1. Curicullum Vitae
Name : Eddy O.S. Hiariej
Place Of Birth : Ambon, 10 April 1973
Education & Foreign Experience :
1. Sarjana Hukum UGM 1998, Master Hukum UGM
2004 & Doktor 2009 & Profesor/Guru Besar
Hukum Pidana 2010.
2. Comparative Study ke International Court of
Justice United Nations Organization Den Haag,
Belanda.
3. Human Rights Short Course & Human Rights
Teaching in Strasbourg, Perancis, 2001.
4. Foreign Observer, General Election in Filipina,
2001.
5. Dialog East Asia Common Space In South Korea,
1 – 8 Agustus 2004
3. ReFeReNsI
1. G.A. van Hamel, 1913, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlansche
Strafrecht, Derde Druk, De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante
’s-Gravenhage.
2. D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafrecht , Eerste
Deel, Zesde Druk, P. Noordhoof, N.V. – Groningen – Batavia.
3. D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafrecht ,
Tweede Deel, Zesde Druk, P. Noordhoof, N.V. – Groningen – Batavia.
4. J.E. Jonkers, 1946, Handboek Van Het Nederlansch – Indische
Strafrecht, E.J. Brill, Leiden.
5. T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht ,
Vijfde Druk, Eerste Deel Inleiding Boek I, S. Gouda Quint – D. Brouwer
En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe – Arnhem.
6. T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht ,
Vijfde Druk, Tweede Deel Inleiding Boek II, S. Gouda Quint – D.
Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe – Arnhem.
7. T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht ,
Vijfde Druk, Derde Deel Inleiding Boek III, S. Gouda Quint – D.
Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe – Arnhem.
4. ReFeReNsI
8. H.B. Vos, 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde
Herziene Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.
9. D. Hazewinkel Suringa, 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het
Nederlandse Strafrecht, H.D. Tjeenk Willink & Zoon N.V. –
Haarlem.
10. J.M. van Bemmelen En W.F.C. van Hattum, 1953, Hand En
Leerboek Van Het Nederlandse Strafrecht, S. Gouda Quint –
D. Brouwer En Zoon, Arnhem.
11. J.M. van Bemmelen En H. Burgersdijk, 1955, Arresten Over
Strafrecht, Vijfde Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. –
Haarlem.
12. W.P.J Pompe, 1959, Hanboek Van Het Nederlandse
Strafrecht, Vijfde Herziene Druk, N.V. Uitgevers –
Maatschappij W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle.
13. Ch.J. Enschede, 2002, Beginselen van Strafrecht, 10e druk,
Kluwer Deventer.
14. Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka.
15. Moeljatno, 1955, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawab
Dalam Hukum Pidana, Pidato Diesnatalis Ke IV Universitas
Gadjah Mada, Sitihinggil.
16. Moeljatno, 1985, Percobaan dan Penyertaan, Bina Aksara,
Jakarta.
17. Moeljatno, 2001, Ktab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi
Aksara, Jakarta.
5. ReFeReNsI
18. Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
19. D.Schaffmeister, N.Keijzer, E.P.H. Sutorius, 1995, Hukum Pidana,
diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy Liberty, Yogyakarta.
20. Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum
Matrial Dalam Hukum Pidana Di Indonesia , Alumni Bandung.
21. E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana, Jilid I Penerbitan Universitas,
Bandung.
22. E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana, Jilid II Penerbitan Universitas,
Bandung.
23. Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal
Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan
Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
24. Ruslan Saleh,1981, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawab
Pidana, Penerbit Aksara Baru, Jakarta.
25. Fraser Sampson, 2001, Blackstone’s Ploice Manual Crime, Blackstone
Press Limited.
26. Machteld Boot, 2001, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject
Matter Jurisdiction of the International Criminal Court : Genocide,
Crimes Against Humanity, War Crimes , Intersentia, Antwerpen –
Oxford – New York
27. Paul Bergman & Sara J. Berman – Barret, 2003, The Crimnal Law
Handbook, 5th edition, Nolo Law for All
6. Perbuatan Pidana Dan Beberapa
Asas Hukum Pidana
1. Istilah ‘Perbuatan Pidana’
2. Istilah ‘Strafbaar Feit’
3. Asas Legalitas
4. Asas Geen straf zonder schuld
5. Asas Teritorial, Pengecualian Asas
Teritorial dan Perluasan Asas
Teritorial
6. Ne bis in idem
7. Melawan hukum
7. Dalam hukum pidana di Indonesia Perbuatan
Pidana dan Per tanggung Jawaban
Pidana DIPISAH secara tegas. Perbuatan
pidana hanya mencakup dilarangnya suatu
perbuatan, sedangkan pertanggung jawab
pidana mencakup dapat – tidaknya dipidana
sipembuat / sipelaku. Dasar dari perbuatan
pidana adalah ASAS LEGALITAS , sementara
dasar dari pertanggung jawaban pidana
adalah TIDAK ADA PIDANA TANPA
KESALAHAN atau Geen Straf Zonder
Schuld . Hal ini merupakan perbedaan
mendasar dengan hukum pidana Belanda
yang TIDAK MEMISAHKAN antara
strafbaar van het feit dan strafbaar van
de dader .
8. Istilah ‘Perbuatan Pidana’
Perbuatan Pidana : (1) b
1. Perbuatan yang dilarang
2. Larangan dalam undang-undang
3. Ada ancaman bagi barang siapa yang
melanggar
Perbuatan :
1. Kelakuan (handeling)
2. Akibat (gevolg)
9. Strafbaar Feit
• Jonkers : ”De korte definitie luidt : een strafbaar feit is een feit,
dat door de wet is strafbaar gesteld. Een langere en ook
beteekenisvollere definitie is : een strafbaar feit is een feit met
opzet of schuld in verband staande onrechtmatig
(wederechtelijke) gedraging begaan door een toerekenisvatbaar
persoon”
(Defenisi singkat : Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan
yang menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana. Defenisi
panjang dan juga defenisi pengertian keseluruhan : Perbuatan
pidana adalah suatu perbuatan dengan sengaja atau alpa yang
dilakukan dengan melawan hukum oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan).
10. • Pompe :”..... theoretische uiteenzettingen ..... strafbare feit
definieren als de normovertreding, waaraan de overtreder schuld
heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der
rechtsorde en de behartiging van het algemeen welzijn..... Het
strafbare feit ..... een gedraging zijn met drie algemene
eigenschapen...... wederrechtelijk, aan schuld te wijten en
strafbaar..... Volgens ons positieve recht is het strafbare feit niets
aanders dan een feit, dat in een wettelijke bepaling las strafbaar is
omschreven.....
(..... gambaran teoretis ...... perbuatan pidana didefinisikan sebagai
pelanggaran norma yang diadakan karena pelanggar bersalah dan
harus dihukum untuk menegakkan aturan hukum dan
menyelamatkan kesejahteraan umum......Perbuatan pidana .....
suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan.....
melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat
dipidana......Menurut hukum positif, perbuatan pidana tidak lain dari
suatu perbuatan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhi hukuman......)
11. • Simons : Strafbaar feit“ omschrijven als eene strafbaar
gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande
handeling van een toerekeningsvat baar persoon.
Perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman,
bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang
yang bersalah dan orang tersebut dianggap bertanggung
jawab atas perbuatannya. Sedangkan
• van Bemmelen dan van Hattum : .....Strafbaar feit
betekent feit terzake waarvan een persoon strafbaar
is..... dat feit en persoon in het strafrecht onafscheidelijk
zijn..... dat altijd een persoon slechts strafbaar kan zijn
terzake van een feit, hetwelk hij zelf heeft begaan....
