Cara Menggugurkan Kandungan usia 1 sampai 8 bulan - obat penggugur janin - ob...
05 193penatalaksanaan kedaruratan
1. PENDAHULUAN1,2
Dinamakan cedera kranioserebral karena ce-
dera ini melukai baik bagian kranium (tengko-
rak) maupun serebrum (otak). Cedera tersebut
dapat mengakibatkan luka kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak, keru-
sakan pembuluh darah intra- maupun eks-
traserebral, dan kerusakan jaringan otaknya
sendiri.
Cedera ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas (terbanyak), baik pejalan kaki maupun
pengemudi kendaraan bermotor. Selain itu,
cedera kranioserebral dapat juga terjadi aki-
bat jatuh, peperangan (luka tembus peluru),
dan lainnya.
Akibat cedera ini, seseorang dapat mengalami
kondisi kritis seperti tidak sadarkan diri pada
saat akut, dan yang tidak kalah penting adalah
saat perawatan karena jika penatalaksanaan-
nya tidak akurat, dapat terjadi kematian atau
kecacatan berat.
DEFINISI1,2
Cedera kranioserebral termasuk dalam ruang
lingkup cabang ilmu neurotraumatologi,
yang mempelajari/meneliti pengaruh trauma
terhadap sel otak secara struktural maupun
fungsional dan akibatnya baik pada masa akut
maupun sesudahnya. Akibat trauma dapat
terjadi pada masa akut (kerusakan primer) dan
sesudahnya (kerusakan sekunder), oleh karena
itu manajemen segera dan intervensi lanjut
harus sudah dilaksanakan sejak saat awal
kejadian guna mencegah/meminimalkan ke-
matian maupun kecacatan pasien.
KLASIFIKASI1,2
Klasifikasi cedera kranioserebral berdasarkan
patologi yang dibagi dalam komosio serebri,
kontusio serebri, dan laserasi. Di samping pa-
tologi yang terjadi pada otak, mungkin terda-
pat juga fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini
ada yang di basis kranium, dan ada yang di
temporal, frontal, parietal, ataupun oksipital.
Fraktur bisa linear atau depressed, terbuka atau
tertutup.
Klasifikasi berdasarkan lesi bisa fokal atau di-
fus, bisa kerusakan aksonal ataupun hema-
toma. Letak hematoma bisa ekstradural atau
dikenal juga sebagai hematoma epidural
(EDH), bisa hematoma subdural (SDH), hema-
toma intraserebral (ICH), ataupun perdarahan
subaraknoid (SAH).
Klasifikasi yang sering dipergunakan di klinik
berdasarkan derajat kesadaran Skala Koma
Glasgow (tabel 1).
Tabel 1 Klasifikasi Cedera Kepala (CK) berdasarkan Skala
Koma Glasgow
Kategori SKG Gambaran Klinik
Skening
Otak
CK Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, defisit
neurologik (-)
Normal
CK Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d <6
jam, defisit neurologik (+)
Abnormal
CK Berat 3-8 Pingsan >6 jam,
defisit neurologik (+)
Abnormal
Catatan: Pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG
13-15, pingsan <10 menit, tanpa defisit neurologik, tetapi
pada hasil skening otaknya terlihat perdarahan, diagno-
sisnya bukan cedera kranioserebral ringan (CKR)/komosio,
tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang (CKS)/kontu-
sio.
Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia
pascacidera (APC) diperkenalkan oleh Russel
dalam Jennett & Teasdale4
(tabel 2). Klasifikasi
ini bisa dikombinasikan dengan klasifikasi ber-
dasarkan klinis SKG.
Tabel 2 Klasifikasi Cedera Kepala berdasarkan lama amne-
sia pascacedera
Lama Amnesia
Pascacedera
Beratnya Trauma
Kranioserebral
Kurang dari 5 menit sangat ringan
5 – 60 menit ringan
1 – 24 jam sedang
1 – 7 hari berat
1 – 4 minggu sangat berat
Lebih dari 4 minggu ekstrem berat
Dari empat klasifikasi tersebut, klasifikasi ber-
dasarkan derajat kesadaran yang banyak di-
pakai di klinik karena mempunyai beberapa
kelebihan, yaitu
1. Penilaian SKG (Skala Koma Glasgow) de-
ngankomponenE(ye)M(otor)danV(erbal)
mempunyai nilai pasti dengan tampakan
klinik yang mudah dinilai oleh kalangan
medis maupun paramedis (standar jelas)
(Tabel 3),
2. Kategori dan prognosis pasien cedera
kranioserebral dapat diperkirakan de-
ngan melihat nilai SKG yang meskipun
diulang beberapa kali akan menghasil-
kan nilai yang sama.
