Makalah ini membahas tentang evaluasi kinerja dan kompensasi sumber daya manusia, mencakup pengertian evaluasi kinerja, tujuan evaluasi kinerja, dan fungsi evaluasi kinerja bagi perusahaan dan karyawan."
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Evaluasi Kinerja SDM
1. 1
MAKALAH
Kode MK : MA.12313
MK : Evaluasi Kinerja Dan Konpensasi
Dosen : Ade Fauji, SE. MM
Nama :Najiah
Nim :11150184
Kelas : 7N - MSDM
UNIVERSITAS BINA BANGSA BANTEN
Serang – Banten
2. 2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
segala rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ataupun resume dari materi
BAB 1 – 7 guna memenuhi tugas Mata Kuliah “ Evaluasi Kinerja & Kompensasi “ .
Penulis menyadari kelemahan serta keterbatasan yang ada sehingga dalam menyelesaikan
makalah ini memperoleh bantuan dan referensi dari berbagai sumber, dalam kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terimaksih kepada :
1. Bapak Ade Fauji, SE. MM selaku dosen pembimbing Mata Kuliah
2. Bapak dan Ibu kami, selaku orang tua yang selalu memberi dorongan untuk kami
3. Teman-teman yang telah membantu menyelesaikan karya tulis ini, dan kepada semua
pihak yang terlibat
Penulis menyadari bahwa resume ataupun makalah ini masih banyak kekurangan baik dari
segi isi maupun susunan serta penulisannya. Semoga resume ini dapat bermanfaat ataupun bisa
menjadi bahan pembelajaran bagi penulis dan pembaca.
Serang, 25 November 2018
Penulis
3. 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI..................................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I.......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN........................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 2
BAB II......................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian,Fungsi Evaluasi Kinerja SDM........................................................................ 3
2.2 HR SCORE CARD ( Pengukuran Kinerja SDM) ........................................................... 11
2.3 Motivasi Dan Kepuasan Kerja ...................................................................................... 21
2.4 Mengelola Potensi Kecerdasan Dan Emosional SDM ..................................................... 26
2.5 membangun kapabilitas dan kopetensi SDM………………………………………………..
2.6 Konsep Audit Kinerja Dan Pelaksanaan Audit Kinerja .......Error! Bookmark not defined.
BAB III..........................................................................................Error! Bookmark not defined.
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSAKA……………………………………………………………………………………
4. 4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Keberadaan sumber daya manusia di dalam suatu perusahaan memegang peranan sangat
penting. Potensi setiap sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan harus dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sehingga mampu memberikan output optimal.
Keberhasilan suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh kinerja individu karyawannya. Setiap
organisasi maupun perusahaan akan selalu berusaha untuk meningkatkan kinerja karyawan,
dengan harapan apa yang menjadi tujuan perusahaan akan tercapai. Dalam meningkatkan
kinerja karyawannya perusahaan menempuh beberapa cara salah satunya melalui pemberian
kompensasi yang layak. Melalui proses tersebut, karyawan diharapkan akan lebih
memaksimalkan tanggung jawab atas pekerjaan mereka ( Anoki Herdian Dito, 2010 ).
Setiap anggota dari suatu organisasi mempunyai kepentingan dan tujuan sendiri ketika ia
bergabung pada organisasi tersebut. Bagi sebagian karyawan, harapan untuk mendapatkan
uang adalah satu-satunya alasan untuk bekerja, namun yang lain berpendapat bahwa uang
hanyalah salah satu dari banyak kebutuhan yang terpenuhi melalui kerja. Seseorang yang
bekerja akan merasa lebih dihargai oleh masyarakat di sekitarnya, dibandingkan yang tidak
bekerja. Untuk menjamin tercapainya keselarasan tujuan, pimpinan organisasi bisa
memberikan perhatian dengan memberikan kompensasi, karena kompensasi merupakan
bagian dari hubungan timbal balik antara organisasi dengan sumber daya manusia ( Anoki
Herdian Dito, 2010 ).
Permasalahan yang terpenting mengenai kompensasi saat ini adalah belum optimalnya
kompensasi yang diterima pegawai apabila dibandingkan dengan beban kerja yang dilakukan
masing-masing pegawai. Dengan dituntutnya pegawai untuk bekerja lebih profesional, disiplin
dan mampu menyelesaikan program kerja yang ada dengan tepat dan hasil kerja yang baik,
sedangkan di sisi lain kompensasi yang diterima pegawai dirasa belum optimal. Menurut
Siagian ( 2007 )
jika pegawai diliputi oleh rasa tidak puas atas kompensasi yang diterimanya dampaknya
bagi organisasi akan sangat bersifat negatif artinya apabila permasalahan kompensasi tidak
dapat terselesaikan dengan baik maka dapat menurunkan kepuasan kerja pegawai ( dalam Siti
Fathonah dan Ida Utami, 2008 ).
5. 5
1.2 RUMUSAN MASALAH
Untuk mengkaji dan mengulas tentang pengertian ruang lingkup Evaluasi Kinerja Dan
Kompensasi,maka diperlukan sub pokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis
membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Pengertian, Funsi Evaluasi Kinerja SDM
2. HR Score Card (Pengukuran Kinerja SDM)
3. Motivasi Dan Kepuasan Kerja
4. Pengelola Potensi Kecerdasan Dan Emosional SDM
5. Membangun Kapabilitas Dan Kompensasi SDM
6. Konsep Audit Kinerja & Pelaksanaan Audit Kinerja
1.3 TUJUAN PENULISAN
Makalah ini di buat guna mengevalusi dan mempelajari lebih dalam materi yang sudah di
sampaikan dosen dari pertemuan awal hingga menjelang UTS. Guna memberikan wawasan
kepada mahasiswa agar lebih aktif dalam menggali materi dari yang di sampaikan dosen.
6. 6
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 PENGERTIAN, FUNGSI EVALUASI KINERJA SDM
A. PENGERTIAN PENILAIAN KINERJA
Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan
suatu tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya meiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan
tertentu. Kinerja merupakan prilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja
yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Kinerja karyawan
merupakan hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk mencapai tujuannya.
Istilah penilaian kinerja (performance apparaisal) dan evaluasi kinerja (performance
evaluation) dapat digunakan secara bergantian atau bersamaan karena pada dasarnya mempunyai
maksud yang sama. Penilaian kinerja digunakan perusddddddddddddahaan untuk menilai kinerja
karyawannya atau mengevaluasi hasil kinerja karya
Salah satu cara yang dapat digunkan untuk melihat perkembangan perusahaaan adalah
dengan cara melihat hasil penilaian kinerja. Sasaran yang menjadi objek penilain kinerja adalah
kecakapan, kemampuan karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau tuga syang dievaluasi
dengan menggunakan tolak ukur tertentu secara objektif dan dilakukan secara berkala.
Instrumen penilaian kinerja dapat digunakan untuk mereview kinerja, peringkat kinerja,
penilain kinerja, penilaian karyawan dan sekaligus evaluasi karyawan sehingga dapat diketahui
mana karyawan yang mampu melaksanakan pekerjaan secara baik, efisien, efektif, dan produktif
sesuai dengan tujuan perusahaan.
Sebagai karyawan tentunya menginginkan adanya umpan balik mengenai prestasi mereka sebagai
suatu tuntutan untuk perilaku dikemudia hari. Tuntutan ini terutama diinginkan oleh para karyawan
baru yang sedang berusaha memahami tugas dan melaksanakan kewajiban dilingkungan kerja
mereka. Sementara itu para supervisor atau manajer memerlukan penialaian prestasi kerja untuk
menentukan apa yang harus dilakukan.
7. 7
B. TUJUAN PENILAIAN KINERJA
Suatu perusahaan memerlukan penilain kinerja atau evaluasi kinerja didasarkan pada dua alasan
pokok, yaitu:
Manajer memerlukan evaluasi yang objektif terhadap kinerja karyawan pada masa lalu yang
digunakan untuk membuat keputusan SDM dimasa yang akan datang.
Manajer memerlukan alat yang memungkinkan untuk membantu karyawannya memperbaiki
kinerja, merencanakan pekerjaan, mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk
perkembangan karir dan memperkuat kualitas hubungan antar manajemen yang bersangkutan
dengan kayawannya.
Selain itu penilaian kinerja dapat digunakan untuk:
1. . Mengetahui Pengembangan yang meliputi, identifikasi kebutuhan pelatihan, umpan
balik kinerja, menentukan transfer dan penugasan, serta identifikasi kekuatan dan
kelemahan karyawan.
2. Pengambilan keputusan administratif yang meliputi, keputusan untuk menentukan gaji,
Dpromosi, memepertahankan atau memberhentikan karyawan, pengakuan kinerja
karyawan, pemutusan hubungan kerja dan mengidentifikasi yang buruk.
3. Keperluan perusahaan yang meliputi, perencanaan SDM, menentukan kebutuhan
pelatiahan, evaluasi pencapaian tujuan perusahaan, informasi untuk identifikasi tujuan,
evaluasi terhadap sistem SDM, dan penguatan terhadap kebutuhan pengembangan
kebutuhan perusahaan.
4. Dokumentasi yang meliputi, kriteria untuk validasi penelitian, dokumentasi keputusan
tentang SDM, dan membantu untuk memenuhi persyaratan hukum.
Tujuan penilaian kinerja atau prestasi kinerja karyawan pada dasarnya meliputi:
1. Untuk ngetahui tingkat prestasi karyawan selama ini. Pemberian imbalan yan serasi,
misalnya untuk pemberian kenaikan gaji berkala, gaji pokok, keniakan gaji istimewa,
insentif uang.
2. Mendorong pertanggungjawaban dari karyawan.
3. Untuk pembeda antara karyawan yang satu dan yang lain.
4. Meningkatkan motivasi kerja.
5. Meningkatkan etos kerja.
8. 8
6. Sebagai alat untuk memperoleh umpan balik dari karyawan untuk memperbaiki desain
pekerjaan, lingkungan kerja dan rencana karir selanjutnya.
7. Membantu menempatkan karyawan dengan pekerjaan yang sesuai untuk mencapai hasil
yang baik secara meneyeluruh.
8. Sebagai alat untuk menjaga tingkat kerja.
9. Untuk mengetahui efektivitas kebijakan SDM, seperti seleksi, rekrutmen, pelatiahan dan
analisis sebagai komponen yang saling ketergantungan diantara fungsi-fungsi SDM.
10. Mengembangkan dan menetapkan kompensasi pekerjaan.
11. Pemutusan hubungan kerja, pemberian sanksi ataupun hadiah.
C. FUNGSI PENILAIAN KINERJA
Fungsi penilain Kinerja ditinjau dari berbagai perspektif pengembangan
perusaahan,khusus manajemen SDM,yaitu:
Dokumentasi.Untuk memperoleh data yang pasti,sistematik,dan faktual dalam penentuan nilai
suatu perkerjaan.
1. posisi tawar.Untuk memungkinkan manajemen melakukan negosiasi yang objektif dan
rasional dengan serikat buruh (kalau ada) atau langsung dengan karyawan.
2. perbaikan kinerja.Umpan balik pelaksanaan kerja yang bermanfaat bagi
karyawan,manejer,dan spesialis personil dalam bentuk kegiatan untuk meningkatkan atau
memperbaiki kinerja karyawan.
3. penyesuaian kompensasi.Penilain perkerjaan membantu pengambil keputusan dalam
penyesuaian ganti-rugi ,menentukan siapa yang perlu dinaikan upahnya-bonus atau
kompensasi lainnya.Banyak perusahaan mengabulakan sebagian atau semua dari bonus dan
peningkatan upah mareka atas dasar penileian kinerja.
4. keputusan penempatan.Membantu dalam promosi,keputusan penampatan,perpindahan ,dan
penurunan pangkat pada umumnya didasarkan pada masa lampau atau mengantisipasi
kinerja.sering promsi adalah untuk kinerja yang lalu.
5. pelatihan dan pengembangan.kinerja buruk mengindikasikan ada nya suatu kebutuhan
untuk latihan.Demikian juga,kinerja baik dapat mencerminkan adanya potensi yang belum
digunakan dan harus dikembangkan.
9. 9
6. perencanaan dan pengembangan karier.Umpan balik penilain kinerja dapat digunakan
sebagai panduan dalam perencanaan dan pengembangan karier karyawan,penyusunan
program pengembangan karier yang tepat,dapat menyelaskan antara kebutuhan karyawan
dengan kepentingan perusahaan.
7. Evaluasi proses staffing.prestasi kerja yang baik atau buruk mencerminkan kekuatan atau
kelemahan prosedur staffing dapertemen SDM.
8. Defisiensi proses penempatan karyawan.kinerja yang baik atau jelek mengesiyaratkan
kekuatan atau kelemahan prosedur penempatan karyawan di daperteman SDM.
9. ketidakakuratan informasi.Kinerja lemah menandakan adanya kesalahan di dalam
informasih analisis perkerjaan,perencanaan SDM atau sistim informasih manajemen SDM.
pemakaian informasi yang tidak akurat dapat mengakibatkan proses
rekeutmen,pelatihan,atau pengaambilan keputusan tidak sesuai.
kesalahan dalam merancang pekerjaan.kinerja yang lemah mungkin merupakan suatu gejala dari
rancangan perkerjaan yang kurang tepat.Melalui penilaian kinerja dapat membantu
mendiagnosiskesalahan ini.
