Silabus mata kuliah Hukum Pidana mencakup berbagai topik seperti pengertian dan unsur-unsur tindak pidana, ajaran melawan hukum, alasan peniadaan pidana, percobaan dan penyertaan dalam tindak pidana, hal-hal yang dapat memberatkan dan menghapuskan pidana, serta jenis dan teori-teori pidana. Mata kuliah ini membahas hukum pidana secara sistematis dan empiris.
2. SILABUS
HUKUM PIDANA
(Semester Genap Tahun Akademik 2012/2013)
Disusun oleh:
Yani Brilyani Tavipah, SH.,MH
NIP: 19650525 199203 2001
I. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Istilah dan Pengertian Hukum Pidana
B. Hubungan Hukum Pidana dan Ilmu Sosial Lain
C. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
D. Jenis-Jenis dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
E. Lingkungan Kuasa Berlakunya Hukum Pidana
II. AJARAN MELAWAN HUKUM, AJARAN SEBAB AKIBAT DAN AJARAN
KESALAHAN
A. Pengertian dan Pandangan tentang Ajaran Melawan Hukum
B. Pengertian dan Tujuan Sebab Akibat
C. Teori-Teori Sebab Akibat
D. Pertanggungjawaban Pidana
E. Kesengajaan
F. Kealpaan
3. III. ALASAN-ALASAN PENIADAAN PIDANA
A. Overmacht
B. Bela Paksa dan Bela Paksa Lampau Batas
C. Melaksanaan Ketentuan UU dan Melaksanakan Perintah Jabatan
IV. PERCOBAAN PADA TINDAK PIDANA
A. Syarat Dipidananya Pembuat Percobaan
B. Perbuatan-Perbuatan yang Mirip percobaan
C. Percobaan pada Penyertaan dan Penyertaan pada Percobaan
V. PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA
A. Sistem Pembebanan Tanggung Jawab pada Penyertaan
B. Bentuk-Bentuk Penyertaan
C. Penyertaan Mutlak
D. Penyertaan dalam Tindak Pidana dengan Menggunakan Sarana Percetakan
E. Penyertaan dalam Bunuh Diri
VI. HAL-HAL YANG MEMBERATKAN PIDANA
A. CONCURSUS DALAM TINDAK PIDANA
1. Pengertian Concursus
2. Menentukan Pidana atas Concursus
3. Concursus Ditinjau dari Bentuknya
B. PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE)
1. Pengertian Recidive
2. Pengaturan Recidive
4. VII. HAL-HAL YANG MENGGUGURKAN HAK UNTUK MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA
A. Hal-Hal yang Menyebabkan Gugurnya Hak untuk Menuntut Pidana
1. Yang terdapat di dalam KUHP
a. Ne bis in idem
b. Tersangka meninggal dunia
c. Verjaring
d. Penyelesaian di luar proses pengadilan
2. Yang terdapat di luar KUHP
a. Abolisi
b. Amnesti
B. Hal-Hal yang Menyebabkan Gugurnya Hak untuk Menjalankan Pidana
1. Yang diatur dalam KUHP
a. Matinya tersangka
b. Verjaring
2. Yang diatur di luar KUHP: Grasi
VIII. PIDANA DAN PEMIDANAAN
1. Pengertian pidana dan pemidanaan
2. Jenis-jenis pidana
3. Teori-teori pidana dalam hukum pidana
4. Sistem penjatuhan pidana (pemidanaan)
5. Falsafah pemidanaan
6. HUKUM PIDANA STRAFRECHT
Obyektif
(Ius Punale)
Subyektif
(Ius Puniendi)
Hkm Materiil Hkm Formil
Straf = Pidana
Recht = Hukum
A.1. ISTILAH DAN PENGERTIAN
7. Moeljatno:
Hukum Pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut.
* Criminal Act (Perbuatan Pidana)
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana
sebagaimana yang diancamkan.
* Criminal Liability / Responsibility
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
* Criminal Procedure.
8. Prof. Pompe (Handboek Nederlands Strafrecht 1953)
Hukum Pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan
terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah
macamnya pidana itu.
Simons:
Hukum pidana adalah:
1. Keseluruhan larangan/perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa /
pidana bila tidak ditaati.
2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat penjatuhan pidana.
3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk menerapkan pidana.
Prof. van Hamel (Inleiding Studie Nederlands Strafrecht 1927):
Hukum Pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut
oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum yaitu
dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan
suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.
9. 2. SIFAT HUKUM PIDANA
Sifat dari hukum pidana adalah Publiek Rechtelijk, artinya bahwa
proses penyelesaian perkara sepenuhnya dikuasai oleh negara dan tidak
diserahkan kepada individu.
Van Hamel: hukum pidana telah berkembang menjadi hukum publik,
karena pelaksanaannya sepenuhnya berada di dalam tangan pemerintah,
dengan pengecualian delik-delik aduan.
Utrecht:
Hukum pidana adalah hukum sanksi bukan hukum publik.
Prof.Dr.Andi Zaenal Abidin,SH: hukum pidana sebagian besar kaidah-
kaidahnya bersifat hukum publik – hukum
privat.
Bemmelem:hukum pidana sebagai ultimum remedium.
10. 3. Tujuan Hukum Pidana
a. Umum: menyelenggarakan tata dalam masyarakat untuk menuju masyarakat
tenteram kertaraharja.
b. khusus:
1) Melakukan penanggulangan kejahatan
2) Melakukan prevensi/pencegahan kejahatan
3) Dalam rangka melaksanakan kontrol sosial
4) Ultimum remedium artinya sebagai upaya terakhir.
Wirjono Prodjodikoro: untuk memenuhi rasa keadilan
Tirtaamidjaja: untuk melindungi masyarakat.
Kanter dan Sianturi:
Pada umumnya untuk melindungi kepentingan perseorangan (individu) atau
hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan
masyarakat dan negara.
11. Aliran-aliran:
a. Aliran klasik (klassieke school):
tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan
perseorangan (individu) terhadap kekuasaan negara.
b. Aliran modern (moderne school)/Aliran Kriminologi /Aliran positif:
tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan.
c. Aliran ketiga (derde school)/Aliran Sosiologis:
aliran yang timbul sebagai suatu kompromis dari kedua aliran terdahulu
(kadang-kadang menitikberatkan pada pihak yang satu dan kadang-
kadang pada pihak yang lain).
12. B. Hubungan Hukum Pidana dengan Ilmu Sosial Lain.
Ilmu Hukum Pidana dengan Kriminologi.
Kriminologi secara harfiah:
- Crimen artinya kejahatan atau penjahat
- Logos artinya ilmu pengetahuan
Bonger: Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan
menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya
Perbedaan: Kriminologi & Hukum Pidana
a. Kriminologi:
1) Obyeknya:
kejahatan-kejahatan sebagai gejala dalam masyarakat dan orang
yang melakukan kejahatan itu sendiri.
2) Tujuan:
untuk mengetahui mengapa orang itu berbuat jahat, hal-hal apa
saja yang melatar belakanginya.
b. Ilmu Hukum Pidana:
1) Obyeknya: aturan-aturan hukum pidana.
2) Tujuan: agar peraturan-peraturan itu dapat dipahami dan
diterapkan secara tepat oleh alat perlengkapan negara.
13. Pembagian Hukum Pidana
a. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
(Ius Commune dan Ius Speciale).
- Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang dapat diperlakukan
terhadap setiap orang pada umumnya.
- Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus bagi
golongan orang-orang tertentu atau yang memuat perkara-perkara
pidana tertentu.
Soedarto mengemukakan istilah:
Undang-Undang Pidana Khusus (bijzonderewetten).
Ada 3 kelompok yang dapat dikualifikasikan ke dalam UU Pidsus, yaitu:
- Undang-undang yang tidak dikodifikasikan.
- Peraturan-peraturan hukum administratif yang mengandung sanksi
pidana.
- Undang-undang yang mengandung hukum pidana khusus yang mengatur
tentang Tindak Pidana-Tindak Pidana untuk kelompok orang tertentu
atau perbuatan tertentu.
14. b. Hukum Pidana Tertulis dan Tidak Tertulis.
Hukum Pidana Tertulis ialah hukum pidana yang terdapat dalam KUHP
dan KUHAP, termasuk hukum pidana tertulis yang bersifat khusus dan
hukum pidana yang dimuat baik dalam PP maupun Peraturan Daerah.
Hukum Pidana Tidak Tertulis ialah hukum pidana adat, berlaku
berdasarkan Pasal 5 ayat 3 (b) UU No.1 Drt 1951.
c. Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Internasional.
Hukum Pidana Nasional ialah hukum pidana yang memuat ketentuan-
ketentuan yang berasal dari negara itu sendiri.
Hukum Pidana Internasional ialah hukum pidana nasional tetapi memuat
ketentuan-ketentuan yang berasal dari dunia internasional.
15. Ilmu Hukum Pidana.
Enschede en Meijder: ditinjau dari segi metodenya, ilmu hukum pidana
terdiri dari:
1. Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana yang sistematis:
a. Hukum Pidana
b. Hukum Pidana Formal
2. Ilmu Hukum Pidana Empiris:
a. Kriminologi, yaitu ilmu tentang kejahatan dan sifat jahat pembuat
kejahatan, sebab-sebab dan akibatnya.
b. Kriminalistik, yaitu ilmu penyelidikan dan penyidikan (pengusutan).
c. Sosiologi hukum pidana, yaitu ilmu hukum pidana yang menjelaskan
kejahatan sebagai gejala kemasyarakatan.
d. Filsafat hukum pidana, yaitu ilmu yang antara lain menjelaskan tujuan
penjatuhan pidana dan teori teorinya.
17. TINDAK PIDANA
1.Istilah
Bhs.Belanda : Strafbaarfeit
Bhs.Latin : Actus Reus, Delictum
Bhs. Inggris : Criminal Act
Bhs.Indonesia :
- Perbuatan Pidana
- Tindak Pidana
- Delik
- Peristiwa Pidana
- Perbuatan Melanggar Hukum
- Perbuatan yang dapat Dipidana
18. 2. Perumusan Norma dan Sanksi
a. Norma dan Sanksi dirumuskan bersama-sama;
mis: Pasal 338 KUHP
b. Norma dicantumkan Sanksi tidak;
mis: Pasal 367 (2) KUHP
c. Sanksi ada, Norma tidak ada
(ketentuan pidana blanco/blanco strafbepaling);
mis: Pasal 122 butir 2 KUHP.
3. Unsur-unsur Tindak Pidana.
a. Essensial: unsur melawan hukum
b. Biasa:
- unsur subyektif
(didalam/melekat):niat,maksud,sengaja,mengetahui,
terang terangan.
- unsur obyektif (diluar/tidak melekat):perbuatan
aktif/pasif, akibatnya,unsur yang memberatkan,
pribadi tertentu.
19. 4. Sanksi:
a. Pidana :
- tujuan pidana adalah memberikan penderitaan khusus kepada si
pelanggar hukum agar merasakan akibat perbuatannya.
- merupakan sanksi yg bersifat pembalasan.
b. Tindakan:
- tujuannya lebih bersifat melindungi dan mendidik.
- tindakan semata-mata ditujukan pada prevensi khusus.
Pasal 10 KUHP:
a. Pidana pokok: Mati
Penjara : - seumur hidup
- sementara waktu
Kurungan: - biasa
- pengganti denda
Denda
b. Pidana tambahan:
- pencabutan hak-hak tertentu (Pasal 35 KUHP)
- perampasan barang-barang tertentu (Pasal 39 KUHP)
- pengumuman putusan hakim (Pasal 43 KUHP).
20. 5. Tempat dan Waktu Tindak Pidana
Tempat tindak pidana (Locus Delicti)
Waktu tindak pidana (Tempus Delicti)
Pasal 121 KUHAP: penyidik dalam membuat berita acara
diantaranya harus menyebutkan “waktu, tempat dan keadaan
pada waktu tindak pidana dilakukan”….;
Pasal 143 ayat 2 (b) KUHAP: penuntut umum dalam membuat
surat dakwaan diantaranya harus menyebutkan waktu dan
tempat tindak pidana dilakukan.
21. Beberapa teori (Locus Delicti):
a. Dihubungkan dengan delik komisi:
1) Teori perbuatan material
“di tempat pembuat melakukan tindak pidana”.
2) Teori alat
“di tempat mulai bekerjanya alat yang dipakai untuk melakukan
tindak pidana”.
3) Teori akibat
“di tempat tindak pidana itu menimbulkan akibat”.
4) Teori beberapa tempat
“di beberapa tempat, apabila tindak pidana itu dilakukan, bekerjanya
alat yang dipergunakan, akibatnya di beberapa tempat itu”.
b. Dihubungkan dengan delik omisi:
“di tempat perbuatan harus dilakukan”
(Teori perbuatan materiil)
22. Jenis-Jenis Tindak Pidana
A Menurut sifat KUHP:
1. Kejahatan
2. Pelanggaran:
a. karena adanya perbedaan yang bersifat kualitatif:
- Recht Delicten = delik-delik hukum
- Wet Delicten = delik-delik UU
b. karena ada perbedaan yang bersifat kuantitatif.
B. Menurut doktrin dibedakan atas:
1. delik formil dan delik materiil
delik formil = delik yang terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan
tertentu yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
contoh: Pasal 362 KUHP (pencurian).
delik materiil = delik yang baru dianggap terjadi setelah timbulnya akibat
yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
contoh: Pasal 338 KUHP/pembunuhan
Pasal 351 KUHP/penganiayaan
23. 2. Delik Komisi dan Delik Omissi
delik komisi = delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan UU.
contoh: Pasal 338, 362 KUHP.
delik omissi = delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan UU.
contoh: Pasal 224 KUHP (keharusan menjadi saksi).
delik omisi tidak murni (delicta commissionis peromissionem commissa),
yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan tetapi dilakukan
dengan cara tidak berbuat.
contoh: Pasal 194 KUHP (penjaga pintu kereta api yang tidak menutup
pintu KA).
3. Delik Berdiri Sendiri dan Delik Lanjutan
delik berdiri sendiri = delik yang hanya terdiri atas satu perbuatan tertentu.
contoh: Pasal 362, 338 KUHP
delik lanjutan = delik yang terdiri atas beberapa perbuatan yang masing-
masing berdiri sendiri tetapi antara perbuatan- perbuatan itu ada hubungan
yang erat sehingga harus dianggap sebagai satu perbuatan lanjutan.
contoh: Pasal 64 KUHP.
24. 4. Delik Selesai/Rampung dan Delik Berlanjut
delik selesai = delik yang terdiri atas satu/beberapa perbuatan tertentu yang
selesai dalam suatu waktu tertentu yang singkat.
contoh: Pasal 338, 362 KUHP
delik berlanjut = delik yang terdiri atas satu/beberapa
perbuatan yang melanjutkan suatu keadaan yang dilarang oleh UU.
contoh: Pasal 221 KUHP (menyembunyikan
orang yang melakukan kejahatan).
5. Delik Tunggal dan Delik Bersusun
delik tunggal = delik yang hanya satu kali perbuatan sudah cukup untuk
dikenakan pidana.
contoh: Pasal 480 (penadahan)
delik bersusun = delik yang harus beberapa kali dilakukan, baru dapat
dikenakan pidana.
contoh: Pasal 296 KUHP (tentang memudahkan perbuatan cabul antara orang
lain sebagai mata pencaharian).
25. 6. Delik Sederhana, Delik dengan Pemberatan dan Delik Berprevillise.
delik sederhana = delik dasar atau delik pokok.
contoh: Pasal 338, 362 KUHP.
delik dengan pemberatan/delik berkualifikasi = delik yang mempunyai unsur-
unsur yang sama dengan delik dasar, tetapi ditambah dengan unsur-unsur lain
sehingga ancaman pidananya lebih berat dari delik pokok.
contoh: Pasal 339 KUHP (pembunuhan berkualifikasi)
Pasal 363 KUHP (pencurian berkualifikasi)
delik berprevilese = delik dasar yang mempunyai unsur-unsur yang sama
dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur-unsur lain,
sehingga ancaman pidananya lebih ringan dari delik dasar.
Contoh: Pasal 342 KUHP (pembunuhan anak sendiri dengan rencana).
7. Delik Kesengajaan dan Delik Kealpaan
delik kesengajaan = delik yang dilakukan dengan sengaja.
contoh: Pasal 338, 351 KUHP.
delik kealpaan = delik yang dilakukan karena kealpaannya.
contoh: Pasal 359 KUHP (karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati).
26. 8. Delik Politik dan Delik Umum
Delik politik = delik yang ditujukan kepada keamanan negara dan kepala
negara.
contoh: Pasal 104 sampai 181 KUHP
Delik umum = delik yang tidak ditujukan kepada keamanan negara dan
kepala negara.
9. Delik Khusus dan Delik Umum.
Delik khusus = delik yang hanya dapat dilakukan orang tertentu saja
karena suatu kualitas
Delik umum = delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
27. 10. Delik Aduan dan Delik Biasa
Delik aduan = delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang
yang merasa dirugikan.
Terdiri dari:
- Delik aduan absolut, yaitu delik yang karena sifat kejahatannya
hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan.
contoh: Pasal 284 KUHP (Zinah).
- Delik aduan relatif, yaitu delik yang pada dasarnya merupakan
delik biasa tetapi karena adanya hubungan yang dekat antara si
korban dan pelaku maka delik tersebut hanya dapat dituntut
karena ada pengaduan.
contoh: Pasal 367 (2) KUHP (pencurian keluarga), Pasal 370
KUHP (pemerasan dan pengancaman dalam keluarga).
Delik biasa = delik yang untuk penuntutannya tidak perlu ada pengaduan.
29. Lingkungan Kuasa Berlakunya KUHP.
A. Menurut waktu: Lex Temporis Delicti --- Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transitoir (peralihan)
yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang
menurut waktu (sphere of time) yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP:
“Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-
undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.
Persoalan: bagaimanakah jika setelah perbuatan dilakukan, akan tetapi sebelum
perkara diadili, ada perubahan dalam perundang-undangan?
Ketentuan peralihan tersebut menimbulkan 4 macam pertanyaan:
1. Apakah yang dimaksud perundang-undangan (wetgeving)?
2. Apakah artinya perubahan?
3. Apakah yang dipandang sebagai ketentuan yang paling menguntungkan
tersangka/terdakwa?
4. Perundang-undangan manakah harus diperhitungkan oleh hakim banding
atau hakim kasasi, bilamana setelah peradilan dalam instansi pertama
atau kedua terjadi perubahan perundang-undangan?
30. 3 macam teori untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.
1. Teori Formal, dianut oleh Simons.
“Perubahan undang-undang yang dimaksud, baru terjadi bilamana redaksi
undang-undang pidana yang diubah”. Perubahan undang-undang lain selain
dari undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang
pidana, bukanlah perubahan undang-undang menurut Pasal 1 ayat (2)
KUHP.
2. Teori Materiil Terbatas, dianut van Geuns.
“Perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan
keyakinan hukum pembuat undang-undang”. Perubahan karena zaman atau
keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan undang-undang.
3. Teori Materiil Tidak Terbatas.
Putusan H.R. 5 Desember 1921 (Huurcommissiiewet-arrest) berpendapat:
perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan
perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik
perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut teori materiil
terbatas, maupun perubahan keadaan karena waktu”.
Hazewinkel-Suringa: lebih bermanfaatlah kalau Pasal 1 ayat (2)KUHP dihapuskan,
yang berarti bahwa ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku pada waktu
deliklah yang dipergunakan oleh hakim. Hal mana adil, dan berarti semua
pembuat delik diperlakukan sama.
31. B. Menurut Tempat Terjadinya Tindak Pidana.
1. Asas Teritorialitas (Pasal 2 diperluas Pasal 3 KUHP)
2. Asas Personalitas atau Nasionalitas Aktif (Pasal 5 KUHP)
Pangkal diadakannya asas personalitas ialah kewarganegaraan pelaku. Asas
tersebut mengandung sistem, bahwa hukum pidana Indonesia mengikuti
warganegaranya ke luar Indonesia.
3. Asas Perlindungan atau Asas Nasionalitas Pasif (Pasal 4 ke-1, ke-2, dan ke-3
serta Pasal 8 KUHP)
Pasal 7 KUHP mengandung campuran asas Nasionalitas aktif dan
Nasionalitas pasif.
4. Asas Universalitas (Pasal 4 ke-2 dan ke-4 KUHP)
Titik taut asas universalitas ialah jenis perbuatan. Perbuatan itu sedemikian
rupa sifatnya, sehingga kita merasa berkewajiban untuk menerapkan hukum
pidana, tanpa memandang siapa yang melakukan tindak pidana, di mana dan
terhadap kepentingan siapa tindak pidana tersebut dilakukan.
5. Asas Eksteritorialitas (Pasal 9 KUHP).
Utrecht: ketentuan tersebut tidak perlu lagi karena kita sekarang mengakui
primat Hukum Internasional. Pasal itu dibuat waktu orang masih menerima
kedaulatan negara secara absolut.
Andi Z. Abidin: Pasal 9 KUHP Indonesia masih diperlukan demi kepastian
hukum dan tidak semua penyidik kejahatan memahami Hukum Internasional.
32. Orang yang diakui hak imunitasnya,meliputi:
1. Kepala-kepala negara asing yang datang ke Indonesia secara resmi.
2. Duta negara-negara asing yang ditempatkan di Indonesia.
3. Kapal perang asing yang masuk wilayah negara dengan persetujuan.
4. Pasukan negara asing yang masuk dengan seizin negara yang didatangi.
5. Para wakil Badan-Badan Internasional, spt: utusan PBB, PMI dan lain-lain.
34. Ajaran Sebab Akibat
A. Tujuan Ajaran Sebab Akibat.
1. Untuk menentukan hubungan antara sebab dan akibat;
2. Untuk menentukan pertanggungjawaban seseorang atas suatu akibat tertentu yang
berupa suatu tindak pidana.
B. Teori-Teori Sebab Akibat.
1. Teori Syarat Mutlak (Conditio Sine Qua Non) dari von Buri.
- Conditio sine qua non (T.syarat mutlak)
- Equivalentie Theori (T.Ekuivalen)
- Bedingungstheorie (T.syarat).
2. Teori-teori yang menggeneralisir.
Pokok pangkal perbedaan: pengertian istilah “perhitungan yang normal”.
a. T.Adequat (Keseimbangan) dari J.von Kries.
Sebab dari suatu akibat adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian
yang normal, dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut”.
==== Subyective Prognose.
b. T. Adequate (Obyectif Nachtragliche Prognose) dari Rumelin.
“Perhitungan yang normal” -- bukan hanya keadaan yang kemudian diketahui
secara subyektif tetapi juga keadaan-keadaan yang akan diketahui secara obyektif.
35. c. T. Simons.
Teori kompromis dari von Kries dan Rumelin.
Untuk menentukan syarat sebagai sebab yang menimbulkan akibat harus
memperhitungkan:
1) Keadaan yang diketahui pembuat sendiri;
2) Keadaan yang diketahui oleh orang banyak, meskipun tidak diketahui si pembuat
sendiri.
d. T.Adequat dari Traeger.
Sebab itu harus dicari dari syarat-syarat manakah yang seimbang dengan akibat yang
timbul.
3. Teori-teori yang mengindividualisir == dari Birkmeyer
a. Theory Der Meist Wirksame Bedingung.
Di dalam rangkaian syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu
dicarinya syarat manakah yang dalam keadaan tertentu, yang paling banyak
membantu untuk terjadinya akibat.
b. Teori Art Des Werdens (sifat kejadiannya) dari Kohler.
Sebab adalah syarat yang menurut sifatnya menimbulkan akibat.
c. Ubergewichts Theori dari Karl Binding.
Sebab adalah syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat-syarat positif untuk
melebihi syarat-syarat negatif.
d. Teori Letze Bedingung dari Ortman.
Sebab adalah syarat penghabisan yang menghilangkan keseimbangan antara syarat
positif dengan syarat negatif, sehingga syarat positif lah yang menentukan.
36. e. Teori Relevansi dari Mezger.
Teori ini tidak mengadakan perbedaan antara sebab dan syarat, seperti teori yang
menggeneralisir dan yang mengindividualisir, tetapi dimulai dengan mengintepretir
rumusan tindak pidana yang bersagkutan.
f. Teori Perdata.
Teori ini berdasarkan Pasal 1247 dan 1248 BW: bahwa “pertanggungjawaban”
hanya
ada, apabila akibat yg timbul itu mempunyai akibat yang langsung dan rapat sekali
dengan perbuatan-perbuatan yang terdahulu atau dapat dibayangkan terlebih dahulu.
C. Kausalitas Pada Tindak Pidana Omisi.
Tindak pidana omisi/delicta ommissionis terbagi atas: tindak pidana omisi murni/omisi
yang sebenarnya (delicta ommissionis) dan tindak pidana omisi yang tidak murni
(delicta ommissionis per ommissionem commissa).
1. Teori Berbuat Lain
“Yang harus dianggap sebagai sebab dari suatu akibat adalah bukan perbuatan pasif
(tidak berbuat), melainkan suatu perbuatan positif lain yang dilakukan orang pada
saat seharusnya ia berbuat yang diharuskan berbuat”.
2. Teori Berbuat Sebelum Terjadinya Tindak Pidana.
Yaitu perbuatan positif sebelum terjadinya tindak pidana.
3. Interferenztheorie.
“Pengabaian itu bukanlah tidak berbuat apa-apa, tetapi hanya menampakkan dirinya
seolah-olah demikian di dunia kenyataan.
37. AJARAN MELAWAN HUKUM
Melawan Hukum ----- Wederrechtelijk
- Perbuatan bersifat melawan hukum
- Perbuatan melanggar hukum
- Perbuatan bertentangan dengan undang-undang
- Perbuatan bertentangan dengan hak orang lain.
Dua pandangan tentang melawan hukum:
1. Pandangan formal/pandangan yang sempit.
“Melawan hukum” ---- bertentangan dengan UU
2. Pandangan materiil/pandangan yang luas
“Melawan hukum” --- bertentangan dengan hukum.
Perbedaan:
1. Pandangan formal: - pengecualian dalam undang-undang.
- tidak selalu menjadi unsur tindak pidana
2. Pandangan materiil: - pengecualian menurut hukum (tertulis dan tidak tertulis)
- unsur mutlak.
Ajaran melawan hukum materiil mempunyai 2 fungsi:
1. Fungsi positif ---- belum bisa diberlakukan
2. Fungsi negatif --- berlaku.
39. AJARAN KESALAHAN
A. Tiada pidana tanpa kesalahan
Perwujudan:
- Pasal 44,48 sampai dengan 51 KUHP
- Fungsi negatif dari sifat melawan hukum materil
- Melkboer arrest -- arrest H.R. tgl 14/2/1916.
Kesalahan ---hubungan dengan kebebasan kehendak. Ada 3 pendapat:
1. Kaum indeterminisme
2. Kaum determinisme
3. Kaum tidak perlu kebebasan kehendak
B. Pengertian Kesalahan
Kesalahan ---- Schuld
1. dalam arti luas: bertanggung jawab
2. dalam arti yuridis: kesengajaan (dolus/opzet), Kealpaan (culpa)
3. dalam arti sempit: culpa
40. C. Kemampuan bertanggungjawab
Simons:
1. Mampu untuk mengetahui/menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan
hukum.
2. Dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadarannya.
Van Hamel: ada 3 kriteria
1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat perbuatannya sendiri.
2. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat
tidak dibolehkan.
3. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu.
Tiga sistem untuk menentukan ketidakmampuan bertanggung jawab:
1. Sistem deskriptif (menyatakan)
2. Sistem normatif (menilai)
3. Sistem deskriptif-normatif (gabungan)
Tidak mampu bertanggung jawab untuk sebagian:
1. Kleptomania
2. Pyromania
3. Claustropobia
4. Nymphomania.
41. Bila hakim ragu-ragu tentang ada tidaknya kemampuan bertanggungjawab
dalam praktek ada 2 hal:
1. Hakim dapat menyatakan pidana.
2. Hakim membebaskan terdakwa karena dianggap tidak mampu bertanggung
jawab.
- Kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Belanda: 2 kemungkinan bagi hakim yaitu:
1. Ketetapan agar diserahkan kepada pemerintah.
2. Memberikan pidana biasa.
Indonesia: hakim memberikan pidana yang lebih ringan.
42. Kesengajaan/Opzet/Dolus/Intent
MvT (Memorie van Toelichting):
Sengaja = menghendaki dan mengetahui/ willens en wetens.
Teori-teori kesengajaan:
1. Teori kehendak (wills-theorie) --- von Hippel --- Simons.
2. Teori pengetahuan/membayangkan (voorstellings-theorie) -- Frank --
Moeljatno.
Bentuk-bentuk kesengajaan:
1. Kesengajaan sebagai maksud/bertujuan.
“Perbuatan pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang”.
2. Kesengajaan dengan sadar kepastian.
Terdapat 2 akibat:
a. Akibat yang dituju oleh pembuat
b. Akibat yang sebenarnya tidak dikehendaki tetapi merupakan suatu keharusan
untuk mencapai tujuan akibat (1).
3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan.
“Terdapat suatu keadaan yang semula mungkin terjadi kemudian ternyata betul betul
terjadi.
Sifat kesengajaan:
1. Kesengajaan berwarna/dolus malus/gekleurd opzet.
2. Kesengajaan tidak berwarna/kleurloos opzet.
43. Kesesatan/salah kira/dwaling/error
Beberapa bentuk kesesatan/error:
1. Error juris/mistake of law/kesesatan hukum.
= melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dengan
perkiraan bahwa perbuatan tersebut tidak dilarang.
2. Error facti/mistake of fact/kesesatan tentang unsur tindak pidana.
= kesesatan tentang tidak adanya kesengajaan dalam salah satu unsur tindak
pidana.
3. Error in persona/kesesatan tentang orang
= kesesatan tentang orang yang menjadi tujuan tindak pidana.
4. Error in objecto/kesesatan tentang obyek
= kesesatan tentang obyek yang menjadi tujuan tindak pidana.
5. Abberatio ictus/penyimpangan sasaran.
= penyimpangan sasaran dari yang menjadi tujuan tindak pidana.
44. Jenis-jenis kesengajaan dalam doktrin:
1. Dolus determinatus = kesengajaan yang ditujukan pada obyek tertentu.
2. Dolus indeterminatus = kesengajaan yang tidak ditujukan pada obyek
tertentu, melainkan ditujukan pada sembarang obyek.
3. Dolus alternatiftus = kesengajaan yang ditujukan pada obyek yang satu
/obyek yang lain.
4. Dolus indirektus = kesengajaan terhadap suatu perbuatan yang
menimbulkan suatu akibat yang sebenarnya bukan merupakan tujuan
pelaku.
5. Dolus generalis = kesengajaan yang ditujukan pada umum
6. Dolus premiditatus = kesengajaan yang direncanakan terlebih dahulu.
7. Dolus repentinus/inpentus = kesengajaan yang timbul dengan serta merta.
45. Kealpaan
MvT: Kealpaan = di satu pihak merupakan kebalikan yang sesungguhnya dari
kesengajaan dan di lain pihak merupakan kebalikan yang sesungguhnya dari satu
kebetulan.
Unsur-unsur kealpaan:
- Pembuat dapat menduga terjadinya akibat kelakuannya.
- Pembuat kurang berhati-hati.
Van Hamel:
Kealpaan mengandung dua syarat:
1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Bentuk-bentuk kealpaan:
a. Dari sudut ingatan pelaku:
1) Kealpaan berat (culpa lata)
2) Kealpaan ringan (culpa levis)
b. Dari sudut kesadaran pembuat:
1) Kealpaan disadari (bewuste schuld)
2) Kealpaan tidak disadari (onbewuste schuld).
47. Alasan Penghapusan Pidana
(Straf-uitsluitings-Gronden)
• Teori hukum Pidana :
- Alasan Pembenar/faits justificatifs
Yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi patut dan benar.
- Alasan Pemaaf/faits d’exuce
Yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum. Jadi tetap
merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada
kesalahan.
• Memorie van Toelichting :
- Alasan dalam bathin terdakwa/pasal 44 KUHP tidak ada yg
- Alasan di luar bathin terdakwa/pasal 48-51 KUHP menggunakan
48. • Doktrin : - Alasan penghapusan pidana umum
- Alasan penghapusan pidana khusus
Daya Paksa ( Overmacht ):
Absolut ( Vis absoluta ) : Fisik
instrument
Psychis
- Arti sempit (overmacht in enge zin)
Relatif/pasal 48 KUHP:
( vis compulsiva ) - Keadaan darurat (noodtoestand)
- Pertentangan antara dua kepentingan hukum
- Pertentangan antara kepent. hkm dan kewajiban hukum
- Pertentangan antara dua kewajiban hukum
49. Bela Paksa (noodweer)
Pasal 49(1) KUHP
• Tiga syarat :
1. Perbuatan harus terpaksa untuk pembelaan yang sangat perlu:
a. Asas keseimbangan/asas proporsionalitas
b. Asas subsidaritas
2. Pembelaan itu hanya dapat dilakukan untuk kepentingan hukum :
a. diri sendiri maupun orang lain
b. kehormatan kesusilaan sendiri maupun orang lain
c. harta benda sendiri maupun orang lain.
3. Harus ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu
(yang datang seketika) yang melawan hukum.
50. Bela Paksa Lampau Batas ( Noodweer exces )
Pasal 49 (2) KUHP
1. Melampaui batas pembelaan yang diperlukan
2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari
keguncangan jiwa yang hebat
3. Keguncangan jiwa yang hebat itu diakibatkan adanya serangan
atau ancaman serangan.
51. Melaksanakan ketentuan undang-undang
(Pasal 50 KUHP : alasan pembenar)
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-
undang tidak dipidana”.
- Ketentuan undang-undang :
HR : penafsiran dalam arti sempit : “uu dalam arti formal”
penafsiran dalam arti luas : “uu dalam arti materil”
- Melaksanakan ketentuan undang-undang :
a. untuk kepentingan umum
b. tidak terbatas pada perbuatan yang diwajibkan undang-undang, juga
perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh
undang-undang
c. dilakukan secara patut,wajar dan masuk akal.