Pembaharuan pemerintah daerah BY ORNES KOGOYA S.STP
1. BAGIAN I
PEMBAHARUAN PEMERINTAH DAERAH
Menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (desentralisasi)
Dalam sebuah konsep teori pada proses birokrasi pemerintahan
Keterangan : “POLA MATA ANGIN” Sederhana
PEMBAHARUAN
PEM-DA
(SISTEM)
FUNGSIONAL-
STRUKTURAL
ELIT&
BUDAYA
POLITIK
BIROKRASI
REINVENTING
KINERJA
ORGANISASI
PELAYANAN &
PRIVATISASI
GOOD
GOVERNANCE
MASYARAKAT
DPRD (DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH
PEMERINTAHAN
PUSAT
(BAWASDA)
“BADAN PENGAWAS
DAERAH “
Proses Pelengkap teori Pembaharuan PEMDA
Pokok Teori
Pengawasan(controlling)
2. BAGIAN II
KESIMPULANAN AKHIR
POKOK PIKIRAN I
Dari 8 konsep teori pada mata kuliah (Manajemen Pembaharuan Pemerintah daerah)
maka, penulis menyimpulkan dua (2) perihal penting sebagai sebuah sistem pengerak
yang menjadi acuan dasar dan pedoman pokok dari sistim penyelenggaraan pemerintahan
Daerah di era Otonomi Daerah yaitu :
I. DASAR KAJIAN TEORI
Berlandaskan Rumusan dari sebuah Pola “mata angina” sederhana diatas, maka dalam teori
Pembaharuan Pemerintah Daerah, 8 (delapan) teori ‘ilmu’ dapat dipergunakan apabila
dilihat dari ‘causa prima’ fungsi, manfaat/kegunaan yang berlandaskan Kajian Teoritis
ilmiah dan kajian Normatif dapat di pakai/dipergunakan sebagai mana mestinya serta
fungsi dari konsep teori dapat berubah konsep materi seiring perkembangan dan tuntutan
jaman dalam perkembangan Negara dalam sistim NKRI.
Bertolak dari kajian teori, maka penulis telah merangkum Ke 8 teori dalam lampiran Tugas
di bagian belakang dari halaman ini sebagai sebuah konsep Pembaharuan Pemerintah
Daerah.
Table 1. Kebijakan kajian teoritis ilmiah sebagai strategi
PEMDA
(learership)
KEBIJAKAN Strategi
konsep ilmiah/teori
Kajian konseptual Teori-teori
Pembaharuan
Pemerintah Daerah
1. teori SISTEM
2. teori FUNGSIONAL STRUKTURAL
3. teori ELIT & BUDAYA POLITIK
4. teori BIROKRASI
5. teori REINVENTING
6. teori KINERJA ORGANISASI
7. teori PELAYANAN & PRIVATISASI
8. teori GOOD GOVERNANCE
dsb……………..
Kajian konseptual teoritis dapat di aplikasikan dilihat dari : Fungsi, Manfaat, Nilai
Guna Serta Keuntungannya dalam sebuah strategi konseptual ilmiah/teori.
Maka berdasarkan table diatas penulis dapat simpulkan bahwa : semua teori saling
bekerja sama, saling bergantung, saling melengkapi dan saling berkesinambungan yang tidak
dapat dipisahkan yang di pengaharui oleh Teori Sistem dalam membantu pemerintah
3. Daerah mengimplementasikan good governance pada Clean Governance di era Otonomi
Daerah pada Asas desentralisasi, dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
4. KAJIAN NORMATIF
sebagai dasar pemicuh Pembaharuan pemerintah daerah yang berorientasi
(dampak lapangan) yang baik dan benar apabila didukung dan dilaksanakan oleh
Masyarakat demokrasi, pihak swasta/pihak ke Tiga dan Pemerintah Daerah
(pegaswai/pejabat) sebagai penyelenggara rumah tangga di daerah otonom. Dengan
memahami akan Tata Atur/Aturan Normatif Kebijakan Pemerintah dan UUD 1945 serta
semua UU yang mengatur tentang Pemerintah Daerah. Obyek materinya adalah :
- NOMOR 32 TAHUN 2004 PEMERINTAHAN DAERAH
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
- Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
- Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Serta prinsip penyelengaraan pemerintah daerah yaitu :
- Asas Desentralisasi
- Asas Dekonsentrasi
- Asas Tugas Pembantuan
KAJIAN NORMATIF, (control system) UUD 1945, UU dsb.
Semua ketetapan melalui rumusan perundang-undangan adalah
acuan pelaksanaan PEMDA dalam sistem negara kesatuan untuk
menyelenggarakan sistem pemerintahan di daerah otonom
KEBIJAKAN strategi control
system PEMDA terhadap
acuan/pedoman pokok
desentralisasi, dekonsentrasi &
Tugas Pembantuan di era
OTONOMI DAERAH
PIHAK
penyelenggaraan
PEMDA
5. KESIMPULAN
Untuk memahami Kibernologi Pemerintah daerah di era otonomi daerah maka, melalui
konsep-konsep teori dalam sebuah system pola yang penulis paparkan diatas akan menjadi
“CAUSA PRIMA” ATAU JANTUNG dari sistim pemerintahan daerah yang menjadi prinsip
good governance kepada Clean Governance dalam pembaharuan pemerintah daerah yaitu :
- Managemen Development
- Organization Development mesin pengerak pemerintah (sistem)
- Good Administration
- Konsistensi terhadap Peraturan Perundang-undangan (control)
- Konsistensi Pada tuntutan sebuah “SISTEM” acuan pelaksanaan OTONOMI DAERAH
pada pelaksanaan TUPOKSI BIROKRASI pemerintah daerah “all in one” pada tujuan
good government, good governance yang menghasilkan CLEAN GOVERNANCE.
PEMDA
ADM
M.P
O.D
INPUT
K.
NORMATIF
PROSES
TEORI/
KONSEP
OUTPUT
Tujuan dari konsep
pemerintahan pusat dalam
rangka otonomi daerah =
TUJUAN NEGARA
OUTCOME = FUCTURE INPACT GOVERMENT
Evaluasi hasil pencapaian
kinerja PEMDA dari masa-ke
masa = DAMPAK MASA DEPAN
Evaluasi kebijakan PEMDA
dalam PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH pada
(desentralisasi)
SISTEMPENGERAK
Pemerintahan Daerah (obyek
materi) TRI IN ONE
VISI, MISI, RENSTRA dalam
konteks ipmlementasi kerja
PEMDA pada era daerah
otonom
6. BAGIAN III
I. TEORI SISTEM
Tinjauan Umum Teori Sistem :
Beberapa definisi system antara Lain:
1. Ludwig Von Bertalanffy, sistem adalah seperangkat unsur-unsur yang terikat
dalam suatu antar relasi di antara unsur-unsur tersebut dan dengan lingkungan.
2. Anatol Rapoport, sistem adalah suatu kumpulan kesatuan dan perangkat hubungan
antara satu sama lain.
3. L. Ackof, sistem adalah setiap kesatuan, secara konseptual atau fisik, yang terdiri
dari bagian-bagin dalam keadaan saling tergantung satu sama lain.
4. John-A. Beckett, sistem adalah kumpulan sistem-sistem yang berinteraksi.
Dari beberapa definisi di atas yang lebih jelas memaparkan sistem adalah Gordon B.
Davis dalam bukunya “Managemen Development” yang menyatakan bahwa sistem terdiri
dari bagian-bagian yang bersama-sama beroperasi untuk mencapai beberapa tujuan.
Dengan lain perkataan, suatu sistem bukanlah merupakan suatu perangkat unsur-unsur
yang dirakit secara sembarangan, tetapi terdiri dari unsur-unsur yang dapat
diidentifikasikan sebagai kebersamaan yang menyatu disebabkan tujuan atau sasaran yang
sama. William A. Shorde dan Dan Voich J.R. dalam bukunya “Organization and
Management” menyebut enam ciri sistem sebagai berikut :
1. Perilaku berdasarkan tujuan tertentu: sistem terorientasikan pada sasaran tertentu.
2. Keseluruhan : keseluruhan melebihi jumlah semua bagian.
3. Keterbukaan : sistem saling berhubungan dengan sebuah sistem yang lebih besar,
yakni lingkungannya.
4. Transformasi : bagian-bagian yang beroperasi menciptakan sesuatu yang mempunyai
nilai.
5. Antar hubungan : berbagai macam bagian harus cocok satu sama lain.
6. Mekanisme kontrol : adanya kekuatan yang mempersatukan dan mempertahankan
sistem bersangkutan.
Teori Sistem merupakan Upaya mendeskripsikan, menjelaskan dan memprediksi
perilaku organisasi umumnya berasal dari teori sistem. Seorang biolog Ludwig von
Bertalanffy menyatakan bahwa teori sistem dapat dianalogikan dengan sistem yang ada
pada organisme. Organisme sel itu terdiri atas sel-sel, dan sel-sel membentuk suatu
molekul. Tiap bagian yang ada membentuk sistem yang terintegrasi dan terdiri dari
struktur yang saling bergantungan dan bekerja secara harmonis. Tiap molekul tahu tugas
masing-masing dan harus dapat bekerjasama serta memenuhi aturan yang ada. Hukum
keteraturan merupakan konsep yang bersifat menyeluruh. Ide tentang keteraturan
merupakan ide dasar dalam memahami dan menganalisis situasi yang kompleks.
7. TEORI SISTEM memiliki dua konsep dasar yaitu :
1. Konsep Subsistem yang melihat hubungan antar bagian sebagai hubungan sebab
akibat.
2. memandang sebab jamak (multiple causation) sebagai hubungan yang saling
berkaitan yakni tiap bagian merupakan kompleks (kumpulan) yang tiap faktornya
saling berkaitan.
TEORI SISTEM SOSIAL;
Teori Peran: Peran adalah konsep psikologis tentang perilaku yang timbul dalam interaksi
dengan manusia lain.
- Erving Goffman menganalogikan situasi kehidupan sehari-hari dengan peran di
panggung ketika menganalisis perilaku interpersonal manusia dalam organisasi.
Tiap organisasi harus mengartikan peran individu yang terlibat yang dipengaruhi
oleh interaksi dinamis dengan orang lain.
- Deskripsi peran, yaitu perilaku aktual yang ditunjukkan.
- Peran preskriptif merupakan ide abstrak tentang norma umum yang terdapat dalam
budaya tentang peran yang diharapkan.
- Harapan peran
- Persepsi peran
- Peran manifes (nyata) dan peran laten
- Konflik peran
Konsep Peranan dan hubungannya dengan Teori Sistem Sosial.
Ada dua pola sistem yakni open system (sistem terbuka) dan closed system
(sistem tertutup) dalam konteks hubungan organisasi dengan lingkungan eksternal.