Artinya,jika urain pekerjaan tidak tepat ,apalagi tidak lengkap,wewenang dan tanggung jawab
tidak seimbang,jalur pertanggung jawaban kabur dan berbagai kelemahn lainnya berakibat pada
prestasi kerja yang kurang memuaskan.
D. KRITERIA PENYELIA( PENILAIAN)
1. Yang dapat berfungsi sebagai penilai dalam penilaian kinerja, ialah:
a) Atasan (atasan langsung dan atasan tidak langsung)
b) Bawahan langsung ( jika karyawan yang dinilai mempunyai bawahan langsung)
2. Pada umumnya karyawan hanya dinilai oleh atasannya ( baik oleh atasan langsung maupun
tidak langsung). Penilaian oleh rekan dan oleh bawahan hampir tidak pernah dilaksanakan
kecuali untuk keperluan riset.
3. Karyawan yang berada dalam keadaan yang sangat tergantung kepada atasannya, jika
penilaian kinerja hanya dilakukan oleh atasan langsungnya. Atasannya dapat berlaku seolah-
olah sebagai dewa yang menentukan nasib karyawannya.
10. 10
4. Untuk mengindari atau meringankan keadaan ketergantungan tersebut dilakukan dibeberapa
usaha lain dengan mengadakan penilaian kinerja yang terbuka atau dengan menambah jumlah
atasan yang menilai kinerja karyawan.
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DALAM PENILAIAN KINERJA
Penyelia sering tidak berhasil meredam emosi dalm menilai prestasi kinerja karyawan, hal
ini menyebabkan penilai menjadi bias. Bias adalah distorsi pengukuran yang tidak akurat. Bias ini
mungkin terjadi sebagai akibat ukuran-ukuran yang digunakan bersifat subjektif. Berbagai bentuk
bias yang mungkin terjadi:
1. Kendala hukum/ legal
Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi tidak sah atau tidek legal. Apa pun format penilain
kinerja yang digunakn oleh departemen SDM harus sah dan dapt dipercaya.
2. Bias oleh penilai ( penyelia)
Setiap masalah yang didasarkan pada ukuran subjektif adalah peluang terjadinya bias. Bentuk-
bentuk bias yang umumnya terjadi adalah:
a) Hallo effect. Hallo effect terjadi ketika pendapat pribadi penilai mempengaruhi pengukuran
kinerja.
b) Kesalahan kecenderungan terpusat. Beberapa penilai tidak suka menempatkan karyawan
keposisi ekstrim dalam arti ada karyawan yang dinilai sangat positif atau sangat negatif.
c) Bias karena terlau lunak dan terlalu keras. Bias karena terlalu lunak terjadi ketika penilai
cenderung begitu mudah dalam mengevaluasi kinerja karyawan.
d) Bias karena penyimpangan lintasbudaya. Setiap penilai mempunyai harapan tentang
tingkah laku manusia yang didasarkan pada kulturnya.
e) Prasangka pribadi. Sikap tidak suka penilai terhadap sekelompok orang tertentu dapat
mengaburkan hasil penilaian seorang karyawan.
f) Pengaruh kesan terakhir. Ketika penilai diharuskan menilai kinerja karyawan pada masa
lampau, kadang penilai mempersepsikan dengan tindakan karyawan pada saat ini yang
sebetuknya tidak berhubungan dengan kinerja masa lampau.
3. Mengurangi bias penilaian
11. 11
Bias penilaian dapat dikurangi melalui standar penilaian dinyatakan secara jelas, pelatihan, umpan
balik, dan pemilihan teknik penilaian kinerja yang sesuai.
Penilain dilaksanakan tidak hanya sekedar untuk mengetahui kinerja yang lemah,
hasil yang baik dan bisa diterima, juga harus diidentifikasi sehingga dapap dipakai untuk penilaian
yang lainnya. Untuk itu dalam penilaian kinerja perlu memiliki:
Standar kinerja
Sistem penilaian memerlukan standar kinerja yang mencerminkan seberapa jauh keberhasilan
sebuah pekerjaan telah dicapai. Agar efektif, standar perlu berhubungan dengan hasil yang
diinginkan dDari tiap pekerjaan.
2) Ukuran kinerja
Evaluasi kinerja juga memerlukan ukuran/standar kinerja yang dapat diandalkan yang digunakan
untuk mengevaluasi kinerja. Agar terjadi penilaian yang kritis, dalam menentukan kinerja, ukuran
yang handal juga hendaknya dapat dibandingkan dengan cara lain dengan standar yang sama untuk
mencapai kesimpulan yang sama tentang kinerja sehingga dapat menambah realiabilitas sistem
penilaian.
F. JENIS-JENIS PENILAIAN KINERJA
1. Penilaian hanya oleh atasan
Cepat dan langsung Dapat mengarah ke distorsi karena pertimbangan-pertimbangan pribadi
2. Penilain oleh kelompok lini: atasan dan atasannya lagi bersama-sama membahas kinerja
dari bawahannya yang dinilai.
Objektivitasnya lebih akurat dibandingkan kalau hanya oleh atasannya sendiri.
Individu yang dinilai tinggi dapat mendominasi penilaian.
3. Penilaian oleh kelompok staf: atasan meminta satu atau lebih individu untuk
bermusyawarah dengannya, atasan langsung yang membuat keputusan.
Penilaian gabungan yang masuk akal.
4. Penilaian berdasarkan peninjauan lapangan: sama seperti pada kelompo staf, namun
melibatkan wakil dari pimpinan pengembangan atau deperteman SDM yang bertindak
sebagai peninjau yang independen.
Membawa satu pikiran yang tetap kedalam satu penilaian lintas sektor yang
besar.
12. 12
5. Penilaian oleh bawahan dan sejawat
Mungkin terlalu subjektif
Mungkin digunakan sebagai tambahan pada metode penilaian yang lain
G. ASPEK-ASPEK YANG DINILAI
Dari hasil studi lazer dan Wikstrom (1997) terhadap formulir penilaian kinerja 125 perusahaan
yang ada di USA. Faktor yang palin umum muncul di 61perusahaan adalah, pengetahuan tentang
pekerjaannya, kepemimpinan, inisiatif, kualitas pekerjaan, kerja sama, pengembilan keputusan,
kreativitas, dapat diandalkan, perencanaan, komunikasi, inteligensi ( kecerdasan), pemecehan
masalah, pendelegasian, sikap, uasaha, motivasi dan organisasi
Dari aspek-asspek yang dinilai tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan
perelatan yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas serta pengelaman dan pelatihan
yang diperolehnya.
2. Kemampuan konseptual, yait kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan
dan penyesuaian bidang gerak dari unit masing-masing kedalam bidang operasional
perusahaan secara menyeluruh.
3. Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan untuk bekerja sama
dengan orang lain, memotivasi karyawan, melakukan organisasi, dan lain-lain.
H. METODE PENILAIAN KINERJA
Metode atau teknik penilaian kinerja karyawan dapat digunakan dengan pendekatan yang
berorientasi pada masa lalu dan masa depan. Hal penting adalah bagaimana cara meminimalkan
masalah-masalah yang mungkin terdapat pada setiap teknik yang digunakan.
1. Metode Penilaian Berorientasi Pada Masa Lalu
Dengan mengevaluasi prestasi kinerja di masa lalu, karyawan dapat memperoleh umpan balik dari
upaya-upaya mereka. Umpan balik itu selanjutnya bisa mengarah kepada perbaikan-perbaikan
prestasi. Teknik-teknik penilaian itu meliputi:
a) Skala peringkat (rating scale)
b) Daftar pertanyaan (checklist)
13. 13
c) Metode dengan pilihan terarah ( forced choice methode)
d) Metode peristiwa kritis (critical incident methode)
e) Metode peninjauan lapangan ( field review methode)
f) Metode catatan prestasi
g) Tes dan observasi prestasi kerja ( performance test and observation)
h) Pendekatan evaluasi komparatif ( comparative evaluation approach)
2. Metode Penilaian Berorientasi Masa Depan
Metode penilaian berorientasi pada masa depan menggunakan asumsi bahwa karyawan tidak lagi
sebagai objek penilaian yang tunduk dan tergantung pada penyelia, tetapi karyawan dilibatkan
dalam proses penilaian. Kesadaran ini adalah kekuatan besar bagi karyawan untuk selalu
mengemmbangkan diri. Inilah yang membedakan perusahaan modern dengan yang lainnya dalam
memandang karyawan ( SDM).
a) Penilaian Diri Sendiri ( self appraisal)
b) Manajemen Berdasarkan Sasaran ( management by objective)
c) Penilaian secara psikologis
d) Pusat penilaian (assesment center)
I. PROGRAM PENILAIAN KINERJA
Ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam program penilaian kinerja yang menekanakan
pelaksanaan itu sendiri baik menyangkut tujuan instrumen, waktu pelaksanaan, dan feed back.
1. Tujuan penilaian. Tujuan penilaian harus ditetapkan sebab hal ini akan menjadi acuan dan
program penilaian.
2. Instrumen penilaian. Hal ini penting yang berhubungan dengan instrumen-isntrumen
diantaranya:
a) Teknik yang digunakan apakah rating scale, checklist, penilaian sendiri atau MBO
harus disesuaikan dengan tujuan penilaian.
b) Kualitas instrumen yang dicirikan : validity (kesahihan), reliability (dapat
dipercaya), dan practicibility (kepraktisan)
3. Standar penilaian
4. Siapa yang menilai
5. Siapa yang dinilai
14. 14
6. Kapan harus menilai
7. Pelatihan bagi penilai
8. Feed back dan implikasi
J. SUMBER KESALAHAN DALAM PENILAIAN KINERJA
1. Kesalahan-kesalahan dalam penilaian kinerja dapat bersumber dari:
a) Bentuk penilaian kinerja yang dipaka
b) Penilai (penyelia)
2. Dapat pula terjadi dalam bentuk penilaian kinerja ditemukan aspek-aspek yang sebenarnya tidak
ada sadngkut pautnya dengan keberhasilan seorang karyawan.
3. Hal lain yang dapat timbul dalam penilaian kinerja adalah jika aspek-aspek yang dinilai tidak jelas
batasnya (defenisinya) atau bardwiarti (ambiguous). Kedwiartian dari aspek-aspek memberi
kemungkinan pada penilai untuk mempergunakan kriteria atau standar yang berbeda-beda dalam
penilaian.
4. Kesalahan-kesalahan yang ditimbulkan karena penilaian dapat dibedakan menjadi:
a) Kesalahan hallo (hallo error). Penilai dalam menilai aspek-aspek yang terdapat dalam formulir
(barang) penilaian kinerja dipengaruhi oleh satu aspek yang dianggap menonjol dan yang telah
dinilai oleh penilai.
b) Kesalahan konstan ( constant error). Kesalahan yang dilakukan penilai secara konstan setipa
kali menilai orang lain.
c) Berbagai prasangka, misalnya prasangka terhadap karyawan yang masa kerjanya telah lama,
prasangka kesukuan, agama, jenis kelamin, pendidikan dan sebagiannya.
2.2 HR Score Card(pengukuran kinerja )
A. Pengertian Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja adalah proses di mana organisasi menetapkan parameter hasil untuk
dicapai oleh program, investasi, dan akusisi yang dilakukan. Proses pengukuran kinerja seringkali
membutuhkan penggunaan bukti statistik untuk menentukan tingkat kemajuan
15. 15
suatu organisasi dalam meraih tujuannya. Tujuan mendasar di balik dilakukannya pengukuran
adalah untuk meningkatkan kinerja secara umum.
Pengukuran Kinerja juga merupakan hasil dari suatu penilaian yang sistematik dan
didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator masukan,
keluaran, hasil, manfaat, dan dampak.. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai
keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi.
Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan
kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja juga digunakan untuk
menilai pencapaian tujuan dan sasaran (James Whittaker, 1993)
Sedangkan menurut Junaedi (2002 : 380-381) “Pengukuran kinerja merupakan proses
mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi melalui
hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun proses”. Artinya, setiap kegiatan
perusahaan harus dapat diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah perusahaan
di masa yang akan datang yang dinyatakan dalam misi dan visi perusahaan.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pengukuran kinerja adalah suatu
sistem yang bertujuan untuk membantu manajer perusahaan menilai pencapaian suatu strategi
melalui alat ukur keuangan dan non keuangan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan
sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana
dan titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan
pengendalian.
B. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja
Batasan tentang pengukuran kinerja adalah sebagai usaha formal yang dilakukan
oleh organisasi untuk mengevaluasi hasil kegiatan yang telah dilaksanakan secara
periodik berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tujuan pokok dari pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam
mencapai sasaran organisasi dan mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan
sebelumnya agar menghasilkan tindakan yang diinginkan (Mulyadi & Setyawan 1999:
227).
