Filsafat dapat dijabarkan dari perkataan “philosopia”. Perkataan ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti; “Cinta akan kebijaksanaan” (love of wisdom). Jadi philosophia adalah orang yang mencintai kebenaran, sehingga berupaya memperoleh dan memilikinya.
Kata philosophia ditransformasikan ke berbagai bahasa. Dalam bahasa arab disebut falsafah. Dalam bahasa Indonesia disebut falsafat/filsafat. Dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut Philosophie.
Menurut tradisi, Pythagoras atau Socarteslah yang pertama-tama menyebut diri “philosophus”, yaitu sebagai protes terhadap kaum “Sophist”, kaum terpelajar pada waktu itu yang menamakan dirinya “bijaksana”, padahal kebijaksanaan mereka itu hanya semu kebijaksanaan saja.
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
FILSAFAT ILMU
1. i
KUMPULAN MATERI TUGAS MEMBUAT MAKALAH
PENGANTAR FILSAFAT ILMU
Yang dibimbing Oleh :
Dr. Sigit Sardjono, MS
Yang Membuat :
1. Khusnul Fitrianingtyas 1221800005
2. Nur Rochmatus Sa’ada 1221800014
3. Cindy Adianti 1221800037
(Kelas T Hari Rabu 19.15 L. 502)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2. ii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, akhirnya
penyusun dapat menyelesaikan tugas ini, yang berjudul “PENGANTAR
FILSAFAT ILMU”.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya, hal ini dikarenakan keterbatasan
waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penyusun, oleh karena itu
penyusun sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang sifatnya
membangun untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas ini, semoga Allah SWT,
membalas amal kebaikannya. Amin.
Dengan segala pengharapan dan doa semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Surabaya, 11 Juni 2019
Penyusun
3. iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I Manfaat Belajar Filsafat Bagi Mahasiswa
1.1 Pengertian Filsafat .................................................................................... 1
1.2 Hakikat Filsafat Ilmu ................................................................................. 1
1.3 Manfaat Filsafat dalam Kehidupan ........................................................... 6
1.4 Filsafat dalam Kehidupan Praktis ............................................................. 8
1.5 Manfaat Filsafat Ilmu secara Khusus ....................................................... 10
1.6 Pentingnya Belajar Filsafat Ilmu Bagi Mahasiswa ................................... 12
BAB II Perkembangan Filsafat
2.1 Sejarah Perkembangan Filsafat pada Yunani Kuno ................................. 13
2.2 Sejarah Perkembangan Filsafat pada Zaman Patristik dan Skolastik ....... 14
2.3 Sejarah Perkembangan Filsafat pada Zaman Modern .............................. 15
2.4 Sejarah Perkembangan Filsafat pada Zaman Sekarang ............................ 17
BAB III Filsafat, Ilmu dan Pengetahuan
3.1 Filsafat ...................................................................................................... 21
3.2 Ilmu ........................................................................................................... 21
3.3 Pengetahuan .............................................................................................. 23
3.4 Perbedaan Filsafat, Ilmu dan Pengetahuan ............................................... 24
3.5 Persamaan Filsafat, Ilmu dan Pengetahuan .............................................. 25
BAB IV Logika Berpikir dan Kebenaran Ilmiah
4.1 Logika Berpikir ......................................................................................... 26
4.2 Ruang Lingkup ......................................................................................... 27
4.3 Tipe-tipe Logika ....................................................................................... 27
4.4 Manfaat Belajar Logika ............................................................................ 29
4.5 Kebenaran Ilmiah ...................................................................................... 29
4.6 Sifat Kebenaran Ilmiah ............................................................................. 33
4.7 Cara untuk Menemukan Kebenaran Ilmiah .............................................. 34
4. iv
BAB V Filsafat Moral dan Etika
5.1 Filsafat Moral ............................................................................................ 35
5.2 Jenis-jenis Moral ....................................................................................... 36
5.3 Filsafat Etika ............................................................................................. 38
5.4 Macam-macam Etika ................................................................................ 38
5.5 Perbedaan Filsafat Moral dan Etika .......................................................... 39
5.6 Faktor-faktor Penyebab Berkurangnya Moral dan Etika .......................... 39
5.7 Solusi untuk Mengatasi Berkurangnya Moral dan Etika .......................... 43
BAB VI Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
6.1 Ontologi .................................................................................................... 45
6.2 Epistemologi ............................................................................................. 46
6.3 Aksiologi ................................................................................................... 48
BAB VII Filsafat Pancasila
7.1 Pengertian Filsafat Pancasila .................................................................... 53
7.2 Karakteristik Pancasila ............................................................................. 56
7.3 Prinsip-prinsip Filsafat Pancasila ............................................................. 56
7.4 Fungsi Utama Filsafat Pancasila Bagi Bangsa dan Negara Indonesia ..... 57
7.5 Falsafah Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Indonesia ................. 63
BAB VIII Filsafat untuk Metode Ilmiah
8.1 Metode Ilmiah ........................................................................................... 69
8.2 Hakikat Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah ................................................. 71
8.3 Unsur-unsur Metode Ilmiah ...................................................................... 72
8.4 Hubungan Filsafat Ilmu dengan Metode Ilmiah ....................................... 73
8.5 Macam-macam Metode Ilmiah ................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 76
5. 1
BAB I
MANFAAT BELAJAR FILSAFAT BAGI MAHASISWA
1.1 Pengertian Filsafat
Filsafat dapat dijabarkan dari perkataan “philosopia”. Perkataan ini berasal
dari bahasa Yunani yang berarti; “Cinta akan kebijaksanaan” (love of wisdom).
Jadi philosophia adalah orang yang mencintai kebenaran, sehingga berupaya
memperoleh dan memilikinya.
Kata philosophia ditransformasikan ke berbagai bahasa. Dalam bahasa arab
disebut falsafah. Dalam bahasa Indonesia disebut falsafat/filsafat. Dalam bahasa
Belanda dan Jerman disebut Philosophie.
Menurut tradisi, Pythagoras atau Socarteslah yang pertama-tama menyebut
diri “philosophus”, yaitu sebagai protes terhadap kaum “Sophist”, kaum terpelajar
pada waktu itu yang menamakan dirinya “bijaksana”, padahal kebijaksanaan
mereka itu hanya semu kebijaksanaan saja.
Sebagai protes terhadap kesombongan mereka maka Socrates lebih suka
menyebut diri “pecinta kebijaksanaan” artinya orang yang ingin mempunyai
pengetahuan yang luhur (sophia) itu. Mengingat keluhuran pengetahuan yang
dikejarnya itu maka ia tak mau berkata bahwa ia telah mempunyai, telah memiliki
atau menguasainya.
Namun ini sudah semestinya, sebab dalam filsafat orang tak pernah akan
dapat mengatakan selesai belajar, karena luas dan dalamnya filsafat itu orang
tidak dapat menguasainya dengan sempurna.
Selama manusia masih hidup dalam dunia ini harus berusaha untuk
mengejarnya. Hingga lebih baik dikatakan bahwa orang hanya ingin
menguasainya, dengan menyebut diri “filsuf” saja.
1.2 Hakikat Filsafat Ilmu
Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan istimewa bila
dibanding dengan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia. Keistimewaan
manusia terletak pada kemampuannya berfikir. Manusia adalah makhluk yang
dapat mengerti dan menyadari dirinya sendiri. Mungkin hewan dapat mengerti
akan tetapi hewan tidak dapat berfikir, hewan tidak pernah menyadari dirinya
6. 2
sendiri, dan karena itu hewan tidak pernah menyebut dirinya “aku”. Berfikir
adalah berbicara dengan dirinya sendiri di dalam batin. Orang yang berfikir itu
adalah bekata-kata di dalam batin, yang dengan sendirinya tidak mengeluarkan
suara. Yang termasuk kegiatan befikir adalah mempertimbangkan, merenungkan,
memilih-milih, membandingkan, mencari alasan-alasan, membuktikan, menarik
kesimpulan, membedakan, dan menghubungkan-menghubungkan diantara
pengertian.
Berfilsafat adalah berfikir. Dimaksudkan berfilsafat adalah berfikir
mengandung pengertian bahwa berfilsafat itu tidak identik dengan berfikir
melainkan berfilsafat termasuk dalam berfikir. Dengan demikian tidak semua
orang yang berfikir itu mesti berfilsafat. Tetapi dapat dipastikan bahwa orang
yang berfilsafat itu pasti berfikir. Hanya saja berfilsafat itu berfikir ciri-ciri
tertentu. Misalnya seorang mahasiswa yang memikirkan berapa nilai Index
Prestasi (IP) yang diperoleh dalam suatu semester, atau seorang pegawai negeri
memikirkan berapa gaji yang akan diterima bulan yang akan datang, atau seorang
pedagang berfikir tentang laba yang diperoleh dalam bulan ini, semua contoh
yang dikemukakan itu bukan berfikir secara kefilsafatan melainkan berfikir biasa.
Ciri-Ciri Berfikir Secara Kefilsafatan
1. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara refleksi
Manusia dapat berfikir tentang hal-hal yang diluar dirinya, berfikir tentang
keadaan dirinya sendiri dan bahkan manusia tentang fikirannya sendiri ini disebut
sedang melakukan refleksi.
2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal
Berfikir radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya, sampai ke hakikat
sesuatu yang dipikirkan.
3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal
Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses
yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari umat
manusia. Bagaimana cara atau jalan yang ditempuh seorang filsuf untuk
menacapai sasaran pemikirannya bisa berbeda-beda namun yang dituju adalah
universalia yang dicapai dari partikularia dalam kenyataan.
7. 3
4. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual
Yang dimaksud dengan konsep disini adalah hasil generalisasi dan abstraksi
dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Karena bercirikan
konseptual ini maka berfikir secara kefilsafatan berarti melampaui batas
pengalaman hidup sehari-hari.
5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren atau konsisten
Konsisten ini dalam artian runtut. Pemikiran secara kefilsafatan berusaha
untuk menyusun suatu bagan yang konsepsional yang runtut. Yang dimaksud
dengan runtut adalah bagan yang disusun itu tidak terdiri dari pendapat-pendapat
yang saling bertentangan di dalamnya.
Misalnya ada dua pernyataan (kalimat) :
a. Hujan turun
b. Tidak benar bahwa hujan turun
Setiap orang mengerti kalau pernyataan “hujan turun” itu benar maka
pernyataan “tidak benar bahwa hujan turun” itu tidak mungkin juga sama
benarnya. Kalau pernyataan pertama salah, maka pernyataan kedua tentu benar.
Sebaliknya kalau pernyataan kedua benar maka pernyataan pertama tentu salah
dan jika nomor dua salah, maka nomor satu pasti benar. Bila dua pernyataan yang
berupa kalimat berita, jika yang satu benar yang lain salah dan jika yang satu salah
yang lain benar, maka dua pernyataan itu disebut berlawanan atau tidak runtut.
Syarat runtut ini harus dipenuhi karena dengan ciri ini suatu uraian dapat
dipahami atau dimengerti. Kalau ada satu pernyataan yang dikatakan benar maka
kebalikan pernyataan itu haruslah dikatakan salah. Kalau kebalikannya juga
dikatakan benar, maka sulit bagi akal manusia itu memahaminya.
6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik
Sistematik berasal dari kata sistem. Yang dimaksud sistem adalah kebulatan
dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk
mencapai suatu maksud atau menunaikan suatu peranan tertentu. Sesuatu apapun
tersusun atas 4 hal yaitu adanya sejumlah unsur, serangkaian hubungan, tata
pengaturan dan maksud atau tujuan tertentu.
8. 4
7. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif
Yang dimaksud komprehensif disini adalah mencakup secara menyeluruh.
Menurut sudut pandang ini filsafat mencari kebenaran tentang segala sesuatu dan
kebenaran itu harus dinyatakan dalam bentuk yang paling umum. Berarti sistem
ini bersifat mencakup secara menyeluruh, tidak ada sesuatu yang berada diluar
jangkauannya.
8. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas
Filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas,
bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural ataupun religius. Ini
berarti bahwa sesuatu aliran filsafat bisa dibebaskan sepenuhnya dari kondisi-
kondisi termaksud, namun dalam kekangan-kekangan kondisi itu filsafat tidak
bisa dikembangkan, oleh karena itu ia tidak akan mampu menduga suatu gejala
dari akarnya (radikal).
9. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang bertanggung
jawab
Seorang yang berfilsafat adalah seorang yang berfikir sambil bertanggung
jawab dan pertanggung jawaban yang pertama adalah terhadap nuraninya sendiri.
Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Filsafat ilmu dalam arti luas adalah menampung permasalahan yang
menyangkut hubungan keluar dari kegiatan ilmiah, seperti: tata susila yang
menjadi pegangan penyelenggara ilmu.
b. Filsafat ilmu dalam arti sempit adalah menampung permasalahan yang
bersangkutan dengan hubungan ke dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu
yang menyangkut sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-cara mengusahakan
serta mencapai pengetahuan ilmiah (Beerling, 1988).
Pengertian Filsafat Ilmu menurut beberapa ahli, antara lain :
a. Cornelius Benjamin (dalam The Liang Gie, 19 : 58) memandang filsafat
ilmu sebagai berikut. ”That philosophic discipline which isthe systematic
study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and
presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual
disciplines.” Filsafat ilmu, merurut Benjamin, merupakan cabang dari
filsafat yang secara sistematis menelaah sifat dasar ilmu, khususnya
9. 5
mengenai metoda, konsepkonsep, dan pra anggapan pra anggapannya, serta
letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan
intelektual.
b. Conny Semiawan at al (1998 : 45) menyatakan bahwa filsafat ilmu pada
dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of
sciences) yang kedudukannya di atas ilmu lainnya.
c. Jujun Suriasumantri (2005 : 33-34) memandang filsafat ilmu sebagai bagian
dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang ingin menjawab tiga
kelompok pertanyaan mengenai hakikat ilmu sebagai berikut. Kelompok
pertanyaan pertama antara lain sebagai berikut ini, Objek apa yang ditelaah
ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan
antara objek tadi dengan daya tangap manusia? Kelompok pertanyaan
kedua: Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan
yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus
diperhatikan Filsafat Imu agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar?
Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Dan seterusnya. Dan terakhir,
kelompok pertanyaan ketiga : Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu?
Bagaimana kaitan antara cara menggunakan ilmu dengan kaidah-kaidah
moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-
pilihan moral? Dan seterusnya.
d. Kelompok pertanyaan pertama merupakan tinjauan ilmu secara ontologis.
Sedangkan pertanyaan-pertanyaan kelompok kedua merupakan tinjauan
ilmu secara epistemologis. Dan pertanyaan-pertanyaan kelompok ketiga
sebagai tinjauan ilmu secara aksiologis.
Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang pengertian filsafat ilmu dapat
dirangkum tiga medan telaah yang tercakup di dalam filsafat ilmu, yaitu:
a. Filsafat ilmu adalah telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh ilmu
tertentu, terhadap lambang yang digunakan dan terhadap struktur penalaran
tentang sistem lambang yang digunakan. Telaah kritis ini dapat diarahkan
untuk mengkaji ilmu empiris dan ilmu rasional, juga untuk membahas studi
bidang etika dan estetika, studi kesejarahan, antropologi, dll.
10. 6
b. Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan mengenai dasar-dasar
konsep, sangka wacana dan postulat mengenai ilmu dan upaya untuk
membuka tabir dasar-dasar keempirisan, kerasionalan dan kepragmatisan.
c. Filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang
beraneka macam yang ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas
mengenai ilmu tertentu. (Hartono Kasmadi, dkk, 1990)
1.3 Manfaat Filsafat dalam Kehidupan
Berdasarkan pemahaman dasarnya, persepsi ini tidak tepat, meskipun di
dalamnya terkandung manfaat. Secara khusus, filsafat merupakan perbincangan
mencari hakikat sesuatu gejala atau segala hal yang ada. Artinya, filsafat
merupakan landasan dari sesuatu apapun tumpuan segala hal, jika salah tentulah
berbahaya, sedikitnya akan merugikan. Apabila kehidupan berpengetahuan itu
diibaratkan sebuah pohon maka filsafat adalah akarnya, yaitu bagian yang
berhubungan langsung dengan sumber kehidupan pohon itu, sedangkan batang,
dahan, ranting, daun, bunga, dan buah menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berhubungan dengan apa yang terlihat atau yang biasa disebut
menggejala atau mewujud. Terlebih lagi kaum awam, ia hanya dapat melihat
sesuatu secara langsung atau yang berhubungan secara langsung, khusunya
menjawab kebutuhan nyata dirinya sendiri.
Dalam perbincangan lebih nyata, filsafat mempersoalkan dan membicarakan
kembali akar masalah, baik berdasarkan ilmu pengetahuan maupun pemahaman
lain. Jadi, filsafat menyadarkan manusia terhadap apa yang sudah biasa diyakini,
digauli, digunakan, dan dilakukannya. Hal ini penting sebagai contoh pada
Matematika, ”Mengapa 5 x 5 lebih besar daripada 4 x 4?” Umumnya, orang
percaya begitu saja, bahkan mempercayainya apa yang dikatakan orang lain,
seperti guru atau orang tua dan kakaknya. Jawaban yang sebenarnya adalah
adanya kesepakatan bahwa sebutan angka 5 lebih tinggi nilainya daripada 4.
Dengan catatan, angka berikutnya lebih tinggi dari pada angka sebelumnya.
Filsafat mengatakan, ”Ingatlah di balik matematika itu ada suatu kesepakatan, jika
kesepakatannya tidak demikian, belum tentu 5 x 5 lebih besar daripada 4 x 4.
Dalam hal ini, ilmu pengetahuan mengenai asumsi yang disebut aksioma,
yaitu anggapan dasar yang merupakan tumpuan atau sumber dari awal kehidupan
11. 7
dan perkembangan ilmu pengetahuan. Wacana atau perbincangan filsafat
melahirkan asumsi tersebut. Hal tersebut disebut sebagai keyakinan filsafati
(philosophical belief). Asumsi tersebut jika terus-menerus ditelaah ketepatannya,
bukan tidak mungkin akan mengalami perubahan, entah itu bertambah atau
berkurang, atau justru berubah. Akhirnya, teori-teori baru dalam bidang
pengetahuan akan bermunculan sehingga lahirlah istilah filsafat ilmu. Filsafat
ilmu berperan fundamental dalam melahirkan, memelihara, dan mengembangkan
ilmu pengetahuan.
Cara berpikir filsafati telah mendokrak pintu serta tembok-tembok tradisi
dan kebiasaan, bahkan telah menguak mitos serta meninggalkan cara berpikir
mistis. Lalu pada saat yang sama telah pula berhasil mengembangkan cara
berpikir rasional, luas dan mendalam, teratur dan terang, integral dan koheren,
metodis dan sistematis, logis, kritis, dan analitis. Karena itu, ilmu pengetahuan
pun semakin bertumbuh subur, terus berkembang, dan menjadi dewasa.
Kemudian, berbagai ilmu pengetahuan yang telah mencapai tingkat kedewasaan
penuh satu demi satu mulai mandiri dan meninggalkan filsafat yang selama itu
telah mendewasakan mereka. Itulah sebabnya, filsafat disebuts ebagai mater
scientiarum atau induk segala ilmu pengetahuan. Itu merupakan fakta yang tidak
dapat diingkari, yang dengan jelas menunjukkan bahwa ia benar-benar telah
menampakkan kegunaannya lewat melahirkan, merawat, dan mendewasakan
berbagai ilmu pengetahuan yang begitu berjasa bagi kehidupan manusia.
Filsafat adalah ilmu yang tak terbatas karena tidak hanya menyelidiki suatu
bidang tertentu dari realitas yang tertentu saja. Filsafat senantiasa mengajukan
pertanyaan tentang seluruh kenyataan yang ada. Filsafat pun selalu
mempersoalkan hakikat, prinsip, dan asas mengenai seluruh realitas yang ada,
bahkan apa saja yang dapat dipertanyakan, termasuk filsafat itu sendiri.
Keterbatasan filsafat yang demikian itulah yang amat berguna bagi ilmu
pengetahuan. Itu karena keterbatasan filsafat tidak melulu berguna selaku
penghubung antar disiplin ilmu pengetahuan. Akan tetapi dengan keterbatasannya
itu, filsafat sanggup memeriksa, mengevaluasi, mengoreksi, dan lebih
menyempurnakan prinsip-prinsip dan asas-asas yang melandasi berbagai ilmu
pengetahuan itu.
12. 8
Manfaat lain filsafat adalah didasarkan pada pengertian filsafat sebagai
suatu integrasi atau pengintegrasi sehingga dapat melakukan fungsi integrasi ilmu
pengetahuan. Sebagian besar orang hanya menyangkutkan apa yang paling dekat
dan apa yang paling dibutuhkannya pada saat dan tempat tertentu.
1.4 Filsafat dalam Kehidupan Praktis
Filsafat dalam kehidupan praktis memang abstrak, namun tidak berarti
filsafat sama sekali tidak bersangkut paut dengan kehidupan sehari-hari yang
kongkret. Keabstrakan filsafat tidak berarti bahwa filsafat itu tak memiliki
hubungan apa pun juga dengan kehidupan nyata setiap hari. Kendali tidak
memberi petunjuk praktis tentang bagaimana bangunan yang artistic dan elok,
filsafat sanggup membantu manusia dengan memberi pemahaman tentang apa itu
artistic dan elok dalam kearsitekturan sehingga nilai keindahan yang diperoleh
lewat pemahaman itu akan menjadi patokan utama bagi pelaksanaan pekerjaan
pembangunan tersebut.
Filsafat menggiring manusia kepengertian yang terang dan pemahaman
yang jelas. Kemudian, filsafat itu juga menuntun manusia ketindakan dan
perbuatan yang konkret berdasarkan pengertian yang terang dan pemahaman yang
jelas.
Filsafat secara umum memandang sebagai sumber segala kebenaran yang
mengharapkan dari filsafat kebahagiaan yang tulen dan jawaban atas segala
pertanyaan pertanyaan hidup.
Akan tetapi ada pula yang menganggap filsafat tidak lain dari pada “obrolan
belaka”, ”omong kosong” yang sama sekali tak ada artinya bagi kehidupan sehari
hari. Yang meragu- ragukan kebanyakan orang ialah banyaknya pendapat
pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, pendapat-pendapat dan aliran-aliran
yang sering banyak bertentangan satu sama lain. Inilah sebabnya menurut
pendapat kami pengantar filsafat yang melulu melalui “historis” itu biasannya
menimbulkan banyak salah paham dan mengecewakan.
Pendapat kita terletak pada tengah-tengahnya. Dari uraian diatas jelaslah
bahwa betapa besar kepentingan filsafat bagi perwujudan dan pembangunan hidup
kita. Jadi kita menjunjung tinggi dan mempertahankan filsafat sebagai suatu hal
yang berharga. Akan tetapi bersama-sama dengan itu harus kita akui juga batas
13. 9
batas filsafat. Terbatasnya kemampuan akan budi manusia dalam usahannya untuk
memecahkan soal-soal tentang “ada”, tentang dunia dan manusia, tentang hidup
dan Tuhan. Tetapi walaupun demikian terdapat banyak kesukaran-kesukaran dan
rintangan-rintangan bagi akal kita untuk memperoleh “insight” yang cukup dalam
yang dipertanggungjawabnkan dan yang dapat merupakan dasar hidup yang
kokoh bagi manusia.
a. Filsafat membantu kita memahami bahwa sesuatu tidak selalu tampak
seperti apa adanya;
b. Filsafat membuat kita lebih kritis;
Filsafat mengajarkan pada kita bahwa apa yang mungkin kita terima begitu
saja ternyata salah atau menyesatkan atau hanya merupakan sebagian dari
kebenaran.
c. Dengan berfilsafat kita lebih menjadi manusia, lebih mendidik dan
membangun diri sendiri;
a. Dapat menalar secara jelas;
b. Dapat membedakan argumen yang baik dan yang buruk;
c. Mampu menyampaikan pendapat (lisan dan tertulis) secara jelas;
d. Dapat melihat sesuatu melalui kacamata yang lebih luas;
e. Mampu melihat dan mempertimbangkan pendapat dan pandangan yang
berbeda;
d. Dengan mempelajari karya-karya para pemikir besar, para filsuf dalam
sejarah dan tradisi filsafat, kita akan melihat betapa besar sesungguhnya
pengaruh filsafat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, agama,
pemerintahan, pendidikan dan karya seni;
e. Filsafat memberi bekal dan kemampulan pada kita untuk memperhatikan
pandangan kita sendiri dan pandangan orang lain dengan kritis. Kadang ini
memang bisa mendorong kita menolak pendapat-pendapat yang telah
ditanamkan pada kita, tetapi filsafat juga memberikan kita cara-cara berfikir
baru dan yang lebih kreatif dalam menghadapi masalah yang mungkin tidak
dapat dipecahkan dengan cara lain. Kemampuan berfikir secara jernih,
menalar secara logis, dan mengajukan dan menilai argumen, menolak
asumsi yang diterima begitu saja, dan pencarian akan prinsip-prinsip
14. 10
pemikiran dan tindakan yang koheren semuanya ini merupakan ciri dari
hasil latihan dalam ilmu filsafat.