Tabel 3 Penilaian Skala Koma Glasgow untuk anak lebih
dari 5 tahun dan dewasa
Tampakan Skala Nilai
E(ye) opening Spontan 4
Dipanggil 3
Rangsang nyeri 2
Tidak ada respons 1
V(erbal) response Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tak-patut
(inappropriate)
3
Bunyi/suara tak-berarti
(incomprehensible)
2
Tidak bersuara 1
Akreditasi IDI – 4 SKP
Penatalaksanaan Kedaruratan
Cedera Kranioserebral
Lyna Soertidewi
Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
327CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012
CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 327CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 327 6/5/2012 11:01:26 AM6/5/2012 11:01:26 AM
2. 328
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012
M(otor) response Sesuai perintah 6
Lokalisasi perintah 5
Reaksi atas nyeri 4
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada respons (diam) 1
Total nilai Skala Koma Glasgow (SKG/GCS) antara 3-15
PATOLOGI & GEJALA KLINIS2,3
Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH)
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh
robeknya arteri meningea media. Perdarahan
terletak di antara tulang tengkorak dan du-
ramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval,
yaitu selang waktu antara pasien masih sadar
setelah kejadian trauma kranioserebral de-
ngan penurunan kesadaran yang terjadi kemu-
dian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini
kurang dari 24 jam; penilaian penurunan ke-
sadaran dengan GCS. Gejala lain nyeri kepala
bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor
dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi un-
kal, hemiparesis, dan refleks patologis Babinski
positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat.
Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan
lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial)
umumnya di daerah temporal berbentuk
cembung.
Hematoma Subdural (SDH)
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan,
sinus venosus dura mater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara du-
ramater dan araknoidea. SDH ada yang akut
dan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala
yang makin berat dan muntah proyektil. Jika
SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak,
mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa
lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila
darah lisis menjadi cairan, disebut higroma
(hidroma) subdural.
Edema Serebri Traumatik
Cedera otak akan mengganggu pusat per-
sarafan dan peredaran darah di batang otak
dengan akibat tonus dinding pembuluh
darah menurun, sehingga cairan lebih mudah
menembus dindingnya. Penyebab lain adalah
benturan yang dapat menimbulkan kelainan
langsung pada dinding pembuluh darah se-
hingga menjadi lebih permeabel. Hasil ak-
hirnya akan terjadi edema.
Cedera Otak Difus
Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah
maupun pada parenkim otak, disertai edema.
Keadaan pasien umumnya buruk.
Hematoma Subaraknoid (SAH)
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi
pada lebih kurang 40% kasus cedera kranio-
serebral, sebagian besar terjadi di daerah
permukaan oksipital dan parietal sehingga
sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang
meningeal. Adanya darah di dalam cairan
otak akan mengakibatkan penguncupan
arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea.
Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai
vasospasme, akan timbul gangguan aliran
darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini
tampak pada pasien yang tidak membaik
setelah beberapa hari perawatan. Penguncu-
pan pembuluh darah mulai terjadi pada hari
ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari
atau lebih.
Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri ke-
pala hebat. Pada CT scan otak, tampak perda-
rahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan
SAH non-traumatik yang umumnya disebab-
kan oleh pecahnya pembuluh darah otak
(AVM atau aneurisma), perdarahan pada SAH
traumatik biasanya tidak terlalu berat.
Fraktur Basis Kranii
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear
fosa di daerah basal tengkorak; bisa di anteri-
or, medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto
polos tulang tengkorak atau aksial CT scan.
Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berre-
solusi tinggi dan potongan yang tipis. Umum-
nya yang terlihat di CT scan adalah gambaran
pneumoensefal.