Secara umum tujuan dilakukan pengukuran kinerja adalah untuk (Gordon, 1993
: 36) :
a) Meningkatkan motivasi karyawan dalam memberikan kontribusi kepada organisasi.
b) Memberikan dasar untuk mengevaluasi kualitas kinerja masing-masing karyawan.
c) Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan sebagai dasar untuk
menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan dan pengembangan karyawan.
16. 16
d) Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan karyawan, seperti produksi,
transfer dan pemberhentian.
Pengukuran kinerja dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap
pengukuran. Tahap persiapan atas penentuan bagian yang akan diukur, penetapan kriteria yang
dipakai untuk mengukur kinerja, dan pengukuran kinerja yang sesungguhnya. Sedangkan tahap
pengukuran terdiri atas pembanding kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah ditetapkan
sebelumnya dan kinerja yang diinginkan (Mulyadi, 2001: 251).
Pengukuran kinerja memerlukan alat ukur yang tepat. Dasar filosofi yang dapat dipakai
dalam merencanakan sistem pengukuran prestasi harus disesuaikan dengan strategi perusahaan,
tujuan dan struktur organisasi perusahaan. Sistem pengukuran kinerja yang efektif adalah sistem
pengukuran yang dapat memudahkan manajemen untuk melaksanakan proses pengendalian dan
memberikan motivasi kepada manajemen untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya.
Maddnfaat sistem pengukuran kinerja adalah (Mulyadi & Setyawan, 1999: 212-225):
a) Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggannya dan membuat seluruh personil terlibat
dalam upaya pemberi kepuasan kepada pelanggan.
b) Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata-rantai pelanggan
dan pemasok internal.
c) Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan
terhadap pemborosan tersebut.
d) Membuat suatu tujuan strategi yang masanya masih kabur menjadi lebih kongkrit sehingga
mempercepat proses pembelajaran perusahaan.
C. Prinsip Pengukuran Kinerja
Dalam pengukuran kinerja terdapat beberapa prinsip-prinsip yaitu:
1. Seluruh aktivitas kerja yang signifikan harus diukur.
2. Pekerjaan yang tidak diukur atau dinilai tidak dapat dikelola karena darinya tidak
ada informasi yang bersifat obyektif untuk menentukan nilainya.
3. Kerja yang tak diukur selayaknya diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
4. Keluaran kinerja yang diharapkan harus ditetapkan untuk seluruh kerja yang diukur.
5. Hasil keluaran menyediakan dasar untuk menetapkan akuntabilitas hasil alih-alih sekedar
mengetahui tingkat usaha.
6. Mendefinisikan kinerja dalam artian hasil kerja semacam apa yang diinginkan adalah cara
manajer dan pengawas untuk membuat penugasan kerja dari mereka menjadi operasional.
7. Pelaporan kinerja dan analisis variansi harus dilakukan secara kerap.
8. Pelaporan yang kerap memungkinkan adanya tindakan korektif yang segera dan tepat waktu.
9. Tindakan korektif yang tepat waktu begitu dibutuhkan untuk manajemen kendali yang efektif.
17. 17
D. Ukuran Pengukuran Kinerja
Terdapat tiga macam ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja secara
kuantitatif yaitu :
1) Ukuran Kriteria Tunggal (Single Criterium).
Yaitu ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja
manajernya. Jika kriteria tunggal digunakan untuk mengukur kinerjanya, orang akan cenderung
memusatkan usahanya kepada kriteria tersebut sebagai akibat diabaikannya kriteria yang lain yang
kemungkinan sama pentingnya dalam menentukan sukses atau tidaknya perusahaan atau
bagiannya.
Sebagai contoh manajer produksi diukur kinerjanya dari tercapainya target kuantitas produk
yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu kemungkinan akan mengabaikan pertimbangan
penting lainnya mengenai mutu, biaya, pemeliharaan equipment dan sumber daya manusia.
2) Ukuran Kriteria Beragam (Multiple Criterium)
Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran dalam menilai kinerja
manajernya. Kriteria ini merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria tunggal dalam
pengukuran kinerja. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga seorang
manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria. Tujuan penggunaan kriteria ini adalah
manajer yang diukur kinerjanya mengerahkan usahanya kepada berbagai kinerja.
Contohnya manajer divisi suatu perusahaan diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria
antara lain profitabilitas, pangsa pasar, produktifitas, pengembangan karyawan, tanggung jawab
masyarakat, keseimbangan antara sasaran jangka pendek dan sasaran jangka panjang. Karena
dalam ukuran kriteria beragan tidak ditentukan bobot tiap-tiap kinerja untuk menentukan kinerja
keseluruhan manajer yang diukur kinerjanya, maka manajer akan cenderung mengarahkan
usahanya, perhatian, dan sumber daya perusahaannya kepada kegiatan yang menurut persepsinya
menjanjikan perbaikan yang terbesar kinerjanya secara keseluruhan. Tanpa ada penentuan bobot
resmi tiap aspek kinerja yang dinilai didalam menilai kinerja menyeluruh manajer, akan
mendorong manajer yang diukur kinerjanya menggunakan pertimbangan dan persepsinya masing-
masing didalam memberikan bobot terhadap beragan kriteria yang digunakan untuk menilai
kinerjanya.
3) Ukuran Kriteria Gabungan (Composite Criterium)
Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran memperhitungkan bobot
masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran menyeluruh kinerja
manajernya. Karena disadari bahwa beberapa tujuan lebih panting bagi perusahaan secara
keseluruhan dibandingkan dengan tujuan yang lain, beberapa perusahaan memberikan bobot angka
tertentu kepada beragan kriteria kinerja untuk mendapatkan ukuran tunggal kinerja manajer,
setelah memperhitungkan bobot beragam kriteria kinerja masing-masing.
18. 18
E. Sistem Pegukuran Kinerja
Untuk mengukur kinerja, dapat digunakan beberapa ukuran kinerja. Beberapa ukuran
kinerja yang meliputi; kuantitas kerja, kualitas kerja, pengetahuan tentang pekerjaan, kemampuan
mengemukakan pendapat, pengambilan keputusan, perencanaan kerja dan daerah organisasi kerja.
Ukuran prestasi yang lebih disederhana terdapat tiga kreteria untuk mengukur kinerja, pertama;
kuantitas kerja, yaitu jumlah yang harus dikerjakan, kedua, kualitas kerja, yaitu mutu yang
dihasilkan, dan ketiga, ketepatan waktu, yaDitu kesesuaiannya dengan waktu yang telah
ditetapkan.
Menurut Cascio (2003: 336-337), kriteria sistem pengukuran kinerja adalah sebagai
berikut:
1. Relevan (relevance). Relevan mempunyai makna (1) terdapat kaitan yang erat antara standar
untuk pelerjaan tertentu dengan tujuan organisasi, dan (2) terdapat keterkaitan yang jelas
antara elemen-elemen kritisd suatu pekerjaan yang telah diidentifikasi melalui analisis
jabatan dengan dimensi-dimensi yang akan dinilai dalam form penilaian
2. Sensitivitas (sensitivity). Sensitivitas berarti adanya kemampuan sistem penilaian kinerja
dalam membedakan pegawai yang efektif dan pegawai yang tidak efektif.
3. Reliabilitas (reliability). Reliabilitas dalam konteks ini berarti konsistensi penilaian. Dengan
kata lain sekalipun instrumen tersebut digunakan oleh dua orang yang berbeda dalam menilai
seorang pegawai, hasil penilaiannya akan cenderung sama.
4. Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa pengukuran kinerja yang
dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang menggunakannya.
5. Praktis (practicality). Praktis berarti bahwa instrumen penilaian yang disepakati mudah
dimenegerti oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses penilaian tersebut.
Pendapat senada dikemukakan oleh Noe et al (2003: 332-335), bahwa kriteria sistem
pengukuran kinerja yang efektif terdiri dari beberapa aspek sebagai berikut:
1. Mempunyai Keterkaitan yang Strategis (strategic congruence). Suatu pengukuran kinerja
dikatakan mempunyai keterkaitan yang strategis jika sistem pengukuran kinerjanya
menggambarkan atau berkaitan dengan tujuan-tujuan organisasi. Sebagai contoh, jika
organisasi tersebut menekankan pada pentingnya pelayanan pada pelanggan, maka
pengukuran kinerja yang digunakan harus mampu menilai seberapa jauh pegawai melakukan
pelayanan terhadap pelanggannya.
2. Validitas (validity). Suatu pengukuran kinerja dikatakan valid apabila hanya mengukur dan
menilai aspek-aspek yang relevan dengan kinerja yang diharapkan.
3. Reliabilitas (reliability). Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi pengukuran kinerja yang
digunakan. Salah satu cara untuk menilai reliabilitas suatu pengukuran kinerja adalah dengan
19. 19
membandingkan dua penilai yang menilai kinerja seorang pegawai. Jika nilai dari kedua
penilai tersebut relatif sama, maka dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut reliabel.
4. Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa pengukuran kinerja yang
dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang menggunakannya. Hal ini menjadi suatu
perhatian serius mengingat sekalipun suatu pengukuran kinerja valid dan reliabel, akan tetapi
cukup banyak menghabiskan waktu si penilai, sehingga si penilai tidak nyaman
menggunakannya.
5. Spesifisitas (specificity). Spesifisitas adalah batasan-batasan dimana pengukuran kinerja
yang diharapkan disampaikan kepada para pegawai sehingga para pegawai memahami apa
yang diharapkan dari mereka dan bagaimana cara untuk mencapai kinerja tersebut.
Spesifisitas berkaitan erat dengan tujuan strategis dan tujuan pengembangan manajemen
kinerja.
Dari pendapat Casio dan Noe et al, ternyata suatu instrumen penilaian kinerja harus
didesain sedemikian rupa. Instrumen penilaian kinerja, berdasarkan konsep Casio dan Noe
et al, terutama harus berkaitan dengan apa yang dikerjakan oleh pegawai. Mengingat jenis
dan fungsi pegawai dalam suatu organisasi tidak sama, maka nampaknya, tidak ada
instrumen yang sama untuk menilai seluruh pegawai dengan berbagai pekerjaan yang
berbeda.
E. Balanced Scorecard
Balanced Scorecard merupakan konsep manajemen yang diperkenalkan Robert Kaplan
tahun 1992, sebagai perkembangan dari konsep pengukuran kinerja (performance measurement)
yang mengukur perusahaan. Robert Kaplan mempertajam konsep pengukuran kinerja dengan
menentukan suatu pendekatan efektif yang seimbang (balanced) dalam mengukur kinerja strategi
perusahaan. Pendekatan tersebut berdasarkan empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses
bisnis internal dan pembelajaran dan pertumbuhan. Keempat perspektif ini menawarkan suatu
keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang, hasil yang diinginkan (Outcome)
dan pemicu kinerja (performance drivers) dari hasil tersebut, dantolok ukur yang keras dan lunak
serta subjektif.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai Balanced Scorecard, berikut ini dikemukakan
pengertian Balanced Scorecard menurut beberapa ahli, di antaranya:Amin Widjaja Tunggal,
(2002:1) “Balanced Scorecard juga menunjukkan bagaimana perusahaan menyempurnakan
prestasi keuangannya.”
Sedangkan Teuku Mirza, (1997: 14) “Tujuan dan pengukuran dalam Balanced Scorecard
bukan hanya penggabungan dari ukuran-ukuran keuangan dan non-keuangan yang ada, melainkan
merupakan hasil dari suatu proses atas bawah (top-down) berdasarkan misi dan strategi dari suatu
unit usaha, misi dan strategi tersebut harus diterjemahkan dalam tujuan dan pengukuran yang lebih
nyata”.
Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen strategik atau lebih tepat
dinamakan “Strategic based responsibility accounting system” yang menjabarkan misi dan
strategi suatu organisasi ke dalam tujuan operasional dan tolok ukur kinerja perusahaan tersebut.
20. 20
Konsep balanced scorecard berkembang sejalan denganperkembangan
implementasinya. Balanced scorecard terdiri dari dua kata yaitu balanced dan scorecard.
Scorecard artinya kartu skor, maksudnya adalah kartu skor yang akan digunakan untuk
merencanakan skor yang diwujudkan di masa yang akan datang. Sedangkan balanced artinya
berimbang, maksudnya adalah untuk mengukur kinerja seseorang atau organisasi diukur secara
berimbang dari dua perspektif yaitu keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka
panjang, intern dan ekstern (Mulyadi, 2005).
Pada awalnya, balanced scorecard ditujukan untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja
eksekutif. Sebelum tahun 1990-an eksekutif hanya diukur kinerjanya dari aspek keuangan,
akibatnya fokus perhatian dan usaha eksekutif lebih dicurahkan untuk mewujudkan kinerja
keuangan dan kecendrungan mengabaikan kinerja non keuangan. Pada tahun 1990, Nolan Norton
Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG, mensponsori studi tentang “Mengukur Kinerja
Organisasi Masa Depan”. Studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja
keuangan yang digunakan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi
memadai.
Balanced scorecard digunakan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke
kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Hasil
studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif masa depan, diperlukan
ukuran yang komprehensif yang mencakup empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses
bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Ukuran ini disebut dengan balanced scorecard.