......Perbuatan pidana berarti perbuatan yang
menyebabkan seseorang dapat dihukum..... perbuatan
dan orang dalam hukum pidana tidaklah dapat
dipisahkan.....seseorang hanya dapat dihukum karena
sutau perbuatan yang ia sendiri lakukan.....
12. • Ch.J. Enschede : “een menselijke gedraging
die valt binnen de grenzen van
delictsomschrijving, wederrechtelijk is en aan
schuld te wijten”.
Kelakuan manusia yang memenuhi rumusan
delik, melawan hukum dan dapat dicela. (1)a
• Vos : “een menselijke gedraging, waarop door
wet straf is gesteld”
Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia
yang oleh undang-undang pidana diberi
hukuman.
13. Strafbaar Feit dan Perbuatan
PidanaX (2)b
Strafbaar Feit TIDAK SAMA DENGAN
Perbuatan Pidana. Feit hanya diartikan
sebagai kelakuan semata sedangkan
Perbuatan diartikan sebagai kelakuan dan
akibat. Strafbaar Feit memadukan
perbuatan pidana dan pertanggung
jawaban pidana, sedangkan perbuatan
pidana tidak mengandung pertanggung
jawaban pidana.
14. Elemen-Elemen Perbuatan
Pidana 2(a)
• D.Schaffmeister, N.Keijzer, E.P.H.
Sutorius :
1. Memenuhi unsur delik
2. Melawan Hukum
3. Dapat dicela
15. • Moeljatno (3) b
1. Kelakuan dan akibat Perbuatan
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai
perbuatan
3. Keadaan tambahan yang memberatkan
pidana
4. Obyektief onrechtselement
5. Subyektif onrechtselement
16. Sejarah Asas Legalitas
Tujuan Hukum Pidana menurut Aliran Klasik
Melindungi anggota masyarakat dari tindakan yang
sewenang-wenang
Markies van Becaria “Dei delitte edelle pene”
Kasus Jean Calas te Toulouse terhadap anaknya
Mauriac Antonie Calas
Voltaire mengecam putusan tersebut C.S.B.D.
Montesquieu (1748) & J.J. Rosseau (1762) menuntut
raja dibatasi dengan hukum tertulis.
Article 8 Declaration des droits de L’homme et du
citoyen (1789) nul ne peut etre puni, qu’en vertu
d’une loi etabile et promulguee, anterieurement au delit
et legalement appliquee.
17. Anselm von Feuerbach Lehrbuch des peinlichen Recht
Nulla poena sine lege;
Nulla poena sine crimine;
Nullum crimen sine poena legali
Article 4 Code Penal Perancis oleh Napoleon
Bonaparte 1801” “Nulle contravention, nul delit, nul
crime, ne peuvent etre punis de peines, qui n’ etaient
pas prononcees par la loi, avant qu’ils fussent commis”
Pasal 1 WvS Belanda : Geen feit is strafbaar dan uit
kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke
strafbepaling
Pasal 1 ayat (1) KUHP : “Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan”
18. Principle Legality
Machteld Boot The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in
Article 1 StGb (Eine tat kann nur bestraft werden, wenn die
strafbarkeit geseztlich bestimmt war, bevor die Tat begangen
wurde) is generally considered to include four separate
requirements. First, conduct can only be punished if the
punishability as well as the accompanying penalty had been
determined before the offence was committed ( nullum crimen,
noela poena sine lege praevia ). Furthermore, these
determinations have to be included in statutes (Gesetze) : nullum
crimen, noela poena sine lege scripta . These statutes have
to be definite (bestimmt) : nullum crimen, noela poena sine
lege certa . Lastly, these statutes may not be applied by analogy
which is reflected in the axiom nullum crimen, noela poena
sine lege stricta .
19. Moeljatno Pertama , tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum
dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua , Dalam
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi. Ketiga , aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Groenhuijsen , makna asas legalitas (4) b
1. Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu
ketentuan pidana berlaku mundur.
2. Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik
yang sejelas-jelasnya.
3. Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan
pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
4. Terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.
20. Schaffmeister, de Keijzer & Sutorius
• Tidak ada pidana kecuali berdasarkan
ketentuan pidana menurut UU.
• Tidak boleh beranalogi
• Tidak ada pidana hanya kebiasaan
• Lex Certa
• Tidak berlaku surut = ex post facto, non
retroaktif = lex praevia.
• Tidak ada pidana lain selain dalam UU
• Penuntutan pidana hanya menurut cara
sesuai UU.
21. Fungsi Asas Legalitas :
1. Instrumental (3) a
2. Melindungi
HARAP DIBEDAKAN DENGAN FUNGSI
INSTRUMENT & FUNGSI MELINDUNGI DARI
HUKUM PIDANA
InstrumenDalam batas tertentu pelaksanaan
kekuasaan pemerintah dibolehkan.
MelindungiPelaksanaan kekuasaan tanpa
batas terhadap rakyat oleh negara.
22. Perkembangan Asas Legalitas
1. Titik berat pada individu G.W.Paton Nulla Poena
Sine Lege
2. Titik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan
Anslem von Feuerbach Generale Preventie
psychologische zwang. (4) a
3. Titik berat pada kedua unsur yang sangat penting yaitu
agar orang menghindari perbuatan pidana dan
pemerintah tidak sewenang-wenang van Der Donk
4. Titik berat pada perlindungan hukum kepada negara
dan masyrakat G.W.PatonNullum crimen sine
poena legali a crime is a socially dangerous act of
commission or ommission as prescribed in a criminal
law.
23. Pembatasan Asas Legalitas
Pembatasan asas legalitas atau
pembatasan terhadap asas lex termporis
delicti terdapat dalam Pasal 1 ayat (2)
KUHP Indonesia berbunyi, “Jika sesudah
perbuatan dilakukan ada perubahan
dalam perundang-undangan, dipakai
aturan yang paling ringan bagi terdakwa .”
24. Verandering in de Wetgeving
(Perubahan Perundang-Undangan)
1. Formele leer Simons perubahan hanya
mencakup undang-undang pidana semata
2. Beperkte materiil leer van Geuns perubahan di
luar undang-undang pidana tetapi mempengaruhi
secara tidak langsung undang-undang pidana. (5) a
3. Onbeperkte materiil leer perubahan di luar undang-
undang pidana termasuk perubahan undang-undang
yang hanya dimasudkan berlaku untuk sementara
waktu Tidak termausk Pasal 1 ayat (2) KUHP
25. Gunstigste bepalingen
(Aturan yang paling meringankan)
Tidak hanya menyangkut sanksi pidana
semata tetapi juga menyangkut penilaian
keseluruhan terhadap suatu delik.
Simons & Jonkers tidak hanya
menyangkut sanksi pidana semata tetapi
juga menyangkut dapat – tidak dituntutnya
suatu perbuatan.