Fraktur anterior fosa melibatkan tulang fron-
tal, etmoid dan sinus frontal. Diagnosis dite-
gakkan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya
cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea)
atau telinga (otorea) disertai hematoma kaca-
mata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma
bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu he-
matoma retroaurikular. Kadang disertai anos-
mia atau gangguan nervi kraniales VII dan VIII.
Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila dura-
mater robek.
PENATALAKSANAAN2,4-6
Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat
dibagi berdasarkan:
A. Kondisi kesadaran pasien
Kesadaran menurun
Kesadaran baik
B. Tindakan
Terapi non-operatif
Terapi operatif
C. Saat kejadian
Manajemen prehospital
Instalasi Gawat Darurat
Perawatan di ruang rawat
Terapi non-operatif pada pasien cedera kra-
nioserebral ditujukan untuk:
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak
serta mencegah kemungkinan terjadinya
tekanan tinggi intrakranial
2. Mencegah dan mengobati edema otak
(cara hiperosmolar, diuretik)
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
4. Mengobati simptom akibat trauma
otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi
trauma otak, misal kejang, infeksi (anti-
konvulsan dan antibiotik)
Terapi operatif terutama diindikasikan untuk
kasus:
1. Cedera kranioserebral tertutup
• Fraktur impresi (depressed fracture)
• Perdarahan epidural (hematoma epi-
dural /EDH) dengan volume perdarah-
an lebih dari 30mL/44mL dan/atau
pergeseran garis tengah lebih dari
3 mm serta ada perburukan kondisi
pasien
• Perdarahan subdural (hematoma sub-
dural/SDH) dengan pendorongan garis
tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/
obliterasi sisterna basalis
• Perdarahan intraserebral besar yang me-
nyebabkan progresivitas kelainan neu-
rologik atau herniasi
2. Pada cedera kranioserebral terbuka
• Perlukaan kranioserebral dengan ditemu-
kannya luka kulit, fraktur multipel, dura
yang robek disertai laserasi otak
• Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari
14 hari
• Pneumoencephali
• Corpus alienum
• Luka tembak
CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 328CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 328 6/5/2012 11:01:26 AM6/5/2012 11:01:26 AM
3. 329
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012
PASIEN DALAM KEADAAN SADAR
(SKG=15)1-6
1. Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada ri-
wayat penurunan kesadaran sama sekali
dan tidak ada defisit neurologik, dan tidak
ada muntah. Tindakan hanya perawatan
luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas
indikasi.
Umumnya pasien SHI boleh pulang
dengan nasihat dan keluarga diminta
mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai
kesadaran menurun saat diobservasi,
misalnya terlihat seperti mengantuk dan
sulit dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit.
2. Penderita mengalami penurunan kesa-
daran sesaat setelah trauma kraniosere-
bral, dan saat diperiksa sudah sadar kem-
bali. Pasien ini kemungkinan mengalami
cedera kranioserebral ringan (CKR).
PASIEN DENGAN KESADARAN
MENURUN
1. Cedera kranioserebral ringan
(SKG=13-15)1-6
Umumnya didapatkan perubahan orientasi
atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa di-
sertai defisit fokal serebral.
Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka,
foto kepala, istirahat baring dengan mobi-
lisasi bertahap sesuai dengan kondisi pa-
sien disertai terapi simptomatis. Observasi
minimal 24 jam di rumah sakit untuk me-
nilai kemungkinan hematoma intrakranial,
misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala,
muntah-muntah, kesadaran menurun, dan
gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, ref-
leksi patologis positif). Jika dicurigai ada he-
matoma, dilakukan CT scan.
Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR)
tidak perlu dirawat jika:
a. orientasi (waktu dan tempat) baik
b. tidak ada gejala fokal neurologik
c. tidak ada muntah atau sakit kepala
d. tidak ada fraktur tulang kepala
e. tempat tinggal dalam kota
f. ada yang bisa mengawasi dengan baik di
rumah, dan bila dicurigai ada perubahan
kesadaran, dibawa kembali ke RS
2. Cedera kranioserebral sedang
(SKG=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami
gangguan kardiopulmoner.