Dari pemikiran Bertalanffy tentang hal tersebut di atas jelas Bertalanffy
mengemukakan pemikirannya tentang General System Theory yang telah berjasa dalam
menghilangkan jurang pemisah antara ilmu-ilmu eksak dengan ilmu sosial. Masyarakat
dunia semakin sadar bahwa dibutuhkan kesatuan dalam ilmu pengetahuan untuk
mengatasi permasalahan yang muncul di belahan dunia manapun.
Kata "sistem" banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam forum diskusi
maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang
pula, sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah
sistem adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka. Dalam sistem
terdapat beberapa elemen, yaitu :
1. Tujuan
Setiap sistem memiliki tujuan (Goal), entah hanya satu atau mungkin banyak. Tujuan inilah
yang menjadi pemotivasi yang mengarahkan sistem. Tanpa tujuan, sistem menjadi tak
8. terarah dan tak terkendali. Tentu saja, tujuan antara satu sistem dengan sistem yang lain
berbeda.Label
2. Input
Masukan (input) sistem adalah segala sesuatu yang masuk ke dalam sistem dan selanjutnya
menjadi bahan yang diproses. Masukan dapat berupa hal-hal yang berwujud (tampak
secara fisik) maupun yang tidak tampak. Contoh masukan yang berwujud adalah bahan
mentah, sedangkan contoh yang tidak berwujud adalah informasi (misalnya permintaan
jasa pelanggan).
3. Pengolahan / proses
Proses merupakan bagian yang melakukan perubahan atau transformasi dari masukan
menjadi keluaran yang berguna dan lbih bernilai, misalnya berupa informasi dan produk,
tetapi juga bisa berupa hal-hal yang tidak berguna, misalnya saja sisa pembuangan atau
limbah. Pada pabrik kimia, proses dapat berupa bahan mentah. Pada rumah sakit, proses
dapat berupa aktivitas pembedahan pasien.
4. Output
Keluaran (output) merupakan hasil dari pemrosesan. Pada sistem informasi, keluaran bisa
berupa suatu informasi, saran, cetakan laporan, dan sebagainya.
5. Batas
Yang disebut batas (boundary) sistem adalah pemisah antara sistem dan daerah di luar
sistem (lingkungan). Batas sistem menentukan konfigurasi, ruang lingkup, atau
kemampuan sistem. Sebagai contoh, tim sepakbola mempunyai aturan permainan dan
keterbatasan kemampuan pemain. Pertumbuhan sebuah toko kelontong dipengaruhi oleh
pembelian pelanggan, gerakan pesaing dan keterbatasan dana dari bank. Tentu saja batas
sebuah sistem dapat dikurangi atau dimodifikasi sehingga akan mengubah perilaku sistem.
Sebagai contoh, dengan menjual saham ke publik, sebuah perusahaan dapat mengurangi
keterbasatan dana.
6. Mekanisme Pengendalian dan Umpan Balik
Mekanisme pengendalian (control mechanism) diwujudkan dengan menggunakan umpan
balik (feedback), yang mencuplik keluaran. Umpan balik ini digunakan untuk
mengendalikan baik masukan maupun proses. Tujuannya adalah untuk mengatur agar
sistem berjalan sesuai dengan tujuan.
7. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada diluar sistem. Lingkungan bisa berpengaruh
terhadap operasi sistem dalam arti bisa merugikan atau menguntungkan sistem itu sendiri.
Lingkungan yang merugikan tentu saja harus ditahan dan dikendalikan supaya tidak
mengganggu kelangsungan operasi sistem, sedangkan yang menguntungkan tetap harus
terus dijaga, karena akan memacu terhadap kelangsungan hidup sistem.
9. 8. Subsistem dan Supersistem
Setiap sistem terdiri dari beberapa subsistem, dan subsistem terdiri pula atas beberapa
sub-sistem. Sebuah sistem umumnya tersusun atas sejumlah sistem-sistem yang lebih kecil.
Sistem-sistem yang berada dalam sebuah sistem itulah yang disebut subsistem. Jika suatu
sistem menjadi bagian dari sistem lain yang lebih besar, maka sistem yang lebih besar
tersebut dikenal dengan sebutan supersistem.
Dalam teori sistem dapat dijumpai bukan satu dua, melainkan puluhan jenis sistem
yang ditengahkan oleh para ilmuwan, namun yang erat kaitannya dengan sistem informasi
nampaknya adalah apa yang ditampilkan oleh Gordon B. Davis. Adapun jenis-jenis sistem
tersebut adalah ;
1. Sistem Abstrak dan Sistem Fisik
a) Sistem Abstrak yaitu susunan yang teratur dari gagasan-gagasan yang satu sama lain
berada dalam ketergantungan.
b) Sistem Fisik yaitu sutu perangkat unsur yang secara bersama-sama beroperasi
untuk mencapai tujuan.
2. Sistem Deterministik dan Sistem Probabilistik
a) Sistem Deterministik adalah sistem yang dalam operasinya dapat menentukan
hasilnya secara pasti.
b) Sistem Probabilistik adalah sistem yang dalam operasinya tak dapat diduga hasilnya
secara pasti.
3. Sistem Tertutup dan Sistem Terbuka
a) Sistem Tertutup adalah sistem dimana tidak terjadi pertukaran bahan, informasi
atau energi dengan lingkungan.
b) Sistem Terbuka adalah sistem yang memungkinkan terjadinya pertukaraan bahan,
informasi atau energi dengan lingkungan.
4. Sistem Alamiah dan Sistem Buatan Manusia
a) Sistem Alamiah adalah sistem yang terjadi karena alam (tidak dibuat oleh manusia).
b) Sistem Buatan Manusia adalah sistem yang dibuat oleh manusia.
5. Sistem Sederhana dan Sistem Kompleks
Berdasarkan tingkat kerumitannya, sistem dibedakan menjadi sistem yang sederhana dan
sistem yang kompleks
10. Kesimpulan
Sistem Teori merupakan suatu konsep dasar yang menjelaskan hubungan sistematis
suatu fenomena dengan cara merinci suatu hubungan sebab – akibat yang terjadi. Di
kehidupan sehari-hari istilah sistem teori sering dihubungkan dengan praktik, sistem teori
kadang-kadang tidak mudah dipahami karena sifatnya cenderung abstrak. Memahami
pemikiran secara abstrak barangkali bukan tugas yang mudah. Namun, sesuatu yang sulit
bukan berarti tidak berguna. Seorang ahli mengatakan, tidak ada yang lebih praktis
daripada teori yang bermanfaat, artinya, dengan menguasai suatu teori secara baik
seseorang akan lebih mudah menangani hal-hal praktis yang berkaitan dengan ilmu
dilapangan. Dibelakang setiap sistem teori terdapat asumsi-asumsi yang membentuk sudut
pandang suatu teori biasanya asumsi tersebut berpola objektif dan subjektif. Maksudnya,
realita secara objektif dapat diukur, dinilai, dan diperbandingkan, dengan satu sama lain.
Sedangkan pola subjektif mengasumsikan lebih kepada perorangan yang dapat berfikir
berbeda-beda pada suatu objek yang sama.
Dari pemikiran Bertalanffy tentang hal tersebut di atas jelas Bertalanffy
mengemukakan pemikirannya tentang General System Theory yang telah berjasa dalam
menghilangkan jurang pemisah antara ilmu-ilmu eksak dengan ilmu sosial. Masyarakat
dunia semakin sadar bahwa dibutuhkan kesatuan dalam ilmu pengetahuan untuk
mengatasi permasalahan yang muncul di belahan dunia manapun.
11. II. TEORY FUNGSIONAL STRUKTURAL
A. ASUMSI DASAR
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali
mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.
Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu
menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang
saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar
organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya
pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana
pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte
dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh
Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat
dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan
requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan
penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam
kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat
adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan.
Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat
sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan
fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan
sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan
Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan
Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.
Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max
Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah
Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan
antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan
bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara
keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat,
tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer
menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai "organ" yang bekerja demi
berfungsinya seluruh "badan" secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah ini
menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau
praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi
Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam
pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.
12. B. STRUKTUR SOSIAL DALAM FUNGSIONALISME Robert K. Merton
Model analisa Robert K. Merton merupakan hasil dari perkembangan
pengetahuannya yang menyeluruh tentang teori-teori klasik. Karya awal Merton sangat
dipengaruhi oleh Max Weber. Merton sendiri tidak memiliki teori yang bulat, tetapi esai-
esai yang mencoba menyempurnakan aspek tulisan-tulisan klasik. Di dalam keseluruhan
tulisannya kita menemukan suatu tema yang menonjol yaitu, “arti pentingnya memusatkan
perhatian pada struktur sosial dalam analisa sosiologis”. Pengaruh weber juga dapat dilihat
dalam batasan Merton (1957 tentang birokrasi modern seperti hal berikut:
1. Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal.
2. Meliputi suati pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas.
3. Kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi.
4. Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur
birokratis.
5. Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang hirarkis.
6. Berbagai kewajiban serta hak hak did alam birokrasi dibatasi oleh atiran-aturan
yang terbatas.
7. Otoritas pada jabatan bukan orang
8. Hubungan-hubungan antara orang orang dibatasi secara formal.
Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur birokratis. Struktur
birokratis memberi tekanan kepada individu sehingga mereka menjadi “disiplin,
bijaksana, metodis”. Tetapi jika metode ini dijalankan secara berlebih-lebihan maka akan
menimbulkan fungsi yang negatif. Hal ini bisa menjurus konflik atau ketegangan antara
birokrat dan orang-orang yang harus mereka layani. Struktur birokratis dapat melahirkan
tipe kepribadian yang lebih mematuhi peraturan-peraturan tertulis daripada semangat
untuk apa peraturan itu ditetapkan.
Tema dampak lembaga terhadap kehidupan anggotanya juga dikemukakan
Merton dalam buku “Social Structure and Anomie” (1938). Disini Merton berusaha
menunjukan “bagaimana sejumlah struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada
orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih menunjukan
kelakuan non konformis daripada konformis” (Merton 1938:672). Anomie adalah hasil
dari keadaan yang tidak serasi antara tujuan-tujuan kultural dan sarana kelembagaan
yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Anomi tidak akan muncul sejauh
masyarakat menyediakan sarana kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuan kultural
tersebut. Dengan demikian, anomie bukan merupakan konsep psikologis yang dapat
dijelaskan lewat teori psikologi, konsep ini lebih merupakan masalah struktural dan
kultural yang menuntut penjelasan sosiologis.
“PARADIGMA ANALISA FUNGSIONAL” MERTON
13. Merton memulai analisa fungsionalnya dengan menunjukan beberapa asumsi kabur
yang terkandung dalam teori fungsionalisme. Merton mencoba membuat batasan konsep
analitis dasar bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang
terdapat didalam asumsi-asumsi kaum fungsional. Merton mengutip tiga asumsi yang
terdapat didalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya.
ASUMSI PERTAMA, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi
sebagai “suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu
tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai tanpa menghasilkan konflik
yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur” (Merton 1967:80).
ASUMSI KEDUA, yaitu fungsionalisme universal, berkaitan dengan asumsi pertama.
Fungsionalisme universal menganggap bahwa “seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang
sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif” (Merton 1967:84).
ASUMSI KETIGA, adalah asumsi indispensability, ia menyatakan bahwa “dalam
setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materil dan kepercayaan memenuhi
beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan
bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan sistem sebagai keseluruhan”
(Merton 1967:86). Merton juga menulis : “pendek kata postulat indispensability
sebagaimana yang sering dinyatakan mengandung dua pernyataan yang berkaitan, tetapi
dapat dibedakan satu sama lain. Pertama, bahwa ada beberapa fungsi tertentu yang bersifat
mutlak dalam pengertian, bahwa kecuali apabila mereka dijalankan, maka masyarakat (atau
kelompok maupun individu) tidak akan ada. Hal ini selanjutnya melahirkan konsep prasyarat
fungsional atau prakondisi-prakondisi yang secara fungsional perlu bagi eksistensi suatu
masyarakat, suatu konsep yang kelak akankita kaji secara lebih terperinci. Kedua, yang
merupakan bentuk-bentuk sosial atau kultural tertentu adalah mutlak untuk memenuhi
masing-masing fungsi tersebut” (Merto 1967:87), Didalam menyatakan keberatannya
terhadap ketiga postulat itu, Merton menyatakan bahwa:
1. kita tidak mungkin mengharapkan terjadinya integrasi masayarakat yang benar-
benar tuntas.
2. kita harus mengakui baik disfungsi maupun konsekuensi fungsional yang positif
berasal dari suatu elemen kultural, dan
3. kemungkinan alternatif fungsional harus diperhitungkan dalam setiap analisa
fungsional.
Kecuali sanggahannya terhadap ketiga postulat tersebut, Merton masih
mengutamakan masalah lain dalam fungsionalisme yang mentah itu, khususnya
kesimpangsiuran antara “motivasi-motivasi yang disadari” dan “konsekuensi-konsekuensi
objektif”. Merton menyatakan bahwa masalah utama bagi para ahli sosiologi adalah
konsekuensi obyektif, bukannya motivasi. Tetapi konsekuensi yang dapat berupa
konsekuensi manifes atau laten: “fungsi manifes adalah konsekuensi obyektif yang
membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem dan disadari oleh para partisipan dalam
sistem tersebut, sedang fungsi laten adalah fungsi yang tidak disadari” (Merton 1967:115).
Perhatian penelitian sosiologi selama ini telah diarahkan ke fungsi manifes, tetapi jika tidak
memperhatikan fungsi laten, itu adalah contoh yang menyesatkan. Salah satu contoh dari
14. kedua fungsi ini adalah pembelian sebuah mobil, dalam fungsi manifes mobil digunakan
untuk pergi ke tempat kerja, tetapi dalam fungsi laten, mobil digunakan untuk
mempertontonkan kekayaan dan status kepada masyarakat. Setiap praktek kebudayaan
dapat dianalisa dari perspektif fungsi laten dan manifes ini.
Setelah meninjau masalah yang dihadapi oleh kaum fungsionalis itu, Merton
selanjutnya mengetengahkan sebuah model atau paradigma yang bukat, yang dapat
menghindarkan diri dari semua kelemahan tersebut. Yaitu dengan mengajukan pertanyaan
pertanyaan yang harus dijawab didalam analisa.
Bagaimana hakikat sistem yang sedang dianalisa? Apakah ia merupakan suatu
kelompok etnis atau kultural tertentum sebuah kelompok kecil atau suatu organisasi yang
besar? Hal ini perlu dijelaskan lebih dulu, karena suatu fungsional bagi suatu kelompok
belum tentu sama fungsionalnya dengan kelompok yang lain.
Apakah ada fungsi manifes maupun laten yang harus dipertimbangkan?
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam contoh mengenai pembelian mobil tersebut.
Fungsi-fungsi tersebut tidak selalu dimaksudkan atau harus diketahui oleh mereka yang
berperan serta di dalam suatu sistem.
Bagaimana kita menentukan bahwa suatu “persyaratan fungsional” harus ada dalam
suatu sistem tertentu? Merton menolak anggapan bahwa untuk tetap hidup semua sistem
harus memenuhi seperangkat persyaratan fungsional. Disini merton mengingatkan akan
perlunya para penganut analisa fungsional memperhatikan alternatif-alternatif fungsional
Apakah minat kaum fungsionalis terhadap isu tentang keteraturan merintangi kemampuan
mereka untuk melihat ketidakseimbangan? Didalam memperkenalkan konsep disfungsi
maupun fungsi positif, Merton mengingatkan kaum fungsionalis akan kemungkinan
terjadinya perubahan sosial oleh karena suatu praktek kebudayaan atau norma yang ada
bertentangan dengan sistem sosial.
Merton menjelaskan dalam konsep-konsepnya tentang kekeliruan dalam
fungsionalisme yang mentah, dan mengangkat beberapa pertanyaan yang harus dijawab
oleh mereka yang menganut analisa fungsionalis. Untuk menjawabnya kaum fungsionalis
harus mengingat bahwa apa yang mungkin fungsional bagi suatu kelompok boleh jadi tidak
demikian bagi kelompok lain. Lebih daripada itu para sosiolog juga harus waspada untuk
tidak melupakan fungsi laten ketika sedang asyik menggunakan fungsi manifes yang jelas
terlihat. Karena praktek kebudayaan bisa saja tidak secara total bersifat integratif atau
disintegratif, maka penilaian fungsionalitasnya harus dilihat dalam konteks keseimbangan
konsekuensi-konsekuensinya.
15. TEORY struktural fungsional (Modern)
Teori struktural fungsional juga mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Jika diawal – awal lahirnya teori ini
diprakarsai oleh Comte, Parsons, dan E. Durkehim dengan menyesuaikan jiwa jaman
(Geiisweitch) saat itu, yakni keadaam dimana masyarakat masih begitu sederhana. Maka
dalam perkembangan yang lebih lanjut, teori struktural fungsional klasik tersebut dinilai
‘kurang’ sesuai dengan perkembangan masyarakat saat ini yang lebih kompleks. Sehingga
munculah teori-teori baru yang diteruskan oleh Robert K. Merton (1910 – 2003), dan
Anthonny Giddens (1938 – sekarang). Robert K. Merton yang lebih menitikberatkan
kajiannya terhadap perubahan sosial dan Anthonny Giddens dengan strukturisasi
masyarakatnya.
Dalam masyarakat yang lebih kompleks, pembatasan terhadap teori fungsional
dinilai perlu dilakukan, dimana perubahan – perubahan kerap terjadi. Robert K. Merton
mengakui bahwa teori fungsionalisme klasik telah banyak membantu bagi perkembangan
studi kemasyarakatan, namun tidak dapat menjawab permasalahan sosial secara
keseluruhan. Menurut Merton dan Giddens, tindakan sosial (act social) tidak pernah
terlepas dari struktur sosial. Raclidffe brown menyebutkan, pembagian dalam masyarakat
beserta ide mengenai strata yang membedakan agama, ras, dan suku tersebut dipengaruhi
oleh peraturan – peraturan dan hukum yang sedang berlaku di sekitar lingkungan
masyarakat.
Ada keterkaitan antara struktur sosial dengan perilaku dan adaptasi individu. Lower
class (masyarakat bawah) misalnya, cederung memiliki kesempatan yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan masyarakat kelas atas. Tentu hal ini berakibat pada keresahan,
frustasi, dan kekecewaan terhadap individu-individu tertentu, sehingga dapat
menghasilkan perubahan sosial dengan adaptasi tertentu.
Masih menurut Merton, adaptasi dalam teori struktural fungsional terbagi menjadi 5
jenis yakni:
1. Conformity, (keadaan tetap pada keadaan sosial yang lama),
2. Inovation, (terdapat perubahan cara untuk menggapai tujuan dalam masyarakat),
Ritualism (bentuk penolakan terhadap pengaruh – pengaruh baru),
3. Retreatism, (bentuk penarikan diri individu dengan cara melakukan penyimpangan
sosial),
4. Rebellion, yang berarti pemberontak dan;
5. Berani mengubah tatanan struktur sosial secara keseluruhan.
Dalam teori Giddens, perubahan sosial yang terjadi memerlukan struktur sosial
(recurrent social practise) sebagai sarana dan sumber daya untuk melakukan tindakan
sosial. Perubahan sosial yang juga dipengaruhi oleh subsistem (ekonomi, budaya, politik,
dan sosialisasi) dan struktur teori fungsionalisme (norma, organisasi ekonomi, alat
16. pendidikan, dan politik kebijakan pemerintah), membutuhkan jarak (space) saat
praktiknya dimulai, notabene tidak semua ritual lama ditinggalkan oleh masyarakat.
KESIMPULAN
sampai saat ini, fungsionalis dalam teori sosiologi Amerika masih merupakan
perpesktif yang dominan. lewat karya Herbert Spencer dan Emile Durkheim, tradisinya
dapat ditelusuri pada "Bapak" Sosiologi yaitu Auguste Comte. Malinowski dan Radcliffe
Brown, sebagai antropolog yang terkenal, sangat dipengaruhi oleh teori Durkheim. mereka
kemudian mempengaruhi sosiolog Amerika, yaitu Talcot Parsons. sebagai instruktur muda
Parsons memperkenalkan karya Emile Durkheim dan perspektif fungsionalisme kepada
Robert K. Merton, salah seorang muridnya di universitas Harvard.
Merton telah menghabiskan karir sosiologisnya dalam mempersiapkan dasar
struktur fungsional untuk karya-karya sosiologis yang lebih awal dan dalam mengajukan
model atau paradigma bagi analisa struktural. Dia menolak postulat-postulat
fungsionalisme yang masih mentah, yang menyebarkan paham “kesatuan masyarakat yang
fungsional”, “fungsionalisme universal”, dan “indespensability”. Merton mengetengahkan
konsep disfungsi, alternatif fungsional dan konsekuensi keseimbangan fungsional, serta
fungsi manifes dan laten yang dirangkainya ke dalam suatu paradigma fungsionalis.
Walaupun kedudukan model ini berada di atas postulat-postulat fungsionalisme yang lebih
awal, tetapi kelemahannya masih tetap ada. Masyarakat dilihat sebagai keseluruhan yang
lebih besar dan berbeda dengan bagiannya. Individu dilihat dalam kedudukan abstrak,
sebagai pemilik status dan peranan yang merupakan struktur. Konsep abstrak ini
memperbesar tuduhan bahwa paradigma tersebut mustahil untuk diuji.
17. III. TEORI ELIT DAN BUDAYA POLITIK
Penulis membedan menjadi pengertian elit dan budaya politik kedalam satu
rangkuman “Konsep Teori Elit dan Budaya Politik”.
A. Konsep teori ELIT (ELITIS)
Dalam pengertian yang umum elite menunjuk pada sekelompok orang orang yang
ada dalam masyarakat dan menempati kedudukan tinggi. Dalam pengertian khusus dapat
diartikan sebagai sekelompok orang yang terkemuka di bidang-bidang tertentu dan
khususnya golongan minoritas yang memegang kekuasaan.
Dalam studi sosial golongan minoritas yang berada pada posisi atas yang secara
fungsional dapat berkuasa dan menentukan dikenal dengan elit. Elite adalah suatu
minoritas pribadi-pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas dengan cara
yang bernilai sosial.
Dalam sebuah pemerintahan elite dapat dibedakan menjadi dua yaitu elit politik dan
elit birokrasi, untuk memperjelas keduanya akan di bahas di sub bab selanjutnya.
Perspektif aktor-elite ini memandang kekuasaan dengan model elitis, dimana model
ini memunculkan kedua kelompok masyarakat, yaitu sejumlah kecil masyarakat yang
memiliki kekuasaan besar yang dikenal dengan sebutan elit, dan anggota masyarakat yang
dalam jumlah banyak tetapi tidak memiliki kekuasaan.
B. Konsep Teori BUDAYA POLITIK
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang
khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap
peranan warga negara yang ada di dalam system itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi
pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih
jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka
dengan simbolsimbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.
Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan
mereka di dalam sistem politik. Dengan memahami budaya politik, kita akan memperoleh
paling tidak dua manfaat, yakni:
1. Sikap-sikap warga Negara terhadap sistem politik akan Gabriel A. Almond dan
Sidney Verba, Dalam Buku, Budaya Pollitik, tingkah laku politik dan demokrasi di
lima Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990. Hal 13. 8 Arifin Rahman. Sistem Politik
Indonesia , LPM IKIP Surabaya, 1998 hal, 32. mempengaruhi tuntutan -tuntutan,
tanggapannya, dukungannya serta orientasinya terhadap sistem politik itu;
2. Dengan memahami hubungan antara budaya politik dengan sistem politik, maksud-
maksud individu melakukan kegiatan dalam sistem politik atau faktor-faktor apa
18. yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik dapat di mengerti. Budaya politik
selalu inhern pada setiap masyarakat yang terdiri dari sejumlah individu yang hidup
dalam sistem politik tradisional, transnasional, maupun modern.
Almond dan Verba melihat bahwa pandangan tentang obyek politik, terdapat tiga
komponen yakni komponen kognitif, efektif, dan evaluatif.
- Orientasi Kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada
politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
- Orientasi Afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor
dan pe-nampilannya.
- Orientasi Evaluative : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik
yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan
perasaan.
Berikut tabel yang menggambarkan perbandingan orientasi politik kognitif, afektif dan
evaluatif.
KOMPONEN BUDAYA POLITIK
Parokial Subjektif Partisipatif
ORIENTASI
POLITIK
Kognitif XXX
Affektif XXX
Evaluatif XXX
Tabel perbandingan orientasi politik kognitif, afektif dan evaluative.
3. BUDAYA POLITIK
Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
a. Budaya Politik Parokial, (parochial political culture) yaitu tingkat partisipasi
politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat
pendidikan relatif rendah). menyangkut budaya yang terbatas pada wilayah atau
lingkup yang kecil, sempit misalnya yang bersifat provincial. Karena wilayah yang
terbatas acapkali pelaku politik sering memainkan peranannya seiring dengan
diferiensiasi, maka tidak terdapat peranan politik yang bersikap khas dan berdiri
sendiri. Yang menonjol dalam budaya politik adalah kesadaran anggota masyarakat
akan adanya pusat kewenangankekuasaan politik dalam masyarakat
19. b. Budaya Politik Kaula, (subyek political culture) yaitu masyarakat bersangkutan
sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
anggota masyarakat mempunyai minat perhatian, mungkin juga kesadaran terhadap
sistem sebagai keseluruhan terutama pada aspek outputnya. Kesadaran masyarakat
sebagai aktor dalam politik untuk memberikan input politik boleh dikatakan nol.
Posisi sebagai kaula merupakan posisi yang pasif dan lemah. Mereka menganggap
dirinya tidak berdaya mempengaruhi atau mengubah sistem dan oleh karena itu
menyerah saja pada kepada segala kebijakan dan keputusan para pemegang jabatan.
c. Budaya Politik Partisipan, (participant political culture), yaitu budaya politik yang
ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi. Masyarakat dalam budaya ini
memiliki sikap yang kritis untyuk memberi penilaian terhadap sistem politik dan
hampir pada semua aspek kekuasaan.
d. Budaya Politik Campuran, (mixed political cultures) yaitu gabungan karakeristik
tipe-tipe kebudayaan politik yang murni.
Oleh karena itu kebudayaan politik adalah bagian dari kebudayaan suatu
masyarakat. Dalam kebudayaannya sebagai sub kultur, kebudayaan politik dipengaruhi
oleh kebudayaan masyarakat secara umum. Kebudayaan politik menjadi penting di pelajari
karena ada dua sistem :
Pertama : Sikap warga negara terhadap orientasi politik yang menentukan pelaksanaan
sistem politik. Sikap orientasi politik sangat mempengaruhi bermacam-macam tuntutan itu
di utarakan, respon dan dukungan terhadap golonganm elit politik, respons dan dukungan
terhadap rezim yang berkuasa.
Kedua : dengan mengerti sikap hubungan antara kebudayaan politik dan pelaksanaan
sisitemnya, kita akan lebih dapat menghargai cara-cara yang lebih membawa perubahan
sehingga sisitem politik lebih demokratis dan stabil.
20. KESIMPULAN
- Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh
masyarakat, namun setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti
antara masyarakat dengan para elitnya.
- Menurut Almond dan Powell berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi
psikologis dari sistem politik, yang mana budaya politik bersumber dari perilaku lahiriah
dari manusia yang bersumber pada penalaran-penalaran yang sadar.
- Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan
politik yang dihayati oleh anggota sistem politik.
- Finer mengungkapkan bahwa Budaya politik lebih menekankan pada aspek legitimasi
peraturan-peraturan, lembaga politik serta prosedur.
Almond dan Verba melihat bahwa pandangan tentang obyek politik, terdapat tiga
komponen yakni komponen kognitif, efektif, dan evaluatif.
TIPE BUDAYA POLITIK
BudayaPolitikParokial (parochial political culture)
BudayaPolitikKaula
BudayaPolitikPartisan
BudayaPolitikCampuran
BudayaPolitikIndonesia
Ada tiga model kebudayaanpolitikyaitu antara lain:
Model masyarakatdemokratik,
Model sistemotoriter,
Model demokratikpraindustrial.
Salahsatu PraktikBudayaPolitikadalahPemilihanUmum.
Pemahaman tentang struktur dan budaya politik dalam kerangka kerja sistem politik
memegang peran penting. Gabriel Almond mengatakan, sistem politik merupakan
organisasi melalui masyarakat, merumuskan dan berusaha mencapai tujuan bersama.
Dalam hal ini, sistem politik melaksanakan perang atau mendorong perdamaian,
memajukan perdagangan internasional atau membatasinya, membuka diri demi
pertukaran gagasan-gagasan atau menutup diri, menarik pajak dari rakyat secara adil atau
tidak, mengalokasikan sumberdaya untuk hajat hidup orang banyak. Singkatnya sistem
politik melaksanakan berbagai kegiatan yang ditunjukkan untuk meraih tujuan-tujuan
bersama yang telah dirumuskan. Dalam rangka melaksanakan kegiatan yang kompleks ini,
sistem politik memerlukan badan-badan dan struktur-struktur yang bekerja dalam sistem
politik seperti, parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang melaksanakan
kegiatan atau fungsi-fungsi tertentu. Pelaksanaan fungsi-fungsi inilah yang pada akhirnya
membuat sistem politik bekerja, dalam arti mampu merumuskan dan melaksanakan
kebijakan-kebijakannya.
21. IV. TEORI BIROKRASI
A. Definisi Organisasi
Oragnisasi dibentuk melalui komunikasi ketika beberapa individu melakukan
interaksi satu sama lain untuk mencapai tujuan individu dan tujuan bersama. kemudian
proses komunikasi ini menghasilkan berbagai hal seperti terciptanya peran, jaringan
komunikasi, kewenangan dan iklim. Lalu apa yang membedakan antara organisasi dan
kelompok Karena keduanya sama-sama sekumpulan orang. Max Weber mengemukakan
bahwasannya organisasi adalah suatu sistem kegiatan interpersonal bertujuan yang
dirancang untuk mengoordinasikan tugas individu atau a system of purposeful,
interpersonal activity designed to coordinate individual task. Perbedaan penting antara
oraganisasi dan kelompok biasa terletak pada adanya birokrasi.
B. Max Weber on Bureaucracy
Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau
etimologi (asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata “bureau”. Kata “bureau” berasal dari
Perancis yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau kadang
diperluas jadi kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan yang dikendalikan
lewat meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi adalah "mesin" yang mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah maupun swasta. Pada pucuk
kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara
kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga
kepresidenan.
Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif
menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis
ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber
sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup
Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.
Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak
pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya
banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal.
Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya
(ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi.
22. Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah
otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu:
1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
2. tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-
fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
3. jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak
kontrol dan pengaduan (complaint);
4. aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun
secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
5. anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu
pribadi;
6. pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
7. administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung
menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
8. sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada
bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi
birokratik.
Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi
tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.
Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-
rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai
berikut:
1. para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-
tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
2. terdapat hirarki jabatan yang jelas;
3. fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
4. para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5. para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada
suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
6. para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji
bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu
menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat
diberhentikan;
7. pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
8. suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian
(merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
23. 9. pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan
sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
10. pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin
(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi
menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai
sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat
disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas
penjelasan sebab-akibatnya.
Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat.
Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di
tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan
sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap
kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut yaitu :
1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam
pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan
mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja
diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.
2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab
terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk
menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan
Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat
membatasi akumulasi kekuasaan.
3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak
mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja
direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala
KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS,
ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja,
pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut.
4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang
bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski
merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit
and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa
bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.
5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat
mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat
diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat
24. pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat
pemilih mereka.
Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini
atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.
C. Kritik Atas Pandangan Weber Mengenai Birokrasi
Secanggih apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik. Demikian pula pandangan
Weber akan birokrasi ini. Berikut akan disampaikan sejumlah kritik para ahli akan
pandangan Weber, yang seluruhnya diambil dari karya Martin Albrow (lihat referensi).
Robert K. Merton. Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure and Personality”,
Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, penekanan Weber
pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam suatu
administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan,
dapat menjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk
solidaritas kelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan
untuk melayani publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingak laku mereka
dapat menyebabkan konflik dengan individu-individu warganegara. Apa yang ditekankan
Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengetian Weber dapat dengan
mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu bagi
pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Philip Selznick. Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang
Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu
organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi
secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk meniadakan
kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih banyak
sub-sub unit tujuan.
Talcott Parsons. Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf administrasi yang
dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional dan juga
hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat memunculkan
konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan bahwa posisi dalam
hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya,
timbul persoalan bagi angggota organisasi: Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang memiliki
hak untuk memerintah atau orang yang memiliki keahlian yang hebat?
25. Alvin Gouldner. Gouldner melanjutkan kritik Parsons atas Weber. Gouldner
memuatnya dalam Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya tentang dasar
kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya pada konflik
antara otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2 tipe birokrasi yang uta:
“Pemusatan-Hukuman (punishment centered) dan Perwakilan (representative). Pada tipe
punishment centered, para anggota birokrasi pura-pura setuju dengan peraturan yang
mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada
tipe Representative, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai kebutuhan
menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai dengan kepentingan meerka sendiri.
Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini memiliki pengaruh yang mencolok pada
pelaksanaan organisasi yang efisien.
R.G. Francis dan R.C. Stone. Francis dan Stone melanjutkan kritik Gouldner dalam
buku mereka Service and Procedure in Bureaucracy. Francis dan Stone menunjukkan
bahwa walaupun literatur resmi tentang organisasi dapat melarang impersonalitas dan
kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah ditentukan, tetapi dalam prakteknya para
staf birokrasi dapat menyesuaikan tindakan mereka dengan keadaan-keadaan yang cocok
dnegan kebutuhan-kebutuhan individu.
Rudolf Smend. Smend sama seperti Weber, berasal dari Jerman. Ia mengeluhkan
bahwa Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman pemahaman tentang
administrasi sebagai mesin rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah mengemban
fungsi-fungsi teknis. Hakim dan pejabat administrasi bukan merupakan etres inanimes.
Mereka adalah makhluk berbudaya (gestig) dan makhluk sosial yang secra aktif
mengemban fungsi-fungsi tertentu di dalam keseluruhan budaya. Apa yang dilakuka oleh
manusia-manusia seperti itu ditentukan oleh keseluruhan budaya, yang diorientasikan
melalui fungsi-fugnsinya, dan pada gilirannya membantu menentukan hakikat dari
seseluruhan budaya tersebut. Dalam menerangkan hal ini, Smend menambahkan, masuk
akal jika orang-oorang sosialis mengeluhkan “keadilan yang borjuistis.”
Reinhard Bendix. Bendix berpendapat bahwa efisiensi organisasi tidak dapat dinilai
tanpa mempertimbangkan aturan-aturan formal dan sikap-sikap manusia terhadapnya.
Dalam bukunya Higher Civil Servants in American Society, Bendix membantah adanya
kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari nilai-nilai sosial dan politik
yang umum. Semua peraturan diterapkan pada kasus-ksus tertentu, dan dalam
menentukan apakah suatu kasus berada di bawah peraturan, seorang pejabat arus
mengemukakan alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan. Dalam membuat
pertimbangannya, pejabat menemukan suatu dilema. Di satu sisi, jika terlalu tunduk
dengan undang-undang ia secara populer disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain,
jika ia terlalu percaya pada inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis
26. di dalam kitab perundang-undangan, maka tindakannya secara populer disebut sebagai
suatu penyalahgunaan kekuasaan, karena mencampuri hak prerogatif badan legislatif.
Carl Friedrich. Seorang lainnya, Carl Friedrich, mengkritisi pendapat Weber bahwa
seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai aturan yang tertulis. Kenyataannya,
peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap untuk bertindak. Ini artinya,
faktor-faktor di luar peraturan harus dipertimbangkan oleh ilmuwan sosial dalam
menginterpretasikan tindakan pejabat. Kemungkinan interpretasi ini menggambarkan
perlunya pilihan untuk digunakan sebagai pertimbangan setiap administrator. Ini
berlawanan dengan pendapat Weber, yang membenarkan birokrati untuk menghindari
semua tanggung jawab atas tindakannya. Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak di
luar ketentuan teknis, ataupun menurut instruksi. Friedrich, sebab itu, mengkritik Weber
karena mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap penekanan Weber terhadap
otoritas membuat organisasi sosial jadi menyerupai organisasi militer. Ia menghalangi
setiap jenis konsultasi, dan hanya mengandalkan pola kooperatisme.
Peter Blau. Bagi Blau, dalam bukunya The Dynamic of Bureaucracy, pandangan yang
fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun (birokrasi). Di dalam
lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi bergantung pada perubahan
secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak dapat dijamin
dengan membelenggu pejabat melalui seperangkat undang-undang yang kaku. Hanya
dengan membolehkan pejabat mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai suatu
keseluruhan, dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya tentangng
keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang efisien.
R. V. Presthus, W. Delaney, Joseph Lapalombara. Presthus mengamati
kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap konsep birokrasi
Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia menemukan bahwa pada industri
batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan usaha
tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di Barat. Kesimpulan
kontra Weber juga dikemukakan W. Delaney. Bagi Delaney, administrasi bercorak
patrimonial justru mungkin saja cocok bagi masyarakat dengan pembagian kerja yang
sederhana dan tradisional. Juga, Joseph Lapalombara menemukan fakta bahwa birokrasi
ala Cina dan Rusia lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.
27. Konsep Birokrasi Martin Albrow
Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan
para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa
konsepsinya seputar birokrasi. Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi.
Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna menganalisis fenomena
birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow
adalah :
1. Birokrasi sebagai organisasi rasional
Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman
Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara
pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti menurut
hipotesis yang diangkat. Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang
memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada
mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam
organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada susunan
kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai
“organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di
dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”
2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan
kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan
yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga
mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi
besar.
Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya), kurang
inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir
(terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga
merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari
kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk
kepentingan diri sendiri.
28. 3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang
profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian
ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga, seringkali
dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.
4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil
ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem
administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu
pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.
5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.
Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf
administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf-staf itu
terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut birokrasai-birokrasi.
Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.
6. Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern.
Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah
disebut.
7. Birokrasi sebagai masyarakat modern
Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana
masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu,
tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara.
Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi tersebut,
maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern.
29. D. Kesimpulan
Pertama. Weber tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori birokrasi.
Weber hanya mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah dinasti di masa
hidupnya. Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak efektif di dalam
menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun pengertian birokrasi sebagai
sebuah organisasi yang legal rasional.
Kedua. Weber telah menyebutkan 8 karakteristik yang menjadi ideal typhus dari
suatu organisasi yang legal rasional. Karakteristik-karakteristik ini kemudian
diterjemahkan sebagai penciriannya atas birokrasi sebagai sebuah organisasi yang lega-
rasional.
Ketiga. Weber juga telah membangun 10 ciri staf yang bekerja di dalam birokrasi
sebagai sebuah organisasi yang bersifat legal-rasional. Ke-10 ciri tersebut kini melekat
pada sifat pejabat yang kita sebut sebagai birokrat.
Keempat. Weber juga telah memahami dampak negatif dari akumulasi kekuasaan
orang di dalam birokrasi. Sebab itu, Weber menyodorkan 5 mekanisme yang mudah-
mudahan dapat mencegah efek negatif kekuasaan orang-orang yang ada di dalam sebuah
birokrasi.
Kelima. Konsepsi Weber tentang birokrasi menghadapi kritik tajam dari sejumlah
ahli. Para ahli tersebut berkisar pada sosiolog, teoretisi manajemen, hingga praktisi
administrasi negara. Secara garis besar, keberatan pada tipikal birokrasi Weber berkisar
pada masalah rasionalitas kerja orang-orang yang ada di dalam birokrasi. Peraturan
mungkin saja rasional, tetapi oknum yang menjalankan aturan tersebut sangat manusiawi
dan sukar untuk dinyatakan selalu rasional.
Keenam. Martin Albrow, setelah mengkritisi pendapat Weber, membangun 7
konsepsinya mengenai birokrasi. Konsepsi-konsepsinya tersebut adalah : (1) Birokrasi
sebagai organisasi rasional; (2) Birokrasi sebagai inefesiensi organisasi; (3) Birokrasi
sebagai kekuasaan yang dijalankan para pejabat; (4) Birokrasi sebagai administrasi negara
(publik); (5) Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat; (6) Birokrasi sebagai
suatu organisasi; dan (7) Birokrasi sebagai masyrakat modern.
30. V. TEORI REINVENTING
I. KONSEP REINVENTING GOVERNMENT
Pengertian paradigma diperkenalkan pertama kalinya oleh Thomas khun melalui
tulisannya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions (1970). Khn
mendefinisikan paradigma ilmiah sebagai seperangkat asumsi mengenai realitas—suatu
model atau pola yang sudah diterima—yang menjelaskan sesuatu kenyataan lebih baik
dibandingkan dengan seperangkat asumsi lainnya. Tiap paradigma ilmiah memiliki
seperangkat aturannya sendiri dan menjelaskan secara gamblang semua fakta-faktanya.
Sepanjang paradigma itu menjelaskan semua fenomena yang diamatinya dan memecahkan
masalah-masalah yang dikehendaki semua orang, paradigma itu jadi dominan. Tetapi
karena fenomena baru mulai menentangnya, maka paradigma itu memudar sejalan dengan
meningkatnya keraguan untuk menerimanya. Jika anomali-anomali seperti ini jadi berlipat
ganda, maka paradigma itu terpuruk ke krisis kepercayaan/penerimaan.
Paradigma baru dalam pemerintahan diperkenalkan melalui reinventing
government sebagai karya konseptual David Osborne dan Ted Gaebler yang dipublikasikan
Tahun 1992, menjadi tulisan yang masuk kategori national best seller dan disarankan oleh
Bill Clinton (Presiden USA): ”Should be read by every elected official in America. This book
gives us the blueprint.” Karya pikir ini lahir sesudah dunia mengakhiri perang dingin yang
ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin pada saat hendak memasuki dekade 1990-an.
Itulah pertanda runtuhnya paradigma lama tentang pemerintahan.
Apa paradigma lama pemerintahan itu?
1. government as something fixed;
2. something that does not change.
Padahal pada kenyataannya pemerintahan itu secara konstan berubah. Dari sinilah timbul
paradigma ”yang tetap itu ialah perubahan, yang pasti ialah ketidakpastian.” Dahulu, ketika
pemerintah memikul dana pabrik senjata tak seorang pun berpikit bahwa hal itu bisa
diswastakan. Kini, sebaliknya, jika pemerintah ”ngotot” mendanai pabrik senjata maka
niscaya akan menerima kritik pedas dari mayarakat. Banyak aktivitas yang dahulu
dilakukan oleh pemerintah berangkat dari paradigma lama yang diistilahkan oleh Osborne
dan Gaebler sebagai rowing the boat [mendayung perahu] dan bukan steering
[menyetir/mengemudi] sesuai dengan arti harfiah government [asal kata dari Bhs.
Latin=gubernare] yang artinya ”memimpin/mengarahkan” dan memang pemerintah tidak
sangat baik dalam hal ”mendayung” (Savas, 1987).
Hampir bisa disebut ”sekonyong-konyong” bahwa bidang pemerintahan dipenuhi oleh
peristilahan baru, seperti ”kemitraan pemerintah dan swasta”, ”alternatif pemberian
31. layanan”, ”kontrak pekerjaan”, ”pemberdayaan”, ”Mutu Manajemen Menyeluruh”,
”manajemen partisipatif””privatisasi”, ”kehilangan bobot”. Peristilahan mana sebelumnya
dianggap ”tabu” memasuki dunia pemerintahan. Semua gejala ini adalah apa yang oleh
Khun disebut krisis paradigma yang menampilkan: memudarnya aturan-aturan tradisional,
eksprimentasi menyebar begitu cepat, dan praktik-praktik sekali bisa diterima langsung
diterapkan sebagai bagian dari cara kerja (di bidang kepegawaian, penganggaran,
penggajian guru secara fungsional, dsb).
Terakhir kalinya melakukan reinvent [menemukan kembali hakekat] pemerintahan
(bagi USA) ialah tahun 1900 hingga 1940. Dilakukannya tindakan tsb. berkaitan dengan era
progresif dan apa yang mereka sebut New Deal dalam rangka mengatasi kemunculan
industri baru di bidang ekonomi yang membawa-serta problematik baru secara cepat
berikut peluang-peluangnya di USA. Kini, pemerintahan dimanapun di belahan dunia ini
kembali dihadapkan pada goncangan hebat yaitu munculnya era pasca-industri (bagi
negara-negara maju), knowledge based [segala sesuatu berbasis pengetahuan], ekonomi
global, yang kesemuanya itu telah menepis realitas-realitas lama di seluruh penjuru dunia
oleh karena telah tercipta peluang-peluang hebat dan sekaligus masalah-masalah
ancamannya. Pemerintahan berskala besar maupun kecil, Amerika Serikat maupun asing,
federal, negara bagian, dan lokal, sudah mulai merespon masalah-masalah tsb.
Konsep reinventing dipublikasikan dengan tujuan ganda:
1. memotret kegiatan semua pemerintahan yang sudah mulai memasuki perjalanan
baru ini,
2. menyajikan sebuah peta bagi mereka yang mau ikut serta. Bagi mereka yangs
sekarang ini meu melakukan reinventing government terlebih dahulu mesti
menyiapkan strategi pemecahan masalah, seperti menutup defisit atau
merampingkan birokrasi, seraya mereka juga siap menghadapi dunia baru.
Mengelola sektor pemerintahan tidak jauh berbeda dengan mengelola perusahaan. Jika
yang menjadi tujuan dari sektor swasta adalah kelangsungan hidup perusahaan dan
kemampuan berlaba yang lestari, sebenarnya sektor publik tidak jauh berbeda. Tujuan
sektor publik adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kesejahteraan itu tercapai apabila
pelaksanaan program pembangunan berdampak positif bagi masyarakat.
Ketika nama Fadel Muhammad mengemuka sebagai Menteri Kelau tan dan Perikanan,
kami teringat kepada buku karya beliau yang berjudul : “Reinventing Local Government,
Pengalaman dari Daerah”. Buku tersebut memaparkan berbagai terobosan yang beliau
lakukan ketika memimpin Provinsi Gorontalo, hingga Gorontalo berhasil mensejajarkan
diri dengan provinsi lainnya yang telah jauh lebih dahulu berdiri.
32. Apakah Reinventing Government itu? Dalam sejarah perkembangan anggaran sektor
publik, pendekatan yang paling banyak digunakan adalah anggaran tradisional, namun
dalam pelaksanaannya, dijumpai banyak kelemahan yang cenderung mengutamakan
sistem dan prosedur, belum berorientasi pada kinerja.Sejak pertengahan tahun 1980-an
telah terjadi perubahan manajemen sektor publik yang cukup drastis dari sistem
manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model
manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan
tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan sederhana. Perubahan tersebut telah
mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan
masyarakat. Paradigma baru yang muncul dalam manajemen sektor publik tersebut
adalah pendekatan New Public Management (NPM).
Model NPM berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja,
bukan berorientasi kebijakan. Penggunaan paradigma NPM menimbulkan beberapa
konsekuensi bagi pemerintah diantaranya adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi,
pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender.
Salah satu model pemerintahan di era NPM adalah model pemerintahan yang diajukan oleh
Osborne dan Gaebler (1992) dalam Mardiasmo (2002), yang tertuang dalam
pandangannya yang dikenal dengan konsep ‘reinventing government”. Perspektif baru
pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah :
1. Pemerintahan katalis; fokus pada pemberian pengarahan, bukan produksi
pelayanan publik. Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi
tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya. Sebaiknya
pemerintah memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi
pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga
swadaya masyarakat dan non profit lainnya).
2. Pemerintahan milik masyarakat; memberdayakan masyarakat daripada melayani.
Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka
mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendirinya (self-help
community).
3. Pemerintah yang kompetitif; menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian
pelayanan publik. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya
sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan
publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi yang digerakkan oleh
peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi. Apa yang dapat dan tidak
dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan
pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.
33. 5. Pemerintah yang berorientasi hasil; membiayai hasil bukan masukan. Pada
pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan
oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin kompleks masalah yang
dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan. Kebijakan seperti ini
kelihatannya logis dan adil, tapi yang terjadi adalah unit kerja tidak punya insentif
untuk memperbaiki kinerjanya. Justru, mereka memiliki peluang baru, semakin
lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin banyak dana yang dapat diperoleh.
Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif itu,
yaitu membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah wirausaha akan
mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit
kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya.
Semakin baik kinerjanya semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk
mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan; memenuhi kebutuhan pelanggan,
bukan birokrasi. Pemerintah tradisional seringkali salah dalam mengidentifikasikan
pelanggannya. Mereka akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi,
sedangkan kepada masyarakat seringkali menjadi arogan. Pemerintah wirausaha
tidak akan seperti itu. Ia akan mengidentifikasikan pelanggan yang
sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak
bertanggung jawab pada dewan legislatif; tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem
pertanggungjawaban ganda : kepada legislatif dan masyarakat. Dengan cara
seperti ini, pemerintah tidak akan arogan tetapi secara terus menerus akan
berupaya untuk lebih memuaskan masyarakat.
7. Pemerintahan wirausaha; mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar
membelanjakan. Pemerintah tradisional cenderung tidak berbicara tentang upaya
menghasilkan pendapatan dari aktivitasnya. Padahal, banyakyang bisa dilakukan
untuk menghasilkan pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik.
Pemerintah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, seperti :
BPS dan Bappeda yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-
pusat penelitian, pemberian hak guna usaha kepada pengusaha dan masyarakat,
penyertaan modal, dan lain-lain.
8. Pemerintah antisipatif; berupaya mencegah daripada mengobati. Pemerintah
tradisional yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk
memecahkan masalah publik, serta cenderung bersifat reaktif. Pemerintah
wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Ia tidak hanya mencoba untuk mencegah
masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan. Ia
menggunakan perenca-naan strategis untuk menciptakan visi.
9. Pemerintah desentralisasi; dari hierarki menuju partisipatif dan tim kerja. Lima
puluh tahun yang lalu, pemerintahan yang sentralistis dan hierarkis sangat
34. diperlukan. Pengambilan keputusan harus berasal dari pusat, mengikuti rantai
komando hingga sampai pada staf yang paling berhubungan dengan masyarakat
dan bisnis. Pada masa itu, sistem tersebut sangat cocok, karena teknologi informasi
masih sangat primitif, komunikasi antar lokasi masih lamban, dan aparatur
pemerintah masih sangat membutuhkan petunjuk langsung. Tetapi pada saat
sekarang, keadaan sudah berubah, perkembangan teknologi sudah sangat maju
dan keinginan masyarakat sudah semakin kompleks, sehingga pengambilan
keputusan harus digeser ke tangan masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan
lembaga swadaya masyarakat.
10. Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar; mengadakan perubahan dengan
mekanisme pasar (sistem insentif ) dan bukan dengan mekanisme administratif
(sistem prosedurdan pemaksaan). Manajemen pemer-intahan yang
mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi pada jiwa dan
semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru di tu-buh pemerintah dapat
disebut sebagai Manajemen Kewirausahaan.Di dalam doktrin NPM atau Reinventing
Government, pemerintah dianjurkan untuk meninggalkan paradigma administrasi
tradisional yang cenderung mengutamakan sistem dan prosedur, dan
menggantikannya dengan orientasi pada kinerja atau hasil kerja.
35. VI. TEORI KINERJA ORGANISASI
A. Teori Tentang Kinerja
1. Pengertian Kinerja
Bernardin dan Russel (dalam Ruky, 2002:15) memberikan pengertian atau
kinerja sebagai berikut : “performance is defined as the record of outcomes produced on a
specified job function or activity during time period. Prestasi atau kinerja adalah catatan
tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan
selama kurun waktu tertentu.
Menurut Gibson, dkk (2003: 355), job performance adalah hasil dari pekerjaan yang
terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja kefektifan kinerja lainnya. Sementara
menurut Ilyas (1999: 99), kinerja adalah penampilan hasil kerja personil maupun dalam
suatu organisasi. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personil yang memangku
jabatan fungsional maupun struktural tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personil di
dalam organisasi.
Kinerja ( performance ) sudah menjadi kata popular yang sangat menarik dalam
pembicaraan manajemen publik. Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi,
yaitu kinerja pegawai (per-individu) dan kinerja organisasi. Konsep kinerja (Performance)
dapat didefinisikan sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of accomplishtment (Rue
dan byars, 1981 dalam Keban 1995). Hal ini berarti bahwa, kinerja suatu organisasi itu
dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana organisasi dapat mencapai tujuan yang didasarkan
pada tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja (job performance) sumber
daya manusia, untuk itu setiap perusahaan akan berusaha untuk meningkatkan kinerja
pegawai dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Budaya organisasi yang
tumbuh dan terpelihara dengan baik akan mampu memacu organisasi ke arah
perkembangan yang lebih baik. Disisi lain, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan
dan memberdayakankan pegawainya akan mempengaruhi kinerja. Istilah kinerja dari kata
job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang
dicapai oleh seseorang). Prestasi kerja pada umumnya dipengaruhi oleh kecakapan,
keterampilan, pengalaman dan kesungguhan kerja dari tenaga kerja yang bersangkutan.
Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja.
36. Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam menilai prestasi
kerja (As’ad,2003) yaitu :
a. Subjectitive Procedure, Prosedur ini meliputi penilaian ataupun pertimbangan-
pertimbangan terhadap kecakapan kerja yang dilakukan oleh superior (atasan), sub
ordinates (bawahannya), peers (kelompok kerja), rekan-rekan sekerja, outside
observer (para observer dari luar) dan self (diri sendiri). Prosedur ini sangat
bergantung pada opini manusia, maka prosedur memiliki kesalahan-kesalahan
disebabkan oleh manusia (human error), yaitu :
1. Tipe Liniency, terjadi kalau peninilai cenderung memberikan nilai yang tinggi
kepada bawahannya.
2. Tipe Strictness, terjadi kalau penilai cenderung memberikan nilai yang rendah
kepada bawahannya. Tipe Central Tendency, terjadi apabila orang yang dinilai
enggan memberikan nilai yang tinggi kepada bawahannya.
3. Halo Effect Error, kesalahan kesan umum dari si penilai karena pengaruh
pengalamannya sebelumnya.
4. Personal Bias, adalah bentuk kesalahan karena adanya prasangkaprasangka
baik kearah positif maupun kearah negatif.
b. Direct Measures, Metode ini tidak seperti metode terdahulu dimana evaluator
diminta pertimbangannya terhadap perilaku kerja pegawai bawahannya. Ada dua (2)
tipe evaluasi ini, yaitu :
1. Berhubungan dengan produksi, yaitu menyangkut unit-unit yang diproduksi dan
kualitas produk.
2. Berhubungan dengan personal information (informasi individu) yaitu meliputi
absensi, ketepatan datang, keluhan-keluhan daripegawai, waktu yang
dipergunakan untuk mempelajari pekerjaan dan sebagainya.
c. Profiency Testing
Merupakan pendekatan lain dalam mengevaluasi kecakapan pegawai.
Dalam hal ini pegawai yang di uji diminta untuk memerankan
pekerjaan seperti keadaan yang sesungguhnya.
B. INDIKATOR KINERJA
Ukuran secara kualitatif dan kuantitatif yang menunjukkan tingkatan pencapaian
suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan adalah merupakan sesuatu yang dapat
dihitung serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat bahwa kinerja setiap
37. hari dalam perusahaan dan perseorangan terus mengalami peningkatan sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan.
Menurut Mathis dan Jackson (2002) kinerja pegawai adalah mempengaruhi
seberapa banyak kontribusi kepada organisasi antara lain termasuk :
1. Kuantitas Kerja, Standar ini dilakukan dengan cara membandingkan antara
besarnya volume kerja yang seharusnya (standar kerja norma) dengan
kemampuan sebenarnya.
2. Kualitas Kerja, Standar ini menekankan pada mutu kerja yang dihasilkan
dibandingkan volume kerja.
3. Pemanfaatan Waktu, Yaitu penggunaan masa kerja yang disesuaikan dengan
kebijaksanaan perusahaan.
4. Tingkat Kehadiran,
5. Kerjasama, internal dan eksternal
C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA
Menurut Simanjutak (2005) kinerja dipengaruhi oleh :
1. Kualitas dan kemampuan pegawai. Yaitu hal-hal yang berhubungan dengan
pendidikan/ pelatihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap mental, dan kondisi fisik
pegawai.
2. Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan kerja
(keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi, teknologi) dan hal-hal
yang berhubungan dengan kesejahteraan pegawai (upah/ gaji, jaminan sosial,
keamanan kerja) Supra sarana, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan
kebijaksanaan pemerintah dan hubungan industrial manajemen.
Menurut Sedarmayanti (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain
yaitu :
1) Sikap dan mental (motivasi kerja, disiplin kerja, dan etika kerja),
2) Pendidikan,
3) Keterampilan,
4) Manajemen kepemimpinan,
5) Tingkat penghasilan,
6) Gaji dan kesehatan,
7) Jaminan sosial,
8) Iklim kerja,
38. 9) Sarana dan prasarana,
10) Teknologi, dan
11) Kesempatan berprestasi.
Menurut Mathis dan Jackson (2002) dalam pembahasan mengenai permasalahan kinerja
karyawan maka tidak terlepas dari berbagai macam faktor yang menyertai diantaranya :
a. Faktor kemampuan (ability)
- Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan
- potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge dan skill) artinya
- pegawai yang memiliki IQ diatas rata-rata (110-120) dengan pendidikan
- yang memadai untuk jabatannya.
- hari maka akan lebih mudah mencapai kinerja
- diharapkan.
b. Faktor motivasi
- Motivasi terbentuk sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi
- situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang
- menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan kerja.
- Menurut Sedarmayanti (2007), instrumen pengukuran kinerja
- merupakan alat yang dipakai dalam mengukur kinerja individu seorang pegawai
yang meliputi, yaitu : Prestasi Kerja, Keahlian, Perilaku, sikap dan tingkah laku
pegawai, Kepemimpinan.
D. PENILAIAN KINERJA
Menurut Dessler (2007) ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang popular, yaitu :
1. Prestasi pekerjaan
2. Kuantitas pekerjaan/volume keluaran dan kontribusi
3. Kepemimpinan yang diperlukan
4. Kedisplinan
5. Komunikasi
E. SYARAT PENILAIAN KINERJA
Terdapat kurang lebih dua syarat utama yang diperlukan guna melakukan
penilaian kinerja yang efektif, yaitu (1) adanya kriteria kinerja yang dapat diukur
secara objektif; dan (2) adanya objektivitas dalam proses evaluasi (Gomes,
2003:136).
39. Sedangkan dari sudut pandang kegunaan kinerja itu sendiri, Sondang Siagian
(2008-223-224) menjelaskan bahwa bagi individu penilaian kinerja berperan
sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, keletihan,
kekurangan dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan
tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karirnya. Sedangkan bagi organisasi, hasil
penilaian kinerja sangat penting dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan
tentang berbagai hal seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan
pelatihan, rekrutmen, seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem
balas jasa, serta berbagai aspek lain dalam proses manajemen sumber daya
manusia. Berdasarkan kegunaan tersebut, maka penilaian yang baik harus dilakukan
secara formal berdasarkan serangkaian kriteria yang ditetapkan secara rasional
serta diterapkan secara objektif serta didokumentasikan secara sistematik.
Dengan demikian, dalam melalukan penilaian atas prestasi kerja para
pegawai harus terdapat interaksi positif dan kontinu antara para pejabat pimpinan
dan bagian kepegawaian
F. METODE PENILAIAN KINERJA
Terdapat beberapa metode dalam mengukur prestasi kerja, sebagaimana diungkapkan
oleh Gomes (2003:137-145), yaitu :
Metode Tradisional. Metode ini merupakan metode tertua dan paling sederhana untuk
menilai prestasi kerja dan diterapkan secara tidak sistematis maupun sistematis. Yang
termasuk kedalam metode tradisional adalah :
1. Rating scale. Metode ini merupakan metode penilaian yang paling tua dan banyak
digunakan, dimana penilaian yang dilakukan oleh atasan atau supervisor untuk
mengukur karakteristik, misalnya mengenai inisitaif, ketergantungan, kematangan,
dan kontribusinya terhadap tujuan kerjanya.
2. Employee comparation. Metode ini merupakan metode penilaian yang dilakukan
dengan cara membandingkan antara seorang pegawai dengan pegawai lainnya.
Metode ini terdiri dari :
- Alternation ranking : yaitu metode penilaian dengan cara mengurutkan peringkat
(ranking) pegawai dimulai dari yang terendah sampai yang tertinggi
berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
- Paired comparation : yaitu metode penilaian dengan cara seorang pegawai
dibandingkan dengan seluruh pegawai lainnya, sehingga terdapat berbagai
alternatif keputusan yang akan diambil. Metode ini dapat digunakan untuk
jumlah pegawai yang relatif sedikit.
40. - Porced comparation (grading) : metode ini sama dengan paired comparation,
tetapi digunakan untuk jumlah pegawai yang relative banyak.
3. Check list, Metode ini hanya memberikan masukan/informasi bagi penilaian yang
dilakukan oleh bagian personalia.
4. Freeform Essay, Dengan metode ini seorang penilai diharuskan membuat karangan
yang berkenaan dengan orang/karyawan/pegawai yang sedang dinilainya.
5. Critical Incident, Dengan metode ini penilai harus mencatat semua kejadian
mengenai tingkah laku bawahannya sehari-hari yang kemudian dimasukan kedalam
buku catatan khusus yang terdiri dari berbagai macam kategori tingkah laku
bawahannya. Misalnya mengenai inisiatif, kerjasama, dan keselamatan.
Metode Modern. Metode ini merupakan perkembangan dari metode
tradisional dalam menilai prestasi kerja. Yang termasuk kedalam metode modern ini
adalah : assesment centre, Management By Objective (MBO=MBS), dan human asset
accounting.
Assessment centre. Metode ini biasanya dilakukan dengan pembentukan tim
penilai khusus. Tim penilai khusus ini bisa dari luar, dari dalam, maupun kombinasi
dari luar dan dari dalam.
Management by objective (MBO = MBS). Dalam metode ini pegawai langsung
diikutsertakan dalam perumusan dan pemutusan persoalan dengan memperhatikan
kemampuan bawahan dalam menentukan sasarannya masing-masing yang
ditekankan pada pencapaian sasaran perusahaan.
Human asset accounting. Dalam metode ini, faktor pekerja dinilai sebagai
individu modal jangka panjang sehingga sumber tenaga kerja dinilai dengan cara
membandingkan terhadap variabel-variabel yang dapat mempengaruhi
keberhasilan perusahaan.
41. VII. TEORI PRLAYANAN DAN PRIFATISASI
A. PELAYANAN
Istilah pelayanan berasal dari kata “layan” yang artinya menolong menyediakan
segala apa yang diperlukan oleh orang lain untuk perbuatan melayani. Pada dasarnya
setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa
pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia (Sinambela, 2010:3).
Pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang
langsung (Moenir, 2006:16-17). Membicarakan pelayanan berarti membicarakan suatu
proses kegiatan yang konotasinya lebih kepada hal yang abstrak (Intangible). Pelayanan
adalah merupakan suatu proses, proses tersebut menghasilkan suatu produk yang berupa
pelayanan, yang kemudian diberikan kepada pelanggan.
Beberapa pakar yang memberikan pengertian mengenai pelayanan diantaranya
adalah Moenir (Harbani Pasolong, 2007:128).
Harbani Pasolong (2007:4), pelayanan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai
aktivitas seseorang, sekelompok dan/atau organisasi baik langsung maupun tidak langsung
untuk memenuhi kebutuhan Hasibuan mendefinisikan pelayanan sebagai kegiatan
pemberian jasa dari satu pihak ke pihak lain, dimana pelayanan yang baik adalah pelayanan
yang dilakukan secara ramah tamah dan dengan etika yang baik sehingga memenuhi
kebutuhan dan kepuasan bagi yang menerima.
Pengertian pelayanan menurut Kotler (2002:83) ialah setiap tindakan atau kegiatan
nan bisa ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, nan pada dasarnya tak berwujud
dan tak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya bisa dikaitkan atau tak dikaitkan
pada satu produk fisik sehingga pelayanan merupakan konduite produsen dalam rangka
memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen demi tercapainya kepuasan pada
konsumen sendiri.
Kotler pun mengatakan bahwa konduite konsumen tersebut bisa terjadi pada saat,
sebelum dan sesudah terjadinya transaksi. Selain itu, Kotler (1994) dalam (Dr Paimin
Napitupulu MSi) menyebutkan sejumlah ciri pelayanan nan terdiri dari:
1. Intangibility (tidak berwujud), yaitu tak bisa dilihat, diraba, dirasa, didengar, dan
dicium sebelum ada transaksi. Artinya, pembeli tak bisa mengetahui secara niscaya
hasil sebuah pelayanan sebelum pelayanan tersebut dikonsumsi.
2. Inseparability (tidak bisa dipisahkan), maksudnya dijual lalu diproduksi dan
dikonsumsi secara bersamaan sebab tak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu, konsumen
turut serta berpatisipasi menghasilkan jasa layanan dengan adanya kehadiran
42. konsumen, maka pemberi pelayanan akan lebih berhati-hati terhadap hubungan nan
terjadi antara penyedia dan pembeli.
3. Variability (berubah-ubah dan bervariasi). Jasa majemuk selalu mengalami
perubahan sehingga tak selalu sama kualitasnya, tetapi bergantung kepada siapa
nan menyediakannya dan kapan serta di mana disediakan.
4. Perishability (cepat hilang, tak tahan lama). Jasa tak bisa disimpan dan
permintaannya berfluktuasi. Daya tahan suatu layanan bergantung kepada situasi
nan diciptakan oleh berbagai faktor.
B. PRIVATISASI
Menurut Savas (1980:3), privatisasi adalah tindakan untuk mengurangi peran sector
public atau meningkatkan peran sector swasta dalam suatu aktivitas atau dalam suatu
kepemilikan asset-aset organisasi. Konsekuensi logisnya adalah terjadi perubahan peranan
pemerintah, dari peran pemilik dan sekaligus pengelola menjadi sekedar pemilik sebagian
dan dengan demikian pemerintah akan lebih dapat memfokuskan diri sebagai regulator.
Sebagai regulator tentunya pemerintah akan dapat lebih berfungsi sebagai wasit dan bebas
dari benturan kepentingan serta dapat dengan lugas menetapkan target-target sektoral
yang hendak dicapai.
Pengurangan campur tangan pemerintah memiliki 3 (tiga) manfaat :
1. Campur tangan pemerintah dalam investasi atau modal serta dalam penentuan
harga kenyataannya menghambat rate of return.
2. Campur tangan pemerintah menghambat kemampuan perusahaan untuk bersaing
3. Manfaat share of employee akan memotivasi karyawan bekerja lebih giat dan
efisien.
Privatisasi dapat pula berarti :
1. Denationalization, yakni transfer atau pemindahan hak kepemilikan public ke
privat secara total maupun sebagian termasuk penjualan saham pemerintah dalam
perusahaan Negara.
2. Liberatization, yakni pemberian kebebasan berusaha yang berfokus pada
kompetisi dalam penyediaan barang dan jasa, dengan teknik bermacam-macam
antara lain dengan deregulasi dan competitive tendering.
a. Deregulasi adalah pembenahan kembali peraturan-peraturan yang selama ini
menjadi penghalang bagi penyediaan pelayanan public yang lebih kompetitif,
efisien dan efektif.
43. b. Competitive tendering adalah memperkenalkan suatu sistem kompetisi dalam
penyediaan barang dan jasa public, dengan maksud untuk perbaikan efisiensi
maupun harga.
B.1. Tujuan dan metode privatisasi di Indonesia
Bank Dunia dalam rekomendasinya kepada pemerintah Indonesia menyatakan,
tujuan privatisasi adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan efisiensi dan investasi di bawah pengelolan manajemen swasta;
2. Meningkatkan pendapatan BUMN yang diprivatisasi sebagai perubahan peran
pemerintah dari pemilik badan usaha menjadi regulator;
3. Mendorong sektor swasta untuk lebih berkembang dan meluaskan usahanya pada
pelayanan publik; dan
4. Untuk mempromosikan pengembangan pasar modal nasional.
Paket departemen keuangan Inggris tentang privatisasi yang diterbitkan pada 1986,
menyatakan bahwa program privatisasi memiliki dua tujuan utama:
1. Untuk mempromosikan “kompetisi” dan peningkatan “efisiensi,” sinerji antar-
perusahaan harus dilakukan. Spirit “kompetisi” merupakan cara terbaik untuk
meyakinkan bahwa barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen dapat
disediakan pada biaya ekonomi terendah;
2. Program privatisasi sering digunakan untuk mempromosikan kepemilikan saham
secara lebih luas kepada para pekerja dan masyarakat.
Berdasarkan ulasannya terhadap pelaksanaan privatisasi yang dijalankan oleh
pemerintahan Thatcher di Inggris, Safri Nugraha, dalam disertasi doktoralnya memaparkan
tujuh tujuan privatisasi:
1. Mengurangi pengaruh pemerintah dalam industri;
2. Meningkatkan efisiensi baik pada perusahaan-perusahaan swasta maupun pada
sektor publik;
3. Mengurangi Public Sector Borrowing Requirement (PSBR);
4. Mengurangi masalah-masalah di sektor publik menyangkut tawar-menawar soal
upah melalui pelemahan serikat pekerja;
5. Memperluas pembagian kepemilikan;
6. Mendorong pembagian kepemilikan pekerja;
7. Untuk memperoleh keuntungan politik.
44. Kembali mengutip William L. Megginson, tujuan dilaksanakannya privatisasi ada lima:
1. Meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah.
2. Mendorong efisiensi ekonomi;
3. Mengurangi campur tangan pemerintah dalam perekonomian;
4. Memberikan kesempatan untuk mengenalkan persaingan; dan
5. Mengembangkan pasar modal negara.
Untuk mencapai tujuan privatisasi itu, metode privatisasi menjadi sangat penting
untuk diperhatikan. Terkadang, metode yang satu cocok diterapkan di sebuah negara tapi,
gagal diterapkan di negara lain. Motivasi pemerintah dan situasi politik suatu negara sangat
menentukan pilihan metode privatisasi yang terbaik. Dengan memahami metode
privatisasi, kita bisa menghindar dari perdebatan kosong tentang makna privatisasi.
Selama ini yang kerap diartikan sebagai privatisasi adalah penjualan aset publik kepada
pihak swasta yang bisa dilihat pada komposisi kepemilikan aset, misalnya. Jadi, jika belum
ada transaksi maka tidak terjadi privatisasi.
45. VIII. TEORI GOOD GOVERNANCE
A. Arti Good Governance
Good Governance, yang diterjemahkan menjadi tata Kelola Pemerintahan yang Baik,
adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-
urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme,
proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat
mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan
menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya
ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sector negara dan sector non-pemerintah
dalam suatu usaha kolektif. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana
tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari
terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusi-
institusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat
pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda.
Meskipun mengakui ada banyak aktor yang terlibat dalam proses sosial, governance
bukanlah sesuatu yang terjadi secara chaotic, random atau tidak terduga. Ada aturan-
aturan main yang diikuti oleh berbagai aktor yang berbeda. Salah satu aturan main yang
penting adalah adanya wewenang yang dijalankan oleh negara. Tetapi harus diingat, dalam
konsep governance wewenang diasumsikan tidak diterapkan secara sepihak, melainkan
melalui semacam konsensus dari pelaku-pelaku yang berbeda. Oleh sebab itu, karena
melibatkan banyak pihak dan tidak bekerja berdasarkan dominasi pemerintah, maka
pelaku-pelaku diluar pemerintah harus memiliki kompetensi untuk ikut membentuk,
mengontrol, dan mematuhi wewenang yang dibentuk secara kolektif.
Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam konteks pembangunan, definisi governance
adalah “mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk tujuan
pembangunan”, sehingga good governance, dengan demikian, “adalah mekanisme
pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang substansial dan penerapannya untuk
menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat utama efisien) dan (relatif) merata.”
Menurut dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata pemerintahan
adalah “penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi guna mengelola urusan-
urusan negra pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme,
proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat
mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan
menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.
46. Jelas bahwa good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan
masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu
governance lebih banyak berkaitan dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban
melakukan investasi untuk mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti
pendidikan kesehatan dan infrastuktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu
masyarakat warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya sistem demokrasi,
rule of law, hak asasi manusia, dan dihargainya pluralisme. Good governance sangat terkait
dengan dua hal yaitu :
1. Good governance tidak dapat dibatasi hanya pada tujuan ekonomi dan
2. Tujuan ekonomi pun tidak dapat dicapai tanpa prasyarat politik tertentu.
B. Membangun Good governance
Membangun good governance adalah mengubah cara kerja state, membuat
pemerintah accountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar negara cakap untuk ikut
berperan membuat sistem baru yang bermanfaat secara umum. Dalam konteks ini, tidak
ada satu tujuan pembangunan yang dapat diwujudkan dengan baik hanya dengan
mengubah karakteristik dan cara kerja institusi negara dan pemerintah. Harus kita ingat,
untuk mengakomodasi keragaman, good governance juga harus menjangkau berbagai
tingkat wilayah politik. Karena itu, membangun good governance adalah proyek sosial yang
besar. Agar realistis, usaha tersebut harus dilakukan secara bertahap. Untuk Indonesia,
fleksibilitas dalam memahami konsep ini diperlukan agar dapat menangani realitas yang
ada.
C. Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)
UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi
politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan
berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen sektor publik
yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat
dipercaya. Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good
governance adalah masyarakat sispil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan
kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang
profesional dan aturan hukum.
Masyarakat Transparansi Indonesia menyebutkan sejumlah indikator seperti:
transparansi, akuntabilitas, kewajaran dan kesetaraan, serta kesinambungan.
47. Asian Development Bank sendiri menegaskan adanya konsensus umum bahwa good
governance dilandasi oleh 4 pilar yaitu :
1. accountability,
2. transparency,
3. predictability, dan
4. participation.
Jelas bahwa jumlah komponen atau pun prinsip yang melandasi tata pemerintahan
yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar
lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai prinsip-prinsip
utama yang melandasi good governance, yaitu (1) Akuntabilitas, (2) Transparansi, dan (3)
Partisipasi Masyarakat.
Berikut ini adalah pembahasan mendalam dari ketiga prinsip tersebut disertai dengan
indikator serta alat ukurnya masing-masing :
C.1. Prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance :
1. Prinsip Akuntabilitas dalam Good Governance
2. Prinsip Transparansi dalam Good Governance
3. Prinsip Partisipatif dalam Good Governance
C.2. Indikator & Alat Ukur Prinsip dalam Good Governance:
1. Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas dalam Good Governance
2. Indikator & Alat Ukur Prinsip Transparansi Dalam Good Governance
3. Indikator & Alat Ukur Prinsip Partisipasi Publik dalam Good Governance