Balanced scorecard yang baik harus memenuhi beberapa kriteria antara lain sebagai beriku:
1. Dapat mendefinisikan tujuan strategi jangka panjang dari masing – masing perspektif
(outcomes) an mekanisme untuk mencapai tujuan tersebut (performance driver).
2. Setiap ukuran kinerja harus merupakan elemen dalam suatu hubungan sebab akibat
(cause and effect relationship).
3. Terkait dengan keuangan, artinya strategi perbaikan seperti peningkatan kualitas,
pemenuhan kepuasan pelanggan, atau inovasi yang dilakukan harus berdampak pada
peningkatan pendapatan perusahaan.
Langkah-langkah balanced scorecard meliputi empat proses manajemen baru. Pendekatan
ini mengkombinasikan antara tujuan strategi jangka panjang dengan peristiwa jangka pendek.
Keempat proses tersebut menurut (Kaplan dan Norton, 1996) antara lain :
1. Menterjemahkan visi, misi dan strategi perusahaan.
Untuk menentukan ukuran kinerja, visi organisasi perlu dijabarkan dalam tujuan
dan sasaran. Visi adalah gambaran kondisi yang akan diwujudkan oleh perusahaan di
masa mendatang. Untuk mewujudkan kondisi yang digambarkan dalam visi, perusahaan
perlu merumuskan strategi. Tujuan ini menjadi salah satu landasan bagi perumusan
strategi untuk mewujudkannya. Dalam proses perencanaan strategik, tujuan ini kemudian
dijabarkan ke dalam sasaran strategik dengan ukuran pencapaiannya.
21. 21
2. Mengkomunisasikan dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis balanced
scorecard.
Dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan kepada tiap karyawan apa yang
dilakukan perusahaan untuk mencapai apa yang menjadi keinginan para pemegang
saham dan konsumen. Hal ini bertujuan untuk mencapai kinerja karyawan yang baik.
3. Merencanakan, menetapkan sasaran, menyelaraskan berbagai inisiatif rencana bisnis.
Memungkinkan organisasi mengintergrasikan antara rencana bisnis dan rencana
keuangan mereka. Balanced scorecard sebagai dasar untuk mengalokasikan sumber daya
dan mengatur mana yang lebih penting untuk diprioritaskan, akan menggerakan kearah
tujuan jangka panjang perusahaan secara menyeluruh.
4. Meningkatkan Umpan Balik dan pembelajaran strategis
Proses keempat ini akan memberikan strategis learning kepada perusahaan.
Dengan balanced scorecard sebagai pusat sistem perusahaan, maka perusahaan
melakukan monitoring terhadap apa yang telah dihasilkan perusahaan dalam jangka
pendek.
F. Empat Perspektif Balanced Scorecard
Balanced scorecard adalah konsep yang mengukur kinerja suatu organisasi dari empat
perspektif, yaitu perspektif finansial, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal,
perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Konsep balanced scorecard ini pada dasarnya
merupakan penerjemahaan strategi dan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan dalam
jangka panjang, yang kemudian diukur dan dimonitoring secara berkelanjutan .
Menurut Kaplan dan Norton (1996), balanced scorecrad memiliki empat perspektif, antara
lain :
1. Perspektif Keuangan (Financial Perspective)
Balanced scorecard menggunakan tolok ukur kinerja keuangan, seperti laba
bersih dan ROI (Return On Investment), karena tolok ukur tersebut secara umum
digunakan dalam organisasi yang mencari keuntungan atau provit. Tolok ukur keuangan
memberikan bahasa umum untuk menganalisis perusahaan. Orang-orang yang
menyediakan dana untuk perusahaan, seperti lembaga keuangan dan pemegang saham,
sangat mengandalkan tolok ukur kinerja keuangan dalam memutuskan hal yang
berhubungan dengan dana.
Tolok ukur keuangan yang di design dengan baik dapat memberikan gambaran
yang akurat untuk keberhasilan suatu organisasi. Tolok ukur keuangan adalah penting,
akan tetapi tidak cukup untuk mengarahkan kinerja dalam menciptakan nilai (value).
Tolok ukur non keuangan juga tidak memadai untuk menyatakan angka paling bawah
(bottom line). Balanced scorecard mencari suatu keseimbangan dan tolok ukur kinerja
yang multiple-baik keuangan maupun non keuangan untuk mengarahkan kinerja
organisasional terhadap keberhasilan.
22. 22
2. Perspedktif Pelanggan (Customer Perspective)
Perspektif Pelanggan berfokus pada bagaimana organsasi memperhatikan
bagaimana pelanggannya agar berhasil. Mengetahui palanggan dan harapan mereka
tidaklah cukup, suatu organisasi juga harus memberikan insentif kepada manajer dan
karyawan yang dapat memenuhi harapan pelanggan. Bill Mariot mengatakan “Take care
of you employee and they take care of your customer”. Perhatikan karyawan anda dan
mereka akan memperhatikan pelanggan anda. Perusahaan antara lain menggunakan
tolok ukur kinerja berikut, pada waktu mempertimbangkan perspektif pelanggan yaitu :
1. Kepuasan pelanggan (customer satisfaction)
2. Retensi pelanggan (customer retention)
3. Pangsa pasar (market share)
4. Pelanggan yang profitable
3. Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Business Process Perspective)
Terdapat hubungan sebab akibat antara perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
dengan perspektif bisnis internal dan proses produksi. Karyawan yang melakukan
pekerjaan merupakan sumber ide baru yang terbaik untuk proses usaha yang lebih baik.
Hubungan pemasok adalah kritikal untuk keberhasilan, khususnya dalam usaha eceran
dan perakitan manufacturing.
Perusahaan tergantung pemasok mengirimkan barang dan jasa tepat pada
waktunya, dengan harga yang rendah dan dengan mutu yang tinggi. Perusahaan dapat
berhenti berproduksi apabila terjadi problema dengan pemasok. Pelanggan menilai
barang dan jasa yang diterima dapat diandalkan dan tepat pada waktunya. Pemasok
dapat memuaskan pelanggan apabila mereka memegang jumlah persediaan yang banyak
untuk meyakinkan pelanggan bahwa barang –barang yang diminati tersedia ditangan.
Akan tetapi biaya penanganan dan penyimpanan persediaan menjadi tinggi, dan
kemungkinan mengalami keusangan persediaan. Untuk menghindari persediaan yang
berlebihan, alternatif yang mungkin adalah membuat pemasok mengurangi throughput
time. Throughput time adalah total waktu dari waktu pesanan diterima oleh perusahaan
sampai dengan pelanggan menerima produk. Memperpendek throughput time dapat
berguna apabila pelanggan menginginkan barang dan jasa segera mungkin.
4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learn and Growth / Infrastucture
Perspective)
Untuk tujuan insentif, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan berfokus pada
kemampuan manusia. Manajer bertanggung jawab untuk mengembangkan kemampuan
karyawan. Tolok ukur konci untuk menilai kinerja manajer adalah kepuasan karyawan,
retensi karyawan, dan produktivitas karyawan. Kepuasan karyawan mengakui bahwa
moral karyawan adalah penting untuk memperbaiki produktivitas, mutu, kepuasan
pelanggan, dan ketanggapan terhadap situasi. Manajer dapat mengukur kepuasan
dengan mengirim survei, mewawancara karyawan, mengamati karyawan pada saat
bekerja.
23. 23
Kepuasan karyawan mengakui bahwa karyawan yang mengembangkan modal
intelektual khusus organisasi adalah merupakan aktiva non keuangan yang bernilai bagi
perusahaan. Lagi pula adalah sangat mahal menemukan dan menerima orang yang
berbakat untuk menggantikan orang yang meninggalkan perusahaan. Perputaran
karyawan diukur dengan persentase orang yang keluar setiap tahun, hal ini merupakan
tolok ukur umum untuk retensi.
Produktivitas karyawan mengakui pentingnya pengeluaran setiap karyawan,
pengeluaran dapat diukur dalam arti tolok ukur fisik seperti halaman yang diproduksi,
atau dalam tolok ukur keuangan seperti pendapatan setiap karyawan, laba setiap
karyawan. Suatu sitem insentif yang baik akan mendorong manajer meningkatkan
kepuasan karyawan yang tinggi, perputaran karyawan yang rendah dan produktivitas
karyawan yang tinggi.
G. Implementasi Balanced Scorecard
Organisasi sangat membutuhkan untuk menerapkan balanced scorecard sebagai satu set
ukuran kinerja yang multi dimensi. Hal ini mencerminkan kebutuhan untuk mengukur semua
bidang kinerja yang penting bagi keberhasilan organisasi. Pendekatan yang paling luas dikenal
sebagai pengukuran kinerja. Balanced scorecard sekarang banyak digunakan sebagai
pengembangan strategi dan sebagai alat eksekusi yang dikembangkan dalam lingkunga n
operasional.
Balanced scorecard menerjemahkan visi dan misi serta strategi perusahaan ke dalam
seperangkat ukuran kinerja yang dimengerti (indikator), sehingga strategi dapat dipahami,
dikomunikasikan dan diukur, dengan demikian berfungsi untuk semua kegiatan. Selain itu,
indikator memungkinkan pemantauan tingkat akurasi pelaksanaan strategi (Kaplan dan Norton,
1996). Balanced scorecard telah banyak diterapkan sebagai alat ukur kinerja baik dalam bisnis
manufaktur dan jasa. Penerapannya adalah dengan berfokus pada keempat perspektif Balanced
scorecard.
Pembahasan mengenai pengukuran kinerja dengan menggunakan balanced scorecard lebih
sering dilakukan dalam konteks penerapannya pada perusahaan atau organisasi yang bertujuan
mencari laba (Profit-seeking Organisations). Jarang sekali ada pembahasan mengenai penerapan
balanced scorecard pada organisasi nirlaba (not-for profit organisations) atau organisasi dengan
karakteristik khusus seperti koperasi yang ditandai relational contracting, yakni saat owner dan
consumer adalah orang yang sama, serta dimana mutual benefit anggota menjadi prioritasnya yang
utama (Merchant, 1998). Pada organisasi-organisasi semacam ini keberhasilan haruslah lebih
didasarkan pada kesuksesan pencapaian misi secara luas daripada sekedar perolehan keuntungan.
Pengukuran aspek keuangan ternyata tidak mampu menangkap aktivitas-aktivitas yang
menciptakan nilai (value-creating activities) dari aktiva-aktiva tidak berwujud seperti :
1. Keterampilan, kompetensi, dan motivasi para pegawai
2. Database dan teknologi informasi
3. Proses operasi yang efisien dan responsive
4. Inovasi dalam produk dan jasa
24. 24
5. Hubungan dan kesetiaan pelanggan, serta
Adanya dukungan politis, peraturan perundang-undangan, dan dari masyarakat (Kaplan dan
Norton, 2000).
Dengan Balanced scorecard para manajer perusahaan akan mampu mengukur bagaimana
unit bisnis mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan tetap mempertimbangkan
kepentingan-kepentingan masa yang akan datang. Balanced scorecard memungkinkan untuk
mengukur apa yang telah diinvestasikan dalam pengembangan sumber daya manusia, sistem dan
prosedur, demi kebaikan kinerja di masa depan. Melalui metode yang sama dapat di nilai pula apa
yang telah dibina dalam intangible assets seperti merk dan loyalitas pelanggan
2.3 Pengertian Motivasi Kerja dan Kepuasan kerja
A. Motivasi Kerja
Menurut Luthan (1992) Motivasi berasal dari kata latin movere, artinya “bergerak”.
Motivasi merupakan suatu proses yang dimulai dengan adanya kekurangan psikologis atau
kebutuhan yang menimbulkan suatu dorongan dengan maksud mencapai suatu tujuan atau insentif.
Pengertian proses motivasi ini dapat dipahami melalui hubungan antara kebutuhan, dorongan dan
insentif (tujuan). Motivasi dalam dunia kerja adalahsuatu yang dapat menimbulkan semangat atau
dorongan kerja. Menurut As’ad (2004) motivasi kerja dalam psikologi karya biasa disebut
pendorong semangat kerja. Kuat dan lemahnya motivasi seseorang tenaga kerja ikut menentukan
besar kecilnya prestasinya.
Menurut Munandar (2001) motivasi kerja memiliki hubungan dengan prestasi kerja.
Prestasi kerja adalah hasil dari interaksi anatar motivasi kerja, kemampuan, dan peluang.
Bila kerja rendah, maka prestasi kerja akan rendah meskipun kemampuannya ada dan baik, serta
memiliki peluang. Motivasi kerja seseorang dapat bersifat proaktif atau reaktif. Pada motivasi yang
proaktif seseorang akan berusaha meningkatkan kemampuan-kemampuannya sesuai dengan
yang dituntut oleh pekerjaanya atau akan berusaha untuk mencari, menemukan atau menciptakan
peluang dimana ia akan menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat berprestasi tinggi.
