1. PENDEKATAN DAN MODEL-MODEL PEMBELAJARAN DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Pada unit ketiga ini, penulis memfokuskan pada model-model pembelajaran
berdasarkan masalah. Hal ini didasarkan pada beberapa hal yaitu esensi kurikulum 2013 yang
saat ini diterapkan, hakikat matematika dan pandangan psikologi modern.
Esensi kurikulum 2013 bermuara pada perubahan paradigma pada setiap bidang disiplin
ilmu, salah satunya matematika. Beberapa perubahan paradigma tersebut mengarah proses
pembelajaran matematika di sekolah. Pada proses pembelajaran, pembelajaran didesain untuk
membelajarkan siswa. Artinya, sistem pembelajaran menempatkan siswa sebagi subyek
belajar, pembelajaran berorientasi pada aktivitas siswa. Sesuai kurikulum yang berlaku,
penekanan aktivitas siswa meliputi kegiatan mengamati, menanya, mencoba, menalar,
menyaji, dan mencipta, aktivitas ini menghendaki siswa untuk menemukan kembali rumus
dan permasalahan yang diajukan oleh guru harus diawali dari pengamatan permasalahan
konkret, kemudian ke semi konkret, dan akhirnya abstraksi permasalahan yang bertujuan agar
siswa mampu berfikir kritis untuk menyelesaikan permasalahan.
Berdasarkan pandangan psikologi modern, belajar bukan hanya sekedar menghafal
sejumlah fakta atau informasi, tepapi peristiwa mental dan proses pengalaman. Oleh
karenanya, setiap peristiwa pembelajaran menuntut keterlibatan intelektual-emosional siswa
melalui asimilasi dan akomodasi kognitif untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan
dan pembentukan sikap.
Ketiga dasar tersebut relevan dengan model pembelajaran berbasis masalah. Model
pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan
pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan
yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata. Masalah nyata
disajikan dengan maksud agar siswa mampu memproses informasi yang sudah jadi dalam
benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sekitar mereka,
membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan pemecahan
masalah, mengembangkan kemandirian dan percaya diri.
Pada modul ketiga ini, model-model pembelajaran berdasarkan masalah yang dapat
diterapkan dalam pembelajaran matematika diantaranya meliputi pendekatan scientific,
Contextual Teaching and Learning, Discovery Learning, Problem Based Learning, Project
Based Learning, Problem Solving Learning, Problem Posing Learning, Creative Problem
Solving, Open Ended Learning, Problem Prompting.
2. Setelah mempelajari dan mengkaji modul ketiga ini, mahasiswa diharapkan mampu
“Menjelaskan model-model pembelajaran berorientasi masalah dan implementasinya dalam
pembelajaran matematika”
A. PENDEKATAN SCIENTIFIC/PENDEKATAN ILMIAH
Kurikulum 2013 mengamanatkan pendekatan ilmiah dalam pembelajaran. Pendekatan
ilmiah merupakan suatu cara atau mekanisme pembelajaran untuk memfasilitasi siswa agar
mendapatkan pengetahuan atau keterampilan dengan prosedur yang didasarkan pada suatu
metode ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini.
1. Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat
dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan,
legenda, atau dongeng semata.
2. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari pemikiran
subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam
mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau
materi pembelajaran.
4. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan,
kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
5. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan
mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau
materi pembelajaran.
6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem
penyajiannya.
Proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara
kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki
kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari siswa yang meliputi
aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Menurut Permendikbud no. 81 A Tahun 2013 lampiran IV tentang Pedoman Umum
Pembelajaran dinyatakan bahwa Proses pembelajaran terdiri atas lima kegiatan atau kegiatan
pokok yaitu: 1) mengamati; 2) menanya; 3) mengumpulkan informasi; 4) mengasosiasi; 5)
mengkomunikasikan.
3. 1. Mengamati
Kegiatan ‘mengamati’ mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran
(meaningfull learning). Kegiatan ‘mengamati’ diharapkan dapat memfasilitasi siswa dalam
mengembangkan dan melatih kesungguhan, ketelitian, dan kemampuan mencari informasi.
Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode
observasi/mengamati siswa menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang
dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah
seperti berikut ini.
1) Menentukan objek apa yang akan diobservasi
2) Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi
3) Menentukan secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun
sekunder
4) Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi
5) Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data
agar berjalan mudah dan lancar
6) Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan
buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan mengamati dalam mata pelajaran matematika dapat dikelompokkan dalam
dua macam kegiatan yang masing-masing mempunyai ciri berbeda, yaitu: a) mengamati
fenomena hal-hal yang dapat disaksikan dengan panca indera dan dapat diterangkan serta
dinilai secara ilmiah dalam lingkungan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan objek
matematika tertentu, b) mengamati objek matematika yang abstrak.
a. Mengamati fenomena di lingkungan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan
topik matematika tertentu
Fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat
dijelaskan serta dinilai secara ilmiah. Melakukan pengamatan terhadap fenomena dalam
lingkungan kehidupan sehari-hari tepat dilakukan ketika siswa belajar hal-hal yang terkait
dengan topik-topik matematika yang pembahasannya dapat dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari secara langsung. Fenomena yang diamati akan menghasilkan pernyataan yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pernyataan tersebut dituangkan dalam bahasa
matematika atau menjadi pemicu pembahasan objek matematika yang abstrak.
b. Mengamati objek matematika yang abstrak
4. Kegiatan mengamati objek matematika yang abstrak sangat cocok untuk siswa yang
mulai menerima kebenaran logis. Siswa tidak mempermasalahkan kebenaran pengetahuan
yang diperoleh, walaupun tidak diawali dengan pengamatan terhadap fenomena. Kegiatan
mengamati seperti ini lebih tepat dikatakan sebagai kegiatan mengumpulkan dan memahami
kebenaran objek matematika yang abstrak. Hasil pengamatan dapat berupa definisi, aksioma,
postulat, teorema, sifat, grafik, dll.
2. Menanya
Kegiatan belajar menanya dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan tentang
informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan
informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke
pertanyaan yang bersifat hipotetik). Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat
tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan
tanggapan verbal.
Agar proses menanya oleh siswa semakin hari semakin lancar dan berkualitas, guru
dapat memfasilitasi dengan pancingan pertanyaan-pertanyaan yang berfungsi menggiring
atau mengarahkan siswa agar mempertanyakan hal-hal yang diamati. Pertanyaan yang
dilontarkan guru adalah pertanyaan yang terarah dan mengacu pada tujuan pembelajaran.
Pertanyaan itu berfungsi sebagai penuntun.
Pertanyaan penuntun disusun dari yang mudah ke yang sulit dan muatannya relevan
dengan fenomena yang diamati dan jawabannya dapat memfasilitasi siswa agar mudah dalam
memperoleh pengetahuan atau keterampilan yang disiswai sesuai dengan tujuan
pembelajarannya. Pertanyaan penuntun seperti itu diharapkan dapat menumbuhkan
keingintahuan siswa dan mendorong munculnya pertanyaan-pertanyan pada diri siswa.
Berhubung objek kajian matematika yang disiswai siswa bersifat abstrak, sehingga
memerlukan langkah pedagogis yang tepat, maka menjadi penting keberadaan dari
pertanyaan penuntun demi terwujudnya proses pembelajaran mengamati dan menanya yang
berkualitas dan efektif.
Dalam hal mempelajari keterampilan berprosedur matematika, kecenderungan yang
ada sekarang adalah siswa gagal menyelesaikan suatu masalah matematika jika konteksnya
berbeda, walupun hanya sedikit perbedaannya. Ini terjadi karena siswa cenderung menghafal
algoritma atau prosedur tertentu. Pada diri siswa tidak terbangun kreativitas dalam
berprosedur. Kreativitas berprosedur dapat dibangkitkan dari pemberian pertanyaan yang
tepat. Pertanyaan-pertanyaan didesain agar siswa dapat berpikir tentang alternatif-alternatif
jawaban atau alternatif-alternatif cara berprosedur. Dalam hal ini guru diharapkan agar
5. menahan diri untuk tidak memberi tahu jawaban pertanyaan. Apabila terjadi kendala dalam
proses menjawab pertanyaan, atau diprediksi terjadi kendala dalam menjawab pertanyaan,
guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan secara bertahap yang mengarah pada
diperolehnya jawaban pertanyaan oleh siswa sendiri. Di sinilah peran guru dalam
memberikan scaffolding atau ‘pengungkit’ untuk memaksimalkan ZPD pada siswa.
Pertanyaan penuntun yang tepat dari guru akan membimbing dan menggiring siswa mampu
menanya dan mempertanyakan informasi pada yang diamati.
Pembiasaan terhadap siswa untuk bertanya diharapkan mampu memfasilitasi
berkembang dan terbangunnya sikap ingin tahu yang tinggi, kritis, logis dan kreatif dan
menghargai pikiran atau pendapat orang lain. Melalui pengalaman menanya dan
mempertanyakan, siswa diharapkan terasah kemampuan memformulasikan pertanyaan yang
hal itu akan berdampak pada terampilnya kemampuan merumuskan masalah.
3. Mengumpulkan informasi
Kegiatan mengumpulkan informasi diperoleh antara lain melalui kegiatan melakukan
eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/kejadian/aktivitas,
melakukan wawancara dengan narasumber. Dari kegiatan mengumpulkan informasi ini akan
diperoleh data yang selanjutnya siap diolah, misalnya dengan dihubung-hubungkan data yang
satu dengan data lainnya (diasosiasikan), dianalisis dan dinalar, sehingga seringkali terjadi
kegiatan ‘mengumpulkan informasi’ dan ‘mengolah informasi’ terjadi simultan.
