SlideShare a Scribd company logo
1 of 99
Curicullum Vitae
    Name : Eddy O.S. Hiariej
    Place Of Birth : Ambon, 10 April 1973
    Education & Foreign Experience :
1.   Sarjana Hukum UGM 1998, Master Hukum UGM
     2004 & Doktor 2009 & Profesor/Guru Besar
     Hukum Pidana 2010.
2.   Comparative Study ke International Court of
     Justice United Nations Organization Den Haag,
     Belanda.
3.   Human Rights Short Course & Human Rights
     Teaching in Strasbourg, Perancis, 2001.
4.   Foreign Observer, General Election in Filipina,
     2001.
5.   Dialog East Asia Common Space In South Korea,
     1 – 8 Agustus 2004
Perbuatan Pidana &
Beberapa Asas Hukum
       Pidana
        eddy o.s hiariej
ReFeReNsI
1.   G.A. van Hamel, 1913, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlansche
     Strafrecht, Derde Druk, De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante
     ’s-Gravenhage.
2.   D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafrecht , Eerste
     Deel, Zesde Druk, P. Noordhoof, N.V. – Groningen – Batavia.
3.   D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafrecht ,
     Tweede Deel, Zesde Druk, P. Noordhoof, N.V. – Groningen – Batavia.

4.   J.E. Jonkers, 1946, Handboek Van Het Nederlansch – Indische
     Strafrecht, E.J. Brill, Leiden.
5.   T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht ,
     Vijfde Druk, Eerste Deel Inleiding Boek I, S. Gouda Quint – D. Brouwer
     En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe – Arnhem.
6.   T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht ,
     Vijfde Druk, Tweede Deel Inleiding Boek II, S. Gouda Quint – D.
     Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe – Arnhem.
7.   T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht ,
     Vijfde Druk, Derde Deel Inleiding Boek III, S. Gouda Quint – D.
     Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe – Arnhem.
ReFeReNsI
8.    H.B. Vos, 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde
      Herziene Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.
9.    D. Hazewinkel Suringa, 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het
      Nederlandse Strafrecht, H.D. Tjeenk Willink & Zoon N.V. –
      Haarlem.
10.   J.M. van Bemmelen En W.F.C. van Hattum, 1953, Hand En
      Leerboek Van Het Nederlandse Strafrecht, S. Gouda Quint –
      D. Brouwer En Zoon, Arnhem.
11.   J.M. van Bemmelen En H. Burgersdijk, 1955, Arresten Over
      Strafrecht, Vijfde Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. –
      Haarlem.
12.   W.P.J Pompe, 1959, Hanboek Van Het Nederlandse
      Strafrecht, Vijfde Herziene Druk, N.V. Uitgevers –
      Maatschappij W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle.
13.   Ch.J. Enschede, 2002, Beginselen van Strafrecht, 10e druk,
      Kluwer Deventer.
14.   Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka.
15.   Moeljatno, 1955, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawab
      Dalam Hukum Pidana, Pidato Diesnatalis Ke IV Universitas
      Gadjah Mada, Sitihinggil.
16.   Moeljatno, 1985, Percobaan dan Penyertaan, Bina Aksara,
      Jakarta.
17.   Moeljatno, 2001, Ktab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi
      Aksara, Jakarta.
ReFeReNsI
18.   Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia
      Indonesia, Jakarta.
19.   D.Schaffmeister, N.Keijzer, E.P.H. Sutorius, 1995, Hukum Pidana,
      diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy Liberty, Yogyakarta.
20.   Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum
      Matrial Dalam Hukum Pidana Di Indonesia , Alumni Bandung.
21.   E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana, Jilid I Penerbitan Universitas,
      Bandung.
22.   E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana, Jilid II Penerbitan Universitas,
      Bandung.
23.   Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal
      Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan
      Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
      Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
24.   Ruslan Saleh,1981, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawab
      Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta.
25.   Fraser Sampson, 2001, Blackstone’s Ploice Manual Crime, Blackstone
      Press Limited.
26.   Machteld Boot, 2001, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject
      Matter Jurisdiction of the International Criminal Court : Genocide,
      Crimes Against Humanity, War Crimes , Intersentia, Antwerpen –
      Oxford – New York
27.   Paul Bergman & Sara J. Berman – Barret, 2003, The Crimnal Law
      Handbook, 5th edition, Nolo Law for All
Perbuatan Pidana Dan Beberapa
Asas Hukum Pidana
1.   Istilah ‘Perbuatan Pidana’
2.   Istilah ‘Strafbaar Feit’
3.   Asas Legalitas
4.   Asas Geen straf zonder schuld
5.   Asas Teritorial, Pengecualian Asas
     Teritorial dan Perluasan Asas
     Teritorial
6.   Ne bis in idem
7.   Melawan hukum
Dalam hukum pidana di Indonesia Perbuatan
Pidana     dan   Per tanggung    Jawaban
Pidana DIPISAH secara tegas. Perbuatan
pidana hanya mencakup dilarangnya suatu
perbuatan, sedangkan pertanggung jawab
pidana mencakup dapat – tidaknya dipidana
sipembuat / sipelaku. Dasar dari perbuatan
pidana adalah ASAS LEGALITAS , sementara
dasar dari pertanggung jawaban pidana
adalah   TIDAK    ADA    PIDANA    TANPA
KESALAHAN atau Geen Straf Zonder
Schuld . Hal ini merupakan perbedaan
mendasar dengan hukum pidana Belanda
yang    TIDAK     MEMISAHKAN        antara
strafbaar van het feit dan strafbaar van
de dader .
Istilah ‘Perbuatan Pidana’
Perbuatan Pidana : (1) b
1. Perbuatan yang dilarang
2. Larangan dalam undang-undang
3. Ada ancaman bagi barang siapa yang
   melanggar
Perbuatan :
1. Kelakuan (handeling)
2. Akibat (gevolg)
Strafbaar Feit
•   Jonkers : ”De korte definitie luidt : een strafbaar feit is een feit,
    dat door de wet is strafbaar gesteld. Een langere en ook
    beteekenisvollere definitie is : een strafbaar feit is een feit met
    opzet of schuld in verband staande onrechtmatig
    (wederechtelijke) gedraging begaan door een toerekenisvatbaar
    persoon”
    (Defenisi singkat : Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan
    yang menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana. Defenisi
    panjang dan juga defenisi pengertian keseluruhan : Perbuatan
    pidana adalah suatu perbuatan dengan sengaja atau alpa yang
    dilakukan dengan melawan hukum oleh seseorang yang dapat
    dipertanggungjawabkan).
•   Pompe :”..... theoretische uiteenzettingen ..... strafbare feit
    definieren als de normovertreding, waaraan de overtreder schuld
    heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der
    rechtsorde en de behartiging van het algemeen welzijn..... Het
    strafbare feit ..... een gedraging zijn met drie algemene
    eigenschapen...... wederrechtelijk, aan schuld te wijten en
    strafbaar..... Volgens ons positieve recht is het strafbare feit niets
    aanders dan een feit, dat in een wettelijke bepaling las strafbaar is
    omschreven.....
    (..... gambaran teoretis ...... perbuatan pidana didefinisikan sebagai
    pelanggaran norma yang diadakan karena pelanggar bersalah dan
    harus dihukum untuk menegakkan aturan hukum dan
    menyelamatkan kesejahteraan umum......Perbuatan pidana .....
    suatu kelakuan       dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan.....
    melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat
    dipidana......Menurut hukum positif, perbuatan pidana tidak lain dari
    suatu perbuatan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
    suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhi hukuman......)
• Simons : Strafbaar feit“ omschrijven als eene strafbaar
  gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande
  handeling van een toerekeningsvat baar persoon.
  Perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman,
  bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang
  yang bersalah dan orang tersebut dianggap bertanggung
  jawab atas perbuatannya. Sedangkan
• van Bemmelen dan van Hattum : .....Strafbaar feit
  betekent feit terzake waarvan een persoon strafbaar
  is..... dat feit en persoon in het strafrecht onafscheidelijk
  zijn..... dat altijd een persoon slechts strafbaar kan zijn
  terzake van een feit, hetwelk hij zelf heeft begaan....
  ......Perbuatan      pidana    berarti    perbuatan     yang
  menyebabkan seseorang dapat dihukum..... perbuatan
  dan orang dalam hukum pidana tidaklah dapat
  dipisahkan.....seseorang hanya dapat dihukum karena
  sutau perbuatan yang ia sendiri lakukan.....
• Ch.J. Enschede : “een menselijke gedraging
  die     valt    binnen   de    grenzen      van
  delictsomschrijving, wederrechtelijk is en aan
  schuld te wijten”.
  Kelakuan manusia yang memenuhi rumusan
  delik, melawan hukum dan dapat dicela. (1)a
• Vos : “een menselijke gedraging, waarop door
  wet straf is gesteld”
  Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia
  yang oleh undang-undang pidana diberi
  hukuman.
Strafbaar Feit dan Perbuatan
        PidanaX (2)b
Strafbaar Feit TIDAK SAMA DENGAN
Perbuatan Pidana. Feit hanya diartikan
sebagai kelakuan semata sedangkan
Perbuatan diartikan sebagai kelakuan dan
akibat.   Strafbaar   Feit   memadukan
perbuatan pidana dan pertanggung
jawaban pidana, sedangkan perbuatan
pidana tidak mengandung pertanggung
jawaban pidana.
Elemen-Elemen Perbuatan
          Pidana 2(a)
•  D.Schaffmeister, N.Keijzer, E.P.H.
   Sutorius :
1. Memenuhi unsur delik
2. Melawan Hukum
3. Dapat dicela
• Moeljatno (3) b
1. Kelakuan dan akibat  Perbuatan
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai
   perbuatan
3. Keadaan tambahan yang memberatkan
   pidana
4. Obyektief onrechtselement
5. Subyektif onrechtselement
Sejarah Asas Legalitas
   Tujuan Hukum Pidana menurut Aliran Klasik 
    Melindungi anggota masyarakat dari tindakan yang
    sewenang-wenang
   Markies van Becaria  “Dei delitte edelle pene”
    Kasus Jean Calas te Toulouse terhadap anaknya
    Mauriac Antonie Calas
   Voltaire mengecam putusan tersebut  C.S.B.D.
    Montesquieu (1748) & J.J. Rosseau (1762) menuntut
    raja dibatasi dengan hukum tertulis.
   Article 8 Declaration des droits de L’homme et du
    citoyen (1789)  nul ne peut etre puni, qu’en vertu
    d’une loi etabile et promulguee, anterieurement au delit
    et legalement appliquee.
Anselm von Feuerbach Lehrbuch des peinlichen Recht
   Nulla poena sine lege;
   Nulla poena sine crimine;
   Nullum crimen sine poena legali
   Article 4 Code Penal Perancis oleh Napoleon
    Bonaparte 1801” “Nulle contravention, nul delit, nul
    crime, ne peuvent etre punis de peines, qui n’ etaient
    pas prononcees par la loi, avant qu’ils fussent commis”
   Pasal 1 WvS Belanda : Geen feit is strafbaar dan uit
    kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke
    strafbepaling
   Pasal 1 ayat (1) KUHP : “Tiada suatu perbuatan dapat
    dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
    perundang-undangan yang telah ada sebelum
    perbuatan dilakukan”
Principle Legality
   Machteld Boot  The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in
    Article 1 StGb (Eine tat kann nur bestraft werden, wenn die
    strafbarkeit geseztlich bestimmt war, bevor die Tat begangen
    wurde)      is generally considered to include four separate
    requirements. First, conduct can only be punished if the
    punishability as well as the accompanying penalty had been
    determined before the offence was committed ( nullum crimen,
    noela poena sine lege praevia ). Furthermore, these
    determinations have to be included in statutes (Gesetze) : nullum
    crimen, noela poena sine lege scripta . These statutes have
    to be definite (bestimmt) : nullum crimen, noela poena sine
    lege certa . Lastly, these statutes may not be applied by analogy
    which is reflected in the axiom nullum crimen, noela poena
    sine lege stricta .
    Moeljatno  Pertama , tidak ada perbuatan yang dilarang dan
     diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum
     dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua , Dalam
     menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
     analogi. Ketiga , aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
    Groenhuijsen  , makna asas legalitas (4) b
1.   Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu
     ketentuan pidana berlaku mundur.
2.   Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik
     yang sejelas-jelasnya.
3.   Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan
     pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
4.   Terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.
Schaffmeister, de Keijzer & Sutorius
  
• Tidak ada pidana kecuali berdasarkan
  ketentuan pidana menurut UU.
• Tidak boleh beranalogi
• Tidak ada pidana hanya kebiasaan
• Lex Certa
• Tidak berlaku surut = ex post facto, non
  retroaktif = lex praevia.
• Tidak ada pidana lain selain dalam UU
• Penuntutan pidana hanya menurut cara
  sesuai UU.
Fungsi Asas Legalitas :

1.   Instrumental (3) a
2.   Melindungi
     HARAP DIBEDAKAN DENGAN FUNGSI
     INSTRUMENT & FUNGSI MELINDUNGI DARI
     HUKUM PIDANA
    InstrumenDalam batas tertentu pelaksanaan
     kekuasaan pemerintah dibolehkan.
    MelindungiPelaksanaan kekuasaan tanpa
     batas terhadap rakyat oleh negara.
Perkembangan Asas Legalitas
1.   Titik berat pada individu  G.W.Paton Nulla Poena
     Sine Lege
2.   Titik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan
     Anslem von Feuerbach Generale Preventie
     psychologische zwang. (4) a
3.   Titik berat pada kedua unsur yang sangat penting yaitu
     agar orang menghindari perbuatan pidana dan
     pemerintah tidak sewenang-wenang van Der Donk
4.   Titik berat pada perlindungan hukum kepada negara
     dan masyrakat G.W.PatonNullum crimen sine
     poena legali a crime is a socially dangerous act of
     commission or ommission as prescribed in a criminal
     law.
Pembatasan Asas Legalitas
Pembatasan       asas     legalitas    atau
pembatasan terhadap asas lex termporis
delicti terdapat dalam Pasal 1 ayat (2)
KUHP Indonesia berbunyi, “Jika sesudah
perbuatan dilakukan ada perubahan
dalam      perundang-undangan,      dipakai
aturan yang paling ringan bagi terdakwa .”
Verandering in de Wetgeving
(Perubahan Perundang-Undangan)
1.   Formele leer  Simons perubahan hanya
     mencakup undang-undang pidana semata
2.   Beperkte materiil leer  van Geuns  perubahan di
     luar undang-undang pidana tetapi mempengaruhi
     secara tidak langsung undang-undang pidana. (5) a
3.   Onbeperkte materiil leer  perubahan di luar undang-
     undang pidana termasuk perubahan undang-undang
     yang hanya dimasudkan berlaku untuk sementara
     waktu  Tidak termausk Pasal 1 ayat (2) KUHP
Gunstigste bepalingen
(Aturan yang paling meringankan)
   Tidak hanya menyangkut sanksi pidana
    semata tetapi juga menyangkut penilaian
    keseluruhan terhadap suatu delik.
   Simons & Jonkers  tidak hanya
    menyangkut sanksi pidana semata tetapi
    juga menyangkut dapat – tidak dituntutnya
    suatu perbuatan.
Pembatasan Lex Termporis Delicti
      di Inggris & Swedia
   Inggris  Jika terjadi perubahan
    perundang-undangan, terdakwa diadili
    dengan menggunakan aturan hukum yang
    lama (6) a
   Swedia     Jika  terjadi  perubahan
    perundang-undangan, terdakwa diadili
    dengan menggunakan aturan hukum yang
    baru
Asas Teritorial
1.   Asas Teritorial = Hukum Pidana Indonesia berlaku bagi setiap
     orang yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia  Pasal 2
     KUHP
2.   Pengecualian atas asas teritorial dapat terhadap :
a.   Orang : (5) b
1)   Kepala Negara Par in parem in hebet in perium
2)   Duta Besar dan Konsul serta diplomat
3)   Petugas lembaga internasional
b.   Tempat
1)   Wilayah Kedutaan Besar
2)   Wilayah Angkatan Bersenjata
3)   Kapal berbendera negara asing (7) a
Perluasan Asas Teritorial
1.   Perluasan teknis
2.   Perluasan berdasarkan
     kewarganegaraan
3.   Perluasan berdasarkan prinsip proteksi
4.   Perluasan berdasarkan prinsip universal
Perluasan Teknis
1.   Perluasan teknis subyektif  Hukum Pidana
     Indonesia berlaku atas perbuatan yang mulai
     dilakukan di Indonesia tetapi berakhir atau
     menimbulkan akibat di wilayah negara lain
2.   Perluasan teknis obyektif  Hukum Pidana
     Indonesia berlaku atas perbuatan yang mulai
     dilakukan di negara lain tetapi berakhir atau
     menimbulkan akibat di Indonesia
Perluasan Berdasarkan
         kewarganegaraan
1.   Kewarganegaraan aktif = Asas Personal =
     Asas Nasional Aktif  Hukum Pidana
     Indonesia berlaku bagi WNI di mana pun
     berada  Pasal 5 ke-2 KUHP
2.   Kewarganegaraan pasif = Asas Nasional Pasif
      Hukum pidana Indonesia berlaku atas
     orang yang melakukan kejahatan di wilayah
     negara lain yang akibatnya menimpa WNI (8)a
Perluasan Berdasarkan Prinsip
          Proteksi
Hukum pidana Indonesia berlaku atas
perbuatan    pidana yang         melanggar
keamanan       dan      integritas    atau
kepentingan      vital   ekonomi      atau
kepentingan     lainnya    yang    hendak
dilindungi yang dilakukan di luar wilayah
Indonesia  Pasal 4 ke-1, ke-2 dan ke-3
KUHP
Perluasan Berdasarkan Prinsip
          Universal
Hukum pidana Indonesia berlaku atas
perbuatan    pidana yang      melanggar
kepentingan masyarakat internasional.
Perbuatan     tersebut   dikualifikasikan
sebagai kejahatan internasional atau
delicta jure gentium atau delit droit de
gens  Pasal 4 ke 4 KUHP (9) a
Ne Bis In Idem
 Ne bis in idem atau double jeopardy =
 seseorang tidak dapat dituntut lebih dari
 satu kali di depan pengadilan dengan
 perkara yang sama  untuk menjamin
 kepastian hukum, melindungi hak asasi
 manusia dan mejaga keluhuran martabat
 hakim.(6) b
Geen straf zonder schuld
     ‘Schuld’ mengandung 3 elemen :
1.   Kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat.
2.   Keadaan batin tertentu dari si pembuat yang dihubungkan dengan kejadian.
3.   Tidak dapat dipertanggungjawabkan suatu kejadian oleh si pembuat karena ada alasan
     penghapus pertanggungjawaban

