SlideShare a Scribd company logo
1 of 71
Get Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
CASE BESAR
Congestive Heart Failure dengan Cardiac Sirosis
Disusun Oleh :
Franky Abryanto
Richard M Butu
1
Maitri Kalyani
Pembimbing
dr. Agoes Kooshartoro, Sp.PD
dr. Devy Juniarti Iskandar, Sp.PD
dr. Rini Zulkifli
RUMAH SAKIT BHAKTI YUDA
SMF PENYAKIT DALAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT BHAKTI YUDA
Nama Mahasiswa : Franky Abryanto
Richard M Butu
Maitri kalyani
Dokter Pembimbing : dr. Agoes Kooshartoro, Sp.PD
dr. Devy Juniarti Iskandar, Sp.PD
dr. Rini Zulkifli
Tanda Tangan :
2
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. S Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 69 Tahun Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah Tanggal masuk RS :15-05-2014
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Alamat : Jl Raya Citayam RT 01/05
ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal : 17 Mei 2014 Jam : 07.10 WIB
Keluhan utama :
Sesak Napas sejak kapan 3 hari sebelum masuk RS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasa sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit dan semakin memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak dirasa oleh pasien tiap kali berjalan jauh dan dirasa membaik ketika pasien
duduk. Saat tidur pun pasien lebih nyaman diganjal dengan 2 bantal, karena dengan
seperti ini sesak dirasa berkurang. Sesak tidak disertai dengan suara mengi. Pasien
sering terbangun malam hari karena sesak.
Pasien juga terkadang terasa sesak jika batuk. Batuk disertai dahak berwarna
putih. Batuk sudah dirasakan oleh pasien sejak seminggu yang lalu.Selain sesak
pasien juga mengeluh demam. Demam dirasa timbul sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam dirasakan sepanjang hari. Demam tidak disertai dengan
menggigil dan berkeringat.
Pasien juga merasa mual, namun tidak muntah. Mual dirasa setiap hari dan
hilang timbul. Pasien juga mengeluh nyeri di ulu hati, nyeri dirasa sejak 5 hari
3
sebelum masuk RS, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk, sejak merasa nyeri di ulu hati,
pasien tidak nafsu makan dan perut terasa kembung.
Pasien mengaku bengkak pada kedua kaki sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Bengkak baru pertama kali dirasakan, bengkak juga tidak dirasa nyeri.
Buang air besar tidak ada keluhan, buang air kecil berwarna seperti air teh
pekat.Selama ini pasien mengaku tidak rutin minum obat darah tinggi. Pasien
mengaku tekanan darah tertinggi 180/90, terendah 130/80. Riwayat nyeri dada
sebelumnya disangkal oleh pasiennya.
Penyakit Dahulu
(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjal/Sal.kemih
(-) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hemia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Penyakit Prostat
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(-) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes
(-) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Khorea (+) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis
(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis
(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu lain-lain : (-) Operasi
(-) Kecelakaan
Riwayat Keluarga
Hubungan Umur (Tahun) Jenis Kelamin Keadaan
Kesehatan
Penyebab
Meninggal
Kakek (ayah) Tidak tahu Laki-laki Tidak tahu Tidak tahu
Nenek (ayah) Tidak tahu Perempuan Tidak tahu Tidak tahu
Kakek (ibu) Tidak tahu Laki-laki Tidak tahu Tidak tahu
Nenek (ibu) Tidak tahu Perempuan Tidak tahu Tidak tahu
Ayah Tidak tahu Laki-laki Meninggal Tidak tahu
Ibu Tidak tahu Perempuan Meninggal Tidak tahu
Saudara Tidak tahu Laki-laki Sehat -
4
(Kakak ke-1)
Saudara
(Kakak ke-2) Tidak tahu
Laki-laki Sehat -
Saudara
(Adik ke-1) Tidak tahu
Laki-laki
Sehat
-
Adakah Kerabat yang Menderita ?
ANAMNESIS SISTEM
Catatan keluhan tambahan positif disamping judul-judul yang bersangkutan
Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat Malam (-) Ptechie
(-) Kuku (-) Kuning/Ikterus (-) Sianosis
Kepala
(-) Trauma (-) Sakit Kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus
Mata
(-) Nyeri (-) Radang
(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan
(+) Kuning/Ikterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun
Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran
5
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi Tidak ada
Asma Tidak ada
Tuberkulosis Tidak ada
Hipertensi Ada Ayah
Diabetes Tidak ada
Kejang Demam Tidak ada
Epilepsy Tidak ada
Poliomielitis Tidak ada
(-) Kehilangan Pendengaran
Hidung
(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis
Mulut
(-) Bibir kering (-) Lidah kotor
(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah
(-) Selaput (-) Stomatitis
Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara
Leher
(-) Benjolan (-) Nyeri Leher
Dada ( Jantung / Paru – paru )
(-) Nyeri dada (-) Sesak Napas
(-) Berdebar (-) Batuk Darah
(-) Ortopnoe (-) Batuk
Abdomen ( Lambung Usus )
(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar
(+) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah
(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul
(+) Nyeri Ulu Hati (-) Tinja Berwarna Ter
(-) Benjolan (-) Nyeri tekan CVA
Saluran Kemih / Alat Kelamin
(-) Disuria (-) Kencing Nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi Urin
(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes
(-) Ngompol (-) Penyakit Prostat
6
Katamenia
(-) Leukore (-) Pendarahan
(-) lain – lain
Haid
(-) Haid terakhir (-) Jumlah dan lamanya (-) Menarche
(-) Teratur/tidak (-) Nyeri (-) Gejala Kilmakterium
(-) Gangguan haid (-) Pasca menopause
Saraf dan Otot
(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot Lemah (-) Hipo / Hiper-esthesi
(-) Kejang (-) Pingsan
(-) Afasia (-) Kedutan (‘tick’)
(-) Amnesia (-) Pusing (Vertigo)
(-) Gangguan bicara (Disartri)
Ekstremitas
(+) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri (-) Sianosis
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan : 60 kg
Berat Badan : 165 cm
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 124x/menit
Suhu : 38,6°C
Pernapasan : 32x/menit, abdomino torakal
Keadaan gizi : IMT: 22,04 (Gizi cukup)
Kesadaran : compos mentis
Sianosis : tidak ada
Udema umum : tidak ada
Umur menurut taksiran pemeriksa : sesuai umur
Aspek Kejiwaan
7
Tingkah Laku : wajar/gelisah/tenang/hipoaktif/hiperaktif
Alam Perasaan : biasa/sedih/gembira/cemas/takut/marah
Proses Pikir : wajar/cepat/gangguan waham/fobia/obsesi
Kulit
Warna : sawo matang
Effloresensi : tidak ada
Jaringan Parut : tidak ada
Pigmentasi : tidak ada
Pertumbuhan rambut : distribusi merata
Lembab/Kering : lembab
Suhu Raba : sub-febris
Pembuluh darah : tidak tampak pelebaran
Turgor : turgor kulit baik
Ikterus : tidak ada
Oedem : tidak ada
Ptekie : tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : tidak membesar Leher : tidak membesar
Supraklavikula : tidak membesar Ketiak : tidak membesar
Lipat paha : tidak membesar
Kepala
Ekspresi wajah : normal dan wajar
Simetri muka : simetris
Rambut : hitam, distribusi merata
Mata
Exophthalamus : tidak ada
Enopthalamus : tidak ada
Kelopak : tidak ptosis, tidak udem, tidak ada bekas luka
Lensa : jernih
Konjungtiva : tidak anemis
8
Visus : tidak dilakukan pemeriksaan
Sklera : Ikterik
Telinga
Tuli : tidak ada
Lubang : liang telinga lapang, serumen +/+
Penyumbatan : tidak ada
Serumen : ada, pada liang telinga
Pendarahan : tidak ada
Cairan : tidak ada
Mulut
Bibir : tidak cyanosis, tampak kering
Tonsil : T1-T1, tenang
Langit-langit : tidak ada celah
Bau pernapasan : tidak berbau khas
Gigi geligi : tidak ada caries
Trismus : tidak ada
Faring : tidak hiperemis
Selaput lendir : kemerahan, basah
Lidah : tidak ada deviasi, tidak kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5 + 2 cm H2O
Kelenjar Tiroid : tidak membesar
Kelenjar Limfe : tidak membesar
Dada
Bentuk : normal
Buah dada : membesar, genekomastia
Paru – Paru Depan Belakang
Inspeksi
9
Kiri : bentuk dada normal, simetris saat statis dan dinamis, sela iga tidak
membesar, jenis pernapasan abdominotorakal.
Kanan : bentuk dada normal, simetris saat statis dan dinamis, sela iga tidak
membesar, jenis pernapasan abdominotorakal.
Palpasi
Kiri : sela iga tidak melebar, taktil fremitus normal, gerakan dada simetris
Kanan : sela iga tidak melebar, taktil fremitus normal, gerakan dada simetris
Perkusi
Kiri : sonor di seluruh lapang paru
Kanan : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi
Kiri : bunyi paru vesikuler, tidak terdengar ronkhi dan wheezing
Kanan : bunyi paru vesikuler, tidak terdengar ronkhi dan wheezing
Jantung
Inspeksi : bentuk thorax normal, tidak pectus excavatum, tidak pectus
carinatum, tidak barrel chest, ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : sela iga tidak melebar, ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra
Batas atas jantung : ICS II, linea sternalis sinistra
Batas pinggang jantung : ICS III, linea parasternalis sinistra
Batas kiri jantung : ICS VI, 2 cm dari linea midclavicula sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, tidak terdengar murmur dan gallop
Perut
Inspeksi : datar, supel, tidak ada bekas operasi, tidak ada penonjolan massa
Palpasi
Dinding perut : tegang, tidak ada defence muscular, ada nyeri
tekan epigastrium.
Hati : tidak teraba
Limpa : tidak teraba
10
Ginjal : Tidak teraba, nyeri costovertebrae angle
negatif, ballotement tidak teraba
Kandung empedu : Murphy sign tidak ada
Perkusi : timpani, batas paru-hati sela iga 5, peranjakan hati 2
jari.
Auskultasi : bising usus + normal
Refleks dinding perut : positif normal
Alat Kelamin (atas indikasi)
Tidak diperiksa
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : normotonus normotonus
Massa : tidak ada tidak ada
Sendi : tidak nyeri tidak nyeri
Gerakan : aktif aktif
Kekuatan : +5 +5
Oedem : tidak ada tidak ada
Lain-lain :
Petechie : tidak ada tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka : tidak ada tidak ada
Varises : tidak ada tidak ada
Otot : normotrofi normotrofi
Tonus : normotonus normotonus
Massa : tidak ada tidak ada
11
Sendi : tidak nyeri tidak nyeri
Gerakan : aktif aktif
Kekuatan : +5 +5
Udema : ada ada
Lain-lain :
Petechie : tidak ada tidak ada
LABORATORIUM & PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA
Pemeriksaan 15 mei 2014 pukul 20.18
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL
Darah lengkap
Hemoglobin 14,9 g/dl 12-18
Leukosit 5,7 ribu/mm3 5-10
Trombosit 114 ribu/mm3 150-450
Hematokrit 44 % 38-47
Diff
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 0 % 1-3
Neutrofil Stab 0 % 3-5
Neutrofil Segmen 60 % 54-62
Limfosit 35 % 25-33
Monosit 5 % 3-7
12
EKG
13
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL
Diabetes Melitus
Glucose sewaktu 91 mg/dl <180
SGOT 228 U/L <35
SGPT 88 U/L <40
Fungsi Jantung
Elektrolit
Natrium 128 MEQ/L 135-146
Kalium 4.41 MEQ/L 3,5-5
Chlorida 99 MEQ/L 98-107
Ureum 55 mg/dl 10-50
kreatinin 2 mg/dl 0,5-1,5
Kesan: Sinus ritme dan Old MCI anterior
Rontgen pada tanggal 16 Mei 2014
14
Kesan : Cardiomegali, Bronkitis
RESUME
Pasien laki-laki usia 63 tahun datang dengan keluhan sesak napas. Sesak
dirasa sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dan semakin memberat sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak timbul saat aktivitas, lebih nyaman menggunakan
bantal saat tidur, suka terbangun pada malam hari karena sesak. Batuk (+), dahak (+)
darah (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 140/90 mmHg, suhu 38,6˚C, nadi
124x/m, RR 32 x/m. sklera ikterik (+/+), BJ I-II iregguler, Ronkhi (+/+), Nyeri tekan
epigastrium (+), Nyeri tekan hipokondrium kanan (+) serta ekstremitas bawah udem
(+).
15
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil SGOT SGPT meningkat,
natrium dan ureum menurun, kreatinin meningkat, pada gambaran EKG didapat kesan
old miokard anterior. Pada gambaran radiologi tampak cardiomegali dan brokhitis.
DIAGNOSIS KERJA:
1. CHD dengan HHD
Sesak saat beraktifitas
Tidur lebih nyaman dengan disanggah 2 bantal
Riwayat penyakit jantung (+), riwayat hipertensi (+)
Gambaran radiologi : kesan tampak cardiomegali
PF : HR : 124 x/menit, RR : 32x/menit, TD : 140/90 mmHg
2. Bronkitis akut
Sesak ketika batuk
Batuk disertai dengan dahak
Demam sejak 3 hari sebelum masuk RS
Suhu : 38,6
Suara vesikuler +/+, rh +/+
Gambaran radiologi : Kesan Bronkitis
3. Suspect kardiak sirosis
Adanya Penyakit Gagal Jantung Kongestif yang menyertai
Pasien terlihat Ikterik
Udem perifer
Pemeriksaan Lab IgM anti HAV (-), HbsAg (-), anti HCV (-).
Peningkatan SGOT dan SGPT
Pemeriksaan USG menggambarkan adanya sirosis
4. Acute Kitney Injury
Adanya Penyakit Gagal Jantung Kongestif yang menyertai
Belum pernah mengalami gangguan ginjal sebelumnya
Pemeriksaan awal ureum kreatinin sedikit meningkat
PF: Udem perifer
16
DIAGNOSIS BANDING:
1. Cor pulmonale
2. Kardiomiopaty
ANJURAN PEMERIKSAAN
• Darah rutin
• Fungsi Liver
• Elektrolit
• Anti IgM HAV, HBsAg, Anti HCV
• Fungsi Ginjal
• USG abdomen
TATALAKSANA
Non medikamentosa:
• Batasi cairan,kurang dari 1 liter/hari
• Diet rendah protein
• Diet rendah garam < 2 gram/hari
• Olahraga
Medika mentosa:
O2 2 liter/menit
IVFD Ringer Laktat 10 tpm
Paracetamol infus 100ml
Furosemide iv 1x1
Ceftriaxon iv 1 gr
Ondansentron iv 40 mg
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia
Ad functionam : Dubia
Ad sanationam : Dubia
17
Follow up
16 May 2014 17 May 2014
S • Sesak,
• Demam,
• Mual
S • Sesak,
• Batuk disertai dahak,
• Mual
O KU : Tampak sakit sedang, CM
TD : 140/90 mmHg
S : 37,7˚C
N : 88x/menit
RR : 22x/menit
O KU : Tampak sakit sedang, CM
TD : 130/90
S : 36 °C
N : 82 x/ menit irreguler
RR : 20x/menit
Thorax : Paru : Suara napas vesikuler +/+,
Rh+/+, Wh -/-
Ekstremitas : udem
Hasil Pemeriksaan penunjang 1
A CHF ec HHD
Obs febris ec.hepatitis
A CHF ec HHD
Obs febris ec.hepatitis
Bronkhitis akut
AKI
P Oksigen 2 L
Diet Makanan Lunak 1800 kkal
Paracetamol 3x1
Furosemid 1x1 ampul
Digoxin 1x1
ISDN 2x1
P Terapi lanjut
Ceftriaxon stop
Furosemid Inj Stop diganti dengan Furo
semid tab 1x1
Paracetamol stop
Instruksi : Konsul (raber)
Penyakit Dalam
Rencana :
Periksa SGOT, SGPT, Bilirubin Total; direct,
indirect, Ureum, Kreatinin, elektrolit
18
18 May 2014 19 May 2014
S • Sesak dirasa berkurang
• Batuk berkurang
• Nyeri ulu hati
S • Sesak berkurang,
• Batuk berkurang
• Sulit tidur saat malam hari
O KU : Tampak sakit sedang, CM
TD : 130/90 mmhg
N : 80x/menit, irreguler
S : 36,2 °C
RR : 24x/menit
Hasil Pemeriksaan Penunjang
O KU : Tampak sakit sedang, CM
TD : 140/90 mmhg
N : 80x/menit, irreguler
S : 36,5 °C
RR : 24x/menit
Hasil pemeriksaan penunjang
A CHF ec HHD
Bronkhitis
AKI
Suspect Hepatitis
A CHF ec HHD
CAP
AKI
Suspect Hepatitis
P Terapi lanjut
SNMC 3 mg drip + Dextrose 5% 100cc
Ondansentron 3x1
Erdostein 3x1
Aminoral 3x1
Lesichol 2 x 300 mg
P Terapi lanjut
Rencana terapi :
Aspar K 2x1
NaCl caps 2x1
Rencana pemeriksaan :
HBs Ag, anti HAV igM
Rencana pemeriksaan :
Anti HCV
SGOT, SGPT
20 May 2014 21 May 2014
19
S • Sesak dirasa berkurang
• Batuk berkurang
• Nyeri di kedua kaki dirasa hilang
timbul
• Nyeri ulu hati
S • Nyeri pada kedua kaki yang
hilang timbul
• Mual (+)
O KU : Tampak sakit sedang, CM
TD : 130/80 mmhg
N : 82x/menit, irreguler
S : 36,2 °C
RR : 20x/menit
Hasil Pemeriksaan penunjang
O KU : Tampak sakit sedang, CM
TD : 130/100 mmhg
N : 84x/menit,
S : 36 °C
RR : 24x/menit
Hasil pemeriksaan penunjang
A • CHF ec CAD
• Bronkhitis
• AKI
• Suspect Hepatitis
• Neuropati
A • CHF ec CAD
• CAP
• AKI
• Suspect Hepatitis
• Neuropati
P Terapi lanjut
Aspar K 2x1
Nacl caps 2x1
P Terapi lanjut
Omeprazol Inj 2x1
Rencana pemeriksaan :
USG abdomen
SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin, Elektrolit
Rencana pemeriksaan :
USG abdomen
SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin,
Elektrolit
Rencana terapi :
Cefixime tab 200mg 2x1
22 May 2014 23 May 2014
20
S • Sesak sudah tidak dirasa lagi
• Nyeri di kedua kaki yang
dirasa hilang timbul mulai
berkurang
S Nyeri di kedua kaki yang dirasa
hilang timbul mulai berkurang
O KU : Tampak sakit sedang, CM
TD : 140/90 mmHg
N : 82x/menit, irreguler
S : 36,1 °C
RR : 20x/menit
Hasil pemeriksaan penunjang
O KU : Tampak sakit sedang, CM
TD : 140/90 mmHg
N : 84x/menit,
S : 36,7 °C
RR : 24x/menit
Hasil pemeriksaan penunjang
A • CHF ec CAD
• Bronkhitis dengan perbaikan
• AKI
• Neuropati
• Suspect Sirosis hepatis
A • CHF ec CAD dengan
perbaikan
• Bronkhitis dengan perbaikan
• AKI dengan perbaikan
• Neuropati
• Suspect Sirosis hepatis
P Terapi lanjut P Terapi stop
Rencana pemeriksaan :
SGOT, SGPT, albumin, ureum, creatinin
Rencana terapi :
Pemberian obat secara oral, Pasien
boleh pulang
Lampran hasil pemeriksaan penunjang
Lab tanggal 17 Mei 2014 pukul 08.07
21
Pemeriskaan tanggal 17 mei 2014 pukul 20.39
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL
Kimia darah
SGOT 1.186 U/L <35
SGPT 517 U/L <40
Bilirubin Total 2.2 mg/dl 0-1,5
Bilirubin direct 1.39 mg/dl 0-0,25
Bilirubin Indirect 0.81 mg/dl 0-0,75
Fungsi Jantung
Elektrolit
Natrium 127 MEQ/L 135-146
Kalium 3.4 MEQ/L 3,5-5
Chlorida 96 MEQ/L 98-107
Ureum 84 mg/dl 10-50
kreatinin 1.8 mg/dl 0,5-1,5
Pemeriksaan tanggal 18 mei 2014 pukul 17.47
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL
22
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL
Darah rutin
Hemoglobin 14,9 g/dl 12-18
Leukosit 6,1 ribu/mm3 5-10
Trombosit 177 ribu/mm3 150-450
Hematokrit 42 % 38-47
Immunologi/Serologi
HBsAg Non reaktif Non reaktif
IgM Anti HAV Negative Negative
Pemeriksaan tanggal 19 Mei 2014 pukul 17. 13
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL
Kimia darah
SGOT 665 â U/L <35
SGPT 388 â U/L <40
Immunologi/Serologi
Anti HCV Negative Negative
USG Tanggal 20 Mei 2014
23
24
Kesan : Sesuai dengan gambaran sirosis hepatic dengan ascites dan efusi dextra
Pemeriksaan tanggal 21 Mei 2014 pukul 11.50
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL
Kimia darah
SGOT 391 â U/L <35
SGPT 299 â U/L <40
Pemeriksaan tanggal 23 Mei 2014 pukul 8.28
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL
Kimia darah
SGOT 169 â U/L <35
SGPT 195 â U/L <40
Albumin 2.8 g/dl 3.5-5
Ureum 21 mg/dl 10-50
Creatinin 1.1 mg/dl 0.5-1.5
25
PEMBAHASAN
Pasien Tn S 63 tahun masuk ke RS dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari
dan semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa diagnosis adalah gagal jantung
kongestif (CHF ) dengan penyebab utamanya adalah Hypertension Heart Disease
(HHD)
Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan berdasarkan kriteria
Framingham dimana didapatkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor
dan dari anamnesis didapatkan dispnea d’effort kemudian dari pemeriksaan fisik
didapatkan, kardiomegali, paroximal nocturnal dispnea, ronkhi paru dan edema
ekstremitas. Pada pasien didapatkan 3 kriteria mayor dan 2 kriteria minor sehingga
didiagnosis pasien ini adalah gagal jantung kongestif. Berdasarkan tingkatannya, CHF
pada pasien ini termasuk ke dalam grade IV, yaitu pasien tidak mampu melakukan
kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung, yang bertambah apabila pasien
melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan.
Hipertensi merupakan beban pressure overload bagi miokard yang dapat
mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri dan gangguan fungsi diastolic
(asimptomatik/subklinik) dan akhirnya dapat menyebabkan gangguan sistolik
ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri merupakan respon terhadap kenaikan wall
stress ventrikel kiri akibat hipertensi dan suatu upaya untuk mengembalikan wall
stress ventrikel kiri kepada nilai normal, mempertahankan fungsi sistolik ventrikel
kiri dan mengurangi kemungkinan terjadinya gangguan perfusi miokard. Respon
adaptasi tersebut terbatas. Seperti pada pasien ini, bila tekanan darah tetap tinggi
dimana pasien sudah mengalami hipertensi selama 5 tahun dan jarang kontrol makan
akan terjadi remodeling, perubahan struktur miokard dan gangguan fungsi jantung.
Sesak napas yang merupakan keluhan utama pada pasien ini disebabkan oleh
karena adanya kongesti pulmoner, dengan adanya akumulasi dari cairan interstisial
yang menstimulasi pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas yang
disebabkan oleh penyakit jantung. Sesak napas pada malam hari saat pasien tidur
merupakan akibat pasien tidur dalam keadaan datar sehingga aliran balik darah
meningkat, akibatnya ventrikel kanan juga memompakan darah yang lebih banyak ke
arteri pulmonalis. Banyaknya darah di vaskuler paru mengakibatkan ekstravasasi
cairan dari vaskuler ke intersisial, dengan adanya ekstravasasi cairan ke intersisial
26
jaringan paru akan menimbulkan suara ronki basah basal saat di lakukan auskultasi
pada kedua lapangan paru. Ronkhi yang timbul akibat adanya peradangan paru dapat
disingkirkan karena tidak adanya manifestasi demam pada pasien ini. Sesak napas
pada pasien ini juga bisa disebabkan karena penyakit bronkitis akutnya.
Edema kedua tungkai pada pasien ini terjadi karena adanya kongesti vena
sistemik sebagai akibat gagal jantung kanan. Gagal jantung kanan dapat terjadi akibat
meningkatnya tekanan vaskular paru sehingga akhirnya membebani ventrikel kanan.
Selain itu disfungsi ventrikel kiri juga berpengaruh langsung terhadap fungsi ventrikel
kanan melalui fungsi anatomis dan biokimiawinya. Kedua ventrikel mempunyai satu
dinding yang sama (septum interventrikularis) yang terletak dalam pericardium.
Perubahan-perubahan biokimia seperti berkurangnya cadangan norepinefrin
miokardium selama gagal jantung juga dapat merugikan kedua ventrikel.
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Penyakit kardiovaskular sekarang merupakan penyebab kematian paling
umum di seluruh dunia. Penyakit kardiovaskular menyumbang hampir mendekati
40% kematian di negara maju dan sekitar 28% di negara miskin dan berkembang
(Gaziano, 2008). Menurut data dari studi Framingham, 90% orang yang berumur
diatas 55 tahun akan mengalami hipertensi selama masa hidupnya (Lilly, et al., 2007).
Hal ini menggambarkan masalah kesehatan publik karena hipertensi dapat
meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular, seperti gagal jantung
kongestif ( Kotchen, 2008). Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar
antara 5 - 10%. Dalam kurun 20 tahun terakhir, angka kematian karena serangan
jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering,
2008), oleh karena itu terjadi peningkatan penderita penyakit jantung hipertensi yang
beresiko mengalami gagal jantung kongestif (Rodeheffer, 2007). Menurut data dan
27
pengalaman sebelum adanya pengobatan yang efektif, penderita hipertensi yang tidak
diobati terbukti mengalami pemendekan masa kehidupan sekitar 10 – 20 tahun.
Bahkan individu yang mengalami hipertensi ringan jika tidak diobati selama 7 – 10
tahun beresiko tinggi mengalami komplikasi yaitu sekitar 30% terbukti mengalami
aterosklerosis dan lebih dari 50% akan mengalami kerusakan organ yang
berhubungan dengan hipertensi itu sendiri, seperti kardiomegali, gagal jantung
kongestif, retinopati, masalah serebrovaskular, dan/atau insufisiensi ginjal. Oleh
karena itu, walaupun bentuk ringan, hipertensi merupakan penyakit yang progresif
dan letal jika tidak segera diobati (Fisher, 2005).
Definisi
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, di mana terdapat kegagalan
jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan.4
Keadaan dimana
jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi metabolisme jaringan atau
hanya bisa melakukannya dengan tekanan pengisian yang tinggi secara tidak normal.
Penting untuk mengetahui dasar penyakit jantung dan faktor-faktor yang mencetuskan
gagal jantung kongestif akut.3
Etiologi
Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard,
perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di
Eropa dan Amerika disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung
koroner biasanya akibat infark miokard, yang merupakan penyebab paling sering pada
usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan di Indonesia
belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang menunjukkan
hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup.
Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagal jantung edema paru dan syok sering
dicetuskan oleh adanya berbagai faktor pencetus. Hal ini penting diidentifikasi
terutama yang bersifat reversibel karena prognosis akan menjadi lebih baik.4
Faktor pencetus akut untuk gagal jantung mencakup asupan natrium
meningkat, ketidakpatuhan pada terapi anti-CHF, MI akut (mungkin tersembunyi),
kekambuhan hipertensi, aritmia akut, infeksi dan/atau demam, emboli paru, anemia,
tirotoksikosis, kehamilan, miokarditis akut atau endokarditis infektif dan obat-obatan
28
tertentu (misalnya obat anti-inflamasi non-steroid, verapamil). Penyakit jantung yang
mendasari gagal jantung mencakup: (1) keadaan yang menekan fungsi sistolik
ventrikel (penyakit arteri koronaria, hipertensi, kardiomiopati dilatasi, penyakit katup,
penyakit jantung kongenital); dan (2) keadaan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang
masih baik (misalnya kardiomiopati restriktif, kardiomiopati hipertrofi, fibrosis,
kelainan endomiokardial), juga disebut gagal diastolik.3
Patofisiologi Gagal Jantung
Patofisiologi dari gagal jantung dapat dibagi menjadi beberapa bagian.
Bagian-bagian tersebut antara lain:
a. Mekanisme Dasar
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung
akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan
ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi
volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan
meningkatnya EDV (volume akhir diastolik) ventrikel, terjadi peningkatan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan
bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya LVDEP, terjadi
pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel
berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang
ke dalam pembuluh darah paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena
paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi
tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam
interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan
merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru. Tekanan arteri paru-paru
dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi
pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian
kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung
kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan kongesti paru.
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat oleh
regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara
bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus katup
atroventrikularis, atau perubahan orientasi otot papilaris dan korda tendinae
29
akibat dilatasi ruang. Edema paru pada gagal jantung kiri dapat kita lihat dengan
jelas pada Gambar no.2.5
Gambar no.1 Edema Paru pada Gagal Jantung Kiri
b. Respons Kompensatorik
Sebagai respons terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat
dilihat: (1) meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban
awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan (3) hipertrofi
ventrikel. Ketiga respons kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk
mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini mungkin memadai untuk
mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada
awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja
ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas.
Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.5
c. Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis
Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan
respons simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik
merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan
medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk
menambah curah jantung. Selain itu juga terjadi vasokonstriksi arteri perifer
untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan
mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah (misal,
kulit dan ginjal) untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak.
Venokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk
30
selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Seperti
yang diharapkan, kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal
jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada
katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.
Namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan
menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.
Perubahan ini paling tepat dengan melihat kurva fungsi ventrikel. Dalam keadaan
normal, katekolamin menghasilkan efek inotropik positif pada ventrikel sehingga
menggeser kurva ke atas dan ke kiri. Berkurangnya respons ventrikel yang gagal
terhadap rangsangan katekolamin menyebabkan berkurangnya derajat pergeseran
akibat rangsangan ini. Perubahan ini mungkin berkaitan dengan observasi yang
menunjukkan bahwa cadangan norepinefrin pada miokardium menjadi berkurang
pada gagal jantung kronis.5
d. Peningkatan Beban Awal Melalui Aktivasi Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan
air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut.
Peningkatan beban awal ini akan menambah kontraktilitas miokardium sesuai
dengan hukum Starling. Mekanisme pasti yang mengakibatkan aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun,
diperkirakan terdapat sejumlah faktor seperti rangsangan simpatis adrenergik
pada reseptor beta di dalam aparatus jukstaglomerulus, respons reseptor makula
densa terhadap perubahan pelepasan natrium ke tubulus distal, dan respons
baroreseptor terhadap perubahan volume dan tekanan darah sirkulasi. Apapun
mekanisme pastinya, penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai
serangkaian peristiwa berikut: (1) penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju
filtrasi glomerulus, (2) pelepasan renin dari aparatus jukstaglomerulus, (3)
interaksi renin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensin I, (4) konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, (5) rangsangan
sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan (6) retensi natrium dan air pada
tubulus distal dan duktus pengumpul. Angiotensin II juga menghasilkan efek
vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah. Pada gagal jantung berat,
kombinasi antara kongesti vena sistemik dan menurunnya perfusi hati akan
mengganggu metabolisme aldosteron di hati, sehingga kadar aldosteron dalam
darah meningkat. Kadar hormon antidiuretik akan meningkat pada gagal jantung
31
berat, yang selanjutnya akan meningkatkan absorpsi air pada duktus
pengumpul.Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron dapat kita lihat pada Gambar
no.3.5
Renin + Angiotensinogen
Angiotensin I
Angiotensin II
Vasokonstriksi perifer Sekresi aldosteron
Retensi Na+
, H2O
Peningkatan volume
plasma
Peningkatan tekanan darah
Gambar no.2 Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
e. Hipertrofi Ventrikel
Respons kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium
atau bertambahnya tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer
dalam sel-sel miokardium; sarkomer dapat bertambah secara paralel atau serial
bergantung pada jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung.
Sebagai contoh, suatu beban tekanan yang ditimbulkan stenosis aorta akan
disertai dengan meningkatnya ketebalan dinding tanpa penambahan ukuran ruang
dalam. Respons miokardium terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi
aorta, ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya ketebalan dinding. Kombinasi
ini diduga terjadi akibat bertambahnya jumlah sarkomer yang tersusun secara
serial. Kedua pola hipertrofi ini disebut hipertrofi konsentris dan hipertrofi
eksentris. Apapun susunan pasti sarkomernya, hipertrofi miokardium akan
meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel.5
f. Mekanisme Kompensatorik Lainnya
32
Mekanisme lain bekerja pada tingkat jaringan untuk meningkatkan hantaran
oksigen ke jaringan. Kadar 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) plasma meningkat
sehingga mengurangi afinitas hemoglobin dengan oksigen. Akibatnya, kurva
disosiasi oksigen-hemoglobin bergeser ke kanan, mempercepat pelepasan dan
ambilan oksigen oleh jaringan. Ekstraksi oksigen dari darah ditingkatkan untuk
mempertahankan suplai oksigen ke jaringan pada saat curah jantung rendah.5
g. Efek Negatif Respons Kompensatorik
Awalnya, respons kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan;
namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala,
meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi
cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan
terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik. Vasokonstriksi arteri
dan redistribusi aliran darah mengganggu perfusi jaringan pada anyaman vaskular
yang terkena, serta menimbulkan gejala dan tanda (misal, berkurangnya jumlah
keluaran urine dan kelemahan tubuh). Vasokonstriksi arteri juga meningkatkan
beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir
juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan
kebutuhan oksigen miokardium (MVO2) juga meningkat. Hipertrofi miokardium
dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan MVO2. Jika
peningkatan MVO2 ini tidak dapat dipenuhi dengan meningkatkan suplai oksigen
miokardium, akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium
lainnya. Hasil akhir peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya
beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.5
Manifestasi Klinis Gagal Jantung
Manifestasi klinis gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat
latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala
hanya muncul saat beraktivitas fisik; tetapi, dengan bertambah beratnya gagal jantung,
toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal
dengan aktivitas yang lebih ringan. Dispnea, atau perasaan sulit bernafas, adalah
manifestasi gagal jantung yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan
kerja pernafasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.
Meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Batuk nonproduktif
juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi berbaring.5
33
Gejala lain dari gagal jantung adalah edema perifer. Biasanya, keluhan dari
penderita adalah pada saat bangun tidur di pagi hari, kaki masih tampak normal.
Namun, semakin siang, kaki dan pergelangan kaki membengkak dan apabila ia
membuka sepatu, maka ia tidak akan dapat lagi mengenakannya. Penderita juga akan
mengeluh tentang perasaan berat di kaki. Di sepanjang hari itu, berat badan dapat
bertambah sampai 2 kg. Kita juga akan dengan mudah menekan satu sumuran di
dalam edema, sehingga sering disebut edema sumuran (pitting edema). Pada beberapa
penderita gagal jantung kronis yang selalu berada di tempat tidur, edema akan
berpindah ke bagian yang paling rendah dari tubuhnya. Hal inilah yang menyebabkan
timbulnya edema presakral. Umumnya edema di kaki kanan akan diangkut dan
dibuang melalui urin pada malam hari. Itulah sebabnya mengapa pada malam hari,
penderita selalu mengeluarkan kencing yang banyak (paling sedikit 3 kali) dan sering
disebut nokturia.6
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang
interstisial. Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan
terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang
mengurangi retensi cairan. Nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan
reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokonstriksi ginjal pada
waktu istirahat. Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema
anasarka (edema tubuh generalisata). Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan
pada aliran vena sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan,
namun manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh
retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata. Semua manifestasi yang
dijelaskan di sini secara khas diawali dengan bertambahnya berat badan, yang jelas
mencerminkan adanya retensi natrium dan air.5
Kulit pucat dan dingin disebabkan oleh vasokonstriksi perifer; makin
berkurangnya curah jantung dan meningkatnya kadar hemoglobin tereduksi
menyebabkan terjadinya sianosis. Vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan
tubuh untuk melepaskan panas; oleh karena itu dapat ditemukan demam ringan dan
keringat yang berlebihan. Kurangnya perfusi pada otot rangka menyebabkan
kelemahan dan keletihan. Gejala dapat diperberat oleh ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit atau anoreksia. Makin menurunnya curah jantung dapat disertai insomnia,
kegelisahan, atau kebingungan. Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat terjadi
kehilangan berat badan yang progresif atau kakeksia jantung.5
34
Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung memperlihatkan denyut yang
cepat dan lemah. Denyut jantung yang cepat (atau takikardia) mencerminkan respons
terhadap rangsangan saraf simpatis. Sangat menurunnya volume sekuncup dan adanya
vasokonstriksi perifer mengurangi tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik
dan diastolik), menghasilkan denyut yang lemah (thready pulse). Hipotensi sistolik
ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat. Selain itu, pada gagal ventrikel kiri
yang berat dapat timbul pulsus alternans, yaitu berubahnya kekuatan denyut arteri.
Pulsus alternans menunjukkan disfungsi mekanis yang berat dengan berulangnya
variasi denyut ke denyut pada volume sekuncup. Pada auskultasi dada lazim
ditemukan ronki (seperti yang telah dikemukakan di atas) dan gallop ventrikel atau
bunyi jantung ketiga (S3). Terdengarnya S3 pada auskultasi merupakan ciri khas gagal
ventrikel kiri. Gallop ventrikel terjadi selama diastolik awal dan disebabkan oleh
pengisian cepat pada ventrikel yang tidak lentur atau terdistensi. Kuat angkat
substernal (atau terangkatnya sternum sewaktu sistolik) dapat disebabkan oleh
pembesaran ventrikel kanan. Terjadi perubahan-perubahan khas pada kimia darah.
Misalnya, perubahan cairan dan kadar elektrolit terlihat dari kadarnya dalam serum.
Yang khas adalah adanya hiponatremia pengenceran; kadar kalium dapat normal atau
menurun akibat terapi diuretik. Hiperkalemia dapat terjadi pada tahap lanjut dari gagal
jantung karena gangguan ginjal.5
Manifestasi klinis dari gagal ventrikel kiri berupa
sesak napas, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, rasa lelah, kebingungan,
nokturia, dan nyeri dada. Manifestasi klinis dari gagal ventrikel kanan berupa sesak
napas, peningkatan tekanan vena jugularis, anasarka, asites, edema kaki, refluks
hepatojugular, dan nyeri abdomen.7
Pemeriksaan Fisik Jantung
Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan tepat agar kita dapat menegakkan
diagnosis secara benar. Pada inspeksi dan palpasi jantung, posisi dan karakteristik
denyut apeks jantung harus diperhatikan. Posisi denyut apeks jantung biasanya berada
pada bagian terbawah dan terluar denyutan yang mudah diraba. Pada pasien dengan
bentuk dada normal dan dalam posisi duduk 450
, denyut apeks jantung biasanya
teraba pada ruang interkostalis kelima pada garis midklavikula. Denyut apeks jantung
yang normal sebaiknya dirasakan oleh jari.Untuk melakukan palpasi denyut apeks
jantung, jemari tangan kanan pemeriksa seharusnya menekan dengan ringan dinding
dada pasien sepanjang sumbu iga, dengan bantalan jari tengah yang berada lebih
35
lateral dan inferior dari ruangan interkostalis kelima pada haris midaksilaris. Jemari
secara perlahan di geser kearah medial untuk mencapai posisi yang diinginkan.
Bantalan jari tengah digunakan untuk menentukan bagian denyut apeks terluar dan
terbawah, sedangkan jari telunjuk dapat digunakan untuk memastikan apakah denyut
yang lebih jelas tidak teraba diatasnya. Jari manis dan kelingking dapat digunakan
untuk memastikan bahwa denyut apeks yang lebih jelas tidak teraba disebelah lateral
atau inferior dari denyut apeks yang teraba oleh jari tengah.2
Denyut apeks seharusnya teraba lebih kearah dalam dari apeks jantung yang
diperkirakan karena jantung merupakan tempat masuknya pembuluh-pembuluh besar
dari bagian atas mediastinum, tetapi pada kenyataannya denyut apeks bergerak kearah
luar karena jantung mengalami rotasi kearah anterior pada saat sistol ventrikel.
Getaran (murmur yang teraba) yang dirasakan tangan yang sedang melakukan
palpasi terutama menunjukkan adanya turbulensi aliran darah. Getaran sistolik
biasanya berhubungan dengan adanya kelainan pada bagian kiri jantung karena
tekanan yang terbentuk lebih besar. Getaran yang dirasakan diatas jantung dapat
disebabkan oleh stenosis aorta, defek septum ventrikel atau regurgitasi mitral.
Kadang-kadang, murmur diastolik pada stenosis mitralis dapat teraba.2
Jika denyut apeks bergeser kearah bawah atau luar, keadaan ini menunjukkan
adanya deformitas dada, pergeseran mediastinum, kelainan pleura atau paru-paru atau
pembesaran jantung (secara statistik lebih sering).Heaves (pengangkatan) adalah
terangkatnya jemari pemeriksa yang sedang meraba apeks jantung. Pengangkatan atau
pendorongan denyut apeks ini bersifat terus menerus dan kuat, serta mengangkat jari
pemeriksa yang sedang meraba. Keadaan ini dapat ditemukan (terutama pada
pembesaran ventrikel kiri) akibat hipertrofi otot jantung (sering kali ditemukan pada
beban tekanan yang berlebihan) atau dilatasi jantung(sering kali ditemukan pada
beban volume yang berlebihan).Denyut apeks yang tidak teraba dapat disebabkan
oleh obesitas, dinding dada yang tebal, emfisema, dan perikarditis konstriktif.2
Retraksi sistolik denyut apeks dapat terjadi pada perikarditis konstriktif karena
rotasi jantung mengalami gangguan karena tertahan oleh perikardium. Retraksi
sistolik dapat juga terjadi pada insufisiensi trikuspid karena terjadinya pengosongan
ventrikel kanan yang berlebih dan cepat sehingga ventrikel kiri kurang kuat untuk
melakukan rotasi ke arah anterior. Denyut apeks yang berdetak dapat disebabkan oleh
penutupan katup mitral yang sangat jelas terdengar, atau pendorongan ventrikel kiri
ke arah depan akibat pembesaran atrium kiri. Hal ini sering kali merupakan petunjuk
36
klinis awal untuk stenosis mitral. Pengangkatan bagian bawah sternum dapat
disebabkan hipertrofi ventrikel kanan. Kadang-kadang hipertrofi ventrikel kanan
terjadi akibat penyakit paru dan dada yang mengembang dapat menyebabkan
ventrikel kanan yang mengalami hipertrofi menjadi sulit untuk diraba. Akan tetapi,
gerakan ventrikel kanan masih mungkin dirasakan dengan melakukan palpasi tepat
dibawah prosesus xiphoideus kearah atas.Pengangakatan midsternum sisi kiri dapat
terjadi pada infark miokard anterior atau bila terdapat aneurisma ventrikel kiri.Denyut
apeks yang sangat kuat terjadi jika curah jantung mengalami peningkatan setelah
berolahraga.Lokasi denyut apeks yang tidak jelas dapat terjadi pada penyakit otot
jantung, baik karena kardiomiopati maupun setelah mengalami infark miokard.2
Perkusi jantung jarang memberikan informasi yang bermanfaat. Kadang-
kadang efusi perikardial yang besar atau atrium kiri yang besar, dapat diperkusi (pada
stenosis mitral yang lama dan berat). Pada saat melakukan auskultasi, diafragma dan
sungkup stetoskop harus digunakan untuk mendengar bunyi jantung, yaitu bagian
diafragma untuk mendengar murmur bernada tinggi dan sungkup untuk mendengar
murmur bernada rendah. Posisi katup jantung dan daerah yang diauskultasi. Sebelum
pengendalian klinis berbagai lesi katup menjadi terlatih, bunyi jantung pertama dan
kedua sebaiknya dikenali terlebih dahulu, bunyi jantung ketiga dan keempat dicari
secara mendalam, dan murmur (jika ada) dikenali. Posisi katup jantung dan lokasi
daerah auskultasi dapat kita lihat lebih jelas pada Gambar no.1.2
Gambar no.3 Posisi Katup Jantung dan Lokasi Daerah Auskultasi
37
Pada pemeriksaan fisik terhadap pasien gagal jantung mungkin ditemukan
pelebaran vena jugularis, S3, bendungan paru (ronki, pekak pada efusi pleura, edema
perifer, hepatomegali, dan asites). Takikardia sinus umum terjadi. Pada pasien dengan
disfungsi diastolik, S4 seringkali ada.3
a. Keadaan umum dan tanda vital
Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami
gangguan saat beristirahat, kecuali perasaan tidak nyaman saat berbaring pada
permukaan datar selama lima menit. Pada gagal jantung yang lebih berat, pasien
harus duduk dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan kemungkinan
tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak napas yang
dirasakan. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada gagal jantung
ringan, namun berkurang pada gagal jantung berat, karena adanya disfungsi
ventrikel kiri yang berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang,
menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda
nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi
perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada
bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik yang berlebih.
b. Pemeriksaan vena jugularis dan leher
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan,
dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena
jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala deangkat dengan sudut
450
. Pada gagal jantung stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada
waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan
peningkatan tekanan abdomen.
c. Pemeriksaan paru
Pulmonary crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan dari
rongga intravaskular ke dalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki
dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai wheezing ekspiratoar
(asma kardial). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik
untuk gagal jantung. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan
sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan ke dalam rongga pleura.
d. Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan jantung sering tidak memberikan informasi yang berguna mengenai
tingkat keparahan gagal jantung. Jika kardiomegali ditemukan, maka apex cordis
38
biasanya berubah lokasi di bawah ICS V dan atau sebelah lateral dari
midclavicularis line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex.
Pada beberapa pasien, suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi
pada apex. S3 atau prodiastolik gallop paling sering ditemukan pada pasien
dengan volume overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan sering
kali menandakan gangguan hemodinamika. Bising pada regurgitasi mitral dan
tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan gagal jantung tahap lanjut.
e. Abdomen dan ekstremitas
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien jantung.
Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan dapat
berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Asites dapat timbul
sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan vena hepatik dan sistem vena
yang berfungsi dalam drainase peritoneum. Jaundice dapat ditemukan dan
merupakan tanda gagal jantung stadium lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan
indirek meningkat. Ikterik ini disebabkan karena terganggunya fungsi hepar
sekunder akibat kongesti hepar dan hipoksia hepatoseluler. Edema perifer adalah
manifestasi cardinal jantung, namun hal ini tidaklah spesifik dan biasanya tidak
terdapat pada pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer biasanya
simetris, beratya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering
terjadi sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih
beraktivitas.
f. Cardiac cachexia
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat
badan dan cachexia yang bermakana. Mekanisme dari cachexia pada gagal
jantung dapat melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan resting
metabolic rate, anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali kongestif dan
perasaan penuh pada perut. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis
keseluruhan yang buruk.
• Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain adalah darah
rutin, urin rutin, elektrolit (Na dan K), ureum dan kreatinin, SGOT/SGPT, dan
39
BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung
dengan tujuan untuk mendeteksi anemia, gangguan elektrolit, menilai fungsi
ginjal dan hati mangukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan
hemodinamik). Pengukuran brain natriuretic peptide (BNP) membedakan
penyebab sesak dari jantung dan dari paru (>100 pg/mL pada gagal jantung).3
Pemeriksaan darah lengkap dan enzim hati dapat dilakukan cardiac troponin
sedikit meningkat.4
 Foto thoraks
Pemeriksaan Chest X-Ray dilakukan untuk menilai ukuran dan bentuk jantung,
struktur dan perfusi dari paru. Kardiomegali dapat dinilai melalui pengukuran
cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung
lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting
pada follow-ip pasien dengan gagal jantung.
 EKG
Pemeriksaan EKG 12 lead dianjurkan untuk dilakukan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan keberadaan hipertrofi pada
ventrikel kiri atau riwayat Infark myocard (ada atau tidaknya Q wave). EKG
normal biasanya menyingkirkan adanya disfungsi diastolic pada ventrikel kiri.
 Ekokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung,
miokardium dan pericardium, dan mengevalusi gerakan regional dinding
jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung.
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left
ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodeling ventrikel kiri, dan
perubahan pada fungsi diastolik.
Diagnosis Gagal Jantung
Dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG atau foto thorax,
ekokardigrafi-doppler dan kateterisasi.
Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association (NYHA), umum dipakai
untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik
40
1. Klas I Tidak timbul gejala pada aktivitas sehari-hari, gejala akan timbul pada
aktivitas yang lebih berat dari aktivitas sehari-hari.
2. Klas II Gejala timbul pada aktivitas sehari-hari.
3. Klas III Gejala timbul pada aktivitas lebih ringan dari aktivitas sehari-hari.
4. Klas IV Gejala timbul pada saat istirahat.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria mayor:
1. Paroksismal nokturnal dispneu
2. Distensi vena leher
3. Ronkhi paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk mala hari
3. Dispneu de effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Takikardi
7. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Diagnosis gagal jantug ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 minor.
Diagnosis banding
1. Kor Pulmonale
Kor pulmonale merupakan pembesaran jantung kanan akibat penyakit paru
primer, akan menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya menjadi gagal
41
ventrikel kanan.3
Kor pulmonal juga dapat diartikan sebagai hipertrofi/dilatasi
ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru
dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri.
Untuk menetapkan adanya kor pulmonal secara klinis pada pasien gagal napas
diperlukan tanda pada pemeriksaan fisis yakni edema. Kor pulmonal akut adalah
peregangan atau pembebanan akibat hipertensi pulmonal akut, sering disebabkan oleh
emboli paru masif, sedangkan kor pulmonal kronis adalah hipertrofi dan dilatasi
ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit paru
obstruktif atau restriktif.4
Etiologi meliputi:
• Penyakit parenkim paru atau jalan napas. Penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK), penyakit paru interstisial, bronkiektasi, fibrosis kistik.
• Penyakit vaskular paru. Emboli paru berulang, hipertensi paru primer (PHT),
vaskulitis, anemia sel sabit.
• Ventilasi mekanik yang adekuat. Kifoskoliosis, kelainan neuromuskular,
obesitas nyata, sleep apnea.3
Penyakit paru kronis akan mengakibatkan: (1) berkurangnya “vascular bed”
paru,
dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang
mengembang atau kerusakan paru; (2) asidosis dan hiperkapnia; (3) hipoksia alveolar,
yang akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru; (4) polisitemia dan
hiperviskositas darah. Keempat kelainan ini akan menyebabkan timbulnya hipertensi
pulmonal (perjalanan lambat). Dalam jangka panjang akan mengakibatkan hipertrofi
dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudian akan berlanjut menjadi gagal jantung
kanan. Tingkat klinis kor pulmonal dimulai PPOK kemudian PPOK dengan hipertensi
pulmonal dan akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal
jantung kanan.4
Gejala dari kor pulmonale tergantung pada penyebab yang mendasarinya
tetapi meliputi sesak napas, batuk kelelahan dan produksi sputum (pada penyakit
parenkim). Pada pemeriksaan fisik terhadap pasien yang menderita kor pulmonale
akan ditemukan napas cepat, sianosis, jari tabuh. Impuls RV (Right Ventricel)
sepanjang tepi sternal kiri, P2 keras, S4 sisi kanan. Jika berkembang gagal RV, tekanan
vena jugularis meningkat, hepatomegali dengan asites, edema kaki. Dapat terdengar
bising dari regurgitasi trikuspid.3
42
Pada hasil EKG untuk kor pulmonale, akan didapatkan hipertrofi RV dan
pembesaran RA (Right Atrium), sering takiaritmia. Foto toraks memperlihatkan RV
dan arteri pulmonalis membesar; jika ada PHT, ikuti percabangan arteri pulmonalis.
CT dada untuk melihat emfisema, penyakit paru interstisial dan emboli paru akut.
V/Q scan lebih dapat dipercaya untuk diagnosis tromboemboli kronis. Tes fungsi paru
dan analisis gas darah mencirikan penyakit paru intrinsik. Pada hasil ekokardiogram,
hipertrofi ventrikel kanan (RV); fungsi ventrikel kiri normal. Tekanan sistolik RV
dapat diperkirakan dari pengukuran Doppler aliran regurgitasi trikuspid. Jika
pencitraan sulit karena udara dalam paru yang meregang, volume RV dan ketebalan
dinding dapat dinilai dengan MRI.3
Penatalaksanaan untuk kor pulmonale ditujukan pada penyakit paru yang
mendasarinya dan meliputi bronkodilator, antibiotika dan pemberian oksigen. Jika ada
gagal RV, obati seperti CHF, diet rendah natrium dan diuretik; digoksin harus
diberikan secara hati-hati (toksisitas meningkat karena hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis). Diuretik lengkung Henle juga harus digunakan dengan hati-hati untuk
mencegah alkalosis metabolik yang berat yang mengganggu usaha pernapasan. Taki-
aritmia supraventrikular sering terjadi dan obati dengan digoksin atau verapamil
(sebaiknya menghindari penggunaan beta blocker). Antikoagulasi kronis dengan
warfarin diindikasikan ketika hipertensi pulmonal diikuti dengan gagal RV.3
2. Kardiomiopati
Adalah kelainan dari otot jantung yang tidak ada kaitanya dengan penyakit
perikardium, hipertensi, koroner, kelainan katup. Berdasarkan patofisiologi
kardiomiopati dibagi atas kardiomiopati dilatasi, hipertrofi, restriktif. Penyakit ini
kebanyakan mengenai usia pertengahan dan lebih sering ditemukan pada pria
dibanding wanita. Penyebab dari kardiomiopai dilatasi sendiri tidak diketahui dngan
pasti, kemungkinan kelainan ini merupakan hasil akhir dari kerusakan miokard akibat
toksin, infeksi dan zat metabolik. Pemeriksaan enzim konversi angiotensin genetik
diagnosis pasti kardiomiopati. Gejaala klinis hampir sama dengan gagal jantung
secara umum. Pada pemeriksaan dengan ekokardiografi dan ventrikulografi radio
nuklir didapatkan gambaran menunjukan dilatasi ventrikel dengan sedikit penebalan
dinding jantung. Pada kardiomiopati dilatasi pertama kali abnormalitas yang
ditemukan adalah perbesaran ventrikel dari disfungsi kontratilitas sitolok dengan
43
tanda gagal jantung kongestif yang timbul kemudian. Penanganan penyakit ini sama
dengan penyakit gagal jantung kongestif.
Upaya Pencegahan Gagal Jantung
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada
kelompok dengan risiko tinggi. Pencegahan-pencegahan yang dapat dilakukan yaitu
(1) obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung koroner,
(2) pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan, (3)
pengobatan hipertensi yang agresif, (4) koreksi kelainan kongenital serta penyakit
jantung katup, (5) memerlukan pembahasan khusus, dan (6) bila sudah ada disfungsi
miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari, selain modulasi progresi dari
disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung.4
Komplikasi Gagal Jantung
Gagal jantung yang tidak ditangani dengan baik, dapat menimbulkan komplikasi.
Beberapa komplikasi yang terjadi akibat gagal jantung yaitu:
• Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang
mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan
gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark
miokardium akut adalah hilangnya 40 % atau lebih jaringan otot pada
ventrikel kiri dan nekrosis vocal di seluruh ventrikel karena
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen miokardium.
• Tromboemboli
Risiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam atau DVT dan
emboli paru, dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa
diturunkan dengan pemberian warfarin.
• Fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauan denyut
jantung(dengan pemberian digoksin/ beta blocker) dan pemberian
warfarin.
44
• Aritmia ventrikel sering dijumpai bisa menyebabkan sinkop atau kematian
Jantung mendadak (25-50% kematian pada CHF)
Prognosis
Sejumlah factor yang berkaitan dengan prognosis pada gagal jantung :
1. Klinis
Semakin buruk gejala pasien, kapasitas aktivitas dan gambaran klinis, semakin
buruk prognosis. Berkaitan dengan gungsional class NYHA.
2. Hemodinamik.
Semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup dan fraksi ejeksi, semakin buruk
prognosis.
3. Biokimia.
Terdapat hubungan terbalik yang kuat antara norepinefrin, renin, vasopresin, dan
peptide natriuretic plasma. Hiponatremia dikaitkan dengan prognosis yang lebih
buruk.
4. Aritmia.
Fokus ektopik ventrikel yang sering atau takikardia ventrikel pada pengawasan
EKG ambulatory menandakan prognosis yang buruk. Tidak jelas apakah aritmia
ventrikel hanya merupakan penanda prognosis yang buruk apakah aritmia
merupakan penyebab kematian.8
Bronkitis Akut
Definisi
Bronkitis akut adalah peradangan pada bronkus yang disebabkan oleh infeksi saluran
napas yang ditandai dengan batuk (berdahak maupun tidak berdahak) yang
berlangsung hingga 3 minggu.9
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, menurut National Center for Health Statistics, kira-kira ada 14
juta orang menderita bronkitis. Lebih dari 12 juta orang menderita bronkitis akut pada
tahun 1994 atau sama dengan 5% populasi Amerika Serikat pada saat itu. Karena
angka kejadiannya yang tinggi bronkitis telah menjadi masalah kesehatan dunia.
Bronkitis akut dipengaruhi 44 dari 1000 orang dewasa per tahun, dan 82% episode
45
terjadi pada musim gugur atau musim dingin. Frekuensi bronkitis lebih banyak pada
populasi dengan status ekonomi rendah dan pada kawasan industri. Bronkitis lebih
banyak terdapat pada laki-laki dibanding wanita. Data epidemiologis di Indonesia
sangat minim. Meskipun ditemukan pada semua kelompok usia, bronkitis akut yang
paling sering didiagnosis pada anak-anak muda dari 5 tahun, sedangkan bronkitis
kronis lebih umum pada orang tua dari 50 tahun.9
Etiologi
Penyebab bronkitis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Pada
kenyataannya kasus-kasus bronkitis dapat timbul secara kongenital maupun didapat.
a. Kelainan kongenital
Dalam hal ini bronkitis terjadi sejak dalam kandungan. Faktor genetik atau
faktor pertumbuhan dan faktor perkembangan fetus memegang peran
penting. Bronkitis yang timbul kongenital ini mempunyai ciri sebagai
berikut :2
- Bronkitis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau
kedua paru.
- Bronkitis konginetal sering menyertai penyakit-penyakit konginetal
lainya, misalnya : mucoviscidosis ( cystic pulmonary fibrosis),
sindrom kartagener ( bronkiektasis konginetal,sinusitis paranasal
dan situs inversus), hipo atau agamaglobalinemia, bronkiektasis
pada anak kembar satu telur ( anak yang satu dengan bronkiektasis,
ternyata saudara kembarnya juga menderita bronkiektasis),
bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan kongenital berikut
: tidak adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan,
kifoskoliasis konginetal.
b. Kelainan didapat
Kelainan yang didapat merupakan akibat dari:
46
- Infeksi virus, yang paling umum influenza A dan B, parainfluenza,
RSV, adenovirus, rhinovirus dan coronavirus.
- Infeksi bakteri, seperti yang disebabkan
oleh Mycoplasma spesies, Chlamydia pneumoniae , Streptococcus
pneumoniae, Moraxella catarrhalis, dan Haemophilus influenzae.
- Rokok dan asap rokok.
- Paparan terhadap iritasi, seperti polusi, bahan kimia, dan asap
tembakau, juga dapat menyebabkan iritasi bronkial akut.
- Bahan-bahan yang mengeluarkan polusi.
- Penyakit gastrofaringeal refluk-suatu kondisi dimana asam lambung
naik kembali ke saluran makan (kerongkongan).
- Pekerja yang terekspos dengan debu atau asap.
Patofisiologi
Pada bronkitis terjadi penyempitan saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas dan menimbulkan sesak. Pada penderita bronkitis
saat terjadi ekspirasi maksimal, saluran pernapasan bagian bawah paru akan lebih
cepat dan lebih banyak yang tertutup. Hal ini akan mengakibatkan ventilasi dan
perfusi yang tidak seimbang, sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran
darah ke alveoli tidak merata. Timbul hipoksia dan sesak napas. Lebih jauh lagi
hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.
Terjadi hipertensi pulmonal yang dalam jangka lama dapat menimbulkan kor
pulmonal.9
Selain terjadi penyempitan saluran napas, juga terjadi hipersekresi mukus dalam
bronkus karena hipertrofi kelenjar submukosa dan penambahan jumlah sel goblet
pada epitel bronkus. Produksi mukus jadi berlebihan dan kehilangan silia sehingga
pembersihan mukosiliar terhambat dan menimbulkan batuk produktif.10
Gelaja klinis
Pada awalnya gejalanya mirip dengan pneumoni ringan berupa batuk-batuk dengan
dahak mukopurulen, peningkatan suhu tubuh yang belum terlalu tinggi, rasa tak
nyaman di dada dan bisa disertai sesak napas ringan. Bila ditanya dengan cermat,
penderita biasanya juga menyatakan bahwa beberapa hari sebelumnya memang
47
menderita ISPA seperti sakit tenggorokan, hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri otot,