Dalam proses belajar matematika, kegiatan mengumpulkan informasi dapat terjadi
pada setiap pertemuan yang tahap kegiatannya bisa berbeda-beda, misalnya dalam kegiatan
‘menemukan (kembali) konsep matematika’, memahami konsep matematika, maupun dalam
menerapkan konsep matematika untuk memecahkan masalah, dalam tugas proyek dan bukan
tugas proyek.
Pemberian kegiatan ‘mengumpulkan informasi’ dilakukan dengan cara guru
memberikan penugasan (latihan) kepada siswa. Materi penugasan (latihan) hendaknya
didesain sedemikian rupa agar siswa dapat berinteraksi dengan berbagai sumber belajar,
misalnya sumber belajar dari media cetak atau noncetak, makhluk hidup (misal pakar bidang
tertentu) atau benda dari lingkungan yang dekat dengan siswa, media elektronik dan non
elektronik (misal alat peraga). Sumber-sumber belajar tersebut diharapkan dapat
memfasilitasi berkembang dan terbangunnya sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat
orang lain, kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengumpulkan informasi melalui
berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat
pada diri siswa.
6. 4. Mengolah informasi atau mengasosiasikan
Kegiatan belajar yang dilakukan dalam proses mengasosiasi / mengolah informasi
sebagai berikut.
a. mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan
mengumpulkan/eksperimen mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan
mengumpulkan informasi.
b. Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan
kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari
berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan
Kegiatan mengolah informasi dimaknai sebagai kegiatan mengolah terhadap
informasi yang sudah dikumpulkan secara terbatas pada suatu eksperimen maupun informasi
yang diperoleh dari hasil mengamati dan mengumpulkan informasi yang lebih luas. Adapun
proses pengolahan informasi dapat terjadi dari yang bersifat menambah keluasan dan
kedalaman sampai kepada yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki
pendapat yang berbeda atau bahkan bertentangan.
Dalam kegiatan mengasosiasi/ mengolah informasi terdapat kegiatan menalar. Istilah
“menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam
Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan siswa merupakan pelaku aktif. Titik
tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi siswa harus lebih aktif daripada guru. Penalaran
adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat
diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.
Kegiatan mengolah informasi ini diharapkan dapat mefasilitasi berkembang dan
terbangunnya sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan
prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan, yang akan
banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari siswa atau dalam mempelajari mata pelajaran
lain.
5. Mengkomunikasikan
Kegiatan ‘mengkomunikasikan’ dimaknai sebagai kegiatan menyampaikan hasil pengamatan,
atau kesimpulan yang telah diperoleh berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau
media lainnya. Dalam mengelola kegiatan ‘mengkomunikasikan’, guru perlu menciptakan
pembelajaran yang kolaboratif antara guru dan siswa atau antar siswa.
Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar
melaksanakan suatu teknik pembelajaran kelompok di kelas. Kolaborasi esensinya
merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai
7. kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja sedemikian
rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Dalam kegiatan pembelajaran kolaboratif, fungsi guru lebih sebagai manajer belajar
dan siswa aktif melaksanakaan proses belajar. Dalam situasi pembelajaran kolaboratif antara
guru dan siswa atau antar siswa, diharapkan terjadi siswa berinteraksi dengan empati, saling
menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing, sehingga pada diri
siswa akan tumbuh rasa aman, yang selanjutnya akan memungkinkan siswa menghadapi
aneka perubahan dan tuntutan belajar secara bersama-sama.
Dalam pembelajaran matematika, penugasan kolaboratif dapat dilaksanakan pada
proses mengamati, menanya, menalar atau mencoba. Selain belajar mengasah sikap empati,
saling menghargai dan menghormati perbedaan, berbagi, dengan diterapkannya pembelajaran
kolaboratif maka bahan belajar matematika yang abstrak diharapkan menjadi lebih mudah
dipahami.
B. CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (PENGAJARAN DAN
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL)
Guruan dan Pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsep belajar yang membantu
guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-sehari. Paduan konten materi dengan konteks keseharian siswa akan dapat
menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam sehingga siswa akan memahami
masalah yang belum pernah dihadapi dan mampu menyelesaikan masalah serta memiliki
tanggung jawab terhadap belajarnya seiring dengan peningkatan pengalaman dan
pengetahuan yang mereka miliki.
Tiga konsep yang perlu dipahami dalam melaksanakan pembelajaran CTL yakni : 1)
CTL menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, dalam hal ini
siswa tidak hanya menerima pelajaran, melainkan mencari dan menemukan sendiri materi
pelajaran; 2) CTL mendorong agar siswa mampu menemukan hubungan antara materi yang
dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Dengan begitu, materi yang dipelajarinya akan
bermakna bagi siswa, tertanam erat sehingga tidak mudah dilupakan; 3) CTL mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, siswa diharapkan bukan tidak hanya
dapat memahami materi yang dipelajari, tetapi materi yang dipelajarinya tersebut dapat
menjadi bekal bagi kehidupannya.
8. Selain enam kunci pokok pelaksanaan CTL, karakteristik CTL yang membedakan
dengan pembelajaran lainnya yaitu : a) kerja sama; b) saling menunjang; c) menyenangkan
dan mengasyikkan; d) tidak membosankan; e) belajar dengan bergairah; f) pembelajaran
terintegrasi; g) menggunakan berbagai sumber siswa aktif.
Pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen utama (Trianto,2009) yaitu:
1. Kontruktivisme (contructivism)
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir pembelajaran kontekstual yang
menginsyaratkan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit.
Berdasarkan pemikiran bahwa pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep,
atau kaidah yang siap diambil dan diingat, akan tetapi merupakan konstruksi kenyataan
melalui kegiatan subyek. Pengetahuan dibentuk dalam struktur kognitif, struktur kognitif
membentuk pengetahuan bila siswa ihadapkan pada pengalaman nyata. Oleh karenanya,
pendekatan kontruktivis menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan
mereka melalui keterlibatan aktif pada proses belajar dan mengajar dan memberi makna
melalui pengalaman nyata, pembelajaran berbasis pada aktivitas siswa atau yang lebih
dikenal dengan student centred.
Pada implikasinya, siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan
sesuatu yang berguna bagi dirinya. Siswa harus mengkontruksi pengetahuan dibenak
mereka sendiri. Esensi dari teori kontruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan
dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila
dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar tersebut,
pembelajaran dikemas menjadi proses mengkontruksi bukan menerima
pengetahuan.Untuk itu, tugas guru adalah a) Menjadikan pengetahuan bermakna dan
relevan bagi siswa; b) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya
sendiri; c) Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2. Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri adalah proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan
melalui proses berpikir secara sistematis. Melalui proses berpikir secara sistematis, siswa
diharapkan memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis sebagai dasar kreativitas siswa.
Siklus inkuiri terdiri dari : 1) observasi (observastion); 2) bertanya (quostioning); 3)
Mengajukan dugaan (hypotesis; 4) pengumpulan data (data gathering); 5) penyimpulan
(conclussion). Selanjutnya, langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah 1) Merumuskan
masalah; 2) Mengamati atau melakukan observasi; 3) Menganalisis dan menyajikan hasil
9. dalam tulisan, gambarm laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya; 4) mengkomunikasikan
atau menyajikan hasil karya pada teman sekelas dan guru.
3. Bertanya (Quoestioning)
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya
dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan
berpikir siswa. Sedangkan, bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam
melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiry, yaitu menggali informasi,
mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek
yang berlum diketahui.Aktivitas bertanya dapat ditemukan ketika siswa berdiskusi,
bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, dan sebagainya.
Dalam pembelajaran, kegiatan bertanya berguna untuk : 1) Menggali informasi; 2)
mengecek pemahaman siswa; 3) membangkitkan respons kepada siswa; 4) mengatahui
sejauh mana keingintahuan siswa; 5) mengethaui hal-hal yang sudah diketahui siswa; 6)
memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; 7) membangkitkan
lebuh banyak lagi pertanyaan dari siswa; 8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4. Masyarakat Belajar (Learning comunity)
Dalam pembelajaran kontekstual guru disarankan untuk melaksanakan pembelajaran
dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok heterogen baik dari
dilihat berdasarkan kemampuan siswa, kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat
dan minatnya, bahkan guru bisa mendatangkan seorang ahli ke kelas, dengan demikian
akan muncul aktivitas siswa yang lebih mampu mengajari siswa yang belum mampu,
siswa yang cepat mengajari siswa yang lambat.
Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam
masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi
pembelajaran saling belajar satu sama lain. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan
masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya, seklaigus
meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling belajar dapat
terjadi apabila tidak ada pihak yang mendominasi dalam komunikasi, tidak ada pihak yang
segan untuk bertanya, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa
bahwa setiap orang memiliki pengatahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda.
Karena pada hakikatnya, setiap orang bisa menjadi smuber belajar
5. Pemodelan (Modeling)
Modelling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh
yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Sebagai contoh, dalam pembelajaran matematika, guru
10. memberikan contoh bagaimana memanipulasi atau menggunakanalat peraga klinometer.
Dalam suatu pembelajaran, modelling tidak terbatas pada guru, tetapi dapat pula seorang
teman yang memiliki kemampuan. Melalui modelling siswa dapat terhindar dari
pembelajaran yang teoritis abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru disiswai. Refleksi merupakan respons
terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Melalui proses refleksi,
kegiatan akan diinternalisasi dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan
menjadi pengetahuan yang dimilikinya. Refleksi dilakukan di akhir proses pembelajaran,
bentuk refleksi ini dapat berupa : 1) pernyataan langsung tentang apa yang sudah diperoleh
pada hari itu; 2) catatan atau jurnal di buku siswa; 3) kesan atau saran siswa mengenai
pembelajaran hari itu; 4) diskusi; 5) hasil karya.
7. Penilaian autentik (Authentic Assessement)
Penilaian autentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang
perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh siswa melalui berbagai
teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa
tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai (Nurhadi, 2004). Akan tetapi,
informasi yang diperoleh bukan hanya memberikan gambaran pencapaian siswa, tetapi
ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to
learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin pengetahuan di akhir
periode pembelajaran.