Sebaliknya motivasi yang bersifat reaktif cenderung menunggu upaya ata tawaran dari
lingkunganya
Menurut Martoyo (2000) motivasi kerja adalah suatu yang menimbulkan dorongan atau
semangat kerja. Menurut Gitosudarmo dan Mulyono (1999) motivasi adalah suatu faktor yang
mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan tertentu, oleh karena itu
25. 25
motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku seseorang. Motivasi dan
dorongan kepada karyawan untuk bersedia bekerja bersama demi tercapainya tujuan bersama ini
terdapat dua macam yaitu :
1. Motivasi Finansial dorongan yang dilakukan dengan memberikan imbalan finansial
kepada karyawan.
2. DDMotivasi nonfinansial dorongan yang diwujudkan tidak dalam bentuk
finansial/uang, akan tetapi berupa hal-hal seperti penghargaan, pendekatan manusia dan
lain – lain.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang
mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau activities)dan memberikan kekuatan yang
mengarahkan kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurai
ketidakseimbangan.
B. Kepuasan Kerja
Dikemukan oleh Robbin (2001) bahwa kepuasan kerja adalah sikap yang umum terhadap
suatu pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan
banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Pendapat lain bahwa kepuasan kerja
merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh para individu sehubungan dengan jabatan atau pekerjaan
mereka (Winardi,1992). Selain itu pendapat Indrawidjaja (2000) bahwa kepuasan kerja secar
umum menyangkut berbagai hal seperti kognisi, emosi, dan kecenderungan perilaku seseorang.
Adapun yang menentukan kepuasan kerja adalah :
1. Kerja yang secara mental menantang pegawai yang cenderung menyukai pekerjaan yang
memberikan kesempatan menggunakan keterampilan dan kemampuan dalam bekerja
2. Gagasan yang pantas pegawai menginginkan sistem upah/gaji dan kebijakan promosi yang
asil, tidak meragukan san sesuai dengan pengharapan mereka.
3. Kondisi kerja mendukung pegawai peduli lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi
maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik
4. Rekan sekerja yang mendukung adanya interaksi sosial antara sesama pegawai yang saling
mendukung meningkatkan kepuasan kerja
5. Jangan melupakan kesesuaian antara kepribadian pekerjaan, Holand dalam Robbin (2001)
mengungkapkan bahwa kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang pegawai dan
pengharapan akan menghasilkan individual yang lebih terpuaskan
26. 26
6. Ada dalam gen bahwa 30% dari kepuasan individual dapat dijelaskan oelh keturunan.
Dalam mengelola personalia (Kepegawaian) harus senantiasa memonitor kepuasan kerja,
karena hal itu mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja, keluhan
dan masalah personalia vital lainnya (Handoko,2000). Oleh karena itu fungsi personalia
emmpunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung, selain itu berbagai kebijakan dalam
kegiatan personalia berdampak pada iklim organisasi memberikan suatu lingkungan kerja yang
menyenangkan maupun tidak menyenangkan bagi anggota organisasiyang akhirnya memenuhi
kepuasan kerja anggota organisasi.
C. Teori – teori tentang Motivasi Kerja
Adapun ulasan teorinya adalah sebagai berikut :
TEORI DISPOSISIONAL MOTIVASI KERJA
a. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow
Menurut teori Maslow, setiap kebutuhan harus dipenuhi sebelum memotivasi perilaku
berikutnya; dalam situasi kerja, ini berarti bahwa orang-orang mengerahkan usaha untuk mengisi
kepuasan kebutuhan yang terendah.
a) Physiological needs (kebutuhan bersifat biologis) suatu kebutuhan yang sangat
mendasar. Contohnya: kita memerlukan makan, air, dan udara untuk hidup. Kebutuhan ini
merupakan kebutuhan yang sangat primer, karena kebutuhan ini telah ada sejak lahir. Jika
kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka individu berhenti eksistensinya.
b) Safety needs (kebutuhan rasa aman) kebutuhan untuk merasa aman baik secara fisik
maupun psikologis dari gangguan. Apabila kebutuhan ini diterapkan dalam dunia kerja
maka individu membutuhkan keamanan jiwanya ketika bekerja.
c) Social needs (kebutuhan-kebutuhan sosial) Manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial, sehingga mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan social
d) Esteem needs (kebutuhan akan harga diri) Penghargaan meliputi faktor internal, sebagai
contoh, harga diri, kepercayaan diri, otonomi, dan prestasi; dan faktor eksternal. Dalam
dunia kerja, kebutuhan harga diri dapat terungkap dalam keinginan untuk dipuji dan
keinginan untuk diakui prestasi kerjanya.
e) Self Actualization Kebutuhan akan aktualisasi diri, termasuk kemampuan berkembang,
kemampuan mencapai sesuatu, kemampuan mencukupi diri sendiri. pada tingkatan ini,
27. 27
contohnya karyawan cenderung untuk selalu mengembangkan diri dan berbuat yang
terbaik.
Teori Maslow telah dipublikasikan lebih dari setengah abad yang.Itu adalah penelitian yang
cukup menarik minat pada saat itu, namun ketertarikan ini hampir seluruhnya mati beberapa tahun
lalu disebabkan adanya nonsupport untuk proposisi dasar.Di antara praktisi manajer, mahasiswa,
dan banyak konsultan manajemen, bagaimanapun, "segitiga Maslow" telah sangat influental.
b. Teori ERG Alderfer
Sebuah teori motivasi kerja didasarkan pada hirarki kebutuhan Maslow, tetapi
menggabungkan perubahan penting, diusulkan oleh Alderfer. Teori ERG mengadakan hipotesis
tiga set kebutuhan mulai dari yang paling tinggi ke paling konkret (dasar).
a) Existence (E)merupakan kebutuhan akan substansi material, seperti keinginan untuk
memperoleh makanan, air, perumahan, uang, mebel, dan mobil. Kebutuhan ini merupakan
kebutuhan fisiological dan rasa aman dari Maslow.
b) Relatedness (R)merupakan kebutuhan untuk memelihara hubungan antarpribadi yang
penting. Individu berkeinginan untuk berkomunikasi secara terbuka dengan orang lain
yang dianggap penting dalam kehidupan mereka dan mempunyai hubungan yang
bermakna dengan keluarga, teman dan rekan kerja.
c) Growth (G) merupakan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki seseorang untuk
mengembangkan kecakapan mereka secara penuh. Selain kebutuhan aktualisasi, juga
termasuk bagian intrinsik dari kebutuhan harga diri Maslow.
Menurut ERG Theory, jika upaya untuk memenuhi kebutuhan pada satu level itu secara terus
menerus mengalami frustasi, individu mungkin mengalami kemunduran (jatuh lagi) kepada
perilaku kebutuhan yang lebih konkret.
c. Teori Dua Faktor Herzberg
Penelitian Herzberg menghasilkan dua kesimpulan khusus mengenai teori tersebut yaitu:
a) Serangkaian kondisi ekstrinsik kondisi kerja ekstrinsik seperti upah dan kondisi kerja
tersebut bersifat ekstren tehadap pekerjaan sepeti: jaminan status, prosedur, perusahaan,
mutu supervisi dan mutu hubungan antara pribadi diantara rekan kerja, atasan dengan
bawahan.
28. 28
b) Serangkaian kondisi intrinsik kondisi kerja intrinsik seperti tantangan pekerjaan atau rasa
berprestasi, melakukan pekerjaan yang baik, terbentuk dalam pekerjaan itu sendiri. Faktor-
faktor dari rangkaian kondisi intrinsik dsebut pemuas atau motivator yang meliputi:
prestasi (achivement), pengakuan (recognation), tanggung jawab (responsibility),
kemajuan (advencement), dan kemungkinan berkembang (the possibility of growth).
d. Teori Motivasi Berprestasi McClelland
Menurut David McClelland (dalam Anoraga & Suyati, 1995) ada tiga macam motif atau
kebutuhan yang relevan dengan situasi kerja, yaitu:
a) The need for achievement (nAch), yaitu kebutuhan untuk berprestasi, untuk mencapai
sukses.
b) The need for power (nPow), kebutuhan untuk dapat memerintah orang lain.
c) The need for affiliation (nAff), kebutuhan akan kawan, hubungan akrab antar pribadi.
Karyawan yang memiliki nAch tinggi lebih senang menghadapi tantangan untuk berprestasi
dari pada imbalannya. Perilaku diarahkan ke tujuan dengan kesukaran menengah. Karyawan yang
memiliki nPow tinggi, punya semangat kompetisi lebih pada jabatan dari pada prestasi. Ia adalah
tipe seorang yang senang apabila diberi jabatan yang dapat memerintah orang lain. Sedangkan
pada karyawan yang memiliki nAff tinggi, kurang kompetitif. Mereka lebih senang berkawan,
kooperatif dan hubungan antar personal yang akrab.
D. Teori Kognitif Motivasi Kerja
a. Teori Penetapan Tujuan
Teori ini dikemukakan oleh Locke (dalam Berry, 1998). Locke berpendapat bahwa maksud-
maksud untuk bekerja kearah suatu tujuan merupakan sumber utama dari motivasi kerja. Artinya,
tujuan memberitahukan karyawan apa yang perlu dikerjakan dan betapa banyak upaya akan
dihabiskan.
Lima komponen dasar tujuan untuk meningkatkan tingkat motivasi karyawan, yaitu:
a) tujuan harus jelas (misalnya jumlah unit yang harus diselesaikan)
b) tujuan harus mempunyai tingkat kesulitan menengah sampai tinggi
c) karyawan harus menerima tujuan itu
29. 29
d) karyawan harus menerima umpan balik mengenai kemajuannya dalam usaha mencapai tujuan
tersebut
e) tujuan yang ditentukan secara partisipasif lebih baik dari pada tujuan yang ditentukan begitu
saja.
b. Teori Keadilan (Equilty Theory)
Teori keadilan dari Adam menunjukkan bagaimana upah dapat memotivasi. Individu dalam dunia
kerja akan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Apabila terdapat ketidakwajaran
akan mempengaruhi tingkat usahanya untuk bekerja dengan baik. Ia membuat perbandingan sosial
dengan orang lain dalam pekerjaan yang dapat menyebabkan mereka merasa dibayar wajar atau
tidak wajar. Perasaan ketidakadilan mengakibatkan perubahan kinerja. Menurut Adam, bahwa
keadaan tegangan negatif akan memberikan motivasi untuk melakukan sesuatu dalam
mengoreksinya.
E. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Motivasi dan Kepuasan Kerja
Adapun yang menjadi faktornya adalah sebagai berikut :
a. Pekerja itu sendiri( Work It Self) setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu sesuai
dengan bidangnya masing-masing
b. Atasan (Supervisor) atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya
c. Teman sekerja (Workers)faktor yang menghubungkan pegawai dengan pegawai atau pegawai
dengan atasannya, baik yang sama ataupun yang beda pekerjaannya
d. Promosi (Promotion) faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk
memperoleh peningkatan karier selam bekerja
e. Gaji/upah (Pay) aktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak
2.4 MENGELOLA POTENSI KECERDASAN DAN EMOSIONAL SDM
Konsep inteligensi atau kecerdasan bukanlah konsep yang statis. Mulai dikembangkan
oleh Sir Farncis Galton pada tahun1869 dengan dasar pandangan bahwa kecerdasan pada
dasarnya adalah kecerdasan intelektual atau kemudian dikenal dengan istilah IQ. Konsep ini
kemudian terus berkembang menjadi EQ (emotional quotient) atau kecerdasan emosional, SQ
(social quiotient) atau kecerdasan social, ESQ (emotional social quotient) atau kecerdasan social
30. 30
dan emosional, AQ (adversity quotient) atau kecerdasan adversity, dan yang paling mutakhir
kecerdasan kenabian (prophetic intelligence).
Sampai saat ini ada beberapa konsep inteligensi atau kecerdasan yang sudah berkembang, antara
lain:
(1). Kecerdasan intelektual (intellectual intelligence / IQ),
(2). Kecerdasan emosional (emotional intelligence / EQ),
(3). Kecerdasan spiritual (spiritual intelligence / SQ),
(4). Kecerdasan emosional spiritual (emotional spiritual intelligence /ESQ),
(5). Kecerdasan adversity (adversity intelligence / AQ), dan
(6). Kecerdasan kenabian (prophetic intelligence).
Dalam Makalah ini yang akan dipaparkan mengenai pengertian EQ, SQ dan IQ, hubungan antara
ketiganya, dan pengaruhanya terhadap kesuksesan seseorang dalam hal ini pegwai, serta model
mencapai keefektivitasan yang dapat dilakukan yang didasarkan pada EQ, SQ dan IQ.
Selanjutnaya akan penulis bahas adalah Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual serta
Kecerdasan Inteligensi.
A. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional atau hati (Emotional Quotient, EQ) : Kemampuan untDuk
mengenal diri sendiri, kesadaran diri, kepekaan sosial, empati dan kemampauan untuk
berkomunikasi secara baik dengan orang lain. Termasuk kepekaan mengenai waktu yang tepat,
kepatutan secara sosial, keberanian mengakui kelemahan, serta menyatakan dan menghormati
perbedaan.