26. Pembatasan Lex Termporis Delicti
di Inggris & Swedia
Inggris Jika terjadi perubahan
perundang-undangan, terdakwa diadili
dengan menggunakan aturan hukum yang
lama (6) a
Swedia Jika terjadi perubahan
perundang-undangan, terdakwa diadili
dengan menggunakan aturan hukum yang
baru
27. Asas Teritorial
1. Asas Teritorial = Hukum Pidana Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia Pasal 2
KUHP
2. Pengecualian atas asas teritorial dapat terhadap :
a. Orang : (5) b
1) Kepala Negara Par in parem in hebet in perium
2) Duta Besar dan Konsul serta diplomat
3) Petugas lembaga internasional
b. Tempat
1) Wilayah Kedutaan Besar
2) Wilayah Angkatan Bersenjata
3) Kapal berbendera negara asing (7) a
28. Perluasan Asas Teritorial
1. Perluasan teknis
2. Perluasan berdasarkan
kewarganegaraan
3. Perluasan berdasarkan prinsip proteksi
4. Perluasan berdasarkan prinsip universal
29. Perluasan Teknis
1. Perluasan teknis subyektif Hukum Pidana
Indonesia berlaku atas perbuatan yang mulai
dilakukan di Indonesia tetapi berakhir atau
menimbulkan akibat di wilayah negara lain
2. Perluasan teknis obyektif Hukum Pidana
Indonesia berlaku atas perbuatan yang mulai
dilakukan di negara lain tetapi berakhir atau
menimbulkan akibat di Indonesia
30. Perluasan Berdasarkan
kewarganegaraan
1. Kewarganegaraan aktif = Asas Personal =
Asas Nasional Aktif Hukum Pidana
Indonesia berlaku bagi WNI di mana pun
berada Pasal 5 ke-2 KUHP
2. Kewarganegaraan pasif = Asas Nasional Pasif
Hukum pidana Indonesia berlaku atas
orang yang melakukan kejahatan di wilayah
negara lain yang akibatnya menimpa WNI (8)a
31. Perluasan Berdasarkan Prinsip
Proteksi
Hukum pidana Indonesia berlaku atas
perbuatan pidana yang melanggar
keamanan dan integritas atau
kepentingan vital ekonomi atau
kepentingan lainnya yang hendak
dilindungi yang dilakukan di luar wilayah
Indonesia Pasal 4 ke-1, ke-2 dan ke-3
KUHP
32. Perluasan Berdasarkan Prinsip
Universal
Hukum pidana Indonesia berlaku atas
perbuatan pidana yang melanggar
kepentingan masyarakat internasional.
Perbuatan tersebut dikualifikasikan
sebagai kejahatan internasional atau
delicta jure gentium atau delit droit de
gens Pasal 4 ke 4 KUHP (9) a
33. Ne Bis In Idem
Ne bis in idem atau double jeopardy =
seseorang tidak dapat dituntut lebih dari
satu kali di depan pengadilan dengan
perkara yang sama untuk menjamin
kepastian hukum, melindungi hak asasi
manusia dan mejaga keluhuran martabat
hakim.(6) b
34. Geen straf zonder schuld
‘Schuld’ mengandung 3 elemen :
1. Kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat.
2. Keadaan batin tertentu dari si pembuat yang dihubungkan dengan kejadian.
3. Tidak dapat dipertanggungjawabkan suatu kejadian oleh si pembuat karena ada alasan
penghapus pertanggungjawaban
Pompe ”..... dat geen straf wordt toegepast, tenzij er een wederrechtelijke schuld te wijten
gedraging is. Daar in ons recht geen schuld bestaat zonder wederrechtelijkheid, kan men de
kern der theorie dus kor formuleren als : geen starf zonder schuld”
(..... tidak ada pidana yang diterapkan, kecuali suatu kelakuan yang melawan hukum dan
kesalahan yang dapat dicela. Menurut hukum kita tidak ada kesalahan tanpa melawan hukum,
teori ini kemudian diformulasikan sebagai : tiada pidana tanpa kesalahan)
Schuld is niet te begrijpen zonder wederrechtelijkheid
(Kesalahan tidak ada artinya tanpa sifat melawan hukum)
35. Wederrechtelijk Leer
(Ajaran Melawan Hukum)
Ajaran Melawan Hukum meliputi :
1. Wederrechtelijk element (unsur melawan
hukum)
2. Wederrechtelijk begrijp (pengertian
melawan hukum)
3. Wederrechtelijk heid (sifat melawan
hukum)
36. Unsur Melawan Hukum
Pandangan Formil Merupakan unsur delik apabila disebut secara tegas Pompe
& Simons “Wederrechtelijkheid is dus in het algemeen geen bestandeel van het
strafbare feit, tenzij uitdrukkelijk in de wettelijke omschrijving opgenomen”
(Melawan hukum bukanlah unsur umum dari perbuatan pidana keccuali jika
dinyatakan dengan tegas dalam rumusan delik)
Pandangan Materiil Merupakan unsur mutlak (konstitutif) setiap perbuatan pidana
Moeljatno & Vos (7) b
Pandangan tengah Merupakan unsur yang konstan dan permanen Suringa
“Opmerkelijk is, dat deze definities niet slechts de wederechtelijkheid als constant en
permanent element van ieder strafbaar feit noemen....., De wederechtelijkheid is
slechts daar, waar wet haar noemt elementen verder allen maar het kenmerk van
ieder delict …”
(Sifat melawan hukum adalah unsur konstan dan permanen selama disenut dalam
rumusan delik, jika tidak, melawan hukum hanya merupakan tanda dari suatu delik...)
37. Arti ‘recht’ dalam ‘wederrechtelijk’
(Pengertian Melawan Hukum)(8)b
Dalam MvT= memorie van toelichting TIDAK DITEMUKAN apa
arti recht dalam wederrechtelijk Muncul beberapa pendapat :
1. Recht = objectief recht Simons
2. Recht = subjectief recht Noyon
3. Recht = tanpa kekuasaan Putusan HR 18 Januari 1911
4. Recht = hukum tertulis & hukum tidak tertulis Pompe, van
Hattum, van Bemmelen & Moeljatno Wederrechtelijk betekent :
in strijd met het recht, hetgeen ruimer is dan : in strij met de wet.
Behalve wettelijke voorschriften komen hier ongeschreven
regelen in aanmerking
(Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum : Tidak
hanya sebatas bertentangan dengan undang-undang tetapi juga
bertentangan dengan aturan-aturan yang tidak tertulis)
38. Sifat Melawan Hukum
1. Generale Wederrechtelijkheid
2. Specilae Wederrechtelijkheid
3. Formal Wederrechtelijkheid
4. Matrial Wederrechtelijkheid
39. Generale Wederrechtelijkheid
Sifat melawan hukum umum syarat umum dapat dipidananya suatu
perbuatan. Ajaran ini berasal dari Hukum Pidana Belanda yang menyatakan
perbuatan pidana adalah yang melawan hukum
Door een bepaald feit strafbaar te stellen geeft de wetgever uit den aard der
zaak te kennen dat hij het als wderechtelijk beschouwt of voorstaan als
zoodaning beschouwd wil zien. Noyon & Langemeijer
(Dengan menyatakan sesuatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk
undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu
sebagai bersifat melawan hukum atau selanjutnya akan dipandang
demikian. Dpidananya sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak
ada artinya)
”..... een gedraging zijn met drie algemene eigenschapen : wederrechtelijk,
aan schuld te wijten en strafbaar...” Pompe
(Perbuatan pidana ..... suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu
kesatuan..... melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat
dipidana)
40. Speciale Wederrechtelijkheid(10a)
Sifat melawan hukum khusus Kata “melawan
hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan
demikian sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis
untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sebenarnya
penyebutan kata ”melawan hukum” secara eksplisit
dalam rumusan delik merujuk pada ilmu hukum Jerman
yang diajarkan sejumlah pakar antara lain,
Zevenbergen dan pengikutnya di Belanda, Simon.
