat, jalan sempit tanpa penerangan membuat warga bergidik bulu
kuduknya. Mitos adanya lelembut yang tersebar membuat warga takut
melewati jalan tersebut pada malam hari.
Menurut dia, yang membuang sampah di tempat tersebut kebanyakan
justru dari warga luar Dukuh Mekarsari. Saat mengantar sekolah anak atau
bepergian ke pasar dan lainnya, mereka membuang sampah di tempat
pembuangan sampah tersebut. Kegelisahan warga tentang sampah itu
memunculkan ide untuk membersihkannya.
Page 35 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
"Sehingga obrolan dengan warga, timbullah suatu ide bagaimana tempat
sampah ini kita alih fungsikan untuk mainan warga, kumpulan gotong
royong RT ataupun kegiatan edukasi untuk anak. sehingga timbul
pembuatan taman ini," ujar Wisnu.
Baca juga:
Pasutri Siksa Anak Asuh Difabel di Sleman, Barbuk Tongkat-Borgol
Pembersihan dan pembuatan taman dilakukan sejak sekitar dua tahun
lalu. Kondisi pandemi COVID-19 yang mengharuskan pekerja untuk work
from home (WFH) atau kerja dari rumah, termasuk warga Dukuh Mekarsari
dimanfaatkan untuk bergotong-royong melakukan pembersihan, dua kali
dalam seminggu.
"Sampai sekarang masih berjalan, warga gotong-royong kerja bakti terus
seminggu dua kali. Paling tidak di hari Sabtu dan Minggu," jelasnya.
Pembuatan taman Mekarsari ini pun dilakukan secara swadaya warga RT
01/02 Dukuh Mekarsari. Sehingga tak hanya kerja bakti selama sekitar dua
tahun ini, namun warga juga iuran untuk dana pembuatan taman.
"Dananya dari swadaya murni masyarakat. Warga bantingan (iuran)
semampunya, tidak memandang jumlah. Kalau dihitung pembuatan
Taman Mekarsari ini sudah habis Rp 160 juta ya ada," imbuh dia.
Kini, di lahan tanah kas Desa Kaligentong yang dikelola RT 01/02 Dukuh
Mekarsari itu telah sulap menjadi taman. Lengkap dengan gazebo, kolam
ikan di daerah aliran sungai (DAS), sejumpat spot swafoto, warung kuliner
dan tempat live music. Juga ada mini zoo, namun baru rusa sebanyak 9
ekor dan kelinci.
"Awalnya kita tidak terbayangkan seperti sekarang ini. Ya Alhamdulillah
dengan kerja sama semua warga, menyatu, jadilah seperti taman ini,"
imbuh dia.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
(sip/ams)
Boyolali taman di boyolali tempat pembuangan sampah birojatengdiy
Baca artikel detiknews, "Siapa Sangka Taman Cantik Boyolali Ini Dulunya Tempat
Pembuangan Sampah" selengkapnya https://news.detik.com/berita-jawa-
tengah/d-5754064/siapa-sangka-taman-cantik-boyolali-ini-dulunya-tempat-
pembuangan-sampah.
Lanjut:
Page 36 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Siapa Sangka Taman Cantik Boyolali Ini Dulunya
Tempat Pembuangan Sampah
Ragil Ajiyanto - detikNews
Selasa, 05 Okt 2021 17:01 WIB
Taman Mekarsari, di Dukuh Mekarsari, Desa
Kaligentong, Kecamatan Gladagsari,
Kabupaten Boyolali, Selasa (5/10/2021).
(Foto: Ragil Ajiyanto/detikcom)
Pada malam hari, tempat ini pun tak
kalah indahnya dengan berbagai
permainan lampu. Kini, selama tiga
hari di akhir pekan taman ini banyak
dikunjungi warga.
"Yakni di malam Sabtu hingga
Minggu malam cukup ramai di
kunjungi warga. Ada warung kuliner
dan live music. Tidak ada retribusi
masuk, kami hanya menarik untuk
parkirnya saja," katanya.
Taman Mekarsari ini pun akan terus dikembangkan. Luas tanah kas desa
yang dikelola RT 01/02 ada 3.500 meter persegi. Nantinya akan ditambah
taman lalu lintas, jogging track dan out bond. Pihaknya juga akan bekerja
sama dengan RT lainnya yang mengelola tanah kas desa di tempat
tersebut. Pengelolaan Taman Mekarsari saat ini dilakukan Kelompok Tani
Mekartani dukuh setempat.
Warga lainnya, Marjuki, bersyukur pandemi COVID-19 ini ternyata malah
memunculkan ide kreatif dan membawa berkah bagi warga Mekarsari
dengan membuat taman ini. Menurut dia, Dukuh Mekarsari saat ini sedang
mengalami bonus demografi. Hampir 70 persen warganya berada diusia
produktif. Sehingga program-program kampung bisa dijalankan maksimal.
"Dari 189 penduduk di Dukuh Mekarsari, usia produktif ada 112 orang.
Maka otomatis pola pikir dan kinerja tinggi. Beruntungnya, warga yang
berlatar belakang berbagai kalangan mau menyumbang ide, waktu, tenaga
dan biaya. Kalau destinasi taman ini sudah jadi, akan menjadi penompang
destinasi wisata. Maka perlu manajemen untuk pemesaran sendiri," kata
Marjuki yang juga Kasi Kesra Kebudayaan Desa Kaligentong.
Sementara itu Kepala Desa Kaligentong, Slamet Sumardi, mengamini
bahwa lahan Taman Mekarsari ini merupakan tanah kas desa yang
disewakan ke RT untuk dikelola. Sewa lahan berlangsung selama 3 tahun
dengan biaya sewa Rp 1,8 juta/tahun.
Page 37 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
"Kami serahkan ke kelompok tani masing-masing RT pengelolaannya, apa
saja bebas. Kita coba tiga tahun lihat perkembangannya. Kalau berhasil
perekonomian warga akan jalan. Begitu bisa jalan, retribusi taman
Mekarsari bisa menjadi sumber pemasukan dukuh dan desa," imbuh
Slamet.
(sip/ams)
boyolali taman di boyolali tempat pembuangan sampah
https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5754064/siapa-sangka-taman-
cantik-boyolali-ini-dulunya-tempat-pembuangan-sampah
.
BPOM Pastikan Kandungan BPA dalam AMDK Galon
Masih Aman untuk Bayi dan Ibu Hamil
Kamis, 7 Oktober 2021 | 18:13 WIB
Mashud Toarik (mashud_toarik@investor.co.id)
Deputi Bidang Pengawasan Pangan
Olahan BPOM, Rita Endang.
Ilustrasi; bebas BPA mulai dipromo toko
JAKARTA, investor.id - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
menegaskan bahwa Bisfenol A (BPA) yang terkandung dalam Air Minum
Dalam Kemasan (AMDK) di Indonesia masih pada batas aman, termasuk
untuk bayi, anak-anak dan ibu hamil. BPOM sudah membandingkan
dengan melihat standard yang disusun Otoritas Keamanan Makanan
Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA) dan dengan Peraturan
Menteri Kesehatan nomor 28 tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi.
Hal ini disampaikan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM,
Rita Endang dalam diskusi virtual bertajuk ―Keamanan Kemasan Bahan
Pangan Berbahan Baku Plastik yang Mengandung Unsur BPA‖, Kamis
(6/10). ―Kami selalu membuat kajian paparan BPA dari kemasan makanan,
termasuk di dalam air minum kemasan itu secara berkala,‖ ujarnya.
Page 38 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Rita mengatakan BPOM juga telah membandingkan dengan melihat
standar BPA yang disusun EFSA. Menurutnya, ESFA menetapkan
tolerable daily intake (TDI) BPA ini adalah 4 miligram perkilogram berat
badan individu perhari dari konsumsinya. ―Artinya, BPA yang ditoleransi
oleh tubuh manusia sebanyak itu jumlahnya,‖ tuturnya.
Tidak hanya itu, menurut Rita, BPOM juga mengecek berapa angka
kecukupan gizi dari setiap individu yang mengonsumsi AMDK yang sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 28 tahun 2019 tentang angka
kecukupan gizi. ―Jadi, berapa konsumsi air minum, katakanlah untuk bayi
itu sebesar 0,9 liter, itu kami hitung,‖ tukasnya.
BPOM juga menguji cemaran BPA dalam produk AMDK di dalam tubuh
orang dewasa. Cemarannya itu, kata Rita, dibandingkan dengan standar
EFSA, dan ditemukan dalam tubuh orang dewasa hanya 2,920%
paparannya, ibu hamil 3,316%, anak-anak 6,199%, dan bayi 7,008%.
―Artinya apa? Dari data ini terlihat memang persentase paparannya itu
dibandingkan dengan standar dari tolerable daily intake yang ditoleransi
masih sangat kecil. Jadi dari sini terlihat paparan BPA di Indonesia masih
aman, termasuk untuk bayi, anak-anak dan ibu hamil. Ini masih
ditoleransi,‖ katanya.
Dia menegaskan BPOM selalu mengawal keamanan pangan yang beredar
di masyarakat, termasuk dalam hal mutu dan gizinya. Hal itu juga sesuai
dengan yang diamanatkan dalam UU No.18 Tahun 2012, bahwa kemasan
pangan yang beredar pun harus yang tidak berbahaya. Ini juga sejalan
dengan PP 86 tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.
Dia mengutarakan dalam hal pengawasan terkait dengan kemasan AMDK,
BPOM juga mengacu kepada Peraturan Menteri Perindustrian No. 96
tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Industri Air Minum Dalam
Kemasan. Sebelumnya, Kemenperin merilis bahwa produk AMDK galon
berbahan PC aman bagi konsumen. Hal itu karena telah melalui proses
pengujian parameter Standar Nasional Indonesia (SNI) di laboratorium
yang telah ditunjuk dan mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditasi
Nasional (KAN).
―Jadi, ketika industri AMDK itu ingin meregistrasikan, menerbitkan izin
edar, untuk semua produk AMDK-nya, dia harus sudah tara pangan.
Setelah itu, kami punya aturan food grade sebagaimana diatur dalam
Peraturan BPOM nomor 20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan,‖ tutur
Rita.
Menurut Rita, semua kemasan plastik yang digunakan untuk AMDK, baik
dari PET, PP, PC, itu sesuai dengan aturannya. ―Itu sudah ada, kemasan
plastiknya pun sudah diatur,‖ ucapnya.
Page 39 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Pada tahun 2021 ini BPOM juga melakukan uji laboratorium terhadap
sampling kemasan galon air minum dalam kemasan (AMDK) jenis
polikarbonat (PC). Hasilnya, ditemukan adanya migrasi BPA dari kemasan
galon sebesar rata-rata 0,033 bpj. ―Nilai ini jauh di bawah batas maksimal
migrasi yang telah ditetapkan BPOM, yaitu sebesar 0,6 bpj,‖ ucap Rita.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Prof. Dr. dr. Aru Wisaksono
Sudoyo, SP.PD., KHOM, FINASIM., FACP yang juga menjadi narasumber
dalam acara itu menegaskan bahwa belum ada bukti bahwa plastik yang
dipakai sehari-hari itu menjadi penyebab dari penyakit kanker. Dia
mengatakan, hanya mengetahui kemasan stereofoam saja yang sudah
terbukti bisa memindahkan molekul-molekul plastiknya. Itu juga jika
kemasan stereofoam itu dipanaskan atau dibuat untuk membungkus
makanan berlemak. Selain itu juga makanan kaleng yang jika dipanaskan
berikut dengan kalengnya akan menyebabkan berpindahnya BPA ke
makanan yang di dalamnya. ―Tapi belum cukup kuat mengatakan kalau air
dalam kemasan itu bias menyebabkan kanker,‖ katanya.
Ketua Pengurus Harian Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi
mengatakan terkait dengan keamanan pangan ini sudah diatur, baik di
level Undang-Undang atau PP atau peraturan teknis lainnya. Namun,
katanya, kehadiran kemasan plastik membuat dampak yang signifikan,
baik itu untuk lingkungan global atau bahkan untuk kesehatan manusia
sebagai penggunanya. ―Dari satu sisi, kemasan plastik itu punya nilai plus
tapi di sisi lain juga harus ada aspek-aspek yang kita perhatikan, baik
untuk lingkungan global maupun pada sisi kesehatan. Apalagi saat ini kita
lagi terfokus pada perubahan iklim global, dimana sampah plastik punya
kontribusi yang signifikan dalam hal ini,‖ ujarnya.
Sebelumnya, Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI, Sularsi. mengakui
belum pernah menerima pengaduan dari konsumen terkait bahaya
penggunaan kemasan pangan. Yang ada itu, konsumen mengadu karena
adanya makanan yang rusak yang ada dalam kemasannya.
―Kalau untuk pengaduan khusus untuk wadahnya atau kemasannya, kami
belum pernah menerima pengaduan dari konsumen hingga saat ini. Tapi
kalau produknya, isinya, misalnya makanannya atau minumannya rusak,
itu ada,‖ katanya.
Editor : Mashud Toarik (mashud_toarik@investor.co.id)
Sumber : Majalah Investor
#bpom ri #air dalam kemasan
Berita Terkait
Produsen Plastik Pastikan Kemasan Galon Polikarbonat Aman untuk Air Minum
Copyright ©2021 Investor.id | All Rights Reserved
Page 40 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
https://investor.id/lifestyle/266255/bpom-pastikan-kandungannbspbpa-
dalam-amdk-galon-masih-aman-untuknbspbayi-dan-ibu-hamil
Konsumen dinilai belum nyaman tinggalkan
penggunaan plastik
Jumat, 8 Oktober 2021 06:05 WIB
Oleh Lia Wanadriani Santosa
Jakarta (ANTARA) - Upaya mengurangi penggunaan plastik sekali pakai
(PSP) dalam kehidupan sehari-hari termasuk dari kegiatan belanja saat ini
menghadapi tantangan dari konsumen yang dinilai belum merasa nyaman
meninggalkan produk polimerisasi sintetik itu.
Research Associate Lembaga
Penyelidikan Ekonomi Masyarakat
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Indonesia (FEB UI), Bisuk Abraham
Sisungkunon mengatakan, dalam
beberapa diskusi, ditemukan kenyataan
upaya pelaku usaha berhemat konten
plastik dalam pengiriman produk justru
berbuah komplain dari konsumen.
Menurut Bisuk, konsumen merasa produk
yang diterima kurang aman tanpa ada
lapisan plastik yang membungkus
kemasan.
Pada beberapa kasus ekstrem, mereka yang berbelanja secara daring
bahkan langsung memberi rating satu pada toko yang tidak mengemas
barang menggunakan plastik.
―Cukup banyak konsumen merasa kurang aman kalau produk tidak
dibungkus plastik lagi, walau disediakan kotak-kotak yang berbahan
seperti karton,‖ kata dia dalam talkshow bertajuk Pawai Bebas Plastik
2021 yang digelar secara daring, Kamis.
Di sisi lain, Bisuk melihat sebenarnya adanya kemauan dari para pelaku
usaha mengurangi penggunaan PSP karena ternyata upaya ini dinilai tak
terlalu berdampak signifikan pada biaya produksi mereka.
Hasil survei yang dia lakukan melibatkan 88 pelaku usaha dari tiga sektor
yakni manufaktur, perdagangan besar dan eceran serta makanan dan
minuman di DKI Jakarta pada Mei 2021 menunjukkan sebanyak 43 persen
Page 41 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
dari mereka merasa pengurangan atau penanganan PSP masih dalam
batas toleransi sehingga ada kesempatan untuk melakukan pengurangan
maupun penanganan PSP.
Sementara itu, dari sisi pelaku usaha sendiri, upaya pengurangan plastik
diklaim bisa membantu penghematan biaya produksi. Head of Values, PR
& Community Engagement The Body Shop Indonesia, Ratu Ommaya
mengatakan, komitmen meninggalkan plastik bisa membantu perusahaan
berhemat hingga 25 persen.
Merek kosmetik asal Inggris itu sudah menaruh perhatian pada
penggunaan plastik. Pada akhir tahun 2018, mereka berkomitmen sama
sekali tak menggunakan kantong plastik sebagai pembungkus produk.
Mereka memilih paper bag daur ulang kertas dengan tinta yang terbuat
dari soya ink. Harapannya, produk ini tidak mencemari lingkungan seperti
halnya plastik.
―Kami belajar, berusaha mencari supaya pengiriman tidak menggunakan
plastik sama sekali bahkan di bagian luar. Biasanya menggunakan sisa-
sisa karton untuk ditaruh di sela-sela produk supaya produk tetap aman
sampai ke customer,‖ tutur Maya.
Tangkapan layar- Transformasi
pengemasan dari The Body Shop
(ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)
Beralih dari plastik, perusahaan mulai memanfaatkan tissue paper dan
boks berbahan karton dengan kualitas bagus sehingga menjamin tidak
perlu lagi disegel menggunakan plastik.
Tetapi karena dinilai belum cukup ramah lingkungan, mereka akhirnya
menggunakan hard box yang didalamnya terdapat corrugated carton atau
kertas dengan bentuk bergelombang dan berlapis yang digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan kardus, agar produk tetap aman.
Pihak perusahaan lalu menjelaskan alasan pemilihan mengemas produk
tanpa plastik pada pihak jasa kurir dan konsumen. Mereka juga
memberikan jaminan produk tetap aman sampai pada konsumen dan siap
Page 42 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
bertanggung bila nantinya ada kerusakan akibat pengemasan tanpa
plastik.
―Trennya apresiasi dari customer. Mereka merasa dengan membeli produk
kami bukan hanya digunakan sebagai perawatan tubuh tetapi juga ada
nilai-nilai lain yang mereka dapat (ikut menjaga kelestarian lingkungan),‖
kata Maya.Ilustrasi barang dikemas tanpa plastik (Pixabay)
Perlunya inovasi pengganti penggunaan plastik
Polusi sampah plastik menjadi isu yang dihadapi oleh semua orang,
termasuk di Indonesia. Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal tahun
2020 salah satunya berdampak pada frekuensi belanja secara daring
makin tinggi. Studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
menunjukkan, sampah plastik dari belanja online meningkat sebesar 96
persen.
Hal itu terjadi karena adanya peningkatan transaksi sebesar 62 persen
pada sektor marketplace dan 47 persen pada sektor jasa antar makanan.
Head of Public Policy and Government Relations Indonesian E-Commerce
Association, Rofi Uddarojat, berpendapat dalam hal ini diperlukan inovasi
pada cara pengemasan agar pelaku usaha termasuk dari sektor
marketplace beralih dari kemasan plastik sekaligus mendorong
masyarakat sebagai konsumen menurunkan konsumsi plastik.
Menurut Rofi, inovasi produk ini nantinya diharapkan membuat konsumen
merasa barang yang dia beli tetap terjaga keamanannya, tidak kotor dan
rusak serta ramah lingkungan. Sementara di sisi pelaku usaha, bagaimana
agar bahan baku bisa lebih murah sehingga bisa membantu meringankan
biaya produksi mereka.
Tak hanya inovasi, upaya edukasi dan meningkatkan kesadaran
pedagang, konsumen dan pihak ketiga dalam hal ini penyedia layanan
logistik juga menjadi bagian yang tak kalah penting.
―Yang menjadi poin penting bagaimana setiap ekosistem di dalamnya
aware dengan permasalahan plastik ini misalnya pihak seperti para
pedagang, merchant, bisa memahami. Dari sisi logistik juga karena
bagaimanapun juga penggunan plastik terkait packaging,‖ ujar Rofi.
Jadi, dalam upaya pengurangan plastik dalam kegiatan sehari-hari
termasuk dari kegiatan belanja daring, memerlukan dukungan dari semua
pihak baik itu pelaku usaha, konsumen maupun sektor jasa pengiriman
sebagai pihak ketiga.
Dukungan ini tidak hanya dari sisi inovasi berupa produk pengganti plastik
yang terjamin keamanannya tetapi juga edukasi pentingnya berdiet
Page 43 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
penggunaan plastik demi mengurangi polusi plastik yang bisa mengancam
kelestarian lingkungan.
Baca juga: Tips aman konsumsi air minum dalam kemasan
Baca juga: Cara aman beli makanan dalam kemasan plastik di saat pandemi
Baca juga: Menilik limbah di balik kemasan kopi kekinian
Oleh Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © ANTARA 2021
Cukai Kemasan Berpotensi Merugikan Negara
Tips aman konsumsi air minum dalam kemasan
28 September 2021 12:50
Cara aman beli makanan dalam kemasan plastik di saat pandemi
Hindari plastik, lima jenis wadah makanan berkelanjutan solusinya
Gebrakan ekonomi hijau pada tataran global
https://m.antaranews.com/berita/2443885/konsumen-dinilai-belum-
nyaman-tinggalkan-penggunaan-plastik
Pegiat Lingkungan Desak Produsen Bertanggungjawab
Atas Pencemaran Sampah Plastik
Jumat, 8 Oktober 2021 | 18:09 WIB
Mashud Toarik (mashud_toarik@investor.co.id)
SURABAYA, investor.id – Pegiat lingkungan, Ecological Observation and
Wetlands Conservation (Ecoton) bersama sejumlah komunitas merilis
audit terkait pencemaran sampah plastik yang terjadi di Pantai Timur
Surabaya.
Mereka menyebut 10 brand harus bertanggungjawab karena menjadi
kontributor terbesar sampah plastik di kawasan itu.
Adapun produsen internasional dan lokal yang memiliki 10 brand tersebut
terdiri dari Wings, Unilever, Indofood, Ajinomoto, Mayora, Santos Jaya
Abadi, White Coffee, ABC, PNG dan Marimas.
Peneliti Ecoton, Andreas Agus Kristanto Nugroho mengutarakan hasil
audit sampah menunjukkan sebanyak 1776 item teridentifikasi dari
kegiatan yang dilakukan pada tanggal 25 Juli dan 1 Agustus 2021.
Sampah-sampah plastik itu berasal dari 220 merek dan milik 127
perusahaan induk.
Page 44 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
―Sampah plastik yang berada di Pantai Timur Surabaya ini tidak lepas dari
peran produsen dalam membuat kemasan-kemasan plastik atau sachet
kecil untuk produknya. Produsen lah yang memproduksi, produsen juga
yang seharusnya bertanggungjawab atas produksinya. Dengan begitu,
sampah plastik ini tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat dan
pemerintah. Produsen pun harus terlibat,‖ kata Andreas kepada media
belum lama ini.
Menurut dia, untuk menekan sampah plastik di lingkungan, produsen perlu
mengambil peran dalam pengelolaan sampah, dengan mengambil kembali
sampah produknya yang ada di lingkungan. ―Itu salah satu langkah yang
harus dilakukan produsen,‖ tukasnya.
Dalam audit yang dilakukan Ecoton tahun 2020 lalu, menurut Andre,
sejumlah bran tadi juga masuk dalam 10 besar penyumbang sampah
plastik di Kali Surabaya. ―Ini menunjukkan bahwa peta jalan pengurangan
sampah yang diserahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) itu belum menggambarkan adanya kesediaan dari para
produsen itu untuk bertanggung jawab atas sampah plastik yang
ditimbulkan supaya kembali lagi ke mereka,‖ ujarnya.
Dia mengatakan pencemaran sampah plastik di Pantai Timur Surabaya ini
mengakibatkan suplai ikan laut yang ada di Jawa Timur juga tercemar
mikroplastik di dalam saluran pencernaannya. ―Itu yang kita temukan
barusan. Pada akhirnya itu akan mengancam kelangsungan ekosistem
perikanan kita juga. Dari sisi rantai makanannya bisa masuk ke tubuh kita
yang bisa menyebabkan penyakit berbahaya,‖ katanya.
Editor : Mashud Toarik (mashud_toarik@investor.co.id)
Sumber : -
#sampah plastik
#produsen kemasan
Copyright ©2021 Investor.id | All Rights Reserved
https://investor.id/lifestyle/266413/pegiat-lingkungannbspdesak-produsen-
bertanggungjawab-atas-pencemaran-sampah-plastik
Sampah dalam Laporan Walhi Jakarta di KDLH 2021
Jumat 8 Oktober 2021
Kondisi krisis lainnya yang tidak disadari atau diantisipasi oleh pemerintah
adalah peningkatan jumlah sampah selama pandemic covid-19. Pasca
penerapan kebijakan larangan pengunaan kantong sekali pakai angka
sampah di Jakarta justeru mengalami peningkatan. Kementerian
Page 45 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan selama pandemic sampah
rumah tangga meningkat 36 persen. Masalah baru sampah yang tidak
diantisipasi secara serius pada saat pandemi adalah sampah medis dan
sampah kemasan dari pembelian online (e-commerce). Hal senada juga
ditemukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang
menemukan peningkatan volume sampah medis di teluk Jakarta.2
https://news.detik.com/berita/d-5317743/lipi-sampah-medis-di-teluk-
jakarta-meningkat-saat-pandemi-covid-19-bahaya
Mendesak Keseriusan Pemerintah Dalam Pengelolaan Sampah:
Hasil refleksi Walhi Jakarta dalam advokasi krisis sampah di tahun ini
adalah bahwa persoalan utama mengapa sampah terus menjadi persoalan
di Jakarta adalah terletak pada reformasi birokrasi (good governance)
perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan secara structural,
fungsional, kultural, dan perubahan tingkah laku serta mental dari yang
biasanya dilayani menjadi pelayan masyarakat tidak mengalami
perubahan. Padahal ini dicita-citakan dalam Peraturan Gubernur No.156
tahun 2016 tentang Road Map Reformasi Birokrasi tahun 2015-2019.
Pemprov DKI Jakarta bukannya tidak memiliki kebijakan agar bagaimana
Jakarta dapat keluar dari darurat sampah. Sejumlah kebijakan antara lain
Perda No 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Jo Perda No 4 tahun
2019, Pergub No 108 tahun 2019 tentang Kebijakan dan Strategi Daerah
(Jakstrada) Provinsi DKI Jakarta Dalam Pegelolaan Sampah Sejenis
Rumah Tangga dan Sejenis Rumah Tangga, Pergub No 142 tahun 2019
Tentang Penggunana Kantong Belanja Ramah Lingkungan Pada Pusat
Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat, Pergub 77 tahun 2020
tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Warga.
Page 46 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Namun faktanya pengelolaan sampah dengan menekan di tingkatan
sumber tidak dilakukan secara serius. Pemprov lebih memilih jalan pintas
dengan membangun proyek bakar-bakaran sampah (thermal) berupa
insinerator dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Pemprov DKI
kembali mengulang masalah-masalah laten yang mereka sendiri ciptakan,
kumpul-angkut-buang dan kumpul-angkut-bakar. Kumpul angkut buang
adalah cara buruk Pemprov mengelola sampah Jakarta, dan proses ini
tidak menghargai usaha warga yang sudah berjalan melakukan pemilahan
di tingakatan rumah tangga. Alasan klise dan terus berulang adalah bahwa
Bantargebang overload, Masih kita ingat dalam catatan kita pada tahun
2019 lalu Pemprov DKI mengeluarkan penyataan bahwa
TPST Bantargebang Overload. Statement ini seolah merespon situasi
Perpres No.18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan
Pembangkit Listrik Berbasis Sampah yang dibatalkan MA kemudian lahir
Perpres No. 97 Tahun 2017 Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas)
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga, didalam Perpres ini terselip (lampiran II Perpres) Program
PLTSa (pembangkit listrik berbasis sampah). Hingga kemudian muncul
Perpres No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi
Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah
Lingkungan (PLTSa).
Jalan pintas ini juga dipaksakan masuk ke dalam Perda No 4 tahun 2019
dan Jakstrada. Di sini kita ingin mengatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta
keluar dari tugas utamanya, dimana justeru mengambil jalan pintas. Perlu
diingat dalam Peraturan Daerah (Perda) No.03 Tahun 2013 tugas pemprov
adalah memanfaatkan dan memfasilitasi penerapan teknologi pengolahan
sampah yang berkembang pada masyarakat untuk mengurangi dan/atau
menangani sampah. Insinerator bukanlah teknologi yang berkembang
pada masyarakat. Bahkan data dinas Lingkungan Hidup Jakarta pada
tahun 2019 yang menyatakan bahwa TPS 3R masih jauh dari ideal dan
berencana memperbanyaknya tidak disadari oleh instansinya sendiri.
Page 47 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021
Walhi Jakarta hingga saat ini terus mendorong penghentian dan
pengelolaan sampah tingkatan sumber dan berdasarkan tanggung jawab
masing-masing sektor. Mendorong pemerintah terus memfasilitasi di
tingkatan rumah tangga, berupa pengetahuan hingga fasilitas pemilahan
dan pengolahan. Menekan pemerintah untuk terus memonitoring
pelaksanaan Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan, serta
menekan pemerintah dan produsen untuk bertanggung jawab atas segala
produk turunannya yang tidak dapat terurai oleh alam.
Monitoring Progress
Output
Adanya penegakan hukum terhadap industri sumber-sumber pencemar
Indikator 2021
Pembatalan Rencana Pembangunan PSN Pembangkit listrik yang
berdampak pada sumber pencemar (PLTSa) Jakarta: ITF Sunter
Capaian
Saat ini proyek pembangunan ITF Sunter (PLTSa) masih belum berlanjut,
proyek ini batal mendapatkan pinjaman dana dari International Finance
Corporation (IFC) karena mundurnya Fortum Power Heat and Oy
Monitoring Progress
Output
Implementasi kebijakan pembatasan/larangan dan lain-lain serta
pengelolaan sampah berbasis 4R
Indikator 2021
Memastikan pergub KBRL berjalan
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21
Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21