kelelahan ekstrim. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rongki basah dan
wheezing yang tersebar di seluruh lapang paru, tanpa tanda-tanda infiltrat. Juga pada
foto thorax tidak didapatkan tanda-tanda infiltrat. Bila sputum diperiksa dengan
pengecatan Gram akan banyak didapatkan leukosit PMN dan mungkin pula bakteri.11
Diagnosa
Diagnosa di tegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
a) Anamnesis1,3
Keluhan pokok:
- Gatal-gatal di kerongkongan
- Sakit di sekitar dada
- Batuk kering/batuk berdahak
- Demam yang tidak terlalu tinggi
b) Pemeriksaan fisik11
- Keadaan umum baik: tidak tampak sakit berat, tidak sesak atau
takipnea. Mungkin ada nasofaringitis.
- Paru: ronki basah kasar yang tidak tetap (dapat hilang atau pindah
setelah batuk), wheezing dengan berbagai gradasi (perpanjangan
ekspirasi hingga ngik-ngik) dan krepitasi .
Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
- Pada pemeriksaan sputum dengan pengecatan Gram akan banyak
didapat leukosit PMN dan mungkin pula bakteri.
- Uji sensivitas terhadap antibiotic perlu dilakukan bila ada
kecurigaan adanya infeksi sekunder.
- Respon terhadap pemberian kortikosteroid dosis tinggi setiap hari
dapat dipertimbangkan diagnosa dan terapi untuk konfirmasi asma.
48
- Tes keringat yang negative dengan menggunakan pilocarpine
iontophoresis dapat memikirkan kemungkinan fibrosis kistik.
- Pemeriksaan Gas Darah. Perubahan gas darah berupa penurunan
PaO2 menunjukan abnormalitas regional distribusi ventilasi, yang
berpengaruh pada perfusi paru.
b) Tes pencitraan
Dapat dijumpai temuan peningkatan corakan bronkovaskular
tanpa tanda-tanda infiltrat.
c) Tes Faal Paru
Pada penyakit yang lanjut dan difus, kapasitas vital ( KV ) dan
kecepatan aliran udara ekspirasi satu detik pertama ( FEV1 ), terdapat
tendensi penurunan, karena terjadinya obstruksi airan udara pernafasan.
Diagnosis Banding
Sering kali gejala pada bronkitis akut sulit dibedakan dengan beberapa penyakit
saluran pernapasan yang gejalanya mirip dengan bronkitis akut, seperti:3
- Epiglotitis, yaitu suatu infeksi pada epiglotis, yang bisa menyebabkan
penyumbatan saluran pernafasan.
- Bronkiolitis, yaitu suatu peradangan pada bronkiolus (saluran udara yang
merupakan percabangan dari saluran udara utama), yang biasanya
disebabkan oleh infeksi virus.
- Influenza, yaitu penyakit menular yang menyerang saluran napas, dan
sering menjadi wabah yang diperoleh dari menghirup virus influenza.
- Sinusitis, yaitu radang sinus paranasal yaitu rongga-rongga yang terletak
disampig kanan - kiri dan diatas hidung.
- PPOK, yaitu penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yyang bersifat progresif nonreversibel parsial.
- Faringitis, yaitu suatu peradangan pada tenggorokan (faring) yang
disebabkan oleh virus atau bakteri.
49
- Asma, yaitu suatu penyakit kronik (menahun) yang menyerang saluran
pernafasan (bronchiale) pada paru dimana terdapat peradangan (inflamasi)
dinding rongga bronchiale sehingga mengakibatkan penyempitan saluran
nafas yang akhirnya seseorang mengalami sesak nafas.
- Bronkiektasis, yaitu suatu perusakan dan pelebaran (dilatasi) abnormal
dari saluran pernafasan yang besar.
Penatalaksanaan
Terapi umumnya difokuskan pada pengentasan simptoms. Seorang dokter mungkin
meresepkan kombinasi obat yang terbuka menghalangi saluran udara lendir bronkus
dan obstruktif tipis sehingga dapat batuk dengan lebih mudah.9
- Oksigenasi pasien harus memadai.
- Istirahat yang cukup. Minta pasien beristirahat hingga demamnya
turun.
- Meningkatkan pemberian makanan secara oral pada pasien dengan
demam dan Minum cukup.
- Cara yang paling efektif untuk mengontrol batuk dan produksi
sputum pada pasien dengan bronchitis kronis adalah menghindari
iritasi lingkungan, terutama asap rokok.
Sebagian besar pengobatan bronkitis akut bersifat simptomatis (meredakan keluhan).
Obat-obat yang lazim digunakan, yakni:11
- Antitusif (penekan batuk):
DMP (dekstromethorfan) 15 mg, diminum 2-3 kali sehari.
Codein 10 mg, diminum 3 kali sehari.
Doveri 100 mg, diminum 3 kali sehari.
Obat-obat ini bekerja dengan menekan batuk pada pusat batuk di
otak. Karenanya antitusif tidak dianjurkan pada kehamilan dan bagi
ibu menyusui. Pada penderita bronkitis akut yang disertai sesak
napas, penggunaan antitusif hendaknya dipertimbangkan dan
50
diperlukan feed back dari penderita. Jika penderita merasa tambah
sesak, maka antitusif dihentikan.
- Ekspektorant: adalah obat batuk pengencer dahak agar dahak mudah
dikeluarkan sehingga napas menjadi lega. Ekspektorant yang lazim
digunakan diantaranya: GG (glyceryl guaiacolate) sirup 5m x 3 kali
sehari , bromhexine sirup 10 ml x 3 kali sehari, ambroxol 30 mg x 3
kali sehari, dan lain-lain.
- Antipiretik (pereda panas): parasetamol (asetaminofen) 500 mg, dan
sejenisnya., digunakan jika penderita mengalami demam.
- Bronkodilator (melonggarkan napas), diantaranya: salbutamol (2-4
mg x 3/hari), terbutalin sulfat (2.5 mg x 3/hari), teofilin ( 150mgx
3/hari), dan lain-lain. Obat-obat ini digunakan pada penderita yang
disertai sesak napas atau rasa berat bernapas. Penderita hendaknya
memahami bahwa bronkodilator tidak hanya untuk obat asma, tapi
dapat juga digunakan untuk melonggarkan napas pada bronkitis.
Selain itu, penderita hendaknya mengetahui efek samping obat
bronkodilator yang mungkin dialami oleh penderita, yakni: berdebar,
lemas, gemetar dan keringat dingin. Andaikata mengalami efek
samping tersebut, maka dosis obat diturunkan menjadi setengahnya.
Jika masih berdebar, hendaknya memberitahu dokter agar diberikan
obat bronkodilator jenis lain.
- Antibiotika. Hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh
kuman berdasarkan pemeriksaan dokter. Dapat diberikan ampisilin,
eritromisin, spiramisin, 3 x 500 mg/hari.
Terapi lanjutan9
Jika terapi antiinflamasi sudah dimulai, lanjutkan terapi hingga gejala menghilang
paling krang 1 minggu. Bronkodilator juga dapat diberikan jika diperlukan
Pasien yang didiagnosis dengan asma dapat diberikan terapi “controller”, yaitu
inhalasi terapi kortikosteroid, antihistamin dan inhibitor leukotrien setiap hari.
Edukasi Pasien
Edukasi pasien sangat penting dalam pencegahan dan pengobatan bronkitis
akut. Pasien harus diberitahu untuk mengambil langkah-langkah berikut:
51
- Hindari merokok dan asap rokok
- Hidup dalam lingkungan yang bersih
- Menerima vaksin influenza tahunan antara Oktober dan Desember
- Menerima vaksin pneumonia setiap 5-10 tahun jika berusia 65 tahun atau
lebih atau dengan penyakit kronis
- Cuci tangan sesering mungkin dan kurangi kebiasaan menggosok hidung
atau mata dengan tangan.
- Gunakan masker saat berada disekitar orang yang menderita flu.
Komplikasi
Komplikasi yang biasanya terjadi akibat bronkitis akut yang tidak mendapat
pengobatan yang adekuat adalah:9
a) Bronkitis Kronik
b) Bronkopneumoni
c) Bronkiektasis
d) Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis
Bronchitis sering mengalami infeksi berulang biasanya sekunder terhadap
infeksi pada saluran nafas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada mereka
yang drainase sputumnya kurang baik.
e) Pleuritis
Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia.
Umumnya pleuritis sicca pada daerah yang terkena.
f) Efusi pleura atau emfisema
g) Hemoptoe
Terjadi kerena pecahnya pembuluh darah cabang vena ( arteri
pulmonalis ) , cabang arteri ( arteri bronchialis ) atau anastomisis
pembuluh darah. Komplikasi haemaptoe hebat dan tidak terkendali harus
di rujuk untuk tindakan bedah gawat darurat.
h) Sinusitis
52
Merupakan bagian dari komplikasi bronchitis pada saluran nafas
i) Kegagalan pernapasan
Merupakan komlikasi paling akhir pada bronchitis yang berat dan luas
j) Amiloidosis
Keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai komplikasi klasik
dan jarang terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi ini dapat
ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinurea
k) Penyakit-penyakit lain yang di perberat seperti :
- Kor Pulmonal Kronik
Pada kasus ini bila terjadi anastomisis cabang-cabang arteri dan
vena pulmonalis pada dinding bronkus akan terjadi arterio-
venous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul sianosis
sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan
terjadi hipertensi pulmonal, kor pulmoner kronik. Selanjutnya
akan terjadi gagal jantung kanan
- Penyakit jantung rematik
- Hipertensi
- Abses Metastasis di otak
Akibat septikemi oleh kuman penyebab infeksi supuratif pada
bronkus. Sering menjadi penyebab kematian
Prognosis
Kemungkinan sembuh bagi penderita bronkitis akut sangat baik jika penderita cepat
berkonsultasi ke dokter, melakukan tindakan konservatif yang disarankan dokter dan
meminum obat yang diberikan dokter.9
Gagal Ginjal Akut
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48
jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 μmol/L)
53
atau meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama
>6 jam (Molitoris et al, 2007).
Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan
ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan
cairan (Eric Scott, 2008).
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan
ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit (Brady et al, 2005).
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsidasarnya normal (AKI
“klasik”) atau tidak normal (acute onchronic kidney disease). Dahulu, hal di atas
disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam,
sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-
beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain
kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis,
penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria
untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis
pasien (Mehta et al, 2003)
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah
ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat
membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure
menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal.
Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1)
kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan
kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria
diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine
output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4)penetapan
gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya
penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat
dilakukan di mana saja (Rusli R, 2007).
Acute Kitney Injury
Etiologi
54
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni
(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan
pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3)
penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka
kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara
klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Robert Sinto, 2010)
AKI Prarenal I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
- Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia,
obstruksi
- usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
- Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui
saluran
- kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui
kulit
- (luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vaskular perifer
- Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis
berlebihan
- (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
- Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,
takrolimus,
- amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal lokal
55
- Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
- Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis,
hipertensi
- kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi
maligna),
- penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2
inhibi
- tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis,
hiperkalsemia,
- sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus,
radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis,
emboli,
- diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis
(trombosis,
- kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik,
kemoterapi,
- pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,
hemolisis,
- asam urat, oksalat, mieloma)
IV. Nefritis interstitial
- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi
(bakteri,
- viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
- idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir,
metotreksat,
sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal
AKI pascarenal I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan,
kompresi
eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,
56
keganasan, darah
III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis
Klasifikasi AKI
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3
kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria
UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang
menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli
R, 2007).
Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007
Kategori Peningkatan kadar
SCr
Penurunan LFG Kriteria UO
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,
>24 jam
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
minggu
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
Bulan
Patofisiologi
Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular seperti
yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:
57
Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008)
Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular,
bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh
medulla ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan penurunan
vasodilatasi pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan peningkatan
endhotelial dan kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi
leukosit endothelial yang menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi
pembuluh dengan aktivasi leukosit dan berpotensi terjadi inflamasi.
Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh
apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate
glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus
menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk
meningkatkan kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi
sebagai hasil kerjasama vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus,
sehingga menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi
dan interaksi endothelial-leukosit. Bonventre (2008)
Pendekatan Diagnosis
1. Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat
badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS,
penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi
58
ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor
kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal
jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya
pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal
toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin
endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya
perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis,
glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna.
AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik
akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri
pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut.
Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat
pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran
prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik
dan temuan disfungsi saraf otonom (Robert Sinto, 2010).
2. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat
ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan
menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain
pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang
dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis
tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada
nefritis interstitial (Schrier et al, 2004).
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada
penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Kelainan analisis urin (Robert Sinto, 2010)
59
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah
pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc,
didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi
pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan
pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat
dilakukan sesuai indikasi.
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang
belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan.
Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang
memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain
(Brady HR, 2005).
Penatalaksanaan
1. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan
status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh
Sutarjo seperti pada tabel berikut:
Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)
60
2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial.
Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja
menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi
sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis
pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas
dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik
menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan
cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa
fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan
cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai
bagian dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008)
a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak
dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau
dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam
15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih
dahulu.
61
b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada
AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap
awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat,
dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam
atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha
tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk
meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil
(keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan
dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert,
2010).
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga
dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun
kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih
jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan
kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih
dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat
meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien
(Sja’bani, 2008).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata
laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal,
LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu
terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak
terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma
dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum
yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti
hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat
sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis
pada literatur.
62
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons
selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk
pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki
hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert Sinto, 2010).
Komplikasi dan Penatalaksanan
Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif,
sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Cardiak sirosis
Congestive hepatopathy merupakan kelainan hati yang sering dijumpai pada penderita
gagal jantung. Kelainan ini ditandai dengan adanya gejala klinis gagal jantung
(terutama gagal jantung kanan), tes fungsi hati yang abnormal dan tidak ditemukan
penyebab lain dari disfungsi hati (Allen, 2008; Lau, 2002). Congestive hepatopathy
63
juga dikenal dengan istilah cardiac hepatopathy, nutmeg liver, atau chronic passive
hepatic congestion. Bila kondisi ini berlangsung lama akan mengakibatkan timbulnya
jaringan fibrosis pada hati, yang sering disebut dengan cardiac cirrhosis atau cardiac
fibrosis.
Meskipun cardiac cirrhosis menggunakan istilah sirosis, jarang memenuhi kriteria
patologis sirosis. Congestive hepatopathy ini sangat sulit dibedakan dari sirosis hati
primer karena klinisnya relatif tidak spesifik. Tetapi tidak sama seperti sirosis yang
disebabkan oleh hepatitis virus atau penggunaan alkohol, pengobatan ditujukan pada
pengelolaan gagal jantung sebagai penyakit dasar (Bayraktar, 2007; Myers, 2003;
Giallourakis, 2002; Wanless, 1995).
Patogenesis congestive hepatopathy umumnya dianggap sebagai reaksi stroma hati
terhadap hipoksia, tekanan atau nekrosis hepatoselular. Tetapi hal ini tidak
menjelaskan hubungan antara gejala dan tingkat keparahan fibrosis, dimana pada
pasien jantung dekompensasi pada derajat yang sama, fibrosis tidak selalu terjadi.
Patogenesis congestive hepatopathy penting, karena definisi congestive hepatopathy
masih menjadi perdebatan (Wanless, 1995).
Prevalensi congestive hepatopathy tidak jelas. Tidak ada data perbandingan laki-laki
dan wanita untuk congestive hepatopathy, namun karena gagal jantung kongestif lebih
sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita, kemungkinan yang sama untuk
congestive hepatopathy (Mathew, 2004; Burns, 1997).
PATOFISIOLOGI
Congestive hepatopathy disebabkan oleh dekompensasi ventrikel kanan jantung atau
gagal jantung biventrikular. Dimana terjadi peningkatan tekanan atrium kanan ke hati
melalui vena kava inferior dan vena hepatik. Ini merupakan komplikasi umum dari
gagal jantung kongestif, dimana akibat anatomi yang berdekatan terjadi peningkatan
tekanan vena sentral secara langsung dari atrium kanan ke vena hepatik (Nowak,
2004; Gore, 1994).
Penyebab paling umum dari gagal jantung kongestif pada usia lanjut berdasarkan data
dari RS.Dr.Kariadi pada tahun 2006 adalah penyakit jantung iskemik 65,63%,
penyakit jantung hipertensi 15,63%, kardiomiopati 9,38%, penyakit katub jantung,
rheumatic heart disease, penyakit jantung pulmonal masing-masing 3,13%. Penyebab
paling umum dari gagal jantung kongestif pada usia lebih muda adalah penyakit
jantung iskemik 55%, penyakit katub jantung 15%, kardiomiopati 12,5%, rheumatic
64
heart disease 7,5%, penyakit jantung bawaan 5%, penyakit jantung hipertensi dan
penyakit jantung pulmonal keduanya 2,5%. Tidak ada perbedaan etiologi gagal
jantung kongestif antara pasien muda dan tua, dimana penyebab terbanyak adalah
penyakit jantung iskemik (Ardini,2007).
Pada tingkat selular, kongesti vena menghambat efisiensi aliran darah sinusoid ke
venula terminal hati. Stasis darah dalam parenkim hepar terjadi karena usaha hepar
mengatasi perubahan saluran darah vena. Sebagai usaha mengakomodasi aliran balik
darah (backflow), sinusoid hati membesar, mengakibatkan hepar menjadi besar. Stasis
sinusoid menyebabkan akumulasi deoksigenasi darah, atrofi parenkim hati, nekrosis,
deposisi kolagen dan fibrosis.
Hepatosit mempunyai sifat sangat sensitif terhadap trauma iskemik, meski dalam
jangka waktu yang pendek. Hepatosit dapat rusak oleh berbagai kondisi, seperti
arterial hypoxia, acute left sided heart failure, central venous hypertension (Nowak,
2004; Gore, 1994). Stasis kemudian menyebabkan timbulnya trombosis. Trombosis
sinusoid memperburuk stasis, dimana trombosis menambah aktivasi fibroblast dan
deposisi kolagen. Dalam kondisi yang parah menyebabkan nekrosis berlanjut
menyebabkan hilangnya parenkim hati, dan dapat menyebabkan trombosis pada vena
hepatik. Proses ini sering diperparah oleh trombosis lokal vena porta (Wanless,
1995).
Pembengkakan sinusoidal dan perdarahan akibat nekrosis nampak jelas di area
perivenular dari liver acinus. Fibrosis berkembang di daerah perivenular, akhirnya
menyebabkan timbulnya jembatan fibrosis antara vena sentral yang berdekatan. Hal
ini menyebabkan proses cardiac fibrosis, oleh karena itu tidak tepat disebut sebagai
cardiac cirrhosis karena berbeda dengan sirosis hati dimana jembatan fibrosis
cenderung untuk berdekatan dengan daerah portal. Regenerasi hepatosit periportal
pada kondisi ini dapat mengakibatkan regenerasi hiperplasia nodular. Nodul
cenderung kurang bulat dan sering menunjukkan koneksi antar nodul (Bayraktar,
2007; Wanless, 1995).
Cardiac cirrhosis telah didefinisikan dalam berbagai cara dan telah ditetapkan sebagai
klinis dari hipertensi portal atau akibat penyakit jantung kongestif. Pada kongestif
kronis, hipoksia berkelanjutan menghambat regenerasi hepatoselular dan membentuk
jaringan fibrosis, yang akan mengarah ke cardiac cirrhosis. Definisi morfologi fibrosis
telah seragam, tetapi beberapa penulis tidak menganggap cardiac cirrhosis sebagai
65
sirosis sebenarnya karena sebagian besar cardiac cirrhosis bersifat fokal dan gangguan
arsitektur serta fibrosis secara menyeluruh tidak separah sirosis tipe yang lain.
Istilah congestive hepatopathy dan chronic passive hepatic congestion lebih akurat,
tetapi istilah cardiac cirrhosis telah menjadi konvensi. Oleh karena itu istilah cardiac
cirrhosis banyak digunakan untuk congestive hepatopathy dengan atau tanpa fibrosis
hati (Faya, 2008; Bayraktar, 2007; Myers, 2003; Wanless, 1995; Gore, 1994).
Distorsi struktur hati nampak pada saat parenkim hati rusak dan parenkim yang
berbatasan memperluas menuju daerah parenkim yang rusak. Sirosis dapat
didefinisikan sebagai distorsi struktur hati disertai fibrosis pada daerah parenkim hati
yang musnah. Pada saat perubahan menunjukkan kehadiran nodul pada sebagian
besar organ, secara umum dianggap sirosis. Hanya saja deskripsi kualitatif tidak dapat
mendeskripsikan semua tahapan pada pada penyakit, oleh karena itu diperlukan
nomenklatur menyangkut aspek kuantitatif fibrosis hati dan sirosis.
MANIFESTASI KLINIS
 Tanda dan gejala
Gangguan fungsi hati pada congestive hepatopathy biasanya ringan dan tanpa gejala.
Sering terdeteksi secara kebetulan pada pengujian biokimia rutin. Tanda dan gejala
dapat muncul berupa ikterus ringan. Pada gagal jantung berat, ikterus dapat muncul
lebih berat dan menunjukkan kolestasis. Timbul ketidaknyamanan pada kuadran
kanan atas abdomen akibat peregangan kapsul hati. Kadang-kadang gambaran klinis
dapat menyerupai hepatitis virus akut, dimana timbul ikterus disertai peningkatan
aminotransferase.
66
Beberapa kasus gagal hati fulminan yang mengakibatkan kematian telah dilaporkan
akibat gagal jantung kongestif. Namun sebagian besar disebabkan pasien memiliki
hepatic congestion dan iskemia. Gejala seperti dispnea exertional, ortopnea dan
angina serta temuan fisik seperti peningkatan vena jugularis, murmur jantung dapat
membantu membedakan congestive hepatopathy dengan penyakit hati primer.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan hepatomegali lunak, kadang masif, batas tepi hati
tegas, dan halus. Splenomegali jarang terjadi. Asites dan edema dapat tampak, tetapi
tidak disebabkan oleh kerusakan hati, melainkan akibat gagal jantung kanan
(Bayraktar, 2007; Myers, 2003).
LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium pada congestive hepatopathy menunjukkan peningkatan
Liver Function Test (LFT) yang berkarakter cholestatic profile yakni Alkaline
Phosphatase (ALP), Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT) dan bilirubin, serta
hipoalbumin, bukan hepatitic profile, Alanine transaminase (ALT) dan Aspartate
transaminase (AST). ALP dan GGT meningkat akibat meningkatnya sistesis protein
enzim, yang biasanya disertai peningkatan bilirubin (kecuali terjadi obstruksi bilier
atau intrahepatal). Karena ALP diproduksi oleh hepatosit dan GGT oleh sel epitel
bilier. Bilirubin yang meningkat adalah bilirubin total, sebagian besar yang tidak
terkonjugasi. Hiperbilirubinemia terjadi sekitar 70% pasien dengan congestive
hepatopathy. Hiperbilirubinemia yang berat mungkin dapat terjadi pada pasien dengan
gagal jantung kanan yang berat dan akut (Allen, 2009; Bayraktar, 2007; Pincus, 2006;
Giannini, 2005; Lau, 2002).
Meskipun terjadi deep jaundice, serum alkaline phospatase level pada umumnya
hanya meningkat sedikit sehingga dapat membedakan congestive hepatopathy dengan
ikterus obstruksi. Serum aminotransferase level menunjukkan peningkatan ringan,
kecuali terjadi hepatitis iskemia, dimana dapat terjadi peningkatan serum
aminotransferase (AST dan ALT) yang tajam. Prothrombin time dapat sedikit
terganggu, albumin dapat turun dan serum ammonia level dapat meningkat. Serologi
hepatitis virus perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya virus
tersebut (Allen, 2009; Bayraktar, 2007; Pincus, 2006; Giannini, 2005; Lau, 2002).
Diagnosa paracentesis cairan asites pada congestive hepatopathy menunjukkan
tingginya protein dan gradien serum albumin >1,1g/dL. Hal ini menunjukkan
konstribusi dari hepatic lymph dan hipertensi portal. Perbaikan LFT setelah
67
pengobatan penyakit jantung mendukung diagnosa congestive hepatopathy
(Bayraktar, 2007).
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi yang menunjang pemeriksaan congestive hepatopathy:
- Abdominal Doppler ultrasonography : dipertimbangkan bila klinis terdapat asites,
nyeri perut kuadran kanan atas, ikterus dan/atau serum LFT abnormal yang
refrakter terhadap pengobatan gagal jantung yang mendasari. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk mencari diagnosa alternatif seperti sindroma Budd-Chiari
(Martinez, 2011, Bayraktar, 2007).
- CT scan dan MRI : Pemeriksaan ini dapat menunjukkan cardiac cirrhosis,
termasuk hepatomegali, hepatic congestion, pembesaran vena cava inferior dan
splenomegali (Martinez, 2011).
Pemeriksaan radiologi untuk menunjang pemeriksaan penyakit dasar congestive
hepatopathy:
- X foto dada : dapat menunjukkan kardiomegali, hipertensi vena pulmonal,
perubahan pada ruang jantung dan miokard tergantung pada penyebab gagal
jantung. Paru-paru menunjukkan chronic passive congestion, tampak edema
interstitial atau paru-paru, atau efusi pleura (Martinez, 2011; Brashers, 2009;
Bayraktar, 2007).
- Transthoracic Echocardiogram dengan Doppler : mendiagnosa penyakit dasar
penyebab cardiac cirrhosis. Tampak adanya peningkatan arteri pulmonalis, dilatasi
sisi kanan jantung, Tricuspid Regurgitasi (TR), diastolic ventricular filling yang
abnormal (Martinez, 2011; Brashers, 2009).
- Radionuclide imaging dengan thallium atau technetium merupakan pemeriksaan
noninvasif yang berarti. Tujuannya untuk mengidentifikasi reversible cardiac
ischemia pada pasien cardiac cirrhosis pada gagal jantung kompensasi atau
dekompensasi. Technetium-labeled agents dan positron-emission tomography
(PET) mengidentifikasi dilated cardiomyopathy dan menentukan fungsi miokard
(Martinez, 2011; Brashers, 2009).
- CT scan dan MRI mengidentifikasikan pembesaran ruang jantung, hipertrofi
ventrikel, diffuse cardiomyopathy, valvular disease dan kelainan struktural yang
lain. Keduanya dapat mengukur ejection fraction dan effectively rule out cardiac
cirrhosis (Martinez, 2011).
PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI
68
236597716 case-besar-chf-finish
236597716 case-besar-chf-finish
236597716 case-besar-chf-finish