Menurut pandangan ini, melawan hukum hanya
merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan
tegas dalam peraturan perundang-undangan.
41. Formal Wederrechtelijkheid
Sifat melawan hukum formal semua
bagian (unsur-unsur) dari rumusan delik telah
dipenuhi.
“...... Di samping lapangan formil, kita harus
meninjau pula lapangan materiil, sehingga dari
perpaduan antara dua segi ini, tertentulah isi
atau makna perbuatan pidana...... tinjauan dari
segi formil ini perlu, berhubung dengan asas
legalitet.....” Moeljatno
42. Matrial Wederrechtelijkheid
Sifat melawan hukum material secara garis besar dibagi
atas :
1. Sifat melawan hukum material dilihat dari sudut
perbuatannya perbuatan yang melanggar atau
membahayakan kepentingan hukum yang hendak
dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam
rumusan delik tertentu.
2. Sifat melawan hukum material dilihat dari sudut sumber
hukumnya bertentangan dengan hukum tidak tertulis
atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas
kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial
dalam masyarakat
43. Sifat melawan hukum material
dilihat dari sudut sumber hukumnya
1. Sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang
negatif meskipun perbuatan memenuhi unsur delik
tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan
masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak dipidana.
2. Sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang
positif meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun jika
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.
44. Pertanggung Jawaban Pidana
Dipidananya seseorg tidaklah cukup apabila org
telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan hukum atau melawan hukum. Untuk
pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa
orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan, dengan kata lain orang
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya.
45. Dalam Hukum Pidana berlaku asas “Tiada
Pidana tanpa kesalahan” (Geen straf zonder
schuld/ Keine Strafe Ohne Schuld)
Asas Geen straf zonder schuld memp
sejarahnya sendiri:
Pertama hukum pidana hanya melihat pada
perbuatan dan akibatnya saja Tatstrafrecht
Perkembangan berikutnya mulai memperhatikan
pada orangnya/ pembuat Taterstrafrecht tanpa
meninggalkan Tatstrafrecht.
Hukum pidana pada saat ini berorientasi pada
perbuatan, akibat dan pembuatnya/ orang Tat-
Taterstrafrecht / Daad-Daderstrafrecht
46. Beberapa Pendapat Tentang Kesalahan.
Mezger : Keseluruhan syarat yang memberi
dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap
si pelaku.
Simons : Sebagai dasar untuk pertanggung
jawaban dalam hukum pidana berupa keadaan
psychis dari si pembuat dan hubungan dengan
perbuatannya dan dalam arti bahwa
berdasarkan keadaan psychis (jiwa) itu
perbuatannya dapat dicelakan kepada si
pelaku.
Van Hamel: Kesalahan dalam suatu delik
adalah pengertian psychologis. Hubungan
antara keadaa jiwa si pelaku dan terwujudnya
unsur-unsur delik karena perbtn-nya.
47. Van Hattum: Pengertian kesalahan yang paling
luas memuat semua unsur yang mana
seseorang dipertanggungjawabkan menurut
hukum pidana terhadap perbuatan yang
melawan hukum, meliputi semua hal, yg bersifat
psychis yang terdapat dalam keseluruhan
berupa strafbaarfeit termasuk si pelaku.
Pompe : Tidak merumuskan kesalahan, tetapi
menjelaskan bahwa pada pelanggaran norma
yang dilakukan karena kesalahannya, melawan
hukum merupakan hal yang tampak keluar,
sedangkan yang ada di dalam adalah kesalahan
berupa kehendak dari si pembuat.
48. Apa yang terkandung dalam kesalahan ?
Vos :
Kemampuan bertanggungjawab
Hubungan batin pelaku terhadap perbuatan dalam
bentuk kesengajaan atau kealpaan;
Tidak terdapat alasan yang menghapus
pertanggujngjawaban pelaku
Mezger :
Kemampuan bertanggungjawab;
Adanya bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan
atau kealpaan;
Tak ada alasan penghapus kesalahan.
Pompe :
Menambah adanya unsur pencelaan
49. Masalah kesalahan dapat – tidaknya pelaku
dipertanggungjawabkan berhubungan dengan kebebasan
kehendak
Aliran indeterminis (penganut indeterminisme): manusia mempunyai
kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala keputusan
kehendak; tanpa ada kebebasan kehendak, maka tidak ada kesalahan;
jika tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan sehigga tidak ada
pemidanaan.
Aliran determinis (penganut determinisme): manusia tidak mempunyai
kehendak bebas. Keputusan berbuat sesuatu di dasarkan pada watak /
nafsu yang datang dari luar. Namun meskipun tidak mempunyai
kehendak bebas, tidak berarti orang yang melakukan perbuatan pidana
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Justru karena tidak adanya
kehendak bebas maka ada pertanggungjawaban dari seseorg atas
perbuatannya, hanya saja reaksi terhadap pperbuatan berupa tindakan
untuk ketertiban, dan bukannya pidana dalam arti “penderitaan sabagai
buah hasil dari kesalahan pelaku”
Adanya kesalahan tidak perlu dihubungkan dengan ada / tidak adanya
kehendak bebas. Hubungan itu tidak relevan.
50. Kemampuan Bertanggungjawab
Dalam KUHP tidak ada satu pasal pun yang
memberi pengertian mengenai kemampuan
bertanggungjawab.
Pasal 44
Barang siapa melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, karena jiwanya cacat dalam
tumbuhnya atau terganggu jiwanya karena
penyakit, tidak dipidana.
Perlu konstatasi keadaan jiwa cacat/ tadak dapt
dipertanggungjawabkan oleh psychiater;
Perlu ada hubungan kausal antara perbuatan dengan
keadaan jiwa cacat ditetapkan oleh hakim.
51. Mampu Bertanggungjawab
Van Hamel:
1. Bahwa orang mampu menginsyafi arti perbuatannya (makna dan
akibatnya).
2. Orang mampu menginsyafi perbuatannya bertentangan dengan
ketertiban masyarakat.
3. Bahwa orang mampu menentukan kehendaknya terhadap
perbuatannya itu.
Simons :
1. Orang mampu menginsyafi perbuatannya yang bersifat melawan
hukum.
2. Sesuai dengan penginsyafan itu dapat menentukan kehendaknya.
MvT (menentukan secar negatif):
Tidak mampu bertanggungjawab adalah :
1. Dalam hal orang tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat atau
tadak berbuat apa yg oleh undang-undang dilarang atau
diperintahkan.
2. Dalam hal orang ada dalam keadaan tertentu sehingga tidak dapat
menginsyafi perbuatannya bertentangan dengan hukum, dan tidak
mengerti akibat perbuatannya.
52. Metode Menentukan Tidak Mampu Bertanggung Jawab
1. Metode biologis jika psichiater telah
menyatakan seseorang sakit jiwa, maka ia
tidak dapat dipidana.
2. Metode phisikologis menunjukkan hubungan
antara keadaan jiwa yang abnormal dengan
perbuatannya. Metode ini mementingkan akibat
jiwa terhadap perbuatannya sehingga dapat
dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan
tidak dapat dipidana.
3. Metode biologis-phisikologis di samping
memperhatikan keadaan jiwanya, kemudian
keadaan jiwa ini dipernilai dengan
perbuatannya untuk dinyatakan tidak mampu
bertanggungjawab.
53. Tidak mampu bertanggung jawab sebagian
Ada penyakit jiwa yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan untuk sebagian;
Chleptomania penyakit jiwa yang berwujud
dorongan yang kuat dan tak tertahan untuk
mengambil barang milik orang lain
Pyromania penyakit jiwa berupa kesukaan
membakar sesuatu tanpa alasan;
Clausthropobie penyakit jiwa berupa
ketakutan berada di ruang yang sempit;
Waham Kebesaran penyakit jiwa merasa
dirinya sebagai orang yang besar atau
mempunyai kedudukan tinggi
54. Keragu-raguan menentukan mampu
bertanggung jawab
Ada dua Pendapat:
Terdakwa tetap dipidana .
Kemampuan bertanggungjawab harus selalu
dianggap ada pada setiap orang, kecuali
terbukti sebaliknya (pendirian Pompe)
Terdakwa tidak dipidana
Dalam hal ada keragu-raguan,harus diambil
keputusan yang menguntungkan terdakwa
(asas in dubio proreo).
55. Kesengajaan dan Kealpaan
Unsur kedua dari kesalahan adalah
hubungan batin antara si pembuat
terhadap perbuatan yang dapat berupa
sengaja atau alpa.
56. Kesengajaan
Apa yg dimaksud dengan sengaja KUHP
tidak memberi definisi. MvT mengartikan
kesengajaan sebagai “menghendaki dan
mengetahui” (willens en wetens)
Berhubungan dengan keadaan batin
orang yang berbuat dengan sengaja berisi
menghendaki dan mengetahui itu, dalam
ilmu pengatahuan. timbul dua teori:
57. 1. Teori Kehendak (wilstheorie) kesengajaan adalah
kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam
rumusan undang-undang
2. Teori Pengetahuan/ membayangkan (voorstellings-
theorie). Sengaja berarti membayangkan akan
menimbulkan akibat dari perbutannya; orang tidak bisa
menghendaki akibat, melainkan hanya dapat
membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada
apa yg dibayangkan oleh pelaku.
Terhadap perbuatan yang dilakukan pelaku kedua
teori ini tidak ada perbedaan, keduanya mengakui
bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk
berbuat.
58. Corak kesengajaan.
1. Maksud Orang menghendaki perbuatan beserta
akibatnya. Contoh : menempeleng seseorang agar
orang itu sakit sehingga tidak berbohong.
2. Kepastian perbuatan mempunyai 2 akibat yaitu akibat
yang memang dituju oleh si pembuat dan akibat yang
tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan
untuk mencapai tujuan. Contoh: kasus Thomas
Alexander Keith mengirim barang melalui kapal dari
Bremerhaven ke New York yang dipasang Bom
Waktu dengan harapan memperoleh asuransi.
3. Kemungkinan dalam hal ada keadaan tertentu yang
semula mungkin akan terjadi, kemudian ternyata
benar-benar terjadi. Contoh : mengirim kue taart yang
diberi racun, tetapi yang memakan bukan orang yang
dituju.
59. Kesengajaan yang diobjektifkan
Dalam keadaan konkrit sangat sulit bagi hakim untuk
menentukan sikap batin terdakwa berupa kesengajaan
atau kealpaan ada pada pelaku. Jika orang
menerangkan dengan jujur sikap batinnya, maka tidak
akan menemui kesulitan, tetapi jika terdakwa tidak jujur,
maka sikap batinnya harus disimpulkan dari keadaan
lahir yang tampak dari luar. Jadi dalam banyak hal hakim
harus mengobjektifkan adanya kesengajaan itu.
Contoh: menembakkan pistol dalam jarak 2 meter. Tidak
mungkin penembak menyatakan hanya ingin melukai .
Di sini perbuatan diobjektifkan berupa kesengajaan
untuk membunuh.
60. Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan tidak berwarna
(kleurloos).
Persoalan:
Apakah untuk adanya kesengajaan itu si pembuat harus menyadari
bahwa perbuatannya itu bersifat melawan hukum ?
Mengenai hal ini ada dua pendapat:
1. Sifat kesengajaan itu berwarna : adanya kesengajaan diperlukan
syarat bahwa pelaku menyadari perbuatannya itu dilarang
kesengajaan senantiasa berhubungan dengan dolus malus (dalam
kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan
hukumnya perbuatan)
2. Tidak berwarna : adanya kesengajaan cukup bahwa pelaku
menghendaki perbuatan itu. Di sini tidak diperlukan apakah ia tahu
bahwa perbuatan itu dilarang.
61. Jenis kesengajaan
Dolus generalis kesengajaan yang ditujukan kepada orang
banyak.
Dolus indirectus melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi
muncul akibat lain yang tidak dikehendaki.
Dolus determinatus kesengajaan yang ditujukan pada tujuan
tertentu.
Dolus indeterminatus kesengajaan yang ditujukan kepada
sembarang orang
Dolus alternativus kesengajaan yang dilakukan seseorang
dengan menghendaki akibat yang muncul adalah salah satu dari
beberapa kemungkinan.
Dolus premiditatus kesengajaan yang telah dipertimbangkan
dengan sungguh-sungguh.
Dolus repentinus kesengajaan dengan sekonyong-konyong.
62. Dwaling
Suatu kesengajaan dapat terjadi karena salah faham atau
kekeliruan (melakukan perbuatan pidana dengan sengaja karena
kekeliruan). Bentuk dari kekeliruan ini ada beberapa macam:
1. Feitelijke dwaling : Suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak
sengaja yang tertuju pada salah satu unsur perbuatan pidana.
Lihat Pasal 406 KUHP.
2. Rechts dwaling : Melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan
hal itu tidak dilarang oleh undang-undang. Dibedakan menjadi
kekeliruan yang dapat dimengerti dan kekeliruan yang tidak dapat
dimengerti
3. Eror in persona : kekeliruan mengenai orang yang hendak
menjadi tujuan dari perbuatan pidana.
4. Eror in objecto : kekeliruan mengenai objek yang hendak menjadi
tujuan dari perbuatan pidana.
5. Aberratio actus : Kekeliruan yang timbul disebabkan karena
berbagai sebab, sehingga akibat yang timbul berbeda/ berlainan
dari yang dikehendaki
63. Kealpaan
Di samping sikap batin berupa kesengajaan ada pula
sikap batin yang berupa kealpaan.
Akibat ini timbul karena seseorang alpa, sembrono,
teledor, berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-
duga.
Perbedaannya dengan kesengajaan ialah bahwa
ancaman pidana pada delik-delik kesengajaan lebih
berat.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih
ringan dari pada kesengajaan, tetapi bukan kesengajaan
yang ringan.
64. Apakah alasan pembentuk Undang-undang
mengancam pidana perbuatan yang mengandung
unsur kealpaan di samping unsur kesengajaan ?
Menurut M.v.T. adalah sebagai berikut :
"ada keadaan, yang sedemikian membahayakan
keamanan orang atau barang, atau mendatangkan
kerugian terhadap seseorang yang sedemikian
besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga
Undang-undang juga bertindak terhadap kekurangan
penghati-hati, sikap sembrono (teledor).
65. Pengertian Kealpaan.
Hazewinkel Suringa
IImu pengetahuan hukumk dan jurisprudensi mengartikan 'schuld' (kealpaan), sebagai :
1. kekurangan penduga-duga atau
2. kekurangan penghati-hati.
Van Hamel
Kealpaan mengandung dua syarat :
1. tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum pelaku berpikir
bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal ternyata salah (bewuste culpa)
ATAU pelaku sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul
karena perbuatannya (onbewuste culpa)
2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Simons :
Pada umumnya "schuld" (kealpaan) mempunyai dua unsur :
1. tidak adanya penghati-hati.
2. dapat diduganya akibat.
Pompe :
Ada 3 macam yang masuk kealpaan (onachtzaamheid) :
1. dapat mengirakan (kunnen verwachten) timbulnya akibat.
2. mengetahui adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid).
3. dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid).
66. Cara Menentukan Kealpaan
1. Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau
psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang
sesungguhnya, maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat
dengan mengambil ukuran sikap batin orang pada umumnya apabila ada dalam situasi
yang sama dengan pelaku.
2. "Orang pada umumnya" ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling
hati-hati, paling ahli dan sebagainya. Ia harus orang biasa/ seorang ahli biasa. Untuk
adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi harus ada
culpa lata dan bukannya culpa levis (kealpaan yang sangat ringan).
3. Untuk menentukan kekurangan penghati-hati dari pelaku dapat digunakan ukuran apakah
ia "ada kewajiban untuk berbuat lain".
4. Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan Undang-undang atau dari luar Undang-
undang, ialah dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang seharusnya
dilakukan olehnya. Kalau ia tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, maka hal
tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa ia alpa. Undang-undang
mewajibkan seorang untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.
Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan bahwa "di persimpangan jalan,
apabila datangnya bersamaan waktu, maka kendaraan dari kiri harus didahulukan".
67. Hubungan Sebab – Akibat
De leer van de causaliteit Sangat penting
untuk delik materiil dalam menentukan
pertanggungjawaban :
1. Teori Mutlak Conditio Sine Quanon von
Buri Setiap perbuatan adalah sebab dari
akibat yang timbul dan setiap sebab
mempunyai nilai yang sama.
2. Teori Traeger Hanya mencari satu saja dari
sekian banyak sebab yaitu perbuatan
manakah yang menimbulkan akibat yang
dilarang.
68. Teori Traeger
1. Teori Generalisasi Melihat sebab in
abstracto. Menurut perhitungan yang
layak, yang akan menimbulkan akibat.
2. Teori Individualisir Melihat sebab in
concreto (post factum). Hal yang khusus
diukur menurut pandangan individuil
69. Teori Generalisir
Teori Adequat von Kries Perbuatan
harus seimbang dengan akibat yang timbul :
1. Teori subjektif von Kries Keadaan yang
harus diketahui oleh pelaku.
2. Teori objektif Rumelin Keadaan yang
diketahui oleh umum
3. Teori Gabungan Simons Kedaan yang
diketahui oleh pelaku dan diketahui oleh umum
70. Teori Individualisir
1. Teori Binding Syarat negatif mencegah
timbulnya suatu akibat dan syarat positif
benar-benar menentukan suatu akibat.
2. Teori Birckmayer Dipilih faktor mana yang
paling menentukan. Sebab adalah syarat yang
paling kuat.
3. Teori Kohler Dipilih yang paling memberi
ketentuan bagi timbulnya sesuatu.
71. Percobaan
Artikel 53 WvS : “ Poging tot misdrijf is strafbaar
wanner voornemen des daders zich door en
begin van uitvoering heeft geopenbaard en de
uitvoering aleen tengevolge van
omstandigheden van zijnen wil onafhankelijk
niet is voltooid.”
Pasal 53 KUHP : “Percobaan melakukan
kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah nyata
dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak
selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata
disebabkan kehendaknya sendiri”
72. Unsur-Unsur Percobaan
Dalam Rumusan Delik
1. Voornemen = Niat
2. Begin van uitvoering = Permulaan
pelaksanaan
Di Luar Rumusan Delik
Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum
Delic Manque & Delic Tentative
Catatan :
Tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-
mata disebabkan kehendaknya sendiri
BUKAN UNSUR PECOBAAN TETAPI
ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN
73. Niat
Niat atau Voornemen :
1. Subjektif sikap batin memberi arah tertentu kepada
perbuatan
2. Objektif sikap batin dilihat oleh orang lain dengan
adanya perbuatan yang merupakan pelaksanaan
terhadap niat dan nyata-nyata ditujukan untuk
melakukan perbuatan yang diniati
Simons, van Hamel, van Hattum, Jonkers & Suringa
Niat = kesengajaan
Moeljatno Niat tidak dapat disamakan dengan
kesengajaan tetapi bisa berubah menjadi kesengajaan
bila sudah ada perbuatan yang dituju. Jika niat belum
berubah menjadi suatu perbuatan Subjectief
onrecthselement.
74. Permulaan Pelaksanaan
Syarat Permulaan Pelaksanaan (Begin
van uitvoering) :
1. Secara subjektif niat tidak boleh
diragukan lagi menuju delik yang
dimaksud.
2. Secara objektif perbuatan harus
mengandung potensi mendekati delik
yang dituju.
75. Beberapa Catatan Tentang
Percobaan
Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
dalam hal percobaan dapat dikurangi sepertiga.
Jika kejahatan diancam dengan pidana mati
atau pidana seumur hidup, dijatuhkan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama
dengan kejahatan selesai.
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dpidana.
76. Makar
Artikel 87 WvS : “Aanslag tot een feit bestaat,
zoodra het voornemen des daders zich door een
begin van uitvoering in den zin van artikel 53,
heeft geopenbaard”
Pasal 87 KUHP : “ Makar untuk melakukan
suatu perbuatan jika niat pelaku telah nyata dari
adanya permulaan pelaksanaan seperti yang
dimasud dalam Pasal 53.”
77. Kejahatan Makar
Kejahatan terhadap kemanan negara
Misdrijven tegen de veligheid den staat
Usur Makar
1. Niat atau voornemen.
2. Permulaan pelaksanaan atau begin van
uitvoering.
Objek Makar
1. Presiden dan atau wakil presiden
2. Kedaulatan negara
3. Pemerintah
78. Pasal-Pasal Makar
1. Pasal 104 Membunuh presiden dan atau wakil
presiden, merampas kemerdekaan atau menjadikannya
tidak cakap memerintah.
2. Pasal 106 Menaklukan sebagian atau seluruh daerah
negara kepada pemerintah negara asing atau
memisahkan sebagian dari daerah negara untuk
dijadikan negara sendiri.
3. Pasal 107 Omwenteling Menggulingkan
pemerintahan yang sah.
4. Pasal 108 Melawan dengan senjata kepada
pemerintahan yang sah.
5. Pasal 110 Samenspaning Permufakatan jahat
untuk melakukan makar.
79. Penambahan Pasal-Pasal
Makar
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999
Menghapus Undang-Undang Subversi
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999
Menambah 6 ketentuan baru dalam Pasal 107
KUHP sehingga menjadi :
1. Pasal 107 a Larangan menyebarkan atau
mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala
bentuk dan perwujudannya.
2. Pasal 107 b Berusaha menggantikan
Pancasila sebagai dasar negara yang
berakibat timbulnya kerusuhan.
80. 3. Pasal 107 c Menyebarluaskan atau
mengembangkan Komunisme/Marxisme-Leninisme
sehingga timbul kerusuhan.
4. Pasal 107 d Menyebarluaskan atau
mengembangkan Komunisme/Marxisme-Leninisme
dengan maksud menggantikan Pancasila sebagai
dasar negara.