Hakekat penilaian autentik adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkemabngan belajar
siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalmai proses
pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengindikasikan bahwa
siswa mengalami kemacetan dalam belajar, guru segera bisa mengambil tindakan yang
tepat. Gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses
pembelajaran, tidak hanya dilakukan di akhir, tetapi dilakukan bersama dan terintegrasi
(tidak terpisahkan) dari proses pembelajaran (Masrukan, 2014). Penilaian ini memberikan
keleluasaan bagi siswa menampilkan tugas pada situasi sesungguhnya dengan
mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan yang bermakna.
11. Komponen pada penilaian autentik meliputi:
1. Tugas-tugas autentik
Tugas autentik ini menghendaki siswa menampilkan prestasinya dari sebuah target
pembelajaran, misalnya penyelesaian masalah matematika atau pemodelan matemtaika
dari suatu soal cerita. Kriteria tugas autentik diantaranya bermakna bagi siswa dan
guru, disusun bersama antara guru dan siswa, menuntut siswa menemukan dan
menganalisis informasi serta menarik kesimpulan, meminta siswa mengkomunikasikan
hasil dan mengharuskan siswa bekerja atau berbuat.
2. Menggunakan rubrik sebagai kriteria penilaiannya
Zimarmo (2007) menyatakan rubik sebagai pedoman penilaian sistematis untuk meilai
kinerja siswa (paper, jawaban soal, portofolio) melalui penggunaan deskripsi yang
dikembangkan oleh guru untuk membantu analisis hasil atau proses yang diupayakan
siswa.
Adapun kriteria penilaian autentik menurut Nurhadi (2004) adalah: 1) melibatkan
pengalaman nyata; 2) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung;
3) mencakup asesmen pribadi dan refleksi; 4) yang diukur keterampilan dan permomansi,
bukan mengingat fakta; 5) berkesinambungan; 6) terintegrasi; 6) dapat digunakan sebagai
umpan balik; 7) kriteria keberhasilan dan kegagalan dapat diketahui oleh siswa dengan
jelas.
Pelaksanaan penilaian autentik menurut Santoso (Masrukan, 2014) dapat
menggunakan berbagai alat yakni tes standar prestasi, tes buatan guru, catatan kegiatan,
catatan anekdot, skala sikap, catatan tindakan, konsep pekerjaan, tugas individu, tugas
kelompok, diskusi, wawancara, catatan pengamatan, peta perilaku, portofolio, kuesioner.
Langkah-langkah penerapan CTL (Sanjaya, 2010):
1. Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran
dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari
2. Guru menjelaskan prosedur pembelajaran dengan CTL meliputi pembagian kelompok dan
tugas setiap kelompok
3. Guru melakukan tanya jawab terkait tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa
4. Siswa melakukan aktivitas pengumpulan data dan mencatat hasil temuan yang mereka
peroleh dengan instrumen yang telah ditentukan sebelumnya
5. Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka dalam kelompok
12. 6. Siswa melaporkan hasil diskusi
7. Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain
8. Dengan bantuan guru, siswa menyimpulkan hasil pembelajaran sesuai dengan indikator
hasil belajar yang harus dicapai
9. Guru memberikan tugas sebagai aplikasi pemahaman mereka terhadap informasi baru
yang telah diperoleh siswa.
Dalam melaksanakan langkah-langkah pembelajaran CTL, guru perlu melakukan
beberapa hal yaitu: 1) Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna
dengan cara berpikir mereka sendiri, menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri
pengetahuan dan keterampilan barunya; 2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri
untuk semua topik; 3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya; 4) Ciptakan
masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok); 5) Hadirkan model sebagai contoh
pembelajaran; 6) Lakukan refleksi diakhir pertemuan; 7) Lakukan penilaian yang sebenarnya
dengan berbagai cara.
C. DISCOVERY LEARNING
Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan
Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery
Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak
diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang
diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Sedangkan pada
inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran
dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses
penelitian, sedangkan Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan
menyelesaikan masalah. Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery
Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan
dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai siswa didorong untuk mengidentifikasi apa yang
ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau
membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk
akhir.
Dalam Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa
dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat
13. kesimpulan-kesimpulan. Langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning
di kelas adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan
a. Menentukan tujuan pembelajaran
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan
sebagainya)
c. Memilih materi pelajaran.
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh
generalisasi)
e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan
sebagainya untuk dipelajari siswa
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke
abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa
2. Pelaksanaan
Menurut Syah (2004: 244) dalam mengaplikasikan Discovery Learning di kelas,ada
beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum
sebagai berikut.
a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan
kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul
keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM
dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang
mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk
menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa
dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan
menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian
seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar
tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.
b. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan
dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk
14. hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244). Sedangkan menurut
permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau
hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang
diajukan.Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisa
permasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun
siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
c. Data collection (pengumpulan data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan
atau membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan demikian siswa didik diberi kesempatan
untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur,
mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan
sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan
sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara
tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
d. Data processing (pengolahan data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi
yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu
ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya
diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu
serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing
disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan
konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan
baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis
e. Verification (pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil
data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar
akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia
jumpai dalam kehidupannya. Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang
ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah
terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
15. f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang
dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama,
dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka
dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa
harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran
atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang,
serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
D. PROBLEM BASED LEARNING (PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH)
Pembelajaran berbasis masalah (PBL) berkembang dengan berlandaskan teori
pembelajaran aktif yang bermula dari konsep John Dewey dan teori kontruktivisme Jean
Piaget. PBL adalah model pembelajaran yang berlandaskan kontruktivisme dan
mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar serta terlibat dalam pemecahan masalah
yang kontekstual. Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang
menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk
mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah diberikan kepada siswa, sebelum
siswa mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus
dipecahkan.
PBL atau sering disebut PBI (Problem Base Instruction) dapat diterapkan jika tercipta
suatu lingkungan kelas yang efektif. North Central Regional Educational Library (2006)
menyatakan bahwa minimal ada tiga karakteristik yang harus dipenuhi agar tercipta situasi
kelas yang efektif dalam PBL, yaitu : 1) atmosfer kelas harus dapat memfasilitasi eksplorasi
siswa, situasi kelas harus mampu menyediakan kesempatan bagi mereka untuk terlibat, saling
berinteraksi, dan sosialisasi; 2) siswa harus sering diberi kesempatan untuk mengkontruksi
informasi baru sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, hal ini
dapat dirangsang dengan cara menghadapkan siswa pada tantangan-tantanggan; 3) Makna
baru harus diperoleh secara personal.
Tujuan dan hasil dari model pembelajaran berbasis masalah ini adalah:
1. Keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah. Pembelajaran berbasis
masalah ini ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi;
2. Pemodelan peranan orang dewasa.
16. Bentuk pembelajaran berbasis masalah penting menjembatani gap antara pembelajaran
sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah.
Aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan adalah 1) PBL
mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas; 2) PBL memiliki elemen-elemen
magang. Hal ini mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga siswa
secara bertahap dapat memi peran yang diamati tersebut; 3) PBL melibatkan siswa dalam
penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan
menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun femannya tentang fenomena itu.
3. Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning)
Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada siswa. Siswa harus dapat menentukan
sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, di bawah
bimbingan guru.
Peran guru dalam penerapan PBL menurut Warsono (2013) sebagai berikut :
1. Mendefinisikan, merancang dan mempresentasikan masalah di hadapan seluruh siswa
2. Membantu siswa memahami masalah serta menentukan bersama siswa bagaimana
seharusnya masalah semacam itu diamati dan dicermati
3. Membantu siswa memaknai masalah, cara-cara mereka dalam memecahkan masalah dan
membantu menemukan argumen apa yang melandasi pemecahan masalah tersebut.
4. Bersama para siswa menyepakati bentuk-bentuk pengorganisasian laporan
5. Mengakomodasikan kegiatan presentasi oleh siswa
6. Melakukan penilaian proses (penilaian autentik) maupun penilaian terhadap produk
laporan
Untuk menunjang proses pada PBL, kegiatan-kegiatan yang diperlukan meliputi:
1. Identifikasi suatu masalah yang cocok bagi para siswa
2. Kaitkan masalah yang diberikan dengan konteks dunia siswa
3. Organisasikan pokok bahasan di sekitar masalah, jangan berlandaskan bidang studi
4. Berilah kesempatan pada siswa untuk dapat mendefinisikan sendiri kegiatannya serta
membuat perencanaan dalam menyelesaikan masalah
5. Dorong timbulnya kolaborasi dengan membentuk kelompok
6. Berikan kesempatan pada siswa untuk mendemonstrasikan hasil pembelajaran mereka.
Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu
diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta
mencatat masalah-masalah yang muncul. Sebagai bahan acuan dalam membuat skenario
17. pembelajaran, Arends (2009: 401) mengemukakan sintaks dalam PBL serta perilaku guru
yang relevan.
Tabel 1.1 Sintak PBL dan Perilaku Guru
No Fase Perilaku Guru
1 Fase 1 : Melakukan
orientasi masalah
kepada siswa
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran,
menjelaskan bahan dan alat apa yang
diperlukan siswa bagi penyelesaian masalah
serta memberikan motivasi kepada siswa agar
menaruh perhatian pada aktivitas penyelesaian
masalah
2 Fase 2 :
Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan pembelajaran agar relevan
dengan penyelesaian masalah.
3 Fase 3 : Mendukung
kelompok investigasi
Guru mendorong siswa untuk mencari
informasi yang sesuai, melakukan eksperimen,
dan mencari, penjelasan dan pemecahan
masalahnya.
4 Fase 4 :
Mengembangka dan
menyajikan laporan
hasil kinerja dan
mendemonstrasikannya
Guru membantu siswa dalam perencanaan dan
perwujudan laporan hasil kinerja yang sesuai
dengan tugas yang diberikan seperti : laporan,
video, serta membantu mereka untuk berbagi
satu sama lain terkait hasik karyanya.
5 Fase 5 : Menganalisis
dan mengevaluasi
proses penyelesaian
masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan
refleksi terhadap hasil penyelidikannya serta
proses-proses pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
Fase 1: Mengorientasikan siswa pada masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang
akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana guru harus
menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh siswa dan juga oleh guru. serta
dijelaskan bagaimana guru akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting
untuk memberikan motivasi agar siswa dapat mengerti dalam pembelajaran yang akan
dilakukan. Ada empat hal yang perlu dilakukan dalam proses ini, yaitu:
18. 1. Tujuan utama pengajaran tidak untuk memipelajar sejumlah besar informasi baru,
tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan
bagaimana menjadi siswa yang mandiri,
2. Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak
“benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan
seringkali bertentangan,
3. Selama tahap penyelidikan (dalam pengajaran ini), siswa didorong untuk mengajukan
pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap
membantu, namun siswa harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya, dan
4. Selama tahap analisis dan penjelasan, siswa akan didorong untuk menyatakan ide-
idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Tidak ada ide yang akan ditertawakan oleh
guru atau teman sekelas. Semua siswa diberi peluang untuk menyumbang kepada
penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka.
Fase 2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Disamping mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL juga
mendorong siswa belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan
kerjasama dan sharing antar anggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan
pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing
kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip
pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini
seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang
efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru sangat penting memonitor dan
mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok
selama pembelajaran.
Setelah siswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar
selanjutnya guru dan siswa menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas
penyelidikan, dan jadwal.Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan
agar semua siswa aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil
penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.
Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok
Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik
penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik,
yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan
pemecahan.Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat
19. penting.Pada tahap ini, guru harus mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan
melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami
dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi
untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Guru membantu siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya
mengajukan pertanyaan pada siswa untuk berifikir tentang masalah dan ragam informasi
yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.
Setelah siswa mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena
yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk
hipotesis, penjelesan, dan pemecahan.Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong
siswa untuk menyampikan semua ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut.Guru
juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat siswa berfikir tentang kelayakan hipotesis
dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan.
Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan mempamerkannya
Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran.Artifak
lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu video tape (menunjukkan situasi masalah
dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan
pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia.Tentunya kecanggihan artifak
sangat dipengaruhi tingkat berfikir siswa.Langkah selanjutnya adalah mempamerkan hasil
karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam
pemeran ini melibatkan siswa-siswa lainnya, guru-guru, orang tua, dan lainnya yang dapat
menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.
Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah
Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu siswa
menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan dan
intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta siswa untuk merekonstruksi
pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya
E. PROJECT BASED LEARNING (PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK)
Project Based Learning (PjBL) merupakan penerapan dari pembelajaran aktif, teori
kontrukstivisme dari Piaget serta teori kontrukstivisme dari Seymour Papert. Pembelajaran
berbasis proyek didefinisikan sebagai model pembelajaran yang menggunakan
proyek/kegiatan sebagai inti pembelajaran. Pada pembelajaran ini, para siswa merancang,
melakukan pemecahan masalah, melaksanakan pengambilan keputuan dan kegiatan
20. penyelidikan sendiri. Dengan aktivitas tersebut, para siswa merasakan adanya masalah,
merumuskan masalah serta menerapkan situasi dalam kehidupan nyata dengan cara membuat
sebuah proyek.
Hasil akhir proyek berupa suatu hasil karya, dalam bentuk konkret dapat berupa karya
ilmiah, suatu model, film, video, CD, DVD, dan lainnya. Penekanan pada pembelajaran
berbasis proyek adalah keharusan melakukan pembelajaran kolaboratif atau kooperatif serta
keharusan adanya hasil karya sebagai bukti produk belajar tim. Hal ini senada dengan
pendapat Brown dan Campione (Warsono, 2013) yang menyatakan bahwa dalam
penerapannya, PjBL tidak terlepas dari dua komponen utama yaitu 1) ada masalah yang
menantang yang mendorong siswa mengorganisasikan dan melaksanakan suatu kegiatan,
yang mengarahkan siswa kepada suatu proyek yang bermakna dan harus diselesaikan sendiri
sebagai tim; 2) karya akhir atau suatu penyelesaian tugas berkelanjutan yang bermakna bagi
pengembangan pengetahuan dan keterampilan siswa.
Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. siswa membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja,
2. adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa,
3. siswa mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang
diajukan,
4. siswa secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi
untuk memecahkan permasalahan,
5. proses evaluasi dijalankan secara kontinyu,
6. siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan,
7. produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif,
8. situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan
Dalam pelaksanaan PjBL aktivitas para siswa dalam mencoba menyelesaikan masalah
melalui cara : 1) mempertanyakan secara mendalam keberadaan masalah; 2) mendebatkan
gagasan dalam timnya; 3) membuat prediksi; 4) merancang rencana kerja; 5) mengumpulkan
dan menganalisis data; 6) menarik kesimpulan; 7) mengkomunikasikan gagasan kepada orang
lain terutama rekan timnya; 8) mempertanyakan kemungkinan adanya masalah baru yang
timbul; 9) menghasilkan suatu karya sebagai bukti hasil belajarnya
Tujuh Komponen kunci bagi penerapan PjBL menurut Seungyeon Han dan Kakali
Bhattacharya (2001) yaitu:
1. Lingkungan yang menunjang timbulnya pembelajaran berbasis pebelajar
2. Kolaborasi
21. 3. Isi kurikulum
4. Tugas-tugas otentik, yakni mengaitkan tugas proyek dengan dunia nyata yang ada di
sekeliling siswa
5. Para siswa diberi keleluasaan menggunakan berbagai teknologi sebagai perangkat untuk
merencanakan, mengembangkan, atau mempresentasikan proyeknya.
6. Para siswa diberi kesempatan untuk mengatur waktu dalam proses merencanakan,
melakukan revisi, dan merefleksi pembelajarannya.
7. Asesmen inovatif. Praktik asesmen harus dipahami oleh siswa dan mereka diberi
kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses penilaian, Misalnya penilaian oleh guru,
penilaian oleh rekan sebaya, penilaian oleh siswa sendiri, dan refleksi.
Sebagai bahan acuan dalam penerapan PjBL, langkah-langkah dalam PjBL dapat
digambarkan dalam diagram berikut
Diagram 1
Langkah langkah Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Proyek
Penjelasan langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai berikut.
1. Penentuan Pertanyaan Mendasar (Start With the Essential Question)
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat
memberi penugasan siswa dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang
sesuai dengan realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam
dan topik yang diangkat relevan untuk para siswa.
2. Mendesain Perencanaan Proyek (Design a Plan for the Project)
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara guru dan siswa. Dengan demikian
siswa diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi
tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab
pertanyaan esensial, dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin,
1
PENENTUAN PERTANYAAN
MENDASAR
2
MENYUSUN
PERENCANAAN PROYEK
3
MENYUSUN
JADWAL
4
MONITORING
6
EVALUASI
PENGALAMAN
5
MENGUJI HASIL
22. serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian
proyek.
3. Menyusun Jadwal (Create a Schedule)
Guru dan siswa secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan
proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: 1) membuat timeline untuk
menyelesaikan proyek, 2) membuat deadline penyelesaian proyek, 3) membawa
siswa agar merencanakan cara yang baru, 4) membimbing siswa ketika mereka
membuat cara yang tidak berhubungan dengan proyek, dan 5) meminta siswa untuk
membuat penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu cara.
4. Memonitor siswa dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the Progress of
the Project)
Guru bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas siswa selama
menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara menfasilitasi siswa pada
setiap roses. Dengan kata lain guru berperan menjadi mentor bagi aktivitas siswa.
Agar mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam
keseluruhan aktivitas yang penting.
5. Menguji Hasil (Assess the Outcome)
Penilaian dilakukan untuk membantu guru dalam mengukur ketercapaian standar,
berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing- masing siswa, memberi umpan
balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai siswa, membantu guru dalam
menyusun strategi pembelajaran berikutnya.
6. Mengevaluasi Pengalaman (Evaluate the Experience)
Pada akhir proses pembelajaran, guru dan siswa melakukan refleksi terhadap
aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik
secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini siswa diminta untuk
mengungkapkan perasaan dan pengalamanya selama menyelesaikan proyek. Guru
dan siswa mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses
pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry)
untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh siswa pada PjBL yaitu : a) meningkatkan
motivasi belajar; b) meningkatkan kecakapan siswa dalam pemecahan masalah; c)
memperbaiki keterampilan menggunakan media pembelajaran; d) meningkatkan semangat
dan ketemapilan berkolaborasi.
23. Peran Guru dalam pembelajaran berbasis proyek antara lain : 1) Merencanakan dan
mendesain pembelajaran; 2) Membuat strategi pembelajaran; 3) Membayangkan interaksi
yang akan terjadi antara guru dan siswa; 4) Mencari keunikan siswa; 5) Menilai siswa dengan
cara transparan dan berbagai macam penilaian; 6) Membuat portofolio pekerjaan siswa.