Emotional Quotient (EQ) merupakan kemampuan merasakan, memahami, dan secara
efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan
pengaruh yang manusiawi (Cooper dan Sawaf, dalam Armansyah, 2002). Peter Salovey dan Jack
Mayer (dalam Armansyah, 2002) mendefenisikan kecerdasan emosional sebagai kemDampuan
untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga
membantu perkembangan emosi dan intelektual.Goleman (Armansyah, 2002) mempopulerkan
pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang berinteraksi
secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan
yang konvensional tersebut. Ia menyebutnya dengan istilah kecerdasan emosional dan
mengkaitkannya dengan kemampuan untuk mengelola perasaan, yakni kemampuan untuk
mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut, kemampuan untuk berempati,
dan lain-lain. Jika kita tidak mampu mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan
31. 31
mampu untuk menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara
efektif. Penelitian tentang EQ dengan menggunakan instrumen BarOn EQ-i membagi EQ ke
dalam lima skala: Skala intrapersonal: penghargaan diri, emosional kesadaran diri, ketegasan,
kebebasan, aktualisasi diri; Skala interpersonal: empati, pertanggungjawaban sosial, hubungan
interpersonal; Skala kemampuan penyesuaian diri: tes kenyataan, flexibilitas, pemecahan
masalah; Skala manajemen stress: daya tahan stress, kontrol impuls (gerak hati); Skala suasana
hati umum: optimisme, kebahagiaan (Stein dan Book, dalam Armansyah, 2002). Spiritual
Quotient (SQ) adalah aspek konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses
berpikir/berkecerdasan dalam hidup yang bermakna Zohar dan Marshal, dalam Armansyah,
2002). Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini dalam pandangan Danah Zohar dan Ian Marshal
meliputi kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri,
fleksibel dan adaptif, cenderung untuk memandang sesuatu secara holistik, serta
berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya,
dan lain-lain.Bagi Danah Zohar dan Ian Marshal spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan
kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab menurutnya seorang humanis ataupun
atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Hal ini berbeda dengan pandangan Ary Ginanjar
Agustian (2001) bahwa penemuan tentang SQ ini justru telah membuktikan kebenaran agama
Islam tentang konsep fitrah sebagai pusat spiritualitas. Dalam kajian Zohar dan Marshal, pusat
spiritualitas secara neuro-biologis disebut God Spot yang terletak pada bagian kanan depan otak.
God Spot ini akan bersinar saat terjadi aktivitas spiritual. Dalam konsep Islam, God Spot itu
diasosiakan dengan nurani, mata hati atau fitrah. Fitrah adalah pusat pengendali kebenaran yang
secara built-in ada pada diri manusia yang dihunjamkan oleh Allah SWT pada jiwa manusia pada
saat perjanjian primordial (QS. al-A’raf : 179).
Pada tahun 1995an, berdasar berbagai hasil penelitian para pakar Psikologi dan Neurologi,
Daniel Goleman mempopulerkan konsep Kecerdasan Emosional atau populer dengan singkatan
EQ. Konsep ini menyatakan bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan
rasional atau intelektual; bahkan dalam kehidupan sosial EQ bisa lebih berperan dibanding IQ
B. Kecerdasan Spiritual
Spiritual adalah keyakinan yang berhubungan dengan Yang Maha Kuasa dan Maha
Pencipta, contohnya seseorang yang percaya kepada Allah sebagai pencipta atau Penguasa
(Achir Yani S.Hamid 1999).
Spiritual adalah keyakinan atau hubungan dengan suatu kekuatan yang paling tinggi, kekuatan
kreatif, makhluk yang berketuhanan, atau sumber keterbatasan enegi (Ozier, Erb, Blais &
Wilkinson, 1995).
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan dengan suatu kekuatan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk
mendapatkan pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan
(Carson, 1089).
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengna dunia
luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress
32. 32
emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia.
(Kozie, Eerb.Blais & Wilkinson, 1995; Murray & Zentner, 1993).
Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
menarik makna dari setiap kejadian yang dialaminya.
Disaat EQ masih hangat dalam pembicaraan para ahli atau praktisi, pada awal tahun 2000-an,
Danah Zohar dan Ian Marshal mengungkapkan ada kecerdasan lain yang lebih paripurna yaitu
Spiritual Quotient (SQ). Mereka merangkum berbagai penelitian sekaligus menyajikan model
SQ sebagai kecerdasan paripurna (Ultimate Intellegence).
Akan tetapi, SQ yang dikenalkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshal belum menyentuh aspek
ketuhanan dalam kaitannya dengan nilai-nilai agama. Aktivitas spiritual tersebut dapat juga
dilakukan oleh seorang Atheis dalam bentuk kontemplasi atau perenungan tentang makna hidup
atau sering juga disebut meditasi. Pada tahun 2001, Ary Ginanjar Agustian memberikan sentuhan
spiritualitas Islam pada IQ, EQ, dan SQ dalam bukunya, “Rahasia sukses membangun
kecerdasan emosi dan spiritual berdasarkan 6 rukun Iman dan 5 rukun Islam”. Ary Ginanjar
Agustian menyatakan bahwa IQ baru sebagai syarat perlu tetapi tidak cukup untuk meraih
kesuksesan. Sementara EQ yang dipahami hanya sebatas hubungan antar manusia. Sementara
SQ sering dipahami sebagai sikap menghindar dari kehidupan dunia.
Hal ini mengakibatkan lahirnya manusia yang berorientasi pada dunia dan di sisi lain ada
manusia yang lari dari permasalahan dunia untuk menemukan kehidupan yang damai. Dalam
Islam kehidupan dunia dan akhirat harus terintegrasi dalam pikiran, sikap dan perilaku seorang
muslim.
C. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan pikiran atau mental (Intelligence Quotient (IQ) : Kemampuan manusia untuk
menganalisis, berpikir, dan menentukan hubungan sebab-akibat, berpikir secara abstrak,
menggunakan bahasa, memvisualisasikan sesuatu dan memahami sesuatu.
Kecerdasan intelektual atau sering disebut dengan istilah IQ (intelligence quotient) sempat
dimitoskan sebagai satu-satunya kriteria kecerdasan manusia. Adalah Sir Francis Galton
ilmuwan yang memelopori studi IQ dengan mengembangkan tes sensori (1883). Galton
berpendapat bahwa makin bagus sensori seseorang makin cerdas dia. Dalam bukunya Heredity
Genius (1869) yang kemudian disempurnakan oleh Alfred Binet dan Simon. Dengan kecerdasan
intelektual atau rasional kita mampu memahami, menganalisa, membandingkan, dan mengambil
hikmah dari setiap masalah, peristiwa, dan kejadian yang terjadi pada masa lalu, saat ini, dan
masa yang akan datang. Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya kita menggunakan cara
berpikir seperti ini. Bahkan konon, perkembangan ilmu dan teknologi yang sangDat pesat
sebagian besar terjadi karena berfungsinya secara optimal cara berpikir rasional. IQ pada
umumnya mengukur kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis, daya ingat
(memory), daya nalar (reasoning), perbendaharaan kata, dan pemecahan masalah. Mitos ini
dipatahkan oleh Daniel Goleman yang memperkenalkan kecerdasan emosional atau disingkat EQ
(emotional quotient) dalam bukunya Working with Emotional Intelligence (1990) dengan
33. 33
menunjukkan bukti empirik dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa orang-orang yang
IQnya tinggi tidak terjamin hidupnya akan sukses. Sebaliknya orang yang memiliki EQ tinggi,
banyak yang menempati posisi kunci di dunia eksekutif. Asumsi ini diperkuat oleh Danah Zohar,
sarjana fisika dan filsafat di MIT (Massachussetts Institute of Technology) yang memelopori
munculnya kecerdasan spiritual atau disingkat SQ (spiritual quotient) dalam bukunya Spiritual
Intelligence – The Ultimate Intelligence.
2.5 MEMBANGUN KAPABILITAS AND KOMPDETENSI SDM
Barney (1991) mengemukakan empat kondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu sumber
daya dapat disebut sebagai sumber keunggulan kompetitif berkelanjutan sebagai berikut:
1. merupakan sumber daya organisasional yang sangat berharga (valuable), terutama dalam
kaitannya dengan kemampuan untuk mengeksploitasi kesempatan dan atau menetralisasi
ancaman dari lingkungan perusahaan.
2. relative sulit untuk dikembangkan, sehingga menjadi langka di lingkungan kompetitif.
3. sangat sulit untuk ditiru atau diimitasi.
4. tidak dapat dengan muddah digantikan substitute yang secara strategis signifikan.
masalahnya adalah bagaimana “menterjemahkan” berbagai strategi, kebijakan dan
praktik MSDM menjadi keunggulan kompetitif berkelanjutan.
Kompetensi SDM berkarier di Bidang Sumber Daya Manusia
Menurut Covey, Roger dan Rebecca Merrill (1994), kompetensi tersebut mencakup:
a. Kompetensi teknis : pengetahuan dan keahlian untuk mencapai hasil- hasil yang telah
disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan mencari alternatif- alternatif baru
b. Kompetensi Konseptual: kemampuan untuk melihat gambar besar, untuk menguji berbagai
pengandaian dan pengubah prespektif
c. Kompetensi untuk hidup : dan saling ketergantungan kemampuan secara efektif dengan orang
lain, termasuk kemampuan untuk mendengar, berkomunikasi, mendapat alternatif ketiga.
2.6 KONSEP AUDIT KINERJA AN PELAKSANAAN AUDIT KINERJA
A. Perkembangan Audit Kerja
Audit kinerja mengalami proses, demikian pula dengan pengetahuan dan kompetisi yang
dibutuhkan. Sebelum mencapai bentuknya, audit kinerja mengalami evolusi yang cukup lama,
dimulai dari financial statement auditing pada tahum 1930, dilanjutkan dengan management
34. 34
auditing pada tahun 1950 dan program auditing pada tahun 1970. Dalam kurun waktu yang hampir
bersamaan, tahun 1971 Elmer B Staat dari United State Comptoreller General Accounting Office
untuk pertama kalinya memperkenalkan audit kinerja (performance audit) pada kongres INTOSAI
(International Organization of Supreme Audit Intitution), di Montreal, Kanada. Sejak itu, audit
kinerja yang merupakan perluasan audit keuangan mulai diimplementasikan pada audit sektor
publik oleh Supreme Public Institution di seluruh dunia. Pelaksanaan audit kinerja di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia terus mengalami pasang surut. Sebagai gambaran pada Netherland
Court of Audit (BPK Belanda), perkembangan audit dimulai dengan pemberian mandat untuk
melakukan audit kinerja pada tahun 1976. Pada awalnya, audit kinerja berfokus pada efisiensi.
Kemudian, mereka mulai menyusun dan menyempurnakan manual audit kinerja yang ada. Pada
perkembangannya, mereka mengintegrasi teknologi informasi dan komunikasi dalam audit kinerja
(antara lain untuk menganalisis data) serta menggunakan pendekatan strategis dalam menyusun
tema audit. Pada BPK Belanda, tema audit yang berfokus pada mutu dan akuntabilitas kebijakan
pemerintah merupakan perluasan dari audit keuangan yang berfokus pada penganggaran. Di
Australian National Audit Office (BPK Australia), audit kinerja dimulai pada tahun 1970-an. Audit
kinerja mulai berkembang di Australia karena ketertarikan pemerintah, parlemen, dan masyarakat
terhadap efektivitas program dan efisiensi administrasi pemerintah. Pada saat itu, departemen
pemerintah banyak diberikan kebebasan untuk mengelola operasi mereka, dengan sedikit kendali
dari pusat. Pada awalnya, pemeriksaan kinerja hanya divisi kecil dari ANAO. Antara tahun 1980-
1983, ANAO hanya membuat tujuh laporan audit kinerja. Saat ini, ANAO membuat hampir 50
laporan audit kinerja setiap tahunnya. Di Indonesia, audit kinerja mulai diperkenalkan pada tahun
1976 yang dimulai dengan management audit course di Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
dengan bekerja sama dengan US-GAO. Serupa dengan negara lain, audit kinerja di Indonesia juga
mengalami pasang surut. Sejak tahun 2004-2007, BPK telah melaksanakan 99 audit kinerja,
dengan rincian 37 audit di kantor pusat dan 62 audit di kantor perwakilan daerah. Rekap audit
kinerja pada tahun 2004-2007.
B. Definisi Audit Kerja
Secara etimologi, audit kinerja terdiri atas dua kata, yaitu “audit” dan “kinerja”. Audit menurut
Arens adalah kegiatan mengumpulkan dan mengevaluasi terhadap bukti-bukti yang dilakukan oleh
yang kompeten dan independen untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara
kondisi yang ditemukan dan kriteria yang ditetapkan. Sedangkan menurut Stephen P Robbins,
kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan dibandingkan dengan
kriteria yang telah ditetapkan bersama. Di pihak lain. Ayuha menjelaskan, “Perfomance is the way
of job or task is done by an individual, a group of organization”. Dari kedua definisi tersebut,
terlihat bahwa istilah kinerja mengarah pada dua hal yaitu proses dan hasil yang dicapai. Definisi
yang cukup komprehensif diberikan oleh Malan, Fountain, Arrowsmith, dan Lockridge (1984),
sebagai berikut.
