Makalah ini membahas tentang hak-hak korban dalam pelanggaran HAM yang mencakup hak atas keadilan, ganti rugi, perlindungan, dan informasi mengenai kasusnya berdasarkan deklarasi PBB dan hukum internasional. Tulisan ini juga menjelaskan definisi korban dalam hukum nasional Indonesia serta hak-hak korban seperti kompensasi dan bantuan yang diatur dalam undang-undang."
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Hak Korban HAM
1. MAKALAH
HAK-HAK KORBAN DALAM PELANGGARAN HAM
Dosen Pengampu : Sri Murni, M.Pd
Disusun Oleh
Weni Aprilia
NPM. 19110016
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
(STKIP-PGRI) BANDAR LAMPUNG
2020-2021
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulilah kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah memberi nikmat, rahmat,dan petunjuk sehingga makalah ini dapat
selesai tepat pada waktunya. Makalah ini memuat uraian tentang”Hak-hak Korban
Dalam Pelanggaran HAM”
Kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi kita semua.
Manusia tidak terlepas dari kesalahan seperti hal nya makalah ini tentu
masih banyak kekurangan dan kami menyadari itu.Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan dari kalian semua.
Penyusun
3. DAFTAR ISI
COVER............................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hak-Hak Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia ..................................3
2.2 Teknik-teknik Advokasi HAM...................................................................7
2.3 Jenis-jenis Advokasi Non Litigasi...............................................................8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
4. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan teori-teori studi kriminologi dan hukum pidana serta praktik
bekerjanya sistem peradilan pidana dalam beberapa dekade telah mengalami
perubahan besar, khususnya terkait dengan perhatian para pakar, akademisi, dan
praktisi terhadap kedudukan korban dalam proses peradilan pidana. Perhatian
yang semakin besar terhadap posisi korban dalam peradilan pidana ditunjukkan
dengan dihasilkannya berbagai aturan hukum baik di tingkat internasional
maupun nasional, yang mengatur masalah perlindungan dan jaminan hak-hak
korban. Di Indo- nesia perhatian terhadap posisi korban dalam sistem peradilan
pidana semakin nyata dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam undang- undang tersebut,
terdapat tiga hal yang menjadi muatan pokok yaitu:
Pertama, rumusan hak-hak serta bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan
kepada saksi dan korban; Kedua, aspek kelembagaan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK); dan Ketiga, ketentuan mengenai pemberian
perlindungan dan bantuan yang menyangkut aspek mekanisme prosedural
bekerjanya LPSK.
Tulisan ini menguraikan secara ringkas perlindungan dan hak-hak korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terdapat dalam hukum hak
asasi manusia internasional serta bagaimana konteks pengaturan dan
pelaksanaannya dalam hukum nasional. Untuk keperluan penyusunan naskah ini,
istilah pelanggaran hak asasi manusia yang berat penulis merujuk pada definisi
yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia. Sebagai acuan pokok bahwa yurisdiksi materiil Undang-
undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah menunjuk dua jenis
tindak pidana yakni genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam konteks penegakan hukum,
tentunya akan muncul kerumitan yang bisa jadi bersifat konseptual maupun
5. yang sifatnya teknis. Tulisan ini tidak bermaksud menjawabnya namun
berupaya mencari peluang solusi yang mungkin dapat dipecahkan dengan basis
pengalaman dan pengetahuan baik teoritik atau praktik.
Acuan utama dalam hukum hak asasi manusia internasional mengenai definisi
korban adalah Declaration of Basic Principle of Justice for Victim and Abuse of
Power, adopted by General Assembly Resolution 40/ 34 of 29 No- vember
1985/Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan
Penyalahgunaan Kekuasaan (selanjutnya disebut deklarasi korban). Acuan utama
lainnya adalah yang terdapat dalam Aturan Hukum Acara dan Pembuktian pada
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mana rumusannya menguatkan
konsep mengenai korban dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia yang
berat. Menyangkut pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam hukum
nasional, definisi mengenai korban merujuk pada PP Nomor 2 tahun 2002
tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang Berat dan Undang-undang Nomor 13 tahun 2006
tentang perlindungan Saksi dan Korban.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hak-hak Korban dalam Pelanggaran HAM
2. Apa saja Teknik-teknik Advokasi HAM
3. Seperti apa Jenis-jenis Advokasi Non Litigasi
6. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hak-Hak Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
Dalam deklarasi korban dinyatakan beberapa hak pokok korban yang harus
dijamin dan dilindungi oleh negara yakni: Pertama, hak korban atas tersedianya
mekanisme keadilan dan memperoleh ganti rugi dengan segera (baik berupa
kompensasi maupun restitusi); Kedua, hak atas informasi mengenai hak-haknya
dalam mengupayakan ganti rugi dan memperoleh informasi kemajuan proses
hukum yang berjalan termasuk ganti kerugian; Ketiga, hak untuk menyatakan
pandangan dan memberikan pendapat; Keempat ; hak atas tersedianya bantuan
selama proses hukuman dijalankan; Kelima, hak atas perlindungan dari
gangguan/intimidasi/ tindakan balasan dari pelaku, perlindungan kebebasan
pribadi dan keselamatan baik pribadi maupun keluarganya, dan Keenam, hak
atas mekanisme/ proses keadilan yang cepat dan sederhana/ tidak adanya
penundaan.
Sementara itu dalam Statuta Roma dan aturan mengenai hukum dan pembuktian,
sebagai instrumen hukum hak asasi manusia internasional pokok yang terkait
erat pelanggaran hak asasi manusia yang berat memberikan perhatian khusus
atas posisi korban dalam proses berjalannya peradilan. Hal tersebut diatur
dalam beberapa pasal yang mengatur mengenai hak-hak korban selama proses
peradilan berlangung. Yaitu : Pertama, hak atas perlindungan bagi korban selama
proses peradilan berlangsung (pasal 57 yang mengatur perlindungan pada tahap
pre trial maupun Pasal 68 yang berisi hak-hak korban selama proses
persidangan, seperti partisipasi korban, mekanisme perlindungan dalam tahapan
pembuktian untuk memberikan keterangan secara in camera maupun pengajuan
bukti dengan sarana elektronika). Kedua, hak atas jaminan perlindungan baik
dalam konteks finansial maupun fasilitas lainnya bagi korban kejahatan dan
keluarganya (Pasal 79 mengatur mengenai pembentukan Trust Fund untuk
menjamin hak-hak korban kejahatan dan keluarganya).
7. Selain dua dokumen di atas, dalam ranah hukum hak asasi manusia internasional
dikenal pula prinsip-prinsip van Boven dan prinsip-prinsip Joinet sebagai dua
acuan pokok yang dirumuskan melalui studi mendalam oleh Pelapor Khusus
Sub Komisi Hak Asasi Manusia PBB dan ahli independen. Berdasarkan
beberapa kaidah hukum Internasional bahwa setiap pelanggaran terhadap hak
asasi manusia akan menimbulkan hak atas pemulihan. Yang dimaksud pemulihan
menurut Van Boven adalah segala jenis ganti rugi (redress) yang bersifat
material maupun non material bagi para korban pelanggaran hak – hak asasi
manusia oleh karena itu hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi mencakup
aspek – aspek tertentu dari pemulihan. Boven mengusulkan enam prinsip dasar
yang harus dipenuhi oleh negara yang akan merumuskan kebijakan untuk
pemenuhan hak-hak korban, yakni : Pertama, pemulihan dapat dituntut secara
individual maupun kolektif. Kedua, negara berkewajiban menerapkan langkah-
langkah khusus yang memungkinkan dilakukannya langkah-langkah pemulihan
yang efektif secara penuh. Pemulihan harus seimbang dengan beratnya
pelanggaran dan kerusakan-kerusakan yang diakibatkannya, yang mencakup
pula restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan agar kejadian
serupa tidak terulang. Ketiga, setiap negara harus mengumumkan melalui
mekanisme publik maupun lembaga swasta baik di dalam maupun di luar negeri
tentang tersedianya prosedur- prosedur pemulihan. Keempat, ketentuan-ketentuan
pembatasan tidak boleh diterapkan selama masa dimana tidak ada penyelesaian
efektif atas pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter.
Kelima, setiap negara harus memungkinkan tersedianya secara cepat seluruh
informasi yang berkenaan dengan persyaratan-persyaratan tuntutan pemulihan.
Keenam, keputusan-keputusan menyangkut pemulihan atas korban pelanggaran
hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter harus dilaksanakan melalaui
cara yang cermat dan cepat.
Sedangkan dalam prinsip Joinet, secara garis besar merupakan usaha
perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia melalui langkah-langkah untuk
menghapus impunitas dengan mengadopsi prinsip-prinsip dasar hak asasi
manusia universal untuk diterapkan hingga pada upaya-upaya dalam bekerjanya
mekanisme hukum domestik. Dalam studi tersebut, dipaparkan dalam empat
8. point penting yakni: hak untuk mengetahui, hak atas keadilan, hak atas reparasi,
dan jaminan ketidakberulangan. Salah satu prinsip hak atas keadilan yang cukup
penting untuk diangkat adalah ketentuan mengenai prinsip pembatasan yang
dibenarkan oleh keinginan untuk memerangi impunitas, mengenai ketentuan
amnesti dalam pelanggran hak asasi manusia yang berat. Jelas dalam prinsip
tersebut menyatakan bahwa amnesti tidak dapat diberikan kepada pelaku
pelanggaran sebelum korban mendapatkan keadilan melalui pengadilan yang
efektif. Amnesti tidak boleh memiliki pengaruh hukum apapun terhadap proses
peradilan yang diajukan oleh korban terkait dengan reparasi.
Sistem peradilan pidana dapat mengembangkan upaya-upaya pemulihan bagi
korban pelanggaran hak asasi manusia melalui beberapa metode yang secara
garis besar dibedakan menjadi dua, yakni: monetary remedies dan non-
monetary remedies.6 Monetary remedies merupakan pemulihan yang
mendayagunakan nilai materi dalam wujud uang atau fisik untuk mereparasi
kerusakan/kerugian yang diakibatkan oleh adanya pelanggaran hak asasi
manusia. Sedangkan Non-Monetary Remedies adalah upaya pemulihan bagi
korban yang lebih mendasarkan pada perbaikan atas kerusakan/kerugian yang
ditimbulkan dengan langkah- langkah tertentu yang tidak dapat dipadankan
dengan nilai material tertentu (seperti: permintaan maaf dari pelaku/negara,
jaminan ketidakberulangan, rehabilitasi, truth telling, hukuman bagi pelaku, atau
pernyataan melalui putusan hakim (declaratory judgements).
Pada ranah hukum nasional, sejak diberlakukannya undang-undang tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dan PP Nomor 44 tahun 2008, dalam
pelaksanaan perlindungan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat praktis mengacu pada dua peraturan perundang- undangan tersebut.
Meskipun sepanjang tidak bertentangan dengan kedua peraturan perundang-
undangan tersebut undang-undang dan peraturan pemerintah lainnya masih
diberlakukan.7 Dalam undang-undang tersebut hak-hak korban tidak dibedakan
secara khusus dari hak-hak yang dimiliki saksi. Artinya undang-undang telah
mengakomodasi hak atas keadilan yang layak bagi korban karena jaminan
9. perlindungan bagi korban telah didapatkan sejak proses penyelidikan dilakukan.
Dalam undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, korban pelanggaran hak
asasi manusia memiliki dua hak eksklusif yang diberikan oleh undang-undang
yakni hak atas kompensasi dan pemberian bantuan, selain tentunya terdapat
pula hak untuk mengajukan restitusi kepada pelaku kejahatan.8 Dalam
pandangan penulis, mengenai rumusan dari definisi kompensasi yang terdapat
pada PP Nomor 44 tahun 2008 terdapat kesalahan konseptual yang sifatnya
fundamental. Rumusan pengertian kompensasi dalam PP tersebut adalah ganti
kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan
ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Dengan rumusan tersebut, maka kompensasi baru akan dapat dijalankan dengan
menggantungkan ada tidaknya pelaku dan/atau mampu atau tidaknya pelaku
untuk memberikan ganti rugi. Tentunya ini tidak sebangun dengan konsep dan
prinsip-prinsip hukum hak asasi manusia, yang memberikan kewajiban kepada
negara untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepada korban secara
maskimal dengan mengambil langkah-langkah yang tepat, cermat, cepat, dan
memberikan kepuasan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Tentunya hal ini akan menjadi catatan penting bagi penulis dan bagi semua
peserta diskusi.
Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan
Korban menjadi rujukan mengenai hak-hak, bentuk-bentuk perlindungan, dan
bentuk bantuan yang dijamin oleh undang-undang. Dalam Pasal 5, terdapat 13
(tiga belas) hak saksi dan atau korban yang dalam konteks pemberian
perlindungan akan diberikan oleh LPSK. Dalam Pasal 5 tersebut, undang-undang
tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa perlindungan utama
yang diperlukan adalah perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
benda, serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksiannya dalam
proses perkara yang berjalan. Untuk lebih jelasnya apa saja hak-hak saksi dan
atau korban yang dapat diberikan oleh LPSK dapat dilihat dalam tabel 1.
Selain Pasal 5, korban juga memiliki hak atas kompensasi dan hak atas
restitusi sebagaimana diatur pada Pasal 7 undang-undang tentang Perlindungan
10. Saksi. Menurut undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam
Pasal 6 khusus terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia berhak pula atas
bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
2.2 Teknik-teknik Advokasi HAM
Korban tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi juga
bisa sekelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada
kejahatan tertentu, korban bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya.
Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam tindak pidana terhadap
lingkungan. Di dalam pembahasan ini, korban sebagaimana yang dimaksud
terakhir tidak masuk didalamnya.
Dilihat dari pengertian korban menurut beberapa para ahli atau yang bersumber
dari konvensi internasional mengenai korban tindak pidana yang menimpa dirinya
,antara lain bisa kita lihat dari pengertian mengenai korban dari para ahli yaitu :
a. Arief Gosita, sebagaiman korban yang menderita jasmani dan rohani yang
di akibtkan dari tindakan orang lain yang mencari kepentingan diri sendiri
dan yang berkepentingan hak asasi yang di rugikan.
b. Menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul Victimologi
Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban
adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan
mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau
usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan
lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan
fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak
pidana.
c. Muladi, korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individu
maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau
mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap
hakhaknya yang fundamental melalui perbuatn atau komisi yang
melanggar hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk
penyalahgunaan kekuasaan.
11. Mengacu pada pengertian-pengertian korban tersebut dapat dilihat bahwa korban
di atas dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orag perorangan
atau kelompok yang secara langsung menderita akibat perbuatan- perbuatan yang
menimbulkan kerugian penderitaan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya,
bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan la
ngsung dari korban dan orang- orang yang mengalami kerugian ketika membantu
korban mengatasi penderitaannya atau mencegah viktimisasi Kerugian korban
yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi
korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya kesalahan yang ditimbulkan
karena tidak melakukan suatu kerjaan.
Perkembangan dari ilmu viktimologi selain mengajak setiap orang untuk lebih
melihat posisi korban juga memilih-milih jenis korban hingga mencullah berbagai
jenis korban,yaitu sebagai berikut.
1) Nonparticipating victims, upaya penanggulangan tindak pidana yang
mana mereka tidak memperdulikannya.
2) Latent victims, dimaksud yaitu setiap orang yang mempunyai kelakuan
tertentu sehingga minim menjadi korban.
3) Procative victims, mereka yang menimbulkan dorongan terjadinya
tindak pidana.
4) Participating victims, mereka yang berprilaku tidak sewajarnya sehingga
memudahkan dirinya menjadi korban.
5) False victims, karena perbuatan korban sendiri sehingga yang menjadikan
dirinya menjadi korban.
Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia
adalah sebagai berikut :
1. Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Bahwa “Korban adalah orang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
12. 2. Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bahwa “Korban adalah
orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga”.
3. Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Bahwa “Korban adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik,
mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami
pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai
akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk
korban adalah juga ahli warisnya”.
2.3 Jenis-jenis Advokasi Non Litigasi
Advokasi non-litigasi lebih ditekankan pada musyawarah, mediasi dan tidak
sampai ke jalur pengadilan. Ketika terjadi permasalahan yang dialami oleh klien,
pendekatan yang banyak dilakukan oleh SAPDA ditekankan pada “urun rembuk”
antara lembaga dengan klien terkait permasalahan yang dihadapi. Hal terpenting
yang perlu diingat bahwa kerja SAPDA dalam advokasi jenis ini adalah berusaha
untuk tidak mendekte terkait pemecahan atas permasalahan yang akan diambil
oleh klien melainkan memberikan pandangan dan pengetahuan terkait kasusnya
dan terbatas pada pemberian pengetahuan akan resiko dari pilihan yang akan
diambil.
Menurut Aisya:
Non-litigasi lebih ke mediasi, konseling dan penyelesaian masalah dengan
musyawarah. Kita cuma mendampingi saja, dialah yang akan menentukan
langkah kedepannya. “Kalau ibu melakukan hal ini maka resikonya seperti ini
lho”. Jadi kami lebih menguatkan pada solusi yang diambil, prinsip-prinsip yang
harus dipatuhi, memposisikan korban bukan sebagai orang bersalah,
memandirikan mereka, tidak boleh memberi solusi dan hanya membantu
memberikan pandangan dalam mengambil sikap (Aisya, 2016a).
13. Untuk meningkatkan kualitas terkait pelayanan dalam melaksanakan advokasi
non-litigasi, SAPDA mencoba melaksanakan beberapa program yang meliputi
konseling dan pendampingan. Konseling dan pendampingan dapat dilaksanakan
baik secara individu maupun kelompok sesuai dengan kebutuhan dari masing-
masing klien.
a. Konseling Individu
Konseling individu adalah suatu proses pemberian bantuan yang
dilakukan oleh seorang ahli (konselor) melalui wawancara konseling
dengan orang yang sedang mengalami suatu masalah yang bermuara pada
teratasinya masalah yang dihadapi (Prayitno & Amti, 1994, p. 105).
Adapun strategi layanan yang dilaksanakan SAPDA berupa bimbingan
dan konseling kepada para difabel korban kekerasan. Mengingat bahwa
luka akibat trauma kekerasan sangat sulit untuk disembuhkan dan
memakan waktu tidak sedikit. Adapun konseling dalam hal ini
membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus sehingga dalam
prakteknya, para konselor lebih menekankan pelayanan terpenting dan
urgen terlebih dahulu. Apalagi jika klien membutuhkan bantuan sesegera
mungkin akibat kekerasan yang dialami.
Dalam prakteknya, ketika terdapat laporan kekerasan yang terjadi pada
perempuan difabel, SAPDA khususnya staf WDCC akan segera
merespon cepat kasus tersebut apalagi ketika klien mengalami babak belur
akibat pukulan dan sebagainya. Dalam kondisi demikian, assesmen akan
dilakukan belakangan setelah penanganan kasus. Setelah klien dirasa
sudah berada pada posisi stabil barulah assesmen akan dilaksanakan.
Dalam tahapan selanjutnya, staf WDCC kemudian memberikan konseling
untuk mengatasi permasalahan yang dialami klien.
b. Pendampingan
Merujuk Pada Payne bahwa pendampingan sosial adalah making the best
of the client’s resources. Sejalan dengan perspektif kekuatan, pekerja
sosial tidak memandang klien dan lingkungannya sebagai sistem yang
pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa. Klien hendaknya dipandang
sebagai sistem sosial yang mempunyai kekuatan positif dan bermanfaat
14. bagi lingkungannya (Suharto, 2009, p. 93). Dengan demikian, klien tidak
hanya dianggap sebagai korban yang selalu mendapat belas kasihan dan
membutuhkan bantuan akibat ketidak berdayaan yang dimiliki tetapi
mereka hendaknya menjadi mahluk yang mampu seperti orang lain pada
umumnya.
Bentuk pendampingan terhadap perempuan difabel korban kekerasan oleh
SAPDA saat ini juga sudah memandang klien tidak hanya sebagai korban
yang harus mendapatkan pertolongan segera melainkan menggali kekuatan
yang ada pada diri mereka. Guna meningkatkan pelayanan dalam advokasi
dan pendampingan secara Internal, SAPDA membutuhkan beberapa alur
dan panduannya. Pendampingan baru akan dilaksanakan setelah mendapat
Pelaporan kasus. Sedangkan pelaporan akan diperoleh melalui
penjangkaun dari staf SAPDA maupun klien melakukan pengaduan
kepada lembaga. Sasaran dari program pendampingan juga lebih banyak
ditekankan pada keluarga dan klien sendiri serta orang-orang yang rentan.