More Related Content

What's hot

BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan SedangBAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan SedangSyscha Lumempouw
 
Perdarahan Saluran Cerna
Perdarahan Saluran CernaPerdarahan Saluran Cerna
Perdarahan Saluran CernaDika Saja
 
Laporan kasus bedah saraf
Laporan kasus bedah sarafLaporan kasus bedah saraf
Laporan kasus bedah sarafnabellapr
 
80051025 edema-serebri
80051025 edema-serebri80051025 edema-serebri
80051025 edema-serebriCornelius Liza
 
Tindakan pemasangan ett
Tindakan pemasangan ettTindakan pemasangan ett
Tindakan pemasangan ettIrwan Sutoyo
 
193897174 case-bedah-hemoroid
193897174 case-bedah-hemoroid193897174 case-bedah-hemoroid
193897174 case-bedah-hemoroidhomeworkping3
 
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitisKolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitisyudhasetya01
 
Trauma Kapitis / Cedera Kepala Berat
Trauma Kapitis / Cedera Kepala BeratTrauma Kapitis / Cedera Kepala Berat
Trauma Kapitis / Cedera Kepala BeratAris Rahmanda
 
Makalah hernia dr dr koernia swa oetomo Sp.B
Makalah hernia dr dr koernia swa oetomo Sp.BMakalah hernia dr dr koernia swa oetomo Sp.B
Makalah hernia dr dr koernia swa oetomo Sp.Bkoerniaso
 
91722104 case-dr-andi-fajar
91722104 case-dr-andi-fajar91722104 case-dr-andi-fajar
91722104 case-dr-andi-fajarhomeworkping4
 
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARU
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARUCASE REPORT TUBERKULOSIS PARU
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARUKharima SD
 
SINDROME NEFROTIK
SINDROME NEFROTIKSINDROME NEFROTIK
SINDROME NEFROTIKPhil Adit R
 
Morning Report Neurology
Morning Report NeurologyMorning Report Neurology
Morning Report NeurologyPhil Adit R
 

What's hot (20)

BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan SedangBAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
 
12 nervus cranial
12 nervus cranial 12 nervus cranial
12 nervus cranial
 
Perdarahan Saluran Cerna
Perdarahan Saluran CernaPerdarahan Saluran Cerna
Perdarahan Saluran Cerna
 
Stroke hemoragik
Stroke hemoragikStroke hemoragik
Stroke hemoragik
 
Case OMSK
Case OMSKCase OMSK
Case OMSK
 
Cairan infuse
Cairan infuseCairan infuse
Cairan infuse
 
Laporan kasus bedah saraf
Laporan kasus bedah sarafLaporan kasus bedah saraf
Laporan kasus bedah saraf
 
80051025 edema-serebri
80051025 edema-serebri80051025 edema-serebri
80051025 edema-serebri
 
Tindakan pemasangan ett
Tindakan pemasangan ettTindakan pemasangan ett
Tindakan pemasangan ett
 
193897174 case-bedah-hemoroid
193897174 case-bedah-hemoroid193897174 case-bedah-hemoroid
193897174 case-bedah-hemoroid
 
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitisKolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
 
Trauma Kapitis / Cedera Kepala Berat
Trauma Kapitis / Cedera Kepala BeratTrauma Kapitis / Cedera Kepala Berat
Trauma Kapitis / Cedera Kepala Berat
 
Referat Meningitis
Referat MeningitisReferat Meningitis
Referat Meningitis
 
Herniasi Otak
Herniasi OtakHerniasi Otak
Herniasi Otak
 
Laporan kasus ppok
Laporan kasus ppokLaporan kasus ppok
Laporan kasus ppok
 
Makalah hernia dr dr koernia swa oetomo Sp.B
Makalah hernia dr dr koernia swa oetomo Sp.BMakalah hernia dr dr koernia swa oetomo Sp.B
Makalah hernia dr dr koernia swa oetomo Sp.B
 
91722104 case-dr-andi-fajar
91722104 case-dr-andi-fajar91722104 case-dr-andi-fajar
91722104 case-dr-andi-fajar
 
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARU
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARUCASE REPORT TUBERKULOSIS PARU
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARU
 
SINDROME NEFROTIK
SINDROME NEFROTIKSINDROME NEFROTIK
SINDROME NEFROTIK
 
Morning Report Neurology
Morning Report NeurologyMorning Report Neurology
Morning Report Neurology
 

Similar to 236597716 case-besar-chf-finish

Similar to 236597716 case-besar-chf-finish (20)

lapkas pendamping 2.docx
lapkas pendamping 2.docxlapkas pendamping 2.docx
lapkas pendamping 2.docx
 
223367774 case-2-dbd-tbc-diabetes
223367774 case-2-dbd-tbc-diabetes223367774 case-2-dbd-tbc-diabetes
223367774 case-2-dbd-tbc-diabetes
 
238440211 case-dr-elha-doc
238440211 case-dr-elha-doc238440211 case-dr-elha-doc
238440211 case-dr-elha-doc
 
osler
oslerosler
osler
 
Status pasien ipd
Status pasien ipdStatus pasien ipd
Status pasien ipd
 
Giovanni status bedah
Giovanni   status bedahGiovanni   status bedah
Giovanni status bedah
 
PPOK Case
PPOK CasePPOK Case
PPOK Case
 
Dokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2d
Dokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2dDokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2d
Dokumen tips laporan_kasus_ckd_562babf2d
 
TB Case
TB CaseTB Case
TB Case
 
Askep stenosis aorta
Askep stenosis aortaAskep stenosis aorta
Askep stenosis aorta
 
Abses hati
Abses hatiAbses hati
Abses hati
 
Case Thyroid Heart Disease
Case Thyroid Heart DiseaseCase Thyroid Heart Disease
Case Thyroid Heart Disease
 
Responsi asma ppt
Responsi asma pptResponsi asma ppt
Responsi asma ppt
 
127608810 case-tb
127608810 case-tb127608810 case-tb
127608810 case-tb
 
196496593 case-sn
196496593 case-sn196496593 case-sn
196496593 case-sn
 
vdokumen.com_case-report-558464ad79559.pptx
vdokumen.com_case-report-558464ad79559.pptxvdokumen.com_case-report-558464ad79559.pptx
vdokumen.com_case-report-558464ad79559.pptx
 
Kolelitiasis lapsus Rezza.docx
Kolelitiasis lapsus Rezza.docxKolelitiasis lapsus Rezza.docx
Kolelitiasis lapsus Rezza.docx
 
Laporan Kasus ACS STEMI
Laporan Kasus ACS STEMILaporan Kasus ACS STEMI
Laporan Kasus ACS STEMI
 
POMR Minggu Pagi edit 1.pptx
POMR Minggu Pagi edit 1.pptxPOMR Minggu Pagi edit 1.pptx
POMR Minggu Pagi edit 1.pptx
 
114452210 case-quw-bgg
114452210 case-quw-bgg114452210 case-quw-bgg
114452210 case-quw-bgg
 

More from homeworkping3

238304497 case-digest
238304497 case-digest238304497 case-digest
238304497 case-digesthomeworkping3
 
238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2homeworkping3
 
238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeeding238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeedinghomeworkping3
 
238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elx238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elxhomeworkping3
 
238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-set238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-sethomeworkping3
 
238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-full238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-fullhomeworkping3
 
238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-water238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-waterhomeworkping3
 
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadingshomeworkping3
 
237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7homeworkping3
 
237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-case237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-casehomeworkping3
 
237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studies237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studieshomeworkping3
 
237754196 case-study
237754196 case-study237754196 case-study
237754196 case-studyhomeworkping3
 
237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnover237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnoverhomeworkping3
 
237712710 case-study
237712710 case-study237712710 case-study
237712710 case-studyhomeworkping3
 
237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6homeworkping3
 

More from homeworkping3 (20)

238304497 case-digest
238304497 case-digest238304497 case-digest
238304497 case-digest
 
238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2238247664 crim1 cases-2
238247664 crim1 cases-2
 
238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeeding238234981 swamping-and-spoonfeeding
238234981 swamping-and-spoonfeeding
 
238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elx238218643 jit final-manual-of-power-elx
238218643 jit final-manual-of-power-elx
 
238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-set238103493 stat con-cases-set
238103493 stat con-cases-set
 
238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-full238097308 envi-cases-full
238097308 envi-cases-full
 
238057402 forestry
238057402 forestry238057402 forestry
238057402 forestry
 
238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-water238057020 envi-air-water
238057020 envi-air-water
 
238056086 t6-g6
238056086 t6-g6238056086 t6-g6
238056086 t6-g6
 
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
238019494 rule-06-kinds-of-pleadings
 
237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7237978847 pipin-study-7
237978847 pipin-study-7
 
237968686 evs-1
237968686 evs-1237968686 evs-1
237968686 evs-1
 
237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-case237962770 arthur-lim-et-case
237962770 arthur-lim-et-case
 
237922817 city-cell
237922817 city-cell237922817 city-cell
237922817 city-cell
 
237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studies237778794 ethical-issues-case-studies
237778794 ethical-issues-case-studies
 
237768769 case
237768769 case237768769 case
237768769 case
 
237754196 case-study
237754196 case-study237754196 case-study
237754196 case-study
 
237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnover237750650 labour-turnover
237750650 labour-turnover
 
237712710 case-study
237712710 case-study237712710 case-study
237712710 case-study
 
237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6237654933 mathematics-t-form-6
237654933 mathematics-t-form-6
 

Recently uploaded

421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptxGiftaJewela
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Abdiera
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..ikayogakinasih12
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)3HerisaSintia
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxbkandrisaputra
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docxbkandrisaputra
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASreskosatrio1
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxadimulianta1
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapsefrida3
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptArkhaRega1
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfCandraMegawati
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 

Recently uploaded (20)

