Teks tersebut membahas tentang hakikat ilmu pengetahuan, bebas nilai dalam ilmu pengetahuan, dan aliran filsafat seperti idealisme, materialisme, eksistensialisme. Secara singkat, teks tersebut menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan bertujuan untuk kesejahteraan manusia tanpa merendahkan martabatnya, idealisme memandang realitas berdasarkan ide dan pikiran, sedangkan materialisme dan eksistensialisme memand
1. Nama : Purdana Wahyu Hidayat
Nim : 1696154022
Prodi : Akuntansi
Fakultas : Ekonomi
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
1. Apakah dalam pengembangan sebuah ilmu pengetahuan harus seimbang dengan
nilai?Jelaskan!
Pembicaraan mengenai ilmu pengetahuan dan masyarakat terasa belum lengkap kalau
kita tidak berbicara pula mengenai masalah bebas nilai dalam ilmu pengetahuan. Ini sebuah
masalah besar yang sepanjang sejarah ilmu pengetahuan selalu saja muncul dan menjadi
perdebatan yang seru. Masalah ini terutama berkaitan dengan dampak dari ilmu pengetahuan
terhadap kehidupan manusia.
Pengertian Bebas Nilai
Bebas nilai sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan
agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak memperhati-kan nilai-nilai lain di luar
ilmu pengetahuan. Tuntutan dasamya adalah agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya
demi ilmu pengetahuan, dan karena itu ilmu pengetahuan tidak bola dikembangkan dengan
didasarkan pada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan haus
dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni.
Maksud dasar dari tuntutan ini adalah agar ilmu pengetahuan tidak tunduk kepada
pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan sehingga malah mengalami distorsi. Asumsinya,
selama ilmu pengetahuan, dalam seluruh prosesnya, tunduk kepada pertimbangan lain di luar
ilmu pengetahuan, baik itu pertimbangan politik, religius, maupun moral, ilmu pengetahuan
tidak bisa berkembang secara otonom. Itu berarti, ilmu pengetahuan tunduk kepada otoritas
lain di luar ilmu pengetahuan.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan kalah terhadap pertimbangan lain dan dengan
demikian ilmu pengetahuan menjadi tidak murni sama sekali. Satu catatan penting yang perlu
dikemukakan sebelum melangkah lebih jauh adalah bahwa sesungguhnya tuntutan bebas nilai
itu sendiri tidak mutlak karena tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas dari nilai tertentu, hanya
berlaku bagi nilai lain di luar nilai yang menjadi taruhan utama ilmu pengetahuan. Yang
berarti, sesungguhnya ilmu pengetahuan pada dirinya sendiri peduli terhadap nilai tertentu,
yaitu nilai kebenaran dan dalam kaitan dengan itu nilai kejujuran.
2. Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan tuttutan agar ilmu pengetahuan bebas nilai
di sini hanya dimaksudkan bahwa ilmu pengetahuan bebas dari nilai lain di luar nilai-nilai
yang diperjuangkan ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan sendiri harus tetap peduli
akan nilai kebenaran dan kejujuran. Dengan demikian, yang mau diwujudkan dengan tuntutan
bebas nilai adalah tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi kebenaran saja,
dan tidak perlu tunduk kepada nilai dan pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan.
Latar belakangnya adalah kekhawatiran bahwa kalau ilmu pengetahuan tidak bebas
dan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan, kebenaran sangat mungkin dikorbankan demi
nilai lain tadi. Kalau ilmu pengetahuan harus tunduk kepada kekuasaan pemerintah, hanya
demi menjaga keutuhan masyarakat misalnya, ada bahaya bahwa kebenaran dikorbankan.
Ada bahaya bahwa kita terpaksa berbohong demi menjaga keutuhan masyarakat.
Demikian pula, kalau ilmu pengetahuan harus tunduk kepada nilai-nilai religius dan
moral, ada bahaya yang sangat besar bahwa kebenaran dikalahkan demi menjaga keluhuran
nilai religius dan moral itu. Akibatnya, kita tidak pernah sampai pada kebenaran ilmiah yang
objektif dan rasional. Ilmu pengetahuan lalu berubah menjadi ideologi yang hanya berfungsi
untuk melayani kepentingan pihak tertentu dan demi itu rela mengorbankan kebenaran. Itu
berarti ilmu pengetahuan berhenti menjadi dirinya sendiri.
Masalah Bebas Nilai dalam llmu Pengetahuan
Dua Kecenderungan Dasar Apa yang dikemukakan di atas sangat masuk akal dan
mendasar. Kita pantas sepakat bahwa ilmu pengetahuan harus menjadi dirinya sendiri, harus
otonom, harus tunduk kepada kaidah-kaidah ilmiah saja, dan tidak boleh tunduk kepada
otoritas dan nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Maka, ilmu pengetahuan hars bebas nilai, hars
lepas dari nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Tetapi, pertanyaan yang relevan di sini
adalah apakah ilmu pengetahuan mempunyai otonomi yang sedemikian mutlak lepas dari
campur tangan pihak lain? Bagaimana jadinya kalau ilmu pengetahuan dikembangkan secara
sedemikian otonom sehingga pada akhimya tidak mempedulikan berbagai nilai di luar ilmu
pengetahuan dan akhimya malah merugikan manusia? Kalau begitu, apa sesungguhnya tujuan
dari ilmu pengetahuan itu? Sebelumnya sudah dikatakan bahwa tujuan akhir ilmu
pengetahuan adalah untuk mencari dan memberi penjelasan tentang masalah dan fenomena
dalam alam semesta ini. Ilmu pengetahuan bertujuan memberi pemahaman kepada manusia
tentang berbagai masalah dan fenomena dalam hidup ini. Tetapi, pertanyaan lebih lanjut
adalah untuk apa penjelasan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita
membedakan dua macam kecenderungan dasar dalam melihat tujuan ilmu pengetahuan ter-
sebut. Yang pertama dapat kita sebut sebagai kecenderungan puritan-elitis, dan yang kedua
dapat kita sebut kecenderungan pragmatis.
3. a. Kecenderungan puritan-elitis
Kecenderungan puritan-elitis beranggapan bahwa tujuan akhir dari ilmu pengetahuan
adalah demi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memang bertujuan untuk mencari dan
menemukan penjelasan, yaitu penjelasan yang benar tentang segala sesuatu. Tetapi bagi
kaum puritan-elitis, kebenaran ilmiah dari penjelasan ini hanya dipertahankan demi
kebenaran murni begitu saja. Penjelasan atau kebenaran ilmiah ini terutama hanya untuk
memuaskan rasa ingin tahu manusia. Maka, ilmu pengetahuan bagi mereka dikembang-
kan hanya demi ilmu pengetahuan. Kepuasan seorang ilmuwan di sini terutama terletak
dalam menemukan teori-teori besar yang mampu menjelaskan segala persoalan, teka-teki,
dan gejala alam ini, terlepas dari apakah ilmu pengetahuan itu berguna atau tidak bagi
kehidupan praktis manusia. Bagi mereka, yang lebih penting adalah teori-teori besar itu,
tanpa mempersoalkan keterkaitannya dengan kegunaan praktisnya dalam kehidupan
sehari-hari manusia.
Berdasarkan uraian di atas, menjadi jelas bahwa posisi dasar dari kecenderungan
puritan-elitis adalah bahwa ilmu harus bebas nilai. Karena, tujuan dari ilmu pengetahuan
adalah menemukan kebenaran, menemukan penjelasan objektif tentang segala sesuatu.
Untuk itu, ilmu tidak boleh tunduk pada otoritas lain di luar ilmu pengetahuan
Contohnya, selama ilmu pengetahuan dikembangkan demi meningkatkan keuntungan
dan kemakmuran bagi hidup manusia, kebenaran bisa dikorbankan demi keuntungan dan
kemakmuran tadi. Kasus Busang beberapa tahtm yang lalu memperlihatkan dengan jelas
kesalahan ini. Demi meningkat-kan nilai saham perusahaan Bre-X, perusahaan itu tega
mengorbankan ke-benaran ilmiah dengan melaporkan kebohongan bahwa mereka telah
me-nemukan, dalam penelitian ilmiah yang mereka lakukan, jutaan ons emas di Busang,
Kalimantan.
b. Kecenderungan pragmatis
Kecenderungan pragmatis pun beranggapan bahwa ilmu pengetahuan di-kembangkan
demi mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan dalam alam semesta
ini. Ilmu pengetahuan memang bertujuan untuk menemukan kebenaran. Tetapi bagi
mereka, ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai di situ saja. Yang juga penting adalah
bahwa ilmu penge-tahuan itu pada akhirnya berguna bagi kehidupan manusia, yaitu bahwa
ilmu pengetahuan berguna bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang
dihadapi dalam hidupnya.
Jadi, ilmu pengetahuan bukan dikembangkan demi ilmu pengetahuan semata,
melainkan juga demi menjawab berbagai persoalan hidup manusia. Bagi kelompok ini,
ilmu pengetahuan menjadi menarik justru karena ia berguna membantu manusia. Karena
4. dengan ilmu pengetauan juga manusia bisa memecahkan berbagai persoalan dalam
hidupnya.
Karena itulah, sebagaimana sudah dijelaskan hingga sekarang, yang disebut
pengetahuan manusia itu tidak hanya "tahu bahwa", "tahu akan", dan "tahu mengapa",
melainkan juga "tahu bagaimana". Juga, yang disebut kebenaran ilmiah itu tidak hanya
bersifat logis-rasional dan empiris, melain-kan juga bersifat pragmatis, yaitu bahwa
kebenaran itu berguna menjawab berbagai persoalan hidup manusia. Karena sifat
pragmatis dari ilmu pengetahuan itu sendiri, temyata ilmu pengetahuan berhasil menjawab
berbagai persoalan hidup manusia dan berguna membantu manusia mengatasi berbagai
kesulitan hidup-nya.
Sebagai contoh adalah kegunaan ilmu telekomunikasi, medis, ekonomi, dan
sebagainya telah membuat ilmu pengetahuan mempunyai daya tarik yang sedemikian
besar. Oleh karena itu pula manusia modem sedemikian bergairah mengembangkan terus
ilmu pengetahuan sekarang Bagi kecenderungan pragmatis, ilmu pengetahuan dirasakan
betul sangat membantu manusia untuk mengembangkan suatu dunia dan kehidupan yang
Iebih manusiawi, adil, bahagia, sehat, dan menyenangkan. ilmu pengetahuan betul-betul
melayani kepentingan manusia dan bukan demi ilmu penge-tahuan semata. Demikian
pula, manusia bukan demi ilmu pengetahuan melainkan ilmu pengetahuan demi manusia.
Jadi, yang ditekankan adalah aspek utiliter dari ilmu pengetahuan, aspek kegunaan.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas bahwa berbeda dengan kecenderungan puritan-
elitis, bagi kecenderungan pragmatis ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai. Ilmu
pengetahuan terbebani dengan nilai. Ilmu pengetahuan, karena punya kecenderungan
pragmatis yang kuat, diliputi oleh nilai; ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli atas
persoalan penderitaan manusia, ia peduli akan keselamatan manusia, akan harkat dan
martabat manusia. Ilmu pengetahuan tidak bisa menutup mata akan semua nilai ini.
Berdasarkan hal-hal diatas, maka ilmu secara netral harus bertujuan untuk kesejahteraan
manusia, tanpa merendahkan martabatnya. Dengan kesimpulan bahwa pendapat ini mengatakan
bahwa ilmu bebas nilai dalam proses penemuannya dan terikat nilai dalam proses penerapannya,
tentunya dalam proses penerapan sangat berkaitan dengan subjek yang mengembangkannya,
yaitu ilmuwan itu sendiri. Proses penemuan ilmu memang diusahakan secara maksimal objektif.
Usaha itu berupa menjauhkan diri dari segi-segi nilai subjektif . Namun, karena manusia adalah
makhluk yang tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang berguna baginya, maka dalam
penerapan ilmu selalu mempertimbangkan nilai..
Keraf, A. Sonny, and Mikhael Dua. Ilmu pengetahuan sebuah tinjauan filosofis. Kanisius, 2001.
5. 2. Apa sebenarnya hakikat ilmu dan pengetahuan dari apa yang anda pelajari pada
program studi masing-masing?Jelaskan!
Hakikat Pengetahuan adalah rasa ingin tahu manusia terhadap sesuatu / objek. Pengetahuan
berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ci khas manusia karena manusia adalah
satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengtahuan secara sungguh-sungguh. Manusia
mengembangkan pengetahuan untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan dan kelangsungan
hidupnya,
Pengetahuan dapat diperoleh melalui :
1. Pengalaman
2. Pikiran dan Penalaran
3. Logika
4. Pengamatan
5. dll
Hakikat Ilmu adalah Pengetahuan. Pengetahuan yang bersifat empiris, sistematis, dapat
diukur, dan dibuktikan Pengetahuan itu harus dikandung dulu oleh filsafat , lalu dilahirkan,
dibesarkan dan diasuh oleh matematika, logika, bahasa, statistika dan metode ilmiah.
3. Apa yang anda ketahui tentang aliran Idealisme, Materealisme, Eksistensialisme?
Jelasakan penerapanya dalam filsafat ilmu sesuai prodi masing-masing!
a. Idealisme
Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi
pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi
dan fisik. Realitas sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran
mutlak, bukan berkenaan dengan materi. Kata idealisme pun merupakan istilah yang
digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Leibniz pada awal abad 18. Ia
menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan
materialisme Epikuros.
Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang yang mental dan ideasional
sebagai kunci ke hakikat realitas. Dari abad 17 sampai permulaan abad 20 istilah ini banyak
dipakai dalam pengklarifikasian filsafat. Tokoh-tokoh lain cukup banyak ; Barkeley,
Jonathan Edwards, Howison, Edmund Husserl, Messer dan sebagainya.
6. Penerapan Idealisme dalam Akuntansi :
Akuntansi memiliki kerangka teori konseptual yang menjadi dasar pelaksanaan
teknik-tekniknya, kerangka dasar konseptual ini terdiri dari standar(teknik, prinsip) dan
praktik yang sudah diterima oleh umum karena kegunaannya dan kelogisannya. Teknik dan
prinsip tersebut menjadi standar akuntansi yang menjadi aturan dan pedoman bagi akuntan
dalam menyusun laporan keuangan.
b. Materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Materi dapat dipahami sebagai bahan;
benda; segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari
dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-
mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu,
orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Orang-
orang ini adalah para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang
mementingkan kebendaan semata (harta,uang,dsb). Maka materilisme adalah paham yang
menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya
semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi
adalah satu-satunya substansi. Kemudian, istilah inipun sering digunakan dalam filsafat.
Filsuf yang pertama kali memperkenalkan paham ini adalah Epikuros. Ia merupakan salah
satu filsuf terkemuka pada masa filsafat kuno. Selain Epikuros, filsuf lain yang juga turut
mengembangakan aliran filsafat ini adalah Demokritos dan Lucretius Carus. Pendapat
mereka tentang materialisme, dapat kita samakan dengan materialisme yang berkembang
di Prancis pada masa pencerahan. Dua karangan karya La Mettrie yang cukup terkenal
mewakili paham ini adalah L'homme machine (manusia mesin) dan L'homme plante
(manusia tumbuhan).
Dalam waktu yang sama, di tempat lain muncul seorang Baron von Holbach yang
mengemukakan suatu materialisme ateisme. Materialisme ateisme serupa dalam bentuk
dan substansinya, yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak. Jiwa sebetulnya sama
dengan fungsi-fungsi otak. Pada Abad 19, muncul filsuf-filsuf materialisme asal Jerman
seperti Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel. Merekalah yang kemudian
meneruskan keberadaan materialisme.
Penerapan Materialisme dalam Akuntansi :
Setiap hal dalam akuntansi harus dapat dinilai dengan satuan moneter. Hal-hal yang tidak
dapat dinilai tidak bisa dimasukan dalam system pencatatan akuntansi. Karena akuntansi
hanya bisa mencatat transaksi yang bersifat materil saja.
Contoh : Penyusutan, Akiva tidak berwujud, Goodwill
7. c. Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu
yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana
yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran
bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang
menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat
Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu
dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme
adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas
itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak
mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.
Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre,
yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk
bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang
paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana
kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme
mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan
adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap
individu adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi “seorang yang lain daripada
yang lain”, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali
manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi
dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan
tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau
tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis
dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi
dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.
Penerapan Eksistensialisme dalam Akuntansi :
Perusahan bebas menentukan metode dan prosedur akuntansi yang digunakan. Seperti
metode pencatatan cash basic/accrual basic, metode persediaan fifo/lifo/average, metode
penyusutan, metode estimasi/taksiran, dll. Kebebasan inilah yang mendorong seseorang
untuk merekayasa informasi keuangan.
SULISTYANTO, Sri. Manajemen Laba (Teori & Model Empiris). Grasindo, 2008.