5. Pasal 107 e Mendirikan organisasi yang menganut
Komunisme/Marxisme-Leninisme dan mengadakan
hubungan atau memberi bantuan kepada organisasi
yang menganut Komunisme/Marxisme-Leninisme.
6. Pasal 107 f Merusak, menghancurkan atau
memusnahkan instalasi negara atau militer serta
menggagalkan distribusi bahan pokok yang menguasai
hajat hidup orang banyak.
81. Peristiwa Cikini 1957
30 November 1957 di Sekolah Rakyat Cikini Jakarta, Jusuf Ismail,
Sa’adon, Tasrif dan Tasin berusaha membunuh Presiden dengan
melemparkan granat tangan ke arah Bung Karno yang menghadiri
acara bazar di sekolah tersebut.
Terdakwa 1,2 dan 3 menurut Pengadilan Tinggi Tentara, Jakarta,
terbukti melanggar Pasal 104, Pasal 107 dan UU Nomor 12 tahun
1951 “ Makar dengan maksud membunuh presiden, untuk
menggulingkan pemerintah dilakukan dengan permufakatan jahat”.
Putusan Majelis sama dengan requisitor Jaksa Penuntut Umum
terhadap terdakwa 1, 2, dan 3 dipidana mati. Sedangkan terdakwa
ke-4 menurut majelis terbukti melanggar Pasal 110 ayat (2) sub.3
KUHP jo. Pasal 104, Pasal 107 KUHP tentang permufakatan jahat.
Terdakwa ke-4 dijatuhi pidana 20 tahun.
82. Contoh Kasus
A. A, dan B yang sedang bersepeda santai
di Bunderan UGM tiba-tiba diserang dan
dianiaya oleh C, D, E dan F. Kemudian
datang X dan Y mengambil sepeda A
dan B dengan maksud agar A & B tidak
melarikan diri. C, D, E , F, X dan Y
kemudian diproses secara hukum.
Pasal apakah yang dapat digunakan
untuk menjerat mereka ?
83. B. A adalah pembantu rumah tangga dari
Keluarga B. Setelah larut malam sekitar pukul
1 dini hari Si A bangun dan sengaja membuka
pintu dapur untuk memudahkan C dan D yang
hendak mencuri di rumah Keluarga B. Sekitar
jam 2 dini hari, C dan D melakukan aksinya
dengan mencuri barang-barang berharga.
1. Pasal apakah yang digunakan untuk menjerat
si A ?
2. Bagimanakan dakwaan jaksa penuntut umum
terhadap C dan D untuk menyatukan unsur
subjektif dan objektif turut serta melakukan ?
84. C. Si A meminta kepada temannya B yang
mengalami gangguan saraf untuk mencuri
sepeda motor si C dengan diiming-imingi
sejumlah uang. Perbuatan tersebut dilakukan
oleh si B.
1. Dalam delik penyertaan, apakah kualifikasi
bagi si A dan apakah kualifikasi bagi si B ?
2. Dapatkah si B yang ternyata menderita
gangguan saraf permanen dimintai
pertanggungjawaban pidana ? Jika ya apa
alasannya dan jika tidak alasan penghapus
pidana apakah yang lebih tepat bagi si B ?
3. Dapatkah si A dimintai pertanggungjawaban
pidana ?
85. D. Komandan Detasemen 88 memerintahkan A dan B
(gegana) untuk mengejar teroris yang berboncengan.
Instruksi Komandan berdasarkan perintah undang-
undang jika ada perlawanan, maka lakukan tembak di
tempat. A yang mengendarai sepeda motor
membonceng B dengan senapan yang siap
ditembakkan dan terpaksa menembak kedua teroris
yang melakukan perlawanan. Keluarga korban (teroris)
memproses secara hukum.
1. Dalam delik penyertaan, apakah kualifikasi bagi
Komandan, kualifikasi bagi si A dan kualifikasi bagi si B
?
2. Dapatkah si B dimintai pertanggungjawaban pidana ?
Jika ya apa alasannya dan jika tidak alasan penghapus
pidana apakah yang lebih tepat bagi si B ?
3. Dapatkah Komandan dan si A dimintai
pertanggungjawaban pidana ?
86. Penyertaan
Penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana
Deelneming aan strafbaar feiten
Artikel/Pasal 55 Als daders van een strafbaar feit
worden gestraft Golongan Pembuat (Dader)
1. Plegen Pelaku (pelaku di sini tidak sendirian tetapi
dengan pelaku lain)
2. Doenplegen Menyuruh lakukan
3. Medeplegen Turut serta melakukan : Berpedoman
secara subjektif dan objektif.
Catatan :
Moeljatno tidak menggunakan istilah doenplegen tetapi
uitlokken yang berarti menganjurkan atau
menggerakan. Orang yang menganjurkan atau
menggerakan disebut uitlokker.
87. Artikel/Pasal 56 Als medeplichtigen aan een misdrijf worden
gestraft Golongan Pembantu (medeplichtige) :
1. Memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan
2. Memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan
Pasal 57 :
1. Dalam hal pembantuan maksimal pidana pokok terhadap
kejahatan dikurangi sepertiga.
2. Jika diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya
sendiri.
4. Dalam hal menentukan pidana bagi pembantu, yang
diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau
diperlancar olehnya beserta akibat-akibatnya.
88. Hubungan Penyertaan Dan Alasan
Penghapus Pidana
Jika seorang pelaku peserta tidak
dipidana karena alasan pembenar, maka
sudah pasti semua pelaku peserta lainnya
tidak dapat juga dipidana.
Jika seorang pelaku peserta tidak
dipidana karena alasan pemaaf, maka
belum tentu pelaku peserta lainnya tidak
dapat juga dipidana.
89. Kasus Menteri Kehakiman RI
Menteri kehakiman RI pada tahun 1954 bersama dua orang
temannya se partai memberikan izin tinggal kepada warga negara
asing keturunan Cina untuk tetap tinggal di Indonesia, padahal
orang tersebut telah di- persona non grata. Kedua temannya
separtai telah menerim suap dari seorang Cina sementara sang
menteri tidak menikmati uang suap tersebut. Dapatkah Mneteri
tersebut dimintai pertanggung jawaban secara pidana ?
Van Hattum Pandangan Penyertaan Restriktif Setiap peserta
dalam pelaku peserta harus melakukan perbuatan yang sama
Pompe, Langemejer, Moeljatno Pandangan Penyertaan
Ekstensif Para peserta bentuk peyertaan turut serta melakukan
tidak perlu melakukan perbuatan yang sama dan tidak perlu
punya sifat pribadi yang sama dengan pelaku (dader) tersebut
rumusan delik
Putusan MA dalam Forum Prevelegiatum 23 Desember 1955
No.1/1955/MA Pid. Menjatuhkan pidana penjara 6 bulan Pasal
418 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
90. Baca Pasal 1 ayat (2) KUHP
1. A memalsukan surat pada Desember 2008 dengan ancaman
pidana 3 tahun penjara. Januari 2009 terdapat aturan baru yang
menyatakan memalsukan surat dikenai pidana 2 tahun penjara. A
diadili Februari 2009. Aturan mana yang digunakan ?
2. B mengeluarkan cek kosong pada Juli 2008 dan diancam pidana
1 tahun penjara. September 2008 ada undang-undang baru yang
menyatakan bahwa mengeluarkan cek kosong bukan perbuatan
pidana. B diadili pada Oktober 2008. Dapatkah B dijatuhi
pidana ?