421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 

236597716 case-besar-chf-finish

  • 1. Get Homework/Assignment Done Homeworkping.com Homework Help https://www.homeworkping.com/ Research Paper help https://www.homeworkping.com/ Online Tutoring https://www.homeworkping.com/ click here for freelancing tutoring sites CASE BESAR Congestive Heart Failure dengan Cardiac Sirosis Disusun Oleh : Franky Abryanto Richard M Butu 1
  • 2. Maitri Kalyani Pembimbing dr. Agoes Kooshartoro, Sp.PD dr. Devy Juniarti Iskandar, Sp.PD dr. Rini Zulkifli RUMAH SAKIT BHAKTI YUDA SMF PENYAKIT DALAM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT BHAKTI YUDA Nama Mahasiswa : Franky Abryanto Richard M Butu Maitri kalyani Dokter Pembimbing : dr. Agoes Kooshartoro, Sp.PD dr. Devy Juniarti Iskandar, Sp.PD dr. Rini Zulkifli Tanda Tangan : 2
  • 3. IDENTITAS PASIEN Nama lengkap : Tn. S Jenis kelamin : Laki-laki Umur : 69 Tahun Agama : Islam Status perkawinan : Menikah Tanggal masuk RS :15-05-2014 Pekerjaan : Pensiunan PNS Alamat : Jl Raya Citayam RT 01/05 ANAMNESIS Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal : 17 Mei 2014 Jam : 07.10 WIB Keluhan utama : Sesak Napas sejak kapan 3 hari sebelum masuk RS Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasa sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dan semakin memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasa oleh pasien tiap kali berjalan jauh dan dirasa membaik ketika pasien duduk. Saat tidur pun pasien lebih nyaman diganjal dengan 2 bantal, karena dengan seperti ini sesak dirasa berkurang. Sesak tidak disertai dengan suara mengi. Pasien sering terbangun malam hari karena sesak. Pasien juga terkadang terasa sesak jika batuk. Batuk disertai dahak berwarna putih. Batuk sudah dirasakan oleh pasien sejak seminggu yang lalu.Selain sesak pasien juga mengeluh demam. Demam dirasa timbul sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan sepanjang hari. Demam tidak disertai dengan menggigil dan berkeringat. Pasien juga merasa mual, namun tidak muntah. Mual dirasa setiap hari dan hilang timbul. Pasien juga mengeluh nyeri di ulu hati, nyeri dirasa sejak 5 hari 3
  • 4. sebelum masuk RS, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk, sejak merasa nyeri di ulu hati, pasien tidak nafsu makan dan perut terasa kembung. Pasien mengaku bengkak pada kedua kaki sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak baru pertama kali dirasakan, bengkak juga tidak dirasa nyeri. Buang air besar tidak ada keluhan, buang air kecil berwarna seperti air teh pekat.Selama ini pasien mengaku tidak rutin minum obat darah tinggi. Pasien mengaku tekanan darah tertinggi 180/90, terendah 130/80. Riwayat nyeri dada sebelumnya disangkal oleh pasiennya. Penyakit Dahulu (-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjal/Sal.kemih (-) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hemia) (-) Difteri (-) Hepatitis (-) Penyakit Prostat (-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir (-) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes (-) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi (-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor (-) Khorea (+) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh (-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak (-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis (-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis (-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu lain-lain : (-) Operasi (-) Kecelakaan Riwayat Keluarga Hubungan Umur (Tahun) Jenis Kelamin Keadaan Kesehatan Penyebab Meninggal Kakek (ayah) Tidak tahu Laki-laki Tidak tahu Tidak tahu Nenek (ayah) Tidak tahu Perempuan Tidak tahu Tidak tahu Kakek (ibu) Tidak tahu Laki-laki Tidak tahu Tidak tahu Nenek (ibu) Tidak tahu Perempuan Tidak tahu Tidak tahu Ayah Tidak tahu Laki-laki Meninggal Tidak tahu Ibu Tidak tahu Perempuan Meninggal Tidak tahu Saudara Tidak tahu Laki-laki Sehat - 4
  • 5. (Kakak ke-1) Saudara (Kakak ke-2) Tidak tahu Laki-laki Sehat - Saudara (Adik ke-1) Tidak tahu Laki-laki Sehat - Adakah Kerabat yang Menderita ? ANAMNESIS SISTEM Catatan keluhan tambahan positif disamping judul-judul yang bersangkutan Kulit (-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat Malam (-) Ptechie (-) Kuku (-) Kuning/Ikterus (-) Sianosis Kepala (-) Trauma (-) Sakit Kepala (-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus Mata (-) Nyeri (-) Radang (-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan (+) Kuning/Ikterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun Telinga (-) Nyeri (-) Tinitus (-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran 5 Penyakit Ya Tidak Hubungan Alergi Tidak ada Asma Tidak ada Tuberkulosis Tidak ada Hipertensi Ada Ayah Diabetes Tidak ada Kejang Demam Tidak ada Epilepsy Tidak ada Poliomielitis Tidak ada
  • 6. (-) Kehilangan Pendengaran Hidung (-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan (-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman (-) Sekret (-) Pilek (-) Epistaksis Mulut (-) Bibir kering (-) Lidah kotor (-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah (-) Selaput (-) Stomatitis Tenggorokan (-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara Leher (-) Benjolan (-) Nyeri Leher Dada ( Jantung / Paru – paru ) (-) Nyeri dada (-) Sesak Napas (-) Berdebar (-) Batuk Darah (-) Ortopnoe (-) Batuk Abdomen ( Lambung Usus ) (+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar (+) Mual (-) Wasir (-) Muntah (-) Mencret (-) Muntah Darah (-) Tinja Darah (-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul (+) Nyeri Ulu Hati (-) Tinja Berwarna Ter (-) Benjolan (-) Nyeri tekan CVA Saluran Kemih / Alat Kelamin (-) Disuria (-) Kencing Nanah (-) Stranguri (-) Kolik (-) Poliuria (-) Oliguria (-) Polakisuria (-) Anuria (-) Hematuria (-) Retensi Urin (-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes (-) Ngompol (-) Penyakit Prostat 6
  • 7. Katamenia (-) Leukore (-) Pendarahan (-) lain – lain Haid (-) Haid terakhir (-) Jumlah dan lamanya (-) Menarche (-) Teratur/tidak (-) Nyeri (-) Gejala Kilmakterium (-) Gangguan haid (-) Pasca menopause Saraf dan Otot (-) Anestesi (-) Sukar Mengingat (-) Parestesi (-) Ataksia (-) Otot Lemah (-) Hipo / Hiper-esthesi (-) Kejang (-) Pingsan (-) Afasia (-) Kedutan (‘tick’) (-) Amnesia (-) Pusing (Vertigo) (-) Gangguan bicara (Disartri) Ekstremitas (+) Bengkak (-) Deformitas (-) Nyeri (-) Sianosis PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan Umum Tinggi Badan : 60 kg Berat Badan : 165 cm Tekanan Darah : 140/90 mmHg Nadi : 124x/menit Suhu : 38,6°C Pernapasan : 32x/menit, abdomino torakal Keadaan gizi : IMT: 22,04 (Gizi cukup) Kesadaran : compos mentis Sianosis : tidak ada Udema umum : tidak ada Umur menurut taksiran pemeriksa : sesuai umur Aspek Kejiwaan 7
  • 8. Tingkah Laku : wajar/gelisah/tenang/hipoaktif/hiperaktif Alam Perasaan : biasa/sedih/gembira/cemas/takut/marah Proses Pikir : wajar/cepat/gangguan waham/fobia/obsesi Kulit Warna : sawo matang Effloresensi : tidak ada Jaringan Parut : tidak ada Pigmentasi : tidak ada Pertumbuhan rambut : distribusi merata Lembab/Kering : lembab Suhu Raba : sub-febris Pembuluh darah : tidak tampak pelebaran Turgor : turgor kulit baik Ikterus : tidak ada Oedem : tidak ada Ptekie : tidak ada Kelenjar Getah Bening Submandibula : tidak membesar Leher : tidak membesar Supraklavikula : tidak membesar Ketiak : tidak membesar Lipat paha : tidak membesar Kepala Ekspresi wajah : normal dan wajar Simetri muka : simetris Rambut : hitam, distribusi merata Mata Exophthalamus : tidak ada Enopthalamus : tidak ada Kelopak : tidak ptosis, tidak udem, tidak ada bekas luka Lensa : jernih Konjungtiva : tidak anemis 8
  • 9. Visus : tidak dilakukan pemeriksaan Sklera : Ikterik Telinga Tuli : tidak ada Lubang : liang telinga lapang, serumen +/+ Penyumbatan : tidak ada Serumen : ada, pada liang telinga Pendarahan : tidak ada Cairan : tidak ada Mulut Bibir : tidak cyanosis, tampak kering Tonsil : T1-T1, tenang Langit-langit : tidak ada celah Bau pernapasan : tidak berbau khas Gigi geligi : tidak ada caries Trismus : tidak ada Faring : tidak hiperemis Selaput lendir : kemerahan, basah Lidah : tidak ada deviasi, tidak kotor Leher Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5 + 2 cm H2O Kelenjar Tiroid : tidak membesar Kelenjar Limfe : tidak membesar Dada Bentuk : normal Buah dada : membesar, genekomastia Paru – Paru Depan Belakang Inspeksi 9
  • 10. Kiri : bentuk dada normal, simetris saat statis dan dinamis, sela iga tidak membesar, jenis pernapasan abdominotorakal. Kanan : bentuk dada normal, simetris saat statis dan dinamis, sela iga tidak membesar, jenis pernapasan abdominotorakal. Palpasi Kiri : sela iga tidak melebar, taktil fremitus normal, gerakan dada simetris Kanan : sela iga tidak melebar, taktil fremitus normal, gerakan dada simetris Perkusi Kiri : sonor di seluruh lapang paru Kanan : sonor di seluruh lapang paru Auskultasi Kiri : bunyi paru vesikuler, tidak terdengar ronkhi dan wheezing Kanan : bunyi paru vesikuler, tidak terdengar ronkhi dan wheezing Jantung Inspeksi : bentuk thorax normal, tidak pectus excavatum, tidak pectus carinatum, tidak barrel chest, ictus cordis tidak terlihat Palpasi : sela iga tidak melebar, ictus cordis tidak teraba Perkusi : Batas kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra Batas atas jantung : ICS II, linea sternalis sinistra Batas pinggang jantung : ICS III, linea parasternalis sinistra Batas kiri jantung : ICS VI, 2 cm dari linea midclavicula sinistra Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, tidak terdengar murmur dan gallop Perut Inspeksi : datar, supel, tidak ada bekas operasi, tidak ada penonjolan massa Palpasi Dinding perut : tegang, tidak ada defence muscular, ada nyeri tekan epigastrium. Hati : tidak teraba Limpa : tidak teraba 10
  • 11. Ginjal : Tidak teraba, nyeri costovertebrae angle negatif, ballotement tidak teraba Kandung empedu : Murphy sign tidak ada Perkusi : timpani, batas paru-hati sela iga 5, peranjakan hati 2 jari. Auskultasi : bising usus + normal Refleks dinding perut : positif normal Alat Kelamin (atas indikasi) Tidak diperiksa Anggota Gerak Lengan Kanan Kiri Otot Tonus : normotonus normotonus Massa : tidak ada tidak ada Sendi : tidak nyeri tidak nyeri Gerakan : aktif aktif Kekuatan : +5 +5 Oedem : tidak ada tidak ada Lain-lain : Petechie : tidak ada tidak ada Tungkai dan Kaki Kanan Kiri Luka : tidak ada tidak ada Varises : tidak ada tidak ada Otot : normotrofi normotrofi Tonus : normotonus normotonus Massa : tidak ada tidak ada 11
  • 12. Sendi : tidak nyeri tidak nyeri Gerakan : aktif aktif Kekuatan : +5 +5 Udema : ada ada Lain-lain : Petechie : tidak ada tidak ada LABORATORIUM & PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA Pemeriksaan 15 mei 2014 pukul 20.18 PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL Darah lengkap Hemoglobin 14,9 g/dl 12-18 Leukosit 5,7 ribu/mm3 5-10 Trombosit 114 ribu/mm3 150-450 Hematokrit 44 % 38-47 Diff Basofil 0 % 0-1 Eosinofil 0 % 1-3 Neutrofil Stab 0 % 3-5 Neutrofil Segmen 60 % 54-62 Limfosit 35 % 25-33 Monosit 5 % 3-7 12
  • 13. EKG 13 PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL Diabetes Melitus Glucose sewaktu 91 mg/dl <180 SGOT 228 U/L <35 SGPT 88 U/L <40 Fungsi Jantung Elektrolit Natrium 128 MEQ/L 135-146 Kalium 4.41 MEQ/L 3,5-5 Chlorida 99 MEQ/L 98-107 Ureum 55 mg/dl 10-50 kreatinin 2 mg/dl 0,5-1,5
  • 14. Kesan: Sinus ritme dan Old MCI anterior Rontgen pada tanggal 16 Mei 2014 14
  • 15. Kesan : Cardiomegali, Bronkitis RESUME Pasien laki-laki usia 63 tahun datang dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasa sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dan semakin memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak timbul saat aktivitas, lebih nyaman menggunakan bantal saat tidur, suka terbangun pada malam hari karena sesak. Batuk (+), dahak (+) darah (-). Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 140/90 mmHg, suhu 38,6˚C, nadi 124x/m, RR 32 x/m. sklera ikterik (+/+), BJ I-II iregguler, Ronkhi (+/+), Nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri tekan hipokondrium kanan (+) serta ekstremitas bawah udem (+). 15
  • 16. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil SGOT SGPT meningkat, natrium dan ureum menurun, kreatinin meningkat, pada gambaran EKG didapat kesan old miokard anterior. Pada gambaran radiologi tampak cardiomegali dan brokhitis. DIAGNOSIS KERJA: 1. CHD dengan HHD Sesak saat beraktifitas Tidur lebih nyaman dengan disanggah 2 bantal Riwayat penyakit jantung (+), riwayat hipertensi (+) Gambaran radiologi : kesan tampak cardiomegali PF : HR : 124 x/menit, RR : 32x/menit, TD : 140/90 mmHg 2. Bronkitis akut Sesak ketika batuk Batuk disertai dengan dahak Demam sejak 3 hari sebelum masuk RS Suhu : 38,6 Suara vesikuler +/+, rh +/+ Gambaran radiologi : Kesan Bronkitis 3. Suspect kardiak sirosis Adanya Penyakit Gagal Jantung Kongestif yang menyertai Pasien terlihat Ikterik Udem perifer Pemeriksaan Lab IgM anti HAV (-), HbsAg (-), anti HCV (-). Peningkatan SGOT dan SGPT Pemeriksaan USG menggambarkan adanya sirosis 4. Acute Kitney Injury Adanya Penyakit Gagal Jantung Kongestif yang menyertai Belum pernah mengalami gangguan ginjal sebelumnya Pemeriksaan awal ureum kreatinin sedikit meningkat PF: Udem perifer 16
  • 17. DIAGNOSIS BANDING: 1. Cor pulmonale 2. Kardiomiopaty ANJURAN PEMERIKSAAN • Darah rutin • Fungsi Liver • Elektrolit • Anti IgM HAV, HBsAg, Anti HCV • Fungsi Ginjal • USG abdomen TATALAKSANA Non medikamentosa: • Batasi cairan,kurang dari 1 liter/hari • Diet rendah protein • Diet rendah garam < 2 gram/hari • Olahraga Medika mentosa: O2 2 liter/menit IVFD Ringer Laktat 10 tpm Paracetamol infus 100ml Furosemide iv 1x1 Ceftriaxon iv 1 gr Ondansentron iv 40 mg PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Ad functionam : Dubia Ad sanationam : Dubia 17
  • 18. Follow up 16 May 2014 17 May 2014 S • Sesak, • Demam, • Mual S • Sesak, • Batuk disertai dahak, • Mual O KU : Tampak sakit sedang, CM TD : 140/90 mmHg S : 37,7˚C N : 88x/menit RR : 22x/menit O KU : Tampak sakit sedang, CM TD : 130/90 S : 36 °C N : 82 x/ menit irreguler RR : 20x/menit Thorax : Paru : Suara napas vesikuler +/+, Rh+/+, Wh -/- Ekstremitas : udem Hasil Pemeriksaan penunjang 1 A CHF ec HHD Obs febris ec.hepatitis A CHF ec HHD Obs febris ec.hepatitis Bronkhitis akut AKI P Oksigen 2 L Diet Makanan Lunak 1800 kkal Paracetamol 3x1 Furosemid 1x1 ampul Digoxin 1x1 ISDN 2x1 P Terapi lanjut Ceftriaxon stop Furosemid Inj Stop diganti dengan Furo semid tab 1x1 Paracetamol stop Instruksi : Konsul (raber) Penyakit Dalam Rencana : Periksa SGOT, SGPT, Bilirubin Total; direct, indirect, Ureum, Kreatinin, elektrolit 18
  • 19. 18 May 2014 19 May 2014 S • Sesak dirasa berkurang • Batuk berkurang • Nyeri ulu hati S • Sesak berkurang, • Batuk berkurang • Sulit tidur saat malam hari O KU : Tampak sakit sedang, CM TD : 130/90 mmhg N : 80x/menit, irreguler S : 36,2 °C RR : 24x/menit Hasil Pemeriksaan Penunjang O KU : Tampak sakit sedang, CM TD : 140/90 mmhg N : 80x/menit, irreguler S : 36,5 °C RR : 24x/menit Hasil pemeriksaan penunjang A CHF ec HHD Bronkhitis AKI Suspect Hepatitis A CHF ec HHD CAP AKI Suspect Hepatitis P Terapi lanjut SNMC 3 mg drip + Dextrose 5% 100cc Ondansentron 3x1 Erdostein 3x1 Aminoral 3x1 Lesichol 2 x 300 mg P Terapi lanjut Rencana terapi : Aspar K 2x1 NaCl caps 2x1 Rencana pemeriksaan : HBs Ag, anti HAV igM Rencana pemeriksaan : Anti HCV SGOT, SGPT 20 May 2014 21 May 2014 19
  • 20. S • Sesak dirasa berkurang • Batuk berkurang • Nyeri di kedua kaki dirasa hilang timbul • Nyeri ulu hati S • Nyeri pada kedua kaki yang hilang timbul • Mual (+) O KU : Tampak sakit sedang, CM TD : 130/80 mmhg N : 82x/menit, irreguler S : 36,2 °C RR : 20x/menit Hasil Pemeriksaan penunjang O KU : Tampak sakit sedang, CM TD : 130/100 mmhg N : 84x/menit, S : 36 °C RR : 24x/menit Hasil pemeriksaan penunjang A • CHF ec CAD • Bronkhitis • AKI • Suspect Hepatitis • Neuropati A • CHF ec CAD • CAP • AKI • Suspect Hepatitis • Neuropati P Terapi lanjut Aspar K 2x1 Nacl caps 2x1 P Terapi lanjut Omeprazol Inj 2x1 Rencana pemeriksaan : USG abdomen SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin, Elektrolit Rencana pemeriksaan : USG abdomen SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin, Elektrolit Rencana terapi : Cefixime tab 200mg 2x1 22 May 2014 23 May 2014 20
  • 21. S • Sesak sudah tidak dirasa lagi • Nyeri di kedua kaki yang dirasa hilang timbul mulai berkurang S Nyeri di kedua kaki yang dirasa hilang timbul mulai berkurang O KU : Tampak sakit sedang, CM TD : 140/90 mmHg N : 82x/menit, irreguler S : 36,1 °C RR : 20x/menit Hasil pemeriksaan penunjang O KU : Tampak sakit sedang, CM TD : 140/90 mmHg N : 84x/menit, S : 36,7 °C RR : 24x/menit Hasil pemeriksaan penunjang A • CHF ec CAD • Bronkhitis dengan perbaikan • AKI • Neuropati • Suspect Sirosis hepatis A • CHF ec CAD dengan perbaikan • Bronkhitis dengan perbaikan • AKI dengan perbaikan • Neuropati • Suspect Sirosis hepatis P Terapi lanjut P Terapi stop Rencana pemeriksaan : SGOT, SGPT, albumin, ureum, creatinin Rencana terapi : Pemberian obat secara oral, Pasien boleh pulang Lampran hasil pemeriksaan penunjang Lab tanggal 17 Mei 2014 pukul 08.07 21
  • 22. Pemeriskaan tanggal 17 mei 2014 pukul 20.39 PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL Kimia darah SGOT 1.186 U/L <35 SGPT 517 U/L <40 Bilirubin Total 2.2 mg/dl 0-1,5 Bilirubin direct 1.39 mg/dl 0-0,25 Bilirubin Indirect 0.81 mg/dl 0-0,75 Fungsi Jantung Elektrolit Natrium 127 MEQ/L 135-146 Kalium 3.4 MEQ/L 3,5-5 Chlorida 96 MEQ/L 98-107 Ureum 84 mg/dl 10-50 kreatinin 1.8 mg/dl 0,5-1,5 Pemeriksaan tanggal 18 mei 2014 pukul 17.47 PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL 22 PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL Darah rutin Hemoglobin 14,9 g/dl 12-18 Leukosit 6,1 ribu/mm3 5-10 Trombosit 177 ribu/mm3 150-450 Hematokrit 42 % 38-47
  • 23. Immunologi/Serologi HBsAg Non reaktif Non reaktif IgM Anti HAV Negative Negative Pemeriksaan tanggal 19 Mei 2014 pukul 17. 13 PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL Kimia darah SGOT 665 â U/L <35 SGPT 388 â U/L <40 Immunologi/Serologi Anti HCV Negative Negative USG Tanggal 20 Mei 2014 23
  • 24. 24
  • 25. Kesan : Sesuai dengan gambaran sirosis hepatic dengan ascites dan efusi dextra Pemeriksaan tanggal 21 Mei 2014 pukul 11.50 PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL Kimia darah SGOT 391 â U/L <35 SGPT 299 â U/L <40 Pemeriksaan tanggal 23 Mei 2014 pukul 8.28 PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL Kimia darah SGOT 169 â U/L <35 SGPT 195 â U/L <40 Albumin 2.8 g/dl 3.5-5 Ureum 21 mg/dl 10-50 Creatinin 1.1 mg/dl 0.5-1.5 25
  • 26. PEMBAHASAN Pasien Tn S 63 tahun masuk ke RS dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari dan semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa diagnosis adalah gagal jantung kongestif (CHF ) dengan penyebab utamanya adalah Hypertension Heart Disease (HHD) Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham dimana didapatkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dan dari anamnesis didapatkan dispnea d’effort kemudian dari pemeriksaan fisik didapatkan, kardiomegali, paroximal nocturnal dispnea, ronkhi paru dan edema ekstremitas. Pada pasien didapatkan 3 kriteria mayor dan 2 kriteria minor sehingga didiagnosis pasien ini adalah gagal jantung kongestif. Berdasarkan tingkatannya, CHF pada pasien ini termasuk ke dalam grade IV, yaitu pasien tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung, yang bertambah apabila pasien melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan. Hipertensi merupakan beban pressure overload bagi miokard yang dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri dan gangguan fungsi diastolic (asimptomatik/subklinik) dan akhirnya dapat menyebabkan gangguan sistolik ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri merupakan respon terhadap kenaikan wall stress ventrikel kiri akibat hipertensi dan suatu upaya untuk mengembalikan wall stress ventrikel kiri kepada nilai normal, mempertahankan fungsi sistolik ventrikel kiri dan mengurangi kemungkinan terjadinya gangguan perfusi miokard. Respon adaptasi tersebut terbatas. Seperti pada pasien ini, bila tekanan darah tetap tinggi dimana pasien sudah mengalami hipertensi selama 5 tahun dan jarang kontrol makan akan terjadi remodeling, perubahan struktur miokard dan gangguan fungsi jantung. Sesak napas yang merupakan keluhan utama pada pasien ini disebabkan oleh karena adanya kongesti pulmoner, dengan adanya akumulasi dari cairan interstisial yang menstimulasi pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas yang disebabkan oleh penyakit jantung. Sesak napas pada malam hari saat pasien tidur merupakan akibat pasien tidur dalam keadaan datar sehingga aliran balik darah meningkat, akibatnya ventrikel kanan juga memompakan darah yang lebih banyak ke arteri pulmonalis. Banyaknya darah di vaskuler paru mengakibatkan ekstravasasi cairan dari vaskuler ke intersisial, dengan adanya ekstravasasi cairan ke intersisial 26
  • 27. jaringan paru akan menimbulkan suara ronki basah basal saat di lakukan auskultasi pada kedua lapangan paru. Ronkhi yang timbul akibat adanya peradangan paru dapat disingkirkan karena tidak adanya manifestasi demam pada pasien ini. Sesak napas pada pasien ini juga bisa disebabkan karena penyakit bronkitis akutnya. Edema kedua tungkai pada pasien ini terjadi karena adanya kongesti vena sistemik sebagai akibat gagal jantung kanan. Gagal jantung kanan dapat terjadi akibat meningkatnya tekanan vaskular paru sehingga akhirnya membebani ventrikel kanan. Selain itu disfungsi ventrikel kiri juga berpengaruh langsung terhadap fungsi ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimiawinya. Kedua ventrikel mempunyai satu dinding yang sama (septum interventrikularis) yang terletak dalam pericardium. Perubahan-perubahan biokimia seperti berkurangnya cadangan norepinefrin miokardium selama gagal jantung juga dapat merugikan kedua ventrikel. TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Penyakit kardiovaskular sekarang merupakan penyebab kematian paling umum di seluruh dunia. Penyakit kardiovaskular menyumbang hampir mendekati 40% kematian di negara maju dan sekitar 28% di negara miskin dan berkembang (Gaziano, 2008). Menurut data dari studi Framingham, 90% orang yang berumur diatas 55 tahun akan mengalami hipertensi selama masa hidupnya (Lilly, et al., 2007). Hal ini menggambarkan masalah kesehatan publik karena hipertensi dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular, seperti gagal jantung kongestif ( Kotchen, 2008). Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5 - 10%. Dalam kurun 20 tahun terakhir, angka kematian karena serangan jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering, 2008), oleh karena itu terjadi peningkatan penderita penyakit jantung hipertensi yang beresiko mengalami gagal jantung kongestif (Rodeheffer, 2007). Menurut data dan 27
  • 28. pengalaman sebelum adanya pengobatan yang efektif, penderita hipertensi yang tidak diobati terbukti mengalami pemendekan masa kehidupan sekitar 10 – 20 tahun. Bahkan individu yang mengalami hipertensi ringan jika tidak diobati selama 7 – 10 tahun beresiko tinggi mengalami komplikasi yaitu sekitar 30% terbukti mengalami aterosklerosis dan lebih dari 50% akan mengalami kerusakan organ yang berhubungan dengan hipertensi itu sendiri, seperti kardiomegali, gagal jantung kongestif, retinopati, masalah serebrovaskular, dan/atau insufisiensi ginjal. Oleh karena itu, walaupun bentuk ringan, hipertensi merupakan penyakit yang progresif dan letal jika tidak segera diobati (Fisher, 2005). Definisi Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, di mana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan.4 Keadaan dimana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi metabolisme jaringan atau hanya bisa melakukannya dengan tekanan pengisian yang tinggi secara tidak normal. Penting untuk mengetahui dasar penyakit jantung dan faktor-faktor yang mencetuskan gagal jantung kongestif akut.3 Etiologi Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark miokard, yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup. Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagal jantung edema paru dan syok sering dicetuskan oleh adanya berbagai faktor pencetus. Hal ini penting diidentifikasi terutama yang bersifat reversibel karena prognosis akan menjadi lebih baik.4 Faktor pencetus akut untuk gagal jantung mencakup asupan natrium meningkat, ketidakpatuhan pada terapi anti-CHF, MI akut (mungkin tersembunyi), kekambuhan hipertensi, aritmia akut, infeksi dan/atau demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, miokarditis akut atau endokarditis infektif dan obat-obatan 28
  • 29. tertentu (misalnya obat anti-inflamasi non-steroid, verapamil). Penyakit jantung yang mendasari gagal jantung mencakup: (1) keadaan yang menekan fungsi sistolik ventrikel (penyakit arteri koronaria, hipertensi, kardiomiopati dilatasi, penyakit katup, penyakit jantung kongenital); dan (2) keadaan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik (misalnya kardiomiopati restriktif, kardiomiopati hipertrofi, fibrosis, kelainan endomiokardial), juga disebut gagal diastolik.3 Patofisiologi Gagal Jantung Patofisiologi dari gagal jantung dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut antara lain: a. Mekanisme Dasar Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume akhir diastolik) ventrikel, terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya LVDEP, terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam pembuluh darah paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru. Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan kongesti paru. Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus katup atroventrikularis, atau perubahan orientasi otot papilaris dan korda tendinae 29
  • 30. akibat dilatasi ruang. Edema paru pada gagal jantung kiri dapat kita lihat dengan jelas pada Gambar no.2.5 Gambar no.1 Edema Paru pada Gagal Jantung Kiri b. Respons Kompensatorik Sebagai respons terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat: (1) meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan (3) hipertrofi ventrikel. Ketiga respons kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.5 c. Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respons simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung. Selain itu juga terjadi vasokonstriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah (misal, kulit dan ginjal) untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Venokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk 30
  • 31. selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Seperti yang diharapkan, kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel. Namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel. Perubahan ini paling tepat dengan melihat kurva fungsi ventrikel. Dalam keadaan normal, katekolamin menghasilkan efek inotropik positif pada ventrikel sehingga menggeser kurva ke atas dan ke kiri. Berkurangnya respons ventrikel yang gagal terhadap rangsangan katekolamin menyebabkan berkurangnya derajat pergeseran akibat rangsangan ini. Perubahan ini mungkin berkaitan dengan observasi yang menunjukkan bahwa cadangan norepinefrin pada miokardium menjadi berkurang pada gagal jantung kronis.5 d. Peningkatan Beban Awal Melalui Aktivasi Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut. Peningkatan beban awal ini akan menambah kontraktilitas miokardium sesuai dengan hukum Starling. Mekanisme pasti yang mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun, diperkirakan terdapat sejumlah faktor seperti rangsangan simpatis adrenergik pada reseptor beta di dalam aparatus jukstaglomerulus, respons reseptor makula densa terhadap perubahan pelepasan natrium ke tubulus distal, dan respons baroreseptor terhadap perubahan volume dan tekanan darah sirkulasi. Apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa berikut: (1) penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus, (2) pelepasan renin dari aparatus jukstaglomerulus, (3) interaksi renin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I, (4) konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, (5) rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan (6) retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul. Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah. Pada gagal jantung berat, kombinasi antara kongesti vena sistemik dan menurunnya perfusi hati akan mengganggu metabolisme aldosteron di hati, sehingga kadar aldosteron dalam darah meningkat. Kadar hormon antidiuretik akan meningkat pada gagal jantung 31
  • 32. berat, yang selanjutnya akan meningkatkan absorpsi air pada duktus pengumpul.Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron dapat kita lihat pada Gambar no.3.5 Renin + Angiotensinogen Angiotensin I Angiotensin II Vasokonstriksi perifer Sekresi aldosteron Retensi Na+ , H2O Peningkatan volume plasma Peningkatan tekanan darah Gambar no.2 Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron e. Hipertrofi Ventrikel Respons kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambahnya tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium; sarkomer dapat bertambah secara paralel atau serial bergantung pada jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung. Sebagai contoh, suatu beban tekanan yang ditimbulkan stenosis aorta akan disertai dengan meningkatnya ketebalan dinding tanpa penambahan ukuran ruang dalam. Respons miokardium terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta, ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya ketebalan dinding. Kombinasi ini diduga terjadi akibat bertambahnya jumlah sarkomer yang tersusun secara serial. Kedua pola hipertrofi ini disebut hipertrofi konsentris dan hipertrofi eksentris. Apapun susunan pasti sarkomernya, hipertrofi miokardium akan meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel.5 f. Mekanisme Kompensatorik Lainnya 32
  • 33. Mekanisme lain bekerja pada tingkat jaringan untuk meningkatkan hantaran oksigen ke jaringan. Kadar 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) plasma meningkat sehingga mengurangi afinitas hemoglobin dengan oksigen. Akibatnya, kurva disosiasi oksigen-hemoglobin bergeser ke kanan, mempercepat pelepasan dan ambilan oksigen oleh jaringan. Ekstraksi oksigen dari darah ditingkatkan untuk mempertahankan suplai oksigen ke jaringan pada saat curah jantung rendah.5 g. Efek Negatif Respons Kompensatorik Awalnya, respons kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik. Vasokonstriksi arteri dan redistribusi aliran darah mengganggu perfusi jaringan pada anyaman vaskular yang terkena, serta menimbulkan gejala dan tanda (misal, berkurangnya jumlah keluaran urine dan kelemahan tubuh). Vasokonstriksi arteri juga meningkatkan beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardium (MVO2) juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan MVO2. Jika peningkatan MVO2 ini tidak dapat dipenuhi dengan meningkatkan suplai oksigen miokardium, akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.5 Manifestasi Klinis Gagal Jantung Manifestasi klinis gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik; tetapi, dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan. Dispnea, atau perasaan sulit bernafas, adalah manifestasi gagal jantung yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja pernafasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru. Meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Batuk nonproduktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi berbaring.5 33
  • 34. Gejala lain dari gagal jantung adalah edema perifer. Biasanya, keluhan dari penderita adalah pada saat bangun tidur di pagi hari, kaki masih tampak normal. Namun, semakin siang, kaki dan pergelangan kaki membengkak dan apabila ia membuka sepatu, maka ia tidak akan dapat lagi mengenakannya. Penderita juga akan mengeluh tentang perasaan berat di kaki. Di sepanjang hari itu, berat badan dapat bertambah sampai 2 kg. Kita juga akan dengan mudah menekan satu sumuran di dalam edema, sehingga sering disebut edema sumuran (pitting edema). Pada beberapa penderita gagal jantung kronis yang selalu berada di tempat tidur, edema akan berpindah ke bagian yang paling rendah dari tubuhnya. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya edema presakral. Umumnya edema di kaki kanan akan diangkut dan dibuang melalui urin pada malam hari. Itulah sebabnya mengapa pada malam hari, penderita selalu mengeluarkan kencing yang banyak (paling sedikit 3 kali) dan sering disebut nokturia.6 Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan. Nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokonstriksi ginjal pada waktu istirahat. Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka (edema tubuh generalisata). Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata. Semua manifestasi yang dijelaskan di sini secara khas diawali dengan bertambahnya berat badan, yang jelas mencerminkan adanya retensi natrium dan air.5 Kulit pucat dan dingin disebabkan oleh vasokonstriksi perifer; makin berkurangnya curah jantung dan meningkatnya kadar hemoglobin tereduksi menyebabkan terjadinya sianosis. Vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan tubuh untuk melepaskan panas; oleh karena itu dapat ditemukan demam ringan dan keringat yang berlebihan. Kurangnya perfusi pada otot rangka menyebabkan kelemahan dan keletihan. Gejala dapat diperberat oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit atau anoreksia. Makin menurunnya curah jantung dapat disertai insomnia, kegelisahan, atau kebingungan. Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat terjadi kehilangan berat badan yang progresif atau kakeksia jantung.5 34
  • 35. Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung memperlihatkan denyut yang cepat dan lemah. Denyut jantung yang cepat (atau takikardia) mencerminkan respons terhadap rangsangan saraf simpatis. Sangat menurunnya volume sekuncup dan adanya vasokonstriksi perifer mengurangi tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik), menghasilkan denyut yang lemah (thready pulse). Hipotensi sistolik ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat. Selain itu, pada gagal ventrikel kiri yang berat dapat timbul pulsus alternans, yaitu berubahnya kekuatan denyut arteri. Pulsus alternans menunjukkan disfungsi mekanis yang berat dengan berulangnya variasi denyut ke denyut pada volume sekuncup. Pada auskultasi dada lazim ditemukan ronki (seperti yang telah dikemukakan di atas) dan gallop ventrikel atau bunyi jantung ketiga (S3). Terdengarnya S3 pada auskultasi merupakan ciri khas gagal ventrikel kiri. Gallop ventrikel terjadi selama diastolik awal dan disebabkan oleh pengisian cepat pada ventrikel yang tidak lentur atau terdistensi. Kuat angkat substernal (atau terangkatnya sternum sewaktu sistolik) dapat disebabkan oleh pembesaran ventrikel kanan. Terjadi perubahan-perubahan khas pada kimia darah. Misalnya, perubahan cairan dan kadar elektrolit terlihat dari kadarnya dalam serum. Yang khas adalah adanya hiponatremia pengenceran; kadar kalium dapat normal atau menurun akibat terapi diuretik. Hiperkalemia dapat terjadi pada tahap lanjut dari gagal jantung karena gangguan ginjal.5 Manifestasi klinis dari gagal ventrikel kiri berupa sesak napas, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, rasa lelah, kebingungan, nokturia, dan nyeri dada. Manifestasi klinis dari gagal ventrikel kanan berupa sesak napas, peningkatan tekanan vena jugularis, anasarka, asites, edema kaki, refluks hepatojugular, dan nyeri abdomen.7 Pemeriksaan Fisik Jantung Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan tepat agar kita dapat menegakkan diagnosis secara benar. Pada inspeksi dan palpasi jantung, posisi dan karakteristik denyut apeks jantung harus diperhatikan. Posisi denyut apeks jantung biasanya berada pada bagian terbawah dan terluar denyutan yang mudah diraba. Pada pasien dengan bentuk dada normal dan dalam posisi duduk 450 , denyut apeks jantung biasanya teraba pada ruang interkostalis kelima pada garis midklavikula. Denyut apeks jantung yang normal sebaiknya dirasakan oleh jari.Untuk melakukan palpasi denyut apeks jantung, jemari tangan kanan pemeriksa seharusnya menekan dengan ringan dinding dada pasien sepanjang sumbu iga, dengan bantalan jari tengah yang berada lebih 35
  • 36. lateral dan inferior dari ruangan interkostalis kelima pada haris midaksilaris. Jemari secara perlahan di geser kearah medial untuk mencapai posisi yang diinginkan. Bantalan jari tengah digunakan untuk menentukan bagian denyut apeks terluar dan terbawah, sedangkan jari telunjuk dapat digunakan untuk memastikan apakah denyut yang lebih jelas tidak teraba diatasnya. Jari manis dan kelingking dapat digunakan untuk memastikan bahwa denyut apeks yang lebih jelas tidak teraba disebelah lateral atau inferior dari denyut apeks yang teraba oleh jari tengah.2 Denyut apeks seharusnya teraba lebih kearah dalam dari apeks jantung yang diperkirakan karena jantung merupakan tempat masuknya pembuluh-pembuluh besar dari bagian atas mediastinum, tetapi pada kenyataannya denyut apeks bergerak kearah luar karena jantung mengalami rotasi kearah anterior pada saat sistol ventrikel. Getaran (murmur yang teraba) yang dirasakan tangan yang sedang melakukan palpasi terutama menunjukkan adanya turbulensi aliran darah. Getaran sistolik biasanya berhubungan dengan adanya kelainan pada bagian kiri jantung karena tekanan yang terbentuk lebih besar. Getaran yang dirasakan diatas jantung dapat disebabkan oleh stenosis aorta, defek septum ventrikel atau regurgitasi mitral. Kadang-kadang, murmur diastolik pada stenosis mitralis dapat teraba.2 Jika denyut apeks bergeser kearah bawah atau luar, keadaan ini menunjukkan adanya deformitas dada, pergeseran mediastinum, kelainan pleura atau paru-paru atau pembesaran jantung (secara statistik lebih sering).Heaves (pengangkatan) adalah terangkatnya jemari pemeriksa yang sedang meraba apeks jantung. Pengangkatan atau pendorongan denyut apeks ini bersifat terus menerus dan kuat, serta mengangkat jari pemeriksa yang sedang meraba. Keadaan ini dapat ditemukan (terutama pada pembesaran ventrikel kiri) akibat hipertrofi otot jantung (sering kali ditemukan pada beban tekanan yang berlebihan) atau dilatasi jantung(sering kali ditemukan pada beban volume yang berlebihan).Denyut apeks yang tidak teraba dapat disebabkan oleh obesitas, dinding dada yang tebal, emfisema, dan perikarditis konstriktif.2 Retraksi sistolik denyut apeks dapat terjadi pada perikarditis konstriktif karena rotasi jantung mengalami gangguan karena tertahan oleh perikardium. Retraksi sistolik dapat juga terjadi pada insufisiensi trikuspid karena terjadinya pengosongan ventrikel kanan yang berlebih dan cepat sehingga ventrikel kiri kurang kuat untuk melakukan rotasi ke arah anterior. Denyut apeks yang berdetak dapat disebabkan oleh penutupan katup mitral yang sangat jelas terdengar, atau pendorongan ventrikel kiri ke arah depan akibat pembesaran atrium kiri. Hal ini sering kali merupakan petunjuk 36
  • 37. klinis awal untuk stenosis mitral. Pengangkatan bagian bawah sternum dapat disebabkan hipertrofi ventrikel kanan. Kadang-kadang hipertrofi ventrikel kanan terjadi akibat penyakit paru dan dada yang mengembang dapat menyebabkan ventrikel kanan yang mengalami hipertrofi menjadi sulit untuk diraba. Akan tetapi, gerakan ventrikel kanan masih mungkin dirasakan dengan melakukan palpasi tepat dibawah prosesus xiphoideus kearah atas.Pengangakatan midsternum sisi kiri dapat terjadi pada infark miokard anterior atau bila terdapat aneurisma ventrikel kiri.Denyut apeks yang sangat kuat terjadi jika curah jantung mengalami peningkatan setelah berolahraga.Lokasi denyut apeks yang tidak jelas dapat terjadi pada penyakit otot jantung, baik karena kardiomiopati maupun setelah mengalami infark miokard.2 Perkusi jantung jarang memberikan informasi yang bermanfaat. Kadang- kadang efusi perikardial yang besar atau atrium kiri yang besar, dapat diperkusi (pada stenosis mitral yang lama dan berat). Pada saat melakukan auskultasi, diafragma dan sungkup stetoskop harus digunakan untuk mendengar bunyi jantung, yaitu bagian diafragma untuk mendengar murmur bernada tinggi dan sungkup untuk mendengar murmur bernada rendah. Posisi katup jantung dan daerah yang diauskultasi. Sebelum pengendalian klinis berbagai lesi katup menjadi terlatih, bunyi jantung pertama dan kedua sebaiknya dikenali terlebih dahulu, bunyi jantung ketiga dan keempat dicari secara mendalam, dan murmur (jika ada) dikenali. Posisi katup jantung dan lokasi daerah auskultasi dapat kita lihat lebih jelas pada Gambar no.1.2 Gambar no.3 Posisi Katup Jantung dan Lokasi Daerah Auskultasi 37
  • 38. Pada pemeriksaan fisik terhadap pasien gagal jantung mungkin ditemukan pelebaran vena jugularis, S3, bendungan paru (ronki, pekak pada efusi pleura, edema perifer, hepatomegali, dan asites). Takikardia sinus umum terjadi. Pada pasien dengan disfungsi diastolik, S4 seringkali ada.3 a. Keadaan umum dan tanda vital Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami gangguan saat beristirahat, kecuali perasaan tidak nyaman saat berbaring pada permukaan datar selama lima menit. Pada gagal jantung yang lebih berat, pasien harus duduk dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan kemungkinan tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak napas yang dirasakan. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada gagal jantung ringan, namun berkurang pada gagal jantung berat, karena adanya disfungsi ventrikel kiri yang berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik yang berlebih. b. Pemeriksaan vena jugularis dan leher Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala deangkat dengan sudut 450 . Pada gagal jantung stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan peningkatan tekanan abdomen. c. Pemeriksaan paru Pulmonary crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan dari rongga intravaskular ke dalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai wheezing ekspiratoar (asma kardial). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan ke dalam rongga pleura. d. Pemeriksaan jantung Pemeriksaan jantung sering tidak memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan gagal jantung. Jika kardiomegali ditemukan, maka apex cordis 38
  • 39. biasanya berubah lokasi di bawah ICS V dan atau sebelah lateral dari midclavicularis line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex. Pada beberapa pasien, suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi pada apex. S3 atau prodiastolik gallop paling sering ditemukan pada pasien dengan volume overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan sering kali menandakan gangguan hemodinamika. Bising pada regurgitasi mitral dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan gagal jantung tahap lanjut. e. Abdomen dan ekstremitas Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Asites dapat timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritoneum. Jaundice dapat ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik ini disebabkan karena terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti hepar dan hipoksia hepatoseluler. Edema perifer adalah manifestasi cardinal jantung, namun hal ini tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer biasanya simetris, beratya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas. f. Cardiac cachexia Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat badan dan cachexia yang bermakana. Mekanisme dari cachexia pada gagal jantung dapat melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan resting metabolic rate, anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada perut. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang buruk. • Pemeriksaan penunjang  Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain adalah darah rutin, urin rutin, elektrolit (Na dan K), ureum dan kreatinin, SGOT/SGPT, dan 39
  • 40. BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung dengan tujuan untuk mendeteksi anemia, gangguan elektrolit, menilai fungsi ginjal dan hati mangukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik). Pengukuran brain natriuretic peptide (BNP) membedakan penyebab sesak dari jantung dan dari paru (>100 pg/mL pada gagal jantung).3 Pemeriksaan darah lengkap dan enzim hati dapat dilakukan cardiac troponin sedikit meningkat.4  Foto thoraks Pemeriksaan Chest X-Ray dilakukan untuk menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari paru. Kardiomegali dapat dinilai melalui pengukuran cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting pada follow-ip pasien dengan gagal jantung.  EKG Pemeriksaan EKG 12 lead dianjurkan untuk dilakukan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan keberadaan hipertrofi pada ventrikel kiri atau riwayat Infark myocard (ada atau tidaknya Q wave). EKG normal biasanya menyingkirkan adanya disfungsi diastolic pada ventrikel kiri.  Ekokardiografi Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, miokardium dan pericardium, dan mengevalusi gerakan regional dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung. Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodeling ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik. Diagnosis Gagal Jantung Dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG atau foto thorax, ekokardigrafi-doppler dan kateterisasi. Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association (NYHA), umum dipakai untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik 40
  • 41. 1. Klas I Tidak timbul gejala pada aktivitas sehari-hari, gejala akan timbul pada aktivitas yang lebih berat dari aktivitas sehari-hari. 2. Klas II Gejala timbul pada aktivitas sehari-hari. 3. Klas III Gejala timbul pada aktivitas lebih ringan dari aktivitas sehari-hari. 4. Klas IV Gejala timbul pada saat istirahat. Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Kriteria mayor: 1. Paroksismal nokturnal dispneu 2. Distensi vena leher 3. Ronkhi paru 4. Kardiomegali 5. Edema paru akut 6. Gallop S3 7. Peninggian tekanan vena jugularis 8. Refluks hepatojugular Kriteria minor: 1. Edema ekstremitas 2. Batuk mala hari 3. Dispneu de effort 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura 6. Takikardi 7. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal Diagnosis gagal jantug ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 minor. Diagnosis banding 1. Kor Pulmonale Kor pulmonale merupakan pembesaran jantung kanan akibat penyakit paru primer, akan menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya menjadi gagal 41
  • 42. ventrikel kanan.3 Kor pulmonal juga dapat diartikan sebagai hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Untuk menetapkan adanya kor pulmonal secara klinis pada pasien gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisis yakni edema. Kor pulmonal akut adalah peregangan atau pembebanan akibat hipertensi pulmonal akut, sering disebabkan oleh emboli paru masif, sedangkan kor pulmonal kronis adalah hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit paru obstruktif atau restriktif.4 Etiologi meliputi: • Penyakit parenkim paru atau jalan napas. Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), penyakit paru interstisial, bronkiektasi, fibrosis kistik. • Penyakit vaskular paru. Emboli paru berulang, hipertensi paru primer (PHT), vaskulitis, anemia sel sabit. • Ventilasi mekanik yang adekuat. Kifoskoliosis, kelainan neuromuskular, obesitas nyata, sleep apnea.3 Penyakit paru kronis akan mengakibatkan: (1) berkurangnya “vascular bed” paru, dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang mengembang atau kerusakan paru; (2) asidosis dan hiperkapnia; (3) hipoksia alveolar, yang akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru; (4) polisitemia dan hiperviskositas darah. Keempat kelainan ini akan menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal (perjalanan lambat). Dalam jangka panjang akan mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudian akan berlanjut menjadi gagal jantung kanan. Tingkat klinis kor pulmonal dimulai PPOK kemudian PPOK dengan hipertensi pulmonal dan akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung kanan.4 Gejala dari kor pulmonale tergantung pada penyebab yang mendasarinya tetapi meliputi sesak napas, batuk kelelahan dan produksi sputum (pada penyakit parenkim). Pada pemeriksaan fisik terhadap pasien yang menderita kor pulmonale akan ditemukan napas cepat, sianosis, jari tabuh. Impuls RV (Right Ventricel) sepanjang tepi sternal kiri, P2 keras, S4 sisi kanan. Jika berkembang gagal RV, tekanan vena jugularis meningkat, hepatomegali dengan asites, edema kaki. Dapat terdengar bising dari regurgitasi trikuspid.3 42
  • 43. Pada hasil EKG untuk kor pulmonale, akan didapatkan hipertrofi RV dan pembesaran RA (Right Atrium), sering takiaritmia. Foto toraks memperlihatkan RV dan arteri pulmonalis membesar; jika ada PHT, ikuti percabangan arteri pulmonalis. CT dada untuk melihat emfisema, penyakit paru interstisial dan emboli paru akut. V/Q scan lebih dapat dipercaya untuk diagnosis tromboemboli kronis. Tes fungsi paru dan analisis gas darah mencirikan penyakit paru intrinsik. Pada hasil ekokardiogram, hipertrofi ventrikel kanan (RV); fungsi ventrikel kiri normal. Tekanan sistolik RV dapat diperkirakan dari pengukuran Doppler aliran regurgitasi trikuspid. Jika pencitraan sulit karena udara dalam paru yang meregang, volume RV dan ketebalan dinding dapat dinilai dengan MRI.3 Penatalaksanaan untuk kor pulmonale ditujukan pada penyakit paru yang mendasarinya dan meliputi bronkodilator, antibiotika dan pemberian oksigen. Jika ada gagal RV, obati seperti CHF, diet rendah natrium dan diuretik; digoksin harus diberikan secara hati-hati (toksisitas meningkat karena hipoksemia, hiperkapnia, asidosis). Diuretik lengkung Henle juga harus digunakan dengan hati-hati untuk mencegah alkalosis metabolik yang berat yang mengganggu usaha pernapasan. Taki- aritmia supraventrikular sering terjadi dan obati dengan digoksin atau verapamil (sebaiknya menghindari penggunaan beta blocker). Antikoagulasi kronis dengan warfarin diindikasikan ketika hipertensi pulmonal diikuti dengan gagal RV.3 2. Kardiomiopati Adalah kelainan dari otot jantung yang tidak ada kaitanya dengan penyakit perikardium, hipertensi, koroner, kelainan katup. Berdasarkan patofisiologi kardiomiopati dibagi atas kardiomiopati dilatasi, hipertrofi, restriktif. Penyakit ini kebanyakan mengenai usia pertengahan dan lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita. Penyebab dari kardiomiopai dilatasi sendiri tidak diketahui dngan pasti, kemungkinan kelainan ini merupakan hasil akhir dari kerusakan miokard akibat toksin, infeksi dan zat metabolik. Pemeriksaan enzim konversi angiotensin genetik diagnosis pasti kardiomiopati. Gejaala klinis hampir sama dengan gagal jantung secara umum. Pada pemeriksaan dengan ekokardiografi dan ventrikulografi radio nuklir didapatkan gambaran menunjukan dilatasi ventrikel dengan sedikit penebalan dinding jantung. Pada kardiomiopati dilatasi pertama kali abnormalitas yang ditemukan adalah perbesaran ventrikel dari disfungsi kontratilitas sitolok dengan 43
  • 44. tanda gagal jantung kongestif yang timbul kemudian. Penanganan penyakit ini sama dengan penyakit gagal jantung kongestif. Upaya Pencegahan Gagal Jantung Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada kelompok dengan risiko tinggi. Pencegahan-pencegahan yang dapat dilakukan yaitu (1) obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung koroner, (2) pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan, (3) pengobatan hipertensi yang agresif, (4) koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung katup, (5) memerlukan pembahasan khusus, dan (6) bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari, selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung.4 Komplikasi Gagal Jantung Gagal jantung yang tidak ditangani dengan baik, dapat menimbulkan komplikasi. Beberapa komplikasi yang terjadi akibat gagal jantung yaitu: • Syok kardiogenik Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40 % atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vocal di seluruh ventrikel karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen miokardium. • Tromboemboli Risiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam atau DVT dan emboli paru, dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin. • Fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang bisa menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauan denyut jantung(dengan pemberian digoksin/ beta blocker) dan pemberian warfarin. 44
  • 45. • Aritmia ventrikel sering dijumpai bisa menyebabkan sinkop atau kematian Jantung mendadak (25-50% kematian pada CHF) Prognosis Sejumlah factor yang berkaitan dengan prognosis pada gagal jantung : 1. Klinis Semakin buruk gejala pasien, kapasitas aktivitas dan gambaran klinis, semakin buruk prognosis. Berkaitan dengan gungsional class NYHA. 2. Hemodinamik. Semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup dan fraksi ejeksi, semakin buruk prognosis. 3. Biokimia. Terdapat hubungan terbalik yang kuat antara norepinefrin, renin, vasopresin, dan peptide natriuretic plasma. Hiponatremia dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. 4. Aritmia. Fokus ektopik ventrikel yang sering atau takikardia ventrikel pada pengawasan EKG ambulatory menandakan prognosis yang buruk. Tidak jelas apakah aritmia ventrikel hanya merupakan penanda prognosis yang buruk apakah aritmia merupakan penyebab kematian.8 Bronkitis Akut Definisi Bronkitis akut adalah peradangan pada bronkus yang disebabkan oleh infeksi saluran napas yang ditandai dengan batuk (berdahak maupun tidak berdahak) yang berlangsung hingga 3 minggu.9 Epidemiologi Di Amerika Serikat, menurut National Center for Health Statistics, kira-kira ada 14 juta orang menderita bronkitis. Lebih dari 12 juta orang menderita bronkitis akut pada tahun 1994 atau sama dengan 5% populasi Amerika Serikat pada saat itu. Karena angka kejadiannya yang tinggi bronkitis telah menjadi masalah kesehatan dunia. Bronkitis akut dipengaruhi 44 dari 1000 orang dewasa per tahun, dan 82% episode 45
  • 46. terjadi pada musim gugur atau musim dingin. Frekuensi bronkitis lebih banyak pada populasi dengan status ekonomi rendah dan pada kawasan industri. Bronkitis lebih banyak terdapat pada laki-laki dibanding wanita. Data epidemiologis di Indonesia sangat minim. Meskipun ditemukan pada semua kelompok usia, bronkitis akut yang paling sering didiagnosis pada anak-anak muda dari 5 tahun, sedangkan bronkitis kronis lebih umum pada orang tua dari 50 tahun.9 Etiologi Penyebab bronkitis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Pada kenyataannya kasus-kasus bronkitis dapat timbul secara kongenital maupun didapat. a. Kelainan kongenital Dalam hal ini bronkitis terjadi sejak dalam kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan faktor perkembangan fetus memegang peran penting. Bronkitis yang timbul kongenital ini mempunyai ciri sebagai berikut :2 - Bronkitis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru. - Bronkitis konginetal sering menyertai penyakit-penyakit konginetal lainya, misalnya : mucoviscidosis ( cystic pulmonary fibrosis), sindrom kartagener ( bronkiektasis konginetal,sinusitis paranasal dan situs inversus), hipo atau agamaglobalinemia, bronkiektasis pada anak kembar satu telur ( anak yang satu dengan bronkiektasis, ternyata saudara kembarnya juga menderita bronkiektasis), bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan kongenital berikut : tidak adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan, kifoskoliasis konginetal. b. Kelainan didapat Kelainan yang didapat merupakan akibat dari: 46
  • 47. - Infeksi virus, yang paling umum influenza A dan B, parainfluenza, RSV, adenovirus, rhinovirus dan coronavirus. - Infeksi bakteri, seperti yang disebabkan oleh Mycoplasma spesies, Chlamydia pneumoniae , Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis, dan Haemophilus influenzae. - Rokok dan asap rokok. - Paparan terhadap iritasi, seperti polusi, bahan kimia, dan asap tembakau, juga dapat menyebabkan iritasi bronkial akut. - Bahan-bahan yang mengeluarkan polusi. - Penyakit gastrofaringeal refluk-suatu kondisi dimana asam lambung naik kembali ke saluran makan (kerongkongan). - Pekerja yang terekspos dengan debu atau asap. Patofisiologi Pada bronkitis terjadi penyempitan saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat menyebabkan obstruksi jalan napas dan menimbulkan sesak. Pada penderita bronkitis saat terjadi ekspirasi maksimal, saluran pernapasan bagian bawah paru akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Hal ini akan mengakibatkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang, sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke alveoli tidak merata. Timbul hipoksia dan sesak napas. Lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia. Terjadi hipertensi pulmonal yang dalam jangka lama dapat menimbulkan kor pulmonal.9 Selain terjadi penyempitan saluran napas, juga terjadi hipersekresi mukus dalam bronkus karena hipertrofi kelenjar submukosa dan penambahan jumlah sel goblet pada epitel bronkus. Produksi mukus jadi berlebihan dan kehilangan silia sehingga pembersihan mukosiliar terhambat dan menimbulkan batuk produktif.10 Gelaja klinis Pada awalnya gejalanya mirip dengan pneumoni ringan berupa batuk-batuk dengan dahak mukopurulen, peningkatan suhu tubuh yang belum terlalu tinggi, rasa tak nyaman di dada dan bisa disertai sesak napas ringan. Bila ditanya dengan cermat, penderita biasanya juga menyatakan bahwa beberapa hari sebelumnya memang 47
  • 48. menderita ISPA seperti sakit tenggorokan, hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri otot, kelelahan ekstrim. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rongki basah dan wheezing yang tersebar di seluruh lapang paru, tanpa tanda-tanda infiltrat. Juga pada foto thorax tidak didapatkan tanda-tanda infiltrat. Bila sputum diperiksa dengan pengecatan Gram akan banyak didapatkan leukosit PMN dan mungkin pula bakteri.11 Diagnosa Diagnosa di tegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. a) Anamnesis1,3 Keluhan pokok: - Gatal-gatal di kerongkongan - Sakit di sekitar dada - Batuk kering/batuk berdahak - Demam yang tidak terlalu tinggi b) Pemeriksaan fisik11 - Keadaan umum baik: tidak tampak sakit berat, tidak sesak atau takipnea. Mungkin ada nasofaringitis. - Paru: ronki basah kasar yang tidak tetap (dapat hilang atau pindah setelah batuk), wheezing dengan berbagai gradasi (perpanjangan ekspirasi hingga ngik-ngik) dan krepitasi . Pemeriksaan penunjang a) Pemeriksaan laboratorium - Pada pemeriksaan sputum dengan pengecatan Gram akan banyak didapat leukosit PMN dan mungkin pula bakteri. - Uji sensivitas terhadap antibiotic perlu dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi sekunder. - Respon terhadap pemberian kortikosteroid dosis tinggi setiap hari dapat dipertimbangkan diagnosa dan terapi untuk konfirmasi asma. 48
  • 49. - Tes keringat yang negative dengan menggunakan pilocarpine iontophoresis dapat memikirkan kemungkinan fibrosis kistik. - Pemeriksaan Gas Darah. Perubahan gas darah berupa penurunan PaO2 menunjukan abnormalitas regional distribusi ventilasi, yang berpengaruh pada perfusi paru. b) Tes pencitraan Dapat dijumpai temuan peningkatan corakan bronkovaskular tanpa tanda-tanda infiltrat. c) Tes Faal Paru Pada penyakit yang lanjut dan difus, kapasitas vital ( KV ) dan kecepatan aliran udara ekspirasi satu detik pertama ( FEV1 ), terdapat tendensi penurunan, karena terjadinya obstruksi airan udara pernafasan. Diagnosis Banding Sering kali gejala pada bronkitis akut sulit dibedakan dengan beberapa penyakit saluran pernapasan yang gejalanya mirip dengan bronkitis akut, seperti:3 - Epiglotitis, yaitu suatu infeksi pada epiglotis, yang bisa menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan. - Bronkiolitis, yaitu suatu peradangan pada bronkiolus (saluran udara yang merupakan percabangan dari saluran udara utama), yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus. - Influenza, yaitu penyakit menular yang menyerang saluran napas, dan sering menjadi wabah yang diperoleh dari menghirup virus influenza. - Sinusitis, yaitu radang sinus paranasal yaitu rongga-rongga yang terletak disampig kanan - kiri dan diatas hidung. - PPOK, yaitu penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yyang bersifat progresif nonreversibel parsial. - Faringitis, yaitu suatu peradangan pada tenggorokan (faring) yang disebabkan oleh virus atau bakteri. 49
  • 50. - Asma, yaitu suatu penyakit kronik (menahun) yang menyerang saluran pernafasan (bronchiale) pada paru dimana terdapat peradangan (inflamasi) dinding rongga bronchiale sehingga mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang akhirnya seseorang mengalami sesak nafas. - Bronkiektasis, yaitu suatu perusakan dan pelebaran (dilatasi) abnormal dari saluran pernafasan yang besar. Penatalaksanaan Terapi umumnya difokuskan pada pengentasan simptoms. Seorang dokter mungkin meresepkan kombinasi obat yang terbuka menghalangi saluran udara lendir bronkus dan obstruktif tipis sehingga dapat batuk dengan lebih mudah.9 - Oksigenasi pasien harus memadai. - Istirahat yang cukup. Minta pasien beristirahat hingga demamnya turun. - Meningkatkan pemberian makanan secara oral pada pasien dengan demam dan Minum cukup. - Cara yang paling efektif untuk mengontrol batuk dan produksi sputum pada pasien dengan bronchitis kronis adalah menghindari iritasi lingkungan, terutama asap rokok. Sebagian besar pengobatan bronkitis akut bersifat simptomatis (meredakan keluhan). Obat-obat yang lazim digunakan, yakni:11 - Antitusif (penekan batuk): DMP (dekstromethorfan) 15 mg, diminum 2-3 kali sehari. Codein 10 mg, diminum 3 kali sehari. Doveri 100 mg, diminum 3 kali sehari. Obat-obat ini bekerja dengan menekan batuk pada pusat batuk di otak. Karenanya antitusif tidak dianjurkan pada kehamilan dan bagi ibu menyusui. Pada penderita bronkitis akut yang disertai sesak napas, penggunaan antitusif hendaknya dipertimbangkan dan 50
  • 51. diperlukan feed back dari penderita. Jika penderita merasa tambah sesak, maka antitusif dihentikan. - Ekspektorant: adalah obat batuk pengencer dahak agar dahak mudah dikeluarkan sehingga napas menjadi lega. Ekspektorant yang lazim digunakan diantaranya: GG (glyceryl guaiacolate) sirup 5m x 3 kali sehari , bromhexine sirup 10 ml x 3 kali sehari, ambroxol 30 mg x 3 kali sehari, dan lain-lain. - Antipiretik (pereda panas): parasetamol (asetaminofen) 500 mg, dan sejenisnya., digunakan jika penderita mengalami demam. - Bronkodilator (melonggarkan napas), diantaranya: salbutamol (2-4 mg x 3/hari), terbutalin sulfat (2.5 mg x 3/hari), teofilin ( 150mgx 3/hari), dan lain-lain. Obat-obat ini digunakan pada penderita yang disertai sesak napas atau rasa berat bernapas. Penderita hendaknya memahami bahwa bronkodilator tidak hanya untuk obat asma, tapi dapat juga digunakan untuk melonggarkan napas pada bronkitis. Selain itu, penderita hendaknya mengetahui efek samping obat bronkodilator yang mungkin dialami oleh penderita, yakni: berdebar, lemas, gemetar dan keringat dingin. Andaikata mengalami efek samping tersebut, maka dosis obat diturunkan menjadi setengahnya. Jika masih berdebar, hendaknya memberitahu dokter agar diberikan obat bronkodilator jenis lain. - Antibiotika. Hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh kuman berdasarkan pemeriksaan dokter. Dapat diberikan ampisilin, eritromisin, spiramisin, 3 x 500 mg/hari. Terapi lanjutan9 Jika terapi antiinflamasi sudah dimulai, lanjutkan terapi hingga gejala menghilang paling krang 1 minggu. Bronkodilator juga dapat diberikan jika diperlukan Pasien yang didiagnosis dengan asma dapat diberikan terapi “controller”, yaitu inhalasi terapi kortikosteroid, antihistamin dan inhibitor leukotrien setiap hari. Edukasi Pasien Edukasi pasien sangat penting dalam pencegahan dan pengobatan bronkitis akut. Pasien harus diberitahu untuk mengambil langkah-langkah berikut: 51
  • 52. - Hindari merokok dan asap rokok - Hidup dalam lingkungan yang bersih - Menerima vaksin influenza tahunan antara Oktober dan Desember - Menerima vaksin pneumonia setiap 5-10 tahun jika berusia 65 tahun atau lebih atau dengan penyakit kronis - Cuci tangan sesering mungkin dan kurangi kebiasaan menggosok hidung atau mata dengan tangan. - Gunakan masker saat berada disekitar orang yang menderita flu. Komplikasi Komplikasi yang biasanya terjadi akibat bronkitis akut yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat adalah:9 a) Bronkitis Kronik b) Bronkopneumoni c) Bronkiektasis d) Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis Bronchitis sering mengalami infeksi berulang biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran nafas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada mereka yang drainase sputumnya kurang baik. e) Pleuritis Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia. Umumnya pleuritis sicca pada daerah yang terkena. f) Efusi pleura atau emfisema g) Hemoptoe Terjadi kerena pecahnya pembuluh darah cabang vena ( arteri pulmonalis ) , cabang arteri ( arteri bronchialis ) atau anastomisis pembuluh darah. Komplikasi haemaptoe hebat dan tidak terkendali harus di rujuk untuk tindakan bedah gawat darurat. h) Sinusitis 52
  • 53. Merupakan bagian dari komplikasi bronchitis pada saluran nafas i) Kegagalan pernapasan Merupakan komlikasi paling akhir pada bronchitis yang berat dan luas j) Amiloidosis Keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai komplikasi klasik dan jarang terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi ini dapat ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinurea k) Penyakit-penyakit lain yang di perberat seperti : - Kor Pulmonal Kronik Pada kasus ini bila terjadi anastomisis cabang-cabang arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus akan terjadi arterio- venous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul sianosis sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi hipertensi pulmonal, kor pulmoner kronik. Selanjutnya akan terjadi gagal jantung kanan - Penyakit jantung rematik - Hipertensi - Abses Metastasis di otak Akibat septikemi oleh kuman penyebab infeksi supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian Prognosis Kemungkinan sembuh bagi penderita bronkitis akut sangat baik jika penderita cepat berkonsultasi ke dokter, melakukan tindakan konservatif yang disarankan dokter dan meminum obat yang diberikan dokter.9 Gagal Ginjal Akut AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48 jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 μmol/L) 53
  • 54. atau meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam (Molitoris et al, 2007). Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan (Eric Scott, 2008). Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Brady et al, 2005). Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsidasarnya normal (AKI “klasik”) atau tidak normal (acute onchronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda- beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien (Mehta et al, 2003) Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja (Rusli R, 2007). Acute Kitney Injury Etiologi 54
  • 55. Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Robert Sinto, 2010) AKI Prarenal I. Hipovolemia - Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular - Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi - usus - Kehilangan darah - Kehilangan cairan ke luar tubuh - Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran - kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit - (luka bakar) II. Penurunan curah jantung - Penyebab miokard: infark, kardiomiopati - Penyebab perikard: tamponade - Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal - Aritmia - Penyebab katup jantung III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik - Penurunan resistensi vaskular perifer - Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan - (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi) - Vasokonstriksi ginjal - Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, - amphotericin B - Hipoperfusi ginjal lokal 55
  • 56. - Stenosis a.renalis, hipertensi maligna IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal - Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen - Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi - kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), - penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi - tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia, - sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras) - Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen - Penggunaan penyekat ACE, ARB - Stenosis a. renalis V. Sindrom hiperviskositas - Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia AKI Renal I. Obstruksi renovaskular - Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, - diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, - kompresi) II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal - Glomerulonefritis, vaskulitis III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN) - Iskemia (serupa AKI prarenal) - Toksin - Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, - pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, - asam urat, oksalat, mieloma) IV. Nefritis interstitial - Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, - viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), - idiopatik V. Obstruksi dan deposisi intratubular - Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamida VI. Rejeksi alograf ginjal AKI pascarenal I. Obstruksi ureter - Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal II. Obstruksi leher kandung kemih - Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, 56
  • 57. keganasan, darah III. Obstruksi uretra - Striktur, katup kongenital, fimosis Klasifikasi AKI ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli R, 2007). Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007 Kategori Peningkatan kadar SCr Penurunan LFG Kriteria UO Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, >6 jam Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, >12 jam Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24 jam Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 Bulan Patofisiologi Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular seperti yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini: 57
  • 58. Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008) Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular, bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh medulla ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan peningkatan endhotelial dan kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi leukosit endothelial yang menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi pembuluh dengan aktivasi leukosit dan berpotensi terjadi inflamasi. Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk meningkatkan kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai hasil kerjasama vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi endothelial-leukosit. Bonventre (2008) Pendekatan Diagnosis 1. Pemeriksaan Klinis Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi 58
  • 59. ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom (Robert Sinto, 2010). 2. Pemeriksaan Penunjang Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004). Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 3. Kelainan analisis urin (Robert Sinto, 2010) 59
  • 60. Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Brady HR, 2005). Penatalaksanaan 1. Terapi nutrisi Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti pada tabel berikut: Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008) 60
  • 61. 2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008) a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu. 61
  • 62. b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam). Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert, 2010). Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien (Sja’bani, 2008). Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. 62
  • 63. Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert Sinto, 2010). Komplikasi dan Penatalaksanan Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut: Cardiak sirosis Congestive hepatopathy merupakan kelainan hati yang sering dijumpai pada penderita gagal jantung. Kelainan ini ditandai dengan adanya gejala klinis gagal jantung (terutama gagal jantung kanan), tes fungsi hati yang abnormal dan tidak ditemukan penyebab lain dari disfungsi hati (Allen, 2008; Lau, 2002). Congestive hepatopathy 63
  • 64. juga dikenal dengan istilah cardiac hepatopathy, nutmeg liver, atau chronic passive hepatic congestion. Bila kondisi ini berlangsung lama akan mengakibatkan timbulnya jaringan fibrosis pada hati, yang sering disebut dengan cardiac cirrhosis atau cardiac fibrosis. Meskipun cardiac cirrhosis menggunakan istilah sirosis, jarang memenuhi kriteria patologis sirosis. Congestive hepatopathy ini sangat sulit dibedakan dari sirosis hati primer karena klinisnya relatif tidak spesifik. Tetapi tidak sama seperti sirosis yang disebabkan oleh hepatitis virus atau penggunaan alkohol, pengobatan ditujukan pada pengelolaan gagal jantung sebagai penyakit dasar (Bayraktar, 2007; Myers, 2003; Giallourakis, 2002; Wanless, 1995). Patogenesis congestive hepatopathy umumnya dianggap sebagai reaksi stroma hati terhadap hipoksia, tekanan atau nekrosis hepatoselular. Tetapi hal ini tidak menjelaskan hubungan antara gejala dan tingkat keparahan fibrosis, dimana pada pasien jantung dekompensasi pada derajat yang sama, fibrosis tidak selalu terjadi. Patogenesis congestive hepatopathy penting, karena definisi congestive hepatopathy masih menjadi perdebatan (Wanless, 1995). Prevalensi congestive hepatopathy tidak jelas. Tidak ada data perbandingan laki-laki dan wanita untuk congestive hepatopathy, namun karena gagal jantung kongestif lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita, kemungkinan yang sama untuk congestive hepatopathy (Mathew, 2004; Burns, 1997). PATOFISIOLOGI Congestive hepatopathy disebabkan oleh dekompensasi ventrikel kanan jantung atau gagal jantung biventrikular. Dimana terjadi peningkatan tekanan atrium kanan ke hati melalui vena kava inferior dan vena hepatik. Ini merupakan komplikasi umum dari gagal jantung kongestif, dimana akibat anatomi yang berdekatan terjadi peningkatan tekanan vena sentral secara langsung dari atrium kanan ke vena hepatik (Nowak, 2004; Gore, 1994). Penyebab paling umum dari gagal jantung kongestif pada usia lanjut berdasarkan data dari RS.Dr.Kariadi pada tahun 2006 adalah penyakit jantung iskemik 65,63%, penyakit jantung hipertensi 15,63%, kardiomiopati 9,38%, penyakit katub jantung, rheumatic heart disease, penyakit jantung pulmonal masing-masing 3,13%. Penyebab paling umum dari gagal jantung kongestif pada usia lebih muda adalah penyakit jantung iskemik 55%, penyakit katub jantung 15%, kardiomiopati 12,5%, rheumatic 64
  • 65. heart disease 7,5%, penyakit jantung bawaan 5%, penyakit jantung hipertensi dan penyakit jantung pulmonal keduanya 2,5%. Tidak ada perbedaan etiologi gagal jantung kongestif antara pasien muda dan tua, dimana penyebab terbanyak adalah penyakit jantung iskemik (Ardini,2007). Pada tingkat selular, kongesti vena menghambat efisiensi aliran darah sinusoid ke venula terminal hati. Stasis darah dalam parenkim hepar terjadi karena usaha hepar mengatasi perubahan saluran darah vena. Sebagai usaha mengakomodasi aliran balik darah (backflow), sinusoid hati membesar, mengakibatkan hepar menjadi besar. Stasis sinusoid menyebabkan akumulasi deoksigenasi darah, atrofi parenkim hati, nekrosis, deposisi kolagen dan fibrosis. Hepatosit mempunyai sifat sangat sensitif terhadap trauma iskemik, meski dalam jangka waktu yang pendek. Hepatosit dapat rusak oleh berbagai kondisi, seperti arterial hypoxia, acute left sided heart failure, central venous hypertension (Nowak, 2004; Gore, 1994). Stasis kemudian menyebabkan timbulnya trombosis. Trombosis sinusoid memperburuk stasis, dimana trombosis menambah aktivasi fibroblast dan deposisi kolagen. Dalam kondisi yang parah menyebabkan nekrosis berlanjut menyebabkan hilangnya parenkim hati, dan dapat menyebabkan trombosis pada vena hepatik. Proses ini sering diperparah oleh trombosis lokal vena porta (Wanless, 1995). Pembengkakan sinusoidal dan perdarahan akibat nekrosis nampak jelas di area perivenular dari liver acinus. Fibrosis berkembang di daerah perivenular, akhirnya menyebabkan timbulnya jembatan fibrosis antara vena sentral yang berdekatan. Hal ini menyebabkan proses cardiac fibrosis, oleh karena itu tidak tepat disebut sebagai cardiac cirrhosis karena berbeda dengan sirosis hati dimana jembatan fibrosis cenderung untuk berdekatan dengan daerah portal. Regenerasi hepatosit periportal pada kondisi ini dapat mengakibatkan regenerasi hiperplasia nodular. Nodul cenderung kurang bulat dan sering menunjukkan koneksi antar nodul (Bayraktar, 2007; Wanless, 1995). Cardiac cirrhosis telah didefinisikan dalam berbagai cara dan telah ditetapkan sebagai klinis dari hipertensi portal atau akibat penyakit jantung kongestif. Pada kongestif kronis, hipoksia berkelanjutan menghambat regenerasi hepatoselular dan membentuk jaringan fibrosis, yang akan mengarah ke cardiac cirrhosis. Definisi morfologi fibrosis telah seragam, tetapi beberapa penulis tidak menganggap cardiac cirrhosis sebagai 65
  • 66. sirosis sebenarnya karena sebagian besar cardiac cirrhosis bersifat fokal dan gangguan arsitektur serta fibrosis secara menyeluruh tidak separah sirosis tipe yang lain. Istilah congestive hepatopathy dan chronic passive hepatic congestion lebih akurat, tetapi istilah cardiac cirrhosis telah menjadi konvensi. Oleh karena itu istilah cardiac cirrhosis banyak digunakan untuk congestive hepatopathy dengan atau tanpa fibrosis hati (Faya, 2008; Bayraktar, 2007; Myers, 2003; Wanless, 1995; Gore, 1994). Distorsi struktur hati nampak pada saat parenkim hati rusak dan parenkim yang berbatasan memperluas menuju daerah parenkim yang rusak. Sirosis dapat didefinisikan sebagai distorsi struktur hati disertai fibrosis pada daerah parenkim hati yang musnah. Pada saat perubahan menunjukkan kehadiran nodul pada sebagian besar organ, secara umum dianggap sirosis. Hanya saja deskripsi kualitatif tidak dapat mendeskripsikan semua tahapan pada pada penyakit, oleh karena itu diperlukan nomenklatur menyangkut aspek kuantitatif fibrosis hati dan sirosis. MANIFESTASI KLINIS  Tanda dan gejala Gangguan fungsi hati pada congestive hepatopathy biasanya ringan dan tanpa gejala. Sering terdeteksi secara kebetulan pada pengujian biokimia rutin. Tanda dan gejala dapat muncul berupa ikterus ringan. Pada gagal jantung berat, ikterus dapat muncul lebih berat dan menunjukkan kolestasis. Timbul ketidaknyamanan pada kuadran kanan atas abdomen akibat peregangan kapsul hati. Kadang-kadang gambaran klinis dapat menyerupai hepatitis virus akut, dimana timbul ikterus disertai peningkatan aminotransferase. 66
  • 67. Beberapa kasus gagal hati fulminan yang mengakibatkan kematian telah dilaporkan akibat gagal jantung kongestif. Namun sebagian besar disebabkan pasien memiliki hepatic congestion dan iskemia. Gejala seperti dispnea exertional, ortopnea dan angina serta temuan fisik seperti peningkatan vena jugularis, murmur jantung dapat membantu membedakan congestive hepatopathy dengan penyakit hati primer. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hepatomegali lunak, kadang masif, batas tepi hati tegas, dan halus. Splenomegali jarang terjadi. Asites dan edema dapat tampak, tetapi tidak disebabkan oleh kerusakan hati, melainkan akibat gagal jantung kanan (Bayraktar, 2007; Myers, 2003). LABORATORIUM Pemeriksaan laboratorium pada congestive hepatopathy menunjukkan peningkatan Liver Function Test (LFT) yang berkarakter cholestatic profile yakni Alkaline Phosphatase (ALP), Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT) dan bilirubin, serta hipoalbumin, bukan hepatitic profile, Alanine transaminase (ALT) dan Aspartate transaminase (AST). ALP dan GGT meningkat akibat meningkatnya sistesis protein enzim, yang biasanya disertai peningkatan bilirubin (kecuali terjadi obstruksi bilier atau intrahepatal). Karena ALP diproduksi oleh hepatosit dan GGT oleh sel epitel bilier. Bilirubin yang meningkat adalah bilirubin total, sebagian besar yang tidak terkonjugasi. Hiperbilirubinemia terjadi sekitar 70% pasien dengan congestive hepatopathy. Hiperbilirubinemia yang berat mungkin dapat terjadi pada pasien dengan gagal jantung kanan yang berat dan akut (Allen, 2009; Bayraktar, 2007; Pincus, 2006; Giannini, 2005; Lau, 2002). Meskipun terjadi deep jaundice, serum alkaline phospatase level pada umumnya hanya meningkat sedikit sehingga dapat membedakan congestive hepatopathy dengan ikterus obstruksi. Serum aminotransferase level menunjukkan peningkatan ringan, kecuali terjadi hepatitis iskemia, dimana dapat terjadi peningkatan serum aminotransferase (AST dan ALT) yang tajam. Prothrombin time dapat sedikit terganggu, albumin dapat turun dan serum ammonia level dapat meningkat. Serologi hepatitis virus perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya virus tersebut (Allen, 2009; Bayraktar, 2007; Pincus, 2006; Giannini, 2005; Lau, 2002). Diagnosa paracentesis cairan asites pada congestive hepatopathy menunjukkan tingginya protein dan gradien serum albumin >1,1g/dL. Hal ini menunjukkan konstribusi dari hepatic lymph dan hipertensi portal. Perbaikan LFT setelah 67
  • 68. pengobatan penyakit jantung mendukung diagnosa congestive hepatopathy (Bayraktar, 2007). PEMERIKSAAN RADIOLOGI Pemeriksaan radiologi yang menunjang pemeriksaan congestive hepatopathy: - Abdominal Doppler ultrasonography : dipertimbangkan bila klinis terdapat asites, nyeri perut kuadran kanan atas, ikterus dan/atau serum LFT abnormal yang refrakter terhadap pengobatan gagal jantung yang mendasari. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencari diagnosa alternatif seperti sindroma Budd-Chiari (Martinez, 2011, Bayraktar, 2007). - CT scan dan MRI : Pemeriksaan ini dapat menunjukkan cardiac cirrhosis, termasuk hepatomegali, hepatic congestion, pembesaran vena cava inferior dan splenomegali (Martinez, 2011). Pemeriksaan radiologi untuk menunjang pemeriksaan penyakit dasar congestive hepatopathy: - X foto dada : dapat menunjukkan kardiomegali, hipertensi vena pulmonal, perubahan pada ruang jantung dan miokard tergantung pada penyebab gagal jantung. Paru-paru menunjukkan chronic passive congestion, tampak edema interstitial atau paru-paru, atau efusi pleura (Martinez, 2011; Brashers, 2009; Bayraktar, 2007). - Transthoracic Echocardiogram dengan Doppler : mendiagnosa penyakit dasar penyebab cardiac cirrhosis. Tampak adanya peningkatan arteri pulmonalis, dilatasi sisi kanan jantung, Tricuspid Regurgitasi (TR), diastolic ventricular filling yang abnormal (Martinez, 2011; Brashers, 2009). - Radionuclide imaging dengan thallium atau technetium merupakan pemeriksaan noninvasif yang berarti. Tujuannya untuk mengidentifikasi reversible cardiac ischemia pada pasien cardiac cirrhosis pada gagal jantung kompensasi atau dekompensasi. Technetium-labeled agents dan positron-emission tomography (PET) mengidentifikasi dilated cardiomyopathy dan menentukan fungsi miokard (Martinez, 2011; Brashers, 2009). - CT scan dan MRI mengidentifikasikan pembesaran ruang jantung, hipertrofi ventrikel, diffuse cardiomyopathy, valvular disease dan kelainan struktural yang lain. Keduanya dapat mengukur ejection fraction dan effectively rule out cardiac cirrhosis (Martinez, 2011). PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI 68