Oleh karenanya pelaksanaan pendampingan tidak hanyadilaksanakan
ketika terjadi kasus yang benar-benar mendesak dan membutuhkan
penanganan secara langsung saja melainkan difokuskan pula kepada
kelompok kelompok rentan lainnya. Titik tekan yang perlu diperhatikan
dalam proses advokasi terhadap perempuan difabel korban kekerasan
adalah bagaimana keberadaan korban. Ketika advokasi dilaksanakan,
korban menjadi indikator utama yang menentukan apakah advokasi sudah
berjalan sesuai harapan atau tidak dan sudahkah advokasi tersebut
memberdayakan kliennya? atau justru sebaliknya mengakibatkan
kekerasan berulang pada korban. Untuk itu, dalam advokasi yang
melibatkan korban, SAPDA hendaknya memiliki kepekaan dan
pemahaman mekanisme kemungkinan terjadinya proses pengulangan
kekerasan pada korban.
c. Konseling (Penjangkauan Klien)
Dilihat dari jenisnya, beberapa alur penjangkauan terhadap klien yang
dilakukan SAPDA dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Strategi “Jemput Bola”
15. Dapat dikatakan bahwa hampir keseluruhan jenis difabel melalui
hambatan pada aksesnya di ranah publik. Apalagi jenis difabel seperti
disabilitas netra, daksa, dan paraplegia yang mengalami hambatan
yang jauh lebih besar dalam ruang geraknya. Akibatnya, ketika mereka
menjadi korban kekerasan sulit bagi mereka untuk memberikan
perlawan yang berarti sehingga cenderung akan pasrah dengan nasib
yang dialaminya.
Jika kekerasan tersebut bahkan dilakukan oleh suami ataupun anggota
keluarga yang lain, siapa yang bisa menolongnya? “Jangankan
melapor, keluar rumah saja mereka tidak mampu!” tutur salah seorang
staf dari divisi WDCC. Dari situlah kemudian muncul inisiatif dari
SAPDA untuk melakukan penjangkauan kepada perempuan
disabilitas yang menjadi korban kekerasan. Melalui strategi “Jemput
bola”, SAPDA mencoba melakukan penjangkauan ke wilayah yang
rawan terjadinya tindak kekerasan. Strategi “jemput bola” merupakan
strategi yang sudah lama digagas oleh SAPDA guna menjangkau
permasalahan yang terjadi di lapangan dengan metode “analisis akar
rumput” yaitu menggali permasalahan sampai ke akar-akarnya.
SAPDA menggunakan strategi “jemput bola” Strategi Advokasi
Perempuan Difabel Korban Kekerasan di Sapda untuk menjangkau
korban-korban kekerasan yang tidak akses dengan mobilitas baik
karena keterbatasan alat transportasi, media sosial dan sebagainya.
Strategi “Jemput Bola” menjadi salah satu program unggulan yang
dimiliki SAPDA. Dalam prakteknya, pelaksanaan “jemput bola” tidak
mudah diterapkan oleh lembaga-lembaga lainnya kerena
membutuhkan kerja lebih dan tergolong rumit. Pertama-tama
pendamping diharapkan lebih jeli melihat situasi dan kondisi yang
terjadi di TKP. Kedua, Saat pendamping melaksanakan praktek
“jemput bola”, penggalian informasi tidak hanya dari sisi korban dan
pelaku saja namun juga perlu menggali fakta-fakta melalui warga
sekitar sehingga pendamping dapat bersikap objektif dalam melakukan
16. pendampingan karena tidak jarang fakta-fakta lain muncul dan
mengaburkan fakta awal yang diperoleh pendamping.
Sebelum melaksanakan praktek konseling “Jemput bola”, pertama-
tama lembaga akan memperoleh pelaporan terlebih dahulu perihal
kasus yang terjadi pada klien. Pelaporan terkait keberadaan klien
sebelum dilaksanakan praktek jemput bola dapat diperoleh dari
beberapa sumber:
• Penjangkauan via telepon email
• Klien rujukan dari lembaga lain
• Klien datang ke kantor
Selain menggunakan strategi “jemput bola” dalam melakukan
penjangkauan, SAPDA juga menerima pelaporan dari klien yang
datang secara langsung ke kantor SAPDA (Kompleks BNI 25 Jl.
Madubronto, Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta). Pertama-tama
langkah yang dilakukan lembaga adalah tahapan perkenalan dan
membangun kepercayaan dan kedekatan dengan klien, langkah kedua,
klien mengisi formulir data dan identitas yang diperlukan, selanjutnya
lembaga menjelaskan informed consent kepada klien berupa
(kerahasiaan, keamanan, dan kenyamanan).
Dalam hal ini pendamping mulai menggali informasi dari klien, dimulai dari hal
hal yang ringan dan umum. Lembaga juga memberikan informasi dan penguatan
pada klien terkait beberapa pilihan yang bisa diambil. Langkah terakhir adalah
Konselor membuat resume atau ringkasan proses konseling (setelah klien pergi)
dan membahas bersama team terkait pilihan pilihan solusi yang memungkinkan
dalam penyelesaian masalah yang dihadapi klien. Setelah diskusi dilakukan,
SAPDA kemudian memberikan pilihan apakah kasus yang dialami klien akan
dirujuk kepada lembaga/instansi lain sesuai dengan keputusan dan pilihan oleh
klien sendiri.
17. BAB III
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan
kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi
satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas
HAM orang lain.Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh
perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang
dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara
akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh
proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat
dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Tuntutan untuk menegakkan HAM kini sudah sedemikian kuat, baik dari
dalam negeri maupun melalui tekanan dari dunia internasional, namun masih
banyak tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu adanya dukungan dari
semua pihak, seperti masyarakat, politisi, akademisi, tokoh masyarakat, dan pers,
agar upaya penegakan HAM bergerak ke arah positif sesuai harapan kita bersama.
Penghormatan dan penegakan terhadap HAM merupakan suatu keharusan
dan tidak perlu ada tekanan dari pihak mana pun untuk melaksanakannya.
Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi
hak-hak asasi warga negaranya. Diperlukan niat dan kemauan yang serius dari
pemerintah, aparat penegak hukum, dan para elite politik agar penegakan HAM
berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan dan memastikan bahwa hak asasi
warga negaranya dapat terwujud dan terpenuhi dengan baik. Dan sudah menjadi
kewajiban bersama segenap komponen bangsa untuk mencegah agar pelanggaran
HAM di masa lalu tidak terulang kembali di masa kini dan masa yang akan
datang.
18. DAFTAR PUSTAKA
Pengertian HAM, http://oeebudhi.blogspot.com/2012/01/makalah-hak-asasi-
manusia.html (Diunduh, Jumat 22 Agustus 2014)
Dasar Hukum HAM, http://ayu.b15on.com/ham/ (Diunduh, Jumat 22 Agustus
2014)
Negara Hukum, http://prantopirhotsitumorang.blogspot.com/2012/06/contoh-
makalah-hukum-dan-ham.html (Diunduh, Minggu 24 Agustus 2014)
Asshiddiqie, Jimly. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Mahkamah
Konstitusi, 2005
Zakaria, Nooraihan. Konsep Hak Asasi Manusia. Jakarta: DBP, 2005
Lubis, Todung Mulya. Jalan Panjang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005
Ismail, Basuki. Negara Hukum Demokrasi. Jakarta: Rimihyo, 1993
Penegakan Hukum, http://tugaskuliah-ilham.blogspot.com/2011/03/negara-
hukum-dan-hak-asasi-manusia.html (Diunduh, Senin 25 Agustus 2014)
Permasalahan HAM, http://yogianggr.blogspot.com/2013/04/hak-asasi-manusia-
dan-negara-hukum.html (Diunduh, Senin 25 Agustus 2014)
Macam-macam HAM, http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia (Diunduh,
Senin 25 Agustus 2014)