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas
(Airway), pernapasan (Breathing), dan sir-
kulasi (Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil,
tanda fokal serebral, dan cedera organ
lain. Jika dicurigai fraktur tulang servi-
kal dan atau tulang ekstremitas, lakukan
fiksasi leher dengan pemasangan kerah
leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas
bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian
tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma
intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil,
dan defisit fokal serebral lainnya
3. Cedera kranioserebral berat
(SKG=3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya diser-
tai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur
servikal, segera pasang kerah fiksasi leher,
bila ada luka terbuka dan ada perdarahan,
dihentikan dengan balut tekan untuk per-
tolongan pertama. Tindakan sama dengan
cedera kranioserebral sedang dengan
pengawasan lebih ketat dan dirawat di
ICU.
Di samping kelainan serebral juga bisa disertai
kelainan sistemik. Pasien cedera kranioserebral
berat sering berada dalam keadaan hipoksi,
hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan
kardiopulmoner.
TINDAKAN DI UNIT GAWAT DARURAT &
RUANG RAWAT4-6
1. Resusitasi dengan tindakan A =
Airway, B = Breathing dan C = Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun
ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.
Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, da-
rah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien
dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan
melalui pipa nasogastrik untuk menghindari
aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan
oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral disebabkan oleh depresi per-
napasan yang ditandai dengan pola perna-
pasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neuroge-
nik sentral, atau ataksik.
Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi,
trauma dada, edema paru, emboli paru, atau
infeksi.
Tata laksana:
• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit,
intermiten
• Cari dan atasi faktor penyebab
• Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak.
Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90
mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah
dapat meningkatkan risiko kematian dan ke-
cacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat
faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia ka-
rena perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung/
pneumotoraks, atau syok septik.
Tata laksananya dengan cara menghentikan
sumber perdarahan, perbaikan fungsi jan-
tung, mengganti darah yang hilang, atau
sementara dengan cairan isotonik NaCl
0,9%.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan
fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola
dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk
dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan
cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan di-
catat dan dilakukan pemantauan ketat pada
hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan
salah satu komponen, penyebabnya dicari
dan segera diatasi.
3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan
fraktur servikal, collar yang telah terpasang
tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan ab-
domen dilakukan atas indikasi.
CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang
tengkorak atau bila secara klinis diduga ada
hematoma intrakranial.
CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 329CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 329 6/5/2012 11:01:29 AM6/5/2012 11:01:29 AM
4. 330
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012
4. Pemeriksaan laboratorium
• Hb, leukosit, diferensiasi sel8,9
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa
leukositosis dapat dipakai sebagai salah
satu indikator pembeda antara kon-
tusio (CKS) dan komosio (CKR). Leuko-
sit >17.000 merujuk pada CT scan otak
abnormal,5
sedangkan angka leuko-
sitosis >14.000 menunjukkan kontusio
meskipun secara klinis lama penurunan
kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15
adalah acuan klinis yang mendukung ke
arah komosio.6
Prediktor ini bila berdiri
sendiri tidak kuat, tetapi di daerah tanpa
fasilitas CT scan otak, dapat dipakai se-
bagai salah satu acuan prediktor yang
sederhana.
• Gula darah sewaktu (GDS) (10)
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan
faktor risiko bermakna untuk kematian
dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/
dL dan OR 39,82 untuk GDS >220 mg/
dL.8
• Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena
manitol merupakan zat hiperosmolar
yang pemberiannya berdampak pada
fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang bu-
ruk, manitol tidak boleh diberikan.
• Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral
dengan kesadaran menurun. pCO2
tinggi
dan pO2
rendah akan memberikan luaran
yang kurang baik. pO2
dijaga tetap >90
mm Hg, SaO2
>95%, dan pCO2
30-35 mm
Hg.
• Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebab-
kan penurunan kesadaran.
• Albumin serum (hari 1)11
Pasien CKS dan CKB dengan kadar al-
bumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempu-
nyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar
dibandingkan dengan kadar albumin
normal.7
• Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada
kelainan hematologis. Risiko late hemato-
mas perlu diantisipai.
Diagnosis kelainan hematologis ditegak-
kan bila trombosit <40.000/mm3
, kadar
ffibrinogen <40mg/mL, PT >16 detik,
dan aPTT >50 detik.
5. Manajemen tekanan intrakranial
(TIK) meninggi5,6
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat
edema serebri dan/atau hematoma intrakra-
nial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang
monitor TIK.
TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mm
Hg sudah harus diturunkan dengan cara:
a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-
30 derajat dengan kepala dan dada pada
satu bidang.
b. Terapi diuretik:
• Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan
dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30
menit. Untuk mencegah rebound, pem-
berian diulang setelah 6 jam dengan
dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pe-
mantauan: osmolalitas tidak melebihi
310 mOsm.
• Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena
mempunyai efek sinergis dan memper-
panjang efek osmotik serum manitol. Do-
sis: 40 mg/hari IV.
6. Nutrisi11
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hi-
permetabolisme sebesar 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein.
Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranio-
serebral berat meningkat rata-rata 40%. To-
tal kalori yang dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/
hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari,
minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/
hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari,
dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10-
30 mg/hari, cuprum 1-3 mg, selenium 50-80
mikrogram, kromium 50-150 mikrogram, dan
mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga
direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C,
riboflavin, dan vitamin K yang diberikan ber-
dasarkan indikasi.
Pada pasien dengan kesadaran menurun,
pipa nasogastrik dipasang setelah terdengar
bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar
untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk
melihat apakah ada perdarahan lambung.
Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan
cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi
risiko flebitis.
7. Neurorestorasi/rehabilitasi1,2
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan
tapotase toraks, dan ekstremitas digerakkan
pasif untuk mencegah dekubitus dan pneu-
monia ortostatik.
Kondisi kognitif dan fungsi kortikal luhur lain
perlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow
sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi
amnesia Galveston (GOAT). Bila GOAT sudah
mencapai nilai 75, dilakukan pemeriksaan
penapisan untuk menilai kognitif dan domain
fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State
Examination (MMSE); akan diketahui domain
yang terganggu dan dilanjutkan dengan kon-
sultasi ke klinik memori bagian neurologi.
8. Komplikasi1,2,5
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama
setelah trauma disebut early seizure, dan yang
terjadi setelahnya disebut late seizure. Early
seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial,
kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis
fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama
7-10 hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko
tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang ter-
buka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian
profilaksis antibiotik ini masih kontroversial.
Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberi-
kan antibiotik dengan dosis meningitis.
c. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi
penyebabnya. Dilakukan tindakan menurun-
kan suhu dengan kompres dingin di kepala,
ketiak, dan lipat paha, atau tanpa memakai
baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan
dengan pendingin.
Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan
dosis sesuai berat badan.
d. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral teruta-
ma yang berat sering ditemukan gastritis
erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di
CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 330CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 330 6/5/2012 11:01:31 AM6/5/2012 11:01:31 AM
5. 331
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012
antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres
ini merupakan kelainan mukosa akut saluran
cerna bagian atas karena berbagai kelainan
patologik atau stresor yang dapat disebabkan
oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak
stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini
dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tab-
let peroral atau H2 receptor blockers (simetidin,
ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1
ampul IV selama 5 hari.
e. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung
kemih atau usus yang penuh, patah tulang
yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang
meningkat. Bila ada retensi urin, dapat di-
pasang kateter untuk pengosongan kandung
kemih.
Bila perlu, dapat diberikan penenang dengan
observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang
dipilih adalah obat peroral yang tidak menim-
bulkan depresi pernapasan.
9. Proteksi serebral (neuroproteksi)1,2
Adanya tenggang waktu antara terjadinya
cedera otak primer dengan timbulnya keru-
sakan sekunder memberikan kesempatan
untuk pemberian neuroprotektor. Manfaat
obat-obat tersebut sampai saat ini masih te-
rus diteliti. Obat-obat tersebut antara lain go-
longan antagonis kalsium (mis., nimodipine)
yang terutama diberikan pada perdarahan
subaraknoid (SAH) dan sitikolin untuk mem-
perbaiki memori.
Dari beberapa percobaan penting, terungkap
bahwa agen neuroprotektor yang diberikan
setelah cedera otak dapat menekan kema-
tian dan menambah perbaikan fungsi otak.
Dahulu, pemberian neuroprotektor ini masih
diragukan kegunaannya.
Manajemen harus sudah mendeteksi se-
jak awal dan melakukan pencegahan efek
sekunder dengan cara memperhatikan ke-
mungkinan terjadinya komplikasi sekunder
dan kemungkinan adanya perbaikan dengan
terapi intervensi non-farmasi (terapi gizi).