“Perfomance auditing is a systematic process of objectively obtaining dan evaluating
evidence regarding the performance of an organization, program, function, or activity. Evaluation
is made in terms of its economy and efficiency of operations, effectiveness in achieving of desire
35. 35
results, and compliance with relevan policies, law, and regulations, for the purposes of ascertaining
the degree of correspondence between performance and established criteria and communicating
the results to interest the users. The performance audit function provides an independent, third-
party review of management’s performance and the degree to which the perfomanced of audited
entity meets pre-stated expectation”. [“Audit kinerja merupakan suatu proses sistematis dalam
mendapatkan dan mengevaluasi bukti yang secara objektif atas suatu kinerja organisasi, program,
fungsi, atau kegiatan. Evaluasi dilakukan bedasarkan aspek ekonomi dan efisiensi operasi,
efektivitas dalam mencapai hasil yang diinginkan, serta kepatuhan terhadap peraturan, hukum, dan
kebijakan yang terkait. Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui tingkat keterkaitan antara
kinerja dan kriteria yang ditetapkan serta mengomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Fungsi dari audit kinerja ialah memberikan review dari pihak ketiga atas kinerja
manajemen dan menilai apakah kinerja organisasi dapat memenuhi harapan.”] Selanjutnya, Pasal
4 ayat (3) UU No 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara, mendefinisikan audit kinerja sebagai audit atas pengelolaan keuangan negara
yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas.
Kemudian, bedasarkan PP No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP mendefinisikan audit kinerja sebagai
audit atas pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah
yang terdiri atas aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas. Dari berbagai definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa audit kinerja adalah audit yang dilakukan secara objektif dan sistematis
terhadap berbagai bukti untuk menilai kinerja entitas yang diaudit dalam hal ekonomi, efisiensi,
dan efektivitas.
C. Pentingnya Audit Kerja
1. Pemerintah Bagi pemerintah, audit kinerja dapat menjadi ukuran penilaian dan perbaikan
atas 3E (ekonomi, efektivitas, dan efisiensi) dari program kegiatan pemerintah dan pelayanan
publik.
2. Legislatif & Masyarakat Memberikan informasi independen apakah uang negara digunakan
secara 3E serta mendukung pengawasan dan pengambilan keputusan oleh legislatif.
3. BPK
Melakukan peningkatkan kematangan organisasi dan nilai BPK di masyarakat, meningkatkan
motivasi pemeriksa, dan mendorong kreativitas dan pembelajaran.
Lebih lanjut, audit sektor publik tidak hanya memeriksa serta menilai kewajaran laporan keuangan
sektor publik, tetapi juga menilai ketaatan aparatur pemerintahan terhadap undang-undang dan
peraturan yang berlaku. Disamping itu, audit sektor publik juga memeriksa dan menilai sifat-sifat
hemat (ekonomis), efisien serta keefektifan dari semua pekerjaan, pelayanan atau program yang
dilakukan pemerintah. Dengan demikian, bila kualitas audit kinerja sektor publik rendah, akan
mengakibatkan risiko tuntutan hukum (legitimasi) terhadap pejabat pemerintah dan akan muncul
kecurangan, korupsi, kolusi serta berbagai ketidakberesan. Sehubungan dengan itulah, audit
kinerja memegang peran yang sangat esensial dalam suatu organisasi atau lembaga yang berkaitan
dengan dana masyarakat.
36. 36
D. Audit Kinerja untuk Akuntabilitas Publik
Akuntabilitas publik meliputi :
1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum (accountability for probity and legality)
2. Akuntabilitas proses (process accountability)
3. Akuntabilitas program (program accountability)
4. Akuntabilitas kebijakan (policy accountability)
Akuntabilitas Publik tidak bisa dipisahkan dari prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik
(Good Governance). Salah satu tata kelola yang baik ialah dengan adanya kinerja yang baik.
Kinerja inilah dapat diidentifikasi dan dievaluasi melalui audit kinerja. Oleh sebab itu, audit kinerja
sangat diperlukan dalam akuntabilitas publik, terutama dalam hal menilai tingkat keberhasilan
kinerja suatu kementerian atau lembaga pemerintah dan memastikan sesuai atau tidaknya sasaran
kegiatan yang menggunakan anggaran dan transparansi dalam pelaksanaannya. Pada sektor publik,
audit kinerja dilakukan untuk meningkatkan akuntabilitas berupa peningkatan
pertanggungjawaban manajemen kepada lembaga perwakilan, pengembangan bentuk-bentuk
laporan akuntabilitas, perbaikan indikator kinerja, perbaikan perbandingan kinerja antara
organisasi sejenis yang diperiksa, serta penyajian informasi yang lebih jelas dan normatif.
E. Keterkaitan Audit Kinerja dengan Manajemen Keuangan
Audit kinerja dapat dilaksanakan oleh pihak auditor internal atau auditor eksternal yang
profesional dan kompeten sehingga menjamin objektivitas hasil audit. Dalam melaksanakan audit
kinerja penting bagi auditor untuk memiliki pengetahuan yang memadai tentang pengelolaan
terhadap hasil-hasil, khususnya sistem perencanaan, penganggaran dan sistem pengindikator
kinerja yang dimiliki atau melekat pada suatu instansi pemerintah, yang mana informasi ini
dipegang oleh manajemen keuangan. Pendekatan auditor pada bagian ini bertujuan untuk
memperoleh dokumen yang mencukupi untuk memeriksa peraturan dasar organisasi dan
memahami sejarah serta kondisi operasi sekarang. Auditor seharusnya mengenal struktur
organisasi, sistem pengendalian, laporan keuangan, sistem informasi, pegawai dan pelaksanaan
adminsistratif.
Mendekati akhir pendekatan ini, auditor seharusnya memperoleh informasi mengenai hukum
yang terkait, pernyataan kebijakan, dokumen dan catatan penelitian terdahulu, laporan audit
sebelumnya, dan studi lain yang dilakukan oleh departemen. Auditor harus memperoleh gambaran
mengenai informasi dasar yang berkaitan organisasi dengan mendapatkan bagan organisasi, uraian
tertulis, serta bagan alir dari proses kerja dan sistem informasi. Auditor juga harus memperoleh
informasi mengenai kebijakan dan prosedur administrasi dan personalia, serta mengindentifikasi
dan memperoleh prosedur operasi.
F. Istilah-istilah dalam Audit Kinerja
Ada istilah umum yang digunakan dalam audit kinerja, di antaranya performance audit dan
Value For Money (VFM) audit. VFM audit mengacu pada penilaian apakah manfaat yang
dihasilkan oleh suatu program lebih besar dari biaya yang dikeluarkan atau masih mungkinkah
melakukan pengeluaran dengan bijak. Istilah VFM audit banyak digunakan di Kanada dan negara
37. 37
persemakmurannya. Secara internasional, performance audit ialah istilah resmi yang digunakaan
kalangan INTOSAI. Istilah yang juga sering dijumpai ialah audit manajemen, audit operasional,
atau audit ekonomi dan efisiensi. Istilah ini digunakan untuk menilai dalam aspek ekonomi dan
efisiensi dari pengelolaan organisasi. Istilah lain ialah audit program atau audit efektivitas yang
ditujukan untuk menilai manfaat atau pencapaian suatu program. Gabungan antara audit
manajemen atau operasional dan audit program merupakan audit kinerja. Audit kinerja terkait erat
dengan konsep akuntabilitas yang dikenal dengan istilah akuntabilitas kinerja.
Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah antara lain diatur melalui Inpres No.7 tahun 1999
tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Beberapa istilah yang sering dikaitkan
dalam konteks audit kinerja adalah 1. Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai
pencapaian, prestasi atau unjuk kerja dari instansi pemerintah 2. Indikator kinerja (performance
indicator) adalah deskripsi kuantitatif atau kualitatif terhadap tercapaiannya kinerja. Indikator
kinerja dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk menilai dan melihat perkembangan yang
dicapai selama jangka waktu terterntu. 3. Indikator kinerja kunci (key performance indicator)
adalah indikator kinerja yang memiliki fokus pada aspek kinerja yang penting bagi keberhasilan
organisasi. 4. Efisiensi berkaitan dengan hubungan antara input yang digunakan untuk
menghasilkan output. Efisiensi lazimnya dinyatakan dalam bentuk indeks, rasio, unit, atau bentuk
lainnya (misalnya: dalam bentuk perbandingan). Secara umum efisiensi berkaitan dengan
produktivitas. 5. Efektivitas berkaitan dengan pencapaian hasil (outcome) yang ditetapkan telah
dicapai dengan output. Output sektor publik umumnya adalah jasa berupa layanan terhadap
masyarakat. Output dikatakan efektif jika memberi pengaruh sesuai yang diharapkan.
G. Perbedaan antara Audit Kinerja dan Audit Keuangan
No. Perbedaan Audit Kinerja Audit Keuangan
1. Tujuan Menilai apakah audit telah
mencapai tujuan atau harapan
yang ditetapkan.
Menilai apakah akun-akun
benar dan disajikan secara
wajar
2. Dasar Akademik Ekonomi, ilmu politik, sosiologi,
dan lain-lain.
Akuntansi
3. Metode Bervariasi antara satu proyek dan
proyek lain .
Kurang lebih telah
terstandardisasi.
4. Fokus Program dan kegiatan organisasi. Sistem akuntansi dan
sistem manajemen
5. Kriteria Penilaian Lebih subjektif
Terdapat kriteria yang unik untuk
masing-masing audit.
Kurang subjektif
Kriteria untuk semua
kegiatan audi
6. Laporan Struktur dan isi laporan bervariasi
Dipublikasikan secara tidak tetap
(ad hoc basis )
Bentuk laporan kurang
lebih terstandardisai
Dipublikasikan secara
berkala
38. 38
1. Lingkup audit keuangan meliputi seluruh laporan keuangan, sedangkan audit kinerja lebih
spesifik dan fleksibel dalam pemilihan subjek, objek, dan metodolgi audit.
2. Audit keuangan merupakan audit reguler sedangkan audit kinerja bukan merupakan audit
reguler karena tidak harus dilaksanakan setiap tahun atau secara berkala.
3. Opini/Pendapat yang diberikan dalam audit keuangan bersifat baku yaitu unqualified,
qualified, adverse atau disdalmer, sedangkan audit kinerja bukan merupakan audit dengan
jenis opini yang sudah ditentukan (formalized opinion ).
4. Audit kinerja dilaksanakan dengan dasar pengetahuan yang bersifat multidisiplin dan lebih
banyak menekankan pada kemampuan analisis daripada sebatas pengetahuan akuntansi.
5. Audit kinerja bukanlah bentuk audit berdasarkan checklist, kompleksitas, dan keragaman.
Pertanyaan dalam audit kinerja mengisyaratkan agar auditor dibekali dengan kemampuan
berkomunikasi yang baik
H. Karakteristik Audit Kinerja
Adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh audit kinerja yang membedakan audit kinerja dengan
jenis audit lainnya . Berikut ini adalah beberapa karakteristik dari audit kinerja:
1. Audit kinerja berusaha mencari jawaban atas dua pertanyaan dasar berikut
a. Apakah sesuatu yang benar telah dilakukan (doing the right things )?
b. Apakah sesuatu telah dilakukan dengan cara yang benar (doing the things right)?
Pertanyaan pertama ditujukan terutama bagi pembuat kebijakan. Tujuannya adalah untuk
mengevaluasi apakah kebijakan telah diputuskan dengan tepat. Pertanyaan kedua ditujukan untuk
mengetahui sejauh mana kebijakan yang diambil telah diterapkan dengan benar atau apakah
kebijakan tersebut telah dilaksanakan dengan cara-cara yang memadai. Kedua pertanyaan tersebut
merupakan makna dari efektivitas dan efisiensi tidak selalu berbanding lurus. Suatu kegiatan yang
telah dilakukan secara efektif belum tentu berarti bahwa kegiatan itu telah dilakukan secara efisien,
demikian juga sebaliknya.
2. Proses audit kinerja dapat dihentikan apabila pengujian terinci dinilai tidak akan memberikan
nilai tambah yang signifikan bagi perbaikan manajemen atau kondisi internal lembaga audit
dinilai tidak mampu untuk melaksankan pengujian terinci.