Sedangkan peran siswa dalam pembelajaran yaitu : 1) Menggunakan kemampuan bertanya
dan berpikir; 2) Melakukan riset sederhana; 3) Memsiswai ide dan konsep baru; 4) Belajar
mengatur waktu dengan baik; 5) Melakukan kegiatan belajar sendiri/kelompok; 6)
Mengaplikasikan hasil belajar lewat tindakan; 7) Melakukan interaksi sosial (wawancara,
survey, observasi, dll)
F. PROBLEM SOLVING LEARNING
Teori Gagne menyatakan bahwa keterampilan intelektual tingkat tingi dapat
dikembangkan melalui pemecahan masalah, hal ini beralasan, karena pemecahan masalah
merupakan tipe belajar paling tinggi, yaitu signal learning, stimulus respons learning,
chaining, verbal association, discrimination learning, concept learning, rule learning, dan
problem solving. Untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, hal
yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan menyangkut berbagai teknik dan strategi
pemecahan masalah. Pengetahuan, keterampilan dan pemahaman merupakan elemen penting
dalam belajar matematika. Dalam pemecahan masalah, siswa dituntut memiliki kemampuan
untuk mensintesis elemen-elemen tersebut sehingga dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapi dengan baik.
Problem Solving Learning merupakan pembelajaran yang menjadikan masalah
sebagai pokok utama dalam proses pembelajarannya. Masalah yang dimaksud berupa soal
yang bersifat tidak rutin. Artinya, prosedur penyelesaian soal tersebut tidak langsung
diketahui oleh siswa yang menerima soal tersebut. Bisa jadi suatu soal dipandang sebagai
suatu masalah bagi siswa yang satu, tetapi tidak bagi siswa yang lain. Untuk memudahkan
dalam pemilihan soal, perlu dilakukan pembedaan antara soal rutin dan soal tidak rutin. Soal
rutin biasanya mencakup aplikasi suatu prosedur matematika yang sama atau mirip dengan
hal yang baru dipelajari. Sedangkan dalam soal tidak rutin, untuk sampai pada prosedur yang
benar diperlukan pemikiran yang lebih mendalam.
Dengan demikian guru harus berhati-hati dalam menyusun soal pemecahan masalah.
Hendaknya dalam menyusun soal pemecahan masalah guru, mempertimbangkan kemampuan
dan pemahaman matematika siswanya. Menyusun soal pemecahan merupakan pekerjaan
yang sulit. Akan tetapi, hal yang dapat diatasi antara lain melalui pengalaman dalam
24. menyajikan soal yang bervariasi baik bentuk, tema masalah, tingkat kesulitan, serta tuntutan
kemampuan intelektual yang ingin dicapai oleh siswa. Tugas utama guru adalah untuk
membantu siswa menyelesaikan berbagai masalah dengan spektrum yang luas yakni
membantu mereka untuk dapat memahami makna istilah yang muncul dalam suatu masalah
sehingga kemampuannya dalam memahami konteks masalah bisa terus berkembang.
Polya (Hudojo, 2003: 150) mengklasifikasikan dua macam masalah yaitu.
1. Masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk
teka-teki. Masalah untuk menemukan mecakup proses mencari variabel masalah;
mencoba untuk mendapatkan, menghasilkan atau mengkontruksi semua jenis obyek yang
dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah.
2. Masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu
benar atau salah, atau tidak kedua-duanya, dengan jalan menjawab pertanyaan: “Apakah
pernyataan itu benar atau salah?” bagian utama dari masalah jenis ini adalah hipotesis
dan konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.
Pelaksanaan pembelajaran dengan pemecahan masalah hendaklah dikembangkan
untuk situasi yang alamiah serta pendekatan yang cenderung informal. Tema permasalahan
hendaknya diambil dari kejadian sehari-hari yang dekat dengan kehidupan siswa atau yang
sekiranya dapat menarik perhatian siswa. Pada pelasanaannya, beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan diantaranya: 1) waktu, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan antara lain
waktu untuk memahami masalah, waktu untuk mengekplorasi masalah, dan waktu untuk
memikirkan masalah.; 2) perencanaan, perencanaan meliputi aktivitas pembelajaran dan
waktu yang diperlukan agar siswa memiliki kesempatan yang cukup untuk menyelesaikan
berbagai masalah, belajar berbagai variasi strategi pemecahan masalah dan menganalisis serta
mendiskusikan pendekatan yang mereka pilih; 3) sumber yang diperlukan, karena buku
matematika biasanya memuat soal yang bersifat ruin, maka guru perlu mengembangkan
masalah-masalah dari berbagai sumber; 4) peran teknologi, teknologi dapat digunakan
sebagai alat bantu dalam pemecahan masalah dan meminimalkan waktu yang dibutuhkan
sehingga waktu yang biasanya digunakan untuk melakukan perhitungan rutin dapat dialihkan
untuk melakukan peningkatan keterampilan lainnya yang levelnya lebih tinggi; 5) manajemen
kelas. Setting yang dapat dilakukan antara lain model klasikal dengan mengelompokkan
siswa dalam kelompok kecil, model belajar individual ataupun melalui kelompok besar. Hal
ini disesuaikan dengan kebutuhan. Akan tetapi, beberapa pendapat mengemukakan bahwa
pembelajaran pemecahan masalah akan lebih efektif jika manajemen kelas dilakukan dengan
mengelompokan siswa ke dalam kelompok kecil, karena akan memberi peluang bagi siswa
25. untuk mendiskusikan masalah yang dihadapi, saling tukar ide, dan mendiskusikan alternatif
pemecahan masalah.
Menurut Polya (1973) ada empat langkah solusi untuk soal tipe pemecahan masalah,
yaitu :
1. Memahami masalahnya
Pada langkah ini, para pemecah masalah (siswa atau guru) harus dapat menentukan
dengan jeli apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Namun yang perlu diingat,
kemampuan otak manusia sangatlah terbatas, sehingga hal-hal penting hendaknya
dicatat, dibuat tabelnya, ataupun dibuat sket atau grafiknya. Tabel serta gambar ini
dimaksudkan untuk mempermudah memahami masalah dan mempermudah
mendapatkan gambaran umum penyelesaiannya. Dengan membuat gambar, diagram,
atau tabel, hal-hal yang diketahui tidak hanya dibayangkan di dalam otak yang sangat
terbatas kemampuannya, namun dapat dituangkan ke atas kertas.
2. Merencanakan penyelesaian masalah atau Merancang model matematika
Pada langkah ini, para pemecah masalah (siswa atau guru) harus dapat mengaitkan
masalah yang ada menjadi masalah matematika. Masalah yang ada dapat diubah menjadi
persamaan atau pertidaksamaan, sistem persamaan atau pertidaksamaan, masalah
segitiga sebangun, kongruen, atau masalah geometri. Meskipun tidak selamanya berlaku
seperti ini, biasanya yang ditanyakan dimisalkan dengan x, y, t, atau variabel lain. Jadi,
pada tahap ini para siswa akan belajar untuk dapat mengaitkan masalah yang ada dengan
konsep atau pengetahuan matematika dan mengubah masalah tersebut menjadi masalah
matematika. Istilah lain yang digunakan untuk langkah ini adalah pemodelan
(modelling).
3. Menyelesaikan masalah atau Menyelesaian model
Pada langkah ini, para pemecah masalah (siswa atau guru) harus dapat memecahkan
masalah yang sudah diubah menjadi masalah murni matematika. Contohnya, jika
masalah yang ada sudah diubah menjadi sistem persamaan dengan dua peubah, maka
selanjutnya para siswa harus dapat memecahkan masalah yang sudah berbentuk sistem
persamaan dengan dua peubah. Artinya, mereka harus dapat menentukan himpunan
penyelesaiannya.
4. Menafsirkan solusi
Memikirkan atau menelaah kembali langkah-langkah yang telah dilakukan dalam
pemecahan masalah merupakan kegiatan yang sangat penting untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam pemecahan masalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
26. mempertimbangkan kembali proses penyelesaian yang telah dibuat merupakan faktor
yang sangat signifikan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan
masalah.
Berikut contoh penerapan langkah-langkah pemecahan masalah
Masalah : susunlah bilangan-bilangan 1 sampai dengan 9 ke dalam tiap daerah persegi
pada gambar di bawah ini sehingga jumlah tiap baris, kolom dan diagonal utamanya
adalah sama!
Langkah 1 : Memahami masalah
Apa yang perlu dilakukan adalah bagaimana kita harus menempatkan tiap bilangan 1,
2,3, ...,9 dalam tiap daerah persegi (tiap bilangan hanya digunakan satu kali), sedemikian
hingga jumlah bilangan-bilangan pada tiap baris, kolom dan diagonal utamanya adalah
sama.
Langkah 2 : Merencanakan penyelesaian masalah
Jika kita sudah tahu jumlah untuk tiap baris, kolom dan diagonal utamanya, maka
pekerjaan kita akan lebih mudah. Dengan demikian yang menjadi tujuan bagian dari
penyelesaian keseluruhan adalah bagaimana menentukan jumlah yang diinginkan
tersebut. Jumlah sembilan bilangan 1+2+3+...+9 sama dengan tiga kali jumlah dari satu
kolom atau baris. Akibatnya jumlah untuk satu baris atau kolom adalah sepertiga dari
jumlah keseluruhan 45/3 = 15. Dengan kata lain jumlah untuk masing-masing baris,
kolom, atau diagonal utama adalah 15. Langkah selanjutnya adalah bahwa kita harus
menentukan kombinasi tiga bilangan sedemikian hingga jumlahnya 15.
Langkah 3: Menyelesaikan masalah
Jumlah 15 dapat diperoleh melalui kombinasi jumlah tiga bilangan seperti berikut ini
27. 9+5+1
9+4+2
8+6+1
8+5+2
8+4+3
7+6+2
7+5+3
6+5+4
Jika kita perhatikan banyaknya kemunculan untuk tiap angka, ternyata tidaklah sama.
Misalnya, 1 hanya muncul dua kali, sedangkah 2 muncul tiga kali. Frekuensi kemunculan tiap
angka dapat dilihat pada tabel berikut ini.
angka 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Frekuensi
kemunculan
2 3 2 3 4 3 2 3 2
Dengan melihat frekuensi kemunculan tiap angka pada tabel tersebut, maka selanjutnya
penempatan untuk tiap angka akan dengan mudah dilakukan. Sebagai contoh, 5 pasti harus
ditempatkan di tengah, sedangkan 2,4,6,8 harus menempatkan daerah pojok. Dengan
demikian, salah satu penyelesaian akhirnya adalah sebagai berikut
2 7 6
9 5 1
4 3 8
Langkah 2 : Memeriksa kembali
Kita lihat bahwa 5 adalah satu-satunya bilangan diantara sembilan bilangan yang diberikan
yang dapat ditempatkan di tengah. Akan tetapi, bilangan yang bisa ditempatkan di daerah
pojok bisa beberapa pilihan. Jadi penyelesaian yang diberikan di atas hanyalah salah satu
kemungkinan dari beberapa kemungkinan yang lain.
Cara lain untuk melihat bahwa 5 harus ditempatkan di tengah dapat dilakukan melalui
ilustrasi berikut.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
10
28. Dari ilustrasi ini terlihat bahwa untuk memperoleh jumlah 15, 5 dapat dipasangkan dengan
empat pasangan bilangan lain yang masing-masing jumlahnya 10.
Pada proses pemecahan masalah, seringkali diperlukan kreativitas ketika sedang
memecahkan masalah. Kreativitas yang dimaksud yaitu ketepatan memilih cara atau metode
untuk mempermudah memecahkan masalah. Cara atau metode inilah yang disebut dengan
strategi pemecahan masalah. Sejumlah strategi dapat membantu untuk merumuskan rencana
penyelesaian suatu masalah. Beberapa strategi yang sering digunakan menurut Polya dan
Pasmep (Shadiq, 2004: 13-14) yaitu mencoba-coba, membuat diagram, mencobakan pada
soal yang lebih sederhana, membuat tabel, menemukan pola, memecahkan tujuan,
memperhitungkan setiap kemungkinan, berpikir logis, bergerak dari belakang, mengabaikan
hal yang tidak mungkin.
G. PROBLEM POSING LEARNING
Problem posing merupakan langkah awal dari problem solving, pembelajaran problem
posing juga merupakan pengembangan dari pembelajaran problem solving. Silver dkk
(Sutiarso: 2000) menyatakan bahwa dalam problem posing diperlukan kemampuan siswa
dalam memahami soal, merencanakan langkah-langkah penyelesaian soal, dan menyelesaikan
soal tersebut. Ketiga kemampuan tersebut merupakan juga merupakan sebagian dari langkah-
langkah pembelajaran problem solving.
Mengenai peranan problem posing dalam pembelajaran matematika, Sutiarso (2000)
menjelaskan bahwa problem posing adalah adalah suatu bentuk pendekatan dalam
pembelajaran matematika yang menekankan pada perumusan soal, yang dapat
mengembangkan kemampuan berpikir matematis atau menggunakan pola pikir matematis.
Hal ini sejalan dengan English (1998) yang menjelaskan bahwa problem posing penting
dalam kurikulum matematika karena di dalamnya terdapat inti dari aktivitas matematika,
termasuk aktivitas di mana siswa membangun masalahnya sendiri. Silver (1994) dan Simon
(1993) mengemukakan bahwa beberapa aktivitas problem posing mempunyai tambahan
manfaat pada perkembangan pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap konsep penting
matematika (English: 1998).
10
10
29. Brown dan Walter dalam Hamzah (2003: 19) menyatakan bahwa pengajuan masalah
matematika tersiri dari dua aspek penting, yaitu accepting dan challenging. Accepting
berkaitan dengan kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi
yang sulit ditentukan. Sementara challenging, berkaitan dengan sejauh mana siswa merasa
tertantang dari situasi yang diberikan sehingga melahirkan kemampuan untuk mengajukan
masalah matematika. Suryanto dalam Zahra (2007: 6) menjelaskan bahwa:
1. Problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada
dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana sehinga soal tersebut dapat diselesaikan.
Ini terjadi pada soal-soal yang rumit.
2. Problem posing adalah perumusan soal-soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal
yang akan diselesaikan menekankan pada pengajuan soal oleh siswa.
3. Problem posing adalah pengajuan soal dari informasi yang tersedia, baik dilakukan
sebelum, ketika atau setelah kegiatan penyelesaian.
Silver dalam Hamzah (2003: 18) menemukan bahwa pendekatan problem posing
merupakan suat aktivitas dengan dua pengertian yang berbeda yaitu:
a. Proses pengembangan matematika yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada.
b. Proses memformulasikan kembali masalah matematika dengan kata-kata sendiri
berdasarkan situasi yang diberikan. Dengan demikian, masalah matematika yang
diajukan oleh siswa mengcu pada situasi yang telah disiapkan oleh guru.
Selanjutnya Hamzah (2003: 17) mengemukakan bahwa dalam pustaka pendidikan,
problem posing dalam matematika oleh siswa mempunyai 3 pengertian yaitu:
1. Problem posing (pengajuan masalah) adalah rumusan masalah matematika sederhana atau
perumusan ulang masalah yang telah diberikan dengan beberapa cara dalam rangka
menyelesaikan masalah yang rumit.
2. Problem posing (pengajuan masalah) adalah perumusan masalah matematika yang
berkaitan dengan sarat-sarat pada masalah yang dipecahkan dalam rangka mencari
alternatif pemecahan masalah yang relevan.
3. Problem posing (pengajuan masalah) adalah merumuskan atau mengajukan pertanyaan
matematika dari situasi yang diberikan, baik diajukan sebelum, pada saat atau setelah
pemecahan masalah.
Dari beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa pendekatan problem
posing adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika dimana siswa diminta untuk
merumuskan, membentuk dan mengajukan pertanyaan atau soal dari situsi yang disediakan.
30. Situasi dapat berupa gambar, cerita, atau informasi lain yang berkaitan dengan materi
pelajaran.
Yuhasriati dalam Zahra (2007: 6) menyatakan bahwa langkah-langkah dalam
pembelajaran dengan pendekatan problem posing adalah adanya kegiatan perumusan soal
yang dibuat oleh setiap siswa setelah selesai pembahasan suatu materi. Terlebih dahulu guru
memberi contoh tentang cara membuat soal dan memberikan beberapa situasi (informasi)
yang berkenaan dengan materi pembelajaran yang sudah disajikan. Selanjutnya berdasarkan
situasi tersebut siswa diminta untuk membuat soal yang berkaitan dengan situasi tersebut dan
diminta untuk menyelesaikan soal mereka sendiri. Dalam pelaksanaannya dikenal beberapa
jenis model problem posing antara lain:
1. Situasi problem posing bebas, siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki . Siswa dapat menggunakan
fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal.
2. Situasi problem posing semi terstruktur, siswa diberikan situasi/informasi terbuka.
Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu
dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi
yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
3. Situasi problem posing terstruktur, siswa diberi soal atau selesaian soal tersebut,
kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru
Adapun langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing
adalah sebagai berikut:
1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran.
2. Guru membentuk kelompok yang beranggota 4-5 orang yang heterogen, baik
kemampuan maupun jenis kelamin.
3. Guru membagi materi yang berbeda untuk dirangkum, namun masih dalam konsep yang
sama.
4. Guru meminta masing-masing siswa membuat dua soal dari materi yang telah dibagikan
tersebut pada lembar problem posing yang disediakan.
5. Siswa berdiskusi kelompok untuk mencari penyelesaian dari soal yang telah dibuat pada
lembar problem posing tersebut.
6. Masing-masing kelompok menuliskan satu atau dua soal yang tidak bisa diselesaikan
oleh kelompok ke dalam lembar problem posing dan ditukarkan pada kelompok lain
secara berurutan atau zig-zag, aturannya diatur oleh guru.
31. 7. Masing-masing kelompok berdiskusi mencarikan hasil/penyelesaian dari lembar problem
posing.
8. Guru menunjuk satu kelompok untuk mempresentasikan hasil rangkuman yang telah
dikerjakan dan membacakan soal yang tidak bisa dipecahkan di kelompoknya.
9. Kelompok lain sebagai audiensi yang punya hak untuk menyangkal, bertanya dan
memberikan masukan, sehingga pembelajaran berlangsung hangat dan guru hanya
berperan sebagai moderator.
10. Berdiskusi kelas membahas soal dari lembar problem posing.
11. Guru dan siswa membuat kesimpulan.
12. Guru memberikan tugas rumah.
Silver dalam Kadir (2006:8) menyatakan bahwa istilah problem posing umumnya
digunakan pada tiga bentuk kegiatan yang bersifat metematis, yaitu:
1. Sebelum pengajuan solusi, yaitu satu pengembangan masalah awal dari situasi stimulus
yang diberikan.
2. Di dalam pengajuan solusi, yaitu merumuskan kembali masalah agar menjadi lebih
mudah untuk diselesaikan.
3. Setelah pengajuan solusi, yaitu memodifikasi tujuan atau kondisi dari masalah yang
sudah diselesaikan untuk merumuskan masalah baru.
Ketika membuat soal (problem posing) berdasarkan situasi yang tersedia, siswa
terlibat secara aktif dalam belajar. Situasi yang diberikan dibuat sedemikian hingga berkaitan
dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Situasi diproses dalam benak siswa
selanjutnya siswa akan membuat soal sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya.
Pengetahuan tentang bagaimana memahami soal, secara tidak langsung, terinternalisasi
dalam proses pembuatan soal yang dijalani siswa. Problem posing dapat membantu siswa
dalam mengembangkan dan meningkatkan kemampuan matematika siswa. Dalam
pembelajaran matematika diperlukan adanya penekanan dalam mengembangkan kamampuan
siswa untuk mengajukan soal, sehingga dapat meningkatkan penguasaan matematika siswa.
H. CREATIVE PROBLEM SOLVING
Menurut Karen dalam Rosalin (dalam zainab, 2012), model Creative Problem Solving
(CPS) adalah suatu metode pembelajaran yang berpusat pada keterampilan pemecahan
masalah yang diikuti dengan penguatan kreativitas. Guru hendaknya dapat merangsang siswa
dalam memecahkan masalah sehingga dapat meningkatkan keterampilan proses dan keaktifan
32. siswa dalam proses pembelajaran. CPS terdiri dari problem solving yaitu bagian dari
pemikiran analitis (analytical thinking) dan kreativitas siswa
CPS menurut Pepkin (Zainab, 2012), representing process dimensions in a natural,
rather than in a contrived way. Undergoing a transformation from a prescriptive to a
descriptive approach. Becoming more flexible and responsive to task, contextual,
personal,methodological and meta-cognitive consideration. Menurut definisi tersebut CPS
dapat diartikan sebagai metode untuk menemukan solusi dan merepresentasikan suatu
masalah secara kreatif. Osborn (zainab, 2012) mengatakan bahwa CPS mempunyai tiga
prosedur, yaitu;
1. Menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah, mengumpulkan dan meneliti data
atau informasi yang bersangkutan.
2. Menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan memodifikasi gagasan tentang
strategi pemecahan masalah.
3. Menemukan solusi, yaitu proses evaluatif sebagai puncak pemecahan masalah. Kreatif
memiliki dua fase dalam pemecahan masalah menurut Von Oech (Pepkin, 2000:63), yaitu
fase imajinatif (gagasan strategi pemecahan masalah diperoleh) dan fase praktis (gagasan
dievaluasi dan dilaksanakan).
Pepkin (Zainab, 2012) menuliskan langkah-langkah creative problem solving (CPS)
dalam pembelajaran matematika sebagai hasil gabungan prosedur Von Oech dan Osborn, di
antaranya sebagai berikut:
1. Klarifikasi masalah, meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang
diajukan agar siswa dapat memahami tentang penyelesauiannya yang diharapkan.
2. Pengungkapan masalah, siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang
berbagai macam strategi penyelesaian masalah.
3. Evaluasi dan seleksi, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-
strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah.
4. Implementasi, siswa menentukan strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan
masalah, kemudian menerapkannya hingga menemukan penyelesaian dari masalah
tersebut.
Metode CPS dalam pembelajaran matematika dapat diukur melalui beberapa
indikator. Indikator merupakan sasaran yang akan dicapai dalam proses pembelajaran
tersebut. Menurut Pepkin (Zainab, 2012) indikatornya sebagai berikut :
33. 1. Siswa mampu menyatakan urutan langkah-langkah pemecahan masalah. Maksunya adalah
siswa dapat membuat langkah-langkah proses pemecahan masalah dengan memperkirakan
keadaan konteks soal.
2. Siswa mampu menemukan kemungkinan-kemungkinan strategi pemecahan masalah.
Maksudnya adalah siswa dapat menentukan langkah-langkah pengerjaan melalui beberapa
strategi pemecahan masalah. Kemungkinan-kemungkinannya adalah :
a. Siswa langsung mencari luas yang diarsir sesuai dengan bentuknya.
b. Siswa mencari luas hanya satu daerah yang diarsir lalu dijumlahkan sebanyak daerah
yang diarsir tersebut.
c. Siswa mencari luas hanya satu daerah yang diarsir lalu dikalikan dengan banyak
daerah yang diarsir.
d. Siswa melihat dan meneliti bentuk lingkaran tersebut sehingga mendapat kesimpulan
bahwa daerah yang diarsir merupakan gabungan dari beberapa lingkaran.
3. Siswa mampu mengevaluasi dan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan tersebut
kaitannya dengan kriteria-kriteria yang ada. Artinya, setelah membuat beberapa
kemungkinan-kemungkinan solusi maka siswa dapat menyeleksi strategi-strategi yang
dianggap mudah dan efektif.
4. Siswa mampu memilih suatu pilihan solusi yang optimal. Artinya siswa dapat memilih
dari kemungkinan pengerjaan solusi yang paling mudah dan efektif dalam pemecahan
masalah.
5. Siswa mampu mengembangkan suatu rencana dalam mengimplementasikan strategi
pemecahan masalah. Dari strategi yang didapatkan, siswa mampu mengembangkannya
menjadi suatu jawaban.
6. Siswa mampu mengartikulasikan bagaimana CPS dapat digunakan dalam berbagai bidang
dan situasi. Maksudnya adalah siswa dapat menggunakan metode CPS pada pokok
bahasan matematika yang lainnya bahkan mata siswaan lain. Siswa dalam setiap proses
pembelajaran menggunakan prosedur dari metode CPS. Selain itu, dalam proses
pembelajaran yang berlangsung menggunakan metode CPS, dapat dilakukan penilaian
proses yang menurut HOSA (zainab, 2012) sebagai berikut :
a. Mengerti masalah;
b. Efektifitas menggunakan pengetahuan dan pengalaman dalam pemecahan masalah;
c. Penyelesaian yang logis;
d. Penyelesaian adalah hal penting dan bekerjasama;
e. Memberikan solusi yang baik dengan menyertakan data atau fakta-fakta;
34. f. Menunjukkan imaginatif dan inovatif digunakan untuk memberikan solusi masalah;
g. Fakta dari kerja kelompok dalam mencari jawaban;
h. Organisasi, Pengiriman dan kualitas presentasi lisan;
i. Kualitas jawaban dari pertanyaan penilai; dan
j. Keseriusan kelompok dalam memaparkan hasil atau solusi yang diperoleh
I. OPEN ENDED LEARNING
Menurut Suherman dkk (2003; 123) problem yang diformulasikan memiliki
multijawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau disebut juga Open-Ended
problem atau soal terbuka. Siswa yang dihadapkan dengan Open-Ended problem, tujuan
utamanya bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana
sampai pada suatu jawaban. Dengan demikian bukanlah hanya satu pendekatan atau metode
dalam mendapatkan jawaban, namun beberapa atau banyak.
Sifat “keterbukaan” dari suatu masalah dikatakan hilang apabila hanya ada satu cara
dalam menjawab permasalahan yang diberikan atau hanya ada satu jawaban yang mungkin
untuk masalah tersebut. Contoh penerapan masalah Open-Ended dalam kegiatan
pembelajaran adalah ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara atau pendekatan
yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan bukan berorientasi pada
jawaban (hasil) akhir.
Pembelajaran dengan Open-Ended diawali dengan memberikan masalah terbuka
kepada siswa. Kegiatan pembelajaran harus mengarah dan membawa siswa dalam menjawab
masalah dengan banyak cara serta mungkin juga dengan banyak jawaban (yang benar),
sehingga merangsang kemampuan intelektual dan pengalaman siswa dalam proses
menemukan sesuatu yang baru.
Tujuan dari pembelajaran Open-Ended problem menurut Nohda (Suherman, dkk,
2003; 124) ialah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematik
siswa melalui problem posing secara simultan. Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan pola
pikir matematik siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan
setiap siswa.
Pembelajaran Open-Ended menjanjikan kepada suatu kesempatan kepada siswa untuk
meginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan
mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir
matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-
kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasi melalui proses pembelajaran. Inilah yang
35. menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan Open-Ended, yaitu pembelajaran yang
membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa
untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi.
Dalam pembelajaran dengan Open-Ended, siswa diharapkan bukan hanya
mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada proses pencarian suatu jawaban.
Menurut Suherman dkk (2003:124) mengemukakan bahwa dalam kegiatan matematik dan
kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi ketiga aspek berikut:
1. Kegiatan siswa harus terbuka
Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran harus
mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai
kehendak mereka.
2. Kegiatan matematika merupakan ragam berpikir
Kegiatan matematik adalah kegiatan yang didalamnya terjadi proses pengabstraksian dari
pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam dunia matematika atau
sebaliknya.
3. Kegiatan siswa dan kegiatan matematika merupakan satu kesatuan
Dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat mengangkat pemahaman dalam
berpikir matematika sesuai dengan kemampuan individu. Meskipun pada umumnya guru
akan mempersiapkan dan melaksanakaan pembelajaran sesuai dengan pengalaman dan
pertimbangan masing-masing. Guru bisa membelajarkan siswa melalui kegiatan-kegiatan
matematika tingkat tinggi yang sistematis atau melalui kegiatan-kegiatan matematika yang
mendasar untuk melayani siswa yang kemampuannya rendah. Pendekatan uniteral
semacam ini dapat dikatakan terbuka terhadap kebutuhan siswa ataupun terbuka terhadap
ide-ide matematika.
Oleh karena itu hal yang perlu diperhatikan adalah kebebasan siswa untuk berpikir
dalam membuat progress pemecahan sesuai dengan kemampuan, sikap, dan minatnya
sehingga pada akhirnya akan membentuk intelegensi matematika siswa.
Mengkonstruksi Masalah Open-Ended
Menurut Suherman, dkk (2003 : 129-130) mengkonstruksi dan mengembangkan
masalah Open-Ended yang tepat dan baik untuk siswa dengan tingkat kemampuan yang
beragam tidaklah mudah. Akan tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan di Jepang dalam
jangka waktu yang cukup panjang, ditemukan beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dalam
mengkonstruksi masalah, antara lain sebagai berikut:
36. 1. Menyajikan permasalahan melalui situasi fisik yang nyata di mana konsep-konsep
matematika dapat diamati dan dikaji siswa.
2. Menyajikan soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa dapat
menemukan hubungan dan sifat-sifat dari variabel dalam persoalan itu.
3. Menyajikan bentuk-bentuk atau bangun-bangun (geometri) sehingga siswa dapat membuat
suatu konjektur.
4. Menyajikan urutan bilangan atau tabel sehingga siswa dapat menemukan aturan
matematika.