3. C mencemarkan nama baik D April 2008 diancam pidana 6 bulan
kurungan. Jangka waktu pengaduan terhadap delik pencemaran
nama baik adalah 6 bulan. Pada Agustus 2008 ada undang-
undang baru yang menyatakan bahwa jangka waktu pengaduan
terhadap delik pencemaran nama baik adalah 3 bulan dengan
ancaman pidana 5 bulan. D mengadukan C ke Polisi pada bulan
September 2008. Dapatkah C diproses oleh Polisi ?
91. 4. E, seorang pemilik tempat prostitusi resmi
memperkejakan F, wanita berusia 17 tahun sebagai
PSK pada November 2008.Perbuatan E diancam
pidana 5 tahun penjara karena memperkerjakan anak di
bawa umur sebagai PSK. Pada Desember 2008 ada
undang-undang baru yang menyatakan anak di bawah
umur adalah di bawah 15 tahun. Januari 2009 E diadili
oleh PN Yogya. Dapat E dipidana ?
5. Pada waktu Aceh dinyatakan keadaan darurat militer, G
membawa masuk – keluar sembako tanpa izin
penguasa darurat militer dan tindakan G diancam
pidana 2 tahun penjara. Pada waktu G diadili, keadaan
darurat militer telah dicabut dan membawa masuk – ke
luar sembako tanpa izin dalam keadaan normal bukan
merupakan perbuatan pidana. Dapatkah G dijatuhi
pidana ?
92. 1. Seorang WN Italia menjambret sebuah tas milik WN India di
Malioboro Mall, Yogyakarta. WN Italia tersebut diadili dengan
menggunakan hukum mana ?
2. Seorang WNI berada di Nunukan, Kalimantan Timur menembak
seorang WN Singapura yang sedang berada di wilayah teritorial
Malaysia.WNI tersebut diadili dengan meggunakan hukum mana?
3. WN Indonesia menganiaya seorang WN Maroko di Kedutaan
Besar Jerman di Jakarta. WN Indonesia tersebut diadili dengan
menggunakan hukum mana ?
4. Kapal berbendera Mongolia sedang berada di dermaga Tanjung
Perak Surabaya. Di atas kapal tersebut terjadi pemerkosaan
seorang wanita Jepang oleh WN Indonesia. WN Indonesia diadili
dengan menggunakan hukum mana ?
5. Di atas laut bebas dalam pesawat terbang KLM, terjadi
pembunuhan WN Indonesia terhadap WN Amerika. WN
Indonesia tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ?
6. KRI Dewaruci sedang rapat di dermaga Montevideo. Di atas
kapal tersebut terjadi penganiayaan WN Afganistan terhadap WN
Kenya. WN Afganistan tersebut diadili dengan menggunakan
hukum mana ?
93. 7. Pesawat Garuda terbang di atas Buenos Aires. Dalam pesawat tersebut,
seorang WN Somalia mencuri dompet milik WN Indonesia. WN Somalia
tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ?
8. WN Inggris menghamili seorang wanita berkebangsaan Indonesia. Kedua
pasangan tersebut kemudian berpergian ke Stotcholm dan
menggugurkan kandungan di sana karena di Swedia, aborsi bukan
merupakan perbuatan pidana. Setelah aborsi mereka berdua kembali ke
Indonesia. Karena ketahuan melakukan aborsi di Stotcholm, mereka
dilaporkan ke polisi. Mereka berdua diadili dengan menggunakan hukum
mana ?
9. WN Philipina bersama beberapa WN Venezuela mengedarkan uang
palsu Rupiah di Caracas dalam penjualan minyak bumi di sana. Hukum
mana yang digunakan untuk mengadili mereka ?
10. Presiden RI berkunjung ke Kedutaan Israel yang berada di Bucares.
Seoarang penembak jitu berkebangsaan Iran berada di gedung Kedutaan
Cuba dan menembak Presiden RI dari sana. Hukum mana yang akan
dipakai untuk mengadili WN Iran tersebut ? Indonesia tidak mempunyai
hubungan diplomatik dengan Israel. Iran tidak punya hubungan
diplomatik dengan Cuba.
11. Presiden RI berada di Kedutaan Besar Chili di Kopenhagen. Dengan
menggunakan pistol pengawal kepresidenan, Presiden RI menembak
seorang WN Mesir yang hendak menyerangnya. Presiden RI diadili
dengan menggunakan hukum mana ?
12. Beberapa WN Laos melakukan penyelundupan heroin kepada temannya
WN Kamboja di kedutaan besar Thailand di Jakarta. Para WN Laos
tersebut diadili dengan menggunakan hukum mana ?
94. Hak Menuntut Gugur Karena
Daluwarsa
1. Semua pelanggaran & kejahatan percetakan 1
tahun
2. Kejahatan yang hanya diancam denda, kurungan atau
penjara yang tidak lebih dari 3 tahun 6 tahun
3. Kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3
tahun 12 tahun
4. Kejahatan yang diancam pidana seumur hidup atau
pidana mati 18 tahun
5. Jika si Pelaku pada saat melakukan perbuatan itu
belum cukup 18 tahun dikurangi sehingga menjadi 1/3.
95. Kapan Waktu Gugurnya
Penuntutan ?
Waktu gugurnya penuntutan mulai dihitung sejak
keesokan harinya setelah perbuatan dilakukan,
kecuali :
1. Perkara memalsu atau merusak uang sejak
keesokan harinya setelah orang memakai benda atau
uang yang dipalsukan
2. Perakara dalam Pasal 328, 329, 330 & 333 sejak
keesokan harinya setelah orang dilepaskan atau
setelah matinya orang akibat perbuatan itu.
96. Khusus Delik Aduan
1. Pengaduan hanya dapat dilakukan dalam waktu 6 bulan
sesudah orang yang berhak mengadu mengetahui
perbuatan yang dilakukan itu dan bediam di Indonesia.
2. Pengaduan hanya dapat dilakukan dalam waktu 9 bulan
sesudah orang yang berhak mengadu mengetahui
perbuatan yang dilakukan itu dan bediam di luar
Indonesia.
3. Pengaduan boleh dicabut hanya dalam waktu 3 bulan
setelah yang berhak mengadu memasukkan
pengaduan tersebut.
4. Pengaduan bisa dipisah
97. Perizinahan (Pasal 284 KUHP)
1. Laki-laki beristri berbuat zina sedang diketahuinya
bahwa Pasal 27 KUHPerdata berlaku padanya.
2. Perempuan bersuami berbuat zina.
3. Laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu sedang
diketahuinya bahwa kawannya bersuami.
4. Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan
perbuatan itu sedang diketahuinya bahwa kawannya
beristri dan kawannya itu tunduk pada Pasal 27
KUHPerdata
5. Delik aduan absolut
6. Dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan diikuti
permintaan bercerai
98. Pemerkosaan (Pasal 285 KUHP)
1. Dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa perempuan yang
bukan istrinya bersetubuh dengannya.
2. Pemerkosaan adalah ekspresi seksual
dari kekerasan dan bukan ekpresi
kekerasan dari seksual
3. Alat bukti yang cukup kuat adalah visum
et repertum
99. Motivasi Pemerkosaan
1. Motivasi seksual
2. Motivasi keuasaan
3. Motivasi balas dendam
4. Motivasi kekerasan
5. Motivasi sosial
Catatan
1. Salah satu karakteristik pemerkosaan di Indonesia
adalah rape relate magic
2. victim participation life style
3. Statutory rape