Hampir semua orang dalam hidupnya mengalami beberapa bentuk trauma kepala. Lansia, bayi, dan mereka yang bermasalah seperti penyalahgunaan alkohol, terapi anti-koagulasi khususnya rentan untuk konsekuensi serius setelah cedera kepala.
Di Singapura, cedera kepala adalah penyebab utama kecacatan dan kematian dewasa di bawah usia 40 tahun yang mempunyai dampak penting pada pasien cedera otak, keluarga dan masyarakat.
Hampir semua orang dalam hidupnya mengalami beberapa bentuk trauma kepala. Lansia, bayi, dan mereka yang bermasalah seperti penyalahgunaan alkohol, terapi anti-koagulasi khususnya rentan untuk konsekuensi serius setelah cedera kepala.
Di Singapura, cedera kepala adalah penyebab utama kecacatan dan kematian dewasa di bawah usia 40 tahun yang mempunyai dampak penting pada pasien cedera otak, keluarga dan masyarakat.
PPT PENGKAJIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL 2.pptxEmohAsJohn
PENGKAJIAN MUSKULOSKELETAL
Gangguan neurologi sangat beragam bentuknya, banyak dari pasien yang menderita gangguan memori dan tidak mampu menjalani aktivitas sehari-hari secara normal. Penyakit-penyakit neurologi kebanyakan memiliki efek melemahkan kehidupan pasien, sehingga memberikan pengobatan neurologis sangat penting bagi kehidupan pasien.
2. DEFINISI
Berdasarkan pedoman dari National Institute for Health and Care Excellence
(NICE) Inggris, trauma kepala didefinisikan sebagai trauma apa pun yang
mengenai kepala, yang bukan merupakan trauma superfisial pada wajah.
• Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian.
• Di AS, ~ 10% kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian
akibat trauma berhubungan dengan otak.
• Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi
setiap 5 menit.
• Angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda (15-24 tahun)
• Angka kejadian pada laki-laki 3 - 4 kali lebih sering dibandingkan wanita.
• Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas
EPIDEMIOLOGI
3. ETIOLOGI
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
1. Trauma Primer, terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung
maupun tidak langsung (akselerasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui akson) yang
meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi
sistemik
4. Cedera ini dapat
berasal dari berbagai
bentuk kekuatan
seperti akselerasi,
rotasi, kompresi, dan
distensi sebagai
akibat dari proses
akselerasi dan
deselerasi
kekuatan ini
menyebabkan
tekanan pada tulang
tengkorak yang dapat
mempengaruhi
neuron, glia, dan
pembuluh darah
kerusakan fokal,
multifokal maupun
difus pada otak
PATOGENESIS
CEDERA OTAK
PRIMER
• Cedera pada parenkim dapat berupa kontusio, laserasi, ataupun diffuse
axonal injury (DAI)
• Cedera pada pembuluh darah otak dapat berupa perdarahan epidural,
subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat dilihat pada CT-scan
Cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang tak terhindarkan
dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat setelah terjadi
trauma.
5. • Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer. Hal ini dapat
terjadi akibat adanya reaksi peradangan, biokimia, pengaruh neurotransmitter,
gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis, dan inokulasi bakteri.
• Faktor yang mempengaruhi cedera otak sekunder
CEDERA OTAK
SEKUNDER
Cedera otak sekunder menunjuk kepada keadaan dimana
kerusakan pada otak dapat dihindari setelah proses trauma.
•hematoma intrakranial, iskemik otak akibat
penurunan perfusi ke jaringan di otak, herniasi,
penurunan tekanan arterial otak, tekanan
intrakranial yang meningkat, demam, vasospasm,
infeksi, dan kejang
Faktor intrakranial
(lokal)
•hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia,
hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi,
hiponatremi serta hipoproteinemia
Faktor ekstrakranial
(sistemik)
7. DIAGNOSIS
ANAMNESIS
• Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
• Keluhan utama
• Mekanisma trauma
• Waktu dan perjalanan trauma
• Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
• Amnesia retrograde atau antegrade
• Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran,
kejang, vertigo
• Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala
• Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala,
8. PEMERIKSAAN FISIK
• Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
• Lihat dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki
• Per organ B1-B6 (breath, blood, brain, bowel, bladder,
bone)
• Jejas di kepala
• Tanda patah basis cranii
• Tanda patah tulang wajah
• Tanda trauma mata
• Auskultasi arteri karotis
PEMERIKSAAN KEPALA
• Mencari tanda cedera tulang servikal,
tulang belakang dan medula spinalis
• Meliputi:
• Mencari jejas
• Deformitas
• Status motorik
• Status sensorik
• Status autonomik
PEMERIKSAAN LEHER DAN TULANG
BELAKANG
9. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Nilai GCS setelah stabilisasi GCS
GCS 14-15 : Cedera otak ringan
GCS 9-13 : Cedera otak sedang
GCS 3-8 : Cedera otak berat
• Saraf kranial
• Saraf II-III
• Lesi saraf VII perifer
• Funduskopi
• Motoris dan sensoris
• autonomis
10. PEMERIKSAAN FOTO POLOS KEPALA
Indikasi:
• Kehilangan kesadaran, amnesia
• Nyeri kepala menetap
• Gejala neurologis fokal
• Jejas pada kulit kepala
• Kecurigaan luka tembus
• Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau
telinga
• Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba
• Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat,
epilepsi, anak
• Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi
mempunyai resiko : benturan langsung atau jatuh pada
permukaan yang keras, pasien usia > 50 tahun.
11. PEMERIKSAAN CT SCAN KEPALA
Indikasi:
• GCS< 13 setelah resusitasi.
• Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih,
hemiparesis, kejang.
• Nyeri kepala, muntah yang menetap
• Terdapat tanda fokal neurologis
• Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur
• Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
• Evaluasi pasca operasi
• pasien multitrauma (trauma signifikan lebih dari 1 organ)
• Indikasi sosial
12. DIAGNOSIS BANDING
MEKANISME TRAUMA
•Trauma
tumpul
•Jatuh dari
ketinggian
•Bukan
karena
akselerasi
atau
pergeraka
n kepala
ED
H
•Trauma
dan non
trauma
•Karena
akselerasi
dan
deselerasi
•Karena
pergeraka
n tiba-tiba
akibat
jatuh atau
benturan
•Dapat
terjadi
•Trauma
dan non
trauma
•Non
trauma:
hipertensi,
konsumsi
antikoagul
an
nekrosis
hemoragik
dll
SD
H
ICH
13. CT SCAN
•Di antara
duramate
r dan
kranium
•Bentuk
bikonvek
s
•Hematom
a tidak
melewati
garis
sutura
•Midline
•Di bawah
duramate
r dan di
atas otak
•Bentuk
cresent
•Tidak
terbatas
dengan
garis
sutura
•Midline
shift
•Di
parenkim
otak
•Tidak
kontak
dengan
permukaa
n otak
•Ukuran 2
cm atau
lebih
•multifokal
SD
H
ICH
ED
H
14. GAMBARAN KLINIS
• Laserasi
kulit kepala
• Cephal
hematoma
• Penurunan
kesadaran
• Ada lucid
interval
• Cushing
triad
• Penurunan
kesadaran
• Sakit kepala
• Kehilangan
keseimbang
an
• Kehilangan
memori
• Perubahan
kepribadian
• Afasia
• Kejang
• Hemiparesa
• Muntah-
muntah
• Pupil
anisokor
• Penurunan
kesadaran
• Mual
muntah
• Sakit kepala
• Kejang
• Defisit
neurologis
fokal
SD
H
ICH
ED
H
15. TATALAKSANA
1. Triage
2. Primary Survey
3. Resusitasi primary survey
4. Adjuncts to primary survey and resuscitation
5. Secondary survey
6. Adjuncts to the secondary survey
7. Continued postresuscitation monitoring and reevaluation
8. Definitive Care
16. TRIAGE
Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia dengan prioritas ABC:
• Airway (dengan kontrol vertebra servikal)
• Breathing,
• dan Circulation (dengan kontrol perdarahan).
Triage juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan dirujuk,
yang merupakan tanggung jawab bagi tenaga pra-rumah sakit.
Dua jenis keadaan triage yang dapat terjadi:
a. Multiple Casualties
b. Mass Casualties
17. PRIMARY SURVEY
Nilai :
• Obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing
• Fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
Managemen airway harus melindungi vertebra servikal, dimulai dengan : chin lift atau jaw trust
tanpa ekstensi, fleksi atau rotasi terhadap leher
Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap jalan nafas bersih.
Definitive airway diindikasikan pada gangguan kesadaran GCS ≤ 8
AIRWAY DAN RESTRIKSI
SERVIKAL
18. BREATHING
• Look, Listen, and Feel
• Lihat keadaan pasien/:
• Berkeringat
• Sianosis sentral
• Penggunaan otot bantu napas
• dan pernapasan abdominal
• letak trakea.
• Kemudian, hitung frekuensi napas (normal: 12-20x/menit).
• Nilai juga kedalaman dan kualitas napas
• Ketinggalan bernapas pada salah satu lapangan paru
• Deformitas pada dinding dada (memperberat usaha bernapas)
• Tekanan vena jugularis yang meningkat (mengindikasikan asma akut berat atau pneumothoraks ventil),
• Distensi abdomen (membatasi gerakan diafragma).
• Perkusi dan auskultasi setiap segmen dinding dada.
Jika ada kesulitan usaha bernapas, bantu dengan kantong ventilasi.
20. • Hentikan perdarahan (eksternal dengan penekanan, internal dengan hemostat)
• Lihat dan tandai lokasi pendarahan
• Nilai akral
• Ukur CRT
• Ukur tekanan darah dan denyut nadi (nadi sentral maupun perifer).
• Nilai nadi (tekanan, regularitas, volume)
• Auskultasi jantung untuk melihat apakah ada kelainan pada jantung.
Terapi resusitasi: cairan kristaloid hangat secara bolus (500 mL, habis dalam 15
menit).
Nilai tiap 5 menit. Kemudian, jika ada EKG dan monitor, pasang dan nilai kualitas
EKG-nya.
PERDARAHAN
21. • Penilaian kesadaran metode AVPU: Alert, Verbal, Pain, Unresponsive
• Atau GCS (Glasgow Coma Scale) dapat digunakan (dari Eye, Verbal, dan Movement).
• Nilai diameter pupil mata, refleks cahaya direk maupun indirek
• Ukur gula darah sewaktu untuk menilai kondisi glikemik pasien.
• Jika pasien tidak sadar, pastikan Airway stabil untuk mencegah aspirasi.
Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:
GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)
GCS : 9-13 = CKS (cedera kepala sedang)
GCS : 3-8 = CKB (cedera kepala berat)
DISABILITY
22. EXPOSUR
E
• Evaluasi pasien dengan membuka keseluruhan pakaiannya
• Beri selimut hangat, berada di ruangan hangat
• Beri cairan intra-vena yang sudah dihangatkan agar tidak kedinginan.
• Nilai suhu pasien
• Transpor pasien secara langsung ke IGD RS yang mempunyai fasilitas lanjutan
24. ADJUNCT TO PRIMARY SURVEY AND RESUSCITATION
a. Monitor EKG
b. Kateter urin dan lambung
c. Kateter uretra
d. Kateter lambung
e. Monitor
f. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya
25. SECONDARY SURVEY
Survei sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination), termasuk
re-evaluasi pemeriksaan tanda vital.
Setiap pemeriksaan lengkap memerlukan anamnesis
mengenai riwayat perlukaan, biasanya alloanamnesis.
Patut ditanyakan riwayat AMPLE:
A : Alergi
M: Medikasi (obat yang diminumsaatini)
P : Past Illness (penyakitpenyerta) / Pregnancy
L : Last meal
E :Even / Environment yang berhubungan dengan kejadian
perlukaan
ANAMNESIS
26. PEMERIKSAAN
FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.
1. Kepala
2. Maksilo-fasial
3. Vertebra servikalis dan leher
4. Toraks
5. Abdomen
6. Perineum/rektum/vagina
7. Muskulo-skeletal
8. Neurologis
27. ADJUNCT TO SECONDARY SURVEY
Dalam melakukan secondary survey, dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik
yang lebih spesifik seperti misalnya foto tambahan dari tulang belakang serta
ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen dan spine, urografi dan angiografi,
USG transesofageal, bronkoskopi, esofagoskopi dan prosedur diagnostik lain.
Semua prosedur diatas jangan dilakukan sebelum hemodinamik penderita
stabil dan telah diperiksa secara teliti.
28. CONTINUED POSTRESUSCITATION MONITORING AND
REEVALUATION
• Evaluasi ulang secara terus menerus tingkat kesadaran
• Monitoring tanda vital dan produksi urin sangat penting.
• Penanganan rasa nyeri
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria.
Kriteria ini memakai data fisiologis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan,
penyakit penyerta serta faktor – faktor yang dapat mempengaruhi prognosis. Setelah
keputusan merujuk diambil, harus dipilih rumah sakit terdekat yang cocok untuk
penanganan pasien.
DEFINITIVE CARE
29. PENATALAKSANAAN DI RUMAH SAKIT
Pada saat menerima pasien di RS, hal pertama yang perlu dilakukan adalah:
Menilai ABCDE sekaligus tatalaksana
Pasien dengan GCS <8 harus diberi tatalaksana jalan napas dan resusitasi segera.
Penatalaksanaan nyeri (mencegah peningkatan TIK dan terjadinya kejang)
Terapi ventilasi pada pasien dengan trauma otak sangatlah diperlukan karena
berisiko aspirasi paru ataupun gangguan usaha respirasi.
Terapi hipotermia
30. • CT Scan direkomendasikan pada pasien trauma dalam 1 jam pertama dengan indikasi:
- GCS <13 pada penilaian awal di IGD.
- GCS <15 pada 2 jam setelah penilaian awal di IGD.
- Kecurigaan fraktur tengkorak terbuka atau depresi.
- Terdapat tanda fraktur basis kranii
(hemotimpanum, mata ‘panda’ atau ‘rakun’, bocornya cairan serebrospinal dari telinga atau hidung,
tanda Battle).
- Kejang post-trauma.
- Defisit neurologis fokal.
- Lebih dari satu episode muntah.
CT SCAN
31. Setelah dilakukan penanganan awal pada pasien, pasien biasa dirujuk ke bedah
saraf apabila ditemui:
CT Scan kepala abnormal
Koma yang menetap (GCS <8) setelah resusitasi awal.
Kondisi kebingungan yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari 4 jam.
Defisit neurologis fokal progresif.
Kejang tanpa pemulihan total.
Terdapat trauma penetrasi
Kebocoran cairan serebrospinal.
KONSUL BEDAH SARAF
32. Setelah dilakukan penilaian lanjut dan pasien akan dilakukan operasi, maka sebaiknya
dilakukan intubasi dan ventilasi segera pada keadaan berikut:
GCS <8.
Hilangnya refleks laring.
Insufisiensi ventilasi (AGDA: PaO2< 100 mmHg dengan terapi oksigen) atau
hiperkarbia (PaCO2> 45 mmHg).
Hiperventilasi spontan yang menyebabkan PaCO2< 30 mmHg.
Pola pernapasan ireguler.
Tingkat kesadaran menurun drastis (>1 pada skor motorik), meskipun tidak koma.
Pendarahan yang banyak pada rongga mulut (cth, fraktur basis kranii).
Kejang.
INDIKASI INTUBASI DAN
VENTILASI
33. Kraniektomi dekompresi
Sebaiknya <4 jam sejak kejadian dengan cara mengeluarkan sebagian dari tulang
tengkorak, sehingga otak dapat mengembang dan menurunkan TIK. Terapi ini biasanya
dilakukan ketika terapi konservatif lainnya gagal menurunkan TIK.
Setelah pembedahan pasien dirawat di ICU berkualitas tinggi.
Terapi suportif yang bisa dilakukan untuk pasien antara lain:
menggerakkan kepala pasien secara rutin
menjaga kebersihan mata, mulut, dan kulit
regimen nutrisi untuk mencapai angka kecukupan gizi
fisioterapi
TERAPI BEDAH SARAF
34. KOMPLIKASI
• Epilepsi pasca trauma
• Sakit kepala pascatrauma
• Gangguan pergerakan pasca trauma
• Gangguan kejiwaan pasca trauma
35. PROGNOSIS
Cedera kepala dapat menyebabkan kematian, kondisi vegetatif, pemulihan sebagian, atau kembali
bekerja penuh.
Faktor prognostik yang paling penting mungkin adalah:
• Usia
• mekanisme cedera
• skor GCS pasca-resusitasi
• reaktivitas pupil pasca-resusitasi
• tekanan darah post-resusitasi
• tekanan intracranial
• durasi amnesia atau kebingungan pasca-trauma
• keseimbangan duduk
• dan patologi intrakranial yang diidentifikasi pada neuroimaging.