More Related Content

What's hot

09 makalah-sampah-untuk-dies-th-20081
09 makalah-sampah-untuk-dies-th-2008109 makalah-sampah-untuk-dies-th-20081
09 makalah-sampah-untuk-dies-th-20081Asep Humaedi Aasseepp
 
Laporan Bank sampah todopuli
Laporan Bank sampah todopuliLaporan Bank sampah todopuli
Laporan Bank sampah todopulimuhbaskoro
 
Plastik dan sampah plastik pantauan Agustus 2020
Plastik dan sampah plastik pantauan Agustus 2020Plastik dan sampah plastik pantauan Agustus 2020
Plastik dan sampah plastik pantauan Agustus 2020Biotani & Bahari Indonesia
 
BANK SAMPAH PEKALONGAN
BANK SAMPAH PEKALONGANBANK SAMPAH PEKALONGAN
BANK SAMPAH PEKALONGANARI MUNANDAR
 
Perda Kota Bandung tentang Pengurangan Kantong Plastik
Perda Kota Bandung tentang Pengurangan Kantong PlastikPerda Kota Bandung tentang Pengurangan Kantong Plastik
Perda Kota Bandung tentang Pengurangan Kantong PlastikSony Sonjaya
 
Pemanfaatan sampah plastik
Pemanfaatan sampah plastikPemanfaatan sampah plastik
Pemanfaatan sampah plastikhangdusun
 
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah komprehensif menuju zero waste
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah komprehensif menuju zero wastePeran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah komprehensif menuju zero waste
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah komprehensif menuju zero wasteazizah affandy
 
24843114 materi-pengelolaan-sampah
24843114 materi-pengelolaan-sampah24843114 materi-pengelolaan-sampah
24843114 materi-pengelolaan-sampahgerygerger
 
Ind puu-7-2012-permen lh 13 th 2012 bank sampah
Ind puu-7-2012-permen lh 13 th 2012 bank sampahInd puu-7-2012-permen lh 13 th 2012 bank sampah
Ind puu-7-2012-permen lh 13 th 2012 bank sampahMasyrifah Jazm
 
Pendidikan lingkungan hidup (eco education) dalam keluarga melalui gerakan ka...
Pendidikan lingkungan hidup (eco education) dalam keluarga melalui gerakan ka...Pendidikan lingkungan hidup (eco education) dalam keluarga melalui gerakan ka...
Pendidikan lingkungan hidup (eco education) dalam keluarga melalui gerakan ka...EducationCommunity
 
Karya Tulis Ilmiah Tema Lingkungan (Pengelolaan Limbah Plastik)
Karya Tulis Ilmiah Tema Lingkungan (Pengelolaan Limbah Plastik)Karya Tulis Ilmiah Tema Lingkungan (Pengelolaan Limbah Plastik)
Karya Tulis Ilmiah Tema Lingkungan (Pengelolaan Limbah Plastik)Muhammad Yasir Abdad
 
Kisah Sukses Pengelolaan Persampahan di Berbagai Wilayah di Indonesia
Kisah Sukses Pengelolaan Persampahan di Berbagai Wilayah di IndonesiaKisah Sukses Pengelolaan Persampahan di Berbagai Wilayah di Indonesia
Kisah Sukses Pengelolaan Persampahan di Berbagai Wilayah di IndonesiaOswar Mungkasa
 
Prosiding edy siswoyo
Prosiding edy siswoyoProsiding edy siswoyo
Prosiding edy siswoyoSTISIPWIDURI
 
Bestpractice sukses pengolahan persampahan
Bestpractice sukses pengolahan persampahanBestpractice sukses pengolahan persampahan
Bestpractice sukses pengolahan persampahanAsier La Ode
 
Atasi problem sampah jakarta
Atasi problem sampah jakartaAtasi problem sampah jakarta
Atasi problem sampah jakartafathurohman7
 

What's hot (20)

09 makalah-sampah-untuk-dies-th-20081
09 makalah-sampah-untuk-dies-th-2008109 makalah-sampah-untuk-dies-th-20081
09 makalah-sampah-untuk-dies-th-20081
 
Laporan Bank sampah todopuli
Laporan Bank sampah todopuliLaporan Bank sampah todopuli
Laporan Bank sampah todopuli
 
Pelatihan berwirausaha sampah
Pelatihan berwirausaha sampahPelatihan berwirausaha sampah
Pelatihan berwirausaha sampah
 
Plastik dan sampah plastik pantauan Agustus 2020
Plastik dan sampah plastik pantauan Agustus 2020Plastik dan sampah plastik pantauan Agustus 2020
Plastik dan sampah plastik pantauan Agustus 2020
 
BANK SAMPAH PEKALONGAN
BANK SAMPAH PEKALONGANBANK SAMPAH PEKALONGAN
BANK SAMPAH PEKALONGAN
 
Pelatihan mengelola sampah kawasan
Pelatihan mengelola  sampah kawasanPelatihan mengelola  sampah kawasan
Pelatihan mengelola sampah kawasan
 
Tempat pembuangan akhir sampah
Tempat pembuangan akhir sampahTempat pembuangan akhir sampah
Tempat pembuangan akhir sampah
 
Perda Kota Bandung tentang Pengurangan Kantong Plastik
Perda Kota Bandung tentang Pengurangan Kantong PlastikPerda Kota Bandung tentang Pengurangan Kantong Plastik
Perda Kota Bandung tentang Pengurangan Kantong Plastik
 
Pemanfaatan sampah plastik
Pemanfaatan sampah plastikPemanfaatan sampah plastik
Pemanfaatan sampah plastik
 
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah komprehensif menuju zero waste
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah komprehensif menuju zero wastePeran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah komprehensif menuju zero waste
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah komprehensif menuju zero waste
 
Bitranet edisi 45
Bitranet edisi 45Bitranet edisi 45
Bitranet edisi 45
 
Permakultur
PermakulturPermakultur
Permakultur
 
24843114 materi-pengelolaan-sampah
24843114 materi-pengelolaan-sampah24843114 materi-pengelolaan-sampah
24843114 materi-pengelolaan-sampah
 
Ind puu-7-2012-permen lh 13 th 2012 bank sampah
Ind puu-7-2012-permen lh 13 th 2012 bank sampahInd puu-7-2012-permen lh 13 th 2012 bank sampah
Ind puu-7-2012-permen lh 13 th 2012 bank sampah
 
Pendidikan lingkungan hidup (eco education) dalam keluarga melalui gerakan ka...
Pendidikan lingkungan hidup (eco education) dalam keluarga melalui gerakan ka...Pendidikan lingkungan hidup (eco education) dalam keluarga melalui gerakan ka...
Pendidikan lingkungan hidup (eco education) dalam keluarga melalui gerakan ka...
 
Karya Tulis Ilmiah Tema Lingkungan (Pengelolaan Limbah Plastik)
Karya Tulis Ilmiah Tema Lingkungan (Pengelolaan Limbah Plastik)Karya Tulis Ilmiah Tema Lingkungan (Pengelolaan Limbah Plastik)
Karya Tulis Ilmiah Tema Lingkungan (Pengelolaan Limbah Plastik)
 
Kisah Sukses Pengelolaan Persampahan di Berbagai Wilayah di Indonesia
Kisah Sukses Pengelolaan Persampahan di Berbagai Wilayah di IndonesiaKisah Sukses Pengelolaan Persampahan di Berbagai Wilayah di Indonesia
Kisah Sukses Pengelolaan Persampahan di Berbagai Wilayah di Indonesia
 
Prosiding edy siswoyo
Prosiding edy siswoyoProsiding edy siswoyo
Prosiding edy siswoyo
 
Bestpractice sukses pengolahan persampahan
Bestpractice sukses pengolahan persampahanBestpractice sukses pengolahan persampahan
Bestpractice sukses pengolahan persampahan
 
Atasi problem sampah jakarta
Atasi problem sampah jakartaAtasi problem sampah jakarta
Atasi problem sampah jakarta
 

Similar to Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21

Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukai
Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukaiPlastik ramah lingkungan semestinya bebas cukai
Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukaiBiotani & Bahari Indonesia
 
Plastik n Sampah Pantauan Agst 2022 revisi.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Agst  2022 revisi.pdfPlastik n Sampah Pantauan Agst  2022 revisi.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Agst 2022 revisi.pdfBiotani & Bahari Indonesia
 
Sistem rantai pasokan minyak goreng (cooking oil supply chain)
Sistem rantai pasokan minyak goreng (cooking oil supply chain)Sistem rantai pasokan minyak goreng (cooking oil supply chain)
Sistem rantai pasokan minyak goreng (cooking oil supply chain)Togar Simatupang
 
Artikel ilmiah ekonomi bisnis
Artikel ilmiah ekonomi bisnisArtikel ilmiah ekonomi bisnis
Artikel ilmiah ekonomi bisnisAnggi Indrianti
 
Proposal Proyek Septian Prakoso (2312100028)
Proposal Proyek Septian Prakoso (2312100028)Proposal Proyek Septian Prakoso (2312100028)
Proposal Proyek Septian Prakoso (2312100028)Septian Prakoso
 
covid19 pemakaian plastik meningkat, industri daur ulang nyungsep (1)
covid19 pemakaian plastik meningkat, industri daur ulang nyungsep (1)covid19 pemakaian plastik meningkat, industri daur ulang nyungsep (1)
covid19 pemakaian plastik meningkat, industri daur ulang nyungsep (1)Biotani & Bahari Indonesia
 
Jurnal 3-optimasi-penentuan-kesepakatan-harga-nilam-pada-rantai-pasok-minyak
Jurnal 3-optimasi-penentuan-kesepakatan-harga-nilam-pada-rantai-pasok-minyakJurnal 3-optimasi-penentuan-kesepakatan-harga-nilam-pada-rantai-pasok-minyak
Jurnal 3-optimasi-penentuan-kesepakatan-harga-nilam-pada-rantai-pasok-minyakAyu Fitria
 
6.-Pak-Hendro-Semnas_Medan_industri-Hijau_2022.pptx
6.-Pak-Hendro-Semnas_Medan_industri-Hijau_2022.pptx6.-Pak-Hendro-Semnas_Medan_industri-Hijau_2022.pptx
6.-Pak-Hendro-Semnas_Medan_industri-Hijau_2022.pptxSmDanang
 
62560_PROPOSAL PMW edit.docx
62560_PROPOSAL PMW edit.docx62560_PROPOSAL PMW edit.docx
62560_PROPOSAL PMW edit.docxputriwardani10
 
Sambutan menteri perindustrian launching tahun kimia internasional 23 maret 2011
Sambutan menteri perindustrian launching tahun kimia internasional 23 maret 2011Sambutan menteri perindustrian launching tahun kimia internasional 23 maret 2011
Sambutan menteri perindustrian launching tahun kimia internasional 23 maret 2011BKK PII
 
Dampak kenaikan bbm tahun 2014
Dampak kenaikan bbm tahun 2014Dampak kenaikan bbm tahun 2014
Dampak kenaikan bbm tahun 2014Andre Siagian
 
11122-31361-1-PB.pdf
11122-31361-1-PB.pdf11122-31361-1-PB.pdf
11122-31361-1-PB.pdfARRYWIDODO1
 
ppt pelatihan dasar cpns.pptx
ppt pelatihan dasar cpns.pptxppt pelatihan dasar cpns.pptx
ppt pelatihan dasar cpns.pptxmaria896190
 

Similar to Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21 (20)

Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukai
Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukaiPlastik ramah lingkungan semestinya bebas cukai
Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukai
 
Plastik n Sampah Pantauan Agst 2022 revisi.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Agst  2022 revisi.pdfPlastik n Sampah Pantauan Agst  2022 revisi.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Agst 2022 revisi.pdf
 
Kr 7
Kr 7Kr 7
Kr 7
 
Sistem rantai pasokan minyak goreng (cooking oil supply chain)
Sistem rantai pasokan minyak goreng (cooking oil supply chain)Sistem rantai pasokan minyak goreng (cooking oil supply chain)
Sistem rantai pasokan minyak goreng (cooking oil supply chain)
 
Artikel ilmiah ekonomi bisnis
Artikel ilmiah ekonomi bisnisArtikel ilmiah ekonomi bisnis
Artikel ilmiah ekonomi bisnis
 
plastik n sampah plastik pantau juli
plastik n sampah plastik pantau juliplastik n sampah plastik pantau juli
plastik n sampah plastik pantau juli
 
Proposal Proyek Septian Prakoso (2312100028)
Proposal Proyek Septian Prakoso (2312100028)Proposal Proyek Septian Prakoso (2312100028)
Proposal Proyek Septian Prakoso (2312100028)
 
covid19 pemakaian plastik meningkat, industri daur ulang nyungsep (1)
covid19 pemakaian plastik meningkat, industri daur ulang nyungsep (1)covid19 pemakaian plastik meningkat, industri daur ulang nyungsep (1)
covid19 pemakaian plastik meningkat, industri daur ulang nyungsep (1)
 
Jurnal 3-optimasi-penentuan-kesepakatan-harga-nilam-pada-rantai-pasok-minyak
Jurnal 3-optimasi-penentuan-kesepakatan-harga-nilam-pada-rantai-pasok-minyakJurnal 3-optimasi-penentuan-kesepakatan-harga-nilam-pada-rantai-pasok-minyak
Jurnal 3-optimasi-penentuan-kesepakatan-harga-nilam-pada-rantai-pasok-minyak
 
Plastik n Sampah Pantauan Maret 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Maret 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Maret 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Maret 2023.pdf
 
6.-Pak-Hendro-Semnas_Medan_industri-Hijau_2022.pptx
6.-Pak-Hendro-Semnas_Medan_industri-Hijau_2022.pptx6.-Pak-Hendro-Semnas_Medan_industri-Hijau_2022.pptx
6.-Pak-Hendro-Semnas_Medan_industri-Hijau_2022.pptx
 
62560_PROPOSAL PMW edit.docx
62560_PROPOSAL PMW edit.docx62560_PROPOSAL PMW edit.docx
62560_PROPOSAL PMW edit.docx
 
Sambutan menteri perindustrian launching tahun kimia internasional 23 maret 2011
Sambutan menteri perindustrian launching tahun kimia internasional 23 maret 2011Sambutan menteri perindustrian launching tahun kimia internasional 23 maret 2011
Sambutan menteri perindustrian launching tahun kimia internasional 23 maret 2011
 
Plastik n Sampah Pantauan Mei 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Mei 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Mei 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Mei 2023.pdf
 
plastik n sampah n plastik pantau mei
plastik n sampah n plastik pantau meiplastik n sampah n plastik pantau mei
plastik n sampah n plastik pantau mei
 
Dampak kenaikan bbm tahun 2014
Dampak kenaikan bbm tahun 2014Dampak kenaikan bbm tahun 2014
Dampak kenaikan bbm tahun 2014
 
11122-31361-1-PB.pdf
11122-31361-1-PB.pdf11122-31361-1-PB.pdf
11122-31361-1-PB.pdf
 
ppt pelatihan dasar cpns.pptx
ppt pelatihan dasar cpns.pptxppt pelatihan dasar cpns.pptx
ppt pelatihan dasar cpns.pptx
 
Analisis Ganti Rugi atas Ketidaksesuaian Takaran BBM di SPBU Pertamina
Analisis Ganti Rugi atas Ketidaksesuaian Takaran BBM di SPBU Pertamina Analisis Ganti Rugi atas Ketidaksesuaian Takaran BBM di SPBU Pertamina
Analisis Ganti Rugi atas Ketidaksesuaian Takaran BBM di SPBU Pertamina
 
Pendahuluan
PendahuluanPendahuluan
Pendahuluan
 

More from Biotani & Bahari Indonesia

april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdf
april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdfapril23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdf
april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdfBiotani & Bahari Indonesia
 
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdfPlastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdfBiotani & Bahari Indonesia
 

More from Biotani & Bahari Indonesia (20)

Plastik n Sampah Pantauan April 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan April 2024.pdfPlastik n Sampah Pantauan April 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan April 2024.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Maret 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Maret 2024.pdfPlastik n Sampah Pantauan Maret 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Maret 2024.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Februari 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Februari 2024.pdfPlastik n Sampah Pantauan Februari 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Februari 2024.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Januari 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Januari 2024.pdfPlastik n Sampah Pantauan Januari 2024.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Januari 2024.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Desember 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Desember 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Desember 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Desember 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan November 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan November 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan November 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan November 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Oktober 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Oktober 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Oktober 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Oktober 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan September 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan September 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan September 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan September 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Agustus 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Agustus 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Agustus 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Agustus 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Juli 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juli 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Juli 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juli 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juni 2023.pdf
 
april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdf
april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdfapril23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdf
april23 Plastik n Sampah Pantauan april 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Feb 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Feb 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Feb 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Feb 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Jan 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Jan 2023.pdfPlastik n Sampah Pantauan Jan 2023.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Jan 2023.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Des 2022.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Des  2022.pdfPlastik n Sampah Pantauan Des  2022.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Des 2022.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Nov2022.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Nov2022.pdfPlastik n Sampah Pantauan Nov2022.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Nov2022.pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdfPlastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Okt 2022 - Copy (2).pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Sept 2022 (1).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Sept  2022 (1).pdfPlastik n Sampah Pantauan Sept  2022 (1).pdf
Plastik n Sampah Pantauan Sept 2022 (1).pdf
 
Plastik n Sampah Pantauan Juli 2022.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juli 2022.pdfPlastik n Sampah Pantauan Juli 2022.pdf
Plastik n Sampah Pantauan Juli 2022.pdf
 

Plastik dan Ssampah Plastik Pantau Oktober 21

  • 1. Page 1 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Plastik dan Sampah: Pantauan bulan Oktober 2021 Oleh: Riza V. Tjahjadi Tiga issue utama yang mencolok muncul dari pantauan bulan Oktober 2021, Pertama, kisruh kehadiran sampah Tangerang Selatan Ke TPA Cilowong Serang. Kedua, teridentifikasinya plastik mikro pada botol susu bayi tetapi pada gallon dan potensi ancaman bagi kesehatan manusia. Ketiga adalah kontribusi plastik dalam proses terjadinya emisi karbon; dalam konteks menjelang COP Perubahan Iklim di Glasgow Inggeris OTD 2 tahun lalu 9 Oktober 2019
  • 2. Page 2 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Kemasan Minyak Goreng Seyogyanya Ramah Lingkungan, Tapi Belum Ada SNI-nya Rabu, 09 Oktober 2019 18:09 Kemasan Minyak Goreng Diharapkan Berbahan Plastik Ramah Lingkungan ilustrasi (ANTARA/Aldino Anatusa) JAKARTA (HN) -Kementerian Perdagangan meminta produsen minyak goreng mulai membuat kemasan ekonomis pada Januari 2020. Menurut Peneliti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta Riza V Tjahjadi, aturan baru itu, bisa menjadi peluang industri kemasan plastik ramah lingkungan untuk mengisi pasar minyak goreng. ―Ini kesempatan yang sangat baik dan peluang yang selebar-lebarnya buat industri produsen plastik untuk tawarkan plastik berstandar SNI yang ekolabel kepada perusahaan minyak goreng,‖ kata Riza kepada HARIAN NASIONAL, baru-baru ini. Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan diharapkan dapat memfasilitasi peluang industri plastik ramah lingkungan demi terciptanya cita-cita pemerintah dalam hal pengurangan sampah plastik. ―Jadi, nanti bisa memperkaya variasi tipe plastik kemasan,‖ ujar Riza. Lebih lanjut Riza mengatakan, sampai pada Mei 2019, Badan Standarisasi Nasional (BSN) melalui Pusat Standarisasi Lingkungan dan Kehutanan (Puslitan) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah me-review Standar Nasional Indonesia (SNI) plastik ramah lingkungan untuk tas belanja dan SNI plastik daur ulang, juga untuk tas belanja plastik berbahan daur ulang. ―Ada dua jenis plastik yang sedang direview yaitu plastik yang bisa lapuk dalam waktu enam sampai 12 bulan, dan dua sampai tujuh tahun, sementara plastik konvensional yang saat ini digunakan itu rata-rata bisa lapuk sampai 500 tahun,‖ ujarnya. Setiap lembaga terkait diharapkan bisa membangun sinergi dalam hal pengaplikasian kemasan plastik berstandar SNI yang ramah lingkungan. Saat ini sudah ada beberapa macam wadah makanan (food tray) dari tipe plastik ramah lingkungan yang bisa lapuk dalam 2-5 tahun.
  • 3. Page 3 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 ―Saran saya pakai kemasan plastik yang ramah lingkungan yang bisa lapuk plastiknya dalam waktu 2-5 tahun. Tetapi memang soal keamanan belum dijamin sepenuhnya. Sambil menunggu dilakukannya kajian standar keamanan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di bawah koordinasi BSN,‖ ujar Riza. Sementara itu, Kepala Subdirektorat Sistem dan Harmonisasi Akreditasi Lembaga Inspeksi dan Lembaga Sertifikasi BSN Raden Ewang Kurniawan mengatakan sampai saat ini belum ada standar SNI untuk kemasan produk khususnya untuk produk pangan. ―Kalau itu kita harus koordinasi dulu ke BPOM, kalau kemasan plastik untuk suatu produk itu belum ada standarisasinya,‖ ujar Ewang melalui sambungan telepon. Saat ini sudah ada dua SNI baru yang ditetapkan BSN yakni SNI 7818:2014 untuk kantong plastik mudah terurai dan SNI 7188.7:2016 untuk kriteria ekolabel atau produk tas belanja plastik dan bioplastik mudah terurai. ―Jadi beda peruntukkan yah, bukan kemasan produk,‖ ujar Ewang. Adapun standarisasi SNI untuk untuk produk seperti syarat mutu, telah diatur oleh BSN hanya saja belum ada kewajiban untuk semua produk menggunakan standar SNI. ―Cuma kalau itu diwajibkan, yah harga suatu produk per kemasannya pasti naik lagi,‖ ujarnya . Terkait rencana pemerintah mengatur kemasan minyak goreng mulai awal tahun depan, pihaknya belum mendapat informasi dari kementerian terkait mengenai apakah ada kewajiban buat produsen untuk menggunakan kemasan yang berstandar ramah lingkungan. ―Belum ada pembicaraan terkait itu, tapi tentu saja kita berharap agar kemasan produk apa pun itu termasuk pangan seperti minyak goreng agar menggunakan kemasan yang ramah lingkungan,‖ ujar Ewang. Reportase : MOH SAID MASHUR Editor : Fifia A Himawan © Harian Nasional. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang. http://m.harnas.co/2019/10/09/kemasan-minyak-goreng-diharapkan- berbahan-plastik-ramah-lingkungan- Rabu, 09 Oktober 2019 04:00 Minyak Kemasan Harus Murah JAKARTA (HN) - Harga minyak goreng kemasan harus dijual murah kepada konsumen. Kebijakan itu agar tidak membebani daya beli masyarakat setelah pemerintah melarang minyak goreng curah awal tahun depan, Ketua Umum Gabungan Pengusaha
  • 4. Page 4 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan, harga murah dimungkinkan karena produsen kecil tidak dibebani untuk menyediakan investasi merek dan minim biaya pemasaran. Pedagang menata minyak curah dagangannya di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (8/10/2019). (ANTARA | MUHAMMAD ADIMAJA ) "Produsen juga harus menjelaskan bagaimana jika membeli satu liter atau satu kilogram. Jadi seharusnya (minyak kemasan) bisa dijual jauh lebih murah daripada yang bermerek," kata Adhi kepada HARIAN NASIONAL di Jakarta, Selasa (8/10). Menurut dia, pelarangan minyak goreng curah dapat membuka potensi bisnis baru pengemasan resmi dan berizin dari pemerintah. Pabrik besar dapat berkoordinasi dengan mengirim dengan jumlah besar ke daerah, lalu dikemas dengan ukuran yang diinginkan pasar. "Ini kan juga bisa menjadi usaha bagi masyarakat perdesaan agar bisa mendistribusikan lebih dalam lagi. Saya kira ini banyak potensi yang bisa didalami," ujarnya. Adhi mengatakan, pemerintah telah berkoordinasi dengan berbagai tingkat pengusaha sebelum diresmikan Minggu (6/10) oleh Menteri Perdagangan. Adhi mengklaim pelaku usaha dan produsen telah menyepakati ketentuan pemerintah untuk menjalankan minyak kemasan. "Semua (pengusaha) sudah sepakat menjalankan itu," katanya. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan, mayoritas minyak curah diminati pengusaha dan masyarakat kalangan menengah-bawah. "Pedagang gorengan, warteg, masyarakat (kecil) mayoritas masih menggunakan (minyak curah)," ujar Ngadiran. Ia mendukung upaya pemerintah meningkatkan standardisasi mutu dan kelaikan minyak goreng domestik dengan menjaga higienitas lewat pengemasan. Pengemasan minyak eceran di pasar dapat meningkatkan kebersihan produk dan menjamin kesehatan masyarakat. Namun, ia berharap pemerintah dapat menjaga selisih harga antara minyak curah sebelum dan sesudah dikemas agar tidak terlampau tinggi bagi konsumen. Saat ini, harga minyak goreng eceran di pasar rakyat dan minyak goreng bermerek hanya selisih Rp 2.000. Berdasarkan pantauan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) per 8 Oktober 2019, rata-rata nasional harga minyak goreng curah naik Rp 100 (0,9 persen) menjadi Rp 11.200/kg, minyak goreng kemasan merk I naik Rp 100 (0,7
  • 5. Page 5 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 persen) menjadi Rp 14.450/kg, dan minyak goreng kemasan merk II naik Rp 50 (0,37 persen) menjadi Rp 13.650/kg. Ngadiran menyarankan pemerintah tidak menggeneralisasi kemasan minyak goreng dalam ukuran besar. Masyarakat umum masih membeli minyak curah dalam ukuran kecil. Selain itu, pemerintah dapat memberikan subsidi silang bagi pengusaha minyak curah agar dapat menjual produk minyak kemasan dengan harga murah. "Masyarakat kalau beli minyak curah ukuran 0,25 atau 0,50 kilogram. (Jadi) jangan sampai harga berbeda jauh karena dikemas, itu tidak betul. Kalau beda Rp 300 hingga Rp 500, masih wajar," katanya. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akhirnya meralat pernyataan sebelumnya. Pemerintah tidak akan melarang peredaran minyak goreng curah di pasar. "Pemerintah masih tetap memberikan kesempatan penggunaan minyak goreng curah, juga mempersilakan bagi masyarakat yang masih menggunakan minyak goreng curah," kata Enggartiasto dalam siaran pers. Dia menilai, konsumen harus terlindungi. Higienitas dan kehalalan produk minyak goreng harus disiapkan. Pemerintah juga mengharapkan pelaku industri segera mengisi pasar dengan minyak goreng kemasan sederhana dan mematuhi harga eceran tertinggi (HET) Rp 11 ribu per liter. Reportase : Khairul Kahfi Editor : Didik Purwanto © Harian Nasional. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang. http://m.harnas.co/2019/10/08/minyak-kemasan-harus-murah Akhirnya Permendag 36 tahun 2020 masih izinkan minyak goreng curah beredar hingga 2021 Senin, 13 April 2020 | 17:24 WIB Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 36 tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan pada 2 April 2020. Permendag ini merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Perdagangan nomor 80 tahun 2014 tentang minyak goreng wajib kemasan yang sudah beberapa kali diubah. Kemendag menyebut, untuk menjamin mutu dan higienitas minyak goreng sawit yang dijual kepada konsumen, ketentuan mengenai minyak goreng sawit dengan kemasan perlu diatur kembali.
  • 6. Page 6 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Meski sudah mewajibkan minyak goreng sawit dijual dalam bentuk kemasan, tetapi Kemendag masih mengizinkan adanya penjualan minyak goreng curah yang beredar pasar hingga akhir 2021. "Pada saat peraturan menteri ini mulai berlaku, minyak goreng sawit dalam bentuk curah yang beredar di pasar masih dapat diperdagangkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2021," demikian bunyi pasal 27 Permendag 36/2020. Sementara itu, ada berbagai hal yang dimuat dalam Permendag terbaru ini, mulai dari ketentuan umum minyak goreng sawit wajib kemasan, minyak goreng sawit kemasan sederhana, penggunaan merek Minyakita, hingga pembinaan dan pengawasan. Dalam aturan ini disebutkan bahwa produsen, pengemas dan/atau pelaku usaha yang memperdagangkan minyak goreng sawit kepada konsumen wajib memperdagangkan minyak goreng sawit dengan menggunakan kemasan dengan kemasan paling besar sebanyak 25 kg dalam berbagai bentuk. Baca Juga: Kemendag izinkan minyak goreng curah beredar hingga akhir 2020 Kemasan yang digunakan tersebut wajib menggunakan bahan yang tidak membahayakan manusia. Produsen dan pengemas diminta untuk bertanggung jawab terhadap mutu dan higienitas minyak goreng sawit dan kemasan yang diperdagangkan kepada konsumen. Pengecer pun diizinkan untuk mengemas ulang minyak goreng yang didistribusikan oleh produsen dan/atau pengemas. Namun, pengemasan tersebut dilakukan secara langsung di hadapan konsumen dengan ukuran yang lebih kecil sesuai permintaan konsumen dan menggunakan mesin pengisi kemasan minyak goreng sawit yang disediakan produsen. Pengecer yang mengemas ulang juga wajib menggunakan kemasan yang digunakan produsen atau pengemas. Peraturan ini juga mengatur tentang minyak goreng sawit kemasan sederhana. Dimana, disebutkan produsen dan pengemas harus menyediakan minyak goreng sawit kemasan sederhana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan usaha kecil dan menengah. Nantinya, harga jual minyak goreng sawit kemasan sederhana di tingkat konsumen akan ditetapkan oleh menteri. Sementara itu, ada pula sejumlah pasal yang mengatur tentang penggunaan merek Minyakita, dimana Minyakita merupakan mereka dagang untuk minyak goreng sawit yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag.
  • 7. Page 7 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Dalam pemberlakuan kebijakan minyak goreng sawit wajib kemasan ini pun dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap produsen, pengemas serta pelaku usaha .Pembinaan tersebut terbagi atas konsultasi, bimbingan teknis dan/atau promosi. Namun, produsen, pengemas dan/atau pelaku usaha yang melanggar ketentuan pun akan dikenai sanksi. Bagi produsen, pengemas serta pelaku usaha yang melanggar ketentuan kewajiban minyak goreng sawit sebagaimana yang ditetapkan akan dikenai sanksi administratif. Pengecer yang melanggar ketentuan kewajiban penggunaan kemasan yang disediakan produsen atau pengemas pun dikenai sanksi administratif. Sanksi administratif terebut berupa peringatan tertulis, pencabutan izin usaha dan/atau izin operasional/komersial di bidang perdagangan. Dengan adanya peraturan menteri ini, permendag 80/M-DAG/PER/10/2014 tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan beserta perubahannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Tag Minyak Goreng harga minyak goring Minyak Goreng Curah minyak goreng kemasan minyak goreng kemasan sederhana Copyright 2021. All rights reserved https://nasional.kontan.co.id/news/permendag-36-tahun-2020-masih-izinkan- minyak-goreng-curah-beredar-hingga-2021?page=all Tanggapan dari pemegang SNI ramah lingkungan [10/10 12.08 PM] Sugi GreenHope: Hello Pak Riza, apa kabar ? [10/10 12.08 PM] Sugi GreenHope: Link ini sdh tidak aktif lagi ya ? [10/10 12.09 PM] Sugi GreenHope: Pak Riza ada pikiran apa ? Ini harus ada kemauan dari pemilik/produsen minyak goreng itu sendiri - apa mereka ada pikiran kesana ? [10/10 2.39 PM] Riza V Tjahjadi: OOO gt... Cuma update pernyataan. Saya dua (2) tahun lalu. Selain itu BSN kayaknya setuju ide kemasan Ramah Lingkungan ... Tetapi jalan/ prosesnya panjangnya, ya, kalau Bos Sugi proaktif ke arah terciptanya SNI? OK Tks
  • 8. Page 8 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 More Plastic Is On the Way: What It Means for Climate Change BY RENEE CHO |FEBRUARY 20, 2020 Plastic trash floating in a river. Photo: Emilian Robert Vicol With the recent fracking boom causing low gas prices, fossil fuel companies are seeking other ways to bolster their profits — by making more plastic. Just as the world is starting to address its enormous plastic pollution problem, these companies are doubling down on plastic, with huge potential consequences for climate and the environment. The over-abundance of natural gas has resulted in the lowest gas prices since 2016. Consequently, some fossil fuel companies are being forced to shut down drilling rigs and file for bankruptcy protection. Big companies like Exxon Mobil, Shell and Saudi Aramco, which see signs of a coming decline in fossil fuel use, are compensating for the low prices by investing in plastic production, since plastics are made from oil, gas and their byproducts. As a result, the World Economic Forum expects plastic production to double by 2040. Natural gas contains ethane, which is a building block of plastic. Because the U.S. has extracted so much ethane with its natural gas, over $200 billion have been invested into 333 new chemical and plastics projects, as of the end of 2019. Growth in ethane production, consumption and exports. Photo: USEIA Judith Enck, former regional EPA director and a founder of Beyond Plastics, has said that 2020 is a critical year because many of the new plastic production facilities in the U.S. are in the permitting process; ―If even a quarter of these ethane cracking facilities are built,‖ she said, ―it‘s locking us into a plastic future that is going to be hard to recover from.‖ One analyst from the data and analytics firm IHS Markit said that unless plastic production is slowed down, ―they‘ll just find something else to wrap in plastic.‖ Ethane crackers Ethane is an odorless and colorless constituent of natural gas. To make plastic, companies separate it from the natural gas mixture and convey it in liquid form via pipeline to an ―ethane cracker,‖ a large industrial plant that uses intense heat to crack or break apart ethane molecules. These molecules then reform into ethylene, a basic building block of the petrochemical industry that is used to make resins, adhesives, chemicals, and plastics. In the process, ethane crackers can emit pollutants such as nitrogen oxides, sulfur dioxide and particulate matter, as well as benzene,
  • 9. Page 9 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 which is carcinogenic, and volatile organic compounds that can react with sunlight to form ground-level ozone. The United States already produces around 40 percent of the world‘s ethane-based petrochemicals and is the largest exporter of ethane, selling to Norway, the U.K., and Scotland, and to China and India, where plastic demand is rising. The Department of Energy (DOE) expects that by 2025, the eastern U.S., including Appalachia, will be producing 20 times more ethane than it did in 2013. In 2018, DOE published a report about the potential for Appalachia to become a new ―ethane hub‖ because of its Marcellus and Utica shale resources, and the Trump administration is touting the plastics and petrochemical industry as the next big thing for the region. The new Shell cracker under construction on the Ohio River in PA. Photo: Drums600 Ohio, Pennsylvania, and West Virginia‘s share of U.S. natural gas production has gone from two percent in 2008 to 27 percent in 2017. IHS Markit projects that these three states, also known as the Shale Crescent, will supply 37 percent of the U.S.‘s natural gas by 2040, enough to support five large ethane crackers. Shell is currently building a $6 billion ethane cracker 25 miles northwest of Pittsburgh. New petrochemical plants are also planned near the Gulf Coast of Texas and Louisiana and the Lower Mississippi River, an area already called ―Cancer Alley‖ because of the toxic emissions from its existing petrochemical plants. Two large ethane crackers came online on the Gulf Coast in December with two smaller facilities scheduled to open soon. Plastic proliferation and pollution The annual demand for plastic has almost doubled since 2000. And the growing global population, improving economic conditions and technological progress will create even more demand for plastics in the future, according to a report by the International Energy Agency (IEA). Currently, the U.S. and other developed countries use up to 20 times as much plastic per person as India, Indonesia and other developing countries. Plastic shopping bags. Photo: Peteruetz The U.S. also produces more plastic packaging waste per capita than any other country. This throw away plastic packaging makes up 40 percent of all plastic, with most ending up in landfills; the rest is incinerated or recycled. A Center for International Environmental Law (CIEL) report,
  • 10. Page 10 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Plastic & Climate, found that as of the end of 2015, 8,300 million metric tons of virgin plastic had been produced globally, two-thirds of which remains in the environment. Every year, almost 10 million metric tons of plastic wind up in the ocean, where it is consumed by marine animals, and plastic waste is found on beaches in even the most remote places on Earth. Plastic also pollutes land, especially on farms where sewage sludge is used for fertilizer. A seal trapped in plastic pollution. Photo: Nels Israelson Bisphenol A (BPA), a chemical component in the plastic of some water bottles and the lining of tin cans, has been found in the cord blood of nine out of 10 infants and in the urine of 95 percent of adult Americans tested. Some research indicates that it can disrupt hormone and reproductive systems. Microplastic and tiny plastic fibers have been found in honey, sugar, beer, processed foods, shellfish, salt, detergent, bottled water and tap water; however, the health effects of microplastics are still unclear. The climate implications of plastic Plastic not only poses an immense pollution problem—it also exacerbates climate change. The CIEL report warns that the greenhouse gas emissions from plastic jeopardize our ability to keep the global temperature rise below 1.5˚C. If plastic production stays on its current trajectory, by 2030, greenhouse gas emissions from plastic could reach 1.34 billion tons per year, equivalent to the emissions produced by 300 new 500MW coal-fired power plants. This is because more than 99 percent of plastics are made from fossil fuels, both natural gas and crude oil—and because plastic results in greenhouse gas emissions at every stage of its lifecycle. Extraction and transport Greenhouse gas emissions result initially when forested land and fields are cleared to make way for wellpads and pipes to drill for oil and natural gas. Forests are cleared for drilling. Photo: Jason Woodhead If one-third of the 19.2 million acres in the U.S. that have been cleared for extraction was once forested, it means that almost 1.7 billion metric tons of carbon dioxide have been emitted as a consequence of deforestation; moreover, the forested land‘s ability to take up an additional 6.5 million metric tons of carbon each year has been eliminated. The fracking process emits methane, a greenhouse gas that, over 20 years, traps more than 84 times more heat in the atmosphere than does carbon dioxide. Methane results from flaring and leakage, which can occur anywhere from the well to the end user.
  • 11. Page 11 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Emissions are also produced by combusting the fuel to operate the drilling equipment. In 2015, emissions from extraction and transport for plastic production were 9.5-10.5 million metric tons of CO2 in the U.S. alone—the equivalent of the emissions of 2.1 million passenger cars driven for a year. Refining and manufacture ―Plastics is among the most energy-intensive materials to produce,‖ according to the head of CIEL. Ethane cracking is energy intensive because of the high heat needed, and produces significant emissions, as do the chemical refining processes that make other plastics. The annual emissions from the new Shell ethane cracker and an ExxonMobil ethylene plant in Baytown, TX are projected to be equivalent to adding almost 800,000 new cars to the road. Greenhouse gas emissions from the Shell plant alone could cancel out all the benefits of nearby Pittsburgh‘s carbon reduction measures. And these are just two of the over 300 planned petrochemical projects being built in the U.S. mainly to produce plastic and plastic feedstocks. Discarded plastic After it‘s used, plastic is incinerated, recycled or ends up in a landfill. Carbon from the fossil fuel feedstock is locked into plastic products and emitted when plastic is incinerated or decomposes. In 2015, 25 percent of global plastic waste was incinerated; in the U.S., emissions from plastic incineration were equivalent to 5.9 million metric tons of CO2, equivalent to the emissions from heating 681,000 homes for a year. Only about 8.4 percent of plastic is recycled. But, according to scientists from UC Santa Barbara, even recycling plastic produces greenhouse gas emissions, as fossil fuels are combusted to run the machines that shred plastic waste and heat it up to make other products. Plastic pollution in Ghana. Photo: Muntaka Chasant Plastics in the environment, such as those that persist in landfills and litter coastlines all over the world, have been found by University of Hawaii researchers to release the greenhouse gases methane and ethylene when sunlight hits them; moreover, emissions from plastic on the ocean surface increase as the plastic breaks down. Could microplastics affect the ocean‘s ability to absorb carbon dioxide?
  • 12. Page 12 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 The ocean absorbs carbon dioxide from the atmosphere, thus reducing the amount of warming emissions would cause if they remained in the atmosphere. Phytoplankton in the ocean play an essential role in this process, taking carbon dioxide from the atmosphere and storing it in the ocean via photosynthesis. Scientists are currently trying to determine if microplastics in the ocean interfere with phytoplankton‘s ability to sequester carbon. Joaquim Goes, a research professor at the Earth Institute‘s Lamont- Doherty Earth Observatory, said that although he has not seen any studies that show a direct effect of microplastics on phytoplankton, ―We have seen microplastics attach onto phytoplankton under the microscope. Phytoplankton can shed extra sticky carbohydrates through photosynthesis, and plastics can attach onto the sticky material. One thing you can assume is that if you have too many microplastic particles, they compete with phytoplankton for light.‖ Microplastics in the Chesapeake Bay Watershed. Photo: Chesapeake Bay Program Marco Tedesco, a research professor at Lamont-Doherty Earth Observatory, who currently researches microplastic in snow and how it evolves, said that the chemicals used to make plastic could have unknown effects. ―The chemicals that have been used during their lifecycle are heavily toxic and there‘s very little regulation about the use of these elements when it comes to plastics,‖ said Tedesco. ―So the treatment of microplastics requires an extra level of attention because of the potential harm related to the chemicals that are used to treat plastics to make them colorful, more resilient, and impermeable. After a certain point, all the chemicals can permeate through the plastic and you don‘t know what the consequences are.‖ In fact, a 2019 study by researchers from Macquairie University in Australia studied how substances leached from plastic affected Prochlorococcus, a tiny type of phytoplankton considered a key player in the photosynthetic process that fixes carbon. Exposure to the leachate compromised its in vitro growth and photosynthetic capacity and resulted in changes in its genome. There is still much that scientists don‘t know about microplastics, their impacts on the environment or what to do about them, but one thing we do know: ―Anything that we produce that we put into the atmosphere or on our planet—microplastics and CO2—are going to be around. They‘re not going anywhere,‖ said Tedesco, ―You can stop producing plastics now and you can stop emitting CO2 now, but the effect of what‘s left in the atmosphere or what‘s around in terms of microplastics will still be huge…. And there‘s really no clear technological path to the removal of microplastics at any scale.‖
  • 13. Page 13 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 What solutions could yield results? Recycling Right now, plastic recycling in the U.S. is not working well. For decades, the U.S. sent its recycled plastic to China, but in 2017, China banned certain types of solid waste—mainly plastics. Without a market for recycled plastic, recycling is no longer economically viable for many municipalities. The Plastic Pollution Coalition estimates that in 2018, only two percent of municipal plastic waste was recycled in the U.S. and six times more plastic was burned than recycled. Plastic recycling in Bangladesh. Photo: UN Women Asia & the Pacific That year, the U.S. sent 68,000 shipping containers of recycled plastic to countries such as Bangladesh, Laos, Cambodia, Philippines, Turkey, Ethiopia and Senegal — countries that are not able to handle most of their own plastic waste. Recycled plastic used to be cheaper than new plastic, but because of the boom in petrochemical production in the U.S., and because of the demand for recycled plastic from sustainable companies, virgin plastic is becoming cheaper than recycled. As an example, Nestle, which is often considered one of the world‘s worst plastic polluters, is going to pay above market rate for recycled plastic in an attempt to reach its goal of reducing virgin plastic use by one-third by 2025. Plastic bans Microbeads. Photo: MPCA Photos As of 2018, 127 countries had some type of legislation regulating plastic bags, according to a United Nations Environment Programme report. These bills might involve limiting the bags‘ manufacture or use, taxing them or regulating their disposal. Twenty-seven countries have banned certain plastic products, such as packaging, plates, cups and straws. Sixty-three countries have required extended producer responsibility for single-use plastics, where producers of the plastic are responsible, financially or physically, to deal with their disposal. In the U.S., the only federal ban on plastics is the Microbead-free Waters Act of 2015, forbidding the use of microbeads in cosmetics. Eight states have enacted other plastic restrictions, and 24 states have passed approximately 330 local plastic bag laws. A global campaign against single-use plastics could make a larger dent in oil demand than electric cars.
  • 14. Page 14 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Christof Ruehl, a senior research scholar at Columbia University‘s Center on Global Energy Policy, is sanguine about the effectiveness of these bans and recycling. He and a colleague researched the potential impacts of a modest reduction in the demand for packaging material and a small improvement in plastic recycling. They cited three outcomes. ―It brings peak oil demand forward by about five years into the mid- to late 2020s,‖ said Ruehl. ―Secondly, it creates stranded assets because a lot of especially national companies are now heavily investing into new petrochemical facilities, because they believe plastic demand will continue rising. And thirdly—this I found really amazing—the impact of a successful campaign globally against the use of single-use plastics has a larger dent in oil demand than the dent caused by electric cars.‖ In other words, effective regulations on plastic could reduce oil demand by at least as much as the adoption of electric cars 20 years from now. The CIEL report studied possible solutions to the plastic pollution problem and determined that five measures would reduce greenhouse gas emissions the most and deliver environmental and social benefits: Ending the production and use of single-use, disposable plastic; Stopping development of new oil, gas, and petrochemical infrastructure; Promoting zero-waste communities; Requiring extended producer responsibility; Adopting and enforcing ambitious targets to reduce greenhouse gas emissions from all sectors, including plastic production. It‘s important to bear in mind, however, that even if it were possible to achieve these measures and eliminate all demand for plastic, ―You will have to replace the plastic with something else,‖ said Ruehl. ―That something else would use energy and produce carbon emissions. Glass and paper, for example, are very energy-intensive. So in order to get a complete picture, you would have to study these replacements, but no one has done that yet.‖ Tags: Center on Global Energy PolicyethaneFrackingLamont-Doherty Earth ObservatorymicroplasticsNatural Gasplasticplastic bansplastic pollutionrecycling International Research Institute for Climate and SocietyLamont-Doherty Earth Observatory Authors
  • 15. Page 15 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Advanced Consortium on Cooperation, Conflict, and ComplexityAlex HallidayAdrienne KenyonAlex FischerAbby MeolaRoger AndersonAudrey RammingAndrew RevkinAdam SobelAlix TrébaolAastha UpretyAnuradha VaranasiRobert S. ChenCassie XuCathy VaughanColumbia Center on Sustainable InvestmentCenter for International Earth Science Information NetworkCharlotte MunsonColumbia Water CenterCenter for Research on Environmental DecisionsCari ShimkusCourtney SmallCourtney St. JohnDaniel BurgessDebbie CookDebra TillingerDavida HellerDiana B SierraDavid MaurrasseDonna ShillingtonDiego VillarrealDwi SusantoDale WillmanEarth InstituteEve WarburtonElza BouhassiraEinat LevEvan LimCenter on Global Energy PolicyEmily O'HaraEric HolthausElizabeth RobinsonEmily RothenbergEve SolomonElisabeth SydorFarah HegaziKyle FrischkornFrancesco FiondellaFrank NitscheGina AckermanGavin SchmidtElisabeth GawthropGabriella CohenGeoffrey HealGilma MantillaGisela WincklerGrennan Joseph MillikenGrace PalmerGrant GoodrichHamsa SubramaniamHannah ChangHima BataviaHayley MartinezIndrani DasInternational Research Institute for Climate and SocietyIvy MorganJaclyn Leigh CarlsenJames WarieroJessica CrespoJeffrey SachsJennifer VettelJesper FrantJessica FanzoJeremy HinsdaleJill A. VanTongerenJim CochranJim GahertyJonathan NicholsJohn McArthurJohn MutterJacquelyn TurnerJu Young LeeJulia Apland HitzJulie ArrighiKatherine AllenKalpana VenkatasubramanianKate BrashKate MorrisKate WeinbergerKatherine ReganKatie HornerKatie JohnsonKavita Jain-CocksKelsie DeFranciaKelsey DyezKevin KrajickKate Kennedy FreemanKim Anne KastensKim MartineauKlaus LacknerKristin FrancozKatherine SchulmanKirsty TintoKelcie WaltherKyu LeeKathy ZhangLakis PolycarpouIsabel Amos- LandgrafLareef ZubairLaura LyLauren BarredoLauren ZieglerLenfest CenterLeesa KoLonnie ThompsonLaura PirainoLily RobertsLindsay SiegelLucia RodriguezMadeleine RubensteinMargie TurrinMariapaola SuttoMarie DeNoia AronsohnMary-Elena CarrMattias ChesleyMeag https://news.climate.columbia.edu/2020/02/20/plastic-production-climate- change/ Plastikmikro pun ada pada botol susu bayi… kajian MICROPLASTICS Bottle-Fed Babies May Consume Millions of Microplastic Particles a Day Jordan Davidson Oct. 20, 2020 11:52AM EST HEALTH + WELLNESS New research finds baby bottles may release millions of microplastic particles with each feeding. Beeki / Needpix
  • 16. Page 16 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 The process of preparing and mixing a baby bottle formula seems innocuous, but new research finds this common occurrence is actually releasing millions of microplastic particles from the bottle's lining, Wired reported. Microplastics are particles that are smaller than five millimeters long. Sterilizing and mixing formula may also release trillions of nanoplastic particles, which are billionths of a meter long, Wired reported. The new study published in Nature Food found that the amount of microplastic babies consume is much larger than previous estimates. "We were absolutely gobsmacked," study co-author John Boland told The Guardian. "A study last year by the World Health Organization (WHO) estimated adults would consume between 300 and 600 microplastics a day — our average values were on the order of a million or millions." "The numbers are, well, frightening," Deonie Allen, who studies microplastics at the University of Strathclyde in Scotland, but wasn't involved in the research, told Wired. "They're bigger than any exposure tests that have been done before for human uptake." The researchers examined the amount of formula that infants up to a year old consumed in 48 global regions. They discovered that, on average, bottle-fed babies were exposed to 1.6 million microplastic particles a day, The Guardian reported. "We have to start doing the health studies to understand the implications," Boland told The Guardian. "We're already working with colleagues to look at what buttons in the immune system these particles begin to press." The researchers explained their methodology and results in The Conversation. They used common polypropylene baby bottles, and followed the WHO's 2007 guidelines for preparing baby formula. This involved cleaning, sterilizing and mixing formula. The results were that bottles released up to 16 million particles per liter of water heated to 158 degrees F. The number of particles jumped to 55 million at 203 degrees F. Not only does hotter water shed more microplastics, but so does shaking the bottle, which is a common practice for reconstituting formula. However, the researchers also created a simple four-step method for reducing microplastic exposure, detailed in The Conversation:
  • 17. Page 17 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Rinse sterilized feeding bottles with cool, sterile water. Always prepare formula in a non-plastic container. After formula has cooled to room temperature, transfer it into the cooled, sterilized feeding bottle. Avoid rewarming prepared formula in plastic containers, especially with a microwave oven. The last step resonated with Boland. He told Wired, "I think the important learning is never, ever, ever use a microwave oven to heat anything with a plastic container. Because what happens is you get in fact the local heating of the plastic and the water together, which gives enhanced levels of microplastic generation. And so that combination we think is particularly potent." Microplastics Found in Human Organs for First Time - EcoWatch › Microplastics Are Raining Down on Cities - EcoWatch › People Eat 50,000+ Microplastics Every Year, New Study Finds ... › Microplastics are in our food and water. How that affects our health ... › Microplastics have moved into virtually every crevice on Earth › Study: Plastic Baby Bottles Shed Microplastics When Heated ... › plastic pollutionpublic healthhealthfoodsciencemicroplastics https://www.ecowatch.com/amp/microplastics-baby-bottles- 2648408090?__twitter_impression=true Plastics Twenty firms produce 55% of world’s plastic waste, report reveals Plastic Waste Makers index identifies those driving climate crisis with virgin polymer production Sandra Laville Tue 18 May 2021 01.00 BST Twenty companies are responsible for producing more than half of all the single-use plastic waste in the world, fuelling the climate crisis and creating an environmental catastrophe, new research reveals. Among the global businesses responsible for 55% of the world‘s plastic packaging waste are both state-owned and multinational corporations, including oil and gas giants and chemical companies, according to a comprehensive new analysis.
  • 18. Page 18 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Quick Guide The top 20 producers of single use plastic Show The Plastic Waste Makers index reveals for the first time the companies who produce the polymers that become throwaway plastic items, from face masks to plastic bags and bottles, which at the end of their short life pollute the oceans or are burned or thrown into landfill. It also reveals Australia leads a list of countries for generating the most single-use plastic waste on a per capita basis, ahead of the United States, South Korea and Britain. ExxonMobil is the greatest single-use plastic waste polluter in the world, contributing 5.9m tonnes to the global waste mountain, concludes the analysis by the Minderoo Foundation of Australia with partners including Wood Mackenzie, the London School of Economics and Stockholm Environment Institute. The largest chemicals company in the world, Dow, which is based in the US, created 5.5m tonnes of plastic waste, while China‘s oil and gas enterprise, Sinopec, created 5.3m tonnes. Eleven of the companies are based in Asia, four in Europe, three in North America, one in Latin America, and one in the Middle East. Their plastic production is funded by leading banks, chief among which are Barclays, HSBC, Bank of America, Citigroup and JPMorgan Chase. The enormous plastic waste footprint of the top 20 global companies amounts to more than half of the 130m metric tonnes of single-use plastic thrown away in 2019, the analysis says. It's not just oceans: scientists find plastic is also polluting the air Single-use plastics are made almost exclusively from fossil fuels, driving the climate crisis, and because they are some of the hardest items to recycle, they end up creating global waste mountains. Just 10%-15% of single-use plastic is recycled globally each year. The analysis provides an unprecedented glimpse into the small number of petrochemicals companies, and their financial backers, which generate almost all single-use plastic waste across the world. Al Gore, the environmentalist and former US vice-president, said the groundbreaking analysis exposed how fossil fuel companies were rushing to switch to plastic production as two of their main markets – transport and electricity generation – were being decarbonised.
  • 19. Page 19 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 ―Since most plastic is made from oil and gas – especially fracked gas – the production and consumption of plastic are becoming a significant driver of the climate crisis,‖ said Gore. ―Moreover, the plastic waste that results – particularly from single-use plastics – is piling up in landfills, along roadsides, and in rivers that carry vast amounts into the ocean.‖ The plastic waste crisis grows every year. In the next five years, global capacity to produce virgin polymers for single-use plastics could grow by more than 30%. By 2050 plastic is expected to account for 5%-10% of greenhouse gas emissions. Why have sperm counts more than halved in the past 40 years? ―An environmental catastrophe beckons: much of the resulting single-use plastic waste will end up as pollution in developing countries with poor waste management systems,‖ the report‘s authors said. ―The projected rate of growth in the supply of these virgin polymers … will likely keep new, circular models of production and reuse ‗out of the money‘ without regulatory stimulus.‖ The report said the plastics industry across the world had been allowed to operate with minimal regulation and limited transparency for decades. ―These companies are the source of the single-use plastic crisis: their production of new ‗virgin‘ polymers from oil, gas and coal feedstocks perpetuates the take-make-waste dynamic of the plastics economy.‖ The report said this undermines the shift to a circular economy, including the production of recycled polymers from plastic waste, reusing plastic and using substitute materials. Just 2% of single-use plastic was made from recycled polymers in 2019. ―Plastic pollution is one of the greatest and most critical threats facing our planet,‖ said Dr Andrew Forrest AO, chairman of the Minderoo Foundation. ―The current outlook is set to get worse and we simply cannot allow these producers of fossil fuel-derived plastics to continue as they have done without check. With our oceans choking and plastic impacting our health, we need to see firm intervention from producers, governments and the world of finance to break the cycle of inaction.‖ Topics Plastics Packaging Plastic bags Corporate social responsibility Oil and gas companies Oil Takeaway food and drink litter dominates ocean plastic, study shows 3 months
  • 20. Page 20 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Turkey to ban plastic waste imports 4 months UK plastics sent for recycling in Turkey dumped and burned, Greenpeace finds 4 months It‟s on our plates and in our poo, but are microplastics a health risk? Scientists find way to remove polluting microplastics with bacteria 5 months „Single-use plastics‟ to be phased out in Australia from 2025 include plastic utensils and straws 5 months © 2021 Guardian News & Media Limited or its affiliated companies. All rights reserved. https://amp.theguardian.com/environment/2021/may/18/twenty-firms- produce-55-of-worlds-plastic-waste-report- reveals?__twitter_impression=true AUSTRALIA Plastic waste and climate change - what's the connection? 30 Jun 2021 KEYWORDS plastic climate change greenhouse gas emission From an interview with Kerri Major Engagement Manager Partnerships & Innovation, WWF-Australia Growing up in Singapore, I didn't question the role of plastic. Durable and cheap, it was everywhere, and everyone used it. It wasn‘t until my environmentally-conscious mother started refusing plastic bags from shops and even reusing laundry water for flushing - that I came to understand the impact that plastic had on our environment. Now I know all too well. And the impacts are way more sinister than anyone first thought. Because the world's growing production of plastics - about 100 million tonnes annually - is not just clogging landfill sites and threatening our oceans and marine life; it's accelerating climate change. Plastic is one of the most persistent pollutants on Earth. It's made to last - and it does, often for 400 years or more. And at every step in its lifecycle,
  • 21. Page 21 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 even long after it has been discarded, plastic creates greenhouse gas emissions that are contributing to the warming of our world. A report by the Center for International Environmental Law, released in May, concluded that the impact of plastic production on the world's climate this year will equate to the output of 189 coal-fired power stations. By 2050, when plastic production is expected to have tripled, it will be responsible for up to 13% of our planet's total carbon budget - on a par with what 615 power stations emit. So how is plastic implicated in climate change? Almost all plastic is derived from materials (like ethylene and propylene) made from fossil fuels (mostly oil and gas). The process of extracting and transporting those fuels, then manufacturing plastic creates billions of tonnes of greenhouse gases. For example, 4% of the world's annual petroleum production is diverted to making plastic, and another 4% gets burned in the refining process. But how we manage all the plastic that then goes into circulation is equally troubling. Of the almost 3 million tonnes of plastic that Australia produces each year, 95% is discarded after a single use. Less than 12% is recycled, which leaves a staggering amount to be disposed of - in landfills or incinerated. We used to rely on countries like China, Myanmar and Cambodia to handle our waste plastic. It was convenient to bale it up and ship it offshore for someone else to deal with. However, the poorly-regulated incineration in those developing nations posed considerable threats to human health and the environment. Globally, in this year alone, researchers estimate that the production and incineration of plastic will pump more than 850 million tonnes of greenhouse gases into the atmosphere. By 2050, those emissions could rise to 2.8 billion tonnes. Alarmingly, at least 8 million tonnes of discarded plastic also enters our oceans each year, and plastic pollution at sea is on course to double by 2030. Plastic has even been found in the deepest place on Earth - in the Mariana Trench, nearly 11 kilometres below sea level. In our oceans, which provide the largest natural carbon sink for greenhouse gases, plastic leaves a deadly legacy. It directly chokes and smothers a host of marine animals and habitats and can take hundreds of years to break down. As it does, sunlight and heat cause the plastic to release powerful greenhouse gases, leading to an alarming feedback loop. As our climate
  • 22. Page 22 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 changes, the planet gets hotter, the plastic breaks down into more methane and ethylene, increasing the rate of climate change, and so perpetuating the cycle. The smaller particles (known as microplastics) that break off and disperse are also unwittingly ingested by marine animals, including plankton, and some of the fish we eat. And why should we care about plankton? Well these tiny powerhouses play a critical role in taking carbon dioxide from the atmosphere and water and sequestering it in deep ocean sinks. The full effects of this are still being studied, but the essential premise is this: when microplastics threaten plankton populations, more carbon will re-enter the waters and atmosphere. Given that our oceans have successfully absorbed 30-50% of atmospheric carbon produced since the start of the industrial era, it's easy to see just what's at stake. And this leads us back to the plastic consumption on land that is driving this mounting plastic pollution crisis. The more plastic we make, the more fossil fuels we need, the more we exacerbate climate change. The only way we can now address the problem is to curb the production of plastic, especially of the single-use variety, and to ramp up recycling. Reducing plastic use and waste is a key component of WWF's work. We're committed to collaborating with our supporters, corporate partners and industry bodies to improve plastic management and limit its environmental impact. It's critical if we are to curb greenhouse gas emissions that are exacerbating climate change, and to protect our marine environments. Thanks to Mum, I'm now a passionate advocate for recycling. I believe there‘s much we can do to re-use the plastics we produce, but it's no longer enough. It's time to put single-use plastic under wraps and begin re- imagining a future without it. Recommended reading Update: An important step towards stopping plastic pollution There‘s an important update in the plastics space! The Australian Government has committed to support a global binding agreement as part of a UN treat ... READ MORE Sustainability The true cost of plastics
  • 23. Page 23 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 In a groundbreaking piece of research, WWF and global consultancy firm Dalberg have worked together to estimate the true cost of plastics to society a ... READ MORE © WWF-Australia 2018, All rights reserved. Site terms Photos and graphics © WWF or used with permission. Text available under Creative Commons licence. https://www.wwf.org.au/news/blogs/plastic-waste-and-climate-change- whats-the-connection#gs.d0ze1a Allianz Indonesia melalui Yayasan Allianz Peduli turut serta dalam World Cleanup Day 2021, dengan menanam 2.000 pohon mangrove di Pulau Harapan, Kepulauan SEribu Peduli Lingkungan, Allianz Indonesia Ikut dalam Aksi 'World Cleanup Day' Sabtu, 25 September 2021 | 14:13 WIB Windarto Jakarta, Investor.id – Allianz Indonesia melalui Yayasan Allianz Peduli (YAP) kembali berpartisipasi dalam World Cleanup Day 2021 (WCD) dengan serangkaian kegiatan, di antaranya penanaman 2.000 pohon mangrove di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Selain itu, ada pula pemberdayaan komunitas lokal serta melibatkan masyarakat untuk berdonasi menanam mangrove. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan kelompok tumbuhan yang memiliki banyak manfaat bagi lingkungan dan makhluk hidup sekitarnya, sehingga kegiatan penanaman pohon mangrove ini dapat menjaga kelestarian alam, terutama wilayah pantai. Perwakilan YAP Sunadi mengatakan, partisipasi YAP pada World Cleanup Day 2021 merupakan kelanjutan komitmen dan kepedulian Allianz Indonesia terhadap lingkungan. Seperti diketahui, dunia saat ini sedang menghadapi gangguan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global. ―Oleh karena itu, kami tidak pernah berhenti mengedukasi dan menginspirasi masyarakat luas untuk turut peduli dan melestarikan lingkungan melalui ragam program atau kampanye yang kami inisiasi, seperti penanaman pohon mangrove, webinar edukasi terkait lingkungan bagi masyarakat, serta pemberdayan komunitas petani mangrove dan bank sampah,‖ kata Sunadi. Tahun ini merupakan tahun ketiga bagi YAP melakukan kegiatan penanaman pohon mangrove. Namun, ada yang berbeda dari tahun-tahun
  • 24. Page 24 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 sebelumnya karena pada WCD 2021 masyarakat dapat berkontribusi dengan mengikuti ‗Instagram Photo Challenge Donasi Mangrove,‘ dan untuk setiap post yang diunggah dapat dikonversi dengan satu pohon mangrove. Syaratnya, masyarakat dapat mengunggah foto saat melakukan kegiatan peduli lingkungan seperti memilah sampah, membersihkan lingkungan sekitar, menanam pohon, dan mendaur ulang sampah. Selain dapat membagikan cerita melalui media sosial, masyarakat juga bisa berkontribusi menyumbangkan pohon mangrove dan turut mendukung kegiatan sosial Allianz Indonesia melalui Yayasan Allianz Peduli. Caranya dengan berbelanja merchandise resmi Allianz Indonesia di https://azboutique.gifted.id/ , seperti botol minum atau peralatan makan yang bisa digunakan berulang kali sehingga bisa mengurangi sampah plastik sekali pakai. Untuk setiap pembelian minimal Rp150 ribu dan kelipatannya akan dikonversikan dengan satu pohon mangrove. Masyarakat yang telah berpartisipasi menyumbangkan pohon mangrove ini akan mendapatkan sertifikat elektronik sebagai bentuk kontribusinya pada kelestarian lingkungan. Kegiatan donasi pohon mangrove ini bukan hanya berlansung selama World Cleanup Day saja, tetapi masyarakat tetap dapat berkontribusi menyelamatkan bumi dengan menggunakan polis elektronik, satu polis elektronik yang terdaftar sama dengan satu pohon mangrove untuk ditanam. Lebih lanjut, YAP juga bekerja sama dengan Majalah Bobo mengadakan kelas virtual untuk anak-anak, "Membuat Sampah Menjadi Kreasi Mainan Daur Ulang". Sebuah kelas yang mengajarkan bagaimana menyulap sampah yang ada di rumah menjadi sebuah mainan yang bernilai. Selain memanfaatkan sampah di rumah, kegiatan ini juga berguna untuk mengasah kreativitas masyarakat, khususnya generasi penerus, untuk lebih bijak mengelola sampah. Masalah pengolahan sampah juga menjadi bahan diskusi dalam webinar World Cleanup Day 2021 pada 18 September 2021 lalu, yang dilaksanakan bersama dengan CarbonEthics. Webinar ini menghadirkan CEO & Co-Founder Rekosistem, Ernest C. Layman, ―Salah satu alasan kami mendirikan Rekosistem adalah karena masih belum optimalnya sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Rekosistem hadir untuk meningkatkan produktivitas di sektor pengelolaan sampah dengan menghubungkan masyarakat dengan mitra daur ulang sehingga sampah yang terkumpul didaur ulang dengan transparansi laporan data yang jelas dan reward point yang pada akhirnya memotivasi masyarakat untuk memilah sampah lebih banyak dan menerapkan gaya hidup zero waste dari rumah mereka,‖ Lebih lanjut, Mustafa, Ketua Kelompok Petani Mangrove Pulau Harapan, yang aktif melakukan kegiatan penanaman mangrove turut menyampaikan
  • 25. Page 25 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 kekhawatirannya terkait dengan sampah yang berakhir di laut. Menurutnya, menjaga kebersihan lingkungan bebas dari sampah juga penting dilakukan karena sampah dapat mengganggu proses pertumbuhan mangrove. Mustafa juga menekankan pentingnya keberadaan ekosistem mangrove sangat penting sebagai salah satu cara mitigasi krisis iklim yang dampaknya paling dirasakan oleh masyarakat pesisir. Kelestarian lingkungan harus didukung oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mengelola lingkungan tersebut. Sehingga tidak hanya YAP bersama dengan Yayasan CarbonEthics Indonesia menyumbangkan pohon mangrove, tetapi juga melakukan kegiatan edukasi dan pemberdayaan petani mangrove, sampai dengan bulan Desember mendatang, agar para petani mampu meningkatkan kualitas produksinya. Selain itu, YAP juga memberikan edukasi tentang bank sampah dengan pendekatan personal (door to door) ke masyarakat Kepulauan Seribu agar lingkungan pesisir tetap terjaga kebersihannya. Webinar World Cleanup Day 2021 sekaligus menjadi penutup rangkaian kegiatan yang diinisiasi oleh YAP. Usaha bersama untuk menjaga lingkungan sebagai rumah kita bersama penting untuk dilakukan, korporasi juga harus berkontribusi terhadap konservasi lingkungan. Hal ini diwujudkan Allianz Indonesia melalui program-program CSR, membuat strategi bisnis yang berkelanjutan, dan mendukung komunitas lokal dan sekitar. Editor : Maswin (maswin@investor.co.id ) Sumber : Majalah Investor Copyright ©2021 Investor.id | All Rights Reserved https://investor.id/investory/264754/peduli-lingkungan-allianz-indonesia- ikut-dalam-aksi-39world-cleanup-day39 Indonesia’s pandemic-fuelled problem: Mounds of medical waste From masks and gloves to IVs and COVID tests, reporter Adi Renaldi visits the landfills and dumpsites that are now home to toxic medical waste. Bagong Suyoto, from the NGO National Waste Coalition, holds up intravenous drip lines with needles still attached, collected by scavengers from landfills on the outskirts of Jakarta, Indonesia [101 East/Al Jazeera] By Adi Renaldi 1 Oct 2021
  • 26. Page 26 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 The overpowering stench is the first thing that I notice, filling my nose and making my eyes water. Then I see the mountains of rotting waste. This is Burangkeng, one of Indonesia‘s largest landfills, in the city of Bekasi some 30km from the capital, Jakarta. On the surface it looks like any other large dumpsite, but among the regular rubbish lies a growing amount of toxic medical waste. From blood- filled drip lines to masks, medical gloves and COVID-19 tests. All hidden in plain sight. Asia‘s Pandemic Waste EmergencyWhy has COVID-19 taken hold in Indonesia?What‘s behind Indonesia‘s COVID-19 surge?Cemeteries full as Indonesia reports 1,000 COVID deaths in a day As a journalist investigating the impact of the pandemic on Indonesia‘s waste system, I have spent a great deal of time reporting from morgues, cemeteries and hospitals, watching how the virus takes tens of thousands of lives and renders others hopeless and isolated. Every time I go into the field, I feel isolated, too, as I have to separate from my family for fear of spreading the virus. I have come to Burangkeng to find out what happens to COVID-19 waste. At the entrance, I meet Bagong Suyoto. He is surrounded by heavy trucks full of waste from across Jakarta, waiting to unload. Reporter Adi Renaldi and Bagong Suyoto from the National Waste Coalition uncover used intravenous drip lines, dumped in the Burangkeng landfill [101 East/Al Jazeera] A man in his early 50s, he knows this site well and visits it regularly. He heads an NGO called National Waste Coalition (KPNas) and for more than two decades has been advocating for better management of waste in Indonesia. ―I did not have an understanding about waste at first, I wasn‘t even interested in it. But after I investigated it, I found out that waste is a problem for the environment and for humanity,‖ he says. ‗Used and dumped‘ Since the early days of the pandemic, Suyoto has noticed a rapid increase in the amount of untreated medical waste appearing in Jakarta‘s landfills. He is going to show me how easy it is to find. It does not take us long. Just a few metres inside Burangkeng landfill, Suyoto locates intravenous (IV) drip bags and lines scattered among other types of plastic waste. Then he spots COVID-19 rapid tests.
  • 27. Page 27 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Discarded COVID-19 rapid tests and other medical waste are found mixed in with with regular rubbish at the Burangkeng landfill in Bekasi city [101 East/Al Jazeera] ―There are still many in here,‖ he says. ―They look like they have just recently been used and dumped in here.‖ According to the United Nations Environment Program (PDF), the rate of medical waste disposal has risen by 500 percent in Jakarta and four other Asian capital cities. As we sift through used masks with gloved hands and poke bags filled with old medicines, I wonder how this waste came to be here, among household debris. Suyoto tells me that most of the medical waste he finds is mixed with regular waste inside plastic bags. Because the waste is concealed, it is difficult to track how it enters the landfill, or to trace it back to its source. Further inside the dump, as we squat on the side of a track watching trucks unload, Suyoto says the medical waste is mixed like this purely for economic purposes. He explains that it is far cheaper for hospitals and clinics to dump their waste than pay disposal businesses to remove it. By law, medical waste should be incinerated or sterilised. But the reality is only 4 percent of Indonesia‘s 3,000 hospitals have a licence to operate an incinerator. The Burangkeng landfill in Bekasi city, 30km from Jakarta, is one of the country‘s largest [101 East/Al Jazeera] In July 2021, the Minister of Environment and Forestry Siti Nurbaya acknowledged the growing problem of medical waste. She announced the government would relax some rules for hospitals and clinics that were struggling with increased waste, allowing the operation of some unauthorised incinerators under the ministry‘s supervision. To a man like Suyoto, who has fought to bring the government‘s attention to this problem for decades, this response is not enough to stem the growing tide. ―Governments must provide more thermal technology or incinerator technology to destroy medical waste, especially waste related to the COVID pandemic treatment. The government must be serious about it,‖ he tells me.
  • 28. Page 28 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 At the source To see the source of medical waste first-hand, I visit the University of Indonesia Hospital. As I walk in, lines of people wearing masks stretch past the front door as they wait for treatment. Of the 160 to 170 patients admitted here every day, 80 percent have COVID-19. I meet Siti Kurnia Astuti, who manages the hospital‘s waste. She takes me on a tour of the hospital, showing me how staff in the COVID ward take off their PPE, carefully placing it in marked bags and then in bins, which will be wheeled to the disposal area at the back of the building. Here, we find workers weighing the medical waste and storing it for collection. Astuti tells me the amount has quadrupled during the pandemic, rising to 10 tonnes each month. Siti Kurnia Astuti is the head of sanitation at the University of Indonesia Hospital. She shows reporter Adi Renaldi where the hospital stores its medical waste before collection [101 East/Al Jazeera] The hospital used to have its own working incinerator to burn this waste, but it broke down. Now, they must pay a company about 70 cents per kilogram to take it away and process it for them. ―So you can imagine how high the cost is that needs to be paid by the hospital, just in waste processing. While, if we process it using our own incinerator, we can save about 50 percent of the cost,‖ Astuti says. But she still worries about where it could end up, and says the hospital sometimes follows the trucks that take the waste away, to ensure it is not being dumped. Back at the Burangkeng landfill, I watch hundreds of waste pickers scavenging through the piles of rubbish, as if looking for treasure. Carrying large bamboo baskets and metal picks, they search for items that can be sold. IV drip bags and lines are prized products that can be sold for 38 cents per kilogram to unscrupulous recycling plants. Scavengers and middlemen Wilson Pandhika is the secretary-general of Indonesia Plastic Recyclers, an association that represents 120 plastic recycling businesses. He says the industry relies heavily on the informal sector. He also admits that sourcing plastics from unofficial waste collectors has led to a convoluted supply chain with layers of middlemen.
  • 29. Page 29 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 The scavengers who collect medical waste are also putting themselves at great risk. Near some landfills on Jakarta‘s outskirts, is a village of people who pick through the rubbish to find recyclable items to sell, including some medical waste [101 East/Al Jazeera] Suyoto takes me to meet them at a village near the Burangkeng landfill. Here we find small children running around and playing games while men clean IV drip lines and bottles, stacking them into baskets and bags. Suyoto picks up some lines with needles still poking off the end and one of the scavengers tells us how he once got pricked by a needle while collecting waste. ―You can get tetanus from it!‖ Suyoto warns him. Needle-stick injuries can lead to serious infections while contact with other types of medical waste can result in chemical or radiation burns. Solutions to the problem Indonesia‘s waste management system is a major concern among environmentalists. The country has more than 400 landfills on almost 9,000 hectares (22,240 acres) of land. The practice of dumping waste in open landfills without proper management, has created mountains of rubbish as high as 40 metres in another of Jakarta‘s landfills – Bantar Gebang. Built in the 1980s, each day it receives an estimated 7,500 tonnes of waste. It is predicted it will reach its capacity in 2021, according to the Regional Development and Planning Agency. But you don‘t have to go to a landfill to clearly see that the country is struggling with the amount of medical waste being generated. Discarded masks on the streets are now a common sight. Scientist Dr Akbar Hanif Dawam Abdullah has perfected a method to recycle used masks into plastic pellets [101 East/Al Jazeera] I am not the only one taking notice of this. Dr Akbar Hanif Dawam Abdullah, a scientist at the Cibinong Science Centre, did the maths. He says, ―Fifty percent of the urban population are wearing disposable masks. It‘s a big number. Indonesia has 270 million people and if half of them are wearing disposable masks, we would have 130 million. And if
  • 30. Page 30 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 they change masks every day … we tried to calculate it and found that it produces more than 100 tonnes of disposable masks waste per day.‖ I visit Dr Dawam at his lab in Bandung, West Java, some 150km southeast of Jakarta, where he and his team have been working tirelessly to find solutions. When I ask him to explain why he decided to tackle this problem, his eyes light up and he becomes animated. Dr Dawam has studied bioplastics for five years, and knows that most medical protective equipment contains a plastic called polypropylene that can be recycled. He shows me the various bits of equipment in his lab as his assistants, wearing goggles, gloves and white coats, demonstrates the method they have perfected to turn masks into plastic pellets. Dr Akbar Hanif Dawam Abdullah monitors the melted plastic as it emerges along a conveyor belt [101 East/Al Jazeera] First, they sterilise the masks using alcohol or bleach, then dry them. The sterilised masks are then melted down at 170 degrees Celsius (338 degrees Fahrenheit). I watch as the melted plastic comes out of a machine in a long blue sticky line and is fed onto a conveyor before being cut to pieces. Dr Dawam proudly holds up the results to show me – colourful pellets that can be made into new plastic products, including more protective equipment. He tells me he is waiting for new regulations to start the implementation of programmes like his, and that some small and medium recycling industries are already interested. ―Some industries know it, but they don‘t dare to proceed. The society has shown their enthusiasm in this matter. Some people have even started to sterilise [masks], to wash it, to collect,‖ he says. ―It‘s like we are halfway, we just need to continue.‖ SOURCE: AL JAZEERA https://www.aljazeera.com/features/2021/10/1/indonesia-pandemic-fuelled- problem-covid-medical-waste
  • 31. Page 31 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Menyedihkan, Setengah Ton Sampah Plastik Bergelantungan di Pohon Bantaran Kali Porong Rangga Prasetya Aji Widodo 1 Oktober 2021, 04:00 WIB Membebaskan lilitan sampah plastik yang bergelantungan di atas pohon Bantaran Kali Porong, Desa Kedungmunggal, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur /Zona Surabaya Raya/ ZONA SURABAYA RAYA - Kebiasaan buruk masyarakat membuang sampah plastik sembarangan masih banyak ditemukan. Setengah ton sampah plastik bergelantungan di antara ranting pepohonan bambu di Desa Kedungmunggal, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto. Karena sudah terlilit di dahan bambu, sampah plastik ini sulit dilepaskan. Perlu bantuan 75 orang untuk melepaskan sampah plastik yang sudah membandel. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Basah (Ecoton) melakukan Kegiatan Operasi Plastik Kali Porong ini pada Kamis 30 September 2021. Agenda bersih-bersih sampah plastik ini didukung the Body Shop, Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS Brantas), Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Mojokerto, Jasa Tirta Rolak Songgo, dan Relawan Sungai Nusantara. "Sampah plastik yang berhasil dibersihkan dari pohon-pohon di Kedungmunggal sekitar 5 kuintal (setara 500 Kg atau setengah ton, red) sampah plastik," tutur Mochamad Yunus selaku mahasiswa Jurusan Agribisnis Universitas Trunojoyo Madura. "Sampah plastik ini terdiri dari tas kresek, sampah sachet bungkus makanan, sampah pokok sekali pakai, tali, pakaian, senar, botol-gelas plastik, dan sampah styrofoam yang melilit pada pohon waru dan rumpun bambu di tepi sungai," ujarnya. Ketika sampah plastik seberat setengah ton itu dimasukkan ke dalam karung, hasilnya tertampung sebanyak 30 goni. Sedangkan, bila sampah plastik yang bergelantungan di dahan-dahan bambu itu terendam dan terkena air, akibatnya menjadi mikroplastik, hingga berpotensi mencemari sumber makanan laut pada Kali Porong. "Kami menghimbau pada warga di daerah aliran Sungai Brantas dan Kali Porong untuk tidak membuang sampah plastik sekali pakai ke sungai atau sembarang tempat. Karena sampah plastik ini (muaranya) akan ke Sungai
  • 32. Page 32 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Brantas dan Kali Porong," ucap Sofi Azilan Aini sebagai relawan Sungai Nusantara. Sofi mengatakan bila ingin terhindar dari pencemaran mikroplastik dalam sumber makanan laut, maka berhenti membuang sampah plastik ke sungai. Pada ekspedisi pembersihan lingkungan sebelumnya, Sofi menemukan lebih dari 1.000 pohon di tepi Kali Porong yang terlilit sampah plastik, apalagi membersihkannya begitu sulit.*** Editor: Julian Romadhon TAGS sampah plastik Bantaran kali PT Kolaborasi Mediapreneur Nusantara Jl. Asia Afrika No. 75 Bandung - Jawa Barat, 40111, Ph. 022-4241600 Email: prmnnewsroom@pikiran-rakyat.com ©2021 Pikiran Rakyat Media Network https://zonasurabayaraya.pikiran-rakyat.com/surabaya-raya/pr- 1852707391/menyedihkan-setengah-ton-sampah-plastik-bergelantungan- di-pohon-bantaran-kali-porong Heboh! Warna Air Sungai Cisadane Berubah Merah Darah, Satpol PP Kota Tangerang Selatan Angkat Bicara Peristiwa | 3 Oktober 2021 | 18:15 WIB Penampakan Sungai Cisadane di kawasan Kavling Serpong, Tangerang Selatan, Banten yang mendadak berubah warna menjadi merah darah. (Sumber: Wartakotalive.com via Tribunnews.com) TANGERANG SELATAN, KOMPAS.TV - Baru-baru ini publik dikejutkan oleh penampakan air Sungai Cisadane, tepatnya di kawasan Kavling Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten, yang berubah warna menjadi merah darah. Menanggapi fenomena tersebut, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang Selatan pun langsung turun ke lokasi kejadian.
  • 33. Page 33 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Kabid Penegakan Hukum Perundang-undangan Satpol PP Kota Tangerang Selatan Sapta Mulyana mengonfirmasi bahwa pihaknya telah melakukan pengecekan sementara. Hasilnya, perubahan warna air Sungai Cisadane kemungkinan besar disebabkan oleh pembuangan limbah bekas pengolahan sampah plastik. Baca Juga: Wagub DKI Sebut Akan Segera Merelokasi Warga Terdampak Normalisasi Sungai ke Rusun Pasar Rumput "Ya, kalau dari segi kesalahan, (limbah) yang dibuang itu ada kandungan zat kimia yang membahayakan," jelas Sapta, Sabtu (2/10/2021) dikutip dari Tribunnews.com. Meski begitu, lanjut Sapta, pihaknya masih perlu melakukan sejumlah pengecekan lagi terkait limbah apa yang dibuang oleh tempat pengolahan sampah plastik tersebut. Sehingga, sebelum hasil uji laboratorium menyatakan bahwa limbah tersebut membahayakan ekosistem Sungai Cisadane, penindakan pun belum bisa dilakukan. "Jadi, kami belum ada penindakan karena saat ke sana (Sungai Cisadane), mereka (pihak pengolahan sampah plastik) sedang membongkar plastik yang kecil. Nanti kamu tunggu evaluasi dari tim yang turun ke lapangan," ujarnya. Sebelumnya, sebuah video pendek membuat heboh jagad media sosial Tanah Air karena menunjukkan warna air Sungai Cisadane yang berubah menjadi merah darah di kawasan Kavling Serpong, Kota Tangerang Selatan. Warta Kota melaporkan, salah seorang warga sekitar yang bernama Danu (38) membenarkan adanya kegiatan pembuangan limbah cair dari tempat pengolahan sampah plastik ke aliran Sungai Cisadane. Menurut pengakuan Danu, limbah cair tersebut kerap kerap kali berbuih dan mengeluarkan bau kimia yang menyengat. "Limbah itu kayaknya bukan limbah biasa, seperti dicampur bahan kimia juga. Kalau warnanya apa saja? Ya, kadang putih, hitam, kadang merah," ungkap Danu. "Jika lagi bau, aromanya sangat menyengat. Baunya seperti bahan kimia gitu. Namanya juga limbah," sambungnya. Penulis : Aryo Sumbogo
  • 34. Page 34 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Editor : Edy A. Putra Sumber : Tribunnews.com/Wartakotalive.com https://www.kompas.tv/article/217963/heboh-warna-air-sungai-cisadane- berubah-merah-darah-satpol-pp-kota-tangerang-selatan-angkat- bicara?medium=whatsapp&smid=ee4be9dcaf0c68446fbac62ff7c5127 Siapa Sangka Taman Cantik Boyolali Ini Dulunya Tempat Pembuangan Sampah Ragil Ajiyanto - detikNews Selasa, 05 Okt 2021 17:01 WIB Taman Mekarsari, di Dukuh Mekarsari, Desa Kaligentong, Kecamatan Gladagsari, Kabupaten Boyolali, Selasa (5/10/2021). (Foto: Ragil Ajiyanto/detikcom) Boyolali - Siapa sangka taman yang indah dan asri di sebuah kampung, Boyolali, Jawa Tengah ini dulunya adalah tempat pembuangan sampah sementara. Kesan kumuh, bau busuk menyengat, dan menjijikkan kini sudah tidak terlihat lagi di sini. Ya, warga RT 01/02 Dukuh Mekarsari, Desa Kaligentong, Kecamatan Gladagsari, Kabupaten Boyolali berhasil mengubahnya menjadi taman yang indah. Warga memberi nama tempat di bantaran Kali Salak itu Taman Mekarsari, sesuai nama kampungnya. Tempat ini pun kini banyak dikunjungi warga, cuan pun mengalir. "Awalnya cuma ngobrol santai dengan warga, bagaimana mengatasi masalah sampah di tempat ini, karena banyaknya sampah sampai ke sungai, jadi kesannya kumuh, bau dan warga yang mau lewat sini kan jijik," kata Adi Wisnu Cahyono, Ketua RT 01/02 Dukuh Mekarsari, Desa Kaligentong ditemui di Taman Mekarsari, Selasa (5/10/2021). Sepanjang jembatan Kali Salak, Dukuh Mekarsari, ini dulunya dipenuhi semak belukar yang rimbun. Tak jauh dari situ, ada tempat pembuangan sampah yang menjadi andalan warga membuang sampah. Bau menyengat, jalan sempit tanpa penerangan membuat warga bergidik bulu kuduknya. Mitos adanya lelembut yang tersebar membuat warga takut melewati jalan tersebut pada malam hari. Menurut dia, yang membuang sampah di tempat tersebut kebanyakan justru dari warga luar Dukuh Mekarsari. Saat mengantar sekolah anak atau bepergian ke pasar dan lainnya, mereka membuang sampah di tempat pembuangan sampah tersebut. Kegelisahan warga tentang sampah itu memunculkan ide untuk membersihkannya.
  • 35. Page 35 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 "Sehingga obrolan dengan warga, timbullah suatu ide bagaimana tempat sampah ini kita alih fungsikan untuk mainan warga, kumpulan gotong royong RT ataupun kegiatan edukasi untuk anak. sehingga timbul pembuatan taman ini," ujar Wisnu. Baca juga: Pasutri Siksa Anak Asuh Difabel di Sleman, Barbuk Tongkat-Borgol Pembersihan dan pembuatan taman dilakukan sejak sekitar dua tahun lalu. Kondisi pandemi COVID-19 yang mengharuskan pekerja untuk work from home (WFH) atau kerja dari rumah, termasuk warga Dukuh Mekarsari dimanfaatkan untuk bergotong-royong melakukan pembersihan, dua kali dalam seminggu. "Sampai sekarang masih berjalan, warga gotong-royong kerja bakti terus seminggu dua kali. Paling tidak di hari Sabtu dan Minggu," jelasnya. Pembuatan taman Mekarsari ini pun dilakukan secara swadaya warga RT 01/02 Dukuh Mekarsari. Sehingga tak hanya kerja bakti selama sekitar dua tahun ini, namun warga juga iuran untuk dana pembuatan taman. "Dananya dari swadaya murni masyarakat. Warga bantingan (iuran) semampunya, tidak memandang jumlah. Kalau dihitung pembuatan Taman Mekarsari ini sudah habis Rp 160 juta ya ada," imbuh dia. Kini, di lahan tanah kas Desa Kaligentong yang dikelola RT 01/02 Dukuh Mekarsari itu telah sulap menjadi taman. Lengkap dengan gazebo, kolam ikan di daerah aliran sungai (DAS), sejumpat spot swafoto, warung kuliner dan tempat live music. Juga ada mini zoo, namun baru rusa sebanyak 9 ekor dan kelinci. "Awalnya kita tidak terbayangkan seperti sekarang ini. Ya Alhamdulillah dengan kerja sama semua warga, menyatu, jadilah seperti taman ini," imbuh dia. Simak selengkapnya di halaman berikutnya... (sip/ams) Boyolali taman di boyolali tempat pembuangan sampah birojatengdiy Baca artikel detiknews, "Siapa Sangka Taman Cantik Boyolali Ini Dulunya Tempat Pembuangan Sampah" selengkapnya https://news.detik.com/berita-jawa- tengah/d-5754064/siapa-sangka-taman-cantik-boyolali-ini-dulunya-tempat- pembuangan-sampah. Lanjut:
  • 36. Page 36 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Siapa Sangka Taman Cantik Boyolali Ini Dulunya Tempat Pembuangan Sampah Ragil Ajiyanto - detikNews Selasa, 05 Okt 2021 17:01 WIB Taman Mekarsari, di Dukuh Mekarsari, Desa Kaligentong, Kecamatan Gladagsari, Kabupaten Boyolali, Selasa (5/10/2021). (Foto: Ragil Ajiyanto/detikcom) Pada malam hari, tempat ini pun tak kalah indahnya dengan berbagai permainan lampu. Kini, selama tiga hari di akhir pekan taman ini banyak dikunjungi warga. "Yakni di malam Sabtu hingga Minggu malam cukup ramai di kunjungi warga. Ada warung kuliner dan live music. Tidak ada retribusi masuk, kami hanya menarik untuk parkirnya saja," katanya. Taman Mekarsari ini pun akan terus dikembangkan. Luas tanah kas desa yang dikelola RT 01/02 ada 3.500 meter persegi. Nantinya akan ditambah taman lalu lintas, jogging track dan out bond. Pihaknya juga akan bekerja sama dengan RT lainnya yang mengelola tanah kas desa di tempat tersebut. Pengelolaan Taman Mekarsari saat ini dilakukan Kelompok Tani Mekartani dukuh setempat. Warga lainnya, Marjuki, bersyukur pandemi COVID-19 ini ternyata malah memunculkan ide kreatif dan membawa berkah bagi warga Mekarsari dengan membuat taman ini. Menurut dia, Dukuh Mekarsari saat ini sedang mengalami bonus demografi. Hampir 70 persen warganya berada diusia produktif. Sehingga program-program kampung bisa dijalankan maksimal. "Dari 189 penduduk di Dukuh Mekarsari, usia produktif ada 112 orang. Maka otomatis pola pikir dan kinerja tinggi. Beruntungnya, warga yang berlatar belakang berbagai kalangan mau menyumbang ide, waktu, tenaga dan biaya. Kalau destinasi taman ini sudah jadi, akan menjadi penompang destinasi wisata. Maka perlu manajemen untuk pemesaran sendiri," kata Marjuki yang juga Kasi Kesra Kebudayaan Desa Kaligentong. Sementara itu Kepala Desa Kaligentong, Slamet Sumardi, mengamini bahwa lahan Taman Mekarsari ini merupakan tanah kas desa yang disewakan ke RT untuk dikelola. Sewa lahan berlangsung selama 3 tahun dengan biaya sewa Rp 1,8 juta/tahun.
  • 37. Page 37 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 "Kami serahkan ke kelompok tani masing-masing RT pengelolaannya, apa saja bebas. Kita coba tiga tahun lihat perkembangannya. Kalau berhasil perekonomian warga akan jalan. Begitu bisa jalan, retribusi taman Mekarsari bisa menjadi sumber pemasukan dukuh dan desa," imbuh Slamet. (sip/ams) boyolali taman di boyolali tempat pembuangan sampah https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5754064/siapa-sangka-taman- cantik-boyolali-ini-dulunya-tempat-pembuangan-sampah . BPOM Pastikan Kandungan BPA dalam AMDK Galon Masih Aman untuk Bayi dan Ibu Hamil Kamis, 7 Oktober 2021 | 18:13 WIB Mashud Toarik (mashud_toarik@investor.co.id) Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang. Ilustrasi; bebas BPA mulai dipromo toko JAKARTA, investor.id - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menegaskan bahwa Bisfenol A (BPA) yang terkandung dalam Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Indonesia masih pada batas aman, termasuk untuk bayi, anak-anak dan ibu hamil. BPOM sudah membandingkan dengan melihat standard yang disusun Otoritas Keamanan Makanan Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA) dan dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 28 tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi. Hal ini disampaikan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang dalam diskusi virtual bertajuk ―Keamanan Kemasan Bahan Pangan Berbahan Baku Plastik yang Mengandung Unsur BPA‖, Kamis (6/10). ―Kami selalu membuat kajian paparan BPA dari kemasan makanan, termasuk di dalam air minum kemasan itu secara berkala,‖ ujarnya.
  • 38. Page 38 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Rita mengatakan BPOM juga telah membandingkan dengan melihat standar BPA yang disusun EFSA. Menurutnya, ESFA menetapkan tolerable daily intake (TDI) BPA ini adalah 4 miligram perkilogram berat badan individu perhari dari konsumsinya. ―Artinya, BPA yang ditoleransi oleh tubuh manusia sebanyak itu jumlahnya,‖ tuturnya. Tidak hanya itu, menurut Rita, BPOM juga mengecek berapa angka kecukupan gizi dari setiap individu yang mengonsumsi AMDK yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 28 tahun 2019 tentang angka kecukupan gizi. ―Jadi, berapa konsumsi air minum, katakanlah untuk bayi itu sebesar 0,9 liter, itu kami hitung,‖ tukasnya. BPOM juga menguji cemaran BPA dalam produk AMDK di dalam tubuh orang dewasa. Cemarannya itu, kata Rita, dibandingkan dengan standar EFSA, dan ditemukan dalam tubuh orang dewasa hanya 2,920% paparannya, ibu hamil 3,316%, anak-anak 6,199%, dan bayi 7,008%. ―Artinya apa? Dari data ini terlihat memang persentase paparannya itu dibandingkan dengan standar dari tolerable daily intake yang ditoleransi masih sangat kecil. Jadi dari sini terlihat paparan BPA di Indonesia masih aman, termasuk untuk bayi, anak-anak dan ibu hamil. Ini masih ditoleransi,‖ katanya. Dia menegaskan BPOM selalu mengawal keamanan pangan yang beredar di masyarakat, termasuk dalam hal mutu dan gizinya. Hal itu juga sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU No.18 Tahun 2012, bahwa kemasan pangan yang beredar pun harus yang tidak berbahaya. Ini juga sejalan dengan PP 86 tahun 2019 tentang Keamanan Pangan. Dia mengutarakan dalam hal pengawasan terkait dengan kemasan AMDK, BPOM juga mengacu kepada Peraturan Menteri Perindustrian No. 96 tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Industri Air Minum Dalam Kemasan. Sebelumnya, Kemenperin merilis bahwa produk AMDK galon berbahan PC aman bagi konsumen. Hal itu karena telah melalui proses pengujian parameter Standar Nasional Indonesia (SNI) di laboratorium yang telah ditunjuk dan mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). ―Jadi, ketika industri AMDK itu ingin meregistrasikan, menerbitkan izin edar, untuk semua produk AMDK-nya, dia harus sudah tara pangan. Setelah itu, kami punya aturan food grade sebagaimana diatur dalam Peraturan BPOM nomor 20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan,‖ tutur Rita. Menurut Rita, semua kemasan plastik yang digunakan untuk AMDK, baik dari PET, PP, PC, itu sesuai dengan aturannya. ―Itu sudah ada, kemasan plastiknya pun sudah diatur,‖ ucapnya.
  • 39. Page 39 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Pada tahun 2021 ini BPOM juga melakukan uji laboratorium terhadap sampling kemasan galon air minum dalam kemasan (AMDK) jenis polikarbonat (PC). Hasilnya, ditemukan adanya migrasi BPA dari kemasan galon sebesar rata-rata 0,033 bpj. ―Nilai ini jauh di bawah batas maksimal migrasi yang telah ditetapkan BPOM, yaitu sebesar 0,6 bpj,‖ ucap Rita. Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Prof. Dr. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SP.PD., KHOM, FINASIM., FACP yang juga menjadi narasumber dalam acara itu menegaskan bahwa belum ada bukti bahwa plastik yang dipakai sehari-hari itu menjadi penyebab dari penyakit kanker. Dia mengatakan, hanya mengetahui kemasan stereofoam saja yang sudah terbukti bisa memindahkan molekul-molekul plastiknya. Itu juga jika kemasan stereofoam itu dipanaskan atau dibuat untuk membungkus makanan berlemak. Selain itu juga makanan kaleng yang jika dipanaskan berikut dengan kalengnya akan menyebabkan berpindahnya BPA ke makanan yang di dalamnya. ―Tapi belum cukup kuat mengatakan kalau air dalam kemasan itu bias menyebabkan kanker,‖ katanya. Ketua Pengurus Harian Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan terkait dengan keamanan pangan ini sudah diatur, baik di level Undang-Undang atau PP atau peraturan teknis lainnya. Namun, katanya, kehadiran kemasan plastik membuat dampak yang signifikan, baik itu untuk lingkungan global atau bahkan untuk kesehatan manusia sebagai penggunanya. ―Dari satu sisi, kemasan plastik itu punya nilai plus tapi di sisi lain juga harus ada aspek-aspek yang kita perhatikan, baik untuk lingkungan global maupun pada sisi kesehatan. Apalagi saat ini kita lagi terfokus pada perubahan iklim global, dimana sampah plastik punya kontribusi yang signifikan dalam hal ini,‖ ujarnya. Sebelumnya, Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI, Sularsi. mengakui belum pernah menerima pengaduan dari konsumen terkait bahaya penggunaan kemasan pangan. Yang ada itu, konsumen mengadu karena adanya makanan yang rusak yang ada dalam kemasannya. ―Kalau untuk pengaduan khusus untuk wadahnya atau kemasannya, kami belum pernah menerima pengaduan dari konsumen hingga saat ini. Tapi kalau produknya, isinya, misalnya makanannya atau minumannya rusak, itu ada,‖ katanya. Editor : Mashud Toarik (mashud_toarik@investor.co.id) Sumber : Majalah Investor #bpom ri #air dalam kemasan Berita Terkait Produsen Plastik Pastikan Kemasan Galon Polikarbonat Aman untuk Air Minum Copyright ©2021 Investor.id | All Rights Reserved
  • 40. Page 40 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 https://investor.id/lifestyle/266255/bpom-pastikan-kandungannbspbpa- dalam-amdk-galon-masih-aman-untuknbspbayi-dan-ibu-hamil Konsumen dinilai belum nyaman tinggalkan penggunaan plastik Jumat, 8 Oktober 2021 06:05 WIB Oleh Lia Wanadriani Santosa Jakarta (ANTARA) - Upaya mengurangi penggunaan plastik sekali pakai (PSP) dalam kehidupan sehari-hari termasuk dari kegiatan belanja saat ini menghadapi tantangan dari konsumen yang dinilai belum merasa nyaman meninggalkan produk polimerisasi sintetik itu. Research Associate Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Bisuk Abraham Sisungkunon mengatakan, dalam beberapa diskusi, ditemukan kenyataan upaya pelaku usaha berhemat konten plastik dalam pengiriman produk justru berbuah komplain dari konsumen. Menurut Bisuk, konsumen merasa produk yang diterima kurang aman tanpa ada lapisan plastik yang membungkus kemasan. Pada beberapa kasus ekstrem, mereka yang berbelanja secara daring bahkan langsung memberi rating satu pada toko yang tidak mengemas barang menggunakan plastik. ―Cukup banyak konsumen merasa kurang aman kalau produk tidak dibungkus plastik lagi, walau disediakan kotak-kotak yang berbahan seperti karton,‖ kata dia dalam talkshow bertajuk Pawai Bebas Plastik 2021 yang digelar secara daring, Kamis. Di sisi lain, Bisuk melihat sebenarnya adanya kemauan dari para pelaku usaha mengurangi penggunaan PSP karena ternyata upaya ini dinilai tak terlalu berdampak signifikan pada biaya produksi mereka. Hasil survei yang dia lakukan melibatkan 88 pelaku usaha dari tiga sektor yakni manufaktur, perdagangan besar dan eceran serta makanan dan minuman di DKI Jakarta pada Mei 2021 menunjukkan sebanyak 43 persen
  • 41. Page 41 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 dari mereka merasa pengurangan atau penanganan PSP masih dalam batas toleransi sehingga ada kesempatan untuk melakukan pengurangan maupun penanganan PSP. Sementara itu, dari sisi pelaku usaha sendiri, upaya pengurangan plastik diklaim bisa membantu penghematan biaya produksi. Head of Values, PR & Community Engagement The Body Shop Indonesia, Ratu Ommaya mengatakan, komitmen meninggalkan plastik bisa membantu perusahaan berhemat hingga 25 persen. Merek kosmetik asal Inggris itu sudah menaruh perhatian pada penggunaan plastik. Pada akhir tahun 2018, mereka berkomitmen sama sekali tak menggunakan kantong plastik sebagai pembungkus produk. Mereka memilih paper bag daur ulang kertas dengan tinta yang terbuat dari soya ink. Harapannya, produk ini tidak mencemari lingkungan seperti halnya plastik. ―Kami belajar, berusaha mencari supaya pengiriman tidak menggunakan plastik sama sekali bahkan di bagian luar. Biasanya menggunakan sisa- sisa karton untuk ditaruh di sela-sela produk supaya produk tetap aman sampai ke customer,‖ tutur Maya. Tangkapan layar- Transformasi pengemasan dari The Body Shop (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa) Beralih dari plastik, perusahaan mulai memanfaatkan tissue paper dan boks berbahan karton dengan kualitas bagus sehingga menjamin tidak perlu lagi disegel menggunakan plastik. Tetapi karena dinilai belum cukup ramah lingkungan, mereka akhirnya menggunakan hard box yang didalamnya terdapat corrugated carton atau kertas dengan bentuk bergelombang dan berlapis yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kardus, agar produk tetap aman. Pihak perusahaan lalu menjelaskan alasan pemilihan mengemas produk tanpa plastik pada pihak jasa kurir dan konsumen. Mereka juga memberikan jaminan produk tetap aman sampai pada konsumen dan siap
  • 42. Page 42 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 bertanggung bila nantinya ada kerusakan akibat pengemasan tanpa plastik. ―Trennya apresiasi dari customer. Mereka merasa dengan membeli produk kami bukan hanya digunakan sebagai perawatan tubuh tetapi juga ada nilai-nilai lain yang mereka dapat (ikut menjaga kelestarian lingkungan),‖ kata Maya.Ilustrasi barang dikemas tanpa plastik (Pixabay) Perlunya inovasi pengganti penggunaan plastik Polusi sampah plastik menjadi isu yang dihadapi oleh semua orang, termasuk di Indonesia. Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 salah satunya berdampak pada frekuensi belanja secara daring makin tinggi. Studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, sampah plastik dari belanja online meningkat sebesar 96 persen. Hal itu terjadi karena adanya peningkatan transaksi sebesar 62 persen pada sektor marketplace dan 47 persen pada sektor jasa antar makanan. Head of Public Policy and Government Relations Indonesian E-Commerce Association, Rofi Uddarojat, berpendapat dalam hal ini diperlukan inovasi pada cara pengemasan agar pelaku usaha termasuk dari sektor marketplace beralih dari kemasan plastik sekaligus mendorong masyarakat sebagai konsumen menurunkan konsumsi plastik. Menurut Rofi, inovasi produk ini nantinya diharapkan membuat konsumen merasa barang yang dia beli tetap terjaga keamanannya, tidak kotor dan rusak serta ramah lingkungan. Sementara di sisi pelaku usaha, bagaimana agar bahan baku bisa lebih murah sehingga bisa membantu meringankan biaya produksi mereka. Tak hanya inovasi, upaya edukasi dan meningkatkan kesadaran pedagang, konsumen dan pihak ketiga dalam hal ini penyedia layanan logistik juga menjadi bagian yang tak kalah penting. ―Yang menjadi poin penting bagaimana setiap ekosistem di dalamnya aware dengan permasalahan plastik ini misalnya pihak seperti para pedagang, merchant, bisa memahami. Dari sisi logistik juga karena bagaimanapun juga penggunan plastik terkait packaging,‖ ujar Rofi. Jadi, dalam upaya pengurangan plastik dalam kegiatan sehari-hari termasuk dari kegiatan belanja daring, memerlukan dukungan dari semua pihak baik itu pelaku usaha, konsumen maupun sektor jasa pengiriman sebagai pihak ketiga. Dukungan ini tidak hanya dari sisi inovasi berupa produk pengganti plastik yang terjamin keamanannya tetapi juga edukasi pentingnya berdiet
  • 43. Page 43 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 penggunaan plastik demi mengurangi polusi plastik yang bisa mengancam kelestarian lingkungan. Baca juga: Tips aman konsumsi air minum dalam kemasan Baca juga: Cara aman beli makanan dalam kemasan plastik di saat pandemi Baca juga: Menilik limbah di balik kemasan kopi kekinian Oleh Lia Wanadriani Santosa Editor: Alviansyah Pasaribu COPYRIGHT © ANTARA 2021 Cukai Kemasan Berpotensi Merugikan Negara Tips aman konsumsi air minum dalam kemasan 28 September 2021 12:50 Cara aman beli makanan dalam kemasan plastik di saat pandemi Hindari plastik, lima jenis wadah makanan berkelanjutan solusinya Gebrakan ekonomi hijau pada tataran global https://m.antaranews.com/berita/2443885/konsumen-dinilai-belum- nyaman-tinggalkan-penggunaan-plastik Pegiat Lingkungan Desak Produsen Bertanggungjawab Atas Pencemaran Sampah Plastik Jumat, 8 Oktober 2021 | 18:09 WIB Mashud Toarik (mashud_toarik@investor.co.id) SURABAYA, investor.id – Pegiat lingkungan, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) bersama sejumlah komunitas merilis audit terkait pencemaran sampah plastik yang terjadi di Pantai Timur Surabaya. Mereka menyebut 10 brand harus bertanggungjawab karena menjadi kontributor terbesar sampah plastik di kawasan itu. Adapun produsen internasional dan lokal yang memiliki 10 brand tersebut terdiri dari Wings, Unilever, Indofood, Ajinomoto, Mayora, Santos Jaya Abadi, White Coffee, ABC, PNG dan Marimas. Peneliti Ecoton, Andreas Agus Kristanto Nugroho mengutarakan hasil audit sampah menunjukkan sebanyak 1776 item teridentifikasi dari kegiatan yang dilakukan pada tanggal 25 Juli dan 1 Agustus 2021. Sampah-sampah plastik itu berasal dari 220 merek dan milik 127 perusahaan induk.
  • 44. Page 44 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 ―Sampah plastik yang berada di Pantai Timur Surabaya ini tidak lepas dari peran produsen dalam membuat kemasan-kemasan plastik atau sachet kecil untuk produknya. Produsen lah yang memproduksi, produsen juga yang seharusnya bertanggungjawab atas produksinya. Dengan begitu, sampah plastik ini tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Produsen pun harus terlibat,‖ kata Andreas kepada media belum lama ini. Menurut dia, untuk menekan sampah plastik di lingkungan, produsen perlu mengambil peran dalam pengelolaan sampah, dengan mengambil kembali sampah produknya yang ada di lingkungan. ―Itu salah satu langkah yang harus dilakukan produsen,‖ tukasnya. Dalam audit yang dilakukan Ecoton tahun 2020 lalu, menurut Andre, sejumlah bran tadi juga masuk dalam 10 besar penyumbang sampah plastik di Kali Surabaya. ―Ini menunjukkan bahwa peta jalan pengurangan sampah yang diserahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu belum menggambarkan adanya kesediaan dari para produsen itu untuk bertanggung jawab atas sampah plastik yang ditimbulkan supaya kembali lagi ke mereka,‖ ujarnya. Dia mengatakan pencemaran sampah plastik di Pantai Timur Surabaya ini mengakibatkan suplai ikan laut yang ada di Jawa Timur juga tercemar mikroplastik di dalam saluran pencernaannya. ―Itu yang kita temukan barusan. Pada akhirnya itu akan mengancam kelangsungan ekosistem perikanan kita juga. Dari sisi rantai makanannya bisa masuk ke tubuh kita yang bisa menyebabkan penyakit berbahaya,‖ katanya. Editor : Mashud Toarik (mashud_toarik@investor.co.id) Sumber : - #sampah plastik #produsen kemasan Copyright ©2021 Investor.id | All Rights Reserved https://investor.id/lifestyle/266413/pegiat-lingkungannbspdesak-produsen- bertanggungjawab-atas-pencemaran-sampah-plastik Sampah dalam Laporan Walhi Jakarta di KDLH 2021 Jumat 8 Oktober 2021 Kondisi krisis lainnya yang tidak disadari atau diantisipasi oleh pemerintah adalah peningkatan jumlah sampah selama pandemic covid-19. Pasca penerapan kebijakan larangan pengunaan kantong sekali pakai angka sampah di Jakarta justeru mengalami peningkatan. Kementerian
  • 45. Page 45 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan selama pandemic sampah rumah tangga meningkat 36 persen. Masalah baru sampah yang tidak diantisipasi secara serius pada saat pandemi adalah sampah medis dan sampah kemasan dari pembelian online (e-commerce). Hal senada juga ditemukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menemukan peningkatan volume sampah medis di teluk Jakarta.2 https://news.detik.com/berita/d-5317743/lipi-sampah-medis-di-teluk- jakarta-meningkat-saat-pandemi-covid-19-bahaya Mendesak Keseriusan Pemerintah Dalam Pengelolaan Sampah: Hasil refleksi Walhi Jakarta dalam advokasi krisis sampah di tahun ini adalah bahwa persoalan utama mengapa sampah terus menjadi persoalan di Jakarta adalah terletak pada reformasi birokrasi (good governance) perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan secara structural, fungsional, kultural, dan perubahan tingkah laku serta mental dari yang biasanya dilayani menjadi pelayan masyarakat tidak mengalami perubahan. Padahal ini dicita-citakan dalam Peraturan Gubernur No.156 tahun 2016 tentang Road Map Reformasi Birokrasi tahun 2015-2019. Pemprov DKI Jakarta bukannya tidak memiliki kebijakan agar bagaimana Jakarta dapat keluar dari darurat sampah. Sejumlah kebijakan antara lain Perda No 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Jo Perda No 4 tahun 2019, Pergub No 108 tahun 2019 tentang Kebijakan dan Strategi Daerah (Jakstrada) Provinsi DKI Jakarta Dalam Pegelolaan Sampah Sejenis Rumah Tangga dan Sejenis Rumah Tangga, Pergub No 142 tahun 2019 Tentang Penggunana Kantong Belanja Ramah Lingkungan Pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat, Pergub 77 tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Warga.
  • 46. Page 46 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Namun faktanya pengelolaan sampah dengan menekan di tingkatan sumber tidak dilakukan secara serius. Pemprov lebih memilih jalan pintas dengan membangun proyek bakar-bakaran sampah (thermal) berupa insinerator dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Pemprov DKI kembali mengulang masalah-masalah laten yang mereka sendiri ciptakan, kumpul-angkut-buang dan kumpul-angkut-bakar. Kumpul angkut buang adalah cara buruk Pemprov mengelola sampah Jakarta, dan proses ini tidak menghargai usaha warga yang sudah berjalan melakukan pemilahan di tingakatan rumah tangga. Alasan klise dan terus berulang adalah bahwa Bantargebang overload, Masih kita ingat dalam catatan kita pada tahun 2019 lalu Pemprov DKI mengeluarkan penyataan bahwa TPST Bantargebang Overload. Statement ini seolah merespon situasi Perpres No.18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah yang dibatalkan MA kemudian lahir Perpres No. 97 Tahun 2017 Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, didalam Perpres ini terselip (lampiran II Perpres) Program PLTSa (pembangkit listrik berbasis sampah). Hingga kemudian muncul Perpres No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (PLTSa). Jalan pintas ini juga dipaksakan masuk ke dalam Perda No 4 tahun 2019 dan Jakstrada. Di sini kita ingin mengatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta keluar dari tugas utamanya, dimana justeru mengambil jalan pintas. Perlu diingat dalam Peraturan Daerah (Perda) No.03 Tahun 2013 tugas pemprov adalah memanfaatkan dan memfasilitasi penerapan teknologi pengolahan sampah yang berkembang pada masyarakat untuk mengurangi dan/atau menangani sampah. Insinerator bukanlah teknologi yang berkembang pada masyarakat. Bahkan data dinas Lingkungan Hidup Jakarta pada tahun 2019 yang menyatakan bahwa TPS 3R masih jauh dari ideal dan berencana memperbanyaknya tidak disadari oleh instansinya sendiri.
  • 47. Page 47 of 146 Plastik & Sampah: Pantauan Oktober 2021 Walhi Jakarta hingga saat ini terus mendorong penghentian dan pengelolaan sampah tingkatan sumber dan berdasarkan tanggung jawab masing-masing sektor. Mendorong pemerintah terus memfasilitasi di tingkatan rumah tangga, berupa pengetahuan hingga fasilitas pemilahan dan pengolahan. Menekan pemerintah untuk terus memonitoring pelaksanaan Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan, serta menekan pemerintah dan produsen untuk bertanggung jawab atas segala produk turunannya yang tidak dapat terurai oleh alam. Monitoring Progress Output Adanya penegakan hukum terhadap industri sumber-sumber pencemar Indikator 2021 Pembatalan Rencana Pembangunan PSN Pembangkit listrik yang berdampak pada sumber pencemar (PLTSa) Jakarta: ITF Sunter Capaian Saat ini proyek pembangunan ITF Sunter (PLTSa) masih belum berlanjut, proyek ini batal mendapatkan pinjaman dana dari International Finance Corporation (IFC) karena mundurnya Fortum Power Heat and Oy Monitoring Progress Output Implementasi kebijakan pembatasan/larangan dan lain-lain serta pengelolaan sampah berbasis 4R Indikator 2021 Memastikan pergub KBRL berjalan