    Pompe  ”..... dat geen straf wordt toegepast, tenzij er een wederrechtelijke schuld te wijten
     gedraging is. Daar in ons recht geen schuld bestaat zonder wederrechtelijkheid, kan men de
     kern der theorie dus kor formuleren als : geen starf zonder schuld”
     (..... tidak ada pidana yang diterapkan, kecuali suatu kelakuan yang melawan hukum dan
     kesalahan yang dapat dicela. Menurut hukum kita tidak ada kesalahan tanpa melawan hukum,
     teori ini kemudian diformulasikan sebagai : tiada pidana tanpa kesalahan)

    Schuld is niet te begrijpen zonder wederrechtelijkheid
     (Kesalahan        tidak     ada     artinya     tanpa    sifat     melawan       hukum)
Wederrechtelijk Leer
       (Ajaran Melawan Hukum)
     Ajaran Melawan Hukum meliputi :
1.   Wederrechtelijk element (unsur melawan
     hukum)
2.   Wederrechtelijk begrijp (pengertian
     melawan hukum)
3.   Wederrechtelijk heid (sifat melawan
     hukum)
Unsur Melawan Hukum
Pandangan Formil  Merupakan unsur delik apabila disebut secara tegas  Pompe
& Simons  “Wederrechtelijkheid is dus in het algemeen geen bestandeel van het
strafbare feit, tenzij uitdrukkelijk in de wettelijke omschrijving opgenomen”
(Melawan hukum bukanlah unsur umum dari perbuatan pidana keccuali jika
dinyatakan dengan tegas dalam rumusan delik)

Pandangan Materiil  Merupakan unsur mutlak (konstitutif) setiap perbuatan pidana
 Moeljatno & Vos (7) b

Pandangan tengah Merupakan unsur yang konstan dan permanen  Suringa 
“Opmerkelijk is, dat deze definities niet slechts de wederechtelijkheid als constant en
permanent element van ieder strafbaar feit noemen....., De wederechtelijkheid is
slechts daar, waar wet haar noemt elementen verder allen maar het kenmerk van
ieder delict …”
(Sifat melawan hukum adalah unsur konstan dan permanen selama disenut dalam
rumusan delik, jika tidak, melawan hukum hanya merupakan tanda dari suatu delik...)
Arti ‘recht’ dalam ‘wederrechtelijk’
(Pengertian Melawan Hukum)(8)b
     Dalam MvT= memorie van toelichting TIDAK DITEMUKAN apa
     arti recht dalam wederrechtelijk  Muncul beberapa pendapat :
1.   Recht = objectief recht  Simons
2.   Recht = subjectief recht  Noyon
3.   Recht = tanpa kekuasaan  Putusan HR 18 Januari 1911
4.   Recht = hukum tertulis & hukum tidak tertulis  Pompe, van
     Hattum, van Bemmelen & Moeljatno Wederrechtelijk betekent :
     in strijd met het recht, hetgeen ruimer is dan : in strij met de wet.
     Behalve wettelijke voorschriften komen hier ongeschreven
     regelen in aanmerking
     (Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum : Tidak
     hanya sebatas bertentangan dengan undang-undang tetapi juga
     bertentangan dengan aturan-aturan yang tidak tertulis)
Sifat Melawan Hukum
1. Generale Wederrechtelijkheid
2. Specilae Wederrechtelijkheid
3. Formal Wederrechtelijkheid
4. Matrial Wederrechtelijkheid
Generale Wederrechtelijkheid

Sifat melawan hukum umum  syarat umum dapat dipidananya suatu
perbuatan. Ajaran ini berasal dari Hukum Pidana Belanda yang menyatakan
perbuatan pidana adalah yang melawan hukum
Door een bepaald feit strafbaar te stellen geeft de wetgever uit den aard der
zaak te kennen dat hij het als wderechtelijk beschouwt of voorstaan als
zoodaning beschouwd wil zien.  Noyon & Langemeijer
(Dengan menyatakan sesuatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk
undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu
sebagai bersifat melawan hukum atau selanjutnya akan dipandang
demikian. Dpidananya sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak
ada artinya)
”..... een gedraging zijn met drie algemene eigenschapen : wederrechtelijk,
aan schuld te wijten en strafbaar...”  Pompe
(Perbuatan pidana ..... suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu
kesatuan..... melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat
dipidana)
Speciale Wederrechtelijkheid(10a)
Sifat melawan hukum khusus  Kata “melawan
hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan
demikian sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis
untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sebenarnya
penyebutan kata ”melawan hukum” secara eksplisit
dalam rumusan delik merujuk pada ilmu hukum Jerman
yang    diajarkan   sejumlah   pakar   antara    lain,
Zevenbergen dan pengikutnya di Belanda, Simon.
Menurut pandangan ini, melawan hukum hanya
merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan
tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Formal Wederrechtelijkheid
Sifat melawan hukum         formal  semua
bagian (unsur-unsur) dari rumusan delik telah
dipenuhi.
“...... Di samping lapangan formil, kita harus
meninjau pula lapangan materiil, sehingga dari
perpaduan antara dua segi ini, tertentulah isi
atau makna perbuatan pidana...... tinjauan dari
segi formil ini perlu, berhubung dengan asas
legalitet.....”  Moeljatno
Matrial Wederrechtelijkheid
   Sifat melawan hukum material secara garis besar dibagi
   atas :
1. Sifat melawan hukum material dilihat dari sudut
   perbuatannya  perbuatan yang melanggar atau
   membahayakan kepentingan hukum yang hendak
   dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam
   rumusan delik tertentu.
2. Sifat melawan hukum material dilihat dari sudut sumber
   hukumnya  bertentangan dengan hukum tidak tertulis
   atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas
   kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial
   dalam masyarakat
Sifat melawan hukum material
dilihat dari sudut sumber hukumnya
1. Sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang
   negatif  meskipun perbuatan memenuhi unsur delik
   tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan
   masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak dipidana.
2. Sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang
   positif  meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
   dalam peraturan perundang-undangan, namun jika
   perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
   sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
   kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
   tersebut dapat dipidana.
Pertanggung Jawaban Pidana
 Dipidananya seseorg tidaklah cukup apabila org
 telah melakukan perbuatan yang bertentangan
 dengan hukum atau melawan hukum. Untuk
 pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa
 orang    yang    melakukan     perbuatan    itu
 mempunyai kesalahan, dengan kata lain orang
 tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan
 atas perbuatannya.
 Dalam Hukum Pidana berlaku asas “Tiada
  Pidana tanpa kesalahan” (Geen straf zonder
  schuld/ Keine Strafe Ohne Schuld)
 Asas    Geen straf zonder schuld memp
  sejarahnya sendiri:
      Pertama    hukum pidana hanya melihat pada
       perbuatan dan akibatnya saja  Tatstrafrecht
      Perkembangan berikutnya mulai memperhatikan

       pada orangnya/ pembuat  Taterstrafrecht tanpa
       meninggalkan Tatstrafrecht.
      Hukum pidana pada saat ini berorientasi pada

       perbuatan, akibat dan pembuatnya/ orang  Tat-
       Taterstrafrecht / Daad-Daderstrafrecht
Beberapa Pendapat Tentang Kesalahan.
   Mezger : Keseluruhan syarat yang memberi
    dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap
    si pelaku.
   Simons     : Sebagai dasar untuk pertanggung
    jawaban dalam hukum pidana berupa keadaan
    psychis dari si pembuat dan hubungan dengan
    perbuatannya      dan    dalam    arti     bahwa
    berdasarkan keadaan psychis            (jiwa) itu
    perbuatannya dapat dicelakan kepada si
    pelaku.
   Van Hamel: Kesalahan dalam suatu delik
    adalah pengertian psychologis. Hubungan
    antara keadaa jiwa si pelaku dan terwujudnya
    unsur-unsur delik karena perbtn-nya.
   Van Hattum: Pengertian kesalahan yang paling
    luas memuat semua unsur yang mana
    seseorang dipertanggungjawabkan menurut
    hukum pidana terhadap perbuatan yang
    melawan hukum, meliputi semua hal, yg bersifat
    psychis yang terdapat dalam keseluruhan
    berupa strafbaarfeit termasuk si pelaku.
   Pompe : Tidak merumuskan kesalahan, tetapi
    menjelaskan bahwa pada pelanggaran norma
    yang dilakukan karena kesalahannya, melawan
    hukum merupakan hal yang tampak keluar,
    sedangkan yang ada di dalam adalah kesalahan
    berupa kehendak dari si pembuat.
Apa yang terkandung dalam kesalahan ?
 Vos :
     Kemampuan    bertanggungjawab
     Hubungan batin pelaku terhadap perbuatan dalam
      bentuk kesengajaan atau kealpaan;
     Tidak    terdapat    alasan    yang menghapus
      pertanggujngjawaban pelaku
   Mezger :
     Kemampuan   bertanggungjawab;
     Adanya bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan
      atau kealpaan;
     Tak ada alasan penghapus kesalahan.
   Pompe :
     Menambah   adanya unsur pencelaan
Masalah    kesalahan   dapat   –   tidaknya  pelaku
dipertanggungjawabkan berhubungan dengan kebebasan
kehendak
   Aliran indeterminis (penganut indeterminisme): manusia mempunyai
    kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala keputusan
    kehendak; tanpa ada kebebasan kehendak, maka tidak ada kesalahan;
    jika tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan sehigga tidak ada
    pemidanaan.

   Aliran determinis (penganut determinisme): manusia tidak mempunyai
    kehendak bebas. Keputusan berbuat sesuatu di dasarkan pada watak /
    nafsu yang datang dari luar. Namun meskipun tidak mempunyai
    kehendak bebas, tidak berarti orang yang melakukan perbuatan pidana
    tidak dapat dipertanggungjawabkan.      Justru karena tidak adanya
    kehendak bebas maka ada pertanggungjawaban dari seseorg atas
    perbuatannya, hanya saja reaksi terhadap pperbuatan berupa tindakan
    untuk ketertiban, dan bukannya pidana dalam arti “penderitaan sabagai
    buah hasil dari kesalahan pelaku”

   Adanya kesalahan tidak perlu dihubungkan dengan ada / tidak adanya
    kehendak bebas. Hubungan itu tidak relevan.
Kemampuan Bertanggungjawab
    Dalam KUHP tidak ada satu pasal pun yang
    memberi pengertian mengenai kemampuan
    bertanggungjawab.
   Pasal 44
       Barang siapa melakukan perbuatan yang
        tidak       dapat      dipertanggungjawabkan
        kepadanya, karena jiwanya cacat dalam
        tumbuhnya atau terganggu jiwanya karena
        penyakit, tidak dipidana.
              Perlu konstatasi    keadaan jiwa cacat/ tadak dapt
               dipertanggungjawabkan oleh psychiater;
              Perlu ada hubungan kausal antara perbuatan dengan
               keadaan jiwa cacat  ditetapkan oleh hakim.
Mampu Bertanggungjawab
        Van Hamel:
    1.      Bahwa orang mampu menginsyafi arti perbuatannya (makna dan
            akibatnya).
    2.      Orang mampu menginsyafi perbuatannya bertentangan dengan
            ketertiban masyarakat.
    3.      Bahwa orang mampu menentukan kehendaknya terhadap
            perbuatannya itu.
        Simons :
    1.      Orang mampu menginsyafi perbuatannya yang bersifat melawan
            hukum.
    2.      Sesuai dengan penginsyafan itu dapat menentukan kehendaknya.
        MvT (menentukan secar negatif):
         Tidak mampu bertanggungjawab adalah :
    1.      Dalam hal orang tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat atau
            tadak berbuat apa yg oleh undang-undang dilarang atau
            diperintahkan.
    2.      Dalam hal orang ada dalam keadaan tertentu sehingga tidak dapat
            menginsyafi perbuatannya bertentangan dengan hukum, dan tidak
            mengerti akibat perbuatannya.
Metode Menentukan Tidak Mampu Bertanggung Jawab

1.   Metode biologis  jika psichiater telah
     menyatakan seseorang sakit jiwa, maka ia
     tidak dapat dipidana.
2.   Metode phisikologis  menunjukkan hubungan
       antara keadaan jiwa yang abnormal dengan
     perbuatannya. Metode ini mementingkan akibat
     jiwa terhadap perbuatannya sehingga dapat
     dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan
     tidak dapat dipidana.
3.   Metode biologis-phisikologis  di samping
     memperhatikan keadaan jiwanya, kemudian
     keadaan      jiwa    ini dipernilai  dengan
     perbuatannya untuk dinyatakan tidak mampu
     bertanggungjawab.
Tidak mampu bertanggung jawab sebagian
   Ada penyakit jiwa yang tidak dapat
    dipertanggungjawabkan untuk sebagian;
     Chleptomania   penyakit jiwa yang berwujud
      dorongan yang kuat dan tak tertahan untuk
      mengambil barang milik orang lain
     Pyromania  penyakit jiwa berupa kesukaan
      membakar sesuatu tanpa alasan;
     Clausthropobie  penyakit jiwa berupa
      ketakutan berada di ruang yang sempit;
     Waham Kebesaran  penyakit jiwa merasa
      dirinya sebagai orang yang besar atau
      mempunyai kedudukan tinggi
Keragu-raguan menentukan mampu
bertanggung jawab

Ada dua Pendapat:
 Terdakwa tetap dipidana .
     Kemampuan     bertanggungjawab harus selalu
      dianggap ada pada setiap orang, kecuali
      terbukti sebaliknya (pendirian Pompe)
   Terdakwa tidak dipidana
     Dalam  hal ada keragu-raguan,harus diambil
      keputusan yang menguntungkan terdakwa
      (asas in dubio proreo).
Kesengajaan dan Kealpaan

   Unsur kedua dari kesalahan adalah
    hubungan batin antara si pembuat
    terhadap perbuatan yang dapat berupa
    sengaja atau alpa.
Kesengajaan
 Apa yg dimaksud dengan sengaja KUHP
  tidak memberi definisi. MvT mengartikan
  kesengajaan sebagai “menghendaki dan
  mengetahui” (willens en wetens)
 Berhubungan    dengan keadaan batin
  orang yang berbuat dengan sengaja berisi
  menghendaki dan mengetahui itu, dalam
  ilmu pengatahuan. timbul dua teori:
1.   Teori Kehendak     (wilstheorie) kesengajaan adalah
     kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam
     rumusan undang-undang
2.   Teori Pengetahuan/ membayangkan (voorstellings-
     theorie). Sengaja berarti membayangkan akan
     menimbulkan akibat dari perbutannya; orang tidak bisa
     menghendaki akibat, melainkan hanya dapat
     membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada
     apa yg dibayangkan oleh pelaku.