Hal yang perlu dipantau dari awal untuk
proteksi serebral adalah kemungkinan ter-
jadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam
yang dapat memperburuk kondisi iskemia
serebral. Manajemen intensif dengan obat
proteksi serebral berdasarkan patofisiologi
mekanisme kerja yang spesifik menjanjikan
perbaikan luaran (outcome) pasien cedera
kranioserebral.
KONTROVERSI MANAJEMEN
Steroid2
Pemberian kortikosteroid untuk cedera krani-
oserebral ini masih kontroversial. Ada yang
mengatakan tidak ada gunanya dan ada yang
mengatakan boleh saja diberikan. Efek yang
jelas terlihat dan berguna ialah pada kasus
cedera spinal. Terapi kortikosteroid yang men-
janjikan di masa datang adalah 21 aminoster-
oid (lazaroid) yang masih diteliti.
PREDIKSI LUARAN7,12
Luaran cedera kranioserebral secara seder-
hana dibagi dua, yaitu hidup dan mening-
gal. Untuk prediksi luaran hidup dan me-
ninggal ini, bisa dipakai beberapa sistem
penskoran, antara lain (yang dikembangkan
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) ada-
lah penskoran MNM (Mata, Napas, Motorik).
Penskoran yang lebih komprehensif dalam
menilai kematian dan kondisi hidup de-
ngan tingkatan kecacatan adalah Glasgow
Outcome Score.
Prediksi luaran pasien cedera kranioserebral
bergantung pada banyak faktor, antara lain
umur, beratnya cedera berdasarkan klasifikasi
GCS dan CTscan otak, komorbiditas, hipotensi,
dan/atau iskemia serta lateralisasi neurologik.
Nutrisi yang tidak adekuat dapat memperbu-
ruk luaran. Hal yang perlu juga diperhatikan
adalah adanya amnesia pascacedera yang
menetap lebih dari 1 jam (pemeriksaan GOAT),
fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik
(salah satu caranya dengan pemeriksaan
MMSE) atau gejala neurologik saat keluar dari
rumah sakit, yang akan memberikan problem
gejala sisa lebih sering dibandingkan mereka
yang keluar tanpa adanya gejala tersebut di
atas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. PERDOSSI, 2006.
2. Teasdale G, Jennett B. Management of head injuries. Davis Co., Philadelphia, 1981.
3. Ling GSF, Grimes J. Pathophysiology and initial prehospital management. AAN Hawaii, 2011.
4. Marion DW. Head injury. Powner DJ. Nutrition/metabolism in the trauma patient. In: The Trauma Manual. Peitzman AB et al. (eds.). Lippincott Raven, 1998.
5. Andrews PJD. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R (ed.). 3rd
ed. BMJ books, 2000.
6. Marshall SA. Management of moderate and severe traumatic brain injury. AAN Hawaii, 2011.
7. Musridatha E, Jannis J, Soertidewi L. Modifikasi revised trauma score pada pasien dewasa cedera kranioserebral sedang. Tesis Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2006.
8. Emril RD. Leukositosis sebagai salah satu indikator adanya lesi struktural intrakranial pada penderita cedera kepala tertutup dengan skala koma Glasgow awal 13-15. Penelitian Bagian
Neurologi, FKUI/RSCM, 2003.
9. Syarif I, Soertidewi L,Yamanie N. Hubungan antara leukositosis dan peningkatan suhu tubuh dengan CKS dan CKB tertutup selama 3 hari onset di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta. Tesis. Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2001.
10. Handisurya I. Nilai prognostik kadar glukosa darah sewaktu pada cedera kranioserebral berat tertutup fase akut. Tesis. Bagian Neurologi, FKUI/RSCM, 1996.
11. Dewati E, Soertidewi L, Yamanie N. Kadar albumin serum dan keluaran penderita cedera kranioserebral. Tesis. Bagian Neurologi, FKUI/RSCM, 1999.
12. Gunawan A, Soertidewi L, Musridatha E. Uji prognostik: skor motorik, frekuensi nafas, dan membuka mata (MNM skor) untuk memprediksi keluaran dalam tiga hari pada pasien dewasa
trauma kapitis sedang-berat. Tesis Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2011.
CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 331CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 331 6/5/2012 11:01:33 AM6/5/2012 11:01:33 AM