SlideShare a Scribd company logo
1 of 23
1
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah salah satu masalah neurologi yang tampaknya kian
meningkat seiring dengan perkembangan kota-kota yang semakin banyak dan
semakin sibuk. Perkembangan kendaraan dan keberadaan jalan tidak seimbang,
banyaknya dibangun gedung-gedung dengan tingkat yang tinggi juga memberikan
kontribusi yang cukup terhadap perkembangan kasus ini. Akibat perubahan pola
kesibukan masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memberikan
dampak yang besar pula (Soebroto, 2009).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas,
selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan
dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum
serta neorologi harus segera dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi
kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Safrizal, 2013).
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala
ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah
cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok
usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-
53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Data epidemiologi di
Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto
2
Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-
20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50%
akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal
(Irwana, 2009).
Kematian sebagai akibat dari cedera kepala yang dari tahun ke tahun semakin
bertambah, pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah penderita
cedera kepala yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau sesuai dengan
harapan kita. Angka kejadian cedera kepala (58%) laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi
dikalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga kesalamatan di jalan
masih rendah disamping penanganan penderita yang belum benar dan rujukan yang
terlambat (Arsani, 2012).
Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian pada 40-50%
pasien trauma kepala dan menyebabkan kecatatan jangka panjang. Sistem respon
emergensi yang cepat, tepat dan terorganisasi dengan baik dengan mentransfer pasien
cedera kepala dengan segera ke pusat penanganan trauma terdekat dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala (Subaiya dkk., 2012).
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Salah satu penanganan bedah cedera kepala terbanyak adalah burr hole.
Metode evakuasi ini merupakan metode bedah yang paling sedikit invasif (Ishfaq
dkk., 2009). Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya
pergeseran garis tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal,
kontrol pendarahan dan mencegah perdarahan ulang. Prognosa pasien cedera kepala
akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat (Japardi, 2004).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cedera Kepala
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri,
serta mengakibatkan gangguan neurologis (Irwana, 2009).
2.1.1. Klasifikasi Cedera Kepala
A. Berdasarkan mekanisme (Irwana, 2009)
1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh, atau pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda
tumpul.
B. Berdasarkan beratnya (Astrand dan Romner, 2012).
1. Ringan (GCS 14-15)
2. Sedang (GCS 9-13)
3. Berat (GCS 3-8)
C. Berdasarkan morfologi (Astrand dan Romner, 2012).
1. Fraktura tengkorak
a. Kalvaria
i. Linear atau stelata
ii. Depressed atau nondepressed
iii. Terbuka atau tertutup
b. Dasar tengkorak
i. Dengan atau tanpa kebocoran CNS
ii. Dengan atau tanpa paresis N VII
4
2. Lesi intrakranial
a. Fokal
i. Epidural
ii. Subdural
iii. Intraserebral
b. Difusa
i. Komosio ringan
ii. Komosio klasik
3. Cedera aksonal difusa
2.1.2. Prognosis Cedera Kepala
Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan
secara tepat dan cepat. Pasien meninggal karena beberapa faktor yakni (Japardi,
2004):
a. Prolong hipoksia dan hipotensi
b. Herniasi otak
c. Komplikasi-komplikasi sistemik
Pada salah satu studi prospektif dengan CT Scan didapat hasil (Japardi, 2004):
a. Pada cedera kepala berat : 30% CT Scan normal dan 70% abnormal
b. Pada cedera kepala ringan yang pemah mengaJami pingsan: 18% CT Scan
abnormal
c. 5% diantaranya memerlukan tindakan operasi.
d. Pada cedera kepala sedang: 40% CT Scan abnormal dan 8% memerlukan
tindakan operasi.
Dari bank data traumatic center ditemukan pada studi 275 pasien dengan
hematoma supratentorial didapat: 58% SDH, 26% ICH dan 16% EDH.
5
2.1.3. Tindakan Operasi Cedera Kepala
Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis
tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan
dan mencegah perdarahan ulang. lndikasi operasi pada cedera kepala harus
mempertimbangkan hal dibawah ini (Japardi, 2004):
1. Status neurologis
2. Status radiologis
3. Pengukuran tekanan intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial (Japardi, 2004):
1. Massa hematoma kira-kira 40 cc
2. Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
3. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang.
4. Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.
Hematoma akut ekstradural dan subdural adalah dua keadaan yang dapat
mengambil manfaat dari burr hole. Riwayat trauma dan diagnosis klinis yang jelas
sangat penting sebelum melakukan prosedur (Tausy dkk., 2008).
1. Hematoma ekstradural akut
Tanda-tanda klasik terdiri dari:
a. Kehilangan kesadaran diikuti lusid interval, dengan perburukan yang cepat
b. Perdarahan arteri meningea medial dengan peningkatan cepat tekanan
intrakranial
c. Muncul hemiparesis di sisi yang berlawanan dengan dilatasi pupil pada sisi
yang sama dengan daerah yang terkena dampak, dengan kerusakan yang cepat.
2. Hematoma subdural akut
Hematoma subdural akut, adalah darah yang membeku dalam ruang subdural
disertai memar parah pada otak yang terkena, terjadi dari robeknya vena yang
6
menjembatani antara korteks dan dura. Penanganannya adalah pembedahan dan
setiap usaha harus dibuat untuk melakukan burr hole dekompresi. Diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan. Membuat burr hole
melalui tengkorak untuk mengevakuasi hematoma biasanya adalah tindakan darurat
dalam usaha menyelamatkan jiwa.
2.2. Burr Hole
Burr hole adalah suatu tindakan pembuatan lubang pada tulang kepala
yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perdarahan intrakranial, sebelum
tindakan definitif kraniotomi dilakukan. Suatu pembedahan dengan membuat
lubang ke dalam tengkorak dengan cara mengebor, sehingga duramater terlihat,
memiliki tujuan untuk mengobati masalah kesehatan terkait peninggian tekanan
intrakranial. Pada era modern seperti sekarang ini, biasanya hanya digunakan
untuk mengobati hematoma epidural dan subdural. Prosedur ini pertama kali
dilakukan pada bulan Januari tahun 1980 (Darwin, 1994).
2.2.1. Burr Hole Eksplorasi
Ketersediaan alat CT scan telah membatasi kebutuhan kraniotomi
diagnostik secara luas. Burr hole eksplorasi adalah membuat lubang di beberapa
bagian kranium untuk mengeluarkan bekuan darah di bawah kranium dimana
fasilitas CT scan tidak tersedia. Burr hole eksplorasi dipertimbangkan pada
pasien dengan midriasis yang disebabkan oleh kelainan di otak, pada pasien
cedera kepala dengan hematom dan untuk mengekslusikan lesi massa
kontralateral pada pasien dengan perkembangan edema otak berat tiba-tiba
secara intraoperatif. Burr hole eksploratif ditempatkan di bagian pupil yang
midriasis, apabila tidak ada midriasis, burr hole pertama diletakkan di lokasi
fraktur kranium. Burr hole harus dilakukan dengan segera karena golden period
epidural hematom adalah (Tjandra dkk., 2005).
7
Pasien dalam keadaan berbaring, kepala dicukur total, diletakkan bantal
berbentuk donat di bawah kepala atau sebuah bantal berbentuk tapal kuda secara
tepat, sehingga memungkinkan untuk merubah posisi kepala selama prosedur
dan mencapai sisi kepala kontra lateral. Lokasi burr hole disesuaikan dengan
gejala neurologis (contoh reaktivitas pupil/ diameter, kelemahan tungkai,
lateralisasi ekstremitas). Apabila tidak terdapat bekuan darah epidura, dura
dibuka untuk mengeksplorasi bekuan darah subdural. Setelah epidural hematom
atau subdural hematom didiagnosis, burr hole diperbesar sehingga
memungkinkan hematom untuk diaspirasi untuk dekompresi sementara sebelum
prosedur kraniotomi dilakukan (Farquharson dan Moran, 2005).
Gambar 2.1 Lokasi Burr Hole Eksplorasi
Sumber: http://www.pediatricneurosciences.com/
Menurut Natarajan dkk., dari 110 pasien yang mengalami cedera kepala
berat dan dilakukan burr hole eksplorasi, 61 pasien dinyatakan burr eksplorasi
positif sementara 49 pasien dinyatakan negatif. Hasil penelusuran post mortem
8
ditemukan hanya sedikit bekuan darah yang tersisa. Penelitian tersebut
mengindikasikan burr hole eksplorasi diagnostik merupakan metode yang
sensitif untuk mendeteksi masa intrakranial di tempat-tempat dimana fasilitas
CT scan tidak tersedia (Oestern Dkk., 2011).
Burr hole eksploratif belum dikatakan negatif sebelum seluruh sisi kepala
di borr. Apabila dipastikan eksplorasi negatif di satu sisi, maka burr-hole
dilakukan di sisi kontralateral. Pada hematomaa yang besar dapat terlihat bekuan
darah di ketiga sisi burr hole. Akhirnya, setelah eksplorasi dari kedua hemisfer
dinyatakan negatif, pasien diletakkan dalam posisi telungkup dan 2 burr hole
tambahan dilakukan di tulang oksipital. Keenam lubang tersebut cukup untuk
mengurangi tekanan intrakranial. Ketika tidak ada hematom atau massa yang
dievakuasi, patologi yang paling sering mendasari adalah edema otak akibat
konkusi otak. Selanjutnya, pemeriksaan CT scan dilakukan secepat mungkin dan
pasien dirujuk ke tempat yang lebih lengkap. Suatu keputusan yang sulit harus
dibuat ketika tidak terdapatnya fasilitas pencitraan apakah akan mengeksplorasi
sisi kontralateral atau ipsilateral (Tjandra dkk., 2005).
Ada beberapa tanda yang membantu dokter bedah untuk melakukan burr
hole eksplorasi (Oestern dkk., 2011):
a. Eksplorasi sisi pupil yang berdilatasi
b. Hemiparesis atau hemiplegia mengindikasikan kompresi kontralateral
c. Hematoma biasanya merembes ke kulit kepala, hal ini disebabkan derah
yang mengalir melalui celah-celah fraktur ke dalam jaringan lunak.
2.2.2. Indikasi Burr Hole
Indikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak
memungkinkan dan didapat (Fatigba dkk., 2013):
a. Dilatasi pupil ipsilateral
b. Hemiparese kontralateral
9
c. Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba.
Tujuan tindakan burr hole (Eriktapan, 2009):
a. Mengetahui ada tidaknya perdarahan intrakranial
b. Mengurangi tekanan intrakranial
c. Mengetahui ukuran serta posisi letak perdarahan sebelum tindakan definitif
kraniotomi dilakukan.
2.2.3 Resiko Tindakan Burr Hole
Burr hole salah satunya pada hematoma subdural adalah prosedur umum
untuk ahli bedah. Risiko Burr hole dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) yang
berkaitan dengan daerah operasi, dan 2) yang berkaitan dengan risiko anestesi
(Weigel, dkk., 2003).
1. Risiko yang berkaitan dengan daerah operasi:
a. Tindakan Bedah: Pasien ditempatkan dalam posisi terlentang (pada
punggung). Terdapat resiko, tidak terjadinya penyembuhan kulit kepala pasca
bedah. Meskipun sangat jarang, bisa terjadi cedera atau robeknya kulit kepala
karena pemakaian klem Mayfield.
b. Cedera otak: Operasi yang menyebabkan paparan (exposure) terhadap
permukaan otak. Terdapat kemungkinan terjadi cedera otak. Jika demikian, ini
bisa mengakibatkan kelemahan, kejang, stroke, lumpuh, koma atau kematian.
Ada kemungkinan masih terdapat cairan sisa atau darah, yang suatu saat akan
membutuhkan operasi lanjutan. Jika cairan di sekitar otak terbagi-bagi dalam
kantong-kantong yang dipisahkan oleh membran, maka operasi cenderung
tidak dapat mengeluarkan semua cairan, dan malah hanya akan mengeluarkan
sebagian kecil saja. Hal tersebut juga akan membutuhkan operasi lanjutan.
Operasi kraniotomi kemungkinan besar akan mampu mengangkat selaput dan
hematom.
10
c. Risiko Umum: Termasuk penyulit yang umum ditemui seperti, pendarahan,
infeksi, stroke, kelumpuhan, koma dan kematian. Sayatan pada bagian kepala
bawah umumnya sembuh dengan baik, namun sayatan tersebut bisa saja nyeri,
atau sembuh dengan tidak sempurna, seperti muncul keloid. Ada juga
kemungkinan bahwa operasi tidak dapat meringankan gejala, yang mana
operasi tersebut memang bertujuan untuk meringankan gejala. Keluhan yang
merupakan suatu indikasi sebuah operasi dilakukan, bisa saja kambuh dan
membutuhkan operasi lanjutan di kemudian hari. Selain itu, meskipun setiap
upaya dilakukan untuk melindungi semua area tubuh dari tekanan terhadap
saraf, kulit dan tulang, namun cedera terhadap daerah-daerah ini tetap dapat
terjadi, terutama pada kasus-kasus operasi yang lama.
d. Risiko Anestesi: trombosis di tungkai, serangan jantung, efek samping obat
bius, reaksi alergi terhadap obat bius, dan reaksi transfusi darah, jika
diberikan.
2.2.4 Peralatan Burr Hole
Peralatan bedahnya standar (pisau, self-retainer, swab, bor, hock tajam dan
tumpul dan pisau cadangan). Jika memungkinkan, diatermi bipolar harus disiapkan.
Bor genggam (bor Hudson-Brace atau yang bertenaga udara) harus memiliki
perforator yang spesifik (misalnya mata bor kopling perforator (26-1221, Codman,
Johnson dan Johnson, Chicago, USA)). Semua peralatan harus disimpan bersama-
sama dan siap untuk digunakan di instalasi gawat darurat atau ruang operasi. Hal
yang penting pada saat persiapan adalah memeriksa mata bor cocok dengan bor
(Wilson dkk., 2012).
11
Gambar 2.2 Peralatan bedah saraf
Sumber: www.primary-surgery.org
2.2.5 Persiapan Pra Operasi (WHO, 2009).
a. Inform concern.
b. Cegah hipotensi, hipoksia.
c. Periksa CT scan, foto skedel, foto thoraks dan servikal.
d. Dua jalur infus line menggunakan blood set.
e. Periksa analisis gas darah, elektrolit dan darah rutin serta cross match
f. Pasang kateter
g. Antibiotik profilaksis sebelum operasi dimulai.
h. ETT yang adekuat.
i. lindungi kedua mata dari cairan, udara kering dan tekanan.
2.2.6. Teknik Operasi
1. Burr hole eksplorasi (Fatigba dkk., 2013).
a. Tentukan areanya : di sisi pupil yang dilatasi, kontralateral hemiparese.
12
b. Burr hole I : di temporal walaupun frakturya di lokasi yang berbeda. Bila positif
lanjutkan dengan kraniotomi. Bila berhasil lakukan langkah burr hole
selanjutnya.
c. Burr hole II : di frontal
d. Burr hole III : di parietal, bila berhasil dilakukan disisi sebaliknya.
e. Ada yang menambahkan burr hole IV di fossa posterior
f. Insisi linier dan bila perlu dilanjutkan dengan bentuk tanda tapal kuda
g. Bila duramater tampak tegang dan kebiruan tapi pembekuan darah (clotting)
belum ditemukan sebaiknya dilakukan lebih dahulu burr hole bilateral baru
mengintip duramater karena sering subdural tersebut hanya tipis.
2. Burr hole pada epidural hematom (Bullock dkk., 2006):
a. Lokasi: 50% ditemporal, 15%-20% di frontal dan sisanya di occipital, fossa
posterior dan parietal
b. bila ada lesi campuran (hipodens dan hiperdens) curigai adanya gangguan
pembekuan darah.
c. teknik:
i. Insisi bentuk question mark atau tapal kuda
ii. Burr hole I di daerah yang paling banyak bekuan darah (clothing) biasanya
di lobus temporal, bila perlu dilanjutkan dulu kraniektomi kecil dan evakuasi
clothing untuk mengurangi tekanan, lalu dilanjutkan kraniotomi untuk
mengevakuasi massa.
iii. Bila duramater tegang kebiruan lakukan pengintipan dura
iv. Kemudian duramater dijahit dan dilakukan jahit gantung dura
3. Tindakan pada subdural hematom (Bullock dkk., 2006):
a. lokasi paling sering di temporal dan parietal
b. insisi bentuk tapal kuda atau tanda tanya
c. Kraniotomi sevisual mungkin dan bila ada clothing kecil dan tidak jelas
terlihat sebaiknya ditinggalkan.
d. duramater dibuka dan dievakuasi clothingnya.
13
e. duramater dijahit waterproof, bila pembengkakan tidak dapat dikontrol,
biarkan terbuka dan tulang tidak dipasang dan langsung diflap.
4. Intraserebral hematom (Bullock dkk., 2006):
a. lokasi: 80% -90% di temporal dan frontal
b. kraniotomi secara prinsip sama dengan perdarahan intrakranial lainnya
c. perdarahan dirawat dengan bipolar
d. durameter dijahit dan ditutup waterproof.
5. Hematoma fossa posterior (Bullock dkk., 2006):
a. 80% -100% pasien EDH fossa posterior disertai fraktur os occipitalis
b. bila ada EDH supra dan infra tentorial, 30% disertai hidrocefalus
c. insisi kulit linier/stick golf di para median atau midline
d. konservatif bila perdarahan minimal dan stabil terutama bila ada fraktur di atas
sinus.
Prosedur Burr hole (Wilson dkk., 2011)
1. Cukur dan posisikan tengkorak, daerah temporal terletak di atas antara telinga
dan batas eksternal orbital, di sisi yang dicurigai terjadinya fraktur.
2. Suntikkan anestesi lokal ke kulit kepala, dan membuat sayatan 3 cm melalui
kulit dan fasia temporal. Pisahkan otot temporalis dan insisi periosteum.
3. Kontrol perdarahan dengan retraktor atau kauter listrik. Epinefrin pada anestesi
lokal juga akan membantu mengontrol perdarahan superfisial.
4. Buat burr hole dengan ukuran 2 cm di atas dan di balik jalur orbital tulang
frontal. Menggunakan bor, mulai membuat lubang melalui lapisan luar dan
dalam tengkorak. Gunakan sedikit tekanan saat memotong lapisan dalam untuk
menghindari penetrasi tembus ke otak. Berganti ke burr hole kerucut atau
silindris untuk berhati-hati dalam memperbesar pembukaan.
14
Gambar 2.3 (A) dan (B) penandaan lokasi dan kontrol perdarahan dengan klem
Sumber: www.neurologyindia.com
5. . Bila perlu perbesar pembukaan dengan ronguer:
a. Kontrol pendarahan dari cabang anterior dari arteri meningeal medial
menggunakan kauter atau ligasi
b. Kontrol perdarahan vena dengan sepotong otot dihancurkan atau spons
gelatin
c. Kontrol perdarahan dengan bone wax
Gambar 2.4 dan 2.5 Lokasi insisi dan lubang burr hole
Sumber: http://www.sjtrem.com
15
Gambar 2.6 Alat Hudson Brace dan mata bor
Sumber: http://www.rbmedical.co.uk
6. Cuci hematoma ekstradural dengan jarum suntik. Jika hematoma ekstradural
tidak ditemukan , cari hematoma subdural . Jika ada, mempertimbangkan
membuka dura untuk melepaskannya atau menutup secara situasional untuk
perawatan di rumah sakit rujukan. Jika tidak ada hematoma ditemukan.
Gambar 2.7 Lokasi melakukan burr hole
Sumber: http://www.rcsed.ac.uk
16
7. Tutup kulit kepala dalam dua lapisan . Jika ada kebocoran cairan dural , tidak
menggunakan saluran tetapi menutup luka secara ketat untuk mencegah infeksi
sekunder .
2.2.7. Rawatan Pasca operasi
Monitor keadaan neurologis dan tanda-tanda vital. Biasanya terdapat nyeri
yang relatif ringan terkait dengan burr hole. Perlu obat analgetik untuk setiap rasa
sakit yang terkait dengan insisi. Segera setelah waktunya cabut benang (5-7 hari),
pasien kembali ke RS. Tahap ini tidak berarti istirahat, tetapi kegiatan atletik selama
periode ini tidak dianjurkan untuk memberikan kesempatan luka insisi sembuh total.
Hindari semua jenis kegiatan yang memungkinkan terjadinya resiko hantaman
terhadap kepala (WHO, 2009).
Pasien diperbolehkan melanjutkan aktivitas harian selama tubuh masih
sanggup, namun hindari aktifitas yang terlalu ekstrem. Misalnya, berjalan
diperbolehkan, namun hindari berlari-lari terlalu kencang. Pasien harus berpikiran
positif. Pasien tidak diperbolehkan mengemudi sampai diizinkan oleh dokter bedah.
Pasien diperbolehkan mandi setelah pulang ke rumah atau ketika
diinstruksikan. Tutup sayatan dengan bungkus plastik sebelum mandi dan lepaskan
sesudah mandi. Pasien diperbolehkan mandi tanpa menutup luka insisi satu minggu
setelah benang dicabut. Kegiatan seksual diijinkan (WHO, 2009).
Jika pasien mengalami pembengkakan, kemerahan atau terbukanya insisi, atau
jika ada cairan bening mengalir dari sana, atau mengalami demam, leher kaku atau
kedinginan, segera hubungi dokter. Jika pasien mengalami kejang atau penurunan
kesadaran, segera kembali ke rumah sakit (WHO, 2009).
2.2.7 Prognosis (Habibi dkk., 2012).
1. EDH: bila cepat dioperasi mortalitas kurang dari 10%
2. SDH:
17
a. Serlig dkk., operasi dalam 4 jam pertama mortalitas 30%, operasi setelah 4
jam mortalitas 90%
b. Hasselberger dkk.,: pasien koma kurang dari 2 jam mortalitas 47%, pasien
koma lebih dari 2 jam mortalitas 80%
3. ICH: mortalitas 27% -50%
2.3 Burr Hole Emergensi
Pada dasarnya, dokter non-ahli bedah dapat melakukan evakuasi burr hole
darurat pada hematoma intrakranial dalam kondisi tertentu seperti ketika tenaga
spesialis bedah saraf tidak tersedia. Meluasnya hematoma intrakranial dengan cepat
terkait dengan dilatasi pupil dapat secara cepat menjadi fatal. Dilatasi pupil yang
terjadi dengan bukti pencitraan yang sesuai dan ditemukan hematoma intrakranial
dianggap sebagai sebuah indikasi untuk melakukan burr hole darurat (Wilson dkk.,
2011).
Hematoma ekstra-aksial (ekstradural/subdural) menurut definisi adalah
hematom yang berada di luar otak dan bukan cedera otak primer. Keterlambatan
dalam menghilangkan kompresi otak oleh bekuan darah dapat menyebabkan cedera
otak dan kematian. Penanganan yang ideal dilakukan langsung oleh spesialis bedah
saraf. Namun di banyak daerah di dunia, dokter bedah saraf ini tidak selalu tersedia
dan risiko keterlambatan terkait dengan rujukan sekunder harus diimbangi dengan
risiko dari prosedur yang dilakukan oleh dokter non-spesialis. Pada sebuah pusat
bedah saraf di Inggris, median waktu lamanya rujukan transfer adalah 5,25 jam untuk
pasien dengan hematoma ekstradural dan 6 jam untuk hematoma subdural. Waktu
rujuk yang begitu lama dari seorang pasien dengan dilatasi pupil menetap/melebar
menyebabkan prognosis yang buruk. Merujuk pasien seperti ini dapat disamakan
dengan merujuk/ mengirim pasien dengan penyakit kritis lainnya namun patologinya
reversibel seperti tension pneumotoraks (Wilson dkk., 2011).
Ada banyak laporan mengenai dokter/tenaga medis non-spesialis berhasil
melakukan burr hole darurat. Burr hole darurat tersebut sering dilakukan dengan bor-
18
bor peralatan rumah tangga dan alat-alat darurat lainnya yang bila dilakukan dengan
sukses, telah menarik perhatian media. Meskipun telah ada kemajuan teknis yang
signifikan dalam keselamatan pengerjaan prosedur burr hole ini sejak zaman burr
hole “eksplorasi”, telah terjadi penurunan jumlah ahli bedah yang memiliki
pengalaman maupun yang bersedia untuk melakukan prosedur burr hole ini.
Sejumlah dokter bedah umum yang bekerja di daerah terpencil di Australia lebih
percaya diri dalam melakukan prosedur bedah saraf sederhana bahkan meskipun
mereka mungkin tidak memiliki pelatihan yang lebih maju daripada ahli bedah umum
yang bekerja lebih dekat dengan pusat-pusat bedah saraf. Hal ini mungkin malah
berakibat dikuasainya penanganan yang lebih optimal di daerah terpencil. Dengan
pelatihan dan keterampilan yang memadai, burr hole drainase pada hematom
ekstradural akut dapat dilakukan oleh non-ahli bedah saraf. Meskipun demikian,
harus ditekankan bahwa prosedur ini hanya dapat dilakukan jika tidak mungkin untuk
mengirim pasien ke pusat pelayanan yang lebih sesuai pada waktu yang tepat dan
bahwa prosedur ini harus tidak menunda rujukan. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa upaya tindakan yang dilakukan oleh personil terlatih dan tidak
terlatih dapat mengakibatkan keterlambatan pengiriman pasien dan mengakibatkan
prognosis yang lebih buruk. Hal ini tidak boleh terjadi (Bullock dkk., 2006).
Para peneliti menerangkan pendekatan yang sederhana tentang penempatan
burr hole. Pertimbangan yang penting di sini adalah bahwa burr hole harus
ditargetkan lokasi tindakannya (bukan eksplorasi), dan dilakukan dengan
menggunakan alat yang benar (dan khususnya sebuah bor penembus dengan
mekanisme kopling), dan seharusnya tidak terlalu menunda untuk merujuk pasien
yang biasanya masih memerlukan kraniotomi darurat (Bullock dkk., 2006).
Prosedur burr hole telah menjadi domain tunggal ahli bedah saraf terutama
karena mereka dapat menangani komplikasi bedah. Dengan demikian, non-ahli bedah
saraf tidak lagi akrab dengan teknik ini. Ini menciptakan kevakuman terapi untuk
pasien yang jauh dari perawatan spesialis yang memenuhi kriteria untuk
dilakukan drainase burr hole yang mendesak (Wilson dkk., 2011).
19
Gambar 2.8 Mata bor dengan metode kopling
Sumber: http://www.sjtrem.com
Inti dari kemampuan non-ahli bedah saraf untuk berhasil melakukan tindakan
burr hole adalah mata bor kopling. Ini memungkinkan bor untuk tidak menembus
lapisan dalam tengkorak sehingga risiko “ kejeblos / plunging “ dapat diminimalkan
membuat prosedur ini jauh lebih aman. Jika hematoma masih ada, pasien harus
diusahakan dirujuk dengan cara aman dan jangan ditunda-tunda ke pusat bedah saraf.
Di daerah-daerah terpencil di Australia, ketika prosedur bedah saraf tersebut
dilakukan oleh non-ahli bedah saraf, hasil yang didapat, bisa ditoleransi atau diterima.
Bahkan dalam situasi yang kurang terpencil, non-ahli bedah saraf di rumah sakit
umum kabupaten di Inggris melakukan kraniotomi darurat (Wilson dkk., 2011).
Selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa intervensi bedah bermanfaat
dalam pengelolaan trauma kepala ketika kumpulan darah ekstra-aksial dapat
diangkat. Di masa depan, ketersediaan alat infra-red/ultrasound atau mobile CT scan
yang dekat dari lokasi manapun, dapat berarti bahwa kumpulan darah ekstra-aksial
dapat dideteksi bahkan di lokasi terpencil sekalipun. Namun hal ini tidak akan
20
bermanfaat kecuali waktu untuk intervensi bedah pada tekanan intrakranial
meningkat juga dipersingkat (Wilson dkk., 2011).
Sebelum melakukan burr hole emergensi, harus dipertimbangkan untuk
menghindari intervensi yang tidak perlu. Namun, ketika dihadapkan dengan situasi di
mana angka kematian mendekati 100%, sebuah teknik sederhana, menggunakan
peralatan yang benar bisa menjadi usaha penyelamatan jiwa yang aman dan sempurna
bahkan di tangan non-spesialis (Bullock dkk., 2006).
2.3.1 Indikasi dan Kontraindikasi Burr Hole Emergensi (Wilson dkk., 2011)
Indikasi Kraniostomi “ Burr Hole “ Emergensi:
Pasien dengan penurunan GCS (<8) dengan gambaran pencitraan
menunjukkan hematoma ekstra dural yang menyebabkan pergeseran garis tengah dan
pupil yang tidak sama ketika intervensi bedah saraf yang tepat waktu tidak mungkin
dilakukan. Upaya harus selalu dilakukan untuk membahas gambaran pencitraan
radiologis dan keperluan dari prosedur tindakan ini dengan
ahli bedah saraf.
Kontraindikasi
a. GCS > 8
b. Tidak ada pencitraan radiologis (Kecurigaan klinis sangat tinggi (misalnya
fraktur yang teraba dengan pupil ipsilateral menetap), sementara pasien berada di
daerah yang jauh dari ketersedian pencitraan CT scan dapat menjadi
pengecualian untuk hal ini. Di masa depan perangkat seperti Infrascanner
(sebuah perangkat portabel genggam yang dirancang untuk mendeteksi
hematoma ekstra-aksial dengan menggunakan sinar infra-merah dekat) dapat saja
mengurangi kebutuhan akan pencitraan CT scan formal dalam keadaan darurat.
Namun saat ini, CT scan harus selalu dilakukan, terutama jika seorang non-ahli
bedah saraf sedang mempertimbangkan akan melakukan prosedur burr hole.
c. Sarana intervensi bedah saraf tersedia dalam rentang waktu yang memungkinkan.
21
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri,
serta mengakibatkan gangguan neurologis. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih
baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat. Burr hole adalah suatu
tindakan pembuatan lubang pada tulang kepala yang bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya perdarahan intrakranial, sebelum tindakan definitif kraniotomi
dilakukan. Hematoma akut ekstradural dan subdural adalah dua keadaan yang dapat
mengambil manfaat dari burr hole. Riwayat trauma dan diagnosis klinis yang jelas
sangat penting sebelum melakukan prosedur.
Pada dasarnya, dokter non-ahli bedah dapat melakukan evakuasi burr hole
darurat pada hematoma intrakranial dalam kondisi tertentu seperti ketika tenaga
spesialis bedah saraf tidak tersedia. Dengan pelatihan dan keterampilan yang
memadai, burr hole drainase pada hematom ekstradural akut dapat dilakukan oleh
non-ahli bedah saraf. Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa prosedur ini
hanya dapat dilakukan jika tidak mungkin untuk mengirim pasien ke pusat pelayanan
yang lebih sesuai pada waktu yang tepat dan bahwa prosedur ini harus tidak menunda
rujukan. Penanganan yang cepat dan tepat akan menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas. Time is brain.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Soebroto SW. 2009. Penerapan Ergo-Safety untuk Meningkatkan
Produktivitas Kerja Industri Nasional. Institut Teknologi Sepuluh November:
Surabaya.
2. Safrizal. 2013. Hubungan Nilai Oxygen Delivery dengan Outcome Rawatan
Pasien Cedera Kepala Sedang. Universitas Andalas:Padang.
3. Irwana O.2009. Cedera Kepala. Universitas Riau: Pekanbaru.
4. Arsani. 2012. Cedera Kepala. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
5. Subaiya S, Roberts I, Komolafe E.2012. Predicting Intracranial Hemorrhage
After Traumatic Brain Injury in Low and Middle-Income Countries: A
Prognostic Model Based on a Large Multi-Center, International Cohort. BMC
Emergency Medicine 12:17:1-7.
6. Ishfaq A, Ahmed I, Bhatti. 2009. Effect of Head Positioning on Outcome
After Burr Hole Craniostomy for Chronic Subdural Haematoma. Journal of
The College of Physicians and Surgeons Pakistan 19:8:492-495.
7. Japardi I.2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif. Universitas
Sumatera Utara: Medan.
8. Astrand R, Romner B.2012. Classification of Head Injury. Springer: Berlin.
9. Darwin M.1994.A Possible Origin for The Burr Hole Drainage Phenomenon.
Diperoleh dari: http://www.cryonet.org/cgi-bin/dsp.cgi?msg=2631 (diakses:
3/10/2013).
10. Fatigba HO, Allode AS, Solde KM. 2013. The Exploratory Burr Hole:
Indication and Result at One Departemental Hospital of Benin. ISBN
Surgery 4:13:46-57.
11. Adewumi D, Colohan A. 2007. Decompressive Craniectomy: Surgical
Indication, Clinical Consideration, and Rationale. Neurosurgery 13:5:89-94.
23
12. Eriktapan. 2009. Burr Hole Diagnostik Pada Epidural Hematom dan Subdural
Hematom. Diperoleh: http:// bedahumum. wordpress.com/tag/burr- holes-
diagnostik/ (Diakses: 3/10/13).
13. Weigel R, Schimedek P, Krauss J. 2003. Outcome of Contemporary Surgery
for Chronic Subdural Haematoma: Evidence Based Review. J Neurolsurg
Psychiatry 74:937-943.
14. Wilson MH, Wise D, Davies G, Lockey D. 2011. Emergency Burr Hole: How
to do it. Scandinavian Journals of Trauma 20:24:78-86.
15. World Health Organization. 2009. Guidelines for Safe Surgery. World Health
Organization: Geneva.
16. Habibi Z, Meybodi AT, Mirsadeghi. 2011. Burr-Hole Drainage for Treatment
of Acute Epidural Hematoma in Coagulopathic Patients. Neurotrauma
29:11:67-78.
17. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar. 2006. Surgical Management of Traumatic
Brain Injury. Neurosurgery 58:52: 142-82.
18. Oestern, Jorg H, Trentz. 2011. Head, Thoracic, Abdominal, and Vascular
Injuries. Springer: Berlin.
19. Tjandra J, Clunie GJ, Kaye AH. 2005. Textbook of Surgery. Willey-
Blackwell: London.
20. Farquharson M, Moran B. 2005. Farquharson’s Textbook of Operative
General Surgery. Hodder Arnold: London.

More Related Content

What's hot

Essay sel punca neural
Essay sel punca neuralEssay sel punca neural
Essay sel punca neuralAgung Nugraha
 
ASKEP SOL DI RSUP. Dr. WAHIDDIN SUDIROHUODO
ASKEP SOL DI RSUP. Dr. WAHIDDIN SUDIROHUODOASKEP SOL DI RSUP. Dr. WAHIDDIN SUDIROHUODO
ASKEP SOL DI RSUP. Dr. WAHIDDIN SUDIROHUODOWawan Akibu
 
Askep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakangAskep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakangAlvian P Windiramadhan
 
Pr presentasi kasus
Pr presentasi kasusPr presentasi kasus
Pr presentasi kasusshintasissy
 
241124484 209414970-case-vertigo
241124484 209414970-case-vertigo241124484 209414970-case-vertigo
241124484 209414970-case-vertigohomeworkping4
 
Askep space occupying lession ( sol )
Askep space occupying lession ( sol )Askep space occupying lession ( sol )
Askep space occupying lession ( sol )Stiawan Akbar
 
Trauma kapitis rin gan m usriani AKPER PEMKAB MUNA
Trauma kapitis rin gan m usriani AKPER PEMKAB MUNATrauma kapitis rin gan m usriani AKPER PEMKAB MUNA
Trauma kapitis rin gan m usriani AKPER PEMKAB MUNAOperator Warnet Vast Raha
 
Asuhan Keperawatan Trauma Medulla Spinalis
Asuhan Keperawatan Trauma Medulla SpinalisAsuhan Keperawatan Trauma Medulla Spinalis
Asuhan Keperawatan Trauma Medulla SpinalisFransiska Oktafiani
 

What's hot (14)

Askep tumor otak yani 44444 AKPER PEMDA MUN
Askep tumor otak yani 44444 AKPER PEMDA MUNAskep tumor otak yani 44444 AKPER PEMDA MUN
Askep tumor otak yani 44444 AKPER PEMDA MUN
 
Essay sel punca neural
Essay sel punca neuralEssay sel punca neural
Essay sel punca neural
 
makalah
makalahmakalah
makalah
 
ASKEP SOL DI RSUP. Dr. WAHIDDIN SUDIROHUODO
ASKEP SOL DI RSUP. Dr. WAHIDDIN SUDIROHUODOASKEP SOL DI RSUP. Dr. WAHIDDIN SUDIROHUODO
ASKEP SOL DI RSUP. Dr. WAHIDDIN SUDIROHUODO
 
Askep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakangAskep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakang
 
Makalah trauma kapitis
Makalah  trauma kapitisMakalah  trauma kapitis
Makalah trauma kapitis
 
Pr presentasi kasus
Pr presentasi kasusPr presentasi kasus
Pr presentasi kasus
 
241124484 209414970-case-vertigo
241124484 209414970-case-vertigo241124484 209414970-case-vertigo
241124484 209414970-case-vertigo
 
Askep strok non hemoragi AKPER PEMKAB MUNA
Askep strok non hemoragi AKPER PEMKAB MUNAAskep strok non hemoragi AKPER PEMKAB MUNA
Askep strok non hemoragi AKPER PEMKAB MUNA
 
Askep space occupying lession ( sol )
Askep space occupying lession ( sol )Askep space occupying lession ( sol )
Askep space occupying lession ( sol )
 
Trauma kapitis rin gan m usriani AKPER PEMKAB MUNA
Trauma kapitis rin gan m usriani AKPER PEMKAB MUNATrauma kapitis rin gan m usriani AKPER PEMKAB MUNA
Trauma kapitis rin gan m usriani AKPER PEMKAB MUNA
 
Askep trauma kepala
Askep trauma kepalaAskep trauma kepala
Askep trauma kepala
 
Rubrik bs
Rubrik bsRubrik bs
Rubrik bs
 
Asuhan Keperawatan Trauma Medulla Spinalis
Asuhan Keperawatan Trauma Medulla SpinalisAsuhan Keperawatan Trauma Medulla Spinalis
Asuhan Keperawatan Trauma Medulla Spinalis
 

Similar to Referat bang guruh revisi 1

Makalah trauma kapitis
Makalah  trauma kapitisMakalah  trauma kapitis
Makalah trauma kapitisWarnet Raha
 
Trauma Kepala .pptx
Trauma Kepala .pptxTrauma Kepala .pptx
Trauma Kepala .pptxHABIBIAKBAR1
 
Askep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakangAskep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakangAlvian P Windiramadhan
 
Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)ami223
 
Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)ami223
 
Konsep dasar penyakit
Konsep dasar penyakitKonsep dasar penyakit
Konsep dasar penyakitaniiyuliani
 
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala &amp; cedera
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala &amp; cederaKegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala &amp; cedera
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala &amp; cederaFerrayulinda
 
Askep trauma kapitis sedang AKPER PEMKAB MUNA
Askep trauma kapitis sedang  AKPER PEMKAB MUNA Askep trauma kapitis sedang  AKPER PEMKAB MUNA
Askep trauma kapitis sedang AKPER PEMKAB MUNA Operator Warnet Vast Raha
 
PBLS5_1102021009_Afif Aziz Firdausy.pdfwww
PBLS5_1102021009_Afif Aziz Firdausy.pdfwwwPBLS5_1102021009_Afif Aziz Firdausy.pdfwww
PBLS5_1102021009_Afif Aziz Firdausy.pdfwwwAfifAziz15
 
Askep trauma kapitis sedang akbid paramata muna
Askep trauma kapitis sedang akbid paramata muna Askep trauma kapitis sedang akbid paramata muna
Askep trauma kapitis sedang akbid paramata muna Operator Warnet Vast Raha
 
TUGAS HOME CARE MASYARAKAT PESISIR.docx
TUGAS HOME CARE MASYARAKAT PESISIR.docxTUGAS HOME CARE MASYARAKAT PESISIR.docx
TUGAS HOME CARE MASYARAKAT PESISIR.docxandrimitra
 

Similar to Referat bang guruh revisi 1 (20)

Bab ii fix
Bab ii fixBab ii fix
Bab ii fix
 
Makalah trauma kapitis
Makalah  trauma kapitisMakalah  trauma kapitis
Makalah trauma kapitis
 
Makalah trauma kapitis
Makalah  trauma kapitisMakalah  trauma kapitis
Makalah trauma kapitis
 
Trauma Kepala .pptx
Trauma Kepala .pptxTrauma Kepala .pptx
Trauma Kepala .pptx
 
Askep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakangAskep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakang
 
Lp ckr
Lp ckrLp ckr
Lp ckr
 
Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)
 
Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Konsep dasar penyakit
Konsep dasar penyakitKonsep dasar penyakit
Konsep dasar penyakit
 
TRAUMA_KEPALA.ppt
TRAUMA_KEPALA.pptTRAUMA_KEPALA.ppt
TRAUMA_KEPALA.ppt
 
tak
taktak
tak
 
Ca
CaCa
Ca
 
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala &amp; cedera
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala &amp; cederaKegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala &amp; cedera
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala &amp; cedera
 
Konsep dasar stroke
Konsep dasar strokeKonsep dasar stroke
Konsep dasar stroke
 
Askep trauma kapitis sedang AKPER PEMKAB MUNA
Askep trauma kapitis sedang  AKPER PEMKAB MUNA Askep trauma kapitis sedang  AKPER PEMKAB MUNA
Askep trauma kapitis sedang AKPER PEMKAB MUNA
 
PBLS5_1102021009_Afif Aziz Firdausy.pdfwww
PBLS5_1102021009_Afif Aziz Firdausy.pdfwwwPBLS5_1102021009_Afif Aziz Firdausy.pdfwww
PBLS5_1102021009_Afif Aziz Firdausy.pdfwww
 
Mkla trauma in
Mkla trauma inMkla trauma in
Mkla trauma in
 
Askep trauma kapitis sedang akbid paramata muna
Askep trauma kapitis sedang akbid paramata muna Askep trauma kapitis sedang akbid paramata muna
Askep trauma kapitis sedang akbid paramata muna
 
TUGAS HOME CARE MASYARAKAT PESISIR.docx
TUGAS HOME CARE MASYARAKAT PESISIR.docxTUGAS HOME CARE MASYARAKAT PESISIR.docx
TUGAS HOME CARE MASYARAKAT PESISIR.docx
 

Referat bang guruh revisi 1

  • 1. 1 BAB I PENDAHULUAN Cedera kepala adalah salah satu masalah neurologi yang tampaknya kian meningkat seiring dengan perkembangan kota-kota yang semakin banyak dan semakin sibuk. Perkembangan kendaraan dan keberadaan jalan tidak seimbang, banyaknya dibangun gedung-gedung dengan tingkat yang tinggi juga memberikan kontribusi yang cukup terhadap perkembangan kasus ini. Akibat perubahan pola kesibukan masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memberikan dampak yang besar pula (Soebroto, 2009). Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neorologi harus segera dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Safrizal, 2013). Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%- 53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto
  • 2. 2 Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%- 20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal (Irwana, 2009). Kematian sebagai akibat dari cedera kepala yang dari tahun ke tahun semakin bertambah, pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah penderita cedera kepala yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau sesuai dengan harapan kita. Angka kejadian cedera kepala (58%) laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga kesalamatan di jalan masih rendah disamping penanganan penderita yang belum benar dan rujukan yang terlambat (Arsani, 2012). Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian pada 40-50% pasien trauma kepala dan menyebabkan kecatatan jangka panjang. Sistem respon emergensi yang cepat, tepat dan terorganisasi dengan baik dengan mentransfer pasien cedera kepala dengan segera ke pusat penanganan trauma terdekat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala (Subaiya dkk., 2012). Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Salah satu penanganan bedah cedera kepala terbanyak adalah burr hole. Metode evakuasi ini merupakan metode bedah yang paling sedikit invasif (Ishfaq dkk., 2009). Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah perdarahan ulang. Prognosa pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat (Japardi, 2004).
  • 3. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cedera Kepala Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Irwana, 2009). 2.1.1. Klasifikasi Cedera Kepala A. Berdasarkan mekanisme (Irwana, 2009) 1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. 2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda tumpul. B. Berdasarkan beratnya (Astrand dan Romner, 2012). 1. Ringan (GCS 14-15) 2. Sedang (GCS 9-13) 3. Berat (GCS 3-8) C. Berdasarkan morfologi (Astrand dan Romner, 2012). 1. Fraktura tengkorak a. Kalvaria i. Linear atau stelata ii. Depressed atau nondepressed iii. Terbuka atau tertutup b. Dasar tengkorak i. Dengan atau tanpa kebocoran CNS ii. Dengan atau tanpa paresis N VII
  • 4. 4 2. Lesi intrakranial a. Fokal i. Epidural ii. Subdural iii. Intraserebral b. Difusa i. Komosio ringan ii. Komosio klasik 3. Cedera aksonal difusa 2.1.2. Prognosis Cedera Kepala Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat. Pasien meninggal karena beberapa faktor yakni (Japardi, 2004): a. Prolong hipoksia dan hipotensi b. Herniasi otak c. Komplikasi-komplikasi sistemik Pada salah satu studi prospektif dengan CT Scan didapat hasil (Japardi, 2004): a. Pada cedera kepala berat : 30% CT Scan normal dan 70% abnormal b. Pada cedera kepala ringan yang pemah mengaJami pingsan: 18% CT Scan abnormal c. 5% diantaranya memerlukan tindakan operasi. d. Pada cedera kepala sedang: 40% CT Scan abnormal dan 8% memerlukan tindakan operasi. Dari bank data traumatic center ditemukan pada studi 275 pasien dengan hematoma supratentorial didapat: 58% SDH, 26% ICH dan 16% EDH.
  • 5. 5 2.1.3. Tindakan Operasi Cedera Kepala Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah perdarahan ulang. lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini (Japardi, 2004): 1. Status neurologis 2. Status radiologis 3. Pengukuran tekanan intrakranial Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial (Japardi, 2004): 1. Massa hematoma kira-kira 40 cc 2. Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm 3. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau kurang. 4. Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm. Hematoma akut ekstradural dan subdural adalah dua keadaan yang dapat mengambil manfaat dari burr hole. Riwayat trauma dan diagnosis klinis yang jelas sangat penting sebelum melakukan prosedur (Tausy dkk., 2008). 1. Hematoma ekstradural akut Tanda-tanda klasik terdiri dari: a. Kehilangan kesadaran diikuti lusid interval, dengan perburukan yang cepat b. Perdarahan arteri meningea medial dengan peningkatan cepat tekanan intrakranial c. Muncul hemiparesis di sisi yang berlawanan dengan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan daerah yang terkena dampak, dengan kerusakan yang cepat. 2. Hematoma subdural akut Hematoma subdural akut, adalah darah yang membeku dalam ruang subdural disertai memar parah pada otak yang terkena, terjadi dari robeknya vena yang
  • 6. 6 menjembatani antara korteks dan dura. Penanganannya adalah pembedahan dan setiap usaha harus dibuat untuk melakukan burr hole dekompresi. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan. Membuat burr hole melalui tengkorak untuk mengevakuasi hematoma biasanya adalah tindakan darurat dalam usaha menyelamatkan jiwa. 2.2. Burr Hole Burr hole adalah suatu tindakan pembuatan lubang pada tulang kepala yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perdarahan intrakranial, sebelum tindakan definitif kraniotomi dilakukan. Suatu pembedahan dengan membuat lubang ke dalam tengkorak dengan cara mengebor, sehingga duramater terlihat, memiliki tujuan untuk mengobati masalah kesehatan terkait peninggian tekanan intrakranial. Pada era modern seperti sekarang ini, biasanya hanya digunakan untuk mengobati hematoma epidural dan subdural. Prosedur ini pertama kali dilakukan pada bulan Januari tahun 1980 (Darwin, 1994). 2.2.1. Burr Hole Eksplorasi Ketersediaan alat CT scan telah membatasi kebutuhan kraniotomi diagnostik secara luas. Burr hole eksplorasi adalah membuat lubang di beberapa bagian kranium untuk mengeluarkan bekuan darah di bawah kranium dimana fasilitas CT scan tidak tersedia. Burr hole eksplorasi dipertimbangkan pada pasien dengan midriasis yang disebabkan oleh kelainan di otak, pada pasien cedera kepala dengan hematom dan untuk mengekslusikan lesi massa kontralateral pada pasien dengan perkembangan edema otak berat tiba-tiba secara intraoperatif. Burr hole eksploratif ditempatkan di bagian pupil yang midriasis, apabila tidak ada midriasis, burr hole pertama diletakkan di lokasi fraktur kranium. Burr hole harus dilakukan dengan segera karena golden period epidural hematom adalah (Tjandra dkk., 2005).
  • 7. 7 Pasien dalam keadaan berbaring, kepala dicukur total, diletakkan bantal berbentuk donat di bawah kepala atau sebuah bantal berbentuk tapal kuda secara tepat, sehingga memungkinkan untuk merubah posisi kepala selama prosedur dan mencapai sisi kepala kontra lateral. Lokasi burr hole disesuaikan dengan gejala neurologis (contoh reaktivitas pupil/ diameter, kelemahan tungkai, lateralisasi ekstremitas). Apabila tidak terdapat bekuan darah epidura, dura dibuka untuk mengeksplorasi bekuan darah subdural. Setelah epidural hematom atau subdural hematom didiagnosis, burr hole diperbesar sehingga memungkinkan hematom untuk diaspirasi untuk dekompresi sementara sebelum prosedur kraniotomi dilakukan (Farquharson dan Moran, 2005). Gambar 2.1 Lokasi Burr Hole Eksplorasi Sumber: http://www.pediatricneurosciences.com/ Menurut Natarajan dkk., dari 110 pasien yang mengalami cedera kepala berat dan dilakukan burr hole eksplorasi, 61 pasien dinyatakan burr eksplorasi positif sementara 49 pasien dinyatakan negatif. Hasil penelusuran post mortem
  • 8. 8 ditemukan hanya sedikit bekuan darah yang tersisa. Penelitian tersebut mengindikasikan burr hole eksplorasi diagnostik merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi masa intrakranial di tempat-tempat dimana fasilitas CT scan tidak tersedia (Oestern Dkk., 2011). Burr hole eksploratif belum dikatakan negatif sebelum seluruh sisi kepala di borr. Apabila dipastikan eksplorasi negatif di satu sisi, maka burr-hole dilakukan di sisi kontralateral. Pada hematomaa yang besar dapat terlihat bekuan darah di ketiga sisi burr hole. Akhirnya, setelah eksplorasi dari kedua hemisfer dinyatakan negatif, pasien diletakkan dalam posisi telungkup dan 2 burr hole tambahan dilakukan di tulang oksipital. Keenam lubang tersebut cukup untuk mengurangi tekanan intrakranial. Ketika tidak ada hematom atau massa yang dievakuasi, patologi yang paling sering mendasari adalah edema otak akibat konkusi otak. Selanjutnya, pemeriksaan CT scan dilakukan secepat mungkin dan pasien dirujuk ke tempat yang lebih lengkap. Suatu keputusan yang sulit harus dibuat ketika tidak terdapatnya fasilitas pencitraan apakah akan mengeksplorasi sisi kontralateral atau ipsilateral (Tjandra dkk., 2005). Ada beberapa tanda yang membantu dokter bedah untuk melakukan burr hole eksplorasi (Oestern dkk., 2011): a. Eksplorasi sisi pupil yang berdilatasi b. Hemiparesis atau hemiplegia mengindikasikan kompresi kontralateral c. Hematoma biasanya merembes ke kulit kepala, hal ini disebabkan derah yang mengalir melalui celah-celah fraktur ke dalam jaringan lunak. 2.2.2. Indikasi Burr Hole Indikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak memungkinkan dan didapat (Fatigba dkk., 2013): a. Dilatasi pupil ipsilateral b. Hemiparese kontralateral
  • 9. 9 c. Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba. Tujuan tindakan burr hole (Eriktapan, 2009): a. Mengetahui ada tidaknya perdarahan intrakranial b. Mengurangi tekanan intrakranial c. Mengetahui ukuran serta posisi letak perdarahan sebelum tindakan definitif kraniotomi dilakukan. 2.2.3 Resiko Tindakan Burr Hole Burr hole salah satunya pada hematoma subdural adalah prosedur umum untuk ahli bedah. Risiko Burr hole dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) yang berkaitan dengan daerah operasi, dan 2) yang berkaitan dengan risiko anestesi (Weigel, dkk., 2003). 1. Risiko yang berkaitan dengan daerah operasi: a. Tindakan Bedah: Pasien ditempatkan dalam posisi terlentang (pada punggung). Terdapat resiko, tidak terjadinya penyembuhan kulit kepala pasca bedah. Meskipun sangat jarang, bisa terjadi cedera atau robeknya kulit kepala karena pemakaian klem Mayfield. b. Cedera otak: Operasi yang menyebabkan paparan (exposure) terhadap permukaan otak. Terdapat kemungkinan terjadi cedera otak. Jika demikian, ini bisa mengakibatkan kelemahan, kejang, stroke, lumpuh, koma atau kematian. Ada kemungkinan masih terdapat cairan sisa atau darah, yang suatu saat akan membutuhkan operasi lanjutan. Jika cairan di sekitar otak terbagi-bagi dalam kantong-kantong yang dipisahkan oleh membran, maka operasi cenderung tidak dapat mengeluarkan semua cairan, dan malah hanya akan mengeluarkan sebagian kecil saja. Hal tersebut juga akan membutuhkan operasi lanjutan. Operasi kraniotomi kemungkinan besar akan mampu mengangkat selaput dan hematom.
  • 10. 10 c. Risiko Umum: Termasuk penyulit yang umum ditemui seperti, pendarahan, infeksi, stroke, kelumpuhan, koma dan kematian. Sayatan pada bagian kepala bawah umumnya sembuh dengan baik, namun sayatan tersebut bisa saja nyeri, atau sembuh dengan tidak sempurna, seperti muncul keloid. Ada juga kemungkinan bahwa operasi tidak dapat meringankan gejala, yang mana operasi tersebut memang bertujuan untuk meringankan gejala. Keluhan yang merupakan suatu indikasi sebuah operasi dilakukan, bisa saja kambuh dan membutuhkan operasi lanjutan di kemudian hari. Selain itu, meskipun setiap upaya dilakukan untuk melindungi semua area tubuh dari tekanan terhadap saraf, kulit dan tulang, namun cedera terhadap daerah-daerah ini tetap dapat terjadi, terutama pada kasus-kasus operasi yang lama. d. Risiko Anestesi: trombosis di tungkai, serangan jantung, efek samping obat bius, reaksi alergi terhadap obat bius, dan reaksi transfusi darah, jika diberikan. 2.2.4 Peralatan Burr Hole Peralatan bedahnya standar (pisau, self-retainer, swab, bor, hock tajam dan tumpul dan pisau cadangan). Jika memungkinkan, diatermi bipolar harus disiapkan. Bor genggam (bor Hudson-Brace atau yang bertenaga udara) harus memiliki perforator yang spesifik (misalnya mata bor kopling perforator (26-1221, Codman, Johnson dan Johnson, Chicago, USA)). Semua peralatan harus disimpan bersama- sama dan siap untuk digunakan di instalasi gawat darurat atau ruang operasi. Hal yang penting pada saat persiapan adalah memeriksa mata bor cocok dengan bor (Wilson dkk., 2012).
  • 11. 11 Gambar 2.2 Peralatan bedah saraf Sumber: www.primary-surgery.org 2.2.5 Persiapan Pra Operasi (WHO, 2009). a. Inform concern. b. Cegah hipotensi, hipoksia. c. Periksa CT scan, foto skedel, foto thoraks dan servikal. d. Dua jalur infus line menggunakan blood set. e. Periksa analisis gas darah, elektrolit dan darah rutin serta cross match f. Pasang kateter g. Antibiotik profilaksis sebelum operasi dimulai. h. ETT yang adekuat. i. lindungi kedua mata dari cairan, udara kering dan tekanan. 2.2.6. Teknik Operasi 1. Burr hole eksplorasi (Fatigba dkk., 2013). a. Tentukan areanya : di sisi pupil yang dilatasi, kontralateral hemiparese.
  • 12. 12 b. Burr hole I : di temporal walaupun frakturya di lokasi yang berbeda. Bila positif lanjutkan dengan kraniotomi. Bila berhasil lakukan langkah burr hole selanjutnya. c. Burr hole II : di frontal d. Burr hole III : di parietal, bila berhasil dilakukan disisi sebaliknya. e. Ada yang menambahkan burr hole IV di fossa posterior f. Insisi linier dan bila perlu dilanjutkan dengan bentuk tanda tapal kuda g. Bila duramater tampak tegang dan kebiruan tapi pembekuan darah (clotting) belum ditemukan sebaiknya dilakukan lebih dahulu burr hole bilateral baru mengintip duramater karena sering subdural tersebut hanya tipis. 2. Burr hole pada epidural hematom (Bullock dkk., 2006): a. Lokasi: 50% ditemporal, 15%-20% di frontal dan sisanya di occipital, fossa posterior dan parietal b. bila ada lesi campuran (hipodens dan hiperdens) curigai adanya gangguan pembekuan darah. c. teknik: i. Insisi bentuk question mark atau tapal kuda ii. Burr hole I di daerah yang paling banyak bekuan darah (clothing) biasanya di lobus temporal, bila perlu dilanjutkan dulu kraniektomi kecil dan evakuasi clothing untuk mengurangi tekanan, lalu dilanjutkan kraniotomi untuk mengevakuasi massa. iii. Bila duramater tegang kebiruan lakukan pengintipan dura iv. Kemudian duramater dijahit dan dilakukan jahit gantung dura 3. Tindakan pada subdural hematom (Bullock dkk., 2006): a. lokasi paling sering di temporal dan parietal b. insisi bentuk tapal kuda atau tanda tanya c. Kraniotomi sevisual mungkin dan bila ada clothing kecil dan tidak jelas terlihat sebaiknya ditinggalkan. d. duramater dibuka dan dievakuasi clothingnya.
  • 13. 13 e. duramater dijahit waterproof, bila pembengkakan tidak dapat dikontrol, biarkan terbuka dan tulang tidak dipasang dan langsung diflap. 4. Intraserebral hematom (Bullock dkk., 2006): a. lokasi: 80% -90% di temporal dan frontal b. kraniotomi secara prinsip sama dengan perdarahan intrakranial lainnya c. perdarahan dirawat dengan bipolar d. durameter dijahit dan ditutup waterproof. 5. Hematoma fossa posterior (Bullock dkk., 2006): a. 80% -100% pasien EDH fossa posterior disertai fraktur os occipitalis b. bila ada EDH supra dan infra tentorial, 30% disertai hidrocefalus c. insisi kulit linier/stick golf di para median atau midline d. konservatif bila perdarahan minimal dan stabil terutama bila ada fraktur di atas sinus. Prosedur Burr hole (Wilson dkk., 2011) 1. Cukur dan posisikan tengkorak, daerah temporal terletak di atas antara telinga dan batas eksternal orbital, di sisi yang dicurigai terjadinya fraktur. 2. Suntikkan anestesi lokal ke kulit kepala, dan membuat sayatan 3 cm melalui kulit dan fasia temporal. Pisahkan otot temporalis dan insisi periosteum. 3. Kontrol perdarahan dengan retraktor atau kauter listrik. Epinefrin pada anestesi lokal juga akan membantu mengontrol perdarahan superfisial. 4. Buat burr hole dengan ukuran 2 cm di atas dan di balik jalur orbital tulang frontal. Menggunakan bor, mulai membuat lubang melalui lapisan luar dan dalam tengkorak. Gunakan sedikit tekanan saat memotong lapisan dalam untuk menghindari penetrasi tembus ke otak. Berganti ke burr hole kerucut atau silindris untuk berhati-hati dalam memperbesar pembukaan.
  • 14. 14 Gambar 2.3 (A) dan (B) penandaan lokasi dan kontrol perdarahan dengan klem Sumber: www.neurologyindia.com 5. . Bila perlu perbesar pembukaan dengan ronguer: a. Kontrol pendarahan dari cabang anterior dari arteri meningeal medial menggunakan kauter atau ligasi b. Kontrol perdarahan vena dengan sepotong otot dihancurkan atau spons gelatin c. Kontrol perdarahan dengan bone wax Gambar 2.4 dan 2.5 Lokasi insisi dan lubang burr hole Sumber: http://www.sjtrem.com
  • 15. 15 Gambar 2.6 Alat Hudson Brace dan mata bor Sumber: http://www.rbmedical.co.uk 6. Cuci hematoma ekstradural dengan jarum suntik. Jika hematoma ekstradural tidak ditemukan , cari hematoma subdural . Jika ada, mempertimbangkan membuka dura untuk melepaskannya atau menutup secara situasional untuk perawatan di rumah sakit rujukan. Jika tidak ada hematoma ditemukan. Gambar 2.7 Lokasi melakukan burr hole Sumber: http://www.rcsed.ac.uk
  • 16. 16 7. Tutup kulit kepala dalam dua lapisan . Jika ada kebocoran cairan dural , tidak menggunakan saluran tetapi menutup luka secara ketat untuk mencegah infeksi sekunder . 2.2.7. Rawatan Pasca operasi Monitor keadaan neurologis dan tanda-tanda vital. Biasanya terdapat nyeri yang relatif ringan terkait dengan burr hole. Perlu obat analgetik untuk setiap rasa sakit yang terkait dengan insisi. Segera setelah waktunya cabut benang (5-7 hari), pasien kembali ke RS. Tahap ini tidak berarti istirahat, tetapi kegiatan atletik selama periode ini tidak dianjurkan untuk memberikan kesempatan luka insisi sembuh total. Hindari semua jenis kegiatan yang memungkinkan terjadinya resiko hantaman terhadap kepala (WHO, 2009). Pasien diperbolehkan melanjutkan aktivitas harian selama tubuh masih sanggup, namun hindari aktifitas yang terlalu ekstrem. Misalnya, berjalan diperbolehkan, namun hindari berlari-lari terlalu kencang. Pasien harus berpikiran positif. Pasien tidak diperbolehkan mengemudi sampai diizinkan oleh dokter bedah. Pasien diperbolehkan mandi setelah pulang ke rumah atau ketika diinstruksikan. Tutup sayatan dengan bungkus plastik sebelum mandi dan lepaskan sesudah mandi. Pasien diperbolehkan mandi tanpa menutup luka insisi satu minggu setelah benang dicabut. Kegiatan seksual diijinkan (WHO, 2009). Jika pasien mengalami pembengkakan, kemerahan atau terbukanya insisi, atau jika ada cairan bening mengalir dari sana, atau mengalami demam, leher kaku atau kedinginan, segera hubungi dokter. Jika pasien mengalami kejang atau penurunan kesadaran, segera kembali ke rumah sakit (WHO, 2009). 2.2.7 Prognosis (Habibi dkk., 2012). 1. EDH: bila cepat dioperasi mortalitas kurang dari 10% 2. SDH:
  • 17. 17 a. Serlig dkk., operasi dalam 4 jam pertama mortalitas 30%, operasi setelah 4 jam mortalitas 90% b. Hasselberger dkk.,: pasien koma kurang dari 2 jam mortalitas 47%, pasien koma lebih dari 2 jam mortalitas 80% 3. ICH: mortalitas 27% -50% 2.3 Burr Hole Emergensi Pada dasarnya, dokter non-ahli bedah dapat melakukan evakuasi burr hole darurat pada hematoma intrakranial dalam kondisi tertentu seperti ketika tenaga spesialis bedah saraf tidak tersedia. Meluasnya hematoma intrakranial dengan cepat terkait dengan dilatasi pupil dapat secara cepat menjadi fatal. Dilatasi pupil yang terjadi dengan bukti pencitraan yang sesuai dan ditemukan hematoma intrakranial dianggap sebagai sebuah indikasi untuk melakukan burr hole darurat (Wilson dkk., 2011). Hematoma ekstra-aksial (ekstradural/subdural) menurut definisi adalah hematom yang berada di luar otak dan bukan cedera otak primer. Keterlambatan dalam menghilangkan kompresi otak oleh bekuan darah dapat menyebabkan cedera otak dan kematian. Penanganan yang ideal dilakukan langsung oleh spesialis bedah saraf. Namun di banyak daerah di dunia, dokter bedah saraf ini tidak selalu tersedia dan risiko keterlambatan terkait dengan rujukan sekunder harus diimbangi dengan risiko dari prosedur yang dilakukan oleh dokter non-spesialis. Pada sebuah pusat bedah saraf di Inggris, median waktu lamanya rujukan transfer adalah 5,25 jam untuk pasien dengan hematoma ekstradural dan 6 jam untuk hematoma subdural. Waktu rujuk yang begitu lama dari seorang pasien dengan dilatasi pupil menetap/melebar menyebabkan prognosis yang buruk. Merujuk pasien seperti ini dapat disamakan dengan merujuk/ mengirim pasien dengan penyakit kritis lainnya namun patologinya reversibel seperti tension pneumotoraks (Wilson dkk., 2011). Ada banyak laporan mengenai dokter/tenaga medis non-spesialis berhasil melakukan burr hole darurat. Burr hole darurat tersebut sering dilakukan dengan bor-
  • 18. 18 bor peralatan rumah tangga dan alat-alat darurat lainnya yang bila dilakukan dengan sukses, telah menarik perhatian media. Meskipun telah ada kemajuan teknis yang signifikan dalam keselamatan pengerjaan prosedur burr hole ini sejak zaman burr hole “eksplorasi”, telah terjadi penurunan jumlah ahli bedah yang memiliki pengalaman maupun yang bersedia untuk melakukan prosedur burr hole ini. Sejumlah dokter bedah umum yang bekerja di daerah terpencil di Australia lebih percaya diri dalam melakukan prosedur bedah saraf sederhana bahkan meskipun mereka mungkin tidak memiliki pelatihan yang lebih maju daripada ahli bedah umum yang bekerja lebih dekat dengan pusat-pusat bedah saraf. Hal ini mungkin malah berakibat dikuasainya penanganan yang lebih optimal di daerah terpencil. Dengan pelatihan dan keterampilan yang memadai, burr hole drainase pada hematom ekstradural akut dapat dilakukan oleh non-ahli bedah saraf. Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa prosedur ini hanya dapat dilakukan jika tidak mungkin untuk mengirim pasien ke pusat pelayanan yang lebih sesuai pada waktu yang tepat dan bahwa prosedur ini harus tidak menunda rujukan. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa upaya tindakan yang dilakukan oleh personil terlatih dan tidak terlatih dapat mengakibatkan keterlambatan pengiriman pasien dan mengakibatkan prognosis yang lebih buruk. Hal ini tidak boleh terjadi (Bullock dkk., 2006). Para peneliti menerangkan pendekatan yang sederhana tentang penempatan burr hole. Pertimbangan yang penting di sini adalah bahwa burr hole harus ditargetkan lokasi tindakannya (bukan eksplorasi), dan dilakukan dengan menggunakan alat yang benar (dan khususnya sebuah bor penembus dengan mekanisme kopling), dan seharusnya tidak terlalu menunda untuk merujuk pasien yang biasanya masih memerlukan kraniotomi darurat (Bullock dkk., 2006). Prosedur burr hole telah menjadi domain tunggal ahli bedah saraf terutama karena mereka dapat menangani komplikasi bedah. Dengan demikian, non-ahli bedah saraf tidak lagi akrab dengan teknik ini. Ini menciptakan kevakuman terapi untuk pasien yang jauh dari perawatan spesialis yang memenuhi kriteria untuk dilakukan drainase burr hole yang mendesak (Wilson dkk., 2011).
  • 19. 19 Gambar 2.8 Mata bor dengan metode kopling Sumber: http://www.sjtrem.com Inti dari kemampuan non-ahli bedah saraf untuk berhasil melakukan tindakan burr hole adalah mata bor kopling. Ini memungkinkan bor untuk tidak menembus lapisan dalam tengkorak sehingga risiko “ kejeblos / plunging “ dapat diminimalkan membuat prosedur ini jauh lebih aman. Jika hematoma masih ada, pasien harus diusahakan dirujuk dengan cara aman dan jangan ditunda-tunda ke pusat bedah saraf. Di daerah-daerah terpencil di Australia, ketika prosedur bedah saraf tersebut dilakukan oleh non-ahli bedah saraf, hasil yang didapat, bisa ditoleransi atau diterima. Bahkan dalam situasi yang kurang terpencil, non-ahli bedah saraf di rumah sakit umum kabupaten di Inggris melakukan kraniotomi darurat (Wilson dkk., 2011). Selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa intervensi bedah bermanfaat dalam pengelolaan trauma kepala ketika kumpulan darah ekstra-aksial dapat diangkat. Di masa depan, ketersediaan alat infra-red/ultrasound atau mobile CT scan yang dekat dari lokasi manapun, dapat berarti bahwa kumpulan darah ekstra-aksial dapat dideteksi bahkan di lokasi terpencil sekalipun. Namun hal ini tidak akan
  • 20. 20 bermanfaat kecuali waktu untuk intervensi bedah pada tekanan intrakranial meningkat juga dipersingkat (Wilson dkk., 2011). Sebelum melakukan burr hole emergensi, harus dipertimbangkan untuk menghindari intervensi yang tidak perlu. Namun, ketika dihadapkan dengan situasi di mana angka kematian mendekati 100%, sebuah teknik sederhana, menggunakan peralatan yang benar bisa menjadi usaha penyelamatan jiwa yang aman dan sempurna bahkan di tangan non-spesialis (Bullock dkk., 2006). 2.3.1 Indikasi dan Kontraindikasi Burr Hole Emergensi (Wilson dkk., 2011) Indikasi Kraniostomi “ Burr Hole “ Emergensi: Pasien dengan penurunan GCS (<8) dengan gambaran pencitraan menunjukkan hematoma ekstra dural yang menyebabkan pergeseran garis tengah dan pupil yang tidak sama ketika intervensi bedah saraf yang tepat waktu tidak mungkin dilakukan. Upaya harus selalu dilakukan untuk membahas gambaran pencitraan radiologis dan keperluan dari prosedur tindakan ini dengan ahli bedah saraf. Kontraindikasi a. GCS > 8 b. Tidak ada pencitraan radiologis (Kecurigaan klinis sangat tinggi (misalnya fraktur yang teraba dengan pupil ipsilateral menetap), sementara pasien berada di daerah yang jauh dari ketersedian pencitraan CT scan dapat menjadi pengecualian untuk hal ini. Di masa depan perangkat seperti Infrascanner (sebuah perangkat portabel genggam yang dirancang untuk mendeteksi hematoma ekstra-aksial dengan menggunakan sinar infra-merah dekat) dapat saja mengurangi kebutuhan akan pencitraan CT scan formal dalam keadaan darurat. Namun saat ini, CT scan harus selalu dilakukan, terutama jika seorang non-ahli bedah saraf sedang mempertimbangkan akan melakukan prosedur burr hole. c. Sarana intervensi bedah saraf tersedia dalam rentang waktu yang memungkinkan.
  • 21. 21 BAB III KESIMPULAN Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat. Burr hole adalah suatu tindakan pembuatan lubang pada tulang kepala yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perdarahan intrakranial, sebelum tindakan definitif kraniotomi dilakukan. Hematoma akut ekstradural dan subdural adalah dua keadaan yang dapat mengambil manfaat dari burr hole. Riwayat trauma dan diagnosis klinis yang jelas sangat penting sebelum melakukan prosedur. Pada dasarnya, dokter non-ahli bedah dapat melakukan evakuasi burr hole darurat pada hematoma intrakranial dalam kondisi tertentu seperti ketika tenaga spesialis bedah saraf tidak tersedia. Dengan pelatihan dan keterampilan yang memadai, burr hole drainase pada hematom ekstradural akut dapat dilakukan oleh non-ahli bedah saraf. Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa prosedur ini hanya dapat dilakukan jika tidak mungkin untuk mengirim pasien ke pusat pelayanan yang lebih sesuai pada waktu yang tepat dan bahwa prosedur ini harus tidak menunda rujukan. Penanganan yang cepat dan tepat akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Time is brain.
  • 22. 22 DAFTAR PUSTAKA 1. Soebroto SW. 2009. Penerapan Ergo-Safety untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja Industri Nasional. Institut Teknologi Sepuluh November: Surabaya. 2. Safrizal. 2013. Hubungan Nilai Oxygen Delivery dengan Outcome Rawatan Pasien Cedera Kepala Sedang. Universitas Andalas:Padang. 3. Irwana O.2009. Cedera Kepala. Universitas Riau: Pekanbaru. 4. Arsani. 2012. Cedera Kepala. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 5. Subaiya S, Roberts I, Komolafe E.2012. Predicting Intracranial Hemorrhage After Traumatic Brain Injury in Low and Middle-Income Countries: A Prognostic Model Based on a Large Multi-Center, International Cohort. BMC Emergency Medicine 12:17:1-7. 6. Ishfaq A, Ahmed I, Bhatti. 2009. Effect of Head Positioning on Outcome After Burr Hole Craniostomy for Chronic Subdural Haematoma. Journal of The College of Physicians and Surgeons Pakistan 19:8:492-495. 7. Japardi I.2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif. Universitas Sumatera Utara: Medan. 8. Astrand R, Romner B.2012. Classification of Head Injury. Springer: Berlin. 9. Darwin M.1994.A Possible Origin for The Burr Hole Drainage Phenomenon. Diperoleh dari: http://www.cryonet.org/cgi-bin/dsp.cgi?msg=2631 (diakses: 3/10/2013). 10. Fatigba HO, Allode AS, Solde KM. 2013. The Exploratory Burr Hole: Indication and Result at One Departemental Hospital of Benin. ISBN Surgery 4:13:46-57. 11. Adewumi D, Colohan A. 2007. Decompressive Craniectomy: Surgical Indication, Clinical Consideration, and Rationale. Neurosurgery 13:5:89-94.
  • 23. 23 12. Eriktapan. 2009. Burr Hole Diagnostik Pada Epidural Hematom dan Subdural Hematom. Diperoleh: http:// bedahumum. wordpress.com/tag/burr- holes- diagnostik/ (Diakses: 3/10/13). 13. Weigel R, Schimedek P, Krauss J. 2003. Outcome of Contemporary Surgery for Chronic Subdural Haematoma: Evidence Based Review. J Neurolsurg Psychiatry 74:937-943. 14. Wilson MH, Wise D, Davies G, Lockey D. 2011. Emergency Burr Hole: How to do it. Scandinavian Journals of Trauma 20:24:78-86. 15. World Health Organization. 2009. Guidelines for Safe Surgery. World Health Organization: Geneva. 16. Habibi Z, Meybodi AT, Mirsadeghi. 2011. Burr-Hole Drainage for Treatment of Acute Epidural Hematoma in Coagulopathic Patients. Neurotrauma 29:11:67-78. 17. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar. 2006. Surgical Management of Traumatic Brain Injury. Neurosurgery 58:52: 142-82. 18. Oestern, Jorg H, Trentz. 2011. Head, Thoracic, Abdominal, and Vascular Injuries. Springer: Berlin. 19. Tjandra J, Clunie GJ, Kaye AH. 2005. Textbook of Surgery. Willey- Blackwell: London. 20. Farquharson M, Moran B. 2005. Farquharson’s Textbook of Operative General Surgery. Hodder Arnold: London.