     Terhadap perbuatan yang dilakukan pelaku kedua
     teori ini tidak ada perbedaan, keduanya mengakui
     bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk
     berbuat.
Corak kesengajaan.


1.   Maksud  Orang menghendaki perbuatan beserta
     akibatnya. Contoh : menempeleng seseorang agar
     orang itu sakit sehingga tidak berbohong.
2.   Kepastian  perbuatan mempunyai 2 akibat yaitu akibat
     yang memang dituju oleh si pembuat dan akibat yang
     tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan
     untuk mencapai tujuan. Contoh: kasus Thomas
     Alexander Keith mengirim barang melalui kapal dari
     Bremerhaven ke New York yang dipasang Bom
     Waktu dengan harapan memperoleh asuransi.
3.   Kemungkinan  dalam hal ada keadaan tertentu yang
     semula mungkin akan terjadi, kemudian ternyata
     benar-benar terjadi. Contoh : mengirim kue taart yang
     diberi racun, tetapi yang memakan bukan orang yang
     dituju.
Kesengajaan yang diobjektifkan

   Dalam keadaan konkrit sangat sulit bagi hakim untuk
    menentukan sikap batin terdakwa berupa kesengajaan
    atau kealpaan ada pada pelaku. Jika orang
    menerangkan dengan jujur sikap batinnya, maka tidak
    akan menemui kesulitan, tetapi jika terdakwa tidak jujur,
    maka sikap batinnya harus disimpulkan dari keadaan
    lahir yang tampak dari luar. Jadi dalam banyak hal hakim
    harus mengobjektifkan adanya kesengajaan itu.
    Contoh: menembakkan pistol dalam jarak 2 meter. Tidak
    mungkin penembak menyatakan hanya ingin melukai .
    Di sini perbuatan diobjektifkan berupa kesengajaan
    untuk membunuh.
Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan tidak berwarna
(kleurloos).
Persoalan:
 Apakah untuk adanya kesengajaan itu si pembuat harus menyadari
   bahwa perbuatannya itu bersifat melawan hukum ?
 Mengenai hal ini ada dua pendapat:

1. Sifat kesengajaan itu berwarna : adanya kesengajaan diperlukan
   syarat bahwa pelaku menyadari perbuatannya itu dilarang
   kesengajaan senantiasa berhubungan dengan dolus malus (dalam
   kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan
   hukumnya perbuatan)
2. Tidak berwarna : adanya kesengajaan cukup bahwa pelaku
   menghendaki perbuatan itu. Di sini tidak diperlukan apakah ia tahu
   bahwa perbuatan itu dilarang.
Jenis kesengajaan
   Dolus generalis  kesengajaan yang ditujukan kepada orang
    banyak.
   Dolus indirectus melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi
    muncul akibat lain yang tidak dikehendaki.
   Dolus determinatus  kesengajaan yang ditujukan pada tujuan
    tertentu.
   Dolus indeterminatus  kesengajaan yang ditujukan kepada
    sembarang orang
   Dolus alternativus  kesengajaan yang dilakukan seseorang
    dengan menghendaki akibat yang muncul adalah salah satu dari
    beberapa kemungkinan.
   Dolus premiditatus  kesengajaan yang telah dipertimbangkan
    dengan sungguh-sungguh.
   Dolus repentinus  kesengajaan dengan sekonyong-konyong.
Dwaling
     Suatu kesengajaan dapat terjadi karena salah faham atau
     kekeliruan (melakukan perbuatan pidana dengan sengaja karena
     kekeliruan). Bentuk dari kekeliruan ini ada beberapa macam:

1.   Feitelijke dwaling : Suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak
     sengaja yang tertuju pada salah satu unsur perbuatan pidana.
     Lihat Pasal 406 KUHP.
2.   Rechts dwaling : Melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan
     hal itu tidak dilarang oleh undang-undang. Dibedakan menjadi
     kekeliruan yang dapat dimengerti dan kekeliruan yang tidak dapat
     dimengerti
3.   Eror in persona : kekeliruan mengenai orang yang hendak
     menjadi tujuan dari perbuatan pidana.
4.   Eror in objecto : kekeliruan mengenai objek yang hendak menjadi
     tujuan dari perbuatan pidana.
5.   Aberratio actus : Kekeliruan yang timbul disebabkan karena
     berbagai sebab, sehingga akibat yang timbul berbeda/ berlainan
     dari yang dikehendaki
Kealpaan
   Di samping sikap batin berupa kesengajaan ada pula
    sikap batin yang berupa kealpaan.
   Akibat ini timbul karena seseorang alpa, sembrono,
    teledor, berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-
    duga.
   Perbedaannya dengan kesengajaan ialah bahwa
    ancaman pidana pada delik-delik kesengajaan lebih
    berat.
   Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih
    ringan dari pada kesengajaan, tetapi bukan kesengajaan
    yang ringan.
 Apakah    alasan    pembentuk     Undang-undang
 mengancam pidana perbuatan yang mengandung
 unsur kealpaan di samping unsur kesengajaan ?

  Menurut M.v.T. adalah sebagai berikut :
 "ada keadaan, yang sedemikian membahayakan
  keamanan orang atau barang, atau mendatangkan
  kerugian terhadap seseorang yang sedemikian
  besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga
  Undang-undang juga bertindak terhadap kekurangan
  penghati-hati, sikap sembrono (teledor).
Pengertian Kealpaan.
Hazewinkel Suringa
 IImu pengetahuan hukumk dan jurisprudensi mengartikan 'schuld' (kealpaan), sebagai :
    1.   kekurangan penduga-duga atau
    2.   kekurangan penghati-hati.

Van Hamel
 Kealpaan mengandung dua syarat :
    1. tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum  pelaku berpikir
         bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal ternyata salah (bewuste culpa)
         ATAU pelaku sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul
         karena perbuatannya (onbewuste culpa)
    2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Simons :
Pada umumnya "schuld" (kealpaan) mempunyai dua unsur :
    1.   tidak adanya penghati-hati.
    2.   dapat diduganya akibat.

Pompe :
 Ada 3 macam yang masuk kealpaan (onachtzaamheid) :
    1.   dapat mengirakan (kunnen verwachten) timbulnya akibat.
    2.   mengetahui adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid).
    3.   dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid).
Cara Menentukan Kealpaan
 1.   Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau
      psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang
      sesungguhnya, maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat
      dengan mengambil ukuran sikap batin orang pada umumnya apabila ada dalam situasi
      yang sama dengan pelaku.
 2.   "Orang pada umumnya" ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling
      hati-hati, paling ahli dan sebagainya. Ia harus orang biasa/ seorang ahli biasa. Untuk
      adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi harus ada
      culpa lata dan bukannya culpa levis (kealpaan yang sangat ringan).
 3.   Untuk menentukan kekurangan penghati-hati dari pelaku dapat digunakan ukuran apakah
      ia "ada kewajiban untuk berbuat lain".
 4.   Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan Undang-undang atau dari luar Undang-
      undang, ialah dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang seharusnya
      dilakukan olehnya. Kalau ia tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, maka hal
      tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa ia alpa. Undang-undang
      mewajibkan seorang untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.
      Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan bahwa "di persimpangan jalan,
      apabila datangnya bersamaan waktu, maka kendaraan dari kiri harus didahulukan".
Hubungan Sebab – Akibat
    De leer van de causaliteit Sangat penting
     untuk delik materiil dalam menentukan
     pertanggungjawaban :
1.   Teori Mutlak  Conditio Sine Quanon  von
     Buri  Setiap perbuatan adalah sebab dari
     akibat yang timbul dan setiap sebab
     mempunyai nilai yang sama.
2.   Teori Traeger  Hanya mencari satu saja dari
     sekian banyak sebab yaitu perbuatan
     manakah yang menimbulkan akibat yang
     dilarang.
Teori Traeger
1.   Teori Generalisasi  Melihat sebab in
     abstracto. Menurut perhitungan yang
     layak, yang akan menimbulkan akibat.
2.   Teori Individualisir  Melihat sebab in
     concreto (post factum). Hal yang khusus
     diukur menurut pandangan individuil
Teori Generalisir
     Teori Adequat  von Kries  Perbuatan
     harus seimbang dengan akibat yang timbul :
1.   Teori subjektif  von Kries  Keadaan yang
     harus diketahui oleh pelaku.
2.   Teori objektif  Rumelin  Keadaan yang
     diketahui oleh umum
3.   Teori Gabungan  Simons  Kedaan yang
     diketahui oleh pelaku dan diketahui oleh umum
Teori Individualisir
1.   Teori Binding  Syarat negatif  mencegah
     timbulnya suatu akibat dan syarat positif 
     benar-benar menentukan suatu akibat.
2.   Teori Birckmayer  Dipilih faktor mana yang
     paling menentukan. Sebab adalah syarat yang
     paling kuat.
3.   Teori Kohler  Dipilih yang paling memberi
     ketentuan bagi timbulnya sesuatu.
Percobaan
   Artikel 53 WvS : “ Poging tot misdrijf is strafbaar
    wanner voornemen des daders zich door en
    begin van uitvoering heeft geopenbaard en de
    uitvoering aleen tengevolge van
    omstandigheden van zijnen wil onafhankelijk
    niet is voltooid.”
   Pasal 53 KUHP : “Percobaan melakukan
    kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah nyata
    dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak
    selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata
    disebabkan kehendaknya sendiri”
Unsur-Unsur Percobaan
  Dalam Rumusan Delik
1. Voornemen = Niat
2. Begin van uitvoering = Permulaan
   pelaksanaan
  Di Luar Rumusan Delik
Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum
Delic Manque & Delic Tentative
Catatan :
     Tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-
     mata disebabkan kehendaknya sendiri 
     BUKAN      UNSUR      PECOBAAN     TETAPI
     ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN
Niat
    Niat atau Voornemen :
1.   Subjektif  sikap batin memberi arah tertentu kepada
     perbuatan
2.   Objektif  sikap batin dilihat oleh orang lain dengan
     adanya perbuatan yang merupakan pelaksanaan
     terhadap niat dan nyata-nyata ditujukan untuk
     melakukan perbuatan yang diniati
     Simons, van Hamel, van Hattum, Jonkers & Suringa 
     Niat = kesengajaan
     Moeljatno  Niat tidak dapat disamakan dengan
     kesengajaan tetapi bisa berubah menjadi kesengajaan
     bila sudah ada perbuatan yang dituju. Jika niat belum
     berubah menjadi suatu perbuatan  Subjectief
     onrecthselement.
Permulaan Pelaksanaan
    Syarat Permulaan Pelaksanaan (Begin
     van uitvoering) :
1.   Secara subjektif  niat tidak boleh
     diragukan lagi menuju delik yang
     dimaksud.
2.   Secara objektif  perbuatan harus
     mengandung potensi mendekati delik
     yang dituju.
Beberapa Catatan Tentang
Percobaan
   Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
    dalam hal percobaan dapat dikurangi sepertiga.
   Jika kejahatan diancam dengan pidana mati
    atau pidana seumur hidup, dijatuhkan pidana
    penjara paling lama lima belas tahun.
   Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama
    dengan kejahatan selesai.
   Mencoba melakukan pelanggaran tidak dpidana.
Makar
   Artikel 87 WvS : “Aanslag tot een feit bestaat,
    zoodra het voornemen des daders zich door een
    begin van uitvoering in den zin van artikel 53,
    heeft geopenbaard”
   Pasal 87 KUHP : “ Makar untuk melakukan
    suatu perbuatan jika niat pelaku telah nyata dari
    adanya permulaan pelaksanaan seperti yang
    dimasud dalam Pasal 53.”
Kejahatan Makar
    Kejahatan terhadap kemanan negara 
     Misdrijven tegen de veligheid den staat
    Usur Makar
1.   Niat atau voornemen.
2.   Permulaan pelaksanaan atau begin van
     uitvoering.
    Objek Makar
1.   Presiden dan atau wakil presiden
2.   Kedaulatan negara
3.   Pemerintah
Pasal-Pasal Makar
1.   Pasal 104  Membunuh presiden dan atau wakil
     presiden, merampas kemerdekaan atau menjadikannya
     tidak cakap memerintah.
2.   Pasal 106  Menaklukan sebagian atau seluruh daerah
     negara kepada pemerintah negara asing atau
     memisahkan sebagian dari daerah negara untuk
     dijadikan negara sendiri.
3.   Pasal 107  Omwenteling  Menggulingkan
     pemerintahan yang sah.
4.   Pasal 108  Melawan dengan senjata kepada
     pemerintahan yang sah.
5.   Pasal 110  Samenspaning  Permufakatan jahat
     untuk melakukan makar.
Penambahan Pasal-Pasal
Makar
    Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 
     Menghapus Undang-Undang Subversi
    Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 
     Menambah 6 ketentuan baru dalam Pasal 107
     KUHP sehingga menjadi :
1.   Pasal 107 a  Larangan menyebarkan atau
     mengembangkan                      ajaran
     Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala
     bentuk dan perwujudannya.
2.   Pasal 107 b  Berusaha menggantikan
     Pancasila sebagai dasar negara yang
     berakibat timbulnya kerusuhan.
3.   Pasal     107    c        Menyebarluaskan    atau
     mengembangkan        Komunisme/Marxisme-Leninisme
     sehingga timbul kerusuhan.
4.   Pasal     107    d        Menyebarluaskan    atau
     mengembangkan        Komunisme/Marxisme-Leninisme
     dengan maksud menggantikan Pancasila sebagai
     dasar negara.
5.   Pasal 107 e  Mendirikan organisasi yang menganut
     Komunisme/Marxisme-Leninisme dan mengadakan
     hubungan atau memberi bantuan kepada organisasi
     yang menganut Komunisme/Marxisme-Leninisme.
6.   Pasal 107 f  Merusak, menghancurkan atau
     memusnahkan instalasi negara atau militer serta
     menggagalkan distribusi bahan pokok yang menguasai
     hajat hidup orang banyak.
Peristiwa Cikini 1957
   30 November 1957 di Sekolah Rakyat Cikini Jakarta, Jusuf Ismail,
    Sa’adon, Tasrif dan Tasin berusaha membunuh Presiden dengan
    melemparkan granat tangan ke arah Bung Karno yang menghadiri
    acara bazar di sekolah tersebut.
   Terdakwa 1,2 dan 3 menurut Pengadilan Tinggi Tentara, Jakarta,
    terbukti melanggar Pasal 104, Pasal 107 dan UU Nomor 12 tahun
    1951  “ Makar dengan maksud membunuh presiden, untuk
    menggulingkan pemerintah dilakukan dengan permufakatan jahat”.
   Putusan Majelis sama dengan requisitor Jaksa Penuntut Umum
    terhadap terdakwa 1, 2, dan 3 dipidana mati. Sedangkan terdakwa
    ke-4 menurut majelis terbukti melanggar Pasal 110 ayat (2) sub.3
    KUHP jo. Pasal 104, Pasal 107 KUHP tentang permufakatan jahat.
    Terdakwa ke-4 dijatuhi pidana 20 tahun.
Contoh Kasus
A.   A, dan B yang sedang bersepeda santai
     di Bunderan UGM tiba-tiba diserang dan
     dianiaya oleh C, D, E dan F. Kemudian
     datang X dan Y mengambil sepeda A
     dan B dengan maksud agar A & B tidak
     melarikan diri. C, D, E , F, X dan Y
     kemudian diproses secara hukum.
    Pasal apakah yang dapat digunakan
     untuk menjerat mereka ?
B.   A adalah pembantu rumah tangga dari
     Keluarga B. Setelah larut malam sekitar pukul
     1 dini hari Si A bangun dan sengaja membuka
     pintu dapur untuk memudahkan C dan D yang
     hendak mencuri di rumah Keluarga B. Sekitar
     jam 2 dini hari, C dan D melakukan aksinya
     dengan mencuri barang-barang berharga.
1.   Pasal apakah yang digunakan untuk menjerat
     si A ?
2.   Bagimanakan dakwaan jaksa penuntut umum
     terhadap C dan D untuk menyatukan unsur
     subjektif dan objektif turut serta melakukan ?
C.   Si A meminta kepada temannya B yang
     mengalami gangguan saraf untuk mencuri
     sepeda motor si C dengan diiming-imingi
     sejumlah uang. Perbuatan tersebut dilakukan
     oleh si B.
1.   Dalam delik penyertaan, apakah kualifikasi
     bagi si A dan apakah kualifikasi bagi si B ?
2.   Dapatkah si B yang ternyata menderita
     gangguan saraf permanen dimintai
     pertanggungjawaban pidana ? Jika ya apa
     alasannya dan jika tidak alasan penghapus
     pidana apakah yang lebih tepat bagi si B ?
3.   Dapatkah si A dimintai pertanggungjawaban
     pidana ?
D.   Komandan Detasemen 88 memerintahkan A dan B
     (gegana) untuk mengejar teroris yang berboncengan.
     Instruksi Komandan berdasarkan perintah undang-
     undang jika ada perlawanan, maka lakukan tembak di
     tempat. A yang mengendarai sepeda motor
     membonceng B dengan senapan yang siap
     ditembakkan dan terpaksa menembak kedua teroris
     yang melakukan perlawanan. Keluarga korban (teroris)
     memproses secara hukum.
1.   Dalam delik penyertaan, apakah kualifikasi          bagi
     Komandan, kualifikasi bagi si A dan kualifikasi bagi si B
     ?
2.   Dapatkah si B dimintai pertanggungjawaban pidana ?
     Jika ya apa alasannya dan jika tidak alasan penghapus
     pidana apakah yang lebih tepat bagi si B ?
3.   Dapatkah      Komandan      dan     si     A     dimintai
     pertanggungjawaban pidana ?
Penyertaan
     Penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana 
      Deelneming aan strafbaar feiten
     Artikel/Pasal 55  Als daders van een strafbaar feit
      worden gestraft  Golongan Pembuat (Dader)
1.    Plegen  Pelaku (pelaku di sini tidak sendirian tetapi
      dengan pelaku lain)
2.    Doenplegen  Menyuruh lakukan
3.    Medeplegen  Turut serta melakukan : Berpedoman
      secara subjektif dan objektif.
Catatan :
      Moeljatno tidak menggunakan istilah doenplegen tetapi
      uitlokken    yang   berarti    menganjurkan     atau
      menggerakan. Orang yang menganjurkan atau
      menggerakan disebut uitlokker.
    Artikel/Pasal 56  Als medeplichtigen aan een misdrijf worden
     gestraft  Golongan Pembantu (medeplichtige) :
1.   Memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan
2.   Memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
     kejahatan

    Pasal 57 :
1.   Dalam hal pembantuan maksimal pidana pokok terhadap
     kejahatan dikurangi sepertiga.
2.   Jika diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
     hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3.   Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya
     sendiri.
4.   Dalam hal menentukan pidana bagi pembantu, yang
     diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau
     diperlancar olehnya beserta akibat-akibatnya.
Hubungan Penyertaan Dan Alasan
Penghapus Pidana
   Jika seorang pelaku peserta tidak
    dipidana karena alasan pembenar, maka
    sudah pasti semua pelaku peserta lainnya
    tidak dapat juga dipidana.

   Jika seorang pelaku peserta tidak
    dipidana karena alasan pemaaf, maka
    belum tentu pelaku peserta lainnya tidak
    dapat juga dipidana.
Kasus Menteri Kehakiman RI
    Menteri kehakiman RI pada tahun 1954 bersama dua orang
    temannya se partai memberikan izin tinggal kepada warga negara
    asing keturunan Cina untuk tetap tinggal di Indonesia, padahal
    orang tersebut telah di- persona non grata. Kedua temannya
    separtai telah menerim suap dari seorang Cina sementara sang
    menteri tidak menikmati uang suap tersebut. Dapatkah Mneteri
    tersebut dimintai pertanggung jawaban secara pidana ?
   Van Hattum  Pandangan Penyertaan Restriktif  Setiap peserta
    dalam pelaku peserta harus melakukan perbuatan yang sama
   Pompe, Langemejer, Moeljatno  Pandangan Penyertaan
    Ekstensif  Para peserta bentuk peyertaan turut serta melakukan
    tidak perlu melakukan perbuatan yang sama dan tidak perlu
    punya sifat pribadi yang sama dengan pelaku (dader) tersebut
    rumusan delik
   Putusan MA dalam Forum Prevelegiatum 23 Desember 1955
    No.1/1955/MA Pid. Menjatuhkan pidana penjara 6 bulan  Pasal
    418 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Baca Pasal 1 ayat (2) KUHP
1.   A memalsukan surat pada Desember 2008 dengan ancaman
     pidana 3 tahun penjara. Januari 2009 terdapat aturan baru yang
     menyatakan memalsukan surat dikenai pidana 2 tahun penjara. A
     diadili Februari 2009. Aturan mana yang digunakan ?
2.   B mengeluarkan cek kosong pada Juli 2008 dan diancam pidana
     1 tahun penjara. September 2008 ada undang-undang baru yang
     menyatakan bahwa mengeluarkan cek kosong bukan perbuatan
     pidana. B diadili pada Oktober 2008. Dapatkah B dijatuhi
     pidana ?
3.   C mencemarkan nama baik D April 2008 diancam pidana 6 bulan
     kurungan. Jangka waktu pengaduan terhadap delik pencemaran
     nama baik adalah 6 bulan. Pada Agustus 2008 ada undang-
     undang baru yang menyatakan bahwa jangka waktu pengaduan
     terhadap delik pencemaran nama baik adalah 3 bulan dengan
     ancaman pidana 5 bulan. D mengadukan C ke Polisi pada bulan
     September 2008. Dapatkah C diproses oleh Polisi ?
4.   E,    seorang      pemilik   tempat  prostitusi  resmi
     memperkejakan F, wanita berusia 17 tahun sebagai
     PSK pada November 2008.Perbuatan E diancam
     pidana 5 tahun penjara karena memperkerjakan anak di
     bawa umur sebagai PSK. Pada Desember 2008 ada
     undang-undang baru yang menyatakan anak di bawah
     umur adalah di bawah 15 tahun. Januari 2009 E diadili
     oleh PN Yogya. Dapat E dipidana ?
5.   Pada waktu Aceh dinyatakan keadaan darurat militer, G
     membawa masuk – keluar sembako tanpa izin
     penguasa darurat militer dan tindakan G diancam
     pidana 2 tahun penjara. Pada waktu G diadili, keadaan
     darurat militer telah dicabut dan membawa masuk – ke
     luar sembako tanpa izin dalam keadaan normal bukan
     merupakan perbuatan pidana. Dapatkah G dijatuhi
     pidana ?
1.   Seorang WN Italia menjambret sebuah tas milik WN India di
     Malioboro Mall, Yogyakarta. WN Italia tersebut diadili dengan
     menggunakan hukum mana ?
2.   Seorang WNI berada di Nunukan, Kalimantan Timur menembak
     seorang WN Singapura yang sedang berada di wilayah teritorial
     Malaysia.WNI tersebut diadili dengan meggunakan hukum mana?
3.   WN Indonesia menganiaya seorang WN Maroko di Kedutaan
     Besar Jerman di Jakarta. WN Indonesia tersebut diadili dengan
     menggunakan hukum mana ?
4.   Kapal berbendera Mongolia sedang berada di dermaga Tanjung
     Perak Surabaya. Di atas kapal tersebut terjadi pemerkosaan
     seorang wanita Jepang oleh WN Indonesia. WN Indonesia diadili
     dengan menggunakan hukum mana ?
5.   Di atas laut bebas dalam pesawat terbang KLM, terjadi
     pembunuhan WN Indonesia terhadap WN Amerika. WN
     Indonesia tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ?
6.   KRI Dewaruci sedang rapat di dermaga Montevideo. Di atas
     kapal tersebut terjadi penganiayaan WN Afganistan terhadap WN
     Kenya. WN Afganistan tersebut diadili dengan menggunakan
     hukum mana ?
7.    Pesawat Garuda terbang di atas Buenos Aires. Dalam pesawat tersebut,
      seorang WN Somalia mencuri dompet milik WN Indonesia. WN Somalia
      tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ?
8.    WN Inggris menghamili seorang wanita berkebangsaan Indonesia. Kedua
      pasangan tersebut kemudian berpergian ke Stotcholm dan
      menggugurkan kandungan di sana karena di Swedia, aborsi bukan
      merupakan perbuatan pidana. Setelah aborsi mereka berdua kembali ke
      Indonesia. Karena ketahuan melakukan aborsi di Stotcholm, mereka
      dilaporkan ke polisi. Mereka berdua diadili dengan menggunakan hukum
      mana ?
9.    WN Philipina bersama beberapa WN Venezuela mengedarkan uang
      palsu Rupiah di Caracas dalam penjualan minyak bumi di sana. Hukum
      mana yang digunakan untuk mengadili mereka ?
10.   Presiden RI berkunjung ke Kedutaan Israel yang berada di Bucares.
      Seoarang penembak jitu berkebangsaan Iran berada di gedung Kedutaan
      Cuba dan menembak Presiden RI dari sana. Hukum mana yang akan
      dipakai untuk mengadili WN Iran tersebut ? Indonesia tidak mempunyai
      hubungan diplomatik dengan Israel. Iran tidak punya hubungan
      diplomatik dengan Cuba.
11.   Presiden RI berada di Kedutaan Besar Chili di Kopenhagen. Dengan
      menggunakan pistol pengawal kepresidenan, Presiden RI menembak
      seorang WN Mesir yang hendak menyerangnya. Presiden RI diadili
      dengan menggunakan hukum mana ?
12.   Beberapa WN Laos melakukan penyelundupan heroin kepada temannya
      WN Kamboja di kedutaan besar Thailand di Jakarta. Para WN Laos
      tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ?
Hak Menuntut Gugur Karena
Daluwarsa
1.   Semua pelanggaran & kejahatan percetakan  1
     tahun
2.   Kejahatan yang hanya diancam denda, kurungan atau
     penjara yang tidak lebih dari 3 tahun  6 tahun
3.   Kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3
     tahun  12 tahun
4.   Kejahatan yang diancam pidana seumur hidup atau
     pidana mati  18 tahun
5.   Jika si Pelaku pada saat melakukan perbuatan itu
     belum cukup 18 tahun dikurangi sehingga menjadi 1/3.
Kapan Waktu Gugurnya
Penuntutan ?
    Waktu gugurnya penuntutan mulai dihitung sejak
     keesokan harinya setelah perbuatan dilakukan,
     kecuali :
1.   Perkara memalsu atau merusak uang  sejak
     keesokan harinya setelah orang memakai benda atau
     uang yang dipalsukan
2.   Perakara dalam Pasal 328, 329, 330 & 333  sejak
     keesokan harinya setelah orang dilepaskan atau
     setelah matinya orang akibat perbuatan itu.
Khusus Delik Aduan
1.   Pengaduan hanya dapat dilakukan dalam waktu 6 bulan
     sesudah orang yang berhak mengadu mengetahui
     perbuatan yang dilakukan itu dan bediam di Indonesia.
2.   Pengaduan hanya dapat dilakukan dalam waktu 9 bulan
     sesudah orang yang berhak mengadu mengetahui
     perbuatan yang dilakukan itu dan bediam di luar
     Indonesia.
3.   Pengaduan boleh dicabut hanya dalam waktu 3 bulan
     setelah    yang    berhak    mengadu     memasukkan
     pengaduan tersebut.
4.   Pengaduan bisa dipisah
Perizinahan (Pasal 284 KUHP)
1.   Laki-laki beristri berbuat zina sedang diketahuinya
     bahwa Pasal 27 KUHPerdata berlaku padanya.
2.   Perempuan bersuami berbuat zina.
3.   Laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu sedang
     diketahuinya bahwa kawannya bersuami.
4.   Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan
     perbuatan itu sedang diketahuinya bahwa kawannya
     beristri dan kawannya itu tunduk pada Pasal 27
     KUHPerdata
5.   Delik aduan absolut
6.   Dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan diikuti
     permintaan bercerai
Pemerkosaan (Pasal 285 KUHP)

1.   Dengan kekerasan atau ancaman
     kekerasan memaksa perempuan yang
     bukan istrinya bersetubuh dengannya.
2.   Pemerkosaan adalah ekspresi seksual
     dari kekerasan dan bukan ekpresi
     kekerasan dari seksual
3.   Alat bukti yang cukup kuat adalah visum
     et repertum
Motivasi Pemerkosaan
1.   Motivasi seksual
2.   Motivasi keuasaan
3.   Motivasi balas dendam
4.   Motivasi kekerasan
5.   Motivasi sosial
Catatan
1.   Salah satu karakteristik pemerkosaan di Indonesia
     adalah rape relate magic
2.   victim participation  life style
3.   Statutory rape

More Related Content

What's hot

Mata kuliah hukum dan ham
Mata kuliah hukum dan hamMata kuliah hukum dan ham
Mata kuliah hukum dan ham
sesukakita
 
Bab 6 pertanggungjawaban pidana
Bab 6   pertanggungjawaban pidanaBab 6   pertanggungjawaban pidana
Bab 6 pertanggungjawaban pidana
Nuelimmanuel22
 
Materi Viktimologi by Ibu Rani
Materi Viktimologi by Ibu RaniMateri Viktimologi by Ibu Rani
Materi Viktimologi by Ibu Rani
elsaref
 
materi Hukum dan ham
materi Hukum dan ham materi Hukum dan ham
materi Hukum dan ham
Bang Ucok
 

What's hot (20)

Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agama
 
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
 
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana terorisme (Idik Saeful Bahri)
 
Pembahasan soal uas hukum acara pidana fh unpas 2014
Pembahasan soal uas hukum acara pidana fh unpas 2014Pembahasan soal uas hukum acara pidana fh unpas 2014
Pembahasan soal uas hukum acara pidana fh unpas 2014
 
Perbandingan Hukum Pidana
Perbandingan Hukum PidanaPerbandingan Hukum Pidana
Perbandingan Hukum Pidana
 
Mata kuliah hukum dan ham
Mata kuliah hukum dan hamMata kuliah hukum dan ham
Mata kuliah hukum dan ham
 
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)
Contoh Legal Opinion (Pendapat Hukum)
 
Bab 6 pertanggungjawaban pidana
Bab 6   pertanggungjawaban pidanaBab 6   pertanggungjawaban pidana
Bab 6 pertanggungjawaban pidana
 
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
 
Hukum agraria
Hukum agraria   Hukum agraria
Hukum agraria
 
Materi Viktimologi by Ibu Rani
Materi Viktimologi by Ibu RaniMateri Viktimologi by Ibu Rani
Materi Viktimologi by Ibu Rani
 
Bab 7 jenis pidana
Bab 7   jenis pidanaBab 7   jenis pidana
Bab 7 jenis pidana
 
Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014
Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014
Pembahasan soal hukum pidana fh unpas tahun 2014
 
Teori dalam hukum internasional 2
Teori dalam hukum internasional 2Teori dalam hukum internasional 2
Teori dalam hukum internasional 2
 
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Hukum Acara Mahkamah KonstitusiHukum Acara Mahkamah Konstitusi
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
 
Hukum pidana
Hukum pidanaHukum pidana
Hukum pidana
 
Ppt power point.1
Ppt power point.1Ppt power point.1
Ppt power point.1
 
hukum Adat
hukum Adathukum Adat
hukum Adat
 
Pengantar hukum perdata
Pengantar hukum perdataPengantar hukum perdata
Pengantar hukum perdata
 
materi Hukum dan ham
materi Hukum dan ham materi Hukum dan ham
materi Hukum dan ham
 

Viewers also liked

Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para AhliAsas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Ica Diennissa
 
Peristilahan hukum adat
Peristilahan hukum adatPeristilahan hukum adat
Peristilahan hukum adat
Nuelimmanuel22
 
Asas hukum administrasi negara
Asas hukum administrasi negaraAsas hukum administrasi negara
Asas hukum administrasi negara
Nuelimmanuel22
 
Beberapa nasehat-untuk-keluarga-muslim
Beberapa nasehat-untuk-keluarga-muslimBeberapa nasehat-untuk-keluarga-muslim
Beberapa nasehat-untuk-keluarga-muslim
Komar Udin
 
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum PidanaResume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
Ica Diennissa
 
Asas hukum admnistrasi negara
Asas hukum admnistrasi negaraAsas hukum admnistrasi negara
Asas hukum admnistrasi negara
Nuelimmanuel22
 
Pengenalan hukum administrasi negara
Pengenalan hukum administrasi negaraPengenalan hukum administrasi negara
Pengenalan hukum administrasi negara
Ir. Zakaria, M.M
 

Viewers also liked (20)

Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para AhliAsas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
 
Asas Hukum Pidana
Asas Hukum PidanaAsas Hukum Pidana
Asas Hukum Pidana
 
Bab 10 penyertaan
Bab 10   penyertaanBab 10   penyertaan
Bab 10 penyertaan
 
Peristilahan hukum adat
Peristilahan hukum adatPeristilahan hukum adat
Peristilahan hukum adat
 
Hukum pidana
Hukum pidanaHukum pidana
Hukum pidana
 
ILMU HUKUM - Asas Asas Hukum Pidana
ILMU HUKUM - Asas Asas Hukum PidanaILMU HUKUM - Asas Asas Hukum Pidana
ILMU HUKUM - Asas Asas Hukum Pidana
 
Asas hukum administrasi negara
Asas hukum administrasi negaraAsas hukum administrasi negara
Asas hukum administrasi negara
 
Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
 
Presentasi Fakultas Hukum (FH)
Presentasi Fakultas Hukum (FH)Presentasi Fakultas Hukum (FH)
Presentasi Fakultas Hukum (FH)
 
Natal kristiono mata kuliah hukum adat pengantar dan sejarah hukum adat
Natal kristiono mata kuliah hukum adat  pengantar dan sejarah hukum   adatNatal kristiono mata kuliah hukum adat  pengantar dan sejarah hukum   adat
Natal kristiono mata kuliah hukum adat pengantar dan sejarah hukum adat
 
Perbarengan Tindak Pidana
Perbarengan Tindak PidanaPerbarengan Tindak Pidana
Perbarengan Tindak Pidana
 
Bab 11 perbarengan
Bab 11   perbarenganBab 11   perbarengan
Bab 11 perbarengan
 
Beberapa nasehat-untuk-keluarga-muslim
Beberapa nasehat-untuk-keluarga-muslimBeberapa nasehat-untuk-keluarga-muslim
Beberapa nasehat-untuk-keluarga-muslim
 
Motivating Employees
 Motivating Employees Motivating Employees
Motivating Employees
 
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum PidanaResume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
 
Asas hukum admnistrasi negara
Asas hukum admnistrasi negaraAsas hukum admnistrasi negara
Asas hukum admnistrasi negara
 
Pengenalan hukum administrasi negara
Pengenalan hukum administrasi negaraPengenalan hukum administrasi negara
Pengenalan hukum administrasi negara
 
Kuhap
KuhapKuhap
Kuhap
 
Upaya hukum
Upaya hukumUpaya hukum
Upaya hukum
 
Membangun keluarga qur’ani
Membangun keluarga qur’aniMembangun keluarga qur’ani
Membangun keluarga qur’ani
 

Similar to Asas Asas Hukum Pidana

Presentation12`1qa
Presentation12`1qaPresentation12`1qa
Presentation12`1qa
andiex25
 
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesia
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di IndonesiaPemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesia
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesia
syafruddin rifa'ie
 
Legalitas-perekonomian indonesia
Legalitas-perekonomian indonesiaLegalitas-perekonomian indonesia
Legalitas-perekonomian indonesia
Mas Mito
 
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
AndriKoswara1
 

Similar to Asas Asas Hukum Pidana (20)

Hk.pidana
Hk.pidanaHk.pidana
Hk.pidana
 
Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)
 
Presentation12`1qa
Presentation12`1qaPresentation12`1qa
Presentation12`1qa
 
Presentation12`1qa
Presentation12`1qaPresentation12`1qa
Presentation12`1qa
 
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdfAsas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
 
dasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdfdasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdf
 
Makalah tindak pidana dosen johny
Makalah tindak pidana dosen johnyMakalah tindak pidana dosen johny
Makalah tindak pidana dosen johny
 
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdataRangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
 
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptxHAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
 
Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasiona
Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum NasionaRatifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasiona
Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasiona
 
Delik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.ppt
Delik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.pptDelik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.ppt
Delik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.ppt
 
PPT_KLP 1 HUKUM PERDATA&BISNIS_5C.pptx
PPT_KLP 1 HUKUM PERDATA&BISNIS_5C.pptxPPT_KLP 1 HUKUM PERDATA&BISNIS_5C.pptx
PPT_KLP 1 HUKUM PERDATA&BISNIS_5C.pptx
 
Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara PidanaHukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana
 
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesia
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di IndonesiaPemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesia
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesia
 
Legalitas-perekonomian indonesia
Legalitas-perekonomian indonesiaLegalitas-perekonomian indonesia
Legalitas-perekonomian indonesia
 
T 2 makalah pih
T 2 makalah pihT 2 makalah pih
T 2 makalah pih
 
Buku_Pengantar_KRIMINOLOGI (1).pdf
Buku_Pengantar_KRIMINOLOGI (1).pdfBuku_Pengantar_KRIMINOLOGI (1).pdf
Buku_Pengantar_KRIMINOLOGI (1).pdf
 
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptxPPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
 
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemberian dan Pengajuan Kompensasi dan Restit...
 
MAKALAH KLP 1_Hukum_Perdata&Bisnis_5c (1).docx
MAKALAH KLP 1_Hukum_Perdata&Bisnis_5c (1).docxMAKALAH KLP 1_Hukum_Perdata&Bisnis_5c (1).docx
MAKALAH KLP 1_Hukum_Perdata&Bisnis_5c (1).docx
 

More from Bilawal Alhariri Anwar

More from Bilawal Alhariri Anwar (14)

Leasing Merpati & TALG
Leasing Merpati & TALGLeasing Merpati & TALG
Leasing Merpati & TALG
 
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
 
Putusan Pailit PT Telkomsel
Putusan Pailit PT TelkomselPutusan Pailit PT Telkomsel
Putusan Pailit PT Telkomsel
 
IPO Garuda Indonesia
IPO Garuda IndonesiaIPO Garuda Indonesia
IPO Garuda Indonesia
 
Hukum Surat Berharga
Hukum Surat BerhargaHukum Surat Berharga
Hukum Surat Berharga
 
Ekspor Impor Dengan Letter of Credit
Ekspor Impor Dengan Letter of CreditEkspor Impor Dengan Letter of Credit
Ekspor Impor Dengan Letter of Credit
 
Analisis Teknikal Saham 2
Analisis Teknikal Saham 2Analisis Teknikal Saham 2
Analisis Teknikal Saham 2
 
Analisis Teknikal Saham 1
Analisis Teknikal Saham 1Analisis Teknikal Saham 1
Analisis Teknikal Saham 1
 
Seminar Saham
Seminar SahamSeminar Saham
Seminar Saham
 
Hukum Perikatan
Hukum PerikatanHukum Perikatan
Hukum Perikatan
 
Berinvestasi Saham Online
Berinvestasi Saham OnlineBerinvestasi Saham Online
Berinvestasi Saham Online
 
Hak Pinjam Pakai Tanah Magersari Keraton Yogyakarta
Hak Pinjam Pakai Tanah Magersari Keraton YogyakartaHak Pinjam Pakai Tanah Magersari Keraton Yogyakarta
Hak Pinjam Pakai Tanah Magersari Keraton Yogyakarta
 
Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang
Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian UangPembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang
Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang
 
Pelestarian Orang Utan Secara Exsitu di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta
Pelestarian Orang Utan Secara Exsitu di Wildlife Rescue Centre YogyakartaPelestarian Orang Utan Secara Exsitu di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta
Pelestarian Orang Utan Secara Exsitu di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta
 

Recently uploaded

BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
JuliBriana2
 

Recently uploaded (20)

KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
 
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
Aksi Nyata Menyebarkan (Pemahaman Mengapa Kurikulum Perlu Berubah) Oleh Nur A...
 
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptxAKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
 
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxMemperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
 
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
 
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTXAKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
 
Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024
Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024
Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024
 
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHANTUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
 
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxOPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
 
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
 
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptxPPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
 
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
 
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptxMateri Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
 

Asas Asas Hukum Pidana

  • 1. Curicullum Vitae  Name : Eddy O.S. Hiariej  Place Of Birth : Ambon, 10 April 1973  Education & Foreign Experience : 1. Sarjana Hukum UGM 1998, Master Hukum UGM 2004 & Doktor 2009 & Profesor/Guru Besar Hukum Pidana 2010. 2. Comparative Study ke International Court of Justice United Nations Organization Den Haag, Belanda. 3. Human Rights Short Course & Human Rights Teaching in Strasbourg, Perancis, 2001. 4. Foreign Observer, General Election in Filipina, 2001. 5. Dialog East Asia Common Space In South Korea, 1 – 8 Agustus 2004
  • 2. Perbuatan Pidana & Beberapa Asas Hukum Pidana eddy o.s hiariej
  • 3. ReFeReNsI 1. G.A. van Hamel, 1913, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlansche Strafrecht, Derde Druk, De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante ’s-Gravenhage. 2. D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafrecht , Eerste Deel, Zesde Druk, P. Noordhoof, N.V. – Groningen – Batavia. 3. D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafrecht , Tweede Deel, Zesde Druk, P. Noordhoof, N.V. – Groningen – Batavia. 4. J.E. Jonkers, 1946, Handboek Van Het Nederlansch – Indische Strafrecht, E.J. Brill, Leiden. 5. T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht , Vijfde Druk, Eerste Deel Inleiding Boek I, S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe – Arnhem. 6. T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht , Vijfde Druk, Tweede Deel Inleiding Boek II, S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe – Arnhem. 7. T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht , Vijfde Druk, Derde Deel Inleiding Boek III, S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe – Arnhem.
  • 4. ReFeReNsI 8. H.B. Vos, 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem. 9. D. Hazewinkel Suringa, 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, H.D. Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem. 10. J.M. van Bemmelen En W.F.C. van Hattum, 1953, Hand En Leerboek Van Het Nederlandse Strafrecht, S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Arnhem. 11. J.M. van Bemmelen En H. Burgersdijk, 1955, Arresten Over Strafrecht, Vijfde Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem. 12. W.P.J Pompe, 1959, Hanboek Van Het Nederlandse Strafrecht, Vijfde Herziene Druk, N.V. Uitgevers – Maatschappij W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle. 13. Ch.J. Enschede, 2002, Beginselen van Strafrecht, 10e druk, Kluwer Deventer. 14. Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka. 15. Moeljatno, 1955, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawab Dalam Hukum Pidana, Pidato Diesnatalis Ke IV Universitas Gadjah Mada, Sitihinggil. 16. Moeljatno, 1985, Percobaan dan Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta. 17. Moeljatno, 2001, Ktab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.
  • 5. ReFeReNsI 18. Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. 19. D.Schaffmeister, N.Keijzer, E.P.H. Sutorius, 1995, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy Liberty, Yogyakarta. 20. Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Matrial Dalam Hukum Pidana Di Indonesia , Alumni Bandung. 21. E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana, Jilid I Penerbitan Universitas, Bandung. 22. E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana, Jilid II Penerbitan Universitas, Bandung. 23. Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 24. Ruslan Saleh,1981, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawab Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta. 25. Fraser Sampson, 2001, Blackstone’s Ploice Manual Crime, Blackstone Press Limited. 26. Machteld Boot, 2001, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter Jurisdiction of the International Criminal Court : Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes , Intersentia, Antwerpen – Oxford – New York 27. Paul Bergman & Sara J. Berman – Barret, 2003, The Crimnal Law Handbook, 5th edition, Nolo Law for All
  • 6. Perbuatan Pidana Dan Beberapa Asas Hukum Pidana 1. Istilah ‘Perbuatan Pidana’ 2. Istilah ‘Strafbaar Feit’ 3. Asas Legalitas 4. Asas Geen straf zonder schuld 5. Asas Teritorial, Pengecualian Asas Teritorial dan Perluasan Asas Teritorial 6. Ne bis in idem 7. Melawan hukum
  • 7. Dalam hukum pidana di Indonesia Perbuatan Pidana dan Per tanggung Jawaban Pidana DIPISAH secara tegas. Perbuatan pidana hanya mencakup dilarangnya suatu perbuatan, sedangkan pertanggung jawab pidana mencakup dapat – tidaknya dipidana sipembuat / sipelaku. Dasar dari perbuatan pidana adalah ASAS LEGALITAS , sementara dasar dari pertanggung jawaban pidana adalah TIDAK ADA PIDANA TANPA KESALAHAN atau Geen Straf Zonder Schuld . Hal ini merupakan perbedaan mendasar dengan hukum pidana Belanda yang TIDAK MEMISAHKAN antara strafbaar van het feit dan strafbaar van de dader .
  • 8. Istilah ‘Perbuatan Pidana’ Perbuatan Pidana : (1) b 1. Perbuatan yang dilarang 2. Larangan dalam undang-undang 3. Ada ancaman bagi barang siapa yang melanggar Perbuatan : 1. Kelakuan (handeling) 2. Akibat (gevolg)
  • 9. Strafbaar Feit • Jonkers : ”De korte definitie luidt : een strafbaar feit is een feit, dat door de wet is strafbaar gesteld. Een langere en ook beteekenisvollere definitie is : een strafbaar feit is een feit met opzet of schuld in verband staande onrechtmatig (wederechtelijke) gedraging begaan door een toerekenisvatbaar persoon” (Defenisi singkat : Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana. Defenisi panjang dan juga defenisi pengertian keseluruhan : Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan dengan sengaja atau alpa yang dilakukan dengan melawan hukum oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan).
  • 10. Pompe :”..... theoretische uiteenzettingen ..... strafbare feit definieren als de normovertreding, waaraan de overtreder schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechtsorde en de behartiging van het algemeen welzijn..... Het strafbare feit ..... een gedraging zijn met drie algemene eigenschapen...... wederrechtelijk, aan schuld te wijten en strafbaar..... Volgens ons positieve recht is het strafbare feit niets aanders dan een feit, dat in een wettelijke bepaling las strafbaar is omschreven..... (..... gambaran teoretis ...... perbuatan pidana didefinisikan sebagai pelanggaran norma yang diadakan karena pelanggar bersalah dan harus dihukum untuk menegakkan aturan hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum......Perbuatan pidana ..... suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan..... melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat dipidana......Menurut hukum positif, perbuatan pidana tidak lain dari suatu perbuatan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhi hukuman......)
  • 11. • Simons : Strafbaar feit“ omschrijven als eene strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvat baar persoon. Perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang tersebut dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Sedangkan • van Bemmelen dan van Hattum : .....Strafbaar feit betekent feit terzake waarvan een persoon strafbaar is..... dat feit en persoon in het strafrecht onafscheidelijk zijn..... dat altijd een persoon slechts strafbaar kan zijn terzake van een feit, hetwelk hij zelf heeft begaan.... ......Perbuatan pidana berarti perbuatan yang menyebabkan seseorang dapat dihukum..... perbuatan dan orang dalam hukum pidana tidaklah dapat dipisahkan.....seseorang hanya dapat dihukum karena sutau perbuatan yang ia sendiri lakukan.....
  • 12. • Ch.J. Enschede : “een menselijke gedraging die valt binnen de grenzen van delictsomschrijving, wederrechtelijk is en aan schuld te wijten”. Kelakuan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan dapat dicela. (1)a • Vos : “een menselijke gedraging, waarop door wet straf is gesteld” Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang oleh undang-undang pidana diberi hukuman.
  • 13. Strafbaar Feit dan Perbuatan PidanaX (2)b Strafbaar Feit TIDAK SAMA DENGAN Perbuatan Pidana. Feit hanya diartikan sebagai kelakuan semata sedangkan Perbuatan diartikan sebagai kelakuan dan akibat. Strafbaar Feit memadukan perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana, sedangkan perbuatan pidana tidak mengandung pertanggung jawaban pidana.
  • 14. Elemen-Elemen Perbuatan Pidana 2(a) • D.Schaffmeister, N.Keijzer, E.P.H. Sutorius : 1. Memenuhi unsur delik 2. Melawan Hukum 3. Dapat dicela
  • 15. • Moeljatno (3) b 1. Kelakuan dan akibat  Perbuatan 2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana 4. Obyektief onrechtselement 5. Subyektif onrechtselement
  • 16. Sejarah Asas Legalitas  Tujuan Hukum Pidana menurut Aliran Klasik  Melindungi anggota masyarakat dari tindakan yang sewenang-wenang  Markies van Becaria  “Dei delitte edelle pene” Kasus Jean Calas te Toulouse terhadap anaknya Mauriac Antonie Calas  Voltaire mengecam putusan tersebut  C.S.B.D. Montesquieu (1748) & J.J. Rosseau (1762) menuntut raja dibatasi dengan hukum tertulis.  Article 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789)  nul ne peut etre puni, qu’en vertu d’une loi etabile et promulguee, anterieurement au delit et legalement appliquee.
  • 17. Anselm von Feuerbach Lehrbuch des peinlichen Recht  Nulla poena sine lege;  Nulla poena sine crimine;  Nullum crimen sine poena legali  Article 4 Code Penal Perancis oleh Napoleon Bonaparte 1801” “Nulle contravention, nul delit, nul crime, ne peuvent etre punis de peines, qui n’ etaient pas prononcees par la loi, avant qu’ils fussent commis”  Pasal 1 WvS Belanda : Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling  Pasal 1 ayat (1) KUHP : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”
  • 18. Principle Legality  Machteld Boot  The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in Article 1 StGb (Eine tat kann nur bestraft werden, wenn die strafbarkeit geseztlich bestimmt war, bevor die Tat begangen wurde) is generally considered to include four separate requirements. First, conduct can only be punished if the punishability as well as the accompanying penalty had been determined before the offence was committed ( nullum crimen, noela poena sine lege praevia ). Furthermore, these determinations have to be included in statutes (Gesetze) : nullum crimen, noela poena sine lege scripta . These statutes have to be definite (bestimmt) : nullum crimen, noela poena sine lege certa . Lastly, these statutes may not be applied by analogy which is reflected in the axiom nullum crimen, noela poena sine lege stricta .
  • 19. Moeljatno  Pertama , tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua , Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Ketiga , aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.  Groenhuijsen  , makna asas legalitas (4) b 1. Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. 2. Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya. 3. Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. 4. Terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.
  • 20. Schaffmeister, de Keijzer & Sutorius  • Tidak ada pidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut UU. • Tidak boleh beranalogi • Tidak ada pidana hanya kebiasaan • Lex Certa • Tidak berlaku surut = ex post facto, non retroaktif = lex praevia. • Tidak ada pidana lain selain dalam UU • Penuntutan pidana hanya menurut cara sesuai UU.
  • 21. Fungsi Asas Legalitas : 1. Instrumental (3) a 2. Melindungi HARAP DIBEDAKAN DENGAN FUNGSI INSTRUMENT & FUNGSI MELINDUNGI DARI HUKUM PIDANA  InstrumenDalam batas tertentu pelaksanaan kekuasaan pemerintah dibolehkan.  MelindungiPelaksanaan kekuasaan tanpa batas terhadap rakyat oleh negara.
  • 22. Perkembangan Asas Legalitas 1. Titik berat pada individu  G.W.Paton Nulla Poena Sine Lege 2. Titik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan Anslem von Feuerbach Generale Preventie psychologische zwang. (4) a 3. Titik berat pada kedua unsur yang sangat penting yaitu agar orang menghindari perbuatan pidana dan pemerintah tidak sewenang-wenang van Der Donk 4. Titik berat pada perlindungan hukum kepada negara dan masyrakat G.W.PatonNullum crimen sine poena legali a crime is a socially dangerous act of commission or ommission as prescribed in a criminal law.
  • 23. Pembatasan Asas Legalitas Pembatasan asas legalitas atau pembatasan terhadap asas lex termporis delicti terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia berbunyi, “Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa .”
  • 24. Verandering in de Wetgeving (Perubahan Perundang-Undangan) 1. Formele leer  Simons perubahan hanya mencakup undang-undang pidana semata 2. Beperkte materiil leer  van Geuns  perubahan di luar undang-undang pidana tetapi mempengaruhi secara tidak langsung undang-undang pidana. (5) a 3. Onbeperkte materiil leer  perubahan di luar undang- undang pidana termasuk perubahan undang-undang yang hanya dimasudkan berlaku untuk sementara waktu  Tidak termausk Pasal 1 ayat (2) KUHP
  • 25. Gunstigste bepalingen (Aturan yang paling meringankan)  Tidak hanya menyangkut sanksi pidana semata tetapi juga menyangkut penilaian keseluruhan terhadap suatu delik.  Simons & Jonkers  tidak hanya menyangkut sanksi pidana semata tetapi juga menyangkut dapat – tidak dituntutnya suatu perbuatan.
  • 26. Pembatasan Lex Termporis Delicti di Inggris & Swedia  Inggris  Jika terjadi perubahan perundang-undangan, terdakwa diadili dengan menggunakan aturan hukum yang lama (6) a  Swedia Jika terjadi perubahan perundang-undangan, terdakwa diadili dengan menggunakan aturan hukum yang baru
  • 27. Asas Teritorial 1. Asas Teritorial = Hukum Pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia  Pasal 2 KUHP 2. Pengecualian atas asas teritorial dapat terhadap : a. Orang : (5) b 1) Kepala Negara Par in parem in hebet in perium 2) Duta Besar dan Konsul serta diplomat 3) Petugas lembaga internasional b. Tempat 1) Wilayah Kedutaan Besar 2) Wilayah Angkatan Bersenjata 3) Kapal berbendera negara asing (7) a
  • 28. Perluasan Asas Teritorial 1. Perluasan teknis 2. Perluasan berdasarkan kewarganegaraan 3. Perluasan berdasarkan prinsip proteksi 4. Perluasan berdasarkan prinsip universal
  • 29. Perluasan Teknis 1. Perluasan teknis subyektif  Hukum Pidana Indonesia berlaku atas perbuatan yang mulai dilakukan di Indonesia tetapi berakhir atau menimbulkan akibat di wilayah negara lain 2. Perluasan teknis obyektif  Hukum Pidana Indonesia berlaku atas perbuatan yang mulai dilakukan di negara lain tetapi berakhir atau menimbulkan akibat di Indonesia
  • 30. Perluasan Berdasarkan kewarganegaraan 1. Kewarganegaraan aktif = Asas Personal = Asas Nasional Aktif  Hukum Pidana Indonesia berlaku bagi WNI di mana pun berada  Pasal 5 ke-2 KUHP 2. Kewarganegaraan pasif = Asas Nasional Pasif  Hukum pidana Indonesia berlaku atas orang yang melakukan kejahatan di wilayah negara lain yang akibatnya menimpa WNI (8)a
  • 31. Perluasan Berdasarkan Prinsip Proteksi Hukum pidana Indonesia berlaku atas perbuatan pidana yang melanggar keamanan dan integritas atau kepentingan vital ekonomi atau kepentingan lainnya yang hendak dilindungi yang dilakukan di luar wilayah Indonesia  Pasal 4 ke-1, ke-2 dan ke-3 KUHP
  • 32. Perluasan Berdasarkan Prinsip Universal Hukum pidana Indonesia berlaku atas perbuatan pidana yang melanggar kepentingan masyarakat internasional. Perbuatan tersebut dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional atau delicta jure gentium atau delit droit de gens  Pasal 4 ke 4 KUHP (9) a
  • 33. Ne Bis In Idem Ne bis in idem atau double jeopardy = seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan dengan perkara yang sama  untuk menjamin kepastian hukum, melindungi hak asasi manusia dan mejaga keluhuran martabat hakim.(6) b
  • 34. Geen straf zonder schuld ‘Schuld’ mengandung 3 elemen : 1. Kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat. 2. Keadaan batin tertentu dari si pembuat yang dihubungkan dengan kejadian. 3. Tidak dapat dipertanggungjawabkan suatu kejadian oleh si pembuat karena ada alasan penghapus pertanggungjawaban  Pompe  ”..... dat geen straf wordt toegepast, tenzij er een wederrechtelijke schuld te wijten gedraging is. Daar in ons recht geen schuld bestaat zonder wederrechtelijkheid, kan men de kern der theorie dus kor formuleren als : geen starf zonder schuld” (..... tidak ada pidana yang diterapkan, kecuali suatu kelakuan yang melawan hukum dan kesalahan yang dapat dicela. Menurut hukum kita tidak ada kesalahan tanpa melawan hukum, teori ini kemudian diformulasikan sebagai : tiada pidana tanpa kesalahan)  Schuld is niet te begrijpen zonder wederrechtelijkheid (Kesalahan tidak ada artinya tanpa sifat melawan hukum)
  • 35. Wederrechtelijk Leer (Ajaran Melawan Hukum) Ajaran Melawan Hukum meliputi : 1. Wederrechtelijk element (unsur melawan hukum) 2. Wederrechtelijk begrijp (pengertian melawan hukum) 3. Wederrechtelijk heid (sifat melawan hukum)
  • 36. Unsur Melawan Hukum Pandangan Formil  Merupakan unsur delik apabila disebut secara tegas  Pompe & Simons  “Wederrechtelijkheid is dus in het algemeen geen bestandeel van het strafbare feit, tenzij uitdrukkelijk in de wettelijke omschrijving opgenomen” (Melawan hukum bukanlah unsur umum dari perbuatan pidana keccuali jika dinyatakan dengan tegas dalam rumusan delik) Pandangan Materiil  Merupakan unsur mutlak (konstitutif) setiap perbuatan pidana  Moeljatno & Vos (7) b Pandangan tengah Merupakan unsur yang konstan dan permanen  Suringa  “Opmerkelijk is, dat deze definities niet slechts de wederechtelijkheid als constant en permanent element van ieder strafbaar feit noemen....., De wederechtelijkheid is slechts daar, waar wet haar noemt elementen verder allen maar het kenmerk van ieder delict …” (Sifat melawan hukum adalah unsur konstan dan permanen selama disenut dalam rumusan delik, jika tidak, melawan hukum hanya merupakan tanda dari suatu delik...)
  • 37. Arti ‘recht’ dalam ‘wederrechtelijk’ (Pengertian Melawan Hukum)(8)b Dalam MvT= memorie van toelichting TIDAK DITEMUKAN apa arti recht dalam wederrechtelijk  Muncul beberapa pendapat : 1. Recht = objectief recht  Simons 2. Recht = subjectief recht  Noyon 3. Recht = tanpa kekuasaan  Putusan HR 18 Januari 1911 4. Recht = hukum tertulis & hukum tidak tertulis  Pompe, van Hattum, van Bemmelen & Moeljatno Wederrechtelijk betekent : in strijd met het recht, hetgeen ruimer is dan : in strij met de wet. Behalve wettelijke voorschriften komen hier ongeschreven regelen in aanmerking (Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum : Tidak hanya sebatas bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan aturan-aturan yang tidak tertulis)
  • 38. Sifat Melawan Hukum 1. Generale Wederrechtelijkheid 2. Specilae Wederrechtelijkheid 3. Formal Wederrechtelijkheid 4. Matrial Wederrechtelijkheid
  • 39. Generale Wederrechtelijkheid Sifat melawan hukum umum  syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan. Ajaran ini berasal dari Hukum Pidana Belanda yang menyatakan perbuatan pidana adalah yang melawan hukum Door een bepaald feit strafbaar te stellen geeft de wetgever uit den aard der zaak te kennen dat hij het als wderechtelijk beschouwt of voorstaan als zoodaning beschouwd wil zien.  Noyon & Langemeijer (Dengan menyatakan sesuatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum atau selanjutnya akan dipandang demikian. Dpidananya sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya) ”..... een gedraging zijn met drie algemene eigenschapen : wederrechtelijk, aan schuld te wijten en strafbaar...”  Pompe (Perbuatan pidana ..... suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan..... melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat dipidana)
  • 40. Speciale Wederrechtelijkheid(10a) Sifat melawan hukum khusus  Kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sebenarnya penyebutan kata ”melawan hukum” secara eksplisit dalam rumusan delik merujuk pada ilmu hukum Jerman yang diajarkan sejumlah pakar antara lain, Zevenbergen dan pengikutnya di Belanda, Simon. Menurut pandangan ini, melawan hukum hanya merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan.
  • 41. Formal Wederrechtelijkheid Sifat melawan hukum formal  semua bagian (unsur-unsur) dari rumusan delik telah dipenuhi. “...... Di samping lapangan formil, kita harus meninjau pula lapangan materiil, sehingga dari perpaduan antara dua segi ini, tertentulah isi atau makna perbuatan pidana...... tinjauan dari segi formil ini perlu, berhubung dengan asas legalitet.....”  Moeljatno
  • 42. Matrial Wederrechtelijkheid Sifat melawan hukum material secara garis besar dibagi atas : 1. Sifat melawan hukum material dilihat dari sudut perbuatannya  perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu. 2. Sifat melawan hukum material dilihat dari sudut sumber hukumnya  bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat
  • 43. Sifat melawan hukum material dilihat dari sudut sumber hukumnya 1. Sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang negatif  meskipun perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak dipidana. 2. Sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang positif  meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
  • 44. Pertanggung Jawaban Pidana Dipidananya seseorg tidaklah cukup apabila org telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau melawan hukum. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan, dengan kata lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
  • 45.  Dalam Hukum Pidana berlaku asas “Tiada Pidana tanpa kesalahan” (Geen straf zonder schuld/ Keine Strafe Ohne Schuld)  Asas Geen straf zonder schuld memp sejarahnya sendiri:  Pertama hukum pidana hanya melihat pada perbuatan dan akibatnya saja  Tatstrafrecht  Perkembangan berikutnya mulai memperhatikan pada orangnya/ pembuat  Taterstrafrecht tanpa meninggalkan Tatstrafrecht.  Hukum pidana pada saat ini berorientasi pada perbuatan, akibat dan pembuatnya/ orang  Tat- Taterstrafrecht / Daad-Daderstrafrecht
  • 46. Beberapa Pendapat Tentang Kesalahan.  Mezger : Keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku.  Simons : Sebagai dasar untuk pertanggung jawaban dalam hukum pidana berupa keadaan psychis dari si pembuat dan hubungan dengan perbuatannya dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychis (jiwa) itu perbuatannya dapat dicelakan kepada si pelaku.  Van Hamel: Kesalahan dalam suatu delik adalah pengertian psychologis. Hubungan antara keadaa jiwa si pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbtn-nya.
  • 47. Van Hattum: Pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur yang mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal, yg bersifat psychis yang terdapat dalam keseluruhan berupa strafbaarfeit termasuk si pelaku.  Pompe : Tidak merumuskan kesalahan, tetapi menjelaskan bahwa pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, melawan hukum merupakan hal yang tampak keluar, sedangkan yang ada di dalam adalah kesalahan berupa kehendak dari si pembuat.
  • 48. Apa yang terkandung dalam kesalahan ?  Vos :  Kemampuan bertanggungjawab  Hubungan batin pelaku terhadap perbuatan dalam bentuk kesengajaan atau kealpaan;  Tidak terdapat alasan yang menghapus pertanggujngjawaban pelaku  Mezger :  Kemampuan bertanggungjawab;  Adanya bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan;  Tak ada alasan penghapus kesalahan.  Pompe :  Menambah adanya unsur pencelaan
  • 49. Masalah kesalahan dapat – tidaknya pelaku dipertanggungjawabkan berhubungan dengan kebebasan kehendak  Aliran indeterminis (penganut indeterminisme): manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak; tanpa ada kebebasan kehendak, maka tidak ada kesalahan; jika tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan sehigga tidak ada pemidanaan.  Aliran determinis (penganut determinisme): manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan berbuat sesuatu di dasarkan pada watak / nafsu yang datang dari luar. Namun meskipun tidak mempunyai kehendak bebas, tidak berarti orang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan. Justru karena tidak adanya kehendak bebas maka ada pertanggungjawaban dari seseorg atas perbuatannya, hanya saja reaksi terhadap pperbuatan berupa tindakan untuk ketertiban, dan bukannya pidana dalam arti “penderitaan sabagai buah hasil dari kesalahan pelaku”  Adanya kesalahan tidak perlu dihubungkan dengan ada / tidak adanya kehendak bebas. Hubungan itu tidak relevan.
  • 50. Kemampuan Bertanggungjawab Dalam KUHP tidak ada satu pasal pun yang memberi pengertian mengenai kemampuan bertanggungjawab.  Pasal 44  Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu jiwanya karena penyakit, tidak dipidana.  Perlu konstatasi keadaan jiwa cacat/ tadak dapt dipertanggungjawabkan oleh psychiater;  Perlu ada hubungan kausal antara perbuatan dengan keadaan jiwa cacat  ditetapkan oleh hakim.
  • 51. Mampu Bertanggungjawab  Van Hamel: 1. Bahwa orang mampu menginsyafi arti perbuatannya (makna dan akibatnya). 2. Orang mampu menginsyafi perbuatannya bertentangan dengan ketertiban masyarakat. 3. Bahwa orang mampu menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya itu.  Simons : 1. Orang mampu menginsyafi perbuatannya yang bersifat melawan hukum. 2. Sesuai dengan penginsyafan itu dapat menentukan kehendaknya.  MvT (menentukan secar negatif): Tidak mampu bertanggungjawab adalah : 1. Dalam hal orang tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat atau tadak berbuat apa yg oleh undang-undang dilarang atau diperintahkan. 2. Dalam hal orang ada dalam keadaan tertentu sehingga tidak dapat menginsyafi perbuatannya bertentangan dengan hukum, dan tidak mengerti akibat perbuatannya.
  • 52. Metode Menentukan Tidak Mampu Bertanggung Jawab 1. Metode biologis  jika psichiater telah menyatakan seseorang sakit jiwa, maka ia tidak dapat dipidana. 2. Metode phisikologis  menunjukkan hubungan antara keadaan jiwa yang abnormal dengan perbuatannya. Metode ini mementingkan akibat jiwa terhadap perbuatannya sehingga dapat dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan tidak dapat dipidana. 3. Metode biologis-phisikologis  di samping memperhatikan keadaan jiwanya, kemudian keadaan jiwa ini dipernilai dengan perbuatannya untuk dinyatakan tidak mampu bertanggungjawab.
  • 53. Tidak mampu bertanggung jawab sebagian  Ada penyakit jiwa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk sebagian;  Chleptomania  penyakit jiwa yang berwujud dorongan yang kuat dan tak tertahan untuk mengambil barang milik orang lain  Pyromania  penyakit jiwa berupa kesukaan membakar sesuatu tanpa alasan;  Clausthropobie  penyakit jiwa berupa ketakutan berada di ruang yang sempit;  Waham Kebesaran  penyakit jiwa merasa dirinya sebagai orang yang besar atau mempunyai kedudukan tinggi
  • 54. Keragu-raguan menentukan mampu bertanggung jawab Ada dua Pendapat:  Terdakwa tetap dipidana .  Kemampuan bertanggungjawab harus selalu dianggap ada pada setiap orang, kecuali terbukti sebaliknya (pendirian Pompe)  Terdakwa tidak dipidana  Dalam hal ada keragu-raguan,harus diambil keputusan yang menguntungkan terdakwa (asas in dubio proreo).
  • 55. Kesengajaan dan Kealpaan  Unsur kedua dari kesalahan adalah hubungan batin antara si pembuat terhadap perbuatan yang dapat berupa sengaja atau alpa.
  • 56. Kesengajaan  Apa yg dimaksud dengan sengaja KUHP tidak memberi definisi. MvT mengartikan kesengajaan sebagai “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens)  Berhubungan dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja berisi menghendaki dan mengetahui itu, dalam ilmu pengatahuan. timbul dua teori:
  • 57. 1. Teori Kehendak (wilstheorie) kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang 2. Teori Pengetahuan/ membayangkan (voorstellings- theorie). Sengaja berarti membayangkan akan menimbulkan akibat dari perbutannya; orang tidak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yg dibayangkan oleh pelaku. Terhadap perbuatan yang dilakukan pelaku kedua teori ini tidak ada perbedaan, keduanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat.
  • 58. Corak kesengajaan. 1. Maksud  Orang menghendaki perbuatan beserta akibatnya. Contoh : menempeleng seseorang agar orang itu sakit sehingga tidak berbohong. 2. Kepastian  perbuatan mempunyai 2 akibat yaitu akibat yang memang dituju oleh si pembuat dan akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan. Contoh: kasus Thomas Alexander Keith mengirim barang melalui kapal dari Bremerhaven ke New York yang dipasang Bom Waktu dengan harapan memperoleh asuransi. 3. Kemungkinan  dalam hal ada keadaan tertentu yang semula mungkin akan terjadi, kemudian ternyata benar-benar terjadi. Contoh : mengirim kue taart yang diberi racun, tetapi yang memakan bukan orang yang dituju.
  • 59. Kesengajaan yang diobjektifkan  Dalam keadaan konkrit sangat sulit bagi hakim untuk menentukan sikap batin terdakwa berupa kesengajaan atau kealpaan ada pada pelaku. Jika orang menerangkan dengan jujur sikap batinnya, maka tidak akan menemui kesulitan, tetapi jika terdakwa tidak jujur, maka sikap batinnya harus disimpulkan dari keadaan lahir yang tampak dari luar. Jadi dalam banyak hal hakim harus mengobjektifkan adanya kesengajaan itu. Contoh: menembakkan pistol dalam jarak 2 meter. Tidak mungkin penembak menyatakan hanya ingin melukai . Di sini perbuatan diobjektifkan berupa kesengajaan untuk membunuh.
  • 60. Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan tidak berwarna (kleurloos). Persoalan:  Apakah untuk adanya kesengajaan itu si pembuat harus menyadari bahwa perbuatannya itu bersifat melawan hukum ?  Mengenai hal ini ada dua pendapat: 1. Sifat kesengajaan itu berwarna : adanya kesengajaan diperlukan syarat bahwa pelaku menyadari perbuatannya itu dilarang kesengajaan senantiasa berhubungan dengan dolus malus (dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan) 2. Tidak berwarna : adanya kesengajaan cukup bahwa pelaku menghendaki perbuatan itu. Di sini tidak diperlukan apakah ia tahu bahwa perbuatan itu dilarang.
  • 61. Jenis kesengajaan  Dolus generalis  kesengajaan yang ditujukan kepada orang banyak.  Dolus indirectus melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi muncul akibat lain yang tidak dikehendaki.  Dolus determinatus  kesengajaan yang ditujukan pada tujuan tertentu.  Dolus indeterminatus  kesengajaan yang ditujukan kepada sembarang orang  Dolus alternativus  kesengajaan yang dilakukan seseorang dengan menghendaki akibat yang muncul adalah salah satu dari beberapa kemungkinan.  Dolus premiditatus  kesengajaan yang telah dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh.  Dolus repentinus  kesengajaan dengan sekonyong-konyong.
  • 62. Dwaling Suatu kesengajaan dapat terjadi karena salah faham atau kekeliruan (melakukan perbuatan pidana dengan sengaja karena kekeliruan). Bentuk dari kekeliruan ini ada beberapa macam: 1. Feitelijke dwaling : Suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak sengaja yang tertuju pada salah satu unsur perbuatan pidana. Lihat Pasal 406 KUHP. 2. Rechts dwaling : Melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh undang-undang. Dibedakan menjadi kekeliruan yang dapat dimengerti dan kekeliruan yang tidak dapat dimengerti 3. Eror in persona : kekeliruan mengenai orang yang hendak menjadi tujuan dari perbuatan pidana. 4. Eror in objecto : kekeliruan mengenai objek yang hendak menjadi tujuan dari perbuatan pidana. 5. Aberratio actus : Kekeliruan yang timbul disebabkan karena berbagai sebab, sehingga akibat yang timbul berbeda/ berlainan dari yang dikehendaki
  • 63. Kealpaan  Di samping sikap batin berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa kealpaan.  Akibat ini timbul karena seseorang alpa, sembrono, teledor, berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga- duga.  Perbedaannya dengan kesengajaan ialah bahwa ancaman pidana pada delik-delik kesengajaan lebih berat.  Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan, tetapi bukan kesengajaan yang ringan.
  • 64.  Apakah alasan pembentuk Undang-undang mengancam pidana perbuatan yang mengandung unsur kealpaan di samping unsur kesengajaan ? Menurut M.v.T. adalah sebagai berikut :  "ada keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga Undang-undang juga bertindak terhadap kekurangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor).
  • 65. Pengertian Kealpaan. Hazewinkel Suringa  IImu pengetahuan hukumk dan jurisprudensi mengartikan 'schuld' (kealpaan), sebagai : 1. kekurangan penduga-duga atau 2. kekurangan penghati-hati. Van Hamel  Kealpaan mengandung dua syarat : 1. tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum  pelaku berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal ternyata salah (bewuste culpa) ATAU pelaku sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya (onbewuste culpa) 2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Simons : Pada umumnya "schuld" (kealpaan) mempunyai dua unsur : 1. tidak adanya penghati-hati. 2. dapat diduganya akibat. Pompe :  Ada 3 macam yang masuk kealpaan (onachtzaamheid) : 1. dapat mengirakan (kunnen verwachten) timbulnya akibat. 2. mengetahui adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid). 3. dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid).
  • 66. Cara Menentukan Kealpaan 1. Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguhnya, maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran sikap batin orang pada umumnya apabila ada dalam situasi yang sama dengan pelaku. 2. "Orang pada umumnya" ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli dan sebagainya. Ia harus orang biasa/ seorang ahli biasa. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi harus ada culpa lata dan bukannya culpa levis (kealpaan yang sangat ringan). 3. Untuk menentukan kekurangan penghati-hati dari pelaku dapat digunakan ukuran apakah ia "ada kewajiban untuk berbuat lain". 4. Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan Undang-undang atau dari luar Undang- undang, ialah dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang seharusnya dilakukan olehnya. Kalau ia tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa ia alpa. Undang-undang mewajibkan seorang untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan bahwa "di persimpangan jalan, apabila datangnya bersamaan waktu, maka kendaraan dari kiri harus didahulukan".
  • 67. Hubungan Sebab – Akibat  De leer van de causaliteit Sangat penting untuk delik materiil dalam menentukan pertanggungjawaban : 1. Teori Mutlak  Conditio Sine Quanon  von Buri  Setiap perbuatan adalah sebab dari akibat yang timbul dan setiap sebab mempunyai nilai yang sama. 2. Teori Traeger  Hanya mencari satu saja dari sekian banyak sebab yaitu perbuatan manakah yang menimbulkan akibat yang dilarang.
  • 68. Teori Traeger 1. Teori Generalisasi  Melihat sebab in abstracto. Menurut perhitungan yang layak, yang akan menimbulkan akibat. 2. Teori Individualisir  Melihat sebab in concreto (post factum). Hal yang khusus diukur menurut pandangan individuil
  • 69. Teori Generalisir Teori Adequat  von Kries  Perbuatan harus seimbang dengan akibat yang timbul : 1. Teori subjektif  von Kries  Keadaan yang harus diketahui oleh pelaku. 2. Teori objektif  Rumelin  Keadaan yang diketahui oleh umum 3. Teori Gabungan  Simons  Kedaan yang diketahui oleh pelaku dan diketahui oleh umum
  • 70. Teori Individualisir 1. Teori Binding  Syarat negatif  mencegah timbulnya suatu akibat dan syarat positif  benar-benar menentukan suatu akibat. 2. Teori Birckmayer  Dipilih faktor mana yang paling menentukan. Sebab adalah syarat yang paling kuat. 3. Teori Kohler  Dipilih yang paling memberi ketentuan bagi timbulnya sesuatu.
  • 71. Percobaan  Artikel 53 WvS : “ Poging tot misdrijf is strafbaar wanner voornemen des daders zich door en begin van uitvoering heeft geopenbaard en de uitvoering aleen tengevolge van omstandigheden van zijnen wil onafhankelijk niet is voltooid.”  Pasal 53 KUHP : “Percobaan melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri”
  • 72. Unsur-Unsur Percobaan  Dalam Rumusan Delik 1. Voornemen = Niat 2. Begin van uitvoering = Permulaan pelaksanaan  Di Luar Rumusan Delik Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum Delic Manque & Delic Tentative Catatan : Tidak selesainya pelaksanaan bukan semata- mata disebabkan kehendaknya sendiri  BUKAN UNSUR PECOBAAN TETAPI ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN
  • 73. Niat  Niat atau Voornemen : 1. Subjektif  sikap batin memberi arah tertentu kepada perbuatan 2. Objektif  sikap batin dilihat oleh orang lain dengan adanya perbuatan yang merupakan pelaksanaan terhadap niat dan nyata-nyata ditujukan untuk melakukan perbuatan yang diniati Simons, van Hamel, van Hattum, Jonkers & Suringa  Niat = kesengajaan Moeljatno  Niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan tetapi bisa berubah menjadi kesengajaan bila sudah ada perbuatan yang dituju. Jika niat belum berubah menjadi suatu perbuatan  Subjectief onrecthselement.
  • 74. Permulaan Pelaksanaan  Syarat Permulaan Pelaksanaan (Begin van uitvoering) : 1. Secara subjektif  niat tidak boleh diragukan lagi menuju delik yang dimaksud. 2. Secara objektif  perbuatan harus mengandung potensi mendekati delik yang dituju.
  • 75. Beberapa Catatan Tentang Percobaan  Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dapat dikurangi sepertiga.  Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.  Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.  Mencoba melakukan pelanggaran tidak dpidana.
  • 76. Makar  Artikel 87 WvS : “Aanslag tot een feit bestaat, zoodra het voornemen des daders zich door een begin van uitvoering in den zin van artikel 53, heeft geopenbaard”  Pasal 87 KUHP : “ Makar untuk melakukan suatu perbuatan jika niat pelaku telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti yang dimasud dalam Pasal 53.”
  • 77. Kejahatan Makar  Kejahatan terhadap kemanan negara  Misdrijven tegen de veligheid den staat  Usur Makar 1. Niat atau voornemen. 2. Permulaan pelaksanaan atau begin van uitvoering.  Objek Makar 1. Presiden dan atau wakil presiden 2. Kedaulatan negara 3. Pemerintah
  • 78. Pasal-Pasal Makar 1. Pasal 104  Membunuh presiden dan atau wakil presiden, merampas kemerdekaan atau menjadikannya tidak cakap memerintah. 2. Pasal 106  Menaklukan sebagian atau seluruh daerah negara kepada pemerintah negara asing atau memisahkan sebagian dari daerah negara untuk dijadikan negara sendiri. 3. Pasal 107  Omwenteling  Menggulingkan pemerintahan yang sah. 4. Pasal 108  Melawan dengan senjata kepada pemerintahan yang sah. 5. Pasal 110  Samenspaning  Permufakatan jahat untuk melakukan makar.
  • 79. Penambahan Pasal-Pasal Makar  Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999  Menghapus Undang-Undang Subversi  Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999  Menambah 6 ketentuan baru dalam Pasal 107 KUHP sehingga menjadi : 1. Pasal 107 a  Larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya. 2. Pasal 107 b  Berusaha menggantikan Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan.
  • 80. 3. Pasal 107 c  Menyebarluaskan atau mengembangkan Komunisme/Marxisme-Leninisme sehingga timbul kerusuhan. 4. Pasal 107 d  Menyebarluaskan atau mengembangkan Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud menggantikan Pancasila sebagai dasar negara. 5. Pasal 107 e  Mendirikan organisasi yang menganut Komunisme/Marxisme-Leninisme dan mengadakan hubungan atau memberi bantuan kepada organisasi yang menganut Komunisme/Marxisme-Leninisme. 6. Pasal 107 f  Merusak, menghancurkan atau memusnahkan instalasi negara atau militer serta menggagalkan distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak.
  • 81. Peristiwa Cikini 1957  30 November 1957 di Sekolah Rakyat Cikini Jakarta, Jusuf Ismail, Sa’adon, Tasrif dan Tasin berusaha membunuh Presiden dengan melemparkan granat tangan ke arah Bung Karno yang menghadiri acara bazar di sekolah tersebut.  Terdakwa 1,2 dan 3 menurut Pengadilan Tinggi Tentara, Jakarta, terbukti melanggar Pasal 104, Pasal 107 dan UU Nomor 12 tahun 1951  “ Makar dengan maksud membunuh presiden, untuk menggulingkan pemerintah dilakukan dengan permufakatan jahat”.  Putusan Majelis sama dengan requisitor Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa 1, 2, dan 3 dipidana mati. Sedangkan terdakwa ke-4 menurut majelis terbukti melanggar Pasal 110 ayat (2) sub.3 KUHP jo. Pasal 104, Pasal 107 KUHP tentang permufakatan jahat. Terdakwa ke-4 dijatuhi pidana 20 tahun.
  • 82. Contoh Kasus A. A, dan B yang sedang bersepeda santai di Bunderan UGM tiba-tiba diserang dan dianiaya oleh C, D, E dan F. Kemudian datang X dan Y mengambil sepeda A dan B dengan maksud agar A & B tidak melarikan diri. C, D, E , F, X dan Y kemudian diproses secara hukum.  Pasal apakah yang dapat digunakan untuk menjerat mereka ?
  • 83. B. A adalah pembantu rumah tangga dari Keluarga B. Setelah larut malam sekitar pukul 1 dini hari Si A bangun dan sengaja membuka pintu dapur untuk memudahkan C dan D yang hendak mencuri di rumah Keluarga B. Sekitar jam 2 dini hari, C dan D melakukan aksinya dengan mencuri barang-barang berharga. 1. Pasal apakah yang digunakan untuk menjerat si A ? 2. Bagimanakan dakwaan jaksa penuntut umum terhadap C dan D untuk menyatukan unsur subjektif dan objektif turut serta melakukan ?
  • 84. C. Si A meminta kepada temannya B yang mengalami gangguan saraf untuk mencuri sepeda motor si C dengan diiming-imingi sejumlah uang. Perbuatan tersebut dilakukan oleh si B. 1. Dalam delik penyertaan, apakah kualifikasi bagi si A dan apakah kualifikasi bagi si B ? 2. Dapatkah si B yang ternyata menderita gangguan saraf permanen dimintai pertanggungjawaban pidana ? Jika ya apa alasannya dan jika tidak alasan penghapus pidana apakah yang lebih tepat bagi si B ? 3. Dapatkah si A dimintai pertanggungjawaban pidana ?
  • 85. D. Komandan Detasemen 88 memerintahkan A dan B (gegana) untuk mengejar teroris yang berboncengan. Instruksi Komandan berdasarkan perintah undang- undang jika ada perlawanan, maka lakukan tembak di tempat. A yang mengendarai sepeda motor membonceng B dengan senapan yang siap ditembakkan dan terpaksa menembak kedua teroris yang melakukan perlawanan. Keluarga korban (teroris) memproses secara hukum. 1. Dalam delik penyertaan, apakah kualifikasi bagi Komandan, kualifikasi bagi si A dan kualifikasi bagi si B ? 2. Dapatkah si B dimintai pertanggungjawaban pidana ? Jika ya apa alasannya dan jika tidak alasan penghapus pidana apakah yang lebih tepat bagi si B ? 3. Dapatkah Komandan dan si A dimintai pertanggungjawaban pidana ?
  • 86. Penyertaan  Penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana  Deelneming aan strafbaar feiten  Artikel/Pasal 55  Als daders van een strafbaar feit worden gestraft  Golongan Pembuat (Dader) 1. Plegen  Pelaku (pelaku di sini tidak sendirian tetapi dengan pelaku lain) 2. Doenplegen  Menyuruh lakukan 3. Medeplegen  Turut serta melakukan : Berpedoman secara subjektif dan objektif. Catatan : Moeljatno tidak menggunakan istilah doenplegen tetapi uitlokken yang berarti menganjurkan atau menggerakan. Orang yang menganjurkan atau menggerakan disebut uitlokker.
  • 87. Artikel/Pasal 56  Als medeplichtigen aan een misdrijf worden gestraft  Golongan Pembantu (medeplichtige) : 1. Memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan 2. Memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan  Pasal 57 : 1. Dalam hal pembantuan maksimal pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga. 2. Jika diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 3. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. 4. Dalam hal menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya beserta akibat-akibatnya.
  • 88. Hubungan Penyertaan Dan Alasan Penghapus Pidana  Jika seorang pelaku peserta tidak dipidana karena alasan pembenar, maka sudah pasti semua pelaku peserta lainnya tidak dapat juga dipidana.  Jika seorang pelaku peserta tidak dipidana karena alasan pemaaf, maka belum tentu pelaku peserta lainnya tidak dapat juga dipidana.
  • 89. Kasus Menteri Kehakiman RI Menteri kehakiman RI pada tahun 1954 bersama dua orang temannya se partai memberikan izin tinggal kepada warga negara asing keturunan Cina untuk tetap tinggal di Indonesia, padahal orang tersebut telah di- persona non grata. Kedua temannya separtai telah menerim suap dari seorang Cina sementara sang menteri tidak menikmati uang suap tersebut. Dapatkah Mneteri tersebut dimintai pertanggung jawaban secara pidana ?  Van Hattum  Pandangan Penyertaan Restriktif  Setiap peserta dalam pelaku peserta harus melakukan perbuatan yang sama  Pompe, Langemejer, Moeljatno  Pandangan Penyertaan Ekstensif  Para peserta bentuk peyertaan turut serta melakukan tidak perlu melakukan perbuatan yang sama dan tidak perlu punya sifat pribadi yang sama dengan pelaku (dader) tersebut rumusan delik  Putusan MA dalam Forum Prevelegiatum 23 Desember 1955 No.1/1955/MA Pid. Menjatuhkan pidana penjara 6 bulan  Pasal 418 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
  • 90. Baca Pasal 1 ayat (2) KUHP 1. A memalsukan surat pada Desember 2008 dengan ancaman pidana 3 tahun penjara. Januari 2009 terdapat aturan baru yang menyatakan memalsukan surat dikenai pidana 2 tahun penjara. A diadili Februari 2009. Aturan mana yang digunakan ? 2. B mengeluarkan cek kosong pada Juli 2008 dan diancam pidana 1 tahun penjara. September 2008 ada undang-undang baru yang menyatakan bahwa mengeluarkan cek kosong bukan perbuatan pidana. B diadili pada Oktober 2008. Dapatkah B dijatuhi pidana ? 3. C mencemarkan nama baik D April 2008 diancam pidana 6 bulan kurungan. Jangka waktu pengaduan terhadap delik pencemaran nama baik adalah 6 bulan. Pada Agustus 2008 ada undang- undang baru yang menyatakan bahwa jangka waktu pengaduan terhadap delik pencemaran nama baik adalah 3 bulan dengan ancaman pidana 5 bulan. D mengadukan C ke Polisi pada bulan September 2008. Dapatkah C diproses oleh Polisi ?
  • 91. 4. E, seorang pemilik tempat prostitusi resmi memperkejakan F, wanita berusia 17 tahun sebagai PSK pada November 2008.Perbuatan E diancam pidana 5 tahun penjara karena memperkerjakan anak di bawa umur sebagai PSK. Pada Desember 2008 ada undang-undang baru yang menyatakan anak di bawah umur adalah di bawah 15 tahun. Januari 2009 E diadili oleh PN Yogya. Dapat E dipidana ? 5. Pada waktu Aceh dinyatakan keadaan darurat militer, G membawa masuk – keluar sembako tanpa izin penguasa darurat militer dan tindakan G diancam pidana 2 tahun penjara. Pada waktu G diadili, keadaan darurat militer telah dicabut dan membawa masuk – ke luar sembako tanpa izin dalam keadaan normal bukan merupakan perbuatan pidana. Dapatkah G dijatuhi pidana ?
  • 92. 1. Seorang WN Italia menjambret sebuah tas milik WN India di Malioboro Mall, Yogyakarta. WN Italia tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ? 2. Seorang WNI berada di Nunukan, Kalimantan Timur menembak seorang WN Singapura yang sedang berada di wilayah teritorial Malaysia.WNI tersebut diadili dengan meggunakan hukum mana? 3. WN Indonesia menganiaya seorang WN Maroko di Kedutaan Besar Jerman di Jakarta. WN Indonesia tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ? 4. Kapal berbendera Mongolia sedang berada di dermaga Tanjung Perak Surabaya. Di atas kapal tersebut terjadi pemerkosaan seorang wanita Jepang oleh WN Indonesia. WN Indonesia diadili dengan menggunakan hukum mana ? 5. Di atas laut bebas dalam pesawat terbang KLM, terjadi pembunuhan WN Indonesia terhadap WN Amerika. WN Indonesia tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ? 6. KRI Dewaruci sedang rapat di dermaga Montevideo. Di atas kapal tersebut terjadi penganiayaan WN Afganistan terhadap WN Kenya. WN Afganistan tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ?
  • 93. 7. Pesawat Garuda terbang di atas Buenos Aires. Dalam pesawat tersebut, seorang WN Somalia mencuri dompet milik WN Indonesia. WN Somalia tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ? 8. WN Inggris menghamili seorang wanita berkebangsaan Indonesia. Kedua pasangan tersebut kemudian berpergian ke Stotcholm dan menggugurkan kandungan di sana karena di Swedia, aborsi bukan merupakan perbuatan pidana. Setelah aborsi mereka berdua kembali ke Indonesia. Karena ketahuan melakukan aborsi di Stotcholm, mereka dilaporkan ke polisi. Mereka berdua diadili dengan menggunakan hukum mana ? 9. WN Philipina bersama beberapa WN Venezuela mengedarkan uang palsu Rupiah di Caracas dalam penjualan minyak bumi di sana. Hukum mana yang digunakan untuk mengadili mereka ? 10. Presiden RI berkunjung ke Kedutaan Israel yang berada di Bucares. Seoarang penembak jitu berkebangsaan Iran berada di gedung Kedutaan Cuba dan menembak Presiden RI dari sana. Hukum mana yang akan dipakai untuk mengadili WN Iran tersebut ? Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Iran tidak punya hubungan diplomatik dengan Cuba. 11. Presiden RI berada di Kedutaan Besar Chili di Kopenhagen. Dengan menggunakan pistol pengawal kepresidenan, Presiden RI menembak seorang WN Mesir yang hendak menyerangnya. Presiden RI diadili dengan menggunakan hukum mana ? 12. Beberapa WN Laos melakukan penyelundupan heroin kepada temannya WN Kamboja di kedutaan besar Thailand di Jakarta. Para WN Laos tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ?
  • 94. Hak Menuntut Gugur Karena Daluwarsa 1. Semua pelanggaran & kejahatan percetakan  1 tahun 2. Kejahatan yang hanya diancam denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari 3 tahun  6 tahun 3. Kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun  12 tahun 4. Kejahatan yang diancam pidana seumur hidup atau pidana mati  18 tahun 5. Jika si Pelaku pada saat melakukan perbuatan itu belum cukup 18 tahun dikurangi sehingga menjadi 1/3.
  • 95. Kapan Waktu Gugurnya Penuntutan ?  Waktu gugurnya penuntutan mulai dihitung sejak keesokan harinya setelah perbuatan dilakukan, kecuali : 1. Perkara memalsu atau merusak uang  sejak keesokan harinya setelah orang memakai benda atau uang yang dipalsukan 2. Perakara dalam Pasal 328, 329, 330 & 333  sejak keesokan harinya setelah orang dilepaskan atau setelah matinya orang akibat perbuatan itu.
  • 96. Khusus Delik Aduan 1. Pengaduan hanya dapat dilakukan dalam waktu 6 bulan sesudah orang yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu dan bediam di Indonesia. 2. Pengaduan hanya dapat dilakukan dalam waktu 9 bulan sesudah orang yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu dan bediam di luar Indonesia. 3. Pengaduan boleh dicabut hanya dalam waktu 3 bulan setelah yang berhak mengadu memasukkan pengaduan tersebut. 4. Pengaduan bisa dipisah
  • 97. Perizinahan (Pasal 284 KUHP) 1. Laki-laki beristri berbuat zina sedang diketahuinya bahwa Pasal 27 KUHPerdata berlaku padanya. 2. Perempuan bersuami berbuat zina. 3. Laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu sedang diketahuinya bahwa kawannya bersuami. 4. Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu sedang diketahuinya bahwa kawannya beristri dan kawannya itu tunduk pada Pasal 27 KUHPerdata 5. Delik aduan absolut 6. Dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan diikuti permintaan bercerai
  • 98. Pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) 1. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya. 2. Pemerkosaan adalah ekspresi seksual dari kekerasan dan bukan ekpresi kekerasan dari seksual 3. Alat bukti yang cukup kuat adalah visum et repertum
  • 99. Motivasi Pemerkosaan 1. Motivasi seksual 2. Motivasi keuasaan 3. Motivasi balas dendam 4. Motivasi kekerasan 5. Motivasi sosial Catatan 1. Salah satu karakteristik pemerkosaan di Indonesia adalah rape relate magic 2. victim participation  life style 3. Statutory rape