Profesor Soemardjo Tjitrosidojo (1980) memberikan karakteristik audit kinerja sebagai berikut
a) Pemeriksaan operasional dengan menggunakan perbandingan dengan cara pemeriksaan oleh
dokter haruslah merupakan pemeriksaan semacam “medical check up”, (penelitian kesehatan)
dan bukan merupakan pemeriksaan semacam “otopsi post mortem”(pemeriksaan mayat). Jadi,
pemeriksaan seharusnya dimaksudkan agar si pasien memperoleh petunjuk agar ia selanjutnya
dapat hidup lebih sehat dan bukan sebagai pemeriksaan untuk menganalisis sebab-sebab
kematian mayat.
b) Pemeriksa haruslah wajar (fair), objektif dan realities, mengingat bahwa ia harus dapat
menjangkau hari depan organisasi yang diperiksanya. Ia harus dapat berpikir secara dinamis,
39. 39
konstruktif, dan kreatif, :mengingat bahwa dalam tugasnya ia harus berhadapan dengan banyak
orang yang sifat serta tingkah lakunya beranekaragam. Ia harus dapat bertindak seccara
diplomatis seterusnya ia haruslah sensitif dalam menghadapi masalah-masalah yang pelik
dalam tugas serta tangguh untuk tetap bertekad meneruskan suatu penyelidikan sampai
akhirnya berhasil.
c) Pemeriksa (atau setidak-tidaknya tim pemeriksa secara kolektif ) harus mempunyai
pengetahuan dan ketrampilan dari berbagai macam bidang seperti ekonomi, hukum, moneter,
statistik, komputer, keinsinyuran, dan sebagainya .
d) Agar pemeriksaan dapat berhasil dengan baik, pemeriksa harus dapat berpikir dengan
menggunakan sudut pandangan pejabat pimpinan organisasi yang diperiksanya. Ia harus
mendapat dukungan dari pimpinan tertinggi, pemeriksa harus benar-benar mengetahui
persoalan yang dihadapinya, dapat mengantisipasi masalah serta cara penyelesaiannya, dan
memberikan gambaran tentang perbaikan-perbaikan yang dapat diterapakan dalam organisasi
yang diperiksa.
e) Pemeriksaan operasional harus dapat berfungsi sebagai suatu”early warning system” (sistem
peringatan dini) agar pimpinan secara tepat pada waktunya, setidak-tidaknya sebelum
terlambat dapat mengadakan tindakan-tindakan korektif yang mengarah kepada perbaikan
organisasinya.
Karakteristik diatas sangat relevan dengan konsep audit kinerja sebagai audit for management
bukan audit to management. Dalam audit for management, auditor harus memberikan rekomendasi
perbaikan bagi manajemen sebagai upaya peningkatan akuntabilitas dan kinerja entitas yang
diaudit.
I. Manfaat Audit Kerja
1. Peningkatan Kinerja
a) Mengidentifikasi Masalah dan Alternatif Penyelesaiannya Auditor sebagai pihak
independen dapat memberi pandangan kepada manajemen untuk melihat permasalahan
secara lebih detail dari sisi operasional. Sehubungan dengan itu, auditor dapat melakukan
diskusi dengan orang-orang yang bergelut dalam operasional dan menginformasikan hal
tersebut kepada manajemen.
b) Mengidentifikasi Sebab-sebab Aktual dari Suatu Masalah Yang Dapat Dihadapi oleh
Kebijaksanaan Manajemen atau Tindakan Lainnya. Auditor harus dapat menetapkan
masalah yang aktual dan solusi untuk mengatasinya. Auditor sebaiknya tidak memberi
rekomendasi atau usulan bila ia tidak dapat membantu proses rekomendasi tersebut.
c) Mengidentifikasi Peluang dan Kemungkinan untuk Mengatasi Keborosan dan
Ketidakefisienan. Pengurangan biaya merupakan hal yang penting dalam audit kinerja.
Namun, penghematan biaya dapat menjadi suatu hal yang besar dalam jangka waktu yang
panjang. Biaya harus berada pada tingkat yang tepat dan jika perlu melakukan pemotongan.
Keputusan mengurangi biaya haruslah mempertimbangankan dampaknya bagi kegiatan
operasional.
40. 40
d) Mengidentifikasi Kriteria untuk Menilai Pencapaian Tujuan Organisasi Pada situasi
tertentu, kriteria tidak ada. Oleh sebab itu, auditor dapat membantu manajemen dalam
membangun kriteria itu.
e) Melakukan Evaluasi atas Sistem Pengendalian Internal Auditor harus menentukan apakah
mekanisme telah menyediakan informasi tentang efektivan operasional, yaitu: (1). Apakah
ada perbedaan tingkat kedalaman atau detail laporan; (2). Apakah ada informasi yang
belum disajikan dalam laporan; (3). Apakah indikator kerja telah dipertimbangkan dalam
penyusunan laporan.
f) Menyediakan Jalur Komunikasi antara Tataran Operasional dan Manajemen Audit kerja
dapat menjadi sarana untuk menyampaikan permasalahan yang tidak dapat tersalurkan
melalui struktur komunikasi yang telah disususun organisasi tersebut.
g) Melaporkan Ketidakberesan Audit kerja dapat menjadi sarana untuk menyampaikan
kepada manajemen setiap penyimpangan yang terjadi sehingga kerugian dan dampak yang
lebih besar dapat diatasi.
2. Peningkatan Akuntabilitas Publik
Pada sektor publik, audit kinerja dilakukan untuk meningkatkan akuntabilitas berupa
perbaikan pertanggungjawaban manajemen kepada lembaga perwakilan, pengembangan
bentukbentuk laporan akuntabilitas; perbaikan indikator kinerja, perbaikan perbandingan pekerja
antara organisasi sejenis yang diperiksa, serta penyajian informasi yang jelas dan informatif.
Perubahan dan perbaikan dapat terjadi karena temuan atau rekomendasi audit. Umumnya,
rekomendasi dapat menjadi kunci atas perubahan dan perbaikan. Oleh sebab itu, penyusunan
rekomendasi yang baik perlu diperhatikan.
J. Tujuan Audit Kerja
DStandar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) menyatakan bahwa audit kinerja
mencakup tujuan yang luas dan bervariasi, termasuk tujuan yang berkaitan dengan penilaian hasil
dan efektivitas program, ekonomi dan efisiensi, pengendalian internal, ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku, serta bagaimana cara untuk meningkatkan efektivitas. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa tujuan dasar dari audit kinerja ialah menilai suatu kinerja suatu
organisasi, program, atau kegiatan yang meliputi audit atas aspek ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas. Audit kinerja (performance audit) merupakan perluasan atas audit laporan keuangan
atas proseDdur dan tujuan.
K. Jenis Audit Kerja
Audit yang dilakukan dalam audit kinerja meliputi audit ekonomi, audit efisiensi dan audit
efektivitas. Audit ekonomi dan audit efisiensi disebut management audit atau operational audit,
sedangkan audit efektivitas disebut program audit.
1. Audit Ekonomi Konsep yang pertama dalam pengelolaan organisasi sektor publik ialah
ekonomi, yang berarti pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga
yang terendah. Ekonomi merupakan perbandingan antara input dan input value yang
dinyatakan dalam satuan moneter. Ekonomi terkait dengan sejauh mana organisasi sector
41. 41
publik dapat meminimalisir input resource yang digunakan, yaitu dengan menghindari
pengeluaran yang boros dan tidak produktif.
2. Audit Efisiensi Konsep kedua dalam manajemen organisasi sector publik ialah efisiensi,
yaitu pencapaian output yang maksimal dengan input tertentu atau dengan penggunaan
input yang terendah untuk mencapai output tertentu. Efisiensi merupkan perbandingan
input/output yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan.
Dapat disimpulkan bahwa ekonomi memiliki arti biaya terendah, sedangkan efisiensi
mengacu pada rasio terbaik antara output dan biaya (input). Ini dikarenakan keduanya diukur
dalam unit yang berbeda, maka efisiensi dapat terwujud ketika dengan sumber daya yang ada dapat
dicapai output yang maksimal atau output tertentu dapat dicapai dengan sumber daya yang sekecil-
kecilnya. Audit ekonomi dan efisiensi bertujuan untuk menentukan suatu entitas telah
memperoleh, melindungi, menggunakan sumber dayanya secara ekonomis, dan efisien. Selain itu,
juga bertujuan untuk menentukan dan mengidentifikasi penyebab terjadinya praktik-praktik yang
tidak ekonomis dan efisien, termasuk ketidakmampuan organisasi untuk mengelola sistem
informasi, administrasi, dan struktur organisasi.
Menurut The General Accounting Office Standards (1994), beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam audit ekonomi dan efisiensi, yaitu dengan mempertimbangkan apakah
entitas yang diaudit telah: (1) mengikuti ketentuan pelaksanaan pengadaan yang sehat; (2)
melakukan pengadaan sumber daya (jenis, mutu dan jumlah) sesuai dengan kebutuhan pada biaya
terendah; (3) melindungi dan memelihara semua sumber daya yang ada secara memadai; (4)
menghindari duplikasi pekerjaan atau kegiatan yang tanpa tujuan atau kurang jelas tujuannya; (5)
menghindari adanya pengangguran sumber daya atau jumlah pegawai yang berlebihan; (6)
menggunakan prosedur kerja yang efisien; (7) menggunakan sumber daya (staf, peralatan dan
fasilitas) yang minimum dalam menghasilkan atau menyerahkan barang/jasa dengan kuantitas dan
kualitas yang tepat; (8) mematuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perolehan, pemeliharaan dan penggunaan sumber daya negara; (9) melaporkan ukuran
yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai kehematan dan efisiensi (Mardiasmo,
2002). Untuk dapat mengetahui apakah organisasi telah menghasilkan output yang optimal dengan
sumber daya yang dimilikinya, auditor dapat membandingkan output yang telah dicapai pada
periode yang bersangkutan dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, kinerja tahun-
tahunsebelumnya dan unit lain pada organisasi yang sama atau pada organisasi yang berbeda.
3. Audit Efektifitas Konsep yang ketiga dalam pengelolaan organisasi sektor publik adalah
efektivitas. Efektivitas berarti tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan.
Efektivitas merupakan perbandingan antara outcome dengan output. Outcome seringkali
dikaitkan dengan tujuan (objectives) atau target yang hendak dicapai. Jadi dapat dikatakan
bahwa efektivitas berkaitan dengan pencapaian tujuan. Sedangkan menurut Audit Commission
(1986) disebutkan bahwa efektivitas berarti menyediakan jasa-jasa yang benar sehingga
memungkinkan pihak yang berwenang untuk mengimplementasikan kebijakan dan tujuannya.
Audit efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil atau manfaat yang
diinginkan, kesesuaian hasil dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya dan menentukan
42. 42
apakah entitas yang diaudit telah mempertimbangkan alternatif lain yang memberikan hasil
yang sama dengan biaya yang paling rendah. Secara lebih rinci, tujuan pelaksanaan audit
efektivitas atau audit program adalah dalam rangka: (1) menilai tujuan program, baik yang
baru maupun yang sudah berjalan, apakah sudah memadai dan tepat; (2) menentukan tingkat
pencapaian hasil suatu program yang diinginkan; (3) menilai efektivitas program dan atau
unsur-unsur program secara terpisah; (4) mengidentifikasi faktor yang menghambat
pelaksanaan kinerja yang baik dan memuaskan; (5) menentukan apakah manajemen telah
mempertimbangkan alternatif untuk melaksanakan program yang mungkin dapat memberikan
hasil yang lebih baik dan dengan biaya yang lebih rendah; (6) menentukan apakah program
tersebut saling melengkapi, tumpang-tindih atau bertentangan dengan program lain yang
terkait; (7) mengidentifikasi cara untuk dapat melaksanakan program tersebut dengan lebih
baik; (8) menilai ketaatan terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku untuk program
tersebut; (9) menilai apakah sistem pengendalian manajemen sudah cukup memadai untuk
mengukur, melaporkan dan memantau tingkat efektivitas program; (10) menentukan apakah
Dmanajemen telah melaporkan ukuran yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai
efektivitas program. Efektivitas berkenaan dengan dampak suatu output bagi pengguna jasa.
Untuk mengukur efektivitas suatu kegiatan harus didasarkan pada kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya. Jika hal ini belum tersedia, auditor bekerja sama dengan manajemen
puncak dan badan pembuat keputusan untuk menghasilkan kriteria tersebut dengan
berpedoman pada tujuan pelaksanaan suatu program. Meskipun efektivitas suatu program
tidak dapat diukur secara langsung, ada beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi pelaksanaan suatu program, yaitu mengukur dampak atau pengaruh evaluasi
oleh konsumen dan evaluasi yang menitikberatkan pada proses, bukan pada hasil. Tingkat
komplain dan tingkat permintaan dari pengguna jasa dapat dijadikan sebagai pengukuran
standar kinerja yang sederhana untuk berbagai jasa. Evaluasi terhadap pelaksanaan suatu
program hendaknya mempertimbangkan apakah program tersebut releDDDvan atau realistis,
apakah ada pengaruh dari program tersebut, apakah program telah mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dan apakah ada cara-cara yang lebih baik dalam mencapai hasil.
L. Proses dan Tahapan Kinerja Audit
PROSES AUDIT
Secara umum, proses audit kinerja memiliki sistematika:
a. Struktur audit kinerja
b. Tahapan audit kinerja
c. Kriteria atau indikator yang menjadi tolok ukur audit kinerja.
1. Struktur Audit Kinerja
Pada dasarya, struktur audit adalah sama, hal yg membedakan adalah spesific tasks pada
tiap tahap audit yg menggambarkan kebutuhan dari masing-masing audit.
Secara umum, struktur audit kinerja terdiri atas: