Dokumen tersebut membahas tentang analisis ganti rugi yang diterima konsumen akibat ketidaksesuaian takaran BBM di SPBU Pertamina. Dokumen menjelaskan latar belakang masalah seputar penyaluran BBM di Indonesia, peraturan terkait perlindungan konsumen, dan keluhan yang sering muncul dari konsumen terkait ketidaksesuaian takaran BBM di SPBU. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis regulasi ganti rugi konsumen
2. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), 201
“Analisis Ganti Rugi atas Ketidaksesuaian Takaran BBM di SPBU Pertamina ditinjau
dari PERMEN ESDM
Perlindungan Konsumen Pada
Laporan Penelitian
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), 201
“Analisis Ganti Rugi atas Ketidaksesuaian Takaran BBM di SPBU Pertamina ditinjau
Nomor 19 tahun 2008 tentang Pedoman dan Tata Cara
Perlindungan Konsumen Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi”
Laporan Penelitian
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), 2017
“Analisis Ganti Rugi atas Ketidaksesuaian Takaran BBM di SPBU Pertamina ditinjau
Nomor 19 tahun 2008 tentang Pedoman dan Tata Cara
Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi”
3. KATA PENGANTAR
Industri penyaluran Bahan Bakar Minyak di Indonesia telah melalui beberapa sistem,
diantaranya Era Monopoli (UU No. 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi Negara) yang berubah menjadi era persaingan Bebas seperti keadaan saat ini
sebagaimana kebijakan regulasi terkait minyak dan Bumi yang berubah yakni UU No.20
tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dimana Penyaluran BBM bisa juga di jual
melalui pihak swasta dengan izin pemerintah/Menteri yang diselenggarakan melalui
mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan. Namun hal yang sangat
disayangkan, dalam upaya peningkatan kualitas dan pelayanan BBM di SPBU tersebut
hingga saat ini masih ada saja keluhan dari masyarakat terkait pemenuhan hak-hak
konsumen SPBU yang dilanggar oleh SPBU baik dari SPBU Pertamina maupun SPBU
Mitra Pertamina, diantara keluhan yang disampaikan adalah dugaan pengurangan takaran,
masalah pengembalian uang, pembulatan harga, informasi, Fasilitas yang minim dan
masalah lain yang dikeluhkan masyarakat di SPBU.
Kecurangan atas ketidaksesuaian takaran adalah perbuatan yang sangat merugikan bagi
konsumen namun sangat disayangkan jarang sekali konsumen mendapatkan ganti kerugian
atas kasus kecurangan takaran yang telah mendapatkan putusan pengadilan (inkrakht).
YLKI sebagai lembaga yang memiliki mandat untuk memperjuangkan hak-hak konsumen
memiliki concern terhadap kebijakan dan praktik Perlindungan Konsumen melakukan
penelitian dengan judul “Analisis Ganti Rugi atas Ketidaksesuaian Takaran BBM di
SPBU Pertamina ditinjau dari Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral
Nomor 19 tahun 2008 tentang Pedoman dan Tata Cara Perlindungan Konsumen Pada
Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi” demi terpenuhinya hak konsumen yang
dijamin dalam undang-undang Perlindungan Konsumen, penelitian ini sekaligus memotret
regulasi yang ada terkait pemenuhan perlindungan hak konsumen sebagai bahan evaluasi
dan masukan untuk perbaikan layanan konsumen BBM di SPBU Pertamina.
Rasa terima kasih yang besar kami tujukan kepada Keluarga Besar YLKI dan setiap pihak
yang terlibat dan membantu dalam setiap langkah proses dan tahapan penelitian ini.
Kami menyadari kajian dan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan kaidah
sebagaimana mestinya. Maka itu kami berharap masukan, kritik dan saran dari berbagai
pihak untuk perbaikan kajian ini. Akhir kata semoga penelitian ini dapat memberi manfaat
bagi konsumen maupun dunia usaha hilir BBM di SPBU.
Jakarta, November 2017
Tim Kajian Hukum YLKI
4. i
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR………………………………….................………...……………………………………….
DAFTAR ISI…………………………………………………...............……..…………………………………….
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah………………………………….................…………………………. 1
B. Rumusan Masalah………………………………………….............…………………………... 6
C. Tujuan Penelitian……………………………………….............………………………………. 6
D. Metodologi Penelitian…………………………………............……………………………….. 6
E. Lingkup Penelitian……………………………………………............………………………... 8
F. Sistematika Penulisan.................................................................................................................. 9
BAB II Prinsip Perlindungan Konsumen di Indonesia
A. Sejarah Terbentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen .......................…………….... 10
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak ………………............................................................................ 11
C. Penerapan Klausula Baku.............................................................................................................. 13
D. Perbuatan yang Dilarang dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha...................................................... 14
E. PrinsipTanggung Jawab Pelaku Usaha............................................................................................ 15
F. Pembentukan Lembaga Terkait...................................................................................................... 18
G. Pengawasan, Pembinaan dan Sanksi................................................................................................ 18
H. Tempat penyelesaian Sengketa..................................................................................................... 19
BAB III Para Pihak Dan Pengertian Ketidaksesuaian Takaran
A. Pengertian Para Pihak …………...............……………………....………………......................... 20
B. Dasar Hukum pelarangan Ketidaksesuaian Takaran .....……………………………..............… 24
BAB IV Analisis dan Pembahasan
A. Perlindungan konsumen Hilir Minyak dan Gas Bumi..……………………………................… 30
B. Regulasi terkait Ganti Rugi Kepada Konsumen atas Ketidaksesuaian Takaran.......................... 33
C. Kecurangan Ttakaran BBM dan Instrumen Hukumnya.............................................................. 34
BAB V Penutup
A. Kesimpulan …….....................................................………………………...........………. 49
B. Saran-Saran …….....................................................…………………………..........……. 50
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................................
5. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam baik yang
terbarukan maupun yang tidak terbarukan. Salah satu kekayaan tersebut adalah
Minyak (crude oil) yang merupakan salah satu sumber daya alam strategis tidak
terbarukan dan merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Kegiatan usaha minyak mempunyai peranan penting dalam mewujudkan kedaulatan,
kemandirian, dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional
yang berkelanjutan.
Minyak dan bahan produksi turunannya merupakan salah satu cabang produksi
yang penting bagi Negara dan oleh karena itu pengelolaanya tunduk ke dalam
pengaturan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
(UUD 1945). Amanat tersebut dituangkan dalam pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945
sebagaimana bunyinya “ Pasal 33 ayat (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Industri penyaluran Bahan Bakar Minyak di Indonesia telah melalui beberapa
sistem, diantaranya Era Monopoli (UU No. 8 tahun 1971 tentang Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara) yang berubah menjadi era persaingan
Bebas seperti keadaan saat ini sebagaimana kebijakan regulasi terkait minyak dan
bumi yang berubah yakni UU No.20 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ,
dimana Penyaluran BBM bisa juga di jual melalui pihak swasta dengan izin
pemerintah/menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang
wajar, sehat dan transparan. Industri penyaluran BBM yang berasal dari dalam negeri
adalah PT Pertamina Persero sedangkan pihak asing diantaranya Cevron, Shell, Total
dan yang lainnya.
Dalam kegiatan penyaluran kepada konsumen hilir Migas PT Pertamina selaku
pemegang izin dapat bekerjasama dalam menyalurkan bahan bakar minyak ke
konsumen dengan koperasi, usaha kecil, dan atau badan usaha swasta nasional
berdasarkan perjanjian kerjasama BU-PIUNU dan penyalur sebagaimana dijelaskan
6. 2
dalam pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 16
tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak.
Penyalur sebagaimana dijelaskan di atas dapat berbentuk Mobile Bunker Agent
(MBA), Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Umum (SPBU), Premium Solar Package Dealer (PSPD), Agen Minyak Tanah
(AMT), Pool Konsumen atau bentuk penyalur lainnya. Dalam industri penyaluran
Bahan Bakar Minyak (BBM) ke konsumen SPBU adalah tempat yang paling popular
dan sering dikunjungi konsumen saat membutuhkan Bahan Bakar Minyak untuk
Bahan Bakar kendaraan mereka.
Dalam perubahan kebijakan dari Monopoli ke Era perdagangan Bebas
penyaluran minyak dan gas bumi ke masyarakat salah satu tujuannya adalah untuk
menciptakan daya saing yang menuntut kualitas lebih tinggi atau layanan lebih baik.
Dengan kemunculan pesaing baru di dunia hilir penyaluran Migas membuat
Pertamina menjadi lebih kompetitif dan professional, dimana kualitas dan pelayanan
akan memegang peran penting untuk merebut hati dan kepercayaan konsumen.
Dalam upaya merubah kearah yang lebih baik itu PT Pertamina Persero
menetapkan beberapa kebijakan sebagai upaya perbaikan kualitas dan pelayanan,
diantaranya dengan menetapkan margin share yang berbeda tergantung kualitas
pelayanan dari mitranya. Adapun kualitas tersebut digolongkan pada dua standar
pelayanan Pertamina, diantaranya1
:
1. Pertamina Way
Pertamina meluncurkan program dengan penerapan standart pelayanan yang
terdiri dari 5 elemen, yakni pelayanan staff yang telah terlatih dan termotivasi,
jaminan kualitas dan kuantitas, fasilitas dan peralatan yang terawatt dengan
baik, memiliki format fisik yang konsisten, dan penawaran produk serta
pelayanan bernilai tambah dengan operator yang selalu menerapkan 3 S
(Salam, Senyum, Sapa)
2. Pasti PAS
SPBU yang mendapat sertifikat Pasti PAS dari auditor independen. Adanya
sertifikat ini diharapkan SPBU dapat memberikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat. Diharapkan konsumen akan mendapatkan BBM yang berkualitas
dengan takaran yang pas. Saat ini konsumen dapat melihat logo Pasti Pas di
1
Sumber : http://agenpelumas.com/standar-operasional-pelayanan-Pertamina/ diakses 03 Oktober 2017
Pukul 11.12
7. 3
beberapa SPBU. SPBU Pasti Pas ini dibagi menjadi tiga kategori : (jaminan
kualitas pelayanan, dapat dipercaya dan dapat dikenali).
Selain itu, Pertamina memiliki tingkatan SPBU yang non-pasti pas, pasti pas
dan pasti prima. Di level pasti pas ada tiga kriteria yaitu basic, good, dan excellent.
Tinggakatan ini sangat berpengaruh terhadap margin yang diberikan oleh Pertamina.
Oleh karena itu, SPBU akan mempertahankan dan meningkatkan pelayanan untuk
memperoleh selisih untung yang lebih besar.2
Hal lain yang dilakukan Pertamina
adalah dengan melakukan pengecekan secara langsung terhadap SPBU dalam tempo
yang tidak terjadwal yang melibatkan 4 (empat) pihak. Dari internal perusahaan ada
sales representatif dan manajemen operasi SPBU. Lalu, secara eksternal ada Badan
Metrologi Gas (BMG) dan Auditor Internasional (TUV).
Namun hal yang sangat disayangkan, dalam upaya peningkatan kualitas dan
pelayanan tersebut hingga saat ini masih ada saja keluhan dari masyarakat terkait
pemenuhan hak-hak konsumen SPBU yang dilanggar oleh SPBU baik dari SPBU
Pertamina maupun SPBU Mitra Pertamina, diantara keluhan yang disampaikan adalah
dugaan pengurangan takaran, masalah pengembalian uang, pembulatan harga,
informasi, fasilitas yang minim dan masalah lain yang dikeluhkan masyarakat di
SPBU.
Masalah kecurangan maupun dugaan kecurangan SPBU dalam mengurangi
takarannya kepada konsumen dapat dilihat dalam table di bawah ini :
Data Dugaan Kecurangan SPBU 2016-20173
No. Kode SPBU Daerah Tanggal Pelapor Sumber Berita keterangan
1. 34.43212 dan
2 SPBU lain
di Jawa Barat
Kabupaten
Cianjur
Jumat
2/6/2017
Temuan
Kepolisian
atas laporan
masyarakat
https://news.detik.com/berita-
jawa-barat/d-3518728/begini-
praktik-kecurangan-spbu-nakal-
di-cianjur
Kasus diungkap
oleh Polda Jawa
Barat
2. SPBU 34-
12305
Tangerang
Selatan
2 Juni
2016
Temuan
Kepolisian
atas laporan
masyarakat
https://news.detik.com/berita/d-
3226527/polisi-tangkap-
pengelola-spbu-di-ciputat-yang-
kurangi-takaran
Kasus ditangani
Dirkrimsus Polda
Metro Jaya
2
Sumber : http://katadata.co.id/berita/2016/02/17/spbu-dituding-curang-Pertamina-data-kementerian-
perdagangan-aneh diakses pada 02 Oktober 2017 pukul 13.41
3
Data bersumber dari penelusuran internet yang dilakukan sejak 26 September 2017-27 September
2017, data ini dimungkinkan bertambah dikarenakan keterbatasan info terhadap kasus tersebut
8. 4
Permasalahan lain diungkapkan oleh Widodo, selaku Direktur Jenderal Perlindungan
Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan pada Kamis 18 Februari
2016, direktoratnya telah memeriksa ratusan SPBU yang tersebar di wilayah
Indonesia, khususnya di kawasan Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa. Dari jumlah
tersebut, Kementerian memeriksa ratusan nozel yang dimiliki oleh 105 stasiun BBM.
“Dari sekian ratus nozel yang diawasi itu sekitar 40 persen berada diambang batas 0,5
itu,”.4
Di sisi lain YLKI dalam survey Pengujian Takaran yang dilakukan oleh YLKI dengan
didampingi UP Metrologi Provinsi DKI Jakarta sejak 27 September 2017-22 Oktober
2017 menghasilkan data sebagai berikut: “Dari 48 SPBU terdapat 229 Nozzle yang
diuji dan bila dihitung secara rata-rata dengan menggunakan batas toleransi standard
Metrologi Legal (≤ ±100ml/20lt), maka hanya terdapat 2 nozzle (0,8%) dari 229
nozzle pada 48 SPBU yang hasil ujinya melebihi standard batas toleransi, . Sisi lain
yang mendapatkan sorotan dalam survey YLKI adalah keberadaan fasilitas SPBU
yaitu toilet dan SPBU, hasil penelitian menunjukkan hanya 6 (enam) SPBU dari 48
SPBU yang memenuhi harapan (ekspektasi), dan untuk mushala hanya ada 4 (empat)
SPBU dari 48 SPBU yang memenuhi harapan (ekspektasi) konsumen”.
Dari keterangan permasalahan SPBU di atas menimbulkan pertanyaan besar terhadap
implementasi perlindungan konsumen di ranah kegiatan usaha hilir minyak dan gas
bumi sedangkan regulasi yang mengatur khusus aturan tersebut telah ada sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 19 tahun
2008 tentang Pedoman dan Tata Cara Perlindungan Konsumen Pada Kegiatan Usaha
Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Di Era persaingan bebas sekarang ini menjadi pertanyaan besar bagi peneliti terhadap
keseriusan para pelaku usaha di SPBU Pertamina dalam menerapkan Permen ESDM
No.19 tahun 2008 dan dalam menerapkan prinsip usaha yang fair dan beritikad baik.
Dahulu tidak mengherankan jika muncul ungkapan popular “Konsumen adalah Raja”
atau jika mengutip kata dari penganut teori Robert Malthus : Permintaan menciptakan
penawarannya sendiri (demand create it’s own supply)5
. Namun sangat disayangkan
kalimat Konsumen adalah Raja saat ini mulai pudar dan tidak sesuai dengan fakta
4
Sumber : http://katadata.co.id/berita/2016/02/18/spbu-curang-kementerian-perdagangan-kami-
buktikan-ke-Pertamina diakses pada 03 Oktober 2017 pukul 13.37
5
Roem Topatimasang, Mansour Fakih dan Wijanarka E.S, Menggeser Nearca Kekuatan “Panduan
Latihan Pendidikan Konsumen Untuk Pemula”, (Jakarta:YLKI,1990), Hal. 2
9. 5
yang ada di lapangan bahkan ibarat dalil kosong atau mitos belaka. Sekarang ini pihak
distributor dan produsen lah yang menentukan, mendikte, bahkan memaksa konsumen
untuk membelanjakan uangnya untuk apa, kapan, berapa dan dalam cara bagaimana.
Dan mereka memang akan mengusahakan demikian selama-lamanya dengan segal
cara baik dengan survey, riset, penyebaran iklan secara besar-besaran bahkan dengan
menabrak regulasi yang ada demi memaksa kita membeli produk mereka6
.
Dalam transaksi pembelian Bahan Bakar Minyak di SPBU Pertamina tidaklah patut
menerapkan prinsip ekonomi dengan modal sedikit-dikitnya mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya. Karena SPBU Pertamina yang merupakan kepanjangan tangan
dari Badan Usaha Pemerintah dalam menyalurkan Bahan Bakar Minyak ke seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga harus menerapkan prinsip
menumbuhkan Nasionalisme kepada pelanggannya dengan pelayanan yang
berkualitas, bersaing dan professional dengan segala kelebihan dan keunggulan yang
ada.
Dalam kasus Ketidaksesuaian takaran BBM sering kali si pelaku hanya dijerat dengan
pasal 62 ayat (1) Jo pasal 8, 9, 10 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan pasal 32 ayat (2), pasal 30 dan 31 Undang-Undang No.2
Tahun 1981 tentang Metrologi Legal yang ancaman hukumannya hanya 6 sampai 8
tahun sedangkan dalam putusan di kasus SPBU Rempoa majelis hakim dalam
putusannya hanya memutus para pelaku dihukum penjara selama 9 bulan tanpa
dikenai hukuman tambahan berupa ganti kerugian kepada konsumen7
.
Jika dilihat nilai keadilan kepada konsumen seharusnya pelaku juga dimintai
pertanggungjawaban materi atas nilai kerugian yang konsumen alami sebagaimana
yang tercantum dalam pasal (7) huruf g UUPK No. 8 tahun 1999 yang isinya berbunyi
“Pelaku Usaha wajib memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”
sedangkan jika melihat dalam Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral
Nomor 19 tahun 2008 tentang Pedoman dan Tata Cara Perlindungan Konsumen Pada
Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sanksi atas tindakan kecurangan
ketidaksesuaian takaran hanya bersifat administrative, baik dimulai dari penangguhan
izin hingga pencabutan izin.
6
Roem Topatimasang, Mansour Fakih dan Wijanarka E.S, Menggeser Nearca Kekuatan “Panduan
Latihan Pendidikan Konsumen Untuk Pemula”, Hal. 3
7
Sumber Info : Manajer Marketing dan Komunikasi Pertamina MOR III dalam wawancara pada 23
Oktober 2017
10. 6
Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, YLKI sebagai lembaga yang memiliki
mandate untuk memperjuangkan hak-hak konsumen memiliki concern terhadap
kebijakan dan praktik Perlindungan Konsumen di SPBU milik pemerintah maupun
mitra, melakukan penelitian dengan judul “Analisis Ganti Rugi atas
Ketidaksesuaian Takaran BBM di SPBU Pertamina ditinjau dari PERMEN
ESDM Nomor 19 tahun 2008 tentang Pedoman dan Tata Cara Perlindungan
Konsumen Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi”.
B. Rumusan Masalah
Adapun pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana implementasi Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya
Mineral Nomor 19 tahun 2008 tentang Pedoman dan Tata Cara Perlindungan
Konsumen Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi saat ini ?
2. Apakah regulasi yang ada telah mengakomodir dalam hal ganti rugi
ketidaksesuaian takaran BBM?
3. Metode apa yang tepat dalam memberikan ganti kerugian bagi konsumen
yang dirugikan dalam transaksi pembelian BBM di SPBU?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui praktek Perlindungan Konsumen di SPBU yang
dibandingkan dengan ketentuan regulasi yang ada;
2. Untuk mengetahui sejauh mana regulasi yang ada memberikan perlindungan
bagi konsumen SPBU yang dirugikan akibat takaran BBM di SPBU
Pertamina yang tidak sesuai;
3. Memberikan rekomendasi Metode ganti rugi jika ada kasus kecurangan
takaran BBM.
D. Metodologi Penelitian
Metodologi dalam penelitian ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian yuridis
normatif, yuridis normatif adalah kajian terhadap hukum dengan
menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan yang berlaku
11. 7
untuk dikaitkan dengan keadaan yang terjadi di lapangan. Penelitian ini
didasarkan pada penelitian kepustakaan dengan melakukan studi dokumen
berupa perundang-undangan, jurnal hukum dan sumber lain yang berkaitan
dengan penelitian ini.
2. Pendekatan Masalah
Dengan tipe penelitian yuridis-normatif maka penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach).
Pendekatan Perundang-Undangan yaitu bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap pengertian-pengertian, pokok atau dasar dalam
hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban,
peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.8
Dalam hal ini
adalah yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang ditangani.
3. Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari
Masyarakat.9
Dalam hal penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara
kepada narasumber melalui Pre review yang melibatkan expert maupun
dengan melakukan Expert meeting, Focus Group Discussion (FGD) yang
melibatkan stake holder diantaranya pelaku usaha (Pertamina, SPBU
Pertamina dan SPBU Mitra Pertamina), Hiswana Migas, Konsumen BBM
di SPBU, Regulator (BPH Migas & BPKN), Penegak Hukum (Kepolisian)
dan Pendapat Para Ahli (Ahli ESDM maupun Ahli Perlindungan
Konsumen).
Sedangkan data-data sekunder meliputi:
1). Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya mempunyai otoritas,10
seperti Undang-Undang
Dasar, peraturan perundang-undangan, UU No. 8 tahun 1999 tentang
8
Soerjono soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2007) h.14.
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III. (Jakarta: UI Press, 2008) h. 31.
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. VI. (Jakarta:Kencana, 2010) h. 141.
12. 8
Perlindungan Konsumen, UU No. 20 tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi, UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, Undang-
Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Peraturan
Pemerintah No.36 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak
Dan Gas Bumi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58
Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral No. 19 tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Perlindungan
Konsumen Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, Permen
ESDM No.16 tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar
Minyak, SK DJPDN nomor 37/PDN/KEP/3/2010 tentang syarat
teknis meter arus volumentrik, Peraturan Pelaksana baik dalam SK
Direksi maupun peraturan pelaksana lain, putusan pengadilan, dan
beberapa peraturan perundang-undangan terkait.
2). Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,11
seperti literatur bahan
hukum resmi dari instansi pemerintah, bahan hukum lain yang
dipublikasi dalam bentuk pedoman, buku, Suara Pembaca dari Media
Cetak, Pengaduan YLKI, jurnal hukum, kamus hukum, majalah,
makalah, skripsi, tesis, dan disertasi yang diperoleh dari Internet
maupun perpustakaan YLKI.
E. Lingkup Penelitian
Proses penelitian dilakukan selama 1 (satu) bulan yakni 1 Oktober
2017- 31 Oktober 2017. Lingkup penelitian ini adalah untuk mengetahui praktek
ganti rugi atas ketidaksesuaian takaran BBM di SPBU Pertamina yang ditinjau
dari Permen ESDM Perlindungan Konsumen BBM di Hilir maupun hal terkait
UU Perlindungan Konsumen dan UU Metrolegal. Selain itu, merupakan
penelitian lanjutan atas hasil temuan dalam pengujian takaran yang dilakukan
YLKI di 48 SPBU Jabodetabek dan penelitian ini akan melihat sejauh mana
regulasi yang ada dalam mengakomodir konsumen apabila ingin mendapatkan
ganti kerugian atas tindak pidana yang terjadi.
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 141.
13. 9
F. Sistematika Penulisan
Penulis membagi penelitian dalam 5 bab dan masing masing bab terdiri
dari beberapa sub-bab sesuai dengan pembahasan materi yang diteliti,
diantaranya
▪ BAB I Pendahuluan,
Bab ini memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, Lingkup Penelitian dan sistematika penulisan.
▪ BAB II Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen BBM di SPBU Pertamina
Bab ini berisikan mengenai sejarah perlindungan konsumen di Indonesia hak
dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha, serta menjelaskan lembaga apa
saja yang terkait dengan perlindungan konsumen BBM di SPBU Pertamina
▪ BAB III Para Pihak dan Dasar Hukum Ketidaksesuain Takaran
Bab ini berisikan Tinjauan Profil dan Kedudukan Para Pihak, Penjelasan
posisi Para Pihak serta menjelaskan pengertian ketidaksesuain takaran dan
dasar hukum larangannya
▪ BAB IV Analisis dan Pembahasan
Bab ini menerangkan hasil penelitian serta menjawab permasalahan masalah
yang terangkum dalam rumusan, menganalisis dan membahas hasil temuan
tersebut.
▪ BAB V Penutup
Berisi kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan
kajian hukum ini
14. 10
BAB II
PRINSIP PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
A. Sejarah Terbentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat
preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan),
baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan
peraturan hukum. Perlindungan konsumen itu sendiri identik dengan
perlindungan yang diberikan hukum kepada konsumen dan haknya.12
Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1) dijelaskan bahwa “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sehingga pada hakekatnya
perlindungan konsumen adalah segala upaya untuk menjamin adanya kepastian
hukum bagi konsumen.
Di Indonesia Perlindungan Konsumen sudah mendapatkan legalitasnya
melalui disahkannya Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. UU ini disahkan oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Prof. B.J.
Habibie pada tanggal 20 April 1999 yang terdiri atas XV (lima belas) bab dan 65
pasal. Diberlakukannya undang-undang ini merupakan sebuah tonggak sejarah
dan babak baru dari upaya perlindungan konsumen di Indonesia. UU
Perlindungan konsumen sendiri merupakan payung hukum (umbrella act)
terhadap seluruh ketentuan yang ada kaitannya terhadap Perlindungan
Konsumen.13
Seperti dari Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan
Undang-Undang No.2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
Prinsip atau asas perlindungan konsumen diakui dalam pasal 2 UU
Perlindungan Konsumen, dimana “Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat,
keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian
12
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, cet. II. (Jakarta : Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2004) h. 19.
13
Sularsi, Mustafa Aqib Bintoro dan Abdul Baasith, Kebijakan dan Praktek Perbankan di Indonesia:
Kajian Penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terkait Prinsip Pelrlindungan Konsumen, (Jakarta: Responsi
Bank Indonesi, 2016) h. 14
15. 11
hukum”. Atas rumusan pasal tersebut berarti seluruh upaya perlindungan
konsumen di Indonesia mengacu terhadap asas tersebut.
Bila diperhatikan substansinya, maka asas dalam perlindungan konsumen
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yakni:14
1. Asas kemanfaatan yang meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen
2. Asas keadilan, yang didalamnya meliputi asas keseimbangan
3. Asas kepastian hukum.
Radbruch menyatakan bahwa keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”.15
Asas
kemanan dan keselamatan dapat dikategorikan sebagai bagian dari asas
kemanfaatan karena salah satu manfaat UU Perlindungan Konsumen adalah
untuk melindungi keamanan dan keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi
barang. Sedangkan asas keseimbangan dapat dikategorikan sebagai asas keadilan
karena pada prinspinya keseimbangan yang dimaksud dalam UU Perlindungan
konsumen adalah keadilan bagi para pihak.
UU Perlindungan Konsumen pada pokoknya mengatur beberapa hal,
yakni hak dan kewajiban para pihak; penerapan klausula baku; perbuatan yang
dilarang dan tanggung jawab pelaku usaha; pembentukan lembaga-lembaga
terkait; dan pengawasan, pembinaan dan sanksi.
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Undang- Undang Perlindungan Konsumen adalah salah satu undang-
undang yang pembentukannya ditujukan untuk membentuk perilaku masyarakat.
Berbeda dengan beberapa undang-undang lain yang merupakan respon dan
bentuk penyesuaian atas perubahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu
karakteristik Undang-undang yang ditujukan sebagai alat pembentuk perilaku
masyarakat adalah pembatasan terhadap perilaku masyarakat.
Sebagai undang-undang yang ditujukan untuk membentuk perilaku
masyarakat, maka UU Perlindungan Konsumen juga mengatur dan membatasi
perilaku masyarakat. Batasan tersebut dapat berupa pengaturan mengenai hak
14
Ahmad miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,
2007), hal 26
15
Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in The Legal philosophiesof Lask, Radbruch, and Dabin
(translated by Kurt WIlk). (Massachusetts: Harvard University Press, 1950), hal. 107
16. 12
dan kewajiban, larangan dan sanksi atas pelanggaran ketentuan yang diatur
sebelumnya.
Dalam UU Perlindungan Konsumen, pengaturan mengenai hak dan
kewajiban diatur dalam pasal 4-7 UU Perlindungan Konsumen. Adapun hak dan
kewajiban pihak yang terkait adalah:
Tabel
Hak dan Kewajiban Para Pihak Menurut UU Perlindungan Konsumen
Pihak Hak Kewajiban
Konsumen 1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan
2. Hak untuk memilih barang dan
mendapatkan barang sesuai dengan
nilai tukar
3. Hak atas informasi yang jelas, benar
dan jujur
4. Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya
5. Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan penyelesaian
sengketa secara patut
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan
dan pendidikan
7. Hak untuk diperlakukan dan dilayani
secara benar, jujur dan tidak
diskriminasi
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi
dan ganti rugi dan hak lainnya
1. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian barang
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4. Mengikuti upaya hukum penyelesaian sengketa konsumen
Pelaku
Usaha
1. Hak untuk menerima pembayaran
sesuai dengan kesepakatan
2. Hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik
3. Hak untuk melakukan pembelaan
seperlunya
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik
dan Hak lainnya
1. Beritikad baik dalam melakukan usaha
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi barang
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar,
jujur dan tidak diskriminatif
4. Menjamin mutu barang dan jasa yang diproduksi dan
diperdagangkan
5. Member kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan
mencoba barang yang dijual
6. Memberi kompensasi dan ganti rugi atas kerugian dalam
mengkonsumsi dan ketidaksesuaian barang yang diterima
17. 13
C. Penerapan Klausula Baku
Pasal 1 butir 10 UU Perlindungan Konsumen menerangkan bahwa,
Klausula Baku adalah Setiap Aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumendan/atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam rumusan tersebut lebih menekankan
kepada prosedur pembuatan yang dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha,
sedangkan terkait isinya diatur kemudian dalam pasal 18 UU Perlindungan
Konsumen.16
Sehingga salah satu alternative dalam mengahadapi pro-kontra tersebut
ialah dengan membatasi pengaturan-pengaturan apa saja yang boleh diatur atau
dilarang dalam klausula baku. Klausula baku yang dilarang dalam pasal 18 ayat 1
UU Perlindungan Konsumen adalah:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen
c. Menyatakan pelaku usaha berhak untuk menolah penyeahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang yang dibeli konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung
e. Mengatur atas pembuktian atas hilangnya manfaat oleh konsumen
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat barang
dan/atau jasa
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa peraturan
baru, tambahan, lanjutan atau perubahan
h. Menyatakan konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, gadai atau hak tanggungan terhadap barang
yang dibeli.
UU Perlindungan konsumen tidak hanya mengatur perihal klausula baku
yang dilarang dalam sebuah perjanjian, melainkan juga mengatur mengenai
penyampaiannya dalam sebuah dokumen kontrak kepada konsumen. Pengaturan
tersebut diatur dalam pasal 18 ayat 2, bahwa “pelaku usaha dilarang
16
Ahmad miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, hal 19
18. 14
mencantumkan klausula baku yang bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat
dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”.
Pelanggaran akan ketentuan tersebut, baik mengenai isi klausula baku
maupun penyampaiannya kepada konsumen akan berdampak perjanjian tersebut
dinyatakan batal demi hukum (pasal 18 ayat 3 UU Perlindungan Konsumen).
Tujuan pengaturan terkait klausula baku dalam UU Perlindungan Konsumen
dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen yang setara dengan
pelaku usaha berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Sehingga diharapkan
kedepannya konsumen memiliki posisi tawar yang lebih baik terhadap pelaku
usaha dalam hal penyusunan kontrak.
D. Perbuatan yang Dilarang dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Sebagaimana yang telah dibahas diawal bahwa sebelum berkembangnya
kesadaran perlindungan konsumen, pelaku usaha seringkali hanya menganggap
konsumen sebagai target pasar yang dieksploitasi dan hanya berorientasi kepada
omset. Dampaknya adalah pelaku usaha menjadi mengabaikan keamanan,
keselamatan dan kualitas produk yang diproduksi sehingga merugikan
konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung.
UU Perlindungan Konsumen mencoba untuk mencegah terjadi eksploitasi
yang terindikasi merugikan konsumen melalui larangan terhadap perbuatan-
perbuatan tertentu dan tanggang jawab pelaku usaha terhadap konsumen.
Adapun perbuatan yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha berdasarkan
UU Perlindungan Konsumen setidaknya dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga)
kategori sebagai berikut:
A. Muatan Barang dan Jasa
Beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang berkaitan dengan
muatan barang dan jasa antara lain:
1. Tidak memenuhi standard kualitas (SNI/SI)
2. Isi dan muatan tidak sesuai dengan yang tercantum dalam label atau
etiket
3. Kondisi dan manfaat tidak sesuai sebagaimana mestinya
4. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau batas waktu penggunaan
5. Tidak memasang label atau informasi perihal barang/jasa dan
penggunaanya
19. 15
B. Sistem Penjualan
Beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang berkaitan dengan
cara dan system penjualan barang dan jasa antara lain:
1. Melakukan penjualan secara obral dengan cara menyesatkan dan
mengelabui konsumen
2. Melakukan penjualan dengan tariff khusus jika pelaku usaha tidak
bermaksud melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang
ditawarkan
3. Menjanjikan pemberian hadiah pada penjualan obat, suplemen, alat
kesehatan ataupun pelayanan kesehatan atau pada barang lain dengan
maksud ingkar janji
4. Tidak menepati pesanan dalam waktu yang disepakati atau tidak
menepati janji atas suatu pelayanan
C. Penawaran/Iklan
Beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang berkaitan dengan
penawaran, promosi ataupun pemasaran barang dan jasa antara lain:
1. Menawarkan barang atau jasa secara tidak jujur dan mengelabui
konsumen perihal produk yang ditawarkan
2. Menawarkan barang dan jasa dengan pernyataan tidak benar mengenai
harga, manfaat, kondisi, potongan harga dan bahaya penggunaan
3. Menawarkan barang dan hadiah melalui undian berhadiah dan tidak
melakukan penarikan undian sampai batas waktu yang ditentukan, tidak
mengumumkan hasilnya melalui media massa, tidak memberikan hadiah
sebagaimana yang dijanjikan, mengganti hadia yang nilainya tidak setara
4. Memproduksi iklan yang mengelabui perihal barang dan jasa yang
diperdagangkan, jaminan/garansi, informasi menyesatkan,
mengksploitasi kejadian seseorang tanpa izin dan melanggar ketentuan
regulasi dibidang periklanan.
E. PrinsipTanggung Jawab Pelaku Usaha
Selain perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha, perlindungan konsumen
juga mengenal konsep pertanggung jawaban pelaku usaha. Secara umum, tujuan
umum terhadap pertanggungjawaban pelaku usaha ada 3 (tiga) tujuan utama,
20. 16
yakni pemberian kompensasi (ganti kerugian)17
, penyebaran resiko, dan
pencegahan.
Mengacu kepada teori sistem hukum yang dikembangkan Friedman,
terdapat 3 (tiga) subtansi hukum tanggung jawab produk, yang menjadi dasar
tuntutan ganti rugi konsumen , yaitu:18
1. Tuntutan karena berdasarkan kelalaian (negligence)
Tanggung jawab berdasarkan kelalaian (negligence) adalah sistem
tanggungjawab yang bersifat subyektif, yaitu suatu tanggungjawab yang
ditentukan oleh perilaku produsen. Hali ini diatur dalam pasal 1365 dan
pasal 1366 KUHPerdata yang menyatakan sesorang baru dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsure
kesalahan yang dilakukannya;
2. Tuntutan karena Wanprestasi atau ingkar janji (breach of warranty)
Pelanggaran jaminan yang dikaitkan dengan adanya suatu jaminan
tertentu dari pelaku usaha tentang produk yang dipasarkan tidak cacat
atau rusak. Cacat atau rusak dapat diartikan dalam 3 (tiga) hal, yakni bisa
terjadi karena kontruksi barang, desain, dank arena pelabelan. Ketentuan
ini diatur dalam pasal 1243 sampai dengan pasal 1252 KUHPerdata;
3. Tuntutan berdasarkan teori tanggungjawab mutlak (strict product
liability)
Teori tanggungjawab mutlak (tanpa kesalahan) diatur dalam Pasal 1367
KUHPerdata. Mengenai pertanggungjawabannya. Selain terletak pada
pelakunya sendiri juga dapat dialihkan pada pihak lain (tergantung siapa
yang melakukannya).
Sebelum diberlakukannya UU Perlindungan Konsumen, prinsip tanggung
jawab didasarkan pada ketentuan KUH Perdata dan KUHP. Dimana masing-
masing ada 5 (lima) tuntutan yang dapat dijadikan pegangan bagi konsumen
dalam menggugat tanggung jawab pelaku usaha atas produk-produk yang
dipasarkan.
17
Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan atau
kerugian, konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan (Pasal 19
ayat (1) UUPK)
18
Ni Putu Shinta Kurnia Dewi dan I Nyoman Gatrawan, Tanggungjawab Pelaku Usaha atas Informasi
Suatu Produk Melalui Iklan Yang Mengelabui Konusmen, Makalah di Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 4
21. 17
Gugatan tanggung jawab pelaku usaha secara keperdataan antara lain,
pertama kesalahan/kelalaian dalam pemenuhan isi perjanjian. Kedua,
kesalahan/kelalaian dalam kewajiban penyerahan barang dalam kondisi baik.
Ketiga, perlindungan hukum berdsarkan kewajiban member ganti kerugian.
Keempat, tuntutan atas kelalaian pelaku usaha tidak menyerahkan hak milik atas
barang, pemanfaatan dan cacat-cacat pada produk. Kelima, kesalahan/kelalaian
pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban cacat tersembunyi.19
Sementara itu, tuntutan secara pidana dapat dilakukan atas dasar,
pertama, perlindungan hukum berdasarkan ketentuan tidak memberitahukan
kondisi barang yang diketahuinya membahayakan. Kedua, menjual,menyerahkan
suatu barang/jasa yang mempunyai sifat membahayakan. Ketiga, kesalahan yang
mengakibatkan orang lain meninggal. Keempat, karena kesalahan konsumen
menyebabkan orang lain luka berat. Kelima, produsen menjual barang palsu.20
Dalam penyusunan UU Perlindungan Konsumen, pemerintah sedikit
banyak mengambil hasil pemikiran David G Owen, hal tersebut terlihat dalam
tanggung jawab pelaku usaha, pasal 19 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen
bahwa “Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. 21
Pasca diberlakukannya UU Perlindungan Konsumen, ketentuan perihal
tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam pasal 19-28. Akan tetapi secara
konsep, tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam pasal 19, pasal 23 dan pasal
28. Dalam pasal 19 UU Perlindungan Konsumen lebih menekankan atas
pemberian ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen akibat
penggunaan barang dan jasa. Dalam ayat kelima dijelaskan bahwa beban
pembuktian terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen ada di pihak pelaku
usaha. Hal ini sebagai bentuk penerapan asas praduga lalai/bersalah (presumption
of negligence) dalam UU Perlindungan Konsumen yang mewajibkan pelaku
usaha untuk melakukan pembuktian terbalik dalam sengketa konsumen.
19
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab, (Jakarta:
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal 135
20
Inosentius samsul, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab, hal 136
21
Sularsi, Mustafa Aqib Bintoro dan Abdul Baasith, Kebijakan dan Praktek Perbankan di Indonesia:
Kajian Penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terkait Prinsip Pelrlindungan Konsumen, h.19
22. 18
F. Pembentukan Lembaga Terkait
Selain memuat ketentuan dan pokok-pokok perlindungan konsumen, UU
Perlindungan konsumen juga menjadi embrio bagi pembentukan lembaga-
lembaga yang terkait dengan upaya perlindungan konsumen secara umum.
Setidaknya ada 3 (tiga) lembaga yang dibentuk berdasarkan amanah UU
Perlindungan Konsumen yang memiliki tugas, kedudukan dan fungsi yang
berbeda-beda.
Adapun ketiga lembaga tersebut antara lain : Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM), dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
G. Pengawasan, Pembinaan dan Sanksi
Pengawasan, Pembinaan dan Sanksi terkait perlindungan Konsumen
diatur dalam 2 (dua) bab dalam UU Perlindungan Konsumen, yakni bab VII dan
bab XII. Dalam hal pembinaan terkait perlindungan konsumen, pemerintah
adalah pihak yang bertanggung jawab dan penyelenggaraannya diberikan
kepada menteri teknis terkait. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 29
ayat 1-3 UU Perlindungan Konsumen. Sedangakan dalam pasal 29 ayat 4
dijelaskan bahwa pembinaan dalam pelaksanaan perlindungan konsumen
meliputi upaya untuk:
a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku
usaha dan konsumen
b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
c. Meningkatnya kualitas SDM serta meningkatnya kegiatan penelitian dan
pengembangan dibidang perlindungan konsumen
Berbeda dengan pembinaan yang menjadi tanggung jawab pemerintah,
dalam hal pengawasan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah,
masyarakat dan LPKSM. Hal tersebut diatur dalam pasal 30 ayat 1 UU
Perlindungan Konsumen sebagai bentuk upaya untuk memaksimalkan
pengawasan dan penerapan peraturan-peraturan yang terkait dengan
perlindungan konsumen.
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan LPKSM dilakukan
terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dan hasil pengawasan
23. 19
tersebut dapat disebarluaskan kepada masyarakat sebagai bahan edukasi
konsumen. Kemudian apabila berdasarkan hasil pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap regulasi, maka menteri teknis terkait wajib mengambil
tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam hal pemberian
sanksi.
H. Tempat Penyelesaian Sengketa
Ketika konsumen mengalami kerugian,, pencemaran dan atau kerusakan
ketika mengkonsumsi produk yang dihasilkan pelaku usaha UUP menyediakan
mekanisme hukum sebagaimana dijelaskan dalam pasal 45 UUPK, diantaranya
“Konsumen dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di peradilan umum berdasarkan pilihan sukarela para
pihak yang bersengketa”, namun penyelesaian di luar pengadilan tidak
menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-
undang.
Dalam hal perlindungan konsumen SPBU maka jika konsumen dirugikan
oleh pihak SPBU selaku pelaku usaha maka konsumen bisa menyelesaikannya
terlebih dahulu dengan menghubungi call center Pertamina di 1-500-000 atau
menghubungi/berkomunikasi langsung dengan pihak SPBU terkait dan
sampaikan masalah/keluhan yang terjadi, apabila tidak ada solusi/kesepakatan
konsumen bisa menghubungi Hiswana Migas (Himpunan Wiraswasta nasional
Minyak dan Gas Bumi)/BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas
Bumi) atau bahkan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) di
Kab/Kota setempat sedangkan dalam hal ganti kerugian jika memang tidak
mendapatkan penyelesaian maka konsumen bisa menyelesaiakan melalui
Pengadilan Negeri setempat sebagai upaya terkahir (Ultimum Remedium)
24. 20
BAB III
PARA PIHAK DAN DASAR HUKUM KETIDAKSESUAIAN TAKARAN
A. Pengertian Para Pihak
Secara umum hubungan transaksi melibatkan dua pihak yaitu konsumen
dan pelaku usaha. Dalam membatasi mengenai perlindungan konsumen, maka kita
perlu memahami para pihak yang berada di dalamnya yaitu konsumen dan pelaku
usaha. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Konsumen diartikan sebagai (1)
Pemakai barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan dsb); (2) Penerima pesan
iklan; (3) Pemakai jasa (Pelanggan dsb),22
sedangkan dalam literatur negara kita
konsumen menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 8 tahun 1999dan Pasal 1
butir 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag)
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 konsumen adalah : “Setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
. Sedangkan dalam penjelasan UUPK Pasal 1 ayat (3) yang termasuk dalam
pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakankegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
1. Pelaku Usaha
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok
besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok
pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok
pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut:23
1) Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai
berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak dan
penyedia dana lainnya;
22
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 522
23
Adrian Sutedi, Tanggungjawab produk dalam hukum perlindungan konsumen, (Bogor:Ghalia
Indonesia, 2006) hal. 11
25. 21
2) Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang
dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain sebagainya.
3) Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat,
seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung ,toko,
supermarket dan lain sebagainya
Pada dasarnya dalam kegiatan penyaluran BBM ke konsumen pihak
yang terlibat yaitu SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum), baik yang
dimiliki pihak Pertamina maupun SPBU yang dimiliki oleh swasta. SPBU
adalah lokasi penerimaan, penyimpanan dan penyaluran BBM yang melayani
konsumen secara eceran/ritel dan dikhususkan untuk kendaraan bermotor, atau
depot BBM dengan kapasitas tangki timbun BBM yang terbatas.24
SPBU
disebut pelaku usaha dikarenakan melakukan penjualan BBM kepada
masyarakat atau konsumen dengan penetapan harga tertentu, namun perlu kita
jelaskan bahwa dalam kegiatan usaha hilir (pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan dan Niaga) dapat dilaksanakan oleh badan usaha setelah
mendapat izin dari pemerintah (Pasal 23 UU Migas) sehingga dalam hal usaha
hilir Penyaluran BBM dari sisi pelaku usaha ada yang berasal dari SPBU milik
Pertamina maupun mitra Pertamina atau bahkan SPBU milik asing setelah
mendapatkan izin dari pemerintah.
Di Indonesia, ada empat distributor BBM yang menjual produknya di
SPBU, antara lain Pertamina (Indonesia), Shell (Belanda), Petronas
(Malaysia), dan Total (Prancis).25
Dan yang terbaru sebagai tambahan adalah
SPBU Vivo (Singapura) yang sudah mendapatkan izin operasi.26
Dalam pembahasan penelitian ini maka pembahasannya adalah terkait
SPBU Pertamina:
Pada umumnya SPBU dengan Logo Pertamina adalah SPBU yang
mendapatkan lisensi dari Pertamina untuk menjalankan usaha/niaga
penyaluran minyak ke konsumen karena sesuai dengan ketentuan UU Migas
baru tersebut, Pertamina tidak lagi menjadi satu-satunya perusahaan yang
24
Risdiyanta, Membedah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Indonesia, (Forum
Teknologi Vol.04 No.03) hal. 52
25
Risdiyanta, Membedah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Indonesia, Hal. 52
26
Diakses melalui https://economy.okezone.com/read/2017/10/23/320/1800847/ganti-nama-
perusahaan-spbu-vivo-akhirnya-dapat-izin-operasi pada 24/10/2017 pukul 3;06
26. 22
memonopoli industry Migas, dimana kegiatan usaha minyak dan gas bumi
diserahkan kepada mekanisme pasar.
Sebagai perusahaan Perseroan, Pertamina diharuskan mengusahakan
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan Perseroan secara efektif dan
efesien, serta memberikan kontribusi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi
untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Secara profil Pertamina merupakan perusahaan migas terintegrasi yang
mencakup usaha eksplorasi dan produksi, pengolahan, hingga pemasaran dan
niaga (dari hulu sampai hilir). Pertamina berdiri pada tanggal 10 Desember
1957 dengan nama PT Permina. Pada tahun 1961 berganti nama menjadi PN
Pertamina dan setelah merger dengan PN Pertamina di tahun 1968 namanya
berubah menjadi PN Pertamina. Dengan bergulirnya UU No. 8 tahun 1971
sebutan perusahaan di tahun 2003 berubah menjadi Pertamina. Dengan
lahirnya UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan PP No.31
tahun 2003 menegaskan status hukum yang berubah menjadi PT Pertamina
(Persero).
SPBU dengan logo Pertamina terbagi menjadi tiga jenis pembagian
berdasarkan operasional, diantaranya :27
1. SPBU COCO (Corporate Owned Corporated Operated), yaitu
SPBU yang sepenuhnya dimiliki oleh PT Pertamina (Persero)
dalam hal ini Pertamina retail.
2. SPBU CODO (Coorporate Owned Dealer Operated), yaitu
SPBU yang operasionalnya merupakan kerjasama antara
Pertamina dengan swasta mungkin dalam hal ini kepemilikan
lahan ataupun yang lainnya.
3. SPBU DODO (Dealer Owned Dealer Operated), yaitu SPBU
yang sepenuhnya dimiliki swasta tapi membeli lisensi merk
Pertamina.
Dalam kerjasama tersebut, Pertamina memiliki ketentuan dan prosedur
agar kerjasama yang terjalin sesuai dengan keinginan perusahaan ataupun
mitranya. Sehingga kerjasama yang dilakukan mencapai hasil yang baik dan
pihak yang terlibat pun dapat saling menguntungkan. Dalam kerjasama
27
Risdiyanta, Membedah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Indonesia, hal. 46
27. 23
tersebut, mulai dari hal pembangunan SPBU sampai SPBU di operasikan,
Pertamina memiliki wewenang yang sangat besar terhadap pengawasan.
Perjanjian kerjasama tersebut menggunakan jenis perjanjian waralaba karena
dalam bisnis tersebut memiliki unsur-unsur kriteria seperti memiliki ciri khas
usaha, memiliki standar atas pelayanan dan barang/jasa yang ditawarkan yang
dibuat secara tertulis, terbukti sudah memberi keuntungan dan mudah
diajarkan dan diaplikasikan28
.
Dalam hal pertanggungjawaban sebagaimana hasil wawancara kami
dengan ertamina akan dikembalikan kepada masalahnya seperti masalah mutu
maka akan ditelusur dimana kesalahannya jika masalah takaran pun dicari
unsur kesalahannya sesuai SOP yang ada dari Pertamina dan jika terbukti
takaran tidak sesuai maka pihak SPBU diharuskan mengembalikan uang ke
konsumen sesuai nilai kerugian.
2. Konsumen
Konsumen perlu dilindungi karena konsumen dianggap memiliki suatu
“kedudukan” yang tidak seimbang dengan para pelaku usaha.
Ketidakseimbangan ini menyangkut bidang pendidikan, kepemilikan modal
dan posisi tawar konsumen yang seringkali tidak berdaya menghadapi posisi
yang lebih kuat dari para pelaku usaha.29
Terdapat tiga pengertian konsumen yang ingin mendapat perlindungan,
diantaranya:30
1) Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan atau
pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
2) Konsumen antara yaitu, pemakai, pengguna dan/atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen)
menjadi barang jasa lain atau untuk memperdagangkannya
(distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini
sama dengan pelaku usaha.
3) Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat
barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri
28
Diakses di http://scholar.unand.ac.id/21725/3/BAB%20V%20pdf.pdf h. 57-58 pada 18 Oktober 2017
pukul 2: 56
29
Adrian Sutedi, Tanggungjawab produk dalam hukum perlindungan konsumen, hal. 9
30
Adrian Sutedi, Tanggungjawab produk dalam hukum perlindungan konsumen, hal. 10
28. 24
sendiri, keluarga atau rumah tangganya, dan tidak untuk
diperdagangkan kembali.
Konsumen akhir inilah yang diatur dengan jelas dalam undang-undang
Perlindungan Konsumen sebagimana disebutkan dalam pasal 1 angka 2,
sebagai berikut “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Sedangkan
Pengertian konsumen pada Kegiatan usaha hilir minyak dan gas
bumi/konsumen hilir migas dalam Permen ESDM 19/2008 tentang Pedoman
dan Tata Cara Perlindungan Konsumen Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak
dan Gas Bumi adalah setiap orang dan/atau Badan Usaha pemakai barang
dan/atau jasa hasil kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi yang tersedia
dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dalam Transaksi Pembelian BBM di SPBU Pertamina, maka yang disebut
sebagai konsumen adalah konsumen akhir yang membeli BBM dengan tujuan
bukan untuk diperjualbelikan kembali seperti untuk penjual BBM eceran di
jalan dalam hal ini sering disebut Pertamini, Kipeng dll.
B. DASAR HUKUM PELARANGAN KETIDAKSESUAIAN TAKARAN BBM
Dalam hal transaksi pembelian BBM di SPBU sudah selayaknya dan
sepatutnya konsumen mendapatkan nilai atau jumlah BBM sesuai dengan nilai
yang konsumen beli (Pasal 4 Huruf b UUPK). Namun ternyata terkadang masih
ada saja oknum SPBU nakal yang memainkan takaran sehingga konsumen tidak
mendapatkan BBM sejumlah nilai yang konsumen bayarkan.
Ketidaksesuaian takaran kami golongkan ada dua sebab, yang pertama
penyebabnya adalah faktor tekhnis (cuaca, sistem dan lainnya) dan yang kedua
adalah kesengajaan manusia.
Ada banyak modus yang dilakukan oleh oknum pihak SPBU maupun operator
yang bersangkutan, diantaranya :31
1) Jika pembeli membeli BBM dengan nominal Rp 15 ribu kemudian pegawai
SPBU buru-buru dikembalikan ke angka 0, bensin yang masuk hanya sekitar
31
Point 1-2 Diaksess melalui https://www.merdeka.com/khas/akal-bulus-operator-spbu-modus-
kecurangan-spbu-2.html pada 26/10/2017 pukul 10:38
29. 25
Rp 13 ribu (beli Rp 15 ribu terus di kasih cuma Rp 13 ribu, terus mesinnya
buru-buru di netralin ke angka 0 lagi, pembeli enggak tahu kalo yang masuk
ke tangkinya cuma Rp 13 ribu," ujar MAK. Biasanya modus ini dilakukan
pegawai SPBU ketika terjadi antrean panjang dan saat pembeli lengah);
2) Memainkan flow meter yaitu alat untuk mengatur kecepatan arus dan
jumlah BBM yang dikeluarkan oleh pompa dispenser sesuai angka.
Biasanya ini bakal diketahui jika si pengisi bensin jeli dengan jumlah
pembeliannya. Misal, jika si pembeli mengisi bensin sebanyak dua liter.
Bensin yang dituangkan melalui selang dispenser sejatinya tidak berisi
jumlah tersebut, namun sudah dikurangi. Di sini menurut MAK, disinyalir
dispenser pengisian BBM sudah di modifikasi entah oleh pegawainya atau
secara sengaja dilakukan pemilik SPBU;
3) Melalui pompa bensin digital para operator pom bensin dapat dengan mudah
mengelabui volume isian BBM. Kecurangan ini bisa dilakukan dengan tak
meletakkan kembali selang pengisian setelah mengisi satu kendaraan;
4) Mengganti gigi palser atau penghitung di dalam mesin pompa yang tak
terlihat konsumen. Dengan mengganti gigi palser, meteran akan melambat
sehingga pembeli tak mendapat jumlah bahan bakar seperti yang
dibayarkan32
.
5) Dan yang sangat terbaru dalam modus yang digunakan di kasus SPBU
Rempoa adalah dengan memasang alat kecil di dalam mesin dispenser
dengan alat kecil tersebut pihak pengelola SPBU dapat mengaturnya dari
jarak jauh. Bisa pakai remote 20-30 meter. Jadi kalau ada penggerebekan
dapat dimatikan33
.
Perbuatan curang dalam hal takaran adalah suatu tindakan penipuan dan
digolongkan sebagai tindak kejahatan-Penjelasan UU No. 2 tahun 1981 tentang
Metrologi Pasal 33 ayat 1) yang dapat dilakukan oleh setiap pelaku usaha dalam
bentuk apa saja, baik dalam proses produksi, penyaluran maupun penawaran.
Untuk melindungi masyarakat dari ketidaktepatan jumlah dalam pengukuran,
Pemerintah telah mengaturnya melalui UU No. 2 tahun 1891 tentang Metrologi
Legal. Dimana disebutkan bahwa untuk melindungi kepentingan umum perlu
32
Diakses melalui http://news.liputan6.com/read/126671/kecurangan-di-pom-bensin-perlu-dicermati
pada 31/10/2017 pukul 2;54
33
Diakses melalui http://redaksi.co.id/68799/polisi-aksi-culas-spbu-rempoa-kurangi-takaran-tergolong-
baru.html
30. 26
adanya jaminan dalam kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban dan
kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukur, standard satuan, metode
pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya. Adanya
standarisasi ini penting untuk memastikan akurasi dari obyek yang diukurnya yang
dapat memberikan jaminan ketepatan pengukuran serta pengendalian mutu.
Pengertian Alat ukur dan alat takar menurut UU No. 2 tahun 1891 tentang
Metrologi Legal adalah Alat ukur ialah alat yang diperuntukkan atau dipakai bagi
pengukuran kuantitas dan atau kualitas sedangkan alat takar ialah alat yang
diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran kuantitas penakaran.
Di sisi lain pengertian Alat Ukur menurut KBBI adalah perkakas untuk
mengukur (mencocokan atau mengetahui jarak, bobot, luas, panas, getaran,
kecepatan, tegangan, tekanan, volume dan sebagainya). Sedangkan alat takar
menurut KBBI adalah alat untuk menakar yaiutu mengukur banyaknya barang cair,
beras dan sebagainya dalam satuan liter. 34
Dalam hal ketidak sesuaian takaran merupakan tindakan pidana baik diatur melalui
KUHP maupun undang-undang terkait, diantaranya :
Adapun terkait ancaman sanksi bagi pelanggaran tersebut antara lain:
No. Regulasi Subtansi Ancaman Pidana/Sanksi
1. Pasal 8 ayat (1) huruf C
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen
Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
sesusai dengan ukuran, takaran, timbangan dan
jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya
Dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak 2
(dua) Miliar Rupiah
2. Pasal 30 Undang-Undang
Metrologi Legal
Dilarang menjual, menawarkan untuk dibeli, atau
memperdagangkan dengan cara apapun juga, semua
barang menurut ukuran, takaran, timbangan atau
jumlah selain menurut ukuran yang sebenarnya, isi
bersih, berat bersih atau jumlah yang sebenarnya
Dipidana penjara selama-
lamanya 6 (enam) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp
500.000,- (Lima Ratus Ribu
Rupiah)
3. Pasal 3 ayat (1 dan 2 huruf e)
Permen ESDM No. 19/2008
tentang Pedoman dan Tata
cara perlindungan Konsumen
Pada Kegiatan Usaha Hilir
Minyak dan Gas Bumi
Setiap Badan Usaha Pemegang Izin Usaha yang
melaksanakan kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas
Bumi wajib menjaga standard mutu produk minyak dan
Gas Bumi dan jasa pelayanan yang diberikan untuk
melindungi konsumen hilir migas dengan memperhatikan
kesesuaian takaran/volume/timbangan
Sanksi Administratif berupa teguran
tertulis/Penangguhan izin
usaha/pembekuan izin
usaha/pencabutan izin usaha.
34
Diakses melalui
http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11607/2/T1_312012055_BAB%20II.pdf pada 30/10/2017 pukul
3:25
31. 27
Bahwa sebenarnya aturan terkait toleransi takaran BBM di SPBU telah
diatur dalam Undang-undang Metrologi Legal dan SK DJPDN nomor
37/PDN/KEP/3/2010 tentang syarat teknis meter arus volumentrik batas kesalahan
maksimum yang diizinkan 0,5 persen atau 100 mililiter per 20 liter sebagaimana
tercantum dalam Persyaratan Kemetrologian. Adapun hal ini dilakukan untuk,
instalasi meter arus gas yang dicairkan, instalasi meter arus bagi cairan yang diukur
pada suhu lebih rendah daripada -10 derajat celcius atau lebih tinggi daripada +50
derajat celcius dan untuk instalasi ukur yang kecepatan alir minimumnya tidak
melebihi 1 (satu) liter perjam. Meski hal ini telah diatur namun ternyata masih ada
saja oknum petugas/pihak SPBU yang berbuat curang.
Sebagai bukti kasus besar ketidaksesuaian takaran adalah sebagai berikut :
Data Dugaan Kecurangan SPBU 2016-201735
No. Kode
SPBU
Daerah Tanggal Pelapor Sumber Berita Keterangan
1. 34.432
12 dan
2
SPBU
lain di
Jawa
Barat
Kabupate
n Cianjur
Jumat
2/6/2017
Temuan
Kepolisian atas
laporan
masyarakat
https://news.detik.com/berita-
jawa-barat/d-3518728/begini-
praktik-kecurangan-spbu-
nakal-di-cianjur
Kasus diungkap oleh
Polda Jawa Barat
2. SPBU
34-
12305
Tangeran
g Selatan
2 Juni
2016
Temuan
Kepolisian atas
laporan
masyarakat
https://news.detik.com/berita/
d-3226527/polisi-tangkap-
pengelola-spbu-di-ciputat-
yang-kurangi-takaran
Kasus ditangani
Dirkrimsus Polda Metro
Jaya
3. 105
SPBU
kawasan
Pantai
Utara
(Pantura)
Pulau
Jawa
18
Februari
2016
Direktur Jenderal
Perlindungan
Konsumen dan
Tertib Niaga
Kementerian
Perdagangan
http://katadata.co.id/berita/201
6/02/18/spbu-curang-
kementerian-perdagangan-
kami-buktikan-ke-Pertamina
Kasus ini merupakan
temuan Dir. PKTN
kemendag dan BPH
Migas hasilnya 40%
Nozle berada di ambang
batas toleransi 0,5%
Bahwa aturan lain terkait Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak di SPBU antara lain:
35
Data bersumber dari penelusuran internet yang dilakukan sejak 26 September 2017-27 September
2017, data ini dimungkinkan bertambah dikarenakan keterbatasan info terhadap kasus tersebut
32. 28
No. Regulasi Subtansi
1. Pasal 54 UU No. 22 tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi
Setiap orang yang meniru atau memalsukan Bahan Bakar Minyak dan Gas
Bumi dan hasil olahan dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling tinggi Rp 60 Miliar Rupiah
2. Pasal 55 UU No. 22 tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi
Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga Bahan
Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan penjara paling lama
6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp 60 Miliar Rupiah
Bahwa berdasarkan aturan tersebut yang diatur hanyalah terkait larangan
meniru/memalsukan BBM dan menyalahgunakan BBM bersubsidi seperti
pengoplosan, penyalahguanaan alokasi, maupun penyelundupan BBM bersubsidi ke
luar negeri. Dalam Undang-Undang ini tidak mengatur terkait larangan kecurangan
takaran dalam jual beli BBM di SPBU.
Adapun terkait dasar konsumen meminta ganti kerugian akibat ketidaksesuaian
takaran pembelian BBM di SPBU ialah :
No. Regulasi Subtansi
1. Pasal 1365 KUH Perdata Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
untuk menggantikan kerugian tersebut
2 Pasal 4 huruf h Undang-Undang
Perlindungan Konsumen
Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
3 Pasal 7 huruf f Undang-Undang
Perlindungan Konsumen
Pelaku Usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan
4 Pasal 19 ayat (1-4) Undang-
Undang Perlindungan
Konsumen
1. Pelaku Usaha diwajibkan mengganti rugi atas produk yang diperdagangkan
(tidak sesuai takaran)
2. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang/barang yang setara nilainya dll
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menghapuskan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsure kesalahan
5 Pasal 63 huruf C Undang-
Undang Perlindungan
Konsumen
Terhadap sanksi pidana, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa salah
satunya ganti rugi (huruf c)
33. 29
Bahwa aturan terkait ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan akibat
ketidaksesuaian takaran dalam pembelian BBM di SPBU tidak diakomodir dalam UU
No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 2 tahun 1981 tentang
Metrologi Legal maupun dalam Permen ESDM No. 19/2008 tentang Pedoman dan
Tata cara perlindungan Konsumen Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Sedangkan dari sisi regulasi yang ada di Pertamina pun untuk ganti rugi yang
melibatkan oknum curang yang sampai dibawa ke ranah hukum, pihak Pertamina
belum memiliki aturan khusus terkait mekanisme ganti rugi kepada konsumen yang
yang pada umumnya konsumennya banyak dan sulit diidentifikasi. Sehingga dalam
upaya permintaan ganti kerugian, mau-tidak mau konsumen yang merasa dirugikan
oleh pihak SPBU curang dan telah mendapatkan putusan pengadilan maka konsumen
dapat melakukan upaya ke Pertamina maupun SPBU tersebut secara langsung, namun
jika kesulitan mendapatkan hak (ganti rugi) sebagai konsumen yang dirugikan, maka
konsumen dapat meminta bantuan kepada pihak ketiga seperti Hiswana Migas, BPH
Migas, BPSK, YLKI atau bahkan Pengadilan Negeri dengan dasar Gugatan Perbuatan
Melawan Hukum.
34. 30
BAB IV
ANALISA dan PEMBAHASAN
A. Perlindungan Konsumen Hilir Minyak dan Gas Bumi
Secara umum perlindungan konsumen urusan niaga hilir minyak dan gas
bumi diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan menjadi payung hukum atas pengaturan perlindungan konsumen
di sektor lain secara umum sedangkan pengaturan perlindungan konsumen urusan
niaga hilir minyak dan gas bumi secara khusus diatur dalam Undang-Undang No.
20 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, kemudian diatur lagi secara khusus
dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 19 tahun 2008
tentang Pedoman Tata Cara Perlindungan Konsumen Pada Kegiatan Usaha Hilir
Minyak dan Gas Bumi dan dilengkapi oleh Permen ESDM No.16 tahun 2011
tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak. Untuk subtansi pengaturannya
dapat dilihat melalui tabel berikut ini:
Tabel Perlindungan Konsumen Hilir Migas
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Undang-
Undang
Migas
Permen ESDM
Pedoman Perlindungan
Konsumen Hilir Migas
Permen ESDM Kegiatan
Penyaluran Bahan Bakar
Minyak
Pasal 4
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa
serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara
Pasal 28
1. Bahan
Bakar
Minyak serta
hasil olahan
tertentu yang
dipasarkan
di dalam
negeri untuk
memenuhi
kebutuhan
masyarakat
wajib
memenuhi
standar dan
mutu yang
ditetapkan
oleh
Pasal 3
Untuk menjaga standar
mutu produk Minyak dan
Gas Bumi dan jasa
pelayanan yang
diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1),
Badan Usaha wajib
memperhatikan hak
Konsumen Hilir Migas
yang meliputi:
a. jaminan kelangsungan
penyediaan dan
pendistribusian produk;
b. standar dan mutu
(spesifikasi) produk
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-
Pasal 4
Penyalur wajib memiliki
sarana dan fasilitas.
Pasal 15
Dalam rangka melakukan
kegiatan penyaluran Bahan
Bakar Minyak, BU-PIUNU
dan Penyalur wajib memenuhi
hak konsumen dan mutu
pelayanan, sebagai berikut:
a. jaminan kelangsungan
penyediaan dan
pendistribusian produk;
b. standar dan mutu
(spesifikasi) Bahan Bakar
Minyak sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan;
35. 31
patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Pemerintah.
2. Harga
Bahan Bakar
Minyak dan
harga Gas
Bumi
diserahkan
pada
mekanisme
persaingan
usaha yang
sehat dan
wajar
undangan;
c. keselamatan,
keamanan dan
kenyamanan;
d. harga pad a tingkat
yang wajar;
e. kesesuaian
takaran/volume/timbanga
n ;
f. jadwal waktu
pelayanan;
g. prosedur dan
mekanisme pelayanan
yang mudah, sederhana
dan diinformasikan
secara luas.
c. keselamatan, keamanan dan
kenyamanan;
d. harga pada tingkat yang
wajar;
e. informasi harga, jumlah
subsidi yang diterima jika
membeli Jenis BBM Tertentu,
dan jadwal pelayanan;
f. kesesuaian
takaran/volume/timbangan;
dan
g. prosedur pelayanan yang
mudah dan sederhana,
termasuk memberikan faktur
atau bukti transaksi lainnya
kepada konsumen pengguna.
Dalam aturan sektoral tersebut (PERMEN ESDM 19/2008 dan 16/2011)
ada pengaturan hak konsumen yang belum diakomodir sebagaimana tercantum
dalam pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, yaitu pengaturan terkait hak
konsumen mendapatkan ganti kerugian, hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif maupun hak pembinaan dan
pendidikan konsumen. Oleh karena itu sebenarnya dapat disimpulkan bahwa hak
konsumen hilir dan migas mencakup diantaranya :
1) Hak atas keselamatan, kenyamanan, dan keamanan baik saat menggunakan
BBM maupun dalam melakukan tranksaksi dan menggunakan fasilitas di
SPBU;
2) Hak atas Informasi harga (Harga yang wajar, info harga yang jelas, jadwal
waktu pelayanan dan info jumlah Subsidi yang diterima);
3) Hak atas standar dan mutu BBM sesuai standar Perundang-undangan;
4) Hak atas jaminan kelangsungan penyediaan dan pendistribusian produk;
5) Hak atas kesesuaian takaran/volume/timbangan;
6) Hak atas faktur atau bukti transaksi lainnya;
7) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan;
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi; dan
36. 32
9) Hak mendapatkan penyelesaian sengketa yang patut (prosedur dan
mekanisme pelayanan yang mudah, sederhana dan diinformasikan secara
luas).
Dalam implementasi perlindungan konsumen hilir minyak dan gas Bumi
di SPBU Pertamina masih banyak yang tidak dijalankan baik itu dalam hal
keamanan di SPBU, Pemenuhan Fasilitas dan sarana pendukung di SPBU seperti
ketersediaan Toilet, musholla dan tempat parkir yang gratis, aman, dan nyaman
sebagaimana hasil temuan Survei YLKI pada yahun 2016 dimana terkait
keberadaan toilet, ternyata hanya 6 SPBU dari 48 SPBU yang memenuhi harapan
(ekspektasi), dan untuk mushala hanya ada 4 SPBU dari 48 SPBU yang
memenuhi harapan (ekspektasi) konsumen, hal lain yang menjadi keluhan
konsumen adalah terkait antrian motor, tempat parkir dan pengenaan biaya parkir,
pelayanan petugas, hal penting lainnya adalah terkait pemberian bukti transaksi
(faktur/struk pembelian) hingga kepastian takaran yang diberikan dalam
pembelian BBM di SPBU.
Dalam implementasi kepastian takaran masih ada saja kasus besar yang
terungkap di masyarakat, baik kasus kecurangan takaran yang dilakukan oleh
SPBU Rempoa, Kasus SPBU di Jawa Barat temuan Polda Jabar, SPBU di
sebagian besar wilayah Pantura temuan Direktorat PKTN Kemendag dan BPH
Migas maupun temuan YLKI dalam Survey pada tahun 2016 yang mendapati 14
nozzle (6.1%) dari 229 Nozzle pada 48 SPBU yang hasil ujinya melebihi
standard batas toleransi PT Pertamina.
Dalam hal ketegasan kesesuaian takaran, pihak Pertamina selaku
pemegang izin usaha niaga BBM terlihat dalam survei yang dilakukan oleh YLKI
dengan didampingi UP Metrologi Provinsi DKI Jakarta sejak 27 September 2017-
22 Oktober 2017 hanya menyegel nozzle yang bermasalah milik Pihak SPBU
(Penyalur) dan tidak ada tindakan tegas seperti memberikan surat peringatan
dengan ditembuskan ke Badan Pengatur, Hiswana Migas maupun Dirjen Migas
sebelum dilakukannya Pemutusan Hubungan Usaha atau bahkan Dirjen Migas
yang mempunyai kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan terlihat
tidak tegas pada Pertamina selaku pemegang izin usaha yang mempunyai
kewajiban dalam hal menjamin dan pertanggungjawaban atas penggunaan
peralatan, keakuratan dan sistem alat ukur yang digunakan memenuhi standard
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (sebagaimana tercantum dalam
37. 33
pasal 34 Permen ESDM No.7 tahun 2005 tentang Persyaratan dan Pedoman
Pelaksanaan Izin Usaha Dalam Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi)
dalam kasus SPBU yang telah terbukti melakukan kecurangan dalam hal takaran
BBM seperti Kasus SPBU Rempoa, sehinga kami menilai Permen ini hanyalah
sebatas aturan terlebih terkait kepastian takaran, implementasi penegakan aturan
masih dinilai kurang tegas dalam penerapannya seperti contoh dalam hal SPBU
yang terbukti tidak sesuai takarannya pihak pemerintah melalui Dirjen Migas
tidak terlihat memberikan sanksi kepada Pertamina selaku Pemegang Izin Usaha
Niaga BBM.
B. Regulasi terkait Ganti rugi kepada Konsumen atas ketidaksesuaian takaran
BBM
Mendapatkan takaran BBM sesuai dengan nilai/harga yang dibeli
merupakan hak konsumen namun dalam hal ketidaksesuaian takaran yang
menimpa konsumen baik dikarenakan ulah operator, system maupun kenakalan
dari manajemen SPBU itu sendiri maka konsumen berhak mendapatkan ganti rugi
yang sesuai dengan kerugian yang konsumen rasakan namun faktanya dalam
regulasi atau peraturan perundang-undangan yang ada, aturan yang mengatur
dengan jelas terkait ganti rugi kepada konsumen hanya ada dan dijelaskan dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen sedangkan di dalam Undang-Undang
terkait Konsumen Hilir dan Migas seperti UU No. 20 tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi, UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral No. 19 tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara
Perlindungan Konsumen Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, oleh
Permen ESDM No.16 tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar
Minyak maupun SK DJPDN nomor 37/PDN/KEP/3/2010 tentang syarat teknis
meter arus volumentrik hanyalah mengatur terkait toleransi takaran, larangan
ketidaksesuaian takaran hingga sanksi pidana maupun sanksi administrasi. Bahwa
jaminan perlindungan lebih banyak yang tegas terkait pelanggaran hak konsumen
atas mutu namun tidak untuk hal yang terkait dengan takaran BBM aturan terkait
takaran pun sebatas aturan kewajiban sesuai takaran yang dibeli konsumen namun
bukan pada aturan terkait mekanisme ganti rugi sebagai hak konsumen yang
38. 34
dilanggar sedangkan dari sisi Pertamina sendiri belum mempunyai mekanisme
khusus ganti rugi kepada konsumen apabila konsumen dirugikan dan kasus
kecurangan takaran telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkraht)36
sedangkan
di sisi lain menurut Luluk Sumiarso (Dirjen Migas Kementerian ESDM Periode
2008) dalam Expert Meeting mengungkapkan bahwa ganti rugi kepada konsumen
atas ketidaksesuaian takaran adalah hak konsumen dan kewajiban Pertamina
mengatur mekanisme ganti kerugian tersebut.
Secara tidak langsung konsumen dibiarkan menempuh jalur Peradilan
dengan melakukan gugatan perdata (PMH) maupun dengan melakukan gugatan
class action jika menginginkan adanya ganti kerugian dari pelaku usaha (SPBU
maupun Pertamina) atas ketidaksesuaian takaran BBM yang diterima konsumen.
C. Kecurangan Takaran BBM dan Instrumen Hukumnya
1. Instrumen Hukum Tuntutan Ganti Rugi
Dalam penyelenggaraan usaha hilir Minyak dan Gas Bumi (Migas),
takaran merupakan faktor terpenting dalam transaksi jual-beli antara badan usaha
(Pertamina dan SPBU rekanan) dengan konsumen akhir (masyarakat). Menurut
KBBI, takaran adalah ukuran atau alat untuk menakar.
Dalam urusan niaga (perdagangan) secara umum, UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur perihal takaran. Setidaknya ada 3
(tiga) pasal yang menjamin hak konsumen perihal takaran, yakni pasal 4 (hak
konsumen untuk mendapatkan barang sesuai nilai tukar dan yang diperjanjikan) ,
pasal 7 (kewajiban pelaku usaha menjamin mutu berdasarkan standar yang
berlaku) , dan pasal 8 (larangan pelaku usaha memperdagangkan barang tidak
sesuai dengan jumlah ukuran yang dinyatakan dalam label atau etiket barang)
Pengaturan didalam UU Perlindungan Konsumen tersebut kemudian
menjadi semacam payung hukum (umbrella act) yang mengatur secara umum dan
menyerahkan pengawasan secara teknis kepada kementerian teknis terkait (Pasal
30 ayat 2 UU Perlindungan Konsumen) dengan mengacu kepada UU
Perlindungan Konsumen sebagai norma yang wajib dihormati dan dipatuhi.
Atas dasar ketentuan tersebut, maka pengawasan dan penegakan aturan
dalam konteks Perlindungan Konsumen di sector usaha Hilir Migas, berada
36
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yudi Nugraha Manajer Marketing dan Komunikasi
Pertamina MOR III pada Senin 23 Oktober 2017
39. 35
dibawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) sebagai
kementerian teknis yang terkait dengan pengelolaan dan distribusi BBM kepada
masyarakat.
PP No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas
Bumi, telah menjelaskan bahwa menteri bertanggungjawab atas perizinan,
pembinaan dan pengawasan terhadap jenis, standar dan mutu BBM dan
pelaksanaan izin usaha yang diberikan.
Berdasarkan data lapangan dan kasus yang ditemui, pengurangan takaran
oleh badan usaha, khususnya Pertamina dan SPBU rekanannya, masih banyak
ditemui. Penyebabnya bervariasi, karena beragam modus kecurangan atau faktor
teknis yang berada diluar jangkauan badan usaha.
Secara umum, ada 3 (tiga) dimensi hukum yang mengikat perihal
pengurangan BBM, yakni dimensi hukum pidana, keperdataan dan administrasi
negara.
a) Dimensi Hukum Pidana
Dalam tata hukum pidana di Indonesia, ketentuan pidana secara
umum digolongkan kedalam dua bagian, yakni pidana umum dan pidana
khusus. Tindak pidana umum meruapakan delik pidana yang pengaturan
dan ruang lingkupnya diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana). Sedangkan, tindak pidana khusus adalah delik pidana
yang pengaturan dan ruang lingkupnya berada di luar KUHP.
Dalam kasus pengurangan takaran BBM, yang diakibatkan oleh
kecurangan badan usaha, delik yang memungkinkan untuk diterapkan
adalah delik perlindungan konsumen yang diatur dalam UU Perlindungan
Konsumen dan delik terkait pelanggaran ketentuan UU No. 2 Tahun 1981
tentang Metrologi Legal.
Dari sudut pandang perlindungan konsumen, pengurangan takaran
BBM yang diterima oleh konsumen merupakan pelanggaran terhadap
pasal 4, pasal 7 dan pasal 8 UU Perlindungan Konsumen, yang diancam
dengan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp. 2 Miliar.
Kemudian, jika melihat ketentuan didalam UU Metrologi Legal,
kecurangan takaran dilarang melalui pasal 25 (larangan penggunaan alat
ukur yang menyimpan), pasal 28 (larangan penggunaan alat ukur yang
40. 36
kurang dari batas terendah) dan pasal 30 (larangan memperdagangkan
produk yang tidak sesuai dengan takaran).
Sanksi terhadap ketentuan tersebut, sebagaimana diatur dalam pasal
32 ayat 1 dan ayat 2, berupa ancaman pidana masing-masing paling lama
1 tahun penjara atau denda Rp 1 Juta; dan 6 bulan penjara atau denda Rp.
500 ribu Secara khusus, aturan perihal kecurangan takaran oleh badan
usaha justru tidak diatur dalam UU Migas. Tindak pidana yang diatur
dalam pasal 55 UU Migas hanya sebatas larangan penyalahgunaan niaga,
yang sebatas pengoplosan BBM, penyimpangan alokasi dan
penyelundupan BBM keluar negeri.
Jika mengacu pada pasal 30 UU Perlindungan Konsumen,
pengaturan teknis dan pengawasan perlindungan konsumen diserahkan
pada kementerian teknis terkait. Sayangnya, UU Migas tidak mengatur
ketentuan pidana atas kecurangan takaran yang mungkin dilakukan.
Ancaman pidana dalam UU Migas paling jauh menjangkau larangan
penyalahgunaan niaga, yang sebatas pengoplosan BBM, penyimpangan
alokasi dan penyelundupan BBM keluar negeri yang diatur pada pasal 55
UU Migas.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, “apakah instrumen
pemidanaan yang telah ada tersebut dapat menciptakan ketertiban,
keteraturan dan keadilan dalam kegiatan distribusi BBM?”. Pertanyaan
tersebut tentunya mencuat tatkala melihat kasus kecurangan takaran
terakhir menggunakan UU Metrologi Legal dengan ancaman hukuman
(hanya) 1 tahun sebagai pisau analisis dan dasar dakwaan kepada pelaku
kecurangan.
Jika dilihat secara umum, tujuan pemidanaan adalah sebagai bentuk
pembalasan (teori absolut), pencegahan (teori relatif), atau gabungan dari
keduanya (teori integrative). Sebagai pembalasan, pemidanaan dijatuhkan
sebagai bentuk balasan bagi pelaku kejahatan secara setimpal untuk
mengembalikan kerugian masyarakat.
Andi Hamzah berpendapat bahwa, Pidana tidak bertujuan untuk
memperbaiki penjahat. Kejahatan itulah yang mengandung unsur
41. 37
dijatuhkannya pidana secara mutlak sehingga tidak perlu memikirkan
manfaat pemidanaan.37
Sebaliknya, sebagai pencegahan, pemidanaan wajib mengedepankan
unsur pemanfaatan. Dimana setiap sanksi pidana yang dijatuhkan haruslah
bermanfaat tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi pelaku kejahatan
untuk memperbaiki individu pelaku dan memberi efek jera.
Jika dianalisa berdasarkan tujuan pemidanaan tersebut, penerapan
sanksi pemidanaan didalam UU Metrologi Legal terhadap kasus
kecurangan takaran BBM tentu tidak dapat dikatakan setimpal untuk
membalas kejahatan dan dampak kejahatan yang dilakukan. Di sisi lain,
sanksi pidana dalam bentuk penjara maksimal 1 (satu) tahun, tentu tidak
memberikan manfaat kepada masyarakat (memberi efek jera dan
mencegah orang lain melakukan tindak pidana).
Sehingga jika ditelisik melalui dimensi hukum pidana, instrumen
hukum yang tersedia tidak dapat dikatakan efektif dalam membalas dan
memberikan efek jera bagi siapapun untuk mengulangi tindakan
kecurangan takaran yang merugikan konsumen. Negara sudah seharusnya
mengedepankan Politik Hukum Pidana-nya yang memprioritaskan
efektivitas tujuan pemidanaan.
Mengingat sanksi pidana hanya bisa diatur melalui Undang-Undang
dan Peraturan Daerah, maka wacana memasukkan ketentuan ini kedalam
revisi UU Migas/Metrologi Legal/Perlindungan Konsumen perlu
dipikirkan dengan serius guna mewujudkan Indonesia sebagai negara
hukum yang menjamin keadilan dan ketertiban.
b) Dimensi Hukum Keperdataan
Berdasarkan tata urutan perundang-undangan di Indonesia,
ketentuan pidana hanya bisa diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan
Daerah (Perda). Secara filosofis, Undang-Undang dan Perda merupakan
peraturan ynag pembentukannya melibatkan interaksi antara masyarakat
dan Negara sehingga dipandang sebagai consensus yang lahir dari
kesepakatan luhur antara Negara dengan rakyatnya.
37
Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Bandung: Bina
Cipta,1992)
42. 38
Maka dari itu, akibat mekanisme politik yang terlalu kompleks,
penyelesaian permasalahan kerugian konsumen akibat kecurangan takaran
BBM, sangat sulit dan tidak efektif jika digantungkan pada mekanisme
pidana. Salah satu instrumen hukum selain pidana yang dapat ditempuh
konsumen adalah melalui mekanisme keperdataan, melalui gugatan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Istilah PMH sendiri dikenal didalam pasal 1365 KUH Perdata,
bahwa “Tiap Perbuatan yang Melanggar Hukum dan Membawa Kerugian
Orang Lain Mewajibkan Orang yang Menimbulkan Kerugian itu karena
Kesalahannya untuk Mengganti Kerugian Tersebut”.
Menurut Rosa Agustina, suatu perbuatan dapat dikategorikan
sebagai PMH jika:38
1. Bertentangan dengan hak subyektif orang lain
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian
Atas PMH yang dilakukan, pelaku wajib memberikan ganti rugi
karena perbuatannya. Berbeda dengan ganti rugi pada wanprestasi, dalam
ganti rugi yang didasarkan PMH tidak mengenal istilah bunga dan denda
sebagaimana diatur dalam pasal 1246 KUH Perdata.
Ganti rugi dalam PMH, dikenal dalam istilah ganti rugi materiil dan
ganti rugi imateriil. Ganti rugi materiil sendiri adalah penggantian atas
kerugian yang nyata diterima oleh pemohon, sedangkan ganti rugi
imateriil adalah penggantian atas hilangnya manfaat yang kemungkinan
akan diterima oleh pemohon dikemudian hari.39
Maka dari itu, konsumen sebagai pihak yang dirugikan atas PMH
yang dilakukan badan usaha berhak untuk menuntut dan memperjuangkan
haknya melalui pengadilan. Akan tetapi konsumen sendiri cukup kesulitan
dalam memperjuangkan haknya melalui pranata hukum yang tersedia.
38
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, 2003, Depok: Pascasarjana FHUI, hal. 117
39
Diakses melalui http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4da27259c45b9/di-mana-pengaturan-
kerugian-konsekuensial-dalam-hukum-indonesia pada 30 Oktober 2017
43. 39
Setidaknya ada 3 (tiga) factor yang menyebabkan hal tersebut.
Pertama, konsumen tidak memiliki bukti yang cukup untuk
memperjuangkan haknya; Kedua, Nilai sengketa tidak sebanding dengan
biaya yang dikeluarkan; Ketiga, Waktu dan tenaga yang dikorbankan
sangat besar.
c) Dimensi Hukum Administrasi
Menurut pasal 30 ayat 2 UU Perlindungan Konsumen, pelaksanaan
dan pengawasan perlindungan konsumen berada dibawah kementerian
teknis terkait. Maka, secara administrasi, upaya perlindungan konsumen
atas kecurangan takaran BBM diatur dalam regulasi dibawah UU Migas
dan didalam domain Kementerian ESDM.
Dalam kegiatan distribusi usaha hilir BBM, Badan Usaha Pemegang
Izin Usaha Niaga Umum (BU-PIUNU) wajib mematuhi beragam
ketentuan, dalam bentuk kewajiban dan larangan, yang diatur melalui
regulasi teknis dibawah UU Migas, diantaranya:
a. PP No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Migas
b. Permen ESDM No. 19 Tahun 2008 tentang Pedoman dan Tata Cara
Perlindungan Konsumen Pada Kegiatan Usaha Hilir Migas
c. Permen ESDM No. 16 Tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran
Bahan Bakar Minyak
d. Permen ESDM No. 7 Tahun 2005 tentang Persyaratan dan Pedoman
Pelaksanaan Izin Usaha dalam Kegiatan Usaha Hilir Migas.
Berdasarkan ketentuan diatas, kewajiban dan larangan yang
mengikat bagi BU-PIUNU secara umum adalah perihal:
a. Ketersediaan BBM
b. Harga jual yang wajar
c. Fasilitas niaga yang memadai
d. Menjamin standar dan mutu produk
e. Menjamin keakuratan dan alat ukur yang digunakan
f. Menjamin penggunaan alat sesuai dengan standar
Selain ketentuan umum diatas yang wajib dipatuhi oleh BU-
PIUNU, beberapa ketentuan khusus juga wajib dipatuhi, seperti aspek
44. 40
perizinan, kegiatan distribusi melalui penyalur, standar mutu dan
pelayanan konsumen, dan beberapa aspek khusus lain.
Secara materiil muatan materi yang diatur dalam ketentuan teknis
sudah cukup baik dalam menjamin tahapan-tahapan usaha hilir Migas.
Kendalanya, regulasi yang baik ternyata tidak diimbangi dengan
implementasi dan pengawasan yang baik oleh badan usaha.
Pertamina sebagai BU-PIUNU seringkali tidak mampu untuk
mengendalikan dan melakukan quality control terhadap kegiatan usaha
hilir Migas, khususnya dalam hal penyaluran skala kecil kepada rumah
tangga. Salah satu contoh ketidakmampuan Pertamina adalah kelalaian
dan pelanggaran terhadap hak konsumen dan mutu pelayanan yang
dijamin dalam pasal 15 Permen ESDM No. 16 Tahun 2011 tentang
Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak.
Kelalaian yang dimaksud sekurang-kurangnya meliputi, penyaluran
oleh BU-PIUNU wajib memenuhi hak konsumen atas keselamatan,
kenyamanan dan keamanan; kesesuaian takaran; dan prosedur pelayanan
yang mudah dan sederhana termasuk pemberian faktur/bukti transaksi.
Nyatanya, berdasarkan fakta yang ditemukan dilapangan seringkali
takaran yang diterima konsumen tidak sesuai, fasilitas yang ada tidak
nyaman dan aman, bahkan tidak tersedia bukti pembayaran dan transaksi.
Audit yang selama ini dilakukan, baik internal BU-PIUNU maupun
pemerintah, terbukti tidak efektif dalam menjaga kepatuhan terhadap
aturan yang ada. Hal tersebut kemudian ditambah dengan minimnya
ketegasan pemerintah dalam menindak BU-PIUNU yang melanggar
ketentuan tersebut.
Pemerintah kemudian seolah tidak berani dalam menjatuhkan
sanksi administrative secara tegas kepada BU-PIUNU yang terbukti
melakukan pelanggaran berulang kali. Tangga urutan sanksi administrasi
seakan tidak diberlakukan oleh pemerintah dalam menindak pelanggaran
administrasi.
Menurut James Wilson, melalui teori Jendela Pecah, dimana
pembiaran terhadap kejahatan dan pelanggaran kecil secara terus menerus
akan mendoreong orang lain untuk melakukan kejahatan dan pelanggaran
serupa atau bahkan kejahatan yang lebih besar. Kata kunci dari teori
45. 41
tersebut adalah Pembiaran, dimana pembiaran atas pelanggaran
administrasi yang selama ini terjadi akan membawa efek domino terhadap
kebiasaan melakukan pelanggaran yang celakanya akan dipandang
sebagai sesuatu yang dapat dimaklumi.
Maka dari itu, pemerintah dan BU-PIUNU harus bertindak tegas
dan berani dalam menjatuhkan sanksi administrasi, tidak hanya dalam
bentuk teguran melainkan pembekuan operasi atau bahkan pencabutan
izin operasi bagi penyalur yang melakukan pelanggaran.
2. Konsep Pertanggungjawaban Pelaku Usaha atas Pengurangan takaran
BBM
Sebagai bagian dari usaha hilir, distribusi dan penyaluran migas tunduk
pada segala aturan usaha hilir Migas yang dikeluarkan oleh Kementerian
ESDM. Salah satu aturan yang wajib dipatuhi adalah ketentuan pasal 34 huruf
h Permen ESDM No. 7 Tahun 2005 tentang Persyaratan dan Pedoman
Pelaksanaan Izin Usaha dalam Kegiatan Usaha Hilir Migas,
Pasal tersebut pada intinya menegaskan bahwa Badan Usaha hanya
boleh melakukan penyaluran secara langsung paling banyak 20% dari volume
BBM yang disalurkan atau dari seluruh sarana dan fasilitas yang
dimiliki/dikelola sedangkan sisanya hanya dapat dilakukan oleh penyalur.
Ketentuan tersebutlah yang kemudian mendorong Pertamina sebagai
BU-PIUNU untuk membuka keran kerjasama dengan pihak ketiga dalam
penyaluran BBM sehingga melahirkan perbedaan pengelolaan dan
kepemilikan antara SPBU COCO (Corporate Owned Corporated Operated),
CODO (Coorporate Owned Dealer Operated), dan DODO (Dealer Owned
Dealer Operated).
Hubungan hukum antara Pertamina dengan pihak ketiga dituangkan
melalui sebuah hubungan perjanjian, dimana sebagai bntuk lain dari perikatan,
perjanjian tersebut bermaksud agar para pihak saling mengikatkan diri satu
sama lain. Konsekuensi hukum dari adanya perikatan tersebut dijelaskan
dalam pasal 1338 KUH Perdata, dimana setiap perikatan yang dibuat berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Jika dilihat berdasarkan karakteristiknya, hubungan hukum antara
Pertamina dengan pihak ketiga dalam bentuk Perjanjian Kerja Sama (PKS)
46. 42
adalah sebuah hubungan waralaba (franchise). Menurut Pasal 1 PP No. 42
Tahun 2007, Waralaba adalah Hak Khusus yang dimiliki oleh perseorangan
atau badan usaha terhadap system bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat
dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian.
Sebagaimana karakteristik waralaba pada umumnya, hubungan
kontraktual antara Pertamina dengan pihak ketiga disertai dengan penyerahan
kuasa penggunaan merek dagang serta proses bisnis (business process) yang
didukung dengan bantuan teknis secara berkelanjutan.
Proses bisnis yang kemudian di-baku-kan oleh Pertamina sebagai
Franchisor merupakan bagian tidak terpisahkan dalam penyerahan kuasa
penggunaan merek. Hal ini mengingat, nama baik merek menjadi komoditas
utama dalam perjanjian kerjasama waralaba.
Salah satu konsekuensi dari pilihan Pertamina menggunakan waralaba
sebagai metode penyaluran BBM kepada masyarakat adalah penurunan
reputasi dan citra merek Pertamina. Hal ini tidak terlepas dari sulitnya
melakukan control dan pengawasan terhadap pihak ketiga (franchisee) sebagai
pemegang hak atas merek.
Pertamina Way sebagai business process yang ditujukan untuk
menjaga kualitas pelayanan dan citra merek terbukti belum mampu mengatasi
permasalahan yang terjadi dilapangan, khususnya terkait indikasi pengurangan
takaran, kualitas pelayanan (services), dan ketersediaan fasilitas dan sarana.
Khusus terkait indikasi pengurangan takaran, masyarakat dan
konsumen pada umumnya belum merasa terlindungi oleh instrumen hukum
yang ada atas pengurangan takaran BBM. Instrumen hukum yang ada selama
ini masih bersifat represif dibandingkan instrumen yang sifatnya preventif.
Secara teoritis, pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap produknya
digolongkan kedalam 3 (tiga) kelompok, yakni tanggung jawab mutlak (strict
liability), tanggung jawab atas dasar kesalahan (negligence liability), dan
tanggungjawab berdasarkan ingkar janji (breach of warranty).40
Sedangkan berdasarkan aspek legalitas yang diakui di Indonesia, UU
Perlindungan Konsumen mengadopsi system pertanggung jawaban pelaku
40
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen:Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab, (Depok:
Propgram Pascasarjana FHUI, 2004) hal. 11
47. 43
usaha atas dasar kesalahan (negliance liability). Dalam pasal 19 ayat 4
dijelaskan bahwa dalam rezim UU No. 8 Tahun 1999, dalam hal kerugian
konsumen, pelaku usaha dibebankan asas praduga bersalah (presumption of
negligence) sehingga menganut asas pembuktian terbalik bagi pelaku usaha
untuk membantah praduga yang dibebankan kepadanya dengan membuktikan
kesalahan konsumen.
Pasal 24 ayat 2 UU Perlindungan Konsumen, juga menguatkan
argumentasi tersebut, dimana pelaku usaha dikecualikan dari
pertanggungjawaban apabila kerugian yang diakibatkan oleh perubahan
produk dilakukan oleh pelaku usaha lain (perantara). Sistem
pertanggungjawaban yang demikian itu telah menegaskan posisi Pertamina
yang dilepaskan dari beban tanggungjawab pelaku usaha secara hukum.
Meskipun tidak bertanggungjawab secara hukum atas praktek
pengurangan takaran, Pertamina tetap harus bertanggungjawab secara etis
karena bagaimanapun yang dipahami oleh masyarakat awam, khususnya
konsumen, adalah pengurangan takaran dilakukan oleh pemerintah yang bila
tidak segera dipikirkan penyelesaiannya dapat berdampak negative pada citra
dan nama baik merk dagang Pertamina.
Mencurangi takaran BBM adalah suatu perbuatan yang tidak dapat
dibuktikan langsung secara kasat mata tanpa adanya bantuan alat, yaitu bejana
ukur sebagaimana standar yang ditentukan oleh Badan Metrologi.
Dalam kasus kecurangan takaran yang sifatnya kasuisitik tidak
menimbulkan banyak konsumen yang dirugikan maka metode permintaan
ganti kerugiannya cukuplah mudah, yakni jika jelas terbukti telah terjadi
ketidaksesuaian takaran oleh pihak SPBU maka konsumen dapat meminta
ganti kerugian secara langsung kepada SPBU yang bersangkutan atau bahkan
dengan meminta bantuan PT Pertamina untuk ganti kerugian tersebut.
Sedangkan jika kasus kecurangan takaran adalah kasus yang sistemik atas
dasar kesengajaan serta melibatkan banyak korban yang dirugikan dan baru
diungkap beberapa minggu/bulan bahkan tahun setelah SPBU tersebut
mempraktekan tindakan kejahatan mengurangi takaran maka sebenarnya ada
beberapa cara yang bisa dilakukan oleh konsumen, diantaranya :
48. 44
No. Sarana Mekanisme Ganti Rugi Kelemahan
1 Meminta bantuan BPSK/PN dengan
gugatan Perbuatan Melawan
Hukum
1. Pembuktian konsumen yang dirugikan sangat sulit membuktikan di
pengadilan dikarenakan tidak semua konsumen menyimpan alat bukti
transaksi di SPBU tersebut
2. Biaya yang tidak murah
3. Waktu yang cukup lama
2 Melakukan gugatan class action 1. Membutuhkan effort yang cukup besar untuk pengorganisasian
kelompok representative
2. Tidak semua konsumen menyimpan alat bukti transaksi di SPBU
3 Melalui putusan hakim dalam
sidang Pidana sebagai hukuman
tambahan
Masih jarang hakim ataupun jaksa yang memuat hukuman tambahan
berupa ganti rugi dalam putusan maupun dakwaannya
4 Melalui gugatan sederhana 1. Terbatas pada tuntutan ganti kerugian Rp 200.000.000,-
2. Terbatas pada Domisili konsumen yang tersebar
3. Tidak semua konsumen dapat hadir dalam sidang
5 Penjaminan (Garansi Takaran)
dengan premi penjaminan dan
disahkan melalui Keputusan
/Peraturan Menteri
1. Dapat dimanfaatkan oleh oknum SPBU nakal untuk menjadikan
ketentuan ini sebagai dilegalkannya melakukan kecurangan takaran
2. Belum ada regulasi yang mengatur
Tanpa adanya langkah strategis yang tepat, maka tidak menutup
kemungkinan bahwa Pertamina akan ditinggalkan konsumen seiring
berjalannya waktu. Maka dari itu perlu adanya konsep pertanggungjawaban
yang dapat dilakukan Pertamina berdasarkan kewenangannya untuk
mempertanggungjawabkan kerugian konsumen akibat pengurangan takaran
yang sering dilakukan.
Perlu diakui bahwa selama ini Pertamina memang mengalami kesulitan
untuk bertanggungjawab atas kerugian konsumen, khususnya dalam
memberikan ganti kerugian. Menurut catatan kami, kesulitan tersebut
diantaranya disebabkan oleh:
1. Tingginya frekuensi dan mobilitas konsumen yang melakukan
transaksi
2. tidak ada catatan transaksi penjualan oleh pelaku usaha secara spesifik
3. Minimnya bukti transaksi yang dimiliki oleh konsumen
4. Biaya yang harus dikeluarkan bisa jadi lebih besar ketimbang total
ganti kerugian
49. 45
Akibatnya, konsep pemberian ganti kerugian secara perorangan dirasa
sangat menyulitkan untuk direalisasikan tidak hanya oleh pelaku usaha, tetapi
juga bagi konsumen dalam mengajukan klaim. Salah satu konsep pemberian
ganti rugi yang perlu dikaji penerapannya adalah pemberian ganti rugi secara
kelompok (komunal).
Persepsi yang memandang konsumen sebagai kelompok (komunal)
diakui dalam system hukum perlindungan konsumen di Indonesia melalui
pasal 46 UU Perlindungan Konsumen. Dalam ketentuan tersebut, sebagai
kelompok, konsumen dipandang sebagai subjek hukum yang memiliki legal
standing dalam memperjuangkan hak-haknya. Salah satu karakteristik yang
harus dipenuhi manakala konsumen dapat dipandang sebagai kelompok,
adalah banyaknya jumlah anggota; adanya kesamaan fakta/peristiwa dan dasar
hukum; serta kejujuran dari wakil kelompok yang ditunjuk.41
Sedangkan terhadap ganti rugi secara komunal, selama ini dipandang
sebagai ganti rugi terhadap gugatan kelompok (class action) dimana ganti rugi
ditetapkan oleh majelis hakim melalui pembentukan Komite Pembayaran
Ganti Rugi (KPGR) yang bersifat ad hoc terhadap kasus-kasus tertentu yang
disahkan dan diawasi oleh majelis hakim dengan tugas:42
1. Melakukan verifikasi terhadap dokumen milik konsumen
2. Melakukan distribusi ganti kerugian kepada konsumen; dan
3. Melakukan penyusunan laporan kepada majelis hakim
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, upaya class action
semacam ini, disatu sisi menyulitkan bagi konsumen karena memerlukan
proses yang panjang, biaya yang besar, dan sulitnya beban pembuktian. Disisi
lain, bagi pengelola SPBU dan Pertamina, hal tersebut juga sama
menyulitkannya, mengingat biaya yang harus dikeluarkan dalam upaya
persidangan sampai mendapat putusan pengadilan yang inkracht juga tidak
sedikit.
Maka dari itu, perlu ada penyederhanaan agar hal semacam ini menjadi
semacam win-win solution, dimana hak konsumen disatu sisi dipenuhi dan
disisi lain tidak membebani para pihak, baik dari sisi energy, waktu hingga
41
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2014), hal. 336
42
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, , hal. 355-
356