5. Memberikan beberapa contoh konkrit dalam beberapa kategori sehingga siswa bisa
mengelaborasi siifat-sifat dari contoh itu untuk menemukan sifat-sifat dari contoh itu
untuk menemukan sifat-sifat yang umum.
6. Memberikan beberapa latihan serupa sehingga siswa dapat menggeneralisasai dari
pekerjaannya.
Menyusun rencana pendekatan open-ended
Apabila guru telah mengkonstruksikan atau menformulasi masalah Open-Ended
dengan baik, tiga hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran sebelum masalah itu
ditampilkan di kelas adalah:
1. Apakah masalah itu kaya dengan konsep-konsep matematika dan berharga?
Masalah Open-Ended harus medorong siswa untuk berpikir dari berbagai sudut pandang.
Disamping itu juga harus kaya dengan konsep-konsep matematika yang sesuai untuk
siswa berkemampuan tinggi maupun rendah dengan menggunakan berbagai strategi
sesuai dengan kemampuannya.
2. Apakah tingkat matematika dari masalah itu cocok untuk siswa?
Pada saat siswa menyelesaikan masalah Open-Ended, mereka harus menggunakan
pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka punya. Jika guru memprediksi bahwa
masalah itu di luar jangkauan kemampuan siswa, maka masalah itu harus diubah/diganti
dengan masalah yang berasal dalam wilayah pemikiran siswa.
3. Apakah masalah itu mengundang pengembangan konsep matematika lebih lanjut?
Masalah harus memiliki keterkaitan atau hubungan dengan konsep-konsep matematika
yang lebih tinggi sehingga dapat memacu siswa untuk berpikir tingkat tinggi.
Pada tahap ini hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan rencana
pembelajaran yang baik adalah sebagai berikut:
1. Tuliskan respon siswa yang diharapkan.
37. Pembelajaran matematika dengan pendekatan Open-Ended, siswa diharapkan
merespons masalah dengan berbagai cara sudut pandang. Oleh karena itu, guru harus
menyiapkan atau menuliskan daftar antisipasi respons siswa terhadap masalah.
“Kemampuan siswa terbatas dalam mengekpresikan ide atau pikirannya, mungkin siswa
tidak akan mampu menjelaskan aktivitasnya dalam memecahkan masalah itu. Tetapi
mungkin juga siswa mampu menjelaskan ide-ide matematika dengan cara yang berbeda”.
(Suherman, dkk 2003:131). Dengan demikian, antisipasi guru membuat atau menuliskan
kemungkinan repsons yang dikemukakan siswa menjadi penting dalam upaya
mengarahkan dan membantu siswa memecahkan masalah sesuai dengan cara
kemampuannya.
2. Tujuan dari masalah itu diberikan kepada siswa harus jelas.
Guru memahami dengan baik peranan masalah itu dalam keseluruhan rencana
pembelajaran. Masalah dapat diperlakukan sebagai topik yang tertentu, seperti dalam
pengenalan konsep baru kepada siswa, atau sebagai rangkuman dari kegiatan belajara
siswa. Berdasarkan pengalaman, masalah Open-Ended efektif untuk pengenalan konsep
baru atau rangkuman kegiatan belajar.
3. Sajikan masalah semenarik mungkin bagi siswa.
Konteks permasalahan yang diberikan atau disajikan harus dapat dikenal baik
oleh siswa, dan harus membangkitkan keingintahuan serta semangat intelektual siswa.
Oleh karena masalah Open-Ended memerlukan waktu untuk berpikir dan
mempertimbangkan strategi pemecahannya, maka masalah itu harus mampu menarik
perhatian siswa.
4. Lengkapi prinsip formulasi masalah, sehingga siswa mudah memahami maksud masalah
itu.
Masalah harus diekspresikan sedemikian rupa sehingga siswa dapat
memahaminya dengan mudah dan menemukan pendekatan pemecahannya. Siswa dapat
mengalami kesulitan, bila eksplanasi masalah terlalu singkat. Hal itu dapat timbul karena
guru bermaksud memberikan terobosan yang cukup kepada siswa untuk memilih cara dan
pendekatan pemecahan masalah. Atau dapat pula diakibatkan siswa memiliki sedikit atau
bahkan tidak memiliki kegiatan karea terbiasa megikuti petunjuk-petunjuk dari buku teks.
5. Berikan waktu yang cukup bagi siswa untuk mengekplorasi masalah.
Terkadang waktu yang dialokasikan tidak cukup dalam menyajikan masalah,
memecahkannya, mendiskusikan pendekatan dan penyelesaian,, dan merangkum dari apa
yang telah dipelajari siswa. Karena itu, guru harus memberi waktu yang cukup kepada
38. siswa untuk mengekplorasi masalah. Berdiskusi secara aktif antar sesama siswa dan
antara siswa dengan guru merupakan interaksi yang sangat penting dalam pembelajaran
dengan pendekatan Open-Ended.
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran open-ended
Kegiatan guru Kegiatan siswa
1. Mempersiapkan alat dan
bahan dalam pembelajaran
mempersiapkan alat pembelajaran
2. Menjelaskan tujuan
pembelajaran
Memahami tujuan pembelajaran
3. Menjelaskan materi
pembelajaran
Memperhatikan dan memahami
penjelasan guru
4. Memberikan contoh open-
ended
Memperhatikan guru
5. Memberikan situasi open-
ended dalam suatu kelompok
belajar
Menemukan cara menyelesaikan
masalah
6. Mempersilahkan siswa secara
individual untuk
menyelesaikan masalah yang
dihadapinya
Mengembangkan keterampilan
dalam menyelesaikan suatu masalah
7. Meminta siswa saling
berdiskusi terhadap
permasalahan yang dihadapi
Siswa berdiskusi dalam kelompok
dan saling berargumen
8. Memeriksa jawaban yang
dibuat siswa
Menyelesaikan jawaban dipapan tulis
39. Contoh soal yang diselesaikan dengan menggunakan pendekatan open ended
1. Dengan menggunakan berbagai cara, hitunglah sepuluh bilangan ganjil pertama
mulai dari satu!
Siswa berkesempatan melakukan beragam aktivitas untuk menjawab permasalahan
yang diberikan sehingga mereka sampaipada pemikiran seperti berikut:
• (1+19)+(3+7)+(5+15)+(7+13)+(9+11)=20x5=100
• (1+9)+(3+7)+(5+5)+(7+3)+(9+1)+(10x5)=100
• 1+3= 4, 4+5= 9, 9+7= 16, 16+9=25,......
Dari jawaban 3 siswa ada yang menemukan pola bahwa,
1+3= 2x2, 4+5= 3x3, 9+7=4x4,....,81+19= 10x10,
Artinya, 1+3+5+7+9+11+13+15+17+19 = 10 x 10 = 100 (jumlah sepuluh bilangan
ganjil yang pertama adalah 102
= 100
2. Dari aktifitas yang dilakukan siswa menggunakan kancing putih dan hitam temukan
juga pola seperti berikut:
Dari kegiatan ini siswa dipandu untuk mengkonstruksi permasalahannya sendiri.
Permasalahan-permasalahan itu misalnya sebagai berikut.
40. Ketika sisi persegi mencapai 10 kancing,
a. Berapa banyak kancing semuanya?
b. Ada berapa kancing putih? Atau ada berapa kancing hitam?
c. Berapa selisih kancing putih dan hitam?
Ketika pertanyaan diatas diselesaikan siswa secara berurutan, pendekatan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan mengundang kemungkinan beragam
kegiatan matematik yang dapat dilakukan siswa dengan penuh perhatian.
J. Probing Prompting Learning
Menurut arti katanya, probing adalah penyelidikan, pemeriksaan dan prompting
adalah mendorong atau menuntun. Pembelajaran probing prompting adalah pembelajaran
dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali
sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan tiap siswa dan pengalamannya
dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksi konsep,
prinsip dan aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak
diberitahukan.
Pembelajaran Probing prompting sangat erat kaitannya dengan pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pada saat pembelajaran ini disebut Probing question.
Probing question adalah pertanyaan yang bersifat menggali untuk mendapatkan jawaban
lebih lanjut dari siswa yang bermaksud untuk mengembangkan kualitas jawaban, sehingga
jawaban berikutnya lebih jelas, akurat serta beralasan .
Langkah-langkah pembelajaran probing prompting dijabarkan melalui tujuh tahapan
teknik probing (Sudarti, 2008:14) yang dikembangkan dengan prompting adalah sebagai
berikut:
1. Guru menghadapkan siswa pada situasi baru, misalkan dengan memperhatikan gambar
atau situasi lainnya yang mengandung permasalahan.
2. Menunggu beberapa saat untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan
jawaban atau melakukan diskusi kecil dalam merumuskannya.
3. Guru mengajukan persoalan kepada siswa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran atau
indikator kepada seluruh siswa.
4. Menunjuk salah satu siswa untuk menjawab pertanyaan.
5. Jika jawabannya tepat maka guru meminta tanggapan kepada siswa lain tentang jawaban
tersebut untuk meyakinkan bahwa seluruh siswa terlibat dalam kegiatan yang sedang
41. berlangsung. Namun jika siswa tersebut mengalami kemacetan jawab dalam hal ini
jawaban yang diberikan kurang tepat, tidak tepat, atau diam, maka guru mengajukan
pertanyaan-pertanyaan lain yang jawabannya merupakan petunjuk jalan penyelesaian
jawab. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang menuntut siswa berpikir pada tingkat
yang lebih tinggi, sampai dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan kompetensi dasar
atau indikator. Pertanyaan yang dilakukan pada langkah ini sebaiknya diajukan pada
beberapa siswa yang berbeda agar seluruh siswa terlibat dalam seluruh kegiatan Probing-
Prompting.
6. Guru mengajukan pertanyaan akhir pada siswa yang berbeda untuk lebih menekankan
bahwa indikator tersebut benar-benar telah dipahami oleh seluruh siswa