1.5 Manfaat Filsafat Ilmu secara Khusus
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu,
fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara
keseluruhan, yakni :
a. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada;
b. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap
pandangan filsafat lainnya;
c. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan
pandangan dunia;
d. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan;
e. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai
aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan
sebagainya. Menurut Agraha Suhandi (1989);
f. Filsafat ilmu bermanfaat untuk menjelaskan keberadaan manusia di dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan alat
untuk membuat hidup menjadi lebih baik;
g. Filsafat ilmu bermanfaat untuk membangun diri kita sendiri dengan berpikir
secara radikal (berpikir sampai ke akar-akarnya), kita mengalami dan
menyadari keberadaan kita;
h. Filsafat ilmu memberikan kebiasaan dan kebijaksanaan untuk memandang
dan memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Orang
yang hidup secara dangkal saja, tidak mudah melihat persoalan-persoalan,
apalagi melihat pemecahannya;
i. Pelajaran filsafat mengajar dan melatih kita memandang dengan luas, jadi
menyembuhkan kita dari kepicikan, dari “Akulisme” dan Aku “ Sentrisme”,
artinya sifat memusatkan segala sesuatu kepada “si Aku”, mencari jalan
segala-galanya hanya untuk kepntingan dan kesenangan Si Aku saja, tak
dapat memasuki pendapat orang lain, singkatnya terlalu terbatas
pandangannya (dalam segala hal hanya melihat dan mementingkan
kepentingan dan kesenangan diri sendiri);
15. 11
j. Filsafat ilmu mengajak untuk berpikir secara radikal, holistik dan sistematis,
hingga kita tidak hanya ikut-ikutan saja, mengikuti pada pandangan umum,
percaya akan setiap semboyan dalam surat-surat kabar, tetapi secara kritis
menyelidiki apa yang dikemukakan orang, mempunyai pendapat sendiri,
dengan cita-cita mencari kebenaran;
k. Filsafat ilmu memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri
(terutama dalam etika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya,
seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainya;
l. Filsafat ilmu bermanfaat sebagai pembebas. Filsafat bukan hanya sekedar
mendobrak pintu penjara tradisi dan kebiasaan yang penuh dengan berbagai
mitos dan mite, melainkan juga merenggut manusia keluar dari penjara itu.
Filsafat ilmu membebaskan manusia dari belenggu cara berpikir yang mistis
dan dogma;
m. Filsafat ilmu membantu agar seseorang mampu membedakan persoalan
yang ilmiah dengan yang tidak ilmiah;
n. Filsafat ilmu memberikan landasan historis-filosofis bagi setiap kajian
disiplin ilmu yang ditekuni;
o. Filsafat ilmu memberikan nilai dan orientasi yang jelas bagi setiap disiplin
ilmu;
p. Filsafat ilmu memberikan petunjuk dengan metode pemikiran reflektif dan
penelitian penalaran supaya manusia dapat menyerasikan antara logika,
rasio, pengalaman, dan agama dalam usaha mereka dalam pemenuhan
kebutuhannya untuk mencapai hidup yang sejahtera;
q. Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan.
Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara logis-rasional, agar dapat dipahami dan
dipergunakan secara umum.
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk
memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu
disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah.
Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu
sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif
16. 12
antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya
menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
1.6 Pentingnya Belajar Filsafat Ilmu bagi Mahasiswa
Belajar filsafat ilmu bagi mahasiswa sangat penting, karena beberapa
manfaat yang dapat dirasakan, antara lain :
a. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mahasiswa semakin kritis
dalam sikap ilmiahnya. Mahasiswa sebagai insan kampus diharapkan untuk
bersikap kritis terhadap berbagai macam teori yang dipelajarinya di ruang
kuliah maupun dari sumber-sumber lainnya;
b. Mempelajari filsafat ilmu memiliki manfaat praktis. Setelah mahasiswa
lulus dan bekerja mereka pasti berhadapan dengan berbagai masalah dalam
pekerjaannya. Untuk memecahkan masalah diperlukan kemampuan berpikir
kritis dalam menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah
yang dihadapi. Dalam konteks inilah pengalaman mempelajari filsafat ilmu
diterapkan;
c. Membiasakan diri untuk bersikap logis-rasional dalam opini dan
argumentasi yang dikemukakan;
d. Mengembangkan semangat toleransi dalam perbedaan pandangan
(pluralitas). Karena para ahli filsafat tidak pernah memiliki satu pendapat,
baik dalam isi, perumusan permasalahan maupun penyusunan jawabannya;
e. Mengajarkan cara berpikir yang cermat dan tidak kenal lelah lelah karena
ilmu pengetahuan yang berasal dari filsafat akan selalu berkembang.
17. 13
BAB II
PERKEMBANGAN FILSAFAT
Dengan fenomena yang ada kita bisa mengetahui sebab dan akibat yang
saling terkait. Oleh karena itu dalam belajar sejarah filsafat merupakan metode
bahkan merupakan subject matter sebagaimana, yang dijelaskan Wiramhardja :
“sejarah filsafat merupakan metode yang terkenal dan banyak digunakan orang
dalam mempelajari filsafat bahkan merupakan metode yang sangat penting dalam
belajar berfilsafat. Sejarah filsafat pun merupakan subject matter itu sendiri”.
Disamping itu seringkali persoalan-persoalan hanya dapat dipahami jika
dilihat dari perkembangan sejarahnya. Pemikiran para filosof besar seperti
Aristoteles, Thomas Aquino, Imanuel Kant hanya dapat dimengerti dari aliran
aliran yang mendahului mereka. Aliran yang satu biasanya tesis dan yang lainnya
merupakan sintesis, atau bisa jadi merupakan reaksi dari pemikiran yang lain pada
masa yang berbeda. Dan dari seluruh perjalanan pemikiran filsafat itu menjadi
sangat terlihat juga persoalan-persoalan manakah yang selalu tampil kembali bagi
setiap kurun waktu.
2.1 Sejarah Perkembangan Filsafat Pada Yunani Kuno
1. Permulaan
Sejarah perkembangan filsafat dimulai di Milite, Asia Kecil sekitar tahun
600 SM. Para fisuf pada masa itu disebut "filsuf alam", karena mereka mencari
unsur yang terdalam, sebagai asal mula segala sesuatu. Unsur yang terdapat ini
disebut archo. Bagaimanakah jawaban para filsuf terhadap pertanyaan tentang
unsur yang terdapat dari alam semesta itu. Thales (± 600 SM) menjawab unsur
yang terdapat itu adalah air. Anaximander (± 610-540) menjawab yang tak
terbatas (to apciron). Anaximenes (± 585 - 525 SM) menjawab udara. Pythagoras
(500 SM) menjawab bahwa segala sesuatu terdiri dari bilangan. Pythagoraslah
yang menyatakan pertama kali bahwa alam semesta itu merupakan satu
keseluruhan yang teratur, harmonis seperti dalam musik. Herakleitos (± 500 SM)
mengajarkan bahwa segala sesuatu berubah terus menerus seperti air didalam
sungai. Ucapannya yang terkenal adalah panta rhei, kaiouden menerima (semua
mengalir dan tak ada yang tetap). Filsafatnya disebut "filsafat menjadi". Bagi dia
18. 14
"ada" itu bukan kenyataan. Yang merupakan kenyataan adalah "menjadi".
Parmenides (515-440 SM) menyatakan bahwa "kenyataan itu tetap", tidak
berubah dan merupakan keseluruhan yang bersatu.
2. Puncak Zaman Klasik
Para filsuf Yunani yang termasuk puncak zaman klasik adalah Socrates (±
470-400 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322). Filsuf Socrates
lebih mementingkan etika, yang ditujukan untuk pembuatan moral yang baik
setiap individu. Tujuan hidup manusia adalah membuat jiwa sebaiknya mungkin
sehingga dapat dicapai kebahagiaan sempurna. Menurut Socrates "keutamaan
adalah pengetahuan". Ucapan Socrates lain yang terkenal adalah " Yang saya
ketahui dengan pasti ialah bahwa saya tidak tahu apa apa". Ketidaktahuan ini
merupakan dasar filsafat Socrates. Oleh karena itu dia menganjurkan pada
manusia "kenalilah dirimu sendiri".
Filsuf Plato berusaha mengadakan penyelesaian antara filsuf Herakleitos
dan Parmenides yakni tentang " Yang berubah" dan "yang tetap". Menurut Plato,
yakni tentang " Yang berubah adalah dunia budi atau dunia idea”. Dunia ide
inilah yang merupakan kenyataan yang sebenarnya. Ajaran Plato bertitik tolak
dari "yang umum" Yaitu idea untuk menuju ke yang khusus. Ajaran Plato ini
disebut idealisme realistis.
Aristoteles sebagai murid Plato dalam banyak hal berbeda dengan gurunya.
Menurut Aristoteles, idea-idea itu tidak terletak dalam dunia idea atau diatas
dunia, melainkan didalam benda benda itu sendiri. Setiap benda terdiri dari dua
unsur yang tak terpisahkan yaitu Hyle (materi) dan morfo (bentuk). Bentuk
bentuk itu dapat disamakan dengan idea yang dikemukakan Plato. Idea idea ini
tidak dapat dipikirkan lagi terlepas dari materi. Materi tanpa bentuk tidak ada.
2.2 Sejarah Perkembangan Filsafat Pada Zaman Patristik dan Skolastik
Zaman patristik dan skolastik dikuasai oleh pemikiran keTuhanan. Pada
zaman ini berlangsung pada akhir zaman kuno dan selama abad pertengahan.
1. Zaman Patristik
Istilah patristik berasal dari kata Latin "patres" Yang berarti bapa-bapa
gereja. Zaman ini dibagi dua yaitu patristik Yunani dan patristik Latin. Tokoh-
tokoh patristik Yunani diantaranya Clemens dan Alexandria (150-125), Origenes
19. 15
(185-254), Gregorius dari nazianza (335-394). Sedangkan para tokoh patristik
Latin diantaranya Hilarius dari Milano (315-367), Ambrosius (339-397) dan yang
paling besar di antara mereka adalah Agustinus (354-340). Para pemikir Nasrani
pada zaman patristik mengambil sikap yang bermacam-macam. Ada yang
menolak sama sekali filsafat Yunani karena dipandang sebagai hasil pemikiran
manusia semata-mata, yang setelah ada wahyu illahi dianggap tidak diperlukan
lagi, bahkan berbahaya bagi iman Nasrani. Akan tetapi ada juga yang menerima
filsafat Yunani, karena perkembangan pemikiran Yunani itu dipandang sebagai
persiapan bagi Injil. (Harun Hadiwijoyo, 1983)
2. Zaman Skolastik
Istilah skolastik berasal dari kata Latin "Scholastieus" Yang berarti "guru".
Lahirnya skolastik ini dapat dilacak kebelakang dan ternyata banyak dipengaruhi
Aristoteles. Disekitar tahun 1000 peranan Plotinus diambil alih Aristoteles,
Aristoteles menjadi terkenal kembali lewat filsuf islam dan Yunani. Terutama
Avicenna (Ibn Sina, 980-1037), Avveroes (Ibn Rushd), 1126-1198) dan
Maimonides (1135-1204). Pengaruh Aristoteles menjadi semakin besar sehingga
disebut "sang filsuf", sedangkan Avveroes yang menafsirkan Aristoteles disebut "
Sang komentator". Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani
menghasilkan para filsuf penting. Sebagian besar mereka dari kedua ordo baru
yang lahir dalam abad pertengahan, yaitu Dominikan dan Fransiskan. Filsafat
mereka disebut skolastik. Ajaran pokok filsafat skolastik adalah hubungan iman
dengan akal budi, keberadaan dan hakikat Tuhan. Tokoh-tokoh skolastik
diantaranya Albertus Magnus (1200-1280), Thomas Aquinas (1225-1274),
Bonaventura (1217-1274) dan Duns Scotus (1226-1308. Akan tetapi tidak boleh
dilupakan bahwa selama seluruh abad pertengahan filsafat tidak lepas dari studi
theologi. Menurut perkataan terkenal dari Thomas Aquinas (Abad 13) filsafat dan
ilmu-ilmu lain merupakan hamba atau pembantu theologi. Hal ini sudah benar
sejak permulaan masa skolastik. Dengan itu mereka tidak membuat lain daripada
melanjutkan cita-cita patristik, khusunya Augustinus. (K. Bertens : 1981)
2.3 Sejarah Perkembangan Filsafat Pada Zaman Modern
Zaman modern dibagi menjadi beberapa periode yaitu Renesans, Zaman
Barok, Pencerahan dan Romantik.
20. 16
1. Renesans
Jembatan antara Abad Pertengahan dan Zaman Modern yakni periode antara
sekitar tahun 1400 sampai dengan 1600 disebut resesans atau “kelahiran kembali”.
Dalam zaman Renesans, yakni kebudayaan klasik dihidupkan kembali. Filsuf-
filsuf yang patut dicatat dalam zaman renesans adalah N. Macchiavelli (1469-
1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis
Bacon (1561-1626). Pemikiran baru yang mewarnai filsafat renesans adalah
“antropomenphisme” yang artinya sasaran perhatian diarahkan pada manusia.
Dalam zaman Yunani dan abad pertengahan filsafat selalu mencari “substansi”,
prinsip induk yang “ada dibawah” seluruh kenyataan. Para filsuf Yunani
menemukan unsur-unsur kosmologis sebagai prinsip induk (arche) ini. Bagi
pemikir abad pertengahan, Tuhan sendiri adalah prinsip ini. Namun dalam jaman
modern, peranan “substansi” diambil alih oleh manusia sebagai “subjek”. Yang
“terletak dibawah” seluruh kenyataan kita, yang “memikul” kenyataan itu bukan
suatu prinsip di luar kita, melainkan kita sendiri (Harry Hamersma ; 1983)
2. Zaman Barok
Zaman Barok adalah periode antara sekitar 1600 dan 1700. Para filsuf
zaman ini menekankan pada peranan rasio atau akal manusia. Kata Latin ratio
berarti akal. Semua filsuf zaman Barok adalah ahli matematika. Rene Dascartes
(1596-1650), B. Spinoza (1632-1677) dan G. Leibniz (1646-1710) berusaha
menyusun suatu sistem filsafat dengan manusia yang berpikir sebagai pusatnya.
Mereka termasuk aliran filsafat rasionalisme. Mereka berpendapat bahwa akal
merupakan alat terpenting bagi manusia untuk memahami dunia dan untuk
mengatur hidupnya.
3. Zaman Pencerahan
Zaman pencerahan terjadi pada Abad 18. Setelah terjadi perkembangan
dalam renesans dan zaman rasionalisme maka dalam zaman pencerahan ini
manusia dianggap sudah “dewasa”. Mereka beranggapan bahwa dengan akal
semuanya dapat dipecahkan. Filsuf-filsuf besar dalam zaman itu adalah tokoh-
tokoh empirisme, yaitu mendasarkan filsafatnya pada pengalaman. Tokoh-
tokohnya di Inggris diantaranya John Locke (1632-1704), George Berkeley
(1984-1753), dan David Hume (1711-1776). Tokohnya di Perancis J.J Rousseau
21. 17
(1712-1778). Di Jerman tokohnya Immanuel Kant (1724-1804). Immanuel Kant
dapat dikatakan sebagai filsuf yang mensintesakan antara rasionalisme dan
empirisme.
4. Zaman Romantik
Zaman Romantik mulai tahun 1770. Zaman Romantik muncul sebagai
reaksi terhadap semua tekanan atas “rasio” dan empiris (pengalaman). Yang
ditekankan adalah peranan perasaan dan fantasi. Para filsuf zaman Romantik
kebanyakan berasal dari Jerman yaitu J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-
1854), dan G. Hegel (1770-1831). Aliran filsafat yang diwakili tiga filsuf tersebut
adalah idealisme. Aliran ini lebih mengutamakan idea-idea yang dilawankan
dengan materialisme yang mengutamakan dunia materi atau dunia kebendaan.
Yang terpenting dari ketiganya adalah idealisme Hegel. Aliran-aliran filsafat dari
abad 19 dan 20 dapat dikatakan sebgai kelanjutan dari filsafat Hegel atau
sebaliknya sebagai reaksi terhadap filsafat Hegel.
2.4 Sejarah Perkembangan Filsafat Pada Zaman Sekarang
Filsafat zaman sekarang dimulai pada Abad 19. Pada filsafat Abad ini penuh
kekacauan. Ada beberapa “jalan raya” atas peta ini, seperti positivisme,
materialisme, eksistensialisme, evolusionisme, dan pragtisme. Tetapi, tidak
mudah untuk melihat semua aliran ini dalam suatu perspektif besar. Mungkin
terdapat hanya dua ciri umum di bawah semua perbedaaan filsafat abad 19. Yang
pertama adalah bahwa hampir semua aliran merupakan suatu “reaksi”, yang kedua
adalah bahwa manusia sekarang lebih diselidiki sebagai pusat “kehendak” dan
“tindakan” daripada sebagai pusat intelek dan pemikiran. (Harry Harmersma ;
1983)
1. Positivisme
Filsafat positivisme merupakan reaksi terhadap spekulasi teologis dan
metafisis filsafat Hegel. Filsafat ini dimulai oleh Filsuf Perancis Auguste Comte
(1798-1857). Nama positivisme berasal dari kata “positif” yang sama artinya
dengan faktual atau sesuatu yang berdasarkan fakta-fakta. Ilmu pengetahuan,
termasuk juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan diantara fakta-
fakta tersebut. Positivisme juga mengutamakan pengalaman dalam arti hanya
membatasi pada pengalaman objektif. Positivisme menolak cabang filsafat yang
22. 18
disebut metafisika. Hal-hal seperti “hekekat”, “penyebab yang sebenarnya” bagi
positivisme tidak mempunyai arti. Positivisme yang terutama sangat terkenal di
Inggris pada filsuf-filsuf John Stuart Mill (1806-1873) dan Herbert Spencer
(1820-1903).
2. Materialisme
Ada perbedaan antara positivisme dengan materialisme. Positivisme
membatasi diri pada fakta-fakta dan menolak keterangan yang melampaui fakta.
Oleh karena itu positivisme menolak metafisika. Materialisme menyatakan bahwa
kenyataan seluruhnya terdiri dari materi. Setiap hal atau kejadian dapat
dikembalikan pada materi atau proses material. Dengan demikian materialisme
mengakui kemungkinan metafisika, karena materialisme sendiri berdasarkan suatu
metafisika.
Materialisme dapat dibedakan menjadi dua macam. Yang pertama,
materialisme yang meneruskan materialisme dari masa Pencerahan (Aufklarung).
Materialisme semacam ini terutama dianut dalam kalangan ilmu pengetahuan
alam dan para pengikutnya menganggap prinsip materialistik sebagai hasil ilmu
pengetahuan. Aliran ini juga dapat disebut sebagai materialisme ilmiah. Tokoh-
tokoh materialisme ini adalah Ludwig Buechner (1824-1899), Jacob Moloschott
(1822-1893), dan Ernst Haeckel (1934-1919).
Yang kedua, materialisme yang timbul sebagai pusat reaksi atas idealisme.
Dari sudut filsafat aliran ini patut memperoleh perhatian. Tokoh yang termasuk
aliran ini adalah Ludwig Feurbach (1804- 1872) dan Karl Marx (1818-1883) yang
ajarannya disebut Marxisme.
3. Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme merupakan reaksi terhadap essentialisme Hegel.
Dalam abad 20 eksistensialisme menjadi aliran filsafat yang sangat penting.
Menurut eksistensialisme, filsafat harus bertitik tolak pada “kebenaran”
(eksistensi) manusia yang konkrit, dan tidak pada “hakekat” (essensi) manusia
pada umumnya. Essensi manusia ditentukan oleh eksistensinya di dunia ini. Para
filsuf eksistensialisme dalam abad ini adalah Karl Jaspers (1883-1969), Martin
Heidegger (1889-1976), Jean Paul Sarte (1905-1980), Gabriel Marcel (1889-
1973) dan M. Merleau Pomty (1908-1961). Nama “eksistensialisme” hanya
23. 19
disenangi oleh J.P Sartre. Filsuf-filsuf lain dari aliran ini lebih senang disebut
“filsuf eksistensi”.
4. Fenomologi
Fenomologi lebih merupakan metode filsafat daripada sebagai suatu ajaran.
Menurut fenomologi, pengetahuan yang diperoleh dengan intuisi yaitu
mengarahkan perhatian pada fenomen yang ada dalam kesadaran kita. Kenyataan
tidak harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep atau teori-teori.
Setiap benda mempunyai hakekat dan hakekat ini berbicara kepada kita kalau kita
membuka diri untuknya. Para filsuf fenomologi adalah Edmud Husserl (1859-
1938), M. Scheler (1874-1928) dan Maurice Merleau Ponty.
5. Pragmatisme
Menurut pragmatisme, suatu pertimbangan itu benar apabila terbukti bahwa
pertimbangan itu berguna secara praktis, mempunyai nilai praktis bagi kehidupan
materiil dan juga berguna dalam ilmu, seni dan agama. Kebenaran bersifat relatif.
Tidak ada kebenaran mutlak yang lepas dari akal. Akal hanya memberikan
informasi bagi perbuatan-perbuatan, akal harus menyesuaikan dengan perbuatan.
Menurut pragmatis, manusia tidak perlu bertanya “apa itu?” melainkan “apa
gunanya itu?”. Pragmatis, merupakan aliran filsafat yang muncul di Amerika
sekitar tahun 1900. Tokoh-tokoh pragmatisme adalah Ch. S. Peirce (1839-1914),
W. James (1842-1920) dan J. Dewey (1859-1914).
6. Neo-Kantianisme dan Neo-Tomisme
Dalam perkembangan filsafat, sejumlah aliran filsafat yang sebelumnya
telah muncul mengalami kelahiran kembali pada masa berikutnya. Aliran yang
lahir kembali itu adalah Skolastik, filsafat Kant dan filsafat Hegel. Neo-
Kantianisme berkembang terutama di Jerman dan terbagi menjadi dua Madhab
yaitu Madhab Marburg dan Madhab Baden. Menurut aliran ini filsafat dianggap
sebagai epistemologi dan kritik ilmu. Tokoh-tokoh madhab Marburg adalah
Herman Cohen (1842-1918), Paul Natorp (1854-1924) dan Ernst Cassiror (1847-
1945). Sedangkan tokoh-tokoh madhab Baden adalah Wilhelm Windelband
(1848-1915), Heinrich Rickert (1863-1936) dan Wilhem Dilthey (1833-1911).
Neo-Tomisme berkembang di dunia Katolik dan di banyak negara Eropa
dan di Amerika. Para tokoh filsafat ini menginginkan Neo-Tomisme menjadi
24. 20
filsafat yang cocok dengan jamannya dan tidak segan menggunakan unsur-unsur
filsafat yang dianggap berguna dalam filsafat modern. Pada mulanya Neo-
Tomisme agak konservatif, tetapi karena berdialog dengan filsafat Kant, dengan
eksistensialisme dan ilmu modern menjadi suatu aliran yang penting dan
berpengaruh. Tokoh-tokoh Neo-Tomisme adalah Antonin Gilbert Sertillanges
(1863-1948), Joseph Marcehal (1878-1944) dan Jacques Maritain (1882-1973).
7. Neo-Positivisme
Di Wina, pada tahun 1922 dan 1936 berkumpul sejumlah filsuf dan
ilmuwan membicarakan masalah kritik ilmu pengetahuan dipimpin oleh Moritz
Schlick (1882-1936). Orientasi kelompok ini menamakan diri Wiener Kreis
(lingkaran Wina) adalah Neopositivistik. Mereka membatasi bidang filsafat pada
pertanyaan-pertanyaan yang dapat diverifikasi. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat
diverifikasi adalah pertanyaan yang bersifat “kognitif-deskriptif”. Pertanyaan-
pertanyaan yang tidak dapat menjawab pertanyaan “Bagaimana Anda tau?” dan
“Apakah maksud Anda?” ditolak sebagai sesuatu yang tidak bermakna. Dengan
denikian menurut lingakarn Wina tidak ada tempat bagi metafisika dan etika
normatif. Tokoh-tokoh lingkaran Wina adalah Hans Hahn (1891-1934), Otto
Neurath (1882-1945) dan Rudolf Carnap (1891-1970).
8. Aliran yang paling mutakhir : Filsafat Analitik
(Analitic Philosophy) dan Strukturalisme.
Sejak tahun 1950 filsafat analitik merupakan aliran yang terpenting di
Inggris dan Amerika Serikat. Filsafat Analitik juga disebut “filsafat kebahasaan”
(linguistic philosophy). Aliran ini mengadakan analisis bahasa dan kosep-konsep.
Mereka yang termasuk aliran ini tidak memperdulikan kebenaran, melainkan
memusatkan perhatian pada makna ucapan-ucapan kita. Buat mereka pertanyaan
pokok bukannya “is it true?”, melainkan “what is the meaning?”. Tokoh aliran ini
adalah George Edward Moore (1873-1958).
Strukturalisme adalah filsafat yang muncul dan berkembang di Perancis
terutama sejak 1960. Strukturalisme menyelidiki “pattern” (pola-pola dasar yang
tetap) dalam bahasa-bahasa, agama-agama, sistem-sistem ekonomi dan politik dan
dalam karya-karya kesusasteraan. Tokoh-tokoh strukturalisme adalah Claudo Levi
Strauss, Jacques Lacan (1901-1981) dan Michel Foucault.
25. 21
BAB III
FILSAFAT, ILMU DAN PENGETAHUAN
3.1 Filsafat
Filsafat merupakan induk ilmu. Filsafat adalah teori tentang kebenaran yang
mengedepankan rasionalitas, pondasi awal dari segala macam disiplin ilmu yang
ada. Filsafat juga bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan
memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta
radikal. Sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut. Filsafat bersifat
spekulatif, mendekati agak mutlak. Kebenaran dari filsafat kadang berupa
keraguan yang belum bisa dipastikan kebenarannya.
Kata “filsafat” berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan
“shopia”. Philos sender artinya cinta yang sangat mendalam, dan shopia berarti
kearifan atau kebijakan. Filsafat secara harfiah adalah cinta yang sangat
mendalam terhadap kearifan atau kebijakan. Istilah filsafat sering digunakan
secara popular dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak
sadar. Terdapat empat hal yang mendorong kelahiran filsafat, yaitu
a. Ketakjuban;
b. Rasa kagum;
c. Ketidakpuasan;
d. Hasrat bertanya,
e. Keraguan.
3.2 Ilmu
Ilmu adalah hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu
system mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian tentang hukum-
hukum dan hal ikhwal yang diselidikinya. Dalam kaitan antara filsafat dan ilmu
dapat dikatakan bahwa setiap ilmu memiliki obyek tersendiri dan metode
pendekatan yang khusus sesuai dengan ciri ilmu dan tujuan yang ingin dicapainya.
Menurut Muhamad Hatta mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur
tentang pekerjaan, hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama,
tabiat, maupun menurut kedudukanya tampak dari luar, maupun menurut
bangunanya dari dalam. Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam
26. 22
perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat
banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat
menjadi tumpuan untuk menjawabnya, filsafat memberi penjelasan atau jawaban
substansial dan radikal atas masalah tersebut, sementara ilmu terus
mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, proses atau interaksi
tersebut. Pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu
filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara
filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan
filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman.
Ilmu pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk menjelaskan berbagai
fenomena empiris yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut adalah untuk
memperoleh suatu pemahaman yang benar atas fenomena tersebut. Terdapat
kecenderungan yang kuat sejak berjayanya kembali akal pemikiran manusia
adalah keyakinan bahwa ilmu merupakan satu-satunya sumber kebanaran, segala
sesuatu penjelasan yang tidak dapat atau tidak mungkin diuji, diteliti, atau
diobservasi adalah sesuatu yang tidak benar, dan karena itu tidak patut dipercayai.
Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah dapat dijawab
dengan ilmu, banyak sekali hal-hal yang merupakan konsep manusia, sulit, atau
bahkan tidak mungkin dijelaskan oleh ilmu seperti masalah Tuhan, Hidup
sesudah mati, dan hal-hal lain yang bersifat non-empiris. Oleh karena itu bila
manusia hanya mempercayai kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran,
maka dia telah mempersempit kehidupan dengan hanya mengikatkan diri dengan
dunia empiris, untuk itu diperlukan pemahaman tentang apa itu kebenaran baik
dilihat dari jalurnya (gradasi berfikir) maupun macamnya.
Perkembangan ilmu memang telah banyak pengaruhnya bagi kehidupan
manusia, berbagai kemudahan hidup telah banyak dirasakan, semua ini telah
menumbuhkan keyakinan bahwa ilmu merupakan suatu sarana yang penting bagi
kehidupan, bahkan lebih jauh ilmu dianggap sebagai dasar bagi suatu ukuran
kebenaran. Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah dapat
didekati dengan pendekatan ilmiah, sekuat apapun upaya yang dilakukan.
27. 23
Di dalam buku “what is science” karya Archie J. Bahm secara umum
membicarakan enam komponen dari rancang bangun ilmu pengetahuan (bangunan
dasar ilmu pengetahuan), artinya sesuatu bisa disebut ilmu pengetahuan, yaitu
1. Adanya Masalah (problem)
Dalam persoalan ini menjelaskan bahwa tidak semua masalah menunjukkan
ciri keilmiahan, karena suatu masalah disebut masalah ilmiah jika memenuhi
persyaratan yaitu, masalah itu merupakan masalah yang dihadapi dengan sikap
dan metodologi ilmiah, yang terus ilmiah lain yang sistematis.
2. Adanya Sikap
Dalam arti sikap ilmiah, sikap ini meliputi mencari solusi enam karakteristik
pokok, yaitu keingintahuan, spekulasi, kemauan untuk objektif, kemauan untuk
menangguhkan penilaian, dan kesementaraan.
3. Mengunakan Metode Ilmiah
Sifat dasar metode ilmiah ini dipandang sebagai hipotesa untuk pengujian
lebih lanjut.
4. Adanya Aktifitas
Ilmu pengetahuan adalah apa yang yang dikerjakan oleh para ilmuan, yang
kemudian biasa disebut dengan “riset ilmiah”.
5. Adanya Kesimpulan
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang dihasilkan, maka dari itu
pengetahuan sering difahami sebagai kumpulan pengetahuan.
6. Adanya Pengaruh
Bagian apa yang dikerjakan ilmu pengetahuan, kemudian menimbulkan
pengaruh yang beraneka ragam.
3.3 Pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan
apabila seseorang mengenal sesuatu. Semua pengetahuan hanya dikenal dan ada
dalam fikiran manusia, tanpa fikiran pengetahuan tidak akan eksis. Sedangkan
penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan
berupa pengetahuan.
Leibniz membedakan menjadi dua jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan
yang menaruh perhatian pada kebenaran enternal (abadi), dalam hal ini kebenaran
28. 24
logis. Pengetahuan ini didasarkan pada prinsip identitas dan prinsip kontradiksi.
Kedua, pengetahuan yang didasarkan pada observasi atau pengamatan, hasilnya
disebut “kebenaran kontingen” atau kebenaran fakta.
Menurut Wolff lapangan pengetahuan itu menjadi tiga bidang, yaitu :
1. Kosmologi rasional adalah pengetahuan yang berangkat dari premis;
2. Sikologi rasional adalah pengetahuan yang berhubungan denga jiwa;
3. Teologi rasional. Dalam pengetahuan ini, Wolff mengemukakan prinsip,
bahwa Tuhan adalah realitas sesungguhnya, yang paling sempurna.
3.4 Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan Pengetahuan
1. Filsafat. Menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan
(mengembarakan atau mengelanakan ) akal budi secara radikal (mengakar)
dan integral, serta universal (mengalam), tidak merasa terikat oleh ikatan
apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika.
Pengetahuan. Hasil dari proses mencari tahu, sesuatu yang diketahui
berkaitan dengan proses pembelajaran. Proses belajar ini dipengaruhi
berbagai faktor dari dalam seperti motivasi dan faktor luar berupa sarana
informasi yang tersedia serta keadaan sosial budaya.
Ilmu. Mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research),
pengalaman (empiri), dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian.
2. Filsafat. Memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan
pada pengalaman realitas sehari-hari.
Pengetahuan. Tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori,
prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau
berguna.
Ilmu. Bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari
tidak tahu menjadi tahu.
3. Filsafat. Dengan wataknya sendiri yang menghampiri kebenaran, baik
tentang alam maupun tentang manusia (yang belum atau tidak dapat dijawab
oleh ilmu, karena diluar atau di atas batas jangkauannya), ataupun tentang
tuhan.
Pengetahuan. Dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam
dan manusia.
29. 25
Ilmu. Dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam dan
manusia.
3.5 Persamaan Filsafat, Ilmu, dan Pengetahuan
Meskipun filsafat, ilmu, dan pengetahuan memiliki makna yang berbeda
tetapi ketiganya memiliki suatu persamaan tersendiri, yaitu :
1. Ketiganya menempuh suatu jalan untuk mencapai kebenaran;
2. Ketiganya didasarkan pada rasio, maksudnya sama-sama berdasarkan akal
budi;
3. Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek
selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
30. 26
BAB IV
LOGIKA BERPIKIR DAN KEBENARAN ILMIAH
4.1 Logika Berpikir
1. Pengertian Logika Menurut Bahasa (Etimologi)
“Logika” diturunkan dari kata sifat “Logike” (Bahasa Yunani) yang
berhubungan dengan kata benda “Logos” yang artinya fikiran. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan antara fikiran dan kata yang merupakan
pernyataannya dalam bahasa. Berfikir adalah suatu kegiatan jiwa untuk mencapai
pengetahuan.
Logos juga bisa diartikan sebagai perkataan atau sabda. Istilah lain yang
digunakan sebagai gantinya adalah Mantiq, kata Arab yang diambil dari kata kerja
nataqa yang berarti berkata atau berucap. Mantiq disebut sebagai penyelidikan
tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar.
2. Pengertian Logika Menurut Para Ahli
a. Irving M.Copy
Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang
digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dan penalaran yang salah.
b. M.Sommer
Logika adalah ilmu pengetahuan tentang karya-karya akal budi untuk
membimbing menuju yang benar. Ilmu pengetahuan ialah dasar dari logika, karya
akal budi adalah sasaran logika, sedangkan membimbing menuju yang benar ialah
tujuan logika.
c. The Liang Gie
Logika adalah bidang pengetahuan dalam lingkungan filsafat yang
mempelajari secara teratur asas-asas dan aturan-aturan penalaran yang betul.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, logika adalah pengetahuan dari bidang
filsafat yang mempelajari tentang teknik, aturan, dan hukum-hukum
penalaran/berfikir dengan semestinya/seharusnya agar dapat memperoleh
kesimpulan yang benar.
31. 27
4.2 Ruang Lingkup
Logika sebagai suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti
ketepatan penalaran. Penalaran adalah suatu bentuk pemikiran. Adapun bentuk
pemikiran yang lain mulai dari yang paling sederhana ialah pengertian atau
konsep (concept), proposisi atau pernyataan (propotition), statement dan
penalaran.
a. Masalah/Term
Term merupakan pengertian atau konsep tentang sesuatu benda. Pengertian
adalah sesuatu yang abstrak. Jika kita hendak menunjukkan pengertian, maka itu
harus diganti dengan lambang-lambang paling lazim adalah bahasa, di dalam
bahasa pengertian itu lambangnya berupa kata-kata atau sebagai fungsi dari
pengertian itu disebut term. Karena adanya perbedaan sifat lambang dan yang
dilambangkan maka harus diperhatikan jumlah kata dengan jumlah pengertian.
Contohnya : meja makan terdiri dari dua kata meja dan makan tetapi dua kata
tersebut hanya mengandung satu pengertian.
b. Proposisi
Proposisi lambangnya dalam bahasa berupa kalimat berita. Hanya kalimat
beritalah yang merupakan suatu pernyataan yang dapat benar atau salah.
c. Penyimpulan
Penyimpulan adalah kegiatan akal manusia untuk mendapatkan pengetahuan
yang baru berdasarkan pengetahuan yang sudah ada.
4.3 Tipe-Tipe Logika
1. Logika Makna Luas dan Logika Makna Sempit
Logika dalam arti sempit adalah searti dengan logika deduktif atau logika
formal, sedangkan dalam arti luas pemakaian logika tidak hanya dimaksudkan
sebagi suatu pembahasan mengenai logika sendiri, tetapi juga tentang sistem-
sistem. Yaitu mencakup :
a. Asas-asas paling umum mengenai pembentukan pengertian, inferensi dan
tatanan (logika formal atau logika simbolik);
b. Sifat dasar dan syarat pengetahuan dengan objek yang diketahui, ukuran
kebenaran, kaidah-kaidah pembuktian (epistemologi);
32. 28
c. Metode-metode untuk mendapatkan pengetahuan dalam penyelidikan-
penyelidikan ilmiah (metodologi).
2. Logika Deduktif dan Logika Induktif
Logika deduktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas
penalaran yang bersifat deduktif, yaitu penalaran yang merumuskan suatu
kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikiran sehingga bersifat betul
menurut bentuk dan bekerjanya akal, yakni runtutannya serta kesesuaiannya
dengan langkah-langkah dan aturan-aturan yang berlaku sehingga penalaran yang
terjadi adalah tepat. Sedangkan logika induktif merupakan suatu ragam logika
yang mempelajari asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah kesimpulan
umum.
3. Logika Formal dan Logika Material
Logika formal adalah suatu bagian logika deduktif, yaitu bagian yang
bertalian dengan perbincangan-perbincangan yang sah menurut bentuk dan bukan
menurut isinya.
Logika isi adalah suatu jenis atau bagian logika yang menelaah pemikiran
atau penalaran sepanjang kegiatan itu mengungkapkan dunia kenyataan dan
mempelajari kemampuan akal untuk mencapai kebenaran, yaitu kesesuaian antara
bentuk pikiran dengan isi yang dikandungnya.
4. Logika Murni dan Logika Terapan
Menurut Leonard, logika murni (pure logic) sebagai “the science of the
effect on the meaning of statements and consequently on the validity of proofs of
all parts and aspects of those statements and proofs except the strict intensions of
the term contained is them”, (ilmu tentang efek terhadap arti dari pernyataan-
pernyataan dan sebagai akibatnya terhadap kesahan dari pembuktian-pembuktian
tentang semua bagian dan segi dari pernyataan-pernyataan dan pembuktian-
pembuktian kecuali arti-arti tertentu dari istilah-istilah yang termuat didalamnya).
Logika murni merupakan suatu pengetahuan mengenai asas-asas dan aturan-
aturan logika yang berlaku umum pada semua segi dan bagian dari pernyataan-
pernyataan tanpa mempersoalkan arti khusus dalam sesuatu cabang ilmu dari
istilah yang dipakai dalam pernyataan-pernyataan yang dimaksudkan. Logika
terapan adalah pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu,
33. 29
bidang-bidang filsafat dan juga dalam pembicaraan yang menggunakan bahasa
sehari-hari. Misalnya, logika sosiologi bagi sosiologi.
5. Logika Filsafat dan Matematik
Logika filsafat dipertentangkan dengan logika matematik. Logika filsafat
(Philosophical Logic) merupakan ragam logika yang masih berhubungan erat
dengan pembahasan dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban (Deontic
Logic) dengan etika atau logika arti (Intentional Logic) dengan metafisika.
Logika Matematika merupakan ragam logika yang menelaah penalaran yang
benar dengan menggunakan metode-metode matematik serta bentuk-bentuk,
lambang-lambang yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna ganda
atau kekaburan yang terdapat dalam bahasa biasa. Logika jenis ini sangat teknis
dan dan ilmiah. Logika matematika yang juga dianggap searti dengan logika
simbolik disebut dengan Technical Logic Scientific Logic.
4.4 Manfaat Belajar Logika
Tujuan logika adalah sebagai studi ilmiah untuk memberikan prinsip-prinsip
dan hukum-hukum berpikir yang benar. Manfaat mempelajari logika:
a. Logika menyatakan, menjelaskan dan menggunakan prinsip-prinsip abstrak
yang dapat dipakai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan;
b. Pelajaran logika menambah daya berpikir abstrak dengan demikian melatih
dan mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual;
c. Logika mencegah kita tersesat dalam berfikir;
d. Menempatkan persoalan dan menunaikan tugas pada situasi dan kondisi
yang tepat;
e. Logika membantu manusia berpikir lurus, efisien, tepat dan teratur untuk
mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan.
4.5 Kebenaran Ilmiah
1. Pengertian Kebenaran Ilmiah
Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata : apakah kebenaran itu? lalu
pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab:
“kebenaran itu adalah kenyataan” tetapi bukanlah kenyataan itu tidak selalu yang
seharusnya terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran
atau keburukan. Jadi ada dua pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti
34. 30
nyata-nyata terjadi disatu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan
atau ketidak benaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara
pengetahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan
itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah
pengetahuan obyektif.
Dalam kamus dijelakan ilmiah berasal dari kata ilmu artinya pengetahuan.
Namun, dalam kajian filsafat antara ilmu dan pengetahuan dibedakan.
Pengetahuan bukan ilmu, tetapi ilmu merupakan akumulasi pengetahuan.
Sedangkan yang dimaksud ilmiah adalah pengetahuan yang didasarkan atas
terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, terutama menyangkut teori yang menunjang
dan sesuai dengan bukti.
Jadi yang dimaksud dengan kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang
diperoleh secara mendalam berdasarkan penelitian dan penalaran logika ilmiah.
2. Teori-Teori Kebenaran
Teori-teori yang terkelompokkan mengenai kebenaran ilmiah:
a. Teori Kebenaran Koresponden
Ujian kebenaran yang didasarkan atas teori korespondensi paling diterima
secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan
kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah
persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara
pertimbangan(judgement) dan situasi yang dijadikan pertimbangan itu,serta
berusaha untuk melukiskannya, karena Kebenaran mempunyai hubungan erat
dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.
(Titus,1987:237)
Teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan
yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dan sesuai
dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (susiasumantri, 1990:57).
Jadi secara sederhana, teori kebenaran korespondensi adalah kesesuaian antara
pernyataan dengan kenyataan. Sesuatu pernyataan dikatakan benar apabila ada
bukti empiris yang mendukungnya.
35. 31
Contoh : Jakarta adalah ibukota negara RI, Orang Indonesia terdiri dari
berbagai suku bangsa.
b. Teori Kebenaran Koherensi
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten
dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu menurut
logika.
Dapat dikatakan juga teori ini adalah keruntutan pernyataan. Pernyataan-
pernyataan dikatakan benar apabila ada keruntutan didalamnya, artinya
pernyataan satu tidak bertentangan secara logika dengan pernyataan-pernyataan
yang lain.
Contoh :
Semua manusia membutuhkan air
Fajri adalah seorang manusia
Jadi, Fajri membutuhkan air
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Menurut teori ini sesuatu pernyataan atau pemikiran dikatakan benar apabila
dapat mendapatkan manfaat atau kegunaan pada banyak orang. Jadi, tidak cukup
bila suatu pernyataan dilihat secara korespondensi atau koherensi. Hal yang lebih
penting adalah apakah pernyataan itu dapat dilaksanakan, ditindaklanjuti dalam
perbuatan yang bermanfaat. Apabila sesuatu itu bermanfaat bagi manusia berarti
sesuatu itu benar. Apabila suatu ide yang brilian dapat dilaksanakan secara
operasional barulah ide tersebut benar.
Contoh : Pernyataan “Semua besi bila dipanaskan akan memuai”
mempunyai kebenaran pragmatis bagi tukang pandai besi atau pabrik untuk
mengolah besi sehingga menjadi alat-alat yang bermanfaat bagi manusia.
d. Teori Kebenaran Sintaksis
Teori Kebenaran Sintaksis adalah suatu teori yang mengatakan bahwa suatu
pernyataan dikatakan benar atau memiliki nilai benar jika sesuai dengan sintaksis
atau susunan kaidah gramatika (tata bahasa) yang baku. Teori ini berkembang di
kalangan para filsuf analisa bahasa yang salah satu tokohnya adalah Friederich
36. 32
Schleiermarcher (1768-1834) yang menyatakan adanya dua momen yang saling
berkaitan dalam menyatakan adanya unsur kebenaran dalam suatu pernyataan,
yaitu momen tata bahasa/gramatika dan momen kejiwaan.
e. Teori Kebenaran Semantis
Menurut teori kebenaran semantik, suatu proposisi memiliki nilai benar
ditinjau dari segi arti atau makna. Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada
referensi atau kenyataan, juga memiliki arti yang bersifat definitif.
f. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Jadi,
menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar
ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi yang
amat praktis dalam kehidupan sehari-hari). Teori kebenaran non-deskripsi akan
memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis
dalam kehidupan sehari-hari.
g. Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan
Teori kebenaran logik yang berlebihan (Logical-Superfluity Theory of
Truth) ini dikembangkan oleh para penganut paham Filsafat Positivistik yang
diawali oleh Ayer. Pendapat Gallagher (1984) yang menyatakan bahwa pada
dasarnya menurut teori kebenaran ini, bahwa problem kebenaran hanya
merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu
pemborosan, karena pada dasarnya apa “pernyataan” yang hendak dibuktikan
kebenarannya memiliki derajat logik yang sama, yang masing-masing saling
melingkupinya.
Menurut teori ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan
bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada
dasarnya apa pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat
logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya.
h. Teori Aksiologi
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang berarti nilai dan
logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai“. Menurut
Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian yaitu moral conduct (tindakan moral),
esthetic expression (ekspresi keindahan), dan sosio-political life (kehidupan sosial
37. 33
politik). Sedangkan menurut Jujun S. Suriansumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dalam Encyclopedia of Philosophy
dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan Value and Valuation. Ada tiga
bentuk Value and Valuation yaitu nilai yang digunakan sebagai kata benda
abstrak, nilai sebagai benda konkret, dan nilai digunakan sebagai kata kerja dalam
ekspresi menilai, member nilai dan dinilai.
Dari definisi di atas terlihat jelas bahwa aksiologi menjelaskan tentang nilai.
Nilai yang dimaksud disini adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Nilai dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna “etika“ dipakai dalam dua bentuk arti yaitu suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia, dan suatu predikat
yang dipakai untuk membedakan hal, perbuatan manusia. Maka akan lebih tepat
kalau dikatakan bahwa objek formal dari sebuah etika adalah norma kesusilaan
manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia
ditinjau dari segi baik dan tidak baik dalam suatu kondisi. Sedangkan estetika
berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
4.6 Sifat Kebenaran Ilmiah
Suatu kebenaran ilmiah lahir dari hasil penelitian ilmiah. Jadi agar
kebenaran tersebut dapat muncul maka harus melalui proses-proses atau suatu
prosedur. Prosedur baku yang harus dilalui adalah tahaan-tahapan untuk
memperoleh pengetahuan ilmiah, yang pada hakikatnya berupa teori, melalui
metodologi ilmiah yang baku sesuai dengan sifat dasar ilmu. Maksudnya, adalah
setiap ilmu secara tegas menetapkan jenis objek secara ketat apakah objek itu
berupa hal konkrit atau abstrak. Selain itu ilmu menetapkan langkah-langkah
ilmiah sesuai dengan objek yang dihadapinya itu. Kebanaran data ilmu adalah
kebenaran yang sifatnya objektif. Maksudnya, bahwa kebenaran dari suatu teori
atau lebih tinggi dan aksioma atau paradigma, harus didukung oleh fakta-fakta
yang berupa kenyataan dalam keadaan objektifnya. Kebenaran yang benar-benar
lepas dari keinginan subjek. Kenyataan yang dimaksud adalah kenyataan yang
38. 34
berupa suatu dapat dipakai sebagai acuan atau kenyataan yang pada mulanya
merupakan objek dalam pembentukan pengetahuan ilmiah itu. Mengacu pada
status ontologisme objek, pada dasarnya kebenaran dalam ilmu dapat digolongkan
dalam dua jenis teori yaitu teori kebenaran koepondensi atau teori kebenaran
kohensi. Ilum-ilmu kealaman pada umumnya menuntut kebenaran korespondensi
karena fakta-fakta objektif sangat dituntut dalam pembuktian terhadap setiap
proposisi atau pernyataan (statement). Akan tetapi, berbeda dengan ilmu-ilmu
kemausiaan, ilmu-ilmu social, ilmu logika dan matematika. Ilmu-ilmu tersebut
menuntut konsistensi dan keherensi diantara proposisi-proposisi sehingga
pembenaran bagi ilmu-ilmu itu mengikat teori kebenaran koherensi. Hal yang
cukup penting dan perlu mendapatkan perhatian dalam kebenaran ini adalah
kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan dan konvensi dari
para ilmuwan di bidangnya. Sifat kebenaran ilmu memiliki sifat universal sejauh
kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Pernyataan tersebut karena kebenaran
ilmu harus selalu merupakan kebenaran yang disepakati dalam konfensi sehingga
keuniversalan sifat ilmu harus selalu harus masih dibatasi oleh penemuan baru
atau penemuan lainnya yang hasilnya menolak pertemuan terdahulu atau
bertentangan sama sekali. Apabila terdapat hal semacam ini, diperlukan suatu
penelitian yang mendalam apabila hasilnya berbeda. Kebenaran yang lama harus
diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan
kekuatanya atas kebenaranya amasing-masing. Contoh kasus yang terjadi adalah
teori geometri, Euklides dan teori geometri. Reinnan yang bersama-sama dengan
Labocevsky tentang jumlah besar 3 sudut dari suatu segitiga. Contoh yang lain
adalah tentang peralihan teori tentang pusat alam raya dari bumi menjadi matahari
atau bahkan teori baru yang menunjukkan bahwa pusat alam raya pada pusat
galaksi bimasakti.
4.7 Cara untuk Menemukan Kebenaran Ilmiah
Untuk menentukan kebenaran ilmiah yaitu dengan menemukan kebenaran
dari masalah, pengamatan dan teori, metode Hipotetico-dedukatif, pengamatan
dan eksperimen, falsification/operasional, dan konfirmasi kemungkinan.
39. 35
BAB V
FILSAFAT MORAL DAN ETIKA
5.1 Filsafat Moral
Kata moral berasal kata latin ‘’mores’’yaitu kebiasaan. Moral berasal dari
Bahasa Latin yaitu Moralitas adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau
orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak
memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai
positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus
dimiliki oleh manusia. Namun demikian karena manusia selalu berhubungan
dengan masalah keindahan baik dan buruk bahkan dengan persoalan-persoalan
layak atau tidak layaknya sesuatu.
Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses
sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang
mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral
itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai
moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya.
Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara
utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan
manusia apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang
berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan
lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik,
begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Moral juga
dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan
seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman,
tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
40. 36
5.2 Jenis-Jenis Moral
Dalam perkembangannya etika terbagi atas etika deskriptif, etika normatif
dan metaetika.
a. Moral Ekstrinsik
Dapatkah suatu tindakan disebut secara moral sebagai baik atau buruk
karena kodrat jenis tindakan yang bersangkutan, lepas dari soal pertimbangan
eksterior yang menyatakannya sebagai yang diperbolehkan, diperintahkan, atau
dilarang. Misalnya, dalam tindakan mencuri. Apakah nilai “keburukan” dari
aktivitas mencuri itu karena dilarang oleh hukum (misalnya hukum Tuhan atau
hukum sipil) ataukah memang tindakan mencuri tidak boleh dilakukan karena
memang aktivitas tindakan itu memiliki esensi moral intrinsik (di dalam dirinya
sendiri) buruk. Hal yang sama juga dimaksudkan untuk tindakan “membunuh,”
misalnya, apakah setiap tindakan membunuh (apapun) itu buruk dan karenanya
harus dicegah setiap tindakan itu, ataukah nilai yang diproduksi dari tindakan
membunuh itu dikondisikan oleh larangan, hukum atau peraturan yang ada. Teori
yang mengaitkan nilai moral suatu perbuatan dengan hukum positif (entah dari
Tuhan atau dari manusia) disebut positivisme moral. Namun dengan demikian
bisa dikatakan sebagai moral ekstrinsik.
Moral ekstrinsik ialah penilaian baik buruk atas tindakan manusia yang
didasarkan dalam konformitasnya atau kesesuaiannya dengan hukum positif atau
perintah. Realitas hidup kita sangat mengatakan bahwa kita membutuhkan
perintah atau larangan atau kewajiban dari orang tua, misalnya, agar tahu dan
mengerti mengenai nilai moral suatu tindakan. Apa itu kewajiban? Kewajiban
adalah itu yang apabila tidak dilakukan mendapatkan sanksi dan hukuman. Jadi,
kewajiban secara perlu berhubungan langsung dengan hukum. Dan apa itu hukum,
atau juga hukuman? Baik hukum maupun hukuman hanya mungkin apabila ada
instansi/agen yang menegaskannya. Disinilah letak ekstrinsiknya moral
kewajiban. Hobbes, misalnya, mengatakan bahwa baik atau buruk (good and evil)
mulai dengan adanya hukum. Pada abad pertengahan William Ockham
berpandangan bahwa tatanan moral sebagaimana tatanan dari segala apa yang ada
(tatanan ontologis) tergantung pada kehendak bebas Allah.
41. 37
Problem moralitas ekstrinsik ialah dalam kaitannya dengan persoalan
mengenai ketaatan terhadap hukum itu sendiri. Agar korespondensi atau
diskrepansi dengan hokum melahirkan nilai moral, diperlukan paling sedikit
kenyataan bahwa taat kepada hukum merupakan sesuatu yang selaras dengan
kodrat manusia. Tetapi tidak semua ketaatan terhadap hukum mengalirkan nilai
moral. Ketaatan terhadap hukum hanya memiliki nilai moral jika hukum yang
bersangkutan adalah hukum yang adil. Dengan demikian, harus jelas terlebih
dahulu dalam moralitas ekstrinsik ialah soal apakah hukumnya adil atau tidak.
Jika tidak adil sudah tentu ketidaktaatan terhadap hukumnya tidak bias dikatakan
sebagai tindakan melangkahi nilai moral.
b. Moral Intrinsik
Karena nilai moral tindakan manusia tidak hanya diturunkan dari sumber-
sumber eksterior, moralitas manusia harus juga memiliki proprietas intrinsik.
Moral intrinsik berarti bahwa penilaian baik dan buruk atas tindakan manusia
difondasikan pada tindakannya sebagai demikian. Misalnya, tindakan melindungi
orang yang dianggap oleh hukum Negara telah melakukan hal-hal subversive
(kasus menyembunyikan kelompok PRD, Partai Rakyat Demokratik dari kejaran
pihak keamanan, misalnya), secara hukum jelas dianggap merupakan kejahatan,
tetapi tindakan itu terpuji karena merupakan tindakan menyelamatkan manusia
dari bahaya. Moral intrinsik menegaskan kebenaran bahwa tatanan moral manusia
itu baik atau buruk, adil atau tidak, bukan karena ditentukan oleh keputusan atau
pertimbangan manusia yang berkuasa atau instansi yang berkuasa,melainkan oleh
kesadaran kita dalam arti yang sedalam-dalamnya sebagai manusia. Karakter
intrinsic nilai moral tindakan manusia ialah itu yang langsung menjadi milik dari
tindakannya. Pada pemandangan sepintas kita bisa berkata bahwa proprietas
intrinsic tindakan manusia ialah kemungkinan suatu tindakan itu mengarah secara
langsung atau tak langsung pada kebahagiaan. Bukankah hidup manusia secara
nyata dan konkret akan berjalan dengan baik sejauh menuju kepada kebahagiaan.
Seorang manusia itu good sejauh dia mengejar dan memperoleh apa yang
merupakan kebahagiaan.
42. 38
5.3 Filsafat Etika
Etika, atau biasa disebut filsafat moral merupakan cabang filsafat sistematik
yang biasa disebut dengan Aksiologi, membahas mengenai etika, moral, serta nilai
etis dan tidak etis dalam diri seorang manusia atau kehidupan bermasyarakat.
Etika sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno ethos yang berarti kebiasaan, adat
atau watak kesusilaan. Dalam praktisnya, etika adalah ilmu yang mempelajari
akan hal baik dan buruk serta seberapa jauh nilai baik dan buruk tersebut. Pada
akhirnya jika semua nilai yang baik dan buruk telah diperoleh, maka manusia
akan mengetahui apa saja batasan dari etika yang boleh ia lakukan dan tidak boleh
ia lakukan, sehingga manusia akan condong kepada kebaikan. Jika cabang filsafat
lain membahas tentang ada dan tiada, maka filsafat etika lebih membahas apa
yang harus dilakukan oleh seorang manusia.
5.4 Macam-macam Etika
Dalam perkembangannya etika terbagi atas etika deskriptif, etika normatif
dan metaetika.
a. Etika Deskriptif
Etika deskriptif memberikan gambaran tingkah laku moral dalam arti luas,
seperti norma dan aturan yang berbeda dalam suatu masyarakat atau individu yang
berada dalam kebudayaan tertentu atau yang berada dalam kurun atau periode
tertentu. Norma dan aturan tersebut ditaati oleh individu atau masyarakat yang
berasal dari kebudayaan atau kelompok tertentu. Ajaran tersebut lazim diajarkan
para pemuka masyarakat dari kebudayaan atau kelompok tersebut.
Contoh : Masyarakat Jawa mengajarkan tata krama terhadap orang yang
lebih tua dengan menghormatinya, bahkan dengan sapaan yang halus sebagai
ajaran yang harus diterima. Bila tidak dilakukan, masyarakat menganggapnya
aneh atau bukan orang Jawa.
b. Etika Normatif
Etika normatif mempelajari studi atau kasus yang berkaitan dengan masalah
moral. Etika normatif mengkaji rumusan secara rasional mengenai prinsip-prinsip
etis dan bertanggung jawab yang dapat digunakan oleh manusia. Dalam etika
normatif yang paling menonjol adalah penilaian mengenai norma-norma.
Penilaian ini sangat menentukan perilaku manusia yang baik dan buruk.
43. 39
Etika normatif terbagi atas dua kajian yakni etika yang bersifat umum dan
khusus. Etika normatif umum mengkaji norma etis/moral, hak dan kewajiban, dan
hati nurani. Sedangkan etika normatif khusus menerapkan prinsip-prinsip etis
yang umum pada perilaku manusia yang khusus, misalnya etika keluarga, etika
profesi (etika kedokteran, etika perbankan, etika bisnis, dll.), etika politik, dll.
c. Metaetika
Metaetika adalah kajian etika yang membahas tentang ucapan-ucapan
ataupun kaidah-kaidah bahasa aspek moralitas, khususnya berkaitan dengan
bahasa etis (bahasa yang digunakan dalam bidang moral). Kebahasaan seseorang
dapat menimbulkan penilaian etis terhadap ucapan mengenai yang baik, buruk dan
kaidah logika.
Contoh : Bahasa iklan yang berlebihan dan menyesatkan, seperti pada
tayangan iklan obat yang menganjurkan meminum obat tersebut agar sembuh dan
sehat kembali. Ketika orang mulai mengkritik iklan tersebut, maka
dimunculkanlah ucapan etis “jika sakit berlanjut, hubungi dokter”. Ucapan etis
tersebut seolah dihadirkan oleh sekelompok produsen untuk disampaikan kepada
masyarakat agar lebih bijak dalam meminum obat tersebut.
5.5 Perbedaan Filsafat Moral dan Etika
Etika sebagai filsafat moral berarti melakukan perenungan secara mendalam
mengenai berbagai ajaran moral (kebaikan) secara kritis. Namun harus dibedakan
antara etika dan moral. Etika mempelajari berbagai ajaran moral secara kritis dan
logis. Sedangkan moral merupakan nasihat-nasihat yang berupa ajaran-ajaran
pada adat istiadat suatu masyarakat/golongan/agama. Moral bersifat aplikatif
mengenai tindakan manusia yang baik dan buruk.
Pokok bahasan yang sangat khusus pada etika adalah sikap kritis manusia
dalam menerapkan ajaran-ajaran moral terhadap perilaku manusia yang
bertanggung jawab. Ajaran-ajaran tersebut sangat menentukan bagaimana moral
manusia itu dibina baik melalui pendidikan formal maupun non formal.
5.6 Faktor-faktor Penyebab Berkurangnya Moral dan Etika
Dalam hal ini ada beberapa hal yang mempengaruhi menurunnya moral dan
etika pada generasi muda (penerus). Dari data yang diperoleh, baik dari
44. 40
wawancara terhadap narasumber maupun dari sumber-sumber lain, hal yang
mempengaruhi antara lain adalah:
a. Longgarnya pegangan terhadap agama sudah menjadi tragedi dari dunia
maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu
pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai terdesak, kepercayaan
kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan
Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada
ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam
dirinya. Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral
yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya.
Namun biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari
dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika
orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan
mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar
peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila dalam
masyarakat itu banyak orang yang melakukuan pelanggaran moral, dengan
sendirinya orang yang kurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru
melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang
teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan
sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena
setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar
hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin
jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah memelihara moral orang
dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin
banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.
b. Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga,
sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga
institusi ini tidak berjalan menurut semestinya atau yang sebiasanya.
Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus dilakukan dari sejak anak
masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak
lahir, belum mengerti mana uang benar dan mana yang salah, dan belum
tahu batas-batas dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam
45. 41
lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik
untuk menumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal
moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara
menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan
harus dibiasakan. Moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan
mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak kecil.
Moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya.
Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang
penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan
agar sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumbuhan dan perkembangan
mental dan moral anak didik. Di samping tempat pemberian pengetahuan,
pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata lain, supaya sekolah
merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mantal,
moral dan sosial serta segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk
menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan
di sekolah, maka didikan agama yang diterima di rumah tidak akan
berkembang, bahkan mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus
mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yang lebih rusak
moralnya perelu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan
orang-orang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat
besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya
kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda sebagaimana
disebutakan diatas, karena tidak efektifnnya keluarga, sekolah dan
masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu
dan lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi
pembinaan moral.
c. Dasarnya harus budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis. Sekarang
ini sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang anak-
anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi
mengantongi obat-obat, gambar-gambar cabul, alat-alat kotrasepsi seperti
kondom dan benda-benda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya
digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak moral. Namun, gejala
46. 42
penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata
mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan
nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari
derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang
disalurkan melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-
siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya. Penyaluran arus budaya
yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata
mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para
remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya
arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar
andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi muda
umumnya.
d. Belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah.
Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan (power), uang, teknologi,
sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya belum menunjukan
kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakuka pembinaan moral bangsa.
Hal yang demikian semaikin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit
penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan
sebagainya dengan cara-cara tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme yang hingga kini belum adanya tanda-tanda untuk hilang. Mereka
asik memperebutkan kekuasaan, materi dan sebagainya dengan cara-cara
tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan
moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa
yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka
sudah kehiangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit penguasa yang
demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya
dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki
pemerintah seharusnya digunakan untuk merumuskan konsep pembinaan
moral bangsa dan aplikasinya secara bersungguh-sungguh dan
berkesinambungan. Beberapa faktor lain yang menyebabkan menurunnya
moral dan etika generasi muda saat ini adalah:
47. 43
1. Salah pergaulan, apabila kita salah memilih pergaulan kita juga bisa ikut-
ikutan untuk melakukan hal yang tidak baik;
2. Orang tua yang kurang perhatian, apabila orang tua kuran memperhatikan
anaknya, bisa-bisa anaknya merasa tidak nyaman berada di rumah dan
selalu keluar rumah. Hal ini bisa menyebabkan remaja terkena pergaulan
bebas;
3. Ingin mengikuti trend, bisa saja awalmya para remaja merokok adalah
ingin terlihat keren, padahal hal itu sama sekali tidak benar. Lalu kalu
sudah mencoba merokok dia juga akan mencoba hal-hal yang lainnya
seperti narkoba dan seks bebas;
4. Himpitan ekonomi yang membuat para remaja stress dan butuh tempat
pelarian.
5.7 Solusi Untuk Mengatasi Berkurangnya Moral dan Etika
Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan
yang ada pada generasi penerus pada saat ini, diantaranya adalah:
a. Kita harus pandai memilah dan memilih teman dekat. Karena pergaulan
akan sangat berpengaruh terhadap etika, moral dan kepribadian seseorang;
b. Perhatian dari orang tua juga sangat penting. Karena pada banyak kasus,
kurangnya perhatian orang tua dapat menyebabkan dampak buruk pada
sikap anak;
c. Memperluas wawasan dan pengetahuan akan sangat berguna untuk
menyaring pengaruh buruk dari lingkungan, misalnya kebiasaan merokok.
Dewasa ini, orang-orang menganggap bahwa merokok meningkatkan
kepercayaan diri dalam pergaulan. Padahal jika dilihat dari sisi kesehatan,
merokok dapat menyebabkan banyak penyakit, baik pada perokok aktif
maupun pasif. Sehingga kebiasaan ini tidak hanya akan mempengaruhi
dirinya sendiri, melainkan juga orang-orang di sekelilingnya;
d. Diadakannya pembinaan moral dan akhlak, diharapkan, dengan bekal
pembinaan moral dan akhlak yang baik dan kuat, mereka nantinya tidak
mudah terjerumus dipengaruhi hal yang negatif lagi;
e. Meningkatkan iman dan takwa dengan cara bersyukur, bersabar, dan
beramal sholeh;
48. 44
f. Melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya positif, seperti ikut dalam suatu
perkumpulan remaja masjid, ikut pengajian-pengajian rutin, pagelaran seni,
serta olahraga, karena hal tersebut juga dapat meminimalkan untuk seorang
anak terjun ke dalam kegiatan-kegiatan yang sifatnya mubadir (sia-sia),
semua jenis kegiatan rutin,selama kegiatan tersebut bersifat positif serta
dapat juga untuk mengukir prestasi.
49. 45
BAB VI
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
6.1 Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Ontos berarti yang berada
(being) dan Logos berarti pikiran (logic). Jadi, ontologi berarti ilmu yang
membahas tentang hakikat sesuatu yang ada/berada atau dengan kata lain artinya
ilmu yang mempelajari tentang “yang ada” atau dapat dikatakan berwujud dan
berdasarkan pada logika. Sedangkan, menurut istilah adalah ilmu yang
membahas sesuatu yang telah ada, baik secara jasmani maupun secara rohani.
Disis lain, ontologi filsafat adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip
yang paling dasar atau paling dalam dari sesuatu yang ada.
Objek kajian ontologi disebut “ ada” maksudnya berupa benda yang terdiri
dari alam, manusia individu, umum, terbatas dan tidak terbatas (jiwa). Di dalam
ontologi juga terdapat aliran yaitu aliran monoisme yaitu segala sesuatu yang ada
berasal dari satu sumber.
Dalam aspek ontologi diperlukan landasan-landasan dari sebuah pernyataan-
pernyataan dalam sebuah ilmu. Landasan-landasan itu biasanya kita sebut dengan
metafisika. Metafisika merupakan cabang dari filsafat yang menyelidiki gerakan
atau perubahan yang berkaitan dengan yang ada (being).
Dalam hal ini, aspek ontologi menguak beberapa hal, diantaranya:
1. Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?
2. Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
3. Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
4. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang
berupa ilmu?
Aspek ontologi ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan/ditelaah
secara :
1. Metodis : menggunakan cara ilmiah;
2. Sistematis : saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam satu
keseluruhan;
50. 46
3. Koheren : unsur-unsur harus bertautan tidak boleh mengandung uraian yang
bertentangan;
4. Rasional : harus berdasarkan pada kaidah berfikir yang benar (logis);
5. Komprehensif : melihat obyek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang,
melainkan secara multi dimensional atau secara keseluruhan;
6. Radikal : diuraikan sampai akar persoalan, atau esensinya;
7. Universal : muatan kebenaranya sampai tingkat umum yang berlaku dimana
saja.
Hakikat dari Ontologi Ilmu Pengetahuan :
1. Ilmu berasal dari riset (penelitian);
2. Tidak ada konsep wahyu;
3. Adanya konsep pengetahuan empiris;
4. Pengetahuan rasional, bukan keyakinan;
5. Pengetahuan metodologis;
6. Pengetahuan observatif;
7. Menghargai asas verifikasi (pembuktian);
8. Menghargai asas skeptisisme yang redikal.
Jadi, ontologi pengetahuan filsafat adalah ilmu yang mempelajari suatu
yang ada atau berwujud berdasarkan logika sehingga dapat diterima oleh banyak
orang yang bersifat rasional dapat difikirkan dan sudah terbukti keabsahaanya.
6.2 Epistemologi
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat
dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme berarti
pengetahuan atau kebenaran dan logos berarti pikiran, kata atau teori. Dengan
demikian epistimologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai
pengetahuan. Epistimologi dapat juga diartikan sebagai teori pengetahuan yang
benar (teori of knowledges). Epistimologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau
kebenaran pengetahuan.
Istilah epistimologi dipakai pertama kali oleh J. F. Feriere untuk
membedakannya dengan cabang filsafat lain yaitu ontologi (metafisika umum).
Filsafat pengetahuan (epistimologi) merupakan salah satu cabang filsafat yang
51. 47
mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Epistomogi merupakan bagian dari
filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan
asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat-sifat dan kesahihan pengetahuan. Objek
material epistimologi adalah pengetahuan. Objek formal epistemologi adalah
hakekat pengetahuan.
Logika material adalah usaha untuk menetapkan kebenaran dari suatu
pemikiran ditinjau dari segi isinya. Lawannya adalah logika formal (menyelidiki
bentuk pemikiran yang masuk akal). Apabila logika formal bersangkutan dengan
bentuk-bentuk pemikiran, maka logika material bersangkutan dengan isi
pemikiran. Dengan kata lain, apabila logika formal yang biasanya disebut istilah
’logika’ berusaha untuk menyelidiki dan menetapkan bentuk pemikiran yang
masuk akal, maka logika material berusaha untuk menetapkan kebenaran dari
suatu pemikiran ditinjau dari segi isinya. Maka dapat disimpulkan bahwa logika
formal bersangkutan dengan masalah kebenaran formal sering disebut keabsahan
(jalan) pemikiran. Sedangkan logika material bersangkutan dengan kebenaran
materiil yang sering juga disebut sebagai kebenaran autentik atau otentisitas isi
pemikiran.
Kriteria logia berasal dari kata kriterium yang berarti ukuran. Ukuran yang
dimaksud adalah ukuran untuk menetapkan benar tidaknya suatu pikiran atau
pengetahuan tertentu. Dengan demikian kriteriologia merupakan suatu cabang
filsafat yang berusaha untuk menetapkan benar tidaknya suatu pikiran atau
pengetahuan berdasarkan ukuran tentang kebenaran.
Kritika Pengetahuan adalah pengetahuan yang berdasarkan tinjauan secara
mendalam, berusaha menentukan benar tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan
manusia.
Gnoseologia (gnosis = keilahian, logos = ilmu pengetahuan) adalah ilmu
pengetahuan atau cabang filsafat yang berusaha untuk memperoleh pengetahuan
mengenai hakikat pengetahuan, khususnya mengenahi pengetahuan yang bersifat
keilahian.
Filsafat pengetahuan menjelaskan tentang ilmu pengetahuan kefilsafatan
yang secara khusus akan memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.
J.A.Niels Mulder menjelaskan bahwa epistimologi adalah cabang filsafat yang
52. 48
mempelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan.
Abbas Hamami Mintarejo berpendapat bahwa epistemologi adlah bagian filsafat
atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan
mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu.
Epistimologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat,
metode dan kesahihan pengetahuan. Jadi, objek material epistimologi adalah
pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.
Aspek epistimologi merupakan aspek yang membahas tentang pengetahuan
filsafat. Aspek ini membahas bagaimana cara kita mencari pengetahuan dan
seperti apa pengetahuan tersebut. Dalam hal ini, aspek epistemologi ini terdapat
beberapa logika, yaitu :
1. Analogi
Analogi dalam ilmu bahasa adalah persaaman antar bentuk yang menjadi
dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain.
2. Silogisme
Silogisme adalah penarikan kesimpulan konklusi secara deduktif tidak
langsung, yang konklusinya ditarik dari premis yang di sediakan sekaligus.
3. Premis mayor
Premis mayor bersifat umum yang berisi tentang pengetahuan, kebenaran,
dan kepastian.
4. Premis minor
Premis Minor bersifat spesifik yang berisi sebuah struktur berpikir dan dalil-
dalilnya.
Dalam epistimologi dikenal dengan 2 aliran, yaitu:
a. Rasionalisme : Pentingnya akal yang menentukan hasil/keputusan;
b. Empirisme : Realita kebenaran terletak pada benda kongrit yang dapat
diindra karena ilmu atau pengalaman impiris.
6.3 Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu: axios yang
berarti nilai. Sedangkan logos berarti teori atau ilmu. Aksiologi merupakan
cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan