SlideShare a Scribd company logo
1 of 166
Download to read offline
1 2
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini
sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab,
mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak
segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-
sendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan
dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri
dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit.
Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh
seseorang telah merugikan masyarakat dan
pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang
tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu,
tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan
pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya
represif yang kuat berupa tindakan-tindakan
pengamanan.
Perlunya pemahaman terhadap teori-teori
serta Asas-Asas Hukum Pidana tersebut bagi
peserta diklat, maka Pusat Pendidikan Dan
Pelatihan Kejaksaan R.I menyusun modul
mengenai asas-asas hukum pidana dengan tujuan
agar peserta Pendidikan dan Pelatihan
3
pendahuluan mengerti dan memahami teori-teori
maupun asas-asas hukum pidana yang perlu
diperhaitkan dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya sebagai jaksa nantinya.
II. DESKRIPSI SINGKAT
Modul asas-asas hukum pidana
memberikan pemahaman bagi peserta pendidikan
dan pelatihan tentang ruang lingkup berlakunya,
tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat
(causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum,
kesalahan dan pertanggungjawaban pidana,
kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran,
pemidanaan, percobaan, penyertaan,
penggabungan tindak pidana, dasar penghapus
pidana, gugurnya wewenang menuntut dan
menjalankan pidana.
III. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Intruksional Umum
Setelah mempelajari modul ini peserta
diharapkan mengetahui tentang teori, asas,
delik tindak pidana dan dapat menerapkannya
dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik
dan penuntut umum dalam penanganan
perkara pidana.
4
B. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari modul ini peserta diklat
diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup
berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan
sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat
melawan hukum, kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana, kesengajaan,
kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan,
percobaan, penyertaan, penggabungan tindak
pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya
wewenang menuntut dan menjalankan pidana.
IV. POKOK BAHASAN
a. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana.
b. Tindak Pidana.
c. Hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat).
d. Sifat melawan hukum (rechtswdrig, unrecht,
wederrechtelijk, onrechmatig).
e. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
f. Kesengajaan (dolus, intent, opzet, vorsatz).
g. Kealpaan (culpa).
h. Kesalahan dalam delik pelanggaran.
i. Pidana dan pemidanaan (hukum penitensier).
j. Percobaan (poging, attempt).
k. Penyertaan.
l. Penggabungan tindak pidana (samenloop /
concursus).
5
m. Alasan / dasar penghapus pidana
(straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.)
n. Gugurnya kewenangan menuntut dan
menjalankan pidana.
V. FASILITAS / MEDIA
Fasilitas dan media yang digunakan dalam
proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum
pidana antara lain :
a) Modul asas-asas hukum pidana;
b) Internet;
c) Peraturan perundang-undangan;
d) Literatur yang terkait.
6
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA
A. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT WAKTU
Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-
undangan pidana berkaitan dengan waktu dan
tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya
hukum pidana menurut waktu menyangkut
penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal
seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana
sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau
belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan,
maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali
tidak dapat dipidana.
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine
praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali
atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu
7
aturan perundang-undangan yang telah ada
terlebih dahulu.
Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD
1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar
1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula
dinyatakan sebagai asas konstitusional.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh
Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom
psychologishen zwang (paksaan psikologis)”
8
dimana adagium : nullum delictum nulla poena
sine praevia lege poenali yang mengandung tiga
prinsip dasar :
- Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa
undang-undang)
- Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa
perbuatan pidana)
- Nullum crimen sine poena legali (tiada
perbuatan pidana tanpa undang-undang
pidana yang terlebih dulu ada)
Adagium ini menganjurkan supaya :
1) Dalam menentukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang di dalam
peraturan bukan saja tentang
macamnya perbuatan yang
harusdirumuskan dengan jelas, tetapi
juga macamnya pidana yang
diancamkan;
2) Dengan cara demikian maka orang
yang akan melakukan perbuatanyang
dilarang itu telah mengetahui terlebih
9
dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan
kepadanya jika nanti betul-betul
melakukan perbuatan;
3) Dengan demikian dalam batin orang itu
akan mendapat tekanan untuk tidak
berbuat. Andaikata dia ternyata
melakukan juga perbuatan yang
dilarang, maka dinpandang dia
menyetujui pidana yang akan
dijatuhkan kepadanya.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang
dimaksud dalam asas legalitas yaitu :
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam
suatu aturan undang-undang. Hal ini
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan
pidana tidak boleh digunakan analogi,
10
akan tetapi diperbolehkan penggunaan
penafsiran ekstensif.
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak
berlaku surut.
Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam
pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
a) Tidak dapat dipidana kecuali ada
ketentuan pidana berdasar peraturan
perundang-undangan (formil).
b) Tidak diperkenankan Analogi
(pengenaan suatu undang-undang
terhadap perbuatan yang tidak diatur
oleh undang-undang tersebut).
c) Tidak dapat dipidana hanya
berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak
tertulis).
d) Tidak boleh ada perumusan delik yang
kurang jelas (lex Certa).
e) Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
f) Tidak boleh ada ketentuan pidana
diluar Undang-undang.
11
g) Penuntutan hanya dilakukan
berdasarkan atau dengan cara yang
ditentukan undang-undang.
B. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT TEMPAT (LEX LOCI)
Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum
pidana nasional menurut tempat terjadinya.
Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional),
apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua)
pendapat yaitu :
a. Perundang-undangan hukum pidana
berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan
oleh warga negaranya sendiri maupun oleh
orang lain (asas territorial).
b. Perundang-undangan hukum pidana
berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
dilakukan oleh warga Negara, dimana saja,
juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan
12
diluar wilayah Negara. Pandangan ini
disebut menganut asas personal atau
prinsip nasional aktif.
Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya
hukum pidana menurut ruang tempat dan
berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam
hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :
I. Asas Teritorial.
II. Asas Personal (nasional aktif).
III. Asas Perlindungan (nasional pasif)
IV. Asas Universal.
Ad. I. Asas Teritorial
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam
pasal 2 KUHP yang menyatakan :
“Ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
13
orang yang melakukan suatu tindak pidana
di Indonesia”.
Pasal ini dengan tegas menyatakan asas
territorial, dan ketentuan ini sudah
sewajarnya berlaku bagi Negara yang
berdaulat. Asas territorial lebih menitik
beratkan pada terjadinya perbuatan
pidana di dalam wilayah Negara tidak
mempermasalahkan siapa pelakunya,
warga Negara atau orang asing. Sedang
dalam asas kedua (asas personal atau
asas nasional yang aktif) menitik
beratkan pada orang yang melakukan
perbuatan pidana, tidak
mempermasalahkan tempat terjadinya
perbuatan pidana. Asas territorial yang
pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-
negara di dunia termasuk Indonesia. Hal
ini adalah wajar karena tiap-tiap orang
yang berada dalam wilayah suatu Negara
harus tunduk dan patuh kepada
14
peraturan-peraturan hukum Negara
dimana yang bersangkutan berada.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur
dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :
“Ketentuan pidana perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
di luar wilayah Indonesia melakukan
tindak pidana didalan kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia”.
Ketentuan ini memperluas berlakunya
pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa
perahu (kendaraan air) dan pesawat
terbang lalu dianggap bagian wilayah
Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah
supaya perbuatan pidana yang terjadi di
dalam kapal atau pesawat terbang yang
berada di perairan bebas atau berada di
wilayah udara bebas, tidak termasuk
wilayah territorial suatu Negara, sehingga
ada yang mengadili apabila terjadi suatu
perbuatan pidana.
15
Setiap orang yang melakukan perbuatan
pidana diatas alat pelayaran Indonesia
diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran
pengertian lebih luas dari kapal. Kapal
merupakan bentuk khusus dari alat
pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut
bebas dan laut wilayah Negara lain.
Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan
dan hak-hak Istimewa (Immunity and
Previlege).
 Kepala Negara asing dan anggota
keluarganya.
 Pejabat-pejabat perwakilan asing
dan keluarganya.
 Pejabat-pejabat pemerintahan
Negara asing yang berstatus
diplomatik yang dalam perjalanan
melalui Negara-negara lain atau
menuju Negara lain.
 Suatu angkatan bersenjata yang
terpimpin.
16
 Pejabat-pejabat badan
Internasional.
 Kapal-kapal perang dan pesawat
udara militer / ABK diatas kapal
maupun di luar kapal.
Ad. II. Asas Personal
Asas Personal atau Asas Nasional yang
aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya
terhadap warga Negara yang sedang
berada dalam wilayah Negara lain yang
kedudukannya sama-sama berdaulat.
Apabila ada warga Negara asing yang
berada dalam suatu wilayah Negara telah
melakukan tindak pidana dan tindak
pidana dan tidak diadili menurut hukum
Negara tersebut maka berarti
bertentangan dengan kedaulatan Negara
tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana
Indonesia berlaku bagi warga Negara
Indonesa di luar Indonesia yang
melakukan perbuatan pidana tertentu
17
Kejahatan terhadap keamanan Negara,
martabat kepala Negara, penghasutan, dll.
Pasal 5 KUHP menyatakan :
“(1). Ketetentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi warga Negara
yang di luar Indonesia melakukan :
salah satu kejahatan yang
tersebut dalam Bab I dan Bab II
Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160,
161, 240, 279, 450 dan 451. Salah
satu perbuatan yang oleh suatu
ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia
dipandang sebagai kejahatan,
sedangkan menurut perundang-
undangan Negara dimana
perbuatan itu dilakukan diancam
dengan pidana.
(2). Penuntutan perkara sebagaimana
dimaksud dalam butir 2 dapat
18
dilakukan juga jika terdakwa
menjadi warga Negara sesudah
melakukan perbuatan”.
Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat
perkataan “diterapkan bagi warga Negara
Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’,
sehingga seolah-olah mengandung asas
personal, akan tetapi sesungguhnya pasal
5 KUHP memuat asas melindungi
kepentingan nasional (asas nasional pasif)
karena :
Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi
warga Negara diluar wilayah territorial
wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-
pasal tertentu saja, yang dianggap penting
sebagai perlindungan terhadap
kepentingan nasional. Sedangkan untuk
asas personal, harus diberlakukan seluruh
perundang-undangan hukum pidana bagi
warga Negara yang melakukan kejahatan
di luar territorial wilayah Negara.
19
Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk
mencegah agar supaya warga Negara
asing yang berbuat kejahatan di Negara
asing tersebut, dengan jalan menjadi
warga Negara Indonesia (naturalisasi).
Bagi Jaksa maupun hakim Tindak
Pidana yang dilakukan di negara asing
tersebut, apakah menurut undang-undang
disana merupakan kejahatan atau
pelanggaran, tidak menjadi permasalahan,
karena mungkin pembagian tindak
pidananya berbeda dengan di Indonesia,
yang penting adalah bahwa tindak pidana
tersebut di Negara asing tempat perbuatan
dilakukan diancam dengan pidana,
sedangkan menurut KUHP Indonesia
merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.
Ketentuan pasal 6 KUHP :
“ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2
dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak
dijatuhkan pidana mati, jika menurut
20
perundang-undangan Negara dimana
perbuatan dilakukan terhadapnya tidak
diancamkan pidana mati”.
Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat
(1) butir 2 KUHP adalah untuk
melindungi kepentingan nasional timbal
balik (mutual legal assistance). Oleh
karena itu menurut Moeljatno, sudah
sewajarnya pula diadakan imbangan
pulu terhadap maksimum pidana yang
mungkin dijatuhkan menurut KUHP
Negara asing tadi.
Ad. III. Asas Perlindungan
Sekalipun asas personal tidak lagi
digunakan sepenuhnya tetapi ada asas
lain yang memungkinkan diberlakukannya
hukum pidana nasional terhadap
perbuatan pidana yang terjadi di luar
wilayah Negara
21
Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan
ditambah berdasarkan Undang-undang
No. 4 Tahun 1976)
“Ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan di luar
Indonesia :
1. Salah satu kejahatan berdasarkan
pasal-pasal 104, 106, 107,
108 dan 131;
2. Suatu kejahatan mengenai mata
uang atau uang kertas yang
dikeluarkan oleh Negara atau bank,
ataupun mengenai materai yang
dikeluarkan dan merek yang
digunakan oleh Pemerintah
Indonesia;
3. Pemalsuan surat hutang atau
sertifikat hutang atas tanggungan
suatu daerah atau bagian daerah
Indonesia, termasuk pula pemalsuan
22
talon, tanda deviden atau tanda
bunga yang mengikuti surat atau
sertifikat itu, dan tanda yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat
tersebut atau menggunakan surat-
surat tersebut di atas, yang palsu
atau dipalsukan, seolah-olah asli dan
tidak palsu;
4. Salah satu kejahatan yang disebut
dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai
dengan 446 tentang pembajakan laut
dan pasal 447 tentang penyerahan
kendaraan air kepada kekuasaan
bajak laut dan pasal 479 huruf j
tentang penguasaan pesawat udara
secara melawan hukum, pasal 479 l,
m, n dan o tentang kejahatan yang
mengancam keselamatan
penerbangan sipil.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas
melindungi kepentingan yaitu melindungi
kepentingan nasional dan melindungi
23
kepentingan internasional (universal).
Pasal ini menentukan berlakunya hukum
pidana nasional bagi setiap orang (baik
warga Negara Indonesia maupun warga
negara asing) yang di luar Indonesia
melakukan kejahatan yang disebutkan
dalam pasal tersebut.
Dikatakan melindungi kepentingan
nasional karena pasal 4 KUHP ini
memberlakukan perundang-undangan
pidana Indonesia bagi setiap orang yang di
luar wilayah Negara Indonesia melakukan
perbuatan-perbuatan yang merugikan
kepentingan nasional, yaitu :
1) Kejahatan terhadap keamanan
Negara dan kejahatan terhadap
martabat / kehormatan Presiden
Republik Indonesia dan Wakil
Presiden Republik Indonesia (pasal 4
ke-1)
2) Kejahatan mengenai pemalsuan
mata uang atau uang kertas
24
Indonesia atau segel / materai dan
merek yang digunakan oleh
pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
3) Kejahatan mengenai pemalsuan
surat-surat hutang atau sertifkat-
sertifikat hutang yang dikeluarkan
oleh Negara Indonesia atau bagian-
bagiannya (pasal 4 ke-3)
4) Kejahatan mengenai pembajakan
kapal laut Indonesia dan pembajakan
pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-
4)
Ad. IV. Asas Universal
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi
oleh pengecualian-pengecualian dalam
hukum internasional. Bahwa asas
melindungi kepentingan internasional (asas
universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa
setiap Negara di dunia wajib turut
melaksanakan tata hukum sedunia (hukum
internasional).
25
Dikatakan melindungi kepentingan
internasional (kepentingan universal) karena
rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai
kejahatan pemalsuan mata uang atau uang
kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai
pembajakan kapal laut dan pembajakan
pesawat udara) tidak menyebutkan mata
uang atau uang kertas Negara mana yang
dipalsukan atau kapal laut dan pesawat
terbang negara mana yan dibajak.
Pemalsuan mata uang atau uang kertas
yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP
menyangkut mata uang atau uang kertas
Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin
menyangkut mata uang atau uang kertas
Negara asing. Pembajakan kapal laut atau
pesawat terbang yang dimaksud dalam
pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal
laut Indonesia atau pesawat terbang
Indonesia, dan mungkin juga menyangkut
kapal laut atau pesawat terbang Negara
asing.
26
Jika pemalsuan mata uang atau uang
kertas, pembajakan kapal, laut atau
pesawat terbang adalah mengenai
kepemilikan Indonesia, maka asas yang
berlaku diterapkan adalah asas melindungi
kepentingan nasional (asas nasional pasif).
Jika pemalsuan mata uang atau uang
kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat
terbang adalah mengenai kepemilikan
Negara asing, maka asas yang berlaku
adalah asas melindungi kepentingan
internasional (asas universal).
Pasal 7 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia berlaku bagi setiap
pejabat yang di luar Indonsia melakukan
salah satu tindak pidana sebagaimana
dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku
Kedua”.
27
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang
sebagian besar sudah diserap menjadi tindak
pidana korupsi. Akan tetapi pasal-pasal
tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416,
417, 418, 419, 420, 423, 425, 435) telah
dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri
sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang
terdapat dalam masing-masing pasal KUHP
yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal
7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk
masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16
UU No. 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara
republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana korupsi dipidana
dengan pidana yang sama sebagai pelaku
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
28
dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan
pasal 14”
Pasal 8 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia berlaku nahkoda dan
penumpang perahu Indonesia, yang di luar
Indonesia, sekalipun di luar perahu,
melakukan salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksudkan dalam Bab
XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku
ketiga, begitu pula yang tersebut dalam
peraturan mengenai surat laut dan pas
kapal di Indonesia, maupun dalam
ordonansi perkapalan”.
Dengan telah diundangkannya tindak
pidana tentang kejahatan penerbangan
dan kejahatan terhadap sarana /
prasarana penerbangan berdasarkan UU
No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam
KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A.
pertimbangan lain untuk memasukkan Bab
29
XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8
KUHP adalah juga menjadi kenyataan
bahwa kejahatan penerbangan sudah
digunakan sebagai bagian dari kegiatan
terorisme yang dilakukan oleh kelompok
terorganisir pasal 9 KUHP.
Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8
dibatasi oleh pengecualian-pengecualian
yang diakui dalam hukum-hukum
internasional.
Menurut Moeljatno, pada umumnya
pengecualian yang diakui meliputi :
1) Kepala Negara beserta keluarga dari
Negara sahabat, dimana mereka
mempunyai hak eksteritorial. Hukum
nasional suatu Negara tidak berlaku
bagi mereka
2) Duta besar Negara asing beserta
keluarganya meeka juga mempunyai
hak eksteritorial.
30
3) Anak buah kapal perang asing yang
berkunjung di suatu Negara,
sekalipun ada di luar kapal. Menurut
hukum internasional kapal peran
adalah teritoir Negara yang
mempunyainya
4) Tentara Negara asing yang ada di
dalam wilayah Negara dengan
persetujuan Negara itu.
31
BAB III
TINDAK PIDANA
a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Hingga saat ini belum ada kesepakatan para
sarjana tentang pengertian Tindak pidana
(strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H.,
Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa yang melanggar aturan
tersebut.
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
 Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh
suatu aturan hukum dilarang dan diancam
pidana.
 Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu
suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidana ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian
itu.
32
 Antara larangan dan ancaman pidana ada
hubungan yang erat, oleh karena antara
kejadian dan orang yang menimbulkan
kejadian itu ada hubungan erat pula. “
Kejadian tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang, dan orang tidak
dapat diancam pidana jika tidak karena
kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas
dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid
van het feit) dan dapat dipidananya orang
(strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu
memisahkan pengertian perbuatan pidana
(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana
(criminal responsibility). Pandangan ini disebut
pandangan dualistis yang sering dihadapkan
dengan pandangan monistis yang tidak
membedakan keduanya.
b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Dalam suatu peraturan perundang-undangan
pidana selalu mengatur tentang tindak pidana.
33
Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut”. Untuk
mengetahui adanya tindak pidana, maka pada
umumnya dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan pidana tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang dan disertai dengan
sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan
beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau
sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas
dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak
dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat
perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan
ancaman pidana kalau dilanggar.
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana
(strafbaar feit) adalah :
 Perbuatan manusia (positif atau negative,
berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan).
 Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
 Melawan hukum (onrechtmatig)
34
 Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in
verband staand)
 Oleh orang yang mampu bertanggung
jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif
dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar
feit).
Unsur Obyektif :
 Perbuatan orang
 Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
 Mungkin ada keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal
281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka
umum”.
Unsur Subyektif :
 Orang yang mampu bertanggung jawab
 Adanya kesalahan (dollus atau culpa).
Perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan.
35
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan
akibat dari perbuatan atau dengan keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur
perbuatan pidana :
 Perbuatan (manusia)
 Yang memenuhi rumusan dalam undang-
undang (syarat formil)
 Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno
terdiri dari :
1) Kelakuan dan akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan, misalnya unsur
pegawai negeri yang diperlukan dalam
delik jabatan seperti dalam perkara
tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP
jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3
36
Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang pegawai negeri yang menerima
hadiah. Kalau yang menerima hadiah
bukan pegawai negeri maka tidak
mungkin diterapka pasal tersebut
b. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si
pembuat, misalnya pasal 160 KUHP
tentang penghasutan di muka umum
(supaya melakukan perbuatan pidana
atau melakukan kekerasan terhadap
penguasa umum). Apabila penghasutan
tidak dilakukan di muka umum maka
tidak mungkin diterapkan pasal ini
Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang
menentukan, memperingan atau memperberat
pidana yang dijatuhkan.
(1) Unsur keadaan yang menentukan misalnya
dalam pasal 164, 165, 531 KUHP
Pasal 164 KUHP : barang siapa
mengetahui permufakatan jahat untuk
37
melakukan kejahatan tersebut pasal 104,
106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187
bis, dan pada saat kejahatan masih bisa
dicegah dengan sengaja tidak
memberitahukannya kepada pejabat
kehakiman atau kepolisian atau kepada
yang terancam, diancam, apabila
kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.
Kewajiban untuk melapor kepada yang
berwenang, apabila mengetahui akan
terjadinya suatu kejahatan. Orang yang
tidak melapor baru dapat dikatakan
melakukan perbuatan pidana, jika
kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi.
Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu
adalah merupakan unsur tambahan.
Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika
menyaksikan bahwa ada orang yang
sedang menghadapi maut, tidak memberi
pertolongan yang dapat diberikan
38
kepadanya tanpa selayaknya
menimbulkan bahaya bagi dirinya atau
orang lain, diancam, jika kemudian orang
itu meninggal, dengan pidana kurungan
paling lama tiga bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah.
Keharusan memberi pertolongan pada
orang yang sedang menghadapi bahaya
maut jika tidak memberi pertolongan,
orang tadi baru melakukan perbuatan
pidana, kalau orang yang dalam keadaan
bahaya tadi kemudian lalu meninggal
dunia. Syarat tambahan tersebut tidak
dipandang sebagai unsur delik (perbuatan
pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.
(2) Keadaan tambahan yang memberatkan
pidana
Misalnya penganiayaan biasa pasal 351
ayat (1) KUHP diancam dengan pidana
penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
Apabila penganiayaan tersebut
menimbulkan luka berat; ancaman pidana
diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat
39
2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati
ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal
351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati
adalah merupakan keadaan tambahan
yang memberatkan pidana
(3) Unsur melawan hukum
Dalam perumusan delik unsur ini tidak
selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis.
Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan
secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat
melawan hukum atau sifat pantang
dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah
atau rumusan kata yang disebut. Misalnya
pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh di luar perkawinan”.
Tanpa ditambahkan kata melawan hukum
setiap orang mengerti bahwa memaksa
dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan adalah pantang dilakukan atau
sudah mengandung sifat melawan hukum.
Apabila dicantumkan maka jaksa harus
mencantumkan dalam dakwaannya dan
40
oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila
tidak dicantumkan maka apabila perbuatan
yang didakwakan dapat dibuktikan maka
secara diam-diam unsure itu dianggap
ada.
Unsur melawan hukum yang dinyatakan
sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362
KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu
pengambilan barang orang lain dengan
maksud untuk memilikinya secara
melawan hukum.
Pentingnya pemahaman terhadap
pengertian unsur-unsur tindak pidana.
Sekalipun permasalahan tentang
“pengertian” unsur-unsur tindak pidana
bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini
sangat penting dan menentukan bagi
keberhasilan pembuktian perkara pidana.
Pengertian unsur-unsur tindak pidana
dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli)
ataupun dari yurisprudensi yan
memberikan penafsiran terhadap rumusan
41
undang-undang yang semula tidak jelas
atau terjadi perubahan makna karena
perkembangan jaman, akan diberikan
pengertian dan penjelasan sehingga
memudahkan aparat penegak hukum
menerapkan peraturan hukum.
Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian
unsur-unsur tindak pidana adalah :
1) Untuk menyusun surat dakwaan, agar
dengan jelas;
2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa
yang menggambarkan uraian unsur tindak
pidana yang didakwakan sesuai dengan
pengertian / penafsiran yang dianut oleh
doktrin maupun yurisprudensi;
3) Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan
kepada saksi atau ahli atau terdakwa
untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan;
42
4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk
membuktikan unsur tindak pidana. Biasa
terjadi bahwa suatu alat bukti hanya
berguna untuk menentukan pembuktian
satu unsur tindak pidana, tidak seluruh
unsur tindak pidana;
5) Mengarahkan jalannya penyidikan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan
secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan
dalam pembuktian akan dapat
dipertanggungjawabkan secara obyektif
karena berlandaskan teori dan bersifat
ilmiah;
6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian
penerapan fakta perbuatan kepada unsur-
unsur tindak pidana yang didakwakan, atau
biasa diulas dalam analisa hukum, maka
pengertian-pengertian unsur tindak pidana
yang dianut dalam doktrin atau
yurisprudensi atau dengan cara penafsiran
hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya
karena ini menjadi dasar atau dalil untuk
berargumentasi.
43
c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian
jenis delik.
1. Kejahatan dan Pelanggaran
Pembagian delik atas kejahatan dan
pelanggaran ini disebut oleh undang-undang.
KUHP buku ke II memuat delik-delik yang
disebut : pelanggaran criterium apakah yang
dipergunakan untuk membedakan kedua jenis
delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban
tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau
memasukkan dalam kelompok pertama
kejahatan dan dalam kelompok kedua
pelanggaran.
Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara
intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan
kedua jenis delik itu.
Ada dua pendapat :
a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2
jenis delik, ialah :
44
1. Rechtdelicten
Ialah yang perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan, terlepas apakah
perbuatan itu diancam pidana dalam
suatu undang-undang atau tidak, jadi
yang benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai bertentangan
dengan keadilan misal : pembunuhan,
pencurian. Delik-delik semacam ini
disebut “kejahatan” (mala perse).
2. Wetsdelicten
Ialah perbuatan yang oleh umum baru
disadari sebagai tindak pidana karena
undang-undang menyebutnya sebagai
delik, jadi karena ada undang-undang
mengancamnya dengan pidana. Misal :
memarkir mobil di sebelah kanan jalan
(mala quia prohibita). Delik-delik
semacam ini disebut “pelanggaran”.
Perbedaan secara kwalitatif ini tidak
dapat diterima, sebab ada kejahatan
yang baru disadari sebagai delik karena
tercantum dalam undang-undang
45
pidana, jadi sebenarnya tidak segera
dirasakan sebagai bertentangan dengan
rasa keadilan. Dan sebaliknya ada
“pelanggaran”, yang benar-benar
dirasakan bertentangan dengan rasa
keadilan. Oleh karena perbedaan secara
demikian itu tidak memuaskan maka
dicari ukuran lain.
b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan
kriterium pada perbedaan yang dilihat dari
segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu
lebih ringan dari pada “kejahatan”.
Mengenai pembagian delik dalam kejahatan
dan pelanggaran itu terdapat suara-suara
yang menentang. Seminar Hukum Nasional
1963 tersebut di atas juga berpendapat,
bahwa penggolongan-penggolongan dalam
dua macam delik itu harus ditiadakan.
Kejahatan ringan :
Dalam KUHP juga terdapat delik yang
digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan
46
misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384,
352, 302 (1), 315, 407.
2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan
perumusan secara formil dan delik dengan
perumusan secara materiil)
a. Delik formil itu adalah delik yang
perumusannya dititikberatkan kepada
perbuatan yang dilarang. Delik tersebut
telah selesai dengan dilakukannya
perbuatan seperti tercantum dalam
rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal
160 KUHP), di muka umum menyatakan
perasaan kebencian, permusuhan atau
penghinaan kepada salah satu atau lebih
golongan rakyat di Indonesia (pasal 156
KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP);
sumpah palsu (pasal 242 KUHP);
pemalsuan surat (pasal 263 KUHP);
pencurian (pasal 362 KUHP).
b. Delik materiil adalah delik yang
perumusannya dititikberatkan kepada akibat
yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini
47
baru selesai apabila akibat yang tidak
dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum
maka paling banyak hanya ada percobaan.
Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP),
penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan
(pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil
dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan
delik commisionis per ommisionen
commissa
a. Delik commisionis : delik yang berupa
pelanggaran terhadap larangan, ialah
berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,
penggelapan, penipuan.
b. Delik ommisionis : delik yang berupa
pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak
melakukan sesuatu yang diperintahkan /
yang diharuskan, misal : tidak menghadap
sebagai saksi di muka pengadilan (pasal
522 KUHP), tidak menolong orang yang
memerlukan pertolongan (pasal 531
KUHP).
48
c. Delik commisionis per ommisionen
commissa : delik yang berupa pelanggaan
larangan (dus delik commissionis), akan
tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak
berbuat. Misal : seorang ibu yang
membunuh anaknya dengan tidak memberi
air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang
penjaga wissel yang menyebabkan
kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak
memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en
culpose delicten)
a. Delik dolus : delik yang memuat unsur
kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197,
245, 263, 310, 338 KUHP
b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan
sebagai salah satu unsur misal : pasal 195,
197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359,
360 KUHP.
5. Delik tunggal dan delik berangkai
(enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
49
a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan
dengan perbuatan satu kali.
b. Delik berangkai : delik yang baru
merupakan delik, apabila dilakukan
beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481
(penadahan sebagai kebiasaan)
6. Delik yang berlangsung terus dan delik
selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang
mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu
berlangsung terus, misal : merampas
kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).
7. Delik aduan dan delik laporan
(klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya
dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak
yang terkena (gelaedeerde partij) misal :
penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP)
perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage
(pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps.
335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan
dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
50
a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal
284, 310, 332. Delik-delik ini menurut
sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan
pengaduan.
b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal
367, disebut relatif karena dalam delik-delik
ini ada hubungan istimewa antara si
pembuat dan orang yang terkena.
Catatan : perlu dibedakan antara aduan den
gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam
acara perdata, misal : A menggugat B di muka
pengadilan, karena B tidak membayar
hutangnya kepada A. Laporan hanya
pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu
tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.
8. Delik sederhana dan delik yang ada
pemberatannya / peringannya (eenvoudige
dan gequalificeerde / geprevisilierde
delicten)
Delik yang ada pemberatannya, misal :
penganiayaan yang menyebabkan luka berat
atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3
KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb.
51
(pasal 363). Ada delik yang ancaman
pidananya diperingan karena dilakukan dalam
keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-
kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut
“geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal :
penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian
(pasal 362 KUHP).
9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak
pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu
terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun
1955, UU darurat tentang tindak pidana
ekonomi.
d. SUBYEK TINDAK PIDANA
Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur
pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang,
pada dasarnya yang dapat melakukan tindak
pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat
disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim
dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang
52
…….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat
diartikan lain dari pada “orang”.
b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis
pidana yang dapat dikenakan kepada tindak
pidana, yaitu :
1. pidana pokok :
a. pidana mati
b. pidana penjara
c. pidana kurungan
d. pidana denda, yang dapat diganti
dengan pidana kurungan
2. pidana tambahan :
a. pencabutan hak-hak tertentu
b. perampasan barang-barang tertentu
c. dimumkannya keputusan hakim
Sifat dari pidana tersebut adalah
sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya
hanya dapat dikenakan pada manusia.
c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari
hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya
kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk
bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu
adalah manusia.
53
d. Pengertian kesalahan yang dapat berupa
kesengajaan dan kealpaan itu merupakan
sikap dalam batin manusia.
Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia
tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak
pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP
terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung
soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke
arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu
perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut
pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang
melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu
korporasi. Seorang anggota pengurus dapat
membebaskan diri, apabila dapat membuktikan
bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut
campurnya.
Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut
“pembalikan beban pembuktian” (omkering van
bewijslast).
Dalam KUHP juga ada pasal lain yang
kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai
subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam
pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide
54
pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang
terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai
pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan
sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan
perseroannya.
Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana
itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan
(M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi :
“suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh
manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah
ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia,
misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang
diawasi” (S.1948-144) dan “Ordonansi
pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat
ketentuan yang mengatur apabila suatu badan
(hukum) melakuka tindak pidana yang disebut
dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat
bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau
dalam UU Darurat tentang pengusutan,
penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi
(UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana
dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan
55
bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum
pidana.
Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai persoalan
ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan dengan
dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus
menemukan sendiri penyelesaian untuk problem
dalam materi baru ini”.
Van Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk
menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak
lebih luas dari pada biasanya dalam buku
pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum
kiranya akan menduduki tempat yang penting
dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai
penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan
kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.
Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa
menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan
tindak pidana, ya bahkan kadang-kadang
korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat,
bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan
56
bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan
tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam
hal. 477 van Hattum menulis a.l. : (terjemahan)
…………. sebaiknya pembentuk undang-undang
membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal
suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu
korporasi.
57
BAB IV
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT
(CAUSALITEIT, CAUSALITAT)
A. Kausalitas
Didalam delik-delik yang dirumuskan secara
materiil (selanjutnya disebut delik materiil),
terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang
dilarang dan merupakan unsur yang menentukan
(essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan
dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya
merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia,
sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang
dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada,
paling banyak ada percobaan.
Misalnya :
Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain dihukum karena
pembunuhan.
58
Keadaan yang menentukan di sini adalah
terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya
si A.
Oleh karenanya untuk dapat menuntut
seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan
suatu perbuatan yang menyebabkan matinya
seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa
karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya
A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu
keadaan” dimana dapat berupa suatu
pembahayaan atau perkosaan terhadap
kepentingan hukum.
Hubungan sebab akibat
(causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik
materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada
delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door
het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-
pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333
ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3,
355 ayat 2 dan 3 KUHP.
Persoalan kausalias ini terjadi karena
kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi
sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa
59
persoalan ini tidak hanya terdapat dalam
lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga
dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum
perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam
hukum dagang misalnya dalam persoalan
asuransi.
Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan
ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat.
Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap
sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah
beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak
menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan
(manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh
undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa
ditelusuri sampai ke sebab.
Akan tetapi sebenarnya tidak boleh
dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat
terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang
terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu
disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non
propter hoc).
60
B. Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)
B.1. Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau
Bedingungstheorie atau teori condition sine qua
non dari von Buri
Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah
sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab
kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan
lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif
untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan
mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat
dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat
kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut
waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat
yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht
hiin weggedacht warden kann dan seterusnya)
tanpa menyebabkan berubahnya akibat.
Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa
ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting,
lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga
merupakan sebab dari matinya A.
Teori ekivalensi ini memakai pengertian
“sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai
dalam logika. Dalam hubungan ini baik
61
dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain,
John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya :
Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu
adalah “the whole of antecedents” (1843).
Van Hamel, seorang penganut teori
ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum
pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki
dan diatur oleh teori kesalahan yang harus
diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini
dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara
hubungan kausal dan pertanggung jawaban
pidana.
Kritik / keberatan terhadap teori ini :
hubungan kausal membentang ke belakang tanpa
akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya
merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi
sebelumnya.
Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati.
Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A,
tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan
penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada
pembuatan pisau.
62
Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan
begitu seterusnya. Berhubungan dengan
keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang
hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang
akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari
sekian faktor yang menimbulkan akibat itu
beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang
faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor-
faktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting).
Kebaikan teori ini : mudah diterapkan,
sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan,
dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali
dalam membatasi lingkungan berlakunya
pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini
dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori
lain.
B.2. Teori-teori Individualisasi
Teori-teori ini memilih secara post actum
(inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit
terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif
dipilih sebab yang paling menentukan dari
peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya
63
hanya merupakan syarat belaka. Penganut-
penganutnya tidak banyak antara lain :
1. Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab
adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist
die wirksamste Bedingung)
2. Binding. Teorinya disebut
“Ubergewichtstheorie)”
Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan
adalah identik dengan perubahan dalam
keseimbangan antara faktor yang menahan
(negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor
yang positif itu lebih unggul. Yang disebut
“sebab” adalah syarat-syarat positif dalam
keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot
yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang
negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau
syarat terakhir yang menghilangkan
keseimbangan dan memenangkan faktor
positif itu.
64
B.3. Teori-teori generalisasi
Teori-teori ini melihat secara ante factum
(sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara
serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang
pada umumnya dapat menimbulkan akibat
semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup
biasa, atau menurut perhitungan yang layak,
mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini
dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat
yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat
sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori
adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie).
Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya
hubungan sebab akibat yang adequat :
a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya
dapat mengakibatkan hidung keluar darah.
Akan tetapi apabila orang yang pukul itu
menjadi buta itu bukan akibat yang adequate.
Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak
biasa.
b. Seorang yang menyetir mobil terpaksa
mengerem sekonyong-konyong, oleh karena
ada pengendara sepeda hendak menyebrang
65
jalan yang membelok, sedang ini tidak
disangka-sangka oleh pengendara mobil.
Pengendara mobil ini mendapat penyakit
trauma karena menekan urat. Dianipun dapat
dikatakan bahwa perbuatan pengendara
sepeda itu tidak merupakan penyebab yang
adequate untuk timbulnya penyakit trauma
tersebut.
c. Seorang petani membakar tumpukan rumput
kering (hooi), dimana secara kebetulan
bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga
ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang
adequate ? Jawabannya tergantung dari
keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman
sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu
maka perbuatan petani itu bukanlah sebab.
Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan
kebiasaan orang untuk bersembunyi atau
menginap dalam tumpukan rumput, maka
perbuatan petani itu benar-benar mempunyai
kadar untuk matinya seseorang.
66
Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini
ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu
sebab itu pada umumnya cocok untuk
menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini
ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :
1. Penentuan subyektif (subjective ursprungliche
Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah
apa yang oleh sipembuat dapat diketahui /
diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu
pada umumnya dapat menimbulkan akibat
semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau
pengetahuan si pembuatlah yang
menentukan).
2. Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu
dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau
hal-hal yang secara obyektif kemudian
diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi
bukan yang diketahui atau yang dapat
diketahui oleh sipembuat, melainkan
pengetahuan dari hakim.
67
Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini
disebut “objektive nachtragliche Prognose”
(Rumelin).
Sebenarnya dalam teori kausal adequat
subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur
penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif
dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang
murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap
sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat
dapat mengira-ngirakan atau membayangkan
(voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang
umumnya membayangkan terjadinya akibat itu;
jadi sipembuat dapat membayangkan dan
seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena
dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan,
maka ia juga menentukan pertanggunganjawab
(pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti
yang sesungguhnya.
Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci
pekerjanya, tetapi tidak berani
melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu
68
mati. Pada waktu hujan yang disertai
petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke
suatu tempat dengan harapan agar
orang itu disambar petir. Harapan itu
terkabul dan pekerjanya itu mati
disambar petir.
Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya
pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka
ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya
dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih
memuaskan apabila dipakai teori adequate.
Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke
tempat lain pada umumnya tidak mempunyai
kadar untuk kematian seseorang karena disambar
petir. Penyambaran petir adalah hal yang
kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan
kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.
Beberapa penganut teori adequat yang lain :
1. Simons :
Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat
disebut sebagai sebab dari suatu akibat,
apabila menuntut pengalaman manusia pada
umumnya harus diperhitungkan kemungkinan,
69
bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi
akibat itu”.
2. Kami (Ringkasan Hukum Pidana hal. 47)
berpendirian senada dengan Simons. Beliau
katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan
hukum itu terdiri atas persangkaan,
(presumptie), bahwa alur peristiwa di dunia ini
ada biasa dan normal. Ini kesimpulan
pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang
pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti
hal ikhwal yang berada dan menurut
pengalaman kita, dengan kadarnya memadai
sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai
suatu sebab”.
3. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatan-
perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu
mempunyai strekking untuk menimbulkan
akibat yang bersangkutan.
Tinjauan terhadap teori-teori kausalitas
tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan
teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi
suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan
70
penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada
sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup
memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu
merupakan sebab dari sesuatu akibat yang
dimaksudkan dalam rumusan delik yang
bersangkutan.
Mengenai teori adequat dari von Kries, itu
dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai
dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu
mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan
hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang
membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut
maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap
perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan
kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat
menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan
tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam
kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak
terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman
manusia pada umumnya dan sebagainya.
Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang
sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu,
mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat
71
dengan nyata teori mana yang dipakai.
Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan
tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan
pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan,
bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada
hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk
en rechtsreeks)
a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (.
147 hal 115) sebuah mobil menabrak sepeda
motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas
rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api.
Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh
kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai
akibat langsung dan segera dari penabrakan
sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban
dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si
terdakwa (pengendara mobil).
b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933
Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang
berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya.
Anak tersebut menabrak orang. Disini memang
perbuatan si ayah dapat disebut syarat
(voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak
72
boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena
antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada
hubungan kausal yang langsung.
c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember
1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari
1937.
Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang
pengemudi mobil yang sembrono dari tempat
kemudi (stuur) dan membiarkan pengemudi
tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai
sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena
antara perbuatan terdakwa dan terjadinya
kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang
langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan
pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang
sebagai suatu syarat dan bukan sebab.
d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei
1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta
Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas
tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh
terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan
7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa
sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-
73
barang angkutan dalam kapal in casu tidak
mempedulikan peringatan-peringatan dari
berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan
pada waktu kapal akan berangkat.
Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa
perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat”
dengan “kecelakaan itu”.
C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat
Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi
dan dalam delik comisionis per ommisionem
commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya).
Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang
dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik
omissi persoalannya mudah, karena delik omissi
itu adalah delik formil, sehingga tidak ada
persoalan tentang kausalitas.
Yang ada persoalan ialah pada delik
commisionis per omission commissa. Pada delik
ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak
berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa
pendirian :
74
a. Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa
menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan
kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang
berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak
mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini
tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan
alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu
pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana
ini).
b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang
positif yang dilakukan oleh sipembuat pada
saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang
ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi
susu, yang disebut sebagai sebab ialah
“sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia
tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko.
Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori
inipun tidak dapat diterima, karena kepergian
ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan
dengan akibat itu.
c. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan
yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini
disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal
75
seorang penjaga wesel yang menyebabkan
kecelakaan kereta api karena tidak
memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang
menjadi sebab ialah apa yang dilakukan
penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan,
sebab sulit dilihat hubungannya antara
penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul.
d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan
sebab dari sesuatu akibat, apabila ia
mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat.
Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya
yang nyata-nyata tertulis dalam suatu
peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan
yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang
berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di
bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada
kewajiban berbuat atau tidak :
1) Ada anak yang dibunuh; orang tuanya
mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat
apa-apa. Apakah orang tua bertanggung
jawab sebagai ikut berbuat dalam
pembunuhan ?
76
Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober
1883): tidak, tetapi memang sikap
semacam itu sangat tercela (laakbaar)
dan tidak patut.
2) Seorang penjaga gudang membiarkan
pencuri melakukan aksinya, ia dapat
dipertanggungjawabkan, sebab sebagai
penjaga ia berkewajiban untuk menjaga
dan berbuat sesuatu.
Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal
tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi,
bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari
suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga
merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis
per omissionem commissa (delik omissi yang tidak
sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak
berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat
sesuatu”, yang diharapkan untuk
diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini
hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan
“berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat
untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut
teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit,
77
dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya
akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.
Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal
hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif
(yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan
syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari
persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab
pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah
yang menyangkut orangnya.
78
BAB IV
SIFAT MELAWAN HUKUM
(Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk,
Onrechmatig)
A. Istilah dan Pengertian
KUHP memakai istilah bermacam-macam :
a. tegas dipakai istilah “melawan hukum”,
(wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1),
522;
b. dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai
hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549); “tanpa izin”
(zonder verlof) (pasal 496, 510); “dengan
melampaui kewenangannya” (pasal 430); “tanpa
mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh
peraturan umum” (pasal 429).
79
Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan
unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam
sesuatu rumusan delik karena pembentuk undang-
undang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak
dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau
berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu,
mungkin dipidana pula.
Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga
pendirian:
1. bertentangan dengan hukum (Simons)
2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang
lain (Noyon)
3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak
perlu bertentangan dengan hukum (H.R).
Salah satu unsur dari tindak pidana adalah
unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan
suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan
bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu
perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang
akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam
80
rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang”. Dalam bahasa Jerman ini disebut
“tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti
sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana
dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand
dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male,
ialah masing-masing unsur dari rumusan delik.
Pengecualian atas tasbestand mer male,
dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi
rumusan delik (tatbestandsmaszig) itu tidak
senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin
ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya
perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan
perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) :
1) regu penembak, yang menembak mati seorang
terhukum yang telah dijatuhi hukuman pidana mati,
memenuhi unsur-unsur delik tersebut pasal 338
KUHP. Perbuatan mereka tidak melawan hukum.
2) Jaksa menahan orang yang sangat dicurigai telah
melakukan kejahatan. Ia tidak dapat dikatakan
melakukan kejahatan tersebut pasal 333 KUHP,
81
karena ia melaksanakan undang-undang (terdapat
dalam peraturan hukum acara pidana) sehingga
tidak ada unsur melawan hukum.
Di dalam kedua contoh tersebut hal yang
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan
terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam
kasus :
- seorang ayah memukul seorang pemuda yang
memperkosa anak-anaknya
- seorang menembak mati temannya atas
permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan
tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter,
karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan
- seorang bioloog membedah binatang-binatang
(vivisectie) untuk penyelidikan ilmiah.
Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan
hukumnya perbuatan. Contoh lain yang
mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah :
- Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936
82
Seorang perempuan Minangkabau hidup bersama
dengan seorang laki-laki dengan siapa ia menurut
hukum adat dilarang kawin. Berhubung dengan
pelanggaran adat ini, maka Mamak dari
perempuan ini bersama-sama dengan orang lain
mendatangi orang tersebut untuk dimintai
pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki
itu ke Wali Negeri. Oleh karena perempuan itu
tidak mau membuka pintu rumahnya pintu
didobrak.
Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak
cs melanggar pasal KUHP (merusak ketentraman
rumah), dan memidana Mamak 3 bulan penjara
dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan
- Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933
Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan
sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke
dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah
sakit mulut dan kuku, sehingga membahayakan
sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan
itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik
83
tesebut dalam pasal 82 undang-undang ternak,
ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam
keadaan yang membahayakan / mengkhawatirkan.
Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan
pada pokoknya, bahwa perbuatan itu dilakukan
untuk kepentingan peternakan. Putusan
Mahkamah Agung Belanda : Pasal 82 Undang-
undang ternak tidak dapat diterapkan kepada
dokter hewan itu. Pertimbangannya antara lain :
“tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang
melakukan perbuatan yang diancam pidana itu
mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri
tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya
alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali
dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum
tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan
meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena
dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan
ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal
yang bersangkutan tidak berlaku terhadap
perbuatan yang secara letterlijk memenuhi
rumusan delik”.
84
Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum
Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana
membagi ajaran sifat melawan hukum dalam dua
sudut pandang yaitu :
1. menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil
suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum,
apabila perbuatan diancam pidana dan
dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-
undang; sedang sifat melawan hukumnya
perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan
suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut
ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan
atau bertentangan dengan undang-undang
(hukum tertulis).
Menurut Simons, “Memang boleh diakui, bahwa
suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam
sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat
melawan hukum, akan tetapi tidak adanya sifat
melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di
dalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu
85
pengecualian berlakunya ketentuan / larangan itu.
Alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum
tidak boleh diambil di luar hukum positif dan juga
alasan yang disebut dalam undang-undang tidak
boleh diartikan lain daripada secara limitatief.
2. menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak,
tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang
(yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat
berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis.
Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-
nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus
berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga
berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber
gezetzlich).
Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama
dengan bertentangan dengan undang-undang
(hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan
hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan
sebagainya sebagaimana para sarjana yang
86
menganut ajaran sifat melawan hukum yang
meteriil ialah :
a) Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan
terhadap kepentingan hukum hanyalah
bersifat melawan hukum materiil (materiel
rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan
dengan tujuan ketertiban hukum (den
Zwecken der das Zusammenleben regelnden
Recht sordnung widerspricht); kalau tidak
bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak
bersifat melawan hukum.
b) Zu Dohna mengatakan :
Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika
perbuatan itu merupakan upaya yang haq
untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum
techten zwecke). Contohnya ialah seorang
yang memukulpemuda yang memperkosa
anak perempuannya. Di sini menurut Zu
Dohna perbuatan ayahnya tidak bersifat
melawan hukum.
c) M.E. Mayer mengatakan :
87
Perbuatan itu melawan hukum materiil atau
tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan
(kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti
bertentangan dengan kulturnorm yang diakui
oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai
dengan kulturnorm itu maka sifat melawan
hukumnya hapus.
d) Zevenbergen
Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum,
obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya
ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang, tetapi mengenai
hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian
yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh
ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan
mengenai sifat melawan hukum maka tidak
boleh ada penjatuhan pidana.
e) Van Hattum
Dengan adanya keputusan Hoge Raad
tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan :
88
dengan itu menurut hemat saya (mer van
Hattum) telah diterima ajaran sifat melawan
hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan
telah dipecahkan persoalan mer azas-azas
yang boleh dikatakan benar dalam ajaran
“penentuan hukum” dewasa ini (in de
hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist).
Persaksian terhadap sifat melawan hukum
yang materiil itu harus dilakukan secara hati-
hati, dan istimewa hakim harus membuka diri
pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal
abortus protus (ps. 348 KUHP) bisa tidak
melanggar hukum berdasarkan petunjuk
eugenetisch atau sosial. (Eugenetiek adalah
ajaran yang mempelajari perbaikan ras /
keturunan).
Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya
perbuatan, bila suatu perbuatan itu memenuhi
rumusan delik, maka itu menjadikan tanda / indikasi
bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan
tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya
89
alat pembenar (rechtvaardigingsgrond). Bagi mereka
yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang
formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan
hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat
melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil
dan luar hukum yang tertulis.
Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam
perkara kongkrit yang sedang dihadapi harus
mempertimbangkan :
a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang
tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-
betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu
dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang
dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang
adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa,
juga dipandang adil / benar oleh seluruh
masyarakat pada umumnya.
b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang
tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-
90
betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu
dapat menghapuskan kekuatan berlakunya
peraturan yang tertulis dsb.
c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan
masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang
tertulis, yang dibuat dengan sah.
Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap-
tiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari
keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar
mengetahui bagaimanakah keadaan masyarakat
lebih-lebih keadaan masyarakat Indonesia yang
dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat
yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata,
pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat
menangkap apa yang sedang terjadi dalam
masyarakat, agar supaya putusannya tidak
kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh
kepribadiannya harus bertanggung jawab atas
kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun
secara materiil.
91
Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil
itu perlu dibedakan :
- dalam fungsinya yang negatif
Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam
fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan
adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang
melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi
rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai
alasan penghapus sifat melawan hukum.
- dalam fungsinya yang positif
Pengertian sifat melawan hukum yang materiil
dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu
perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun
tidak nyata diancam dengan pidana dalam
undang-undang, apabila bertentangan dengan
hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar
undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak
tertulis sebagai sumber hukum yang positif.
92
Kalau Seminar Hukum Nasional tersebut di atas
menganut ajaran sifat melawan hukum yang
materiil tentunya hal tersebut dalam fungsinya
yang negatif. Ini adalah konsekwensi dari
diterimanya azas legalitas untuk KUHP. Nasional
nanti dan masih berlakunya KUHP yang sekarang
ini dimana juga masih tercantum azas seperti
tersebut dalam pasal 1. Suatu negara yang
mengakui azas nullum delictum dalam arti yang
sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat
melawan hukum yang materiil dalam fungsinya
yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan
bahwa B telah membunuh C kakak dari A.
Memang di daerah yang bersangkutan ada
anggapan bahwa hutang nyawa harus disaur
dengan nyawa.
B. Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum
Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan
delik :
1. ada yang tercantum dengan tegas, maka dalam
hal ini adanya unsur tersebut harus dibuktikan
93
2. ada pula yang tidak tercantum. Terhadap delik-
delik semacam itu ada perbedaan paham :
a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap
mempunyai fungsi yang positif untuk
sesuatu delik (artinya ada delik kalau
perbuatan itu bersifat melawan hukum),
maka harus dibuktikan. Sifat melawan
hukum disini sebagai unsur konstitutif.
b. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap
mempunyai fungsi yang negatif (artinya :
tidak ada unsur sifat melawan hukum pada
perbuatan merupakan pengecualian untuk
adanya suatu delik), maka tidak perlu
dibuktikan.
Yang menganggap sifat melawan hukum itu
mempunyai fungsi yang positif (merupakan unsur
konstitutif) a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang
menganggap sifat melawan hukum mempunyai fungsi
yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons,
“ajaran sifat melawan hukum untuk hukum pidana
pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan
94
dengan pertanyaan apakah ada pengecualian yang
menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”.
Prof. Muljatno yang meskipun menganggap unsur
sifat melawan hukum adalah syarat mutlak yang tak
dapat ditinggalkan”, namun berpendirian, bahwa itu
tidak berarti bahwa dalam lapangan procesueel (acara
pemeriksaan perkara) sifat itu harus dibebankan
pembuktiannya kepada penuntut umum. Beliau setuju,
jika tak disebut dalam rumusan delik, unsur dianggap
dengan diam-diam ada, kecuali jika dibuktikan
sebaliknya oleh terdakwa, karena pada umumnya
dengan mencocoki rumusan undang-undang sifat
melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata pula.
Hazewinkel-Suringa memandang sifat melawan
hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak pidana.
C. Putatif Delik
Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini
ada delik disebut wahn delict atau putativ delict. Ini
terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict,
padahal perbuatannya itu sama sekali bukan suatu
95
delik, sebab perbuatannya itu tidak bersifat melawan
hukum.
96
BAB V
KESALAHAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
1. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab
(Zurechnungsfahigkeit –
Toerekeningsvatbaarheid)
Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggung-
jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu
bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat
dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu
bertanggung jawab.
Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggung-
jawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya
kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak
memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana
Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan
bertanggung jawab”.
97
Simons : “kemampuan bertanggung jawab dapat
diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian,
yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya
pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari
orangnya”.
Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu
bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :
a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari
bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum
b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
kesadaran tersebut.
Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah
suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan
(kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan :
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat
perbuatannya sendiri
b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu
menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan
c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas
perbuatannya-perbuatannya itu
98
Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggung-
jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan
hidupnya dengan cara yang patut.
Definisi van Bemmelen ini singkat, akan tetapi juga
kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah
seseorang itu dikatakan “dapat mempertahankan
hidupnya dengan cara yang patut” ?
Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan)
secara negative menyebutkan mengenai kemampuan
bertanggung jawab itu, antara lain demikian :
Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku
:
a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih
antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa
yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-
undang.
b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang
sedemikian rupa, sehingga tidak dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan
99
dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat
perbuatannya.
Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi
untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam
praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan
ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk
mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal
jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk
menilai dengan pikiran atau perasaannya bahwa
perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan
berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu.
Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu
ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “norm-
adressat” (sasaran norma), yang mampu. Seorang
terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu
bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat
pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana).
100
2. Kesalahan
2.1. Pengertian Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan
membuktikan bahwa orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan
tidak dibenarkan (an objective breach of a penal
provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat
untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat
dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu
adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan
itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika
dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam
hal ini berlaku asas “TIADA PIDANA TANPA
KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen
straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa”
disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan).
101
Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia
atau dlam peraturan lain, namun berlakunya asas
tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan
dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi
pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6
ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4
/ 2004) berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi
pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang,
mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap
dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu,
sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang,
dapat juga dikenal dari pepatah (Jawa) “sing salah,
seleh” (yang bersalah pasti salah). Untuk adany
pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas
“tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di
atas mempunyai sejarahnya sendiri.
Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat
pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan
kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht
atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang
102
berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana
(taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat
dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang
ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht,
artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya
kesalahan pada si pelaku.
Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam
sistem hukum di Negara Eropa Kontinental, unsur
kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di
Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim
(asas) “Actus non facit reum nisi mens sit rea” atau
disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil
will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt
melekat pada sipelaku subjective gilt ini berupa intent
(kesengajaan setidak-tidaknya negligence (kealpaan).
2.2. Dasar Pemikiran
Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan
sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat
dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada
pemikiran tentang hubungan antara perbuatan
dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan
103
antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak
adanya kesalahan ada 3 pendapat dari :
a. Aliran klasik yang melahirkan pandangan
indeterminisme, yang pada dasarnya
berpendapat, bahwa manusia mempunyai
kehendak bebas (free will) dan ini merupakan
sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa
ada kebebasan kehendak maka tidak ada
kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan,
maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada
pemidanaan.
b. Aliran positivist yang melahirkan pandangan
determinisme mengatakan, bahwa manusia
tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan
kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak
(dalam arti naPasalu-naPasalu manusia dalam
hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-
motif ialah perangsang-perangsang yang datang
dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan
watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang,
tidak dapat dicela atas perbuatannya atau
dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia
104
tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun
diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu
tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak
pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.
Justru karena tidak adanya kebebasan
kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab
dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi
terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa
tindakan (maatregel) untuk ketertiban
masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti
penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh
si pelaku.
c. Dalam pandangan ketiga melihat bahwa ada dan
tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk
hukum pidana tidak menjadi soal (irrelevant).
Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan
ada dan tidak adanya kehendak bebas
1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana
105
Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang
kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, di bawah
ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai
penulis.
a. MEZGER mengatakan : kesalahan adalah
keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk
adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku
tindak pidana (Schuldist der Erbegriiffder
Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen
personlichen Verwurf gegen den Tater
begrunden).
b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai
pengertian yang “sociaal ethisch” dan
mengatakan antara lain :
“Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab
dalam hukum pidana ia berupa keadaan
psychisch dari si pelaku dan hubungannya
terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa
berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu
perbuatannya dapat dicelakakan kepada si
pelaku”.
106
c. VAN HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan
dalam suatu delik merupakan pengertian
psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si
pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena
perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan
jawab dalam hukum (Schuld is de verant
woordelijkheid rechtens)”.
d. VAN HATTUM berpendapat : “Pengertian
kesalahan yang paling luas memuat semua unsur
dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang
melawan hukum, meliputi semua hal, yang
bersifat psychisch yang terdapat dapat
keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk
si pelakunya (al het geen psychisch is aan dat
complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en
deswege een strafbare dader).
e. KARNI yang mempergunakan istilah “salah dosa”
mengatakan : “Pengertian salah dosa
mengandung celaan. Celaan ini menjadi
dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum
pidana”. Selanjutnya ia katakan : “Salah dosa
berada, jika perbuatan dapat dan patut
107
dipertanggungkan atas si perbuat; harus boleh
dicela karena perbuatan itu; perbuatan itu
mengandung perlawanan hak; perbuatan itu
harus dilakukan, baik dengan sengaja, maupun
dengan salah”.
f. POMPE mengatakan antara lain : “Pada
pelanggaran norma yang dilakukan karena
kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu
merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan
hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya,
yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah
kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch.
Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang
sebagai hubungan psychologis (batin) antara
pelaku dan perbuatannya. Hubungan batin
tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan,
pada kesengajaan hubungan batin itu berupa
menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan
pada kealpaan tidak ada kehendak demikian.
Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif)
keadaan batin berupa kehendak terhadap
perbuatan atau akibat perbuatan.
108
Dari pengertian-pengertian kesalahan dari
beberapa sarjana di atas maka pengertian kesalahan
dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut :
- Pengertian kesalahan yang normatif
Pandangan yang normatif tentang kesalahan
ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya
berdasar sikap batin atau hubungan batin antara
pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping itu
harus ada unsur penilaian atau unsur normatif
terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya
penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara
sipelaku dengan perbuatannya.
“Penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan
dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat
dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya
diperbuat oleh sipelaku secara extreem dikatakan
bahwa “kesalahan seseorang tidaklah terdapat
dalam kepala sipelaku, melainkan di dalam kepala
orang-orang lain”, ialah di dalamkepala dari mereka
yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang
109
memberi penilaian pada instansi terakhir adalah
hakim.
Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku
ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap
diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur
dari kesalahan atau unsur dari pertanggung-jawaban
pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian
mengenai keadaan jiwa sipelaku, ialah kemampuan
bertanggungjawab dan tidak adanya alasan
penghapus kesalahan.
1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana
Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut :
a. menurut akibatnya ia ada hal yang dapat
dicelakakan (verwijtbaarheid)
b. menurut hakekatnya ia adalah hal dapat
dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang
melawan hukum
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah
dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur
110
pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan
tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan
sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat
dicelakakan kepadanya, pencelaan disini bukannya
pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan
berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische
schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid rechtens, seperti
dikatakan oleh van Hamel. Namun demikian, untuk
adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan
ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat,
bahwa “das Recht ist das ethische Minimum”. Setidak-
tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati
tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama
hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup
bersama.
1. Arti “kesalahan” dalam hukum Pidana
Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian
yaitu :
a. kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang
dapat disamakan dengan pengertian
“pertanggungjawaban dalam hukum pidana”; di
111
dalamnya terkandung makna dapat dicelanya
(verwijtbaarheid) sipelaku atas perbuatannya. Jadi
apabila dikatakan, bahwa orang bersalah
melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti
bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.
b. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan
(sculdvorm) yang berupa :
1. kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau
intention) atau
2. kealpaan (culpa, onachtzaamheid,
fahrlassigkeit atau negligence).
c. kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan
(culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas.
Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini
sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah
“kealpaan”.
Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti
luas) sebagai dapat dicelanya si pelaku atas
perbuatannya, maka berubahlah pengertian
kesalahan yang psychologis menjadi pengertian
kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).
112
2. Unsur-unsur dari kesalahan (dalam arti yang
seluas-luasnya)
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan
dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi :
a. adanya kemampuan bertanggungjawab pada
sipelaku (schuldfahigkeit atau
zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa
sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah
orang tertentu menjadi “normadressat” yang
mampu.
b. hubungan batin antara sipelaku dengan
perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin
seseorang pelaku terhadap perbuatannya.
c. tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan
atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa yang
disebut dalam a dan b ada, ada kemungkinan
bahwa ada keadaan yang mempengaruhi sipelaku
sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan
113
adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa
(ps. 49 KUHP)
Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang
bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau
mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga
bisa dipidana.
Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya
kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya
(pertanggungan jawab pidana) orang yang
bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu
bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.
Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak
melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk
menerapkan kesalahan sipelaku.
Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan
yang melawan hukum tidak dengan sendirinya
mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan
sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu.
114
Itulah sebabnya, maka kita harus senantiasa
menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat
pemidaan ialah adanya :
1. dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van
het feit)
2. dapat dipidananya orangnya atau pelakunya
(strafbaarheid van de persoon).
115
BAB VI
KESENGAJAAN
(DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ)
Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-
luasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan
batin antara si pelaku terhadap perbuatan, yang
dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa
berupa kesengajaan atau kealpaan.
Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita
tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui
arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van
Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet)
sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en
wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa
sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang
dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan
sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu
116
mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan
itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu
kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan
perbuatannya.
1. Teori-teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat
dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan
mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum
pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut:
a. Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk
mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan
undang-undang (Simons, Zevenbergen)
b. Teori pengetahuan / membayangkan (voorstelling-
theorie)
Sengaja berarti membayangkan akan akibat
timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa
menghendaki akibat, melainkan hanya dapat
membayangkannya. Teori ini menitikberatkan
117
pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh
sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia
akan berbuat. (Frank).
Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua
teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui
bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk
berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori
adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya
saja.
2. Bentuk Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu
dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap
batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari
kesengajaan sebagai berikut :
a. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)
untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus
directus
b. kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met
zekerheidsbewustzijn atau
noodzakkelijkheidbewustzijn
118
c. kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis atau voorwaardelijk-opzet)
Bentuk kesengajaan ini merupakan bentuk
kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan
sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang
dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak
akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan
beserta akibatnya.
Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B
agar B tidak membohong.
Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan
motif. Motif suatu perbuatan adalah alasan yang
mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel
dsb.
Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor
kausa yang menghubungkan perbuatan dengan
akibat (kausalitas) dimana :
1. akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat
merupakan delik tersendiri atau tidak.
119
2. akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan
suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no.
1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi.
Contoh 1 :
A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B
duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan
terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik
restoran itu.
Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan
tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406
KUHP) ada kesengajaan dengan keinsyafan
kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya
tujuan.
Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula
merupakan diperkirakan sipelaku sebagai
kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar
terjadi merupakan resiko yang harus diemban
sipelaku.
120
Contoh 2 :
A hendak membalas dendam B yang bertempat
tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun
dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa
ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga
akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya,
meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap
mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan
dianggap tertuju pula pada matinya istri B. Dalam
batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan
baginya.
Jadi dalam kasus ini :
Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B
dan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan
terhadap kematian istri B (Arrest H.R. 9 Maret 1911)
Contoh 3 :
Seorang yang melakukan penggelapan, merasa
bahwa akhirnya ia akan ketahuan. Ia ingin
menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak
121
membunuh dirinya dengan merencanakan sustu
kecelakaan lalu – lintas, Ia menabrakkan mobil yang
dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang.
Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi
(1 ton) itu dapat dibayarkan kepada soprnya.
Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka.
Beberapa penumpang bis mengalami luka dan
seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa.
R.v.J (Raad van Justitie) Semarang yang diperkuat
oleh Hoogerechtshof dalam tingkat banding
menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan
penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain
sebagai berikut:
Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpang-
penumpang bis mendapat luka-luka, namun akibat ini
ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan
perbuatan itu, meskipun ia sadr akan akibat yang
mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers,
ketika menjadi Jaksa Tinggi (Officier van Justitie)
pada R.v.J di Semarang.
122
3. Dolus Eventualis
Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana
sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki
suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana,
akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat
mengelak dari suatu keadaan tertentu.
Contoh:
Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan
lajunya di jalan dalam kota. Dimuka ia lihat
sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila
ia tetap dalam kecepatan yang sama tanpa
menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil
tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya
itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada
kesengajaan unuk menganiaya atau membunuh,
meskipun tidak dapat dikatakan bahwa ia
mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia menghendaki
hal itu, dalam arti, meskipun ia sadar akan
kemungkinan tentang luka dan matinya anak ia
mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima
123
apa boleh buat kemungkinan itu, dengan
melampiaskan naPasalunya untuk menegar kudanya.
Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan
bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan
perbuatan dengan sengaja. Bagaimanakah
menerangkan adanya kesengajaan dengan sadar
kemungkinan (dolus eventualis) ?
Berdasarkan teori kehendak, jika sipelaku
menetapkan dalam batinnya, bahwa ia lebih
menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun
nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan, dari
pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut
juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan
itu.
Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui /
membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat
yang tak dikehendaki, tetapi bayangkan itu tidak
mencegah dia untuk tidak berbuat; maka dapat
dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada
akibat yang mungkin terjadi itu.
124
Dalam kedua teori itu digambarkan, bahwa dalam
batin si – pelaku terjadi suatu proses, bahwa ia lebih
baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu
yang tidak jelas, oleh karena itu disamping kedua teori
itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat (“In
Kauf nehmen theorie”atau” op de koop toe nemen
theorie”).
Menurut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie
“atau”op de koop toe nemen theorie”) keadaan batin si
pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai
berikut:
a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia
benci atau takut akan kemungkinan timbulnya
akibat itu
b. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya,
namun apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa
boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia
berani memikul resiko.”
125
Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S.
Menteri Modderman mengatakan, bahwa
“voorwaardelijkk opzet” (dolus eventualis) itu ada,
apabila kehendak kita langsung ditujukan pada
kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui
bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun
kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan
terjadinya hal yang telah kita ketahui itu.
Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya
tidak perlu lagi untuk membedakan kesengajaan
dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan
sadar kemungkinan.
Dalam uraian-uraian diatas penentuan tentang
kesengajaan si-pelaku adalah dengan melihat
bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat
perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan
dipandang sebagai sikap batin pelaku terhadap
perbuatannya.
Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan
kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah
mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap
126
batin yang berupa kesengajaan (atau kealpaan) itu
benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat
secara pasti mengetahui mengetahui batin orang lain,
lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu
orang ini berbuat.
Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan
batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran.
Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan
dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi dalam
banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya
kesengajaan itu.
Contoh Van Bemmelen:
A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2
meter.
Meskipun A mungkin, bahwa ia mempunyai
kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap
akan menentukan adanya kesengajaan tersebut,
kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang
sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar
HukumPidanaDasar

More Related Content

Similar to HukumPidanaDasar

Makalah pidana
Makalah pidanaMakalah pidana
Makalah pidanaangkat re
 
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para AhliAsas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para AhliIca Diennissa
 
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPI
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPIAsas Legalitas dan Retroaktif dalam HPI
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPIswirawan
 
Hukum pidana i
Hukum pidana iHukum pidana i
Hukum pidana iyahyaanto
 
Skripsi lengkap hukum tindak pidana penipuan
Skripsi lengkap hukum tindak pidana penipuanSkripsi lengkap hukum tindak pidana penipuan
Skripsi lengkap hukum tindak pidana penipuanKonsultan Tesis
 
Perlindungan hukum
Perlindungan hukumPerlindungan hukum
Perlindungan hukumiwan Alit
 
Sistem hukum 1
Sistem hukum 1Sistem hukum 1
Sistem hukum 1Riya Zayn
 
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesia
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di IndonesiaPemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesia
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesiasyafruddin rifa'ie
 
09 sistem dan klasifikasi hukum
09 sistem dan klasifikasi hukum09 sistem dan klasifikasi hukum
09 sistem dan klasifikasi hukummudanp.com
 
dasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdfdasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdfBUMIManilapai1
 
Hukum pidana ruang lingkup berlakunya pidana
Hukum pidana ruang lingkup berlakunya pidanaHukum pidana ruang lingkup berlakunya pidana
Hukum pidana ruang lingkup berlakunya pidanaaspi hani
 
PERTEMUAN 5- PENGERTIAN HUKUM .pdf
PERTEMUAN 5- PENGERTIAN HUKUM .pdfPERTEMUAN 5- PENGERTIAN HUKUM .pdf
PERTEMUAN 5- PENGERTIAN HUKUM .pdfYustinusHura1
 
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptxPPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptxPuputDachi
 
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdf
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdfKelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdf
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdfAzrasyawal09
 
Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLKetika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLatuulll
 

Similar to HukumPidanaDasar (20)

Makalah pidana
Makalah pidanaMakalah pidana
Makalah pidana
 
Mph mahatma
Mph mahatmaMph mahatma
Mph mahatma
 
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para AhliAsas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
 
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPI
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPIAsas Legalitas dan Retroaktif dalam HPI
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPI
 
Hukum pidana i
Hukum pidana iHukum pidana i
Hukum pidana i
 
Skripsi lengkap hukum tindak pidana penipuan
Skripsi lengkap hukum tindak pidana penipuanSkripsi lengkap hukum tindak pidana penipuan
Skripsi lengkap hukum tindak pidana penipuan
 
Perlindungan hukum
Perlindungan hukumPerlindungan hukum
Perlindungan hukum
 
Nur Sania Dasopang
Nur Sania DasopangNur Sania Dasopang
Nur Sania Dasopang
 
Sistem hukum 1
Sistem hukum 1Sistem hukum 1
Sistem hukum 1
 
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesia
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di IndonesiaPemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesia
Pemberlakuan asas non-retroaktif (legalitas) di Indonesia
 
09 sistem dan klasifikasi hukum
09 sistem dan klasifikasi hukum09 sistem dan klasifikasi hukum
09 sistem dan klasifikasi hukum
 
Pengantar Hukum Indonesia.pptx
Pengantar Hukum Indonesia.pptxPengantar Hukum Indonesia.pptx
Pengantar Hukum Indonesia.pptx
 
Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
 
dasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdfdasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdf
 
Hukum pidana ruang lingkup berlakunya pidana
Hukum pidana ruang lingkup berlakunya pidanaHukum pidana ruang lingkup berlakunya pidana
Hukum pidana ruang lingkup berlakunya pidana
 
PERTEMUAN 5- PENGERTIAN HUKUM .pdf
PERTEMUAN 5- PENGERTIAN HUKUM .pdfPERTEMUAN 5- PENGERTIAN HUKUM .pdf
PERTEMUAN 5- PENGERTIAN HUKUM .pdf
 
Makalah bagian 5
Makalah bagian 5Makalah bagian 5
Makalah bagian 5
 
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptxPPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
 
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdf
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdfKelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdf
Kelompok 2_HAP_V.756 Cs.pdf
 
Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLKetika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
 

HukumPidanaDasar

  • 1. 1 2 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab, mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri- sendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit. Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh seseorang telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu, tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan. Perlunya pemahaman terhadap teori-teori serta Asas-Asas Hukum Pidana tersebut bagi peserta diklat, maka Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Kejaksaan R.I menyusun modul mengenai asas-asas hukum pidana dengan tujuan agar peserta Pendidikan dan Pelatihan
  • 2. 3 pendahuluan mengerti dan memahami teori-teori maupun asas-asas hukum pidana yang perlu diperhaitkan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai jaksa nantinya. II. DESKRIPSI SINGKAT Modul asas-asas hukum pidana memberikan pemahaman bagi peserta pendidikan dan pelatihan tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana. III. TUJUAN PEMBELAJARAN A. Tujuan Intruksional Umum Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mengetahui tentang teori, asas, delik tindak pidana dan dapat menerapkannya dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik dan penuntut umum dalam penanganan perkara pidana. 4 B. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana. IV. POKOK BAHASAN a. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana. b. Tindak Pidana. c. Hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat). d. Sifat melawan hukum (rechtswdrig, unrecht, wederrechtelijk, onrechmatig). e. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. f. Kesengajaan (dolus, intent, opzet, vorsatz). g. Kealpaan (culpa). h. Kesalahan dalam delik pelanggaran. i. Pidana dan pemidanaan (hukum penitensier). j. Percobaan (poging, attempt). k. Penyertaan. l. Penggabungan tindak pidana (samenloop / concursus).
  • 3. 5 m. Alasan / dasar penghapus pidana (straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.) n. Gugurnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana. V. FASILITAS / MEDIA Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum pidana antara lain : a) Modul asas-asas hukum pidana; b) Internet; c) Peraturan perundang-undangan; d) Literatur yang terkait. 6 BAB II RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA A. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU Penerapan hukum pidana atau suatu perundang- undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana. Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu
  • 4. 7 aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu. Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional. Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” 8 dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar : - Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang) - Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana) - Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada) Adagium ini menganjurkan supaya : 1) Dalam menentukan perbuatan- perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan; 2) Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih
  • 5. 9 dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan; 3) Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya. Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu : 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, 10 akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif. 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut : a) Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar peraturan perundang-undangan (formil). b) Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut). c) Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak tertulis). d) Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex Certa). e) Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut) f) Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
  • 6. 11 g) Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-undang. B. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT (LEX LOCI) Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat terjadinya. Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat yaitu : a. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial). b. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan 12 diluar wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional aktif. Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya hukum pidana menurut ruang tempat dan berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat : I. Asas Teritorial. II. Asas Personal (nasional aktif). III. Asas Perlindungan (nasional pasif) IV. Asas Universal. Ad. I. Asas Teritorial Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
  • 7. 13 orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”. Pasal ini dengan tegas menyatakan asas territorial, dan ketentuan ini sudah sewajarnya berlaku bagi Negara yang berdaulat. Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang asing. Sedang dalam asas kedua (asas personal atau asas nasional yang aktif) menitik beratkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tidak mempermasalahkan tempat terjadinya perbuatan pidana. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara- negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada 14 peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada. Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”. Ketentuan ini memperluas berlakunya pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa perahu (kendaraan air) dan pesawat terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.
  • 8. 15 Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana diatas alat pelayaran Indonesia diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan bentuk khusus dari alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut bebas dan laut wilayah Negara lain. Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan dan hak-hak Istimewa (Immunity and Previlege).  Kepala Negara asing dan anggota keluarganya.  Pejabat-pejabat perwakilan asing dan keluarganya.  Pejabat-pejabat pemerintahan Negara asing yang berstatus diplomatik yang dalam perjalanan melalui Negara-negara lain atau menuju Negara lain.  Suatu angkatan bersenjata yang terpimpin. 16  Pejabat-pejabat badan Internasional.  Kapal-kapal perang dan pesawat udara militer / ABK diatas kapal maupun di luar kapal. Ad. II. Asas Personal Asas Personal atau Asas Nasional yang aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya terhadap warga Negara yang sedang berada dalam wilayah Negara lain yang kedudukannya sama-sama berdaulat. Apabila ada warga Negara asing yang berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan tindak pidana dan tindak pidana dan tidak diadili menurut hukum Negara tersebut maka berarti bertentangan dengan kedaulatan Negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesa di luar Indonesia yang melakukan perbuatan pidana tertentu
  • 9. 17 Kejahatan terhadap keamanan Negara, martabat kepala Negara, penghasutan, dll. Pasal 5 KUHP menyatakan : “(1). Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang- undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana. (2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat 18 dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan”. Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif) karena : Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal- pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan hukum pidana bagi warga Negara yang melakukan kejahatan di luar territorial wilayah Negara.
  • 10. 19 Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga Negara asing yang berbuat kejahatan di Negara asing tersebut, dengan jalan menjadi warga Negara Indonesia (naturalisasi). Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana yang dilakukan di negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang disana merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak menjadi permasalahan, karena mungkin pembagian tindak pidananya berbeda dengan di Indonesia, yang penting adalah bahwa tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan dilakukan diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP Indonesia merupakan kejahatan, bukan pelanggaran. Ketentuan pasal 6 KUHP : “ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut 20 perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”. Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat (1) butir 2 KUHP adalah untuk melindungi kepentingan nasional timbal balik (mutual legal assistance). Oleh karena itu menurut Moeljatno, sudah sewajarnya pula diadakan imbangan pulu terhadap maksimum pidana yang mungkin dijatuhkan menurut KUHP Negara asing tadi. Ad. III. Asas Perlindungan Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara
  • 11. 21 Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1976) “Ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia : 1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131; 2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia; 3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan 22 talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat- surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu; 4. Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan melindungi
  • 12. 23 kepentingan internasional (universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut. Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu : 1) Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1) 2) Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas 24 Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2) 3) Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat- sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian- bagiannya (pasal 4 ke-3) 4) Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke- 4) Ad. IV. Asas Universal Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
  • 13. 25 Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing. 26 Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal). Pasal 7 KUHP “Ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonsia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua”.
  • 14. 27 Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang sebagian besar sudah diserap menjadi tindak pidana korupsi. Akan tetapi pasal-pasal tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435) telah dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal 7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud 28 dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14” Pasal 8 KUHP “Ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia berlaku nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam ordonansi perkapalan”. Dengan telah diundangkannya tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana / prasarana penerbangan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A. pertimbangan lain untuk memasukkan Bab
  • 15. 29 XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8 KUHP adalah juga menjadi kenyataan bahwa kejahatan penerbangan sudah digunakan sebagai bagian dari kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok terorganisir pasal 9 KUHP. Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum-hukum internasional. Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi : 1) Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka 2) Duta besar Negara asing beserta keluarganya meeka juga mempunyai hak eksteritorial. 30 3) Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya 4) Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.
  • 16. 31 BAB III TINDAK PIDANA a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian Tindak pidana (strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :  Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.  Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. 32  Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”. Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya. b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak pidana.
  • 17. 33 Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan- perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar. Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :  Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).  Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)  Melawan hukum (onrechtmatig) 34  Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)  Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person). Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit). Unsur Obyektif :  Perbuatan orang  Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.  Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”. Unsur Subyektif :  Orang yang mampu bertanggung jawab  Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
  • 18. 35 Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan. Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :  Perbuatan (manusia)  Yang memenuhi rumusan dalam undang- undang (syarat formil)  Bersifat melawan hukum (syarat materiil) Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari : 1) Kelakuan dan akibat 2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi : a. Unsur subyektif atau pribadi Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 36 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut b. Unsur obyektif atau non pribadi Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan. (1) Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP Pasal 164 KUHP : barang siapa mengetahui permufakatan jahat untuk
  • 19. 37 melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur tambahan. Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan 38 kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan. (2) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat
  • 20. 39 2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana (3) Unsur melawan hukum Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis. Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam dakwaannya dan 40 oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap ada. Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum. Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap rumusan
  • 21. 41 undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum. Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah : 1) Untuk menyusun surat dakwaan, agar dengan jelas; 2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang menggambarkan uraian unsur tindak pidana yang didakwakan sesuai dengan pengertian / penafsiran yang dianut oleh doktrin maupun yurisprudensi; 3) Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli atau terdakwa untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan; 42 4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana. Biasa terjadi bahwa suatu alat bukti hanya berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur tindak pidana, tidak seluruh unsur tindak pidana; 5) Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam pembuktian akan dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif karena berlandaskan teori dan bersifat ilmiah; 6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan kepada unsur- unsur tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka pengertian-pengertian unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin atau yurisprudensi atau dengan cara penafsiran hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil untuk berargumentasi.
  • 22. 43 c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian jenis delik. 1. Kejahatan dan Pelanggaran Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut : pelanggaran criterium apakah yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau memasukkan dalam kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran. Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan kedua jenis delik itu. Ada dua pendapat : a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah : 44 1. Rechtdelicten Ialah yang perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala perse). 2. Wetsdelicten Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang
  • 23. 45 pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain. b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”. Mengenai pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang menentang. Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga berpendapat, bahwa penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik itu harus ditiadakan. Kejahatan ringan : Dalam KUHP juga terdapat delik yang digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan 46 misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 (1), 315, 407. 2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil) a. Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP). b. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini
  • 24. 47 baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362. 3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa a. Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. b. Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP). 48 c. Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP). 4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten) a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP. 5. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
  • 25. 49 a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali. b. Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan) 6. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten) Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP). 7. Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten) Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai : 50 a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan. b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena. Catatan : perlu dibedakan antara aduan den gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal : A menggugat B di muka pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A. Laporan hanya pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa. 8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten) Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb.
  • 26. 51 (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak- kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP). 9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi. d. SUBYEK TINDAK PIDANA Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut : a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang 52 …….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain dari pada “orang”. b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu : 1. pidana pokok : a. pidana mati b. pidana penjara c. pidana kurungan d. pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan 2. pidana tambahan : a. pencabutan hak-hak tertentu b. perampasan barang-barang tertentu c. dimumkannya keputusan hakim Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia. c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
  • 27. 53 d. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin manusia. Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota pengurus dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut campurnya. Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut “pembalikan beban pembuktian” (omkering van bewijslast). Dalam KUHP juga ada pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide 54 pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya. Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan (M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia, misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi” (S.1948-144) dan “Ordonansi pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat ketentuan yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakuka tindak pidana yang disebut dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan
  • 28. 55 bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana. Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai persoalan ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan dengan dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus menemukan sendiri penyelesaian untuk problem dalam materi baru ini”. Van Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak lebih luas dari pada biasanya dalam buku pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum kiranya akan menduduki tempat yang penting dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”. Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan tindak pidana, ya bahkan kadang-kadang korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat, bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan 56 bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam hal. 477 van Hattum menulis a.l. : (terjemahan) …………. sebaiknya pembentuk undang-undang membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu korporasi.
  • 29. 57 BAB IV HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT) A. Kausalitas Didalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil (selanjutnya disebut delik materiil), terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang dilarang dan merupakan unsur yang menentukan (essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada, paling banyak ada percobaan. Misalnya : Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain dihukum karena pembunuhan. 58 Keadaan yang menentukan di sini adalah terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya si A. Oleh karenanya untuk dapat menuntut seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan matinya seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu keadaan” dimana dapat berupa suatu pembahayaan atau perkosaan terhadap kepentingan hukum. Hubungan sebab akibat (causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal- pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP. Persoalan kausalias ini terjadi karena kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa
  • 30. 59 persoalan ini tidak hanya terdapat dalam lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam hukum dagang misalnya dalam persoalan asuransi. Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat. Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan (manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa ditelusuri sampai ke sebab. Akan tetapi sebenarnya tidak boleh dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non propter hoc). 60 B. Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas) B.1. Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie atau teori condition sine qua non dari von Buri Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat. Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A. Teori ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai dalam logika. Dalam hubungan ini baik
  • 31. 61 dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya : Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of antecedents” (1843). Van Hamel, seorang penganut teori ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan yang harus diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara hubungan kausal dan pertanggung jawaban pidana. Kritik / keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya. Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada pembuatan pisau. 62 Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor yang menimbulkan akibat itu beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor- faktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting). Kebaikan teori ini : mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali dalam membatasi lingkungan berlakunya pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori lain. B.2. Teori-teori Individualisasi Teori-teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya
  • 32. 63 hanya merupakan syarat belaka. Penganut- penganutnya tidak banyak antara lain : 1. Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung) 2. Binding. Teorinya disebut “Ubergewichtstheorie)” Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang menahan (negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor yang positif itu lebih unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu. 64 B.3. Teori-teori generalisasi Teori-teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie). Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang adequat : a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa. b. Seorang yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada pengendara sepeda hendak menyebrang
  • 33. 65 jalan yang membelok, sedang ini tidak disangka-sangka oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma karena menekan urat. Dianipun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara sepeda itu tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut. c. Seorang petani membakar tumpukan rumput kering (hooi), dimana secara kebetulan bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang adequate ? Jawabannya tergantung dari keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan rumput, maka perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang. 66 Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain : 1. Penentuan subyektif (subjective ursprungliche Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh sipembuat dapat diketahui / diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan si pembuatlah yang menentukan). 2. Penentuan obyektif. Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara obyektif kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi bukan yang diketahui atau yang dapat diketahui oleh sipembuat, melainkan pengetahuan dari hakim.
  • 34. 67 Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini disebut “objektive nachtragliche Prognose” (Rumelin). Sebenarnya dalam teori kausal adequat subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat dapat mengira-ngirakan atau membayangkan (voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; jadi sipembuat dapat membayangkan dan seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga menentukan pertanggunganjawab (pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti yang sesungguhnya. Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci pekerjanya, tetapi tidak berani melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu 68 mati. Pada waktu hujan yang disertai petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu tempat dengan harapan agar orang itu disambar petir. Harapan itu terkabul dan pekerjanya itu mati disambar petir. Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih memuaskan apabila dipakai teori adequate. Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat lain pada umumnya tidak mempunyai kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir. Penyambaran petir adalah hal yang kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan. Beberapa penganut teori adequat yang lain : 1. Simons : Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat disebut sebagai sebab dari suatu akibat, apabila menuntut pengalaman manusia pada umumnya harus diperhitungkan kemungkinan,
  • 35. 69 bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi akibat itu”. 2. Kami (Ringkasan Hukum Pidana hal. 47) berpendirian senada dengan Simons. Beliau katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan hukum itu terdiri atas persangkaan, (presumptie), bahwa alur peristiwa di dunia ini ada biasa dan normal. Ini kesimpulan pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti hal ikhwal yang berada dan menurut pengalaman kita, dengan kadarnya memadai sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai suatu sebab”. 3. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatan- perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu mempunyai strekking untuk menimbulkan akibat yang bersangkutan. Tinjauan terhadap teori-teori kausalitas tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan 70 penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan sebab dari sesuatu akibat yang dimaksudkan dalam rumusan delik yang bersangkutan. Mengenai teori adequat dari von Kries, itu dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman manusia pada umumnya dan sebagainya. Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu, mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat
  • 36. 71 dengan nyata teori mana yang dipakai. Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan, bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk en rechtsreeks) a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (. 147 hal 115) sebuah mobil menabrak sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api. Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si terdakwa (pengendara mobil). b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933 Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya. Anak tersebut menabrak orang. Disini memang perbuatan si ayah dapat disebut syarat (voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak 72 boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada hubungan kausal yang langsung. c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari 1937. Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang pengemudi mobil yang sembrono dari tempat kemudi (stuur) dan membiarkan pengemudi tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena antara perbuatan terdakwa dan terjadinya kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang sebagai suatu syarat dan bukan sebab. d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei 1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-
  • 37. 73 barang angkutan dalam kapal in casu tidak mempedulikan peringatan-peringatan dari berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan pada waktu kapal akan berangkat. Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat” dengan “kecelakaan itu”. C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi dan dalam delik comisionis per ommisionem commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya). Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik omissi persoalannya mudah, karena delik omissi itu adalah delik formil, sehingga tidak ada persoalan tentang kausalitas. Yang ada persoalan ialah pada delik commisionis per omission commissa. Pada delik ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa pendirian : 74 a. Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana ini). b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang positif yang dilakukan oleh sipembuat pada saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi susu, yang disebut sebagai sebab ialah “sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko. Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori inipun tidak dapat diterima, karena kepergian ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan dengan akibat itu. c. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal
  • 38. 75 seorang penjaga wesel yang menyebabkan kecelakaan kereta api karena tidak memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang menjadi sebab ialah apa yang dilakukan penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan, sebab sulit dilihat hubungannya antara penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul. d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebab dari sesuatu akibat, apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya yang nyata-nyata tertulis dalam suatu peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada kewajiban berbuat atau tidak : 1) Ada anak yang dibunuh; orang tuanya mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat apa-apa. Apakah orang tua bertanggung jawab sebagai ikut berbuat dalam pembunuhan ? 76 Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober 1883): tidak, tetapi memang sikap semacam itu sangat tercela (laakbaar) dan tidak patut. 2) Seorang penjaga gudang membiarkan pencuri melakukan aksinya, ia dapat dipertanggungjawabkan, sebab sebagai penjaga ia berkewajiban untuk menjaga dan berbuat sesuatu. Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi, bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per omissionem commissa (delik omissi yang tidak sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat sesuatu”, yang diharapkan untuk diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit,
  • 39. 77 dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”. Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif (yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah yang menyangkut orangnya. 78 BAB IV SIFAT MELAWAN HUKUM (Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk, Onrechmatig) A. Istilah dan Pengertian KUHP memakai istilah bermacam-macam : a. tegas dipakai istilah “melawan hukum”, (wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1), 522; b. dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549); “tanpa izin” (zonder verlof) (pasal 496, 510); “dengan melampaui kewenangannya” (pasal 430); “tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan umum” (pasal 429).
  • 40. 79 Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam sesuatu rumusan delik karena pembentuk undang- undang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu, mungkin dipidana pula. Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga pendirian: 1. bertentangan dengan hukum (Simons) 2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang lain (Noyon) 3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum (H.R). Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam 80 rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang”. Dalam bahasa Jerman ini disebut “tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male, ialah masing-masing unsur dari rumusan delik. Pengecualian atas tasbestand mer male, dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi rumusan delik (tatbestandsmaszig) itu tidak senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) : 1) regu penembak, yang menembak mati seorang terhukum yang telah dijatuhi hukuman pidana mati, memenuhi unsur-unsur delik tersebut pasal 338 KUHP. Perbuatan mereka tidak melawan hukum. 2) Jaksa menahan orang yang sangat dicurigai telah melakukan kejahatan. Ia tidak dapat dikatakan melakukan kejahatan tersebut pasal 333 KUHP,
  • 41. 81 karena ia melaksanakan undang-undang (terdapat dalam peraturan hukum acara pidana) sehingga tidak ada unsur melawan hukum. Di dalam kedua contoh tersebut hal yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam kasus : - seorang ayah memukul seorang pemuda yang memperkosa anak-anaknya - seorang menembak mati temannya atas permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter, karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan - seorang bioloog membedah binatang-binatang (vivisectie) untuk penyelidikan ilmiah. Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan hukumnya perbuatan. Contoh lain yang mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah : - Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936 82 Seorang perempuan Minangkabau hidup bersama dengan seorang laki-laki dengan siapa ia menurut hukum adat dilarang kawin. Berhubung dengan pelanggaran adat ini, maka Mamak dari perempuan ini bersama-sama dengan orang lain mendatangi orang tersebut untuk dimintai pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki itu ke Wali Negeri. Oleh karena perempuan itu tidak mau membuka pintu rumahnya pintu didobrak. Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak cs melanggar pasal KUHP (merusak ketentraman rumah), dan memidana Mamak 3 bulan penjara dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan - Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933 Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah sakit mulut dan kuku, sehingga membahayakan sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik
  • 42. 83 tesebut dalam pasal 82 undang-undang ternak, ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam keadaan yang membahayakan / mengkhawatirkan. Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan pada pokoknya, bahwa perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan peternakan. Putusan Mahkamah Agung Belanda : Pasal 82 Undang- undang ternak tidak dapat diterapkan kepada dokter hewan itu. Pertimbangannya antara lain : “tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang diancam pidana itu mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal yang bersangkutan tidak berlaku terhadap perbuatan yang secara letterlijk memenuhi rumusan delik”. 84 Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana membagi ajaran sifat melawan hukum dalam dua sudut pandang yaitu : 1. menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang- undang; sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis). Menurut Simons, “Memang boleh diakui, bahwa suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat melawan hukum, akan tetapi tidak adanya sifat melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di dalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu
  • 43. 85 pengecualian berlakunya ketentuan / larangan itu. Alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum tidak boleh diambil di luar hukum positif dan juga alasan yang disebut dalam undang-undang tidak boleh diartikan lain daripada secara limitatief. 2. menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata- nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gezetzlich). Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya sebagaimana para sarjana yang 86 menganut ajaran sifat melawan hukum yang meteriil ialah : a) Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan terhadap kepentingan hukum hanyalah bersifat melawan hukum materiil (materiel rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan dengan tujuan ketertiban hukum (den Zwecken der das Zusammenleben regelnden Recht sordnung widerspricht); kalau tidak bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak bersifat melawan hukum. b) Zu Dohna mengatakan : Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika perbuatan itu merupakan upaya yang haq untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum techten zwecke). Contohnya ialah seorang yang memukulpemuda yang memperkosa anak perempuannya. Di sini menurut Zu Dohna perbuatan ayahnya tidak bersifat melawan hukum. c) M.E. Mayer mengatakan :
  • 44. 87 Perbuatan itu melawan hukum materiil atau tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan (kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti bertentangan dengan kulturnorm yang diakui oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai dengan kulturnorm itu maka sifat melawan hukumnya hapus. d) Zevenbergen Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum, obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, tetapi mengenai hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan mengenai sifat melawan hukum maka tidak boleh ada penjatuhan pidana. e) Van Hattum Dengan adanya keputusan Hoge Raad tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan : 88 dengan itu menurut hemat saya (mer van Hattum) telah diterima ajaran sifat melawan hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan telah dipecahkan persoalan mer azas-azas yang boleh dikatakan benar dalam ajaran “penentuan hukum” dewasa ini (in de hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist). Persaksian terhadap sifat melawan hukum yang materiil itu harus dilakukan secara hati- hati, dan istimewa hakim harus membuka diri pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal abortus protus (ps. 348 KUHP) bisa tidak melanggar hukum berdasarkan petunjuk eugenetisch atau sosial. (Eugenetiek adalah ajaran yang mempelajari perbaikan ras / keturunan). Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya perbuatan, bila suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik, maka itu menjadikan tanda / indikasi bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya
  • 45. 89 alat pembenar (rechtvaardigingsgrond). Bagi mereka yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dan luar hukum yang tertulis. Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam perkara kongkrit yang sedang dihadapi harus mempertimbangkan : a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul- betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa, juga dipandang adil / benar oleh seluruh masyarakat pada umumnya. b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul- 90 betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menghapuskan kekuatan berlakunya peraturan yang tertulis dsb. c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap- tiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar mengetahui bagaimanakah keadaan masyarakat lebih-lebih keadaan masyarakat Indonesia yang dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya putusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun secara materiil.
  • 46. 91 Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan : - dalam fungsinya yang negatif Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum. - dalam fungsinya yang positif Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif. 92 Kalau Seminar Hukum Nasional tersebut di atas menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil tentunya hal tersebut dalam fungsinya yang negatif. Ini adalah konsekwensi dari diterimanya azas legalitas untuk KUHP. Nasional nanti dan masih berlakunya KUHP yang sekarang ini dimana juga masih tercantum azas seperti tersebut dalam pasal 1. Suatu negara yang mengakui azas nullum delictum dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan bahwa B telah membunuh C kakak dari A. Memang di daerah yang bersangkutan ada anggapan bahwa hutang nyawa harus disaur dengan nyawa. B. Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan delik : 1. ada yang tercantum dengan tegas, maka dalam hal ini adanya unsur tersebut harus dibuktikan
  • 47. 93 2. ada pula yang tidak tercantum. Terhadap delik- delik semacam itu ada perbedaan paham : a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai fungsi yang positif untuk sesuatu delik (artinya ada delik kalau perbuatan itu bersifat melawan hukum), maka harus dibuktikan. Sifat melawan hukum disini sebagai unsur konstitutif. b. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai fungsi yang negatif (artinya : tidak ada unsur sifat melawan hukum pada perbuatan merupakan pengecualian untuk adanya suatu delik), maka tidak perlu dibuktikan. Yang menganggap sifat melawan hukum itu mempunyai fungsi yang positif (merupakan unsur konstitutif) a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang menganggap sifat melawan hukum mempunyai fungsi yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons, “ajaran sifat melawan hukum untuk hukum pidana pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan 94 dengan pertanyaan apakah ada pengecualian yang menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”. Prof. Muljatno yang meskipun menganggap unsur sifat melawan hukum adalah syarat mutlak yang tak dapat ditinggalkan”, namun berpendirian, bahwa itu tidak berarti bahwa dalam lapangan procesueel (acara pemeriksaan perkara) sifat itu harus dibebankan pembuktiannya kepada penuntut umum. Beliau setuju, jika tak disebut dalam rumusan delik, unsur dianggap dengan diam-diam ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, karena pada umumnya dengan mencocoki rumusan undang-undang sifat melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata pula. Hazewinkel-Suringa memandang sifat melawan hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak pidana. C. Putatif Delik Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini ada delik disebut wahn delict atau putativ delict. Ini terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict, padahal perbuatannya itu sama sekali bukan suatu
  • 48. 95 delik, sebab perbuatannya itu tidak bersifat melawan hukum. 96 BAB V KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA 1. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab (Zurechnungsfahigkeit – Toerekeningsvatbaarheid) Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggung- jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggung- jawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan bertanggung jawab”.
  • 49. 97 Simons : “kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”. Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila : a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan : a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya-perbuatannya itu 98 Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggung- jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut. Definisi van Bemmelen ini singkat, akan tetapi juga kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah seseorang itu dikatakan “dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut” ? Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan) secara negative menyebutkan mengenai kemampuan bertanggung jawab itu, antara lain demikian : Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku : a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang- undang. b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan
  • 50. 99 dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk menilai dengan pikiran atau perasaannya bahwa perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu. Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “norm- adressat” (sasaran norma), yang mampu. Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana). 100 2. Kesalahan 2.1. Pengertian Kesalahan Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam hal ini berlaku asas “TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan).
  • 51. 101 Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dlam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4 / 2004) berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, dapat juga dikenal dari pepatah (Jawa) “sing salah, seleh” (yang bersalah pasti salah). Untuk adany pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri. Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang 102 berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam sistem hukum di Negara Eropa Kontinental, unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim (asas) “Actus non facit reum nisi mens sit rea” atau disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt melekat pada sipelaku subjective gilt ini berupa intent (kesengajaan setidak-tidaknya negligence (kealpaan). 2.2. Dasar Pemikiran Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada pemikiran tentang hubungan antara perbuatan dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan
  • 52. 103 antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya kesalahan ada 3 pendapat dari : a. Aliran klasik yang melahirkan pandangan indeterminisme, yang pada dasarnya berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (free will) dan ini merupakan sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan. b. Aliran positivist yang melahirkan pandangan determinisme mengatakan, bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak (dalam arti naPasalu-naPasalu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif- motif ialah perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang, tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia 104 tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru karena tidak adanya kebebasan kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa tindakan (maatregel) untuk ketertiban masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh si pelaku. c. Dalam pandangan ketiga melihat bahwa ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal (irrelevant). Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas 1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana
  • 53. 105 Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, di bawah ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai penulis. a. MEZGER mengatakan : kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku tindak pidana (Schuldist der Erbegriiffder Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen personlichen Verwurf gegen den Tater begrunden). b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “sociaal ethisch” dan mengatakan antara lain : “Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch dari si pelaku dan hubungannya terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dapat dicelakakan kepada si pelaku”. 106 c. VAN HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan jawab dalam hukum (Schuld is de verant woordelijkheid rechtens)”. d. VAN HATTUM berpendapat : “Pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal, yang bersifat psychisch yang terdapat dapat keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si pelakunya (al het geen psychisch is aan dat complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en deswege een strafbare dader). e. KARNI yang mempergunakan istilah “salah dosa” mengatakan : “Pengertian salah dosa mengandung celaan. Celaan ini menjadi dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum pidana”. Selanjutnya ia katakan : “Salah dosa berada, jika perbuatan dapat dan patut
  • 54. 107 dipertanggungkan atas si perbuat; harus boleh dicela karena perbuatan itu; perbuatan itu mengandung perlawanan hak; perbuatan itu harus dilakukan, baik dengan sengaja, maupun dengan salah”. f. POMPE mengatakan antara lain : “Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch. Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologis (batin) antara pelaku dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan, pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian. Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif) keadaan batin berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan. 108 Dari pengertian-pengertian kesalahan dari beberapa sarjana di atas maka pengertian kesalahan dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut : - Pengertian kesalahan yang normatif Pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara sipelaku dengan perbuatannya. “Penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya diperbuat oleh sipelaku secara extreem dikatakan bahwa “kesalahan seseorang tidaklah terdapat dalam kepala sipelaku, melainkan di dalam kepala orang-orang lain”, ialah di dalamkepala dari mereka yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang
  • 55. 109 memberi penilaian pada instansi terakhir adalah hakim. Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur dari pertanggung-jawaban pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian mengenai keadaan jiwa sipelaku, ialah kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan. 1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut : a. menurut akibatnya ia ada hal yang dapat dicelakakan (verwijtbaarheid) b. menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang melawan hukum Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur 110 pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakakan kepadanya, pencelaan disini bukannya pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid rechtens, seperti dikatakan oleh van Hamel. Namun demikian, untuk adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat, bahwa “das Recht ist das ethische Minimum”. Setidak- tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama. 1. Arti “kesalahan” dalam hukum Pidana Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian yaitu : a. kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”; di
  • 56. 111 dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) sipelaku atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan, bahwa orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya. b. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (sculdvorm) yang berupa : 1. kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau intention) atau 2. kealpaan (culpa, onachtzaamheid, fahrlassigkeit atau negligence). c. kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas. Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah “kealpaan”. Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti luas) sebagai dapat dicelanya si pelaku atas perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff). 112 2. Unsur-unsur dari kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya) Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi : a. adanya kemampuan bertanggungjawab pada sipelaku (schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah orang tertentu menjadi “normadressat” yang mampu. b. hubungan batin antara sipelaku dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pelaku terhadap perbuatannya. c. tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa yang disebut dalam a dan b ada, ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi sipelaku sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan
  • 57. 113 adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa (ps. 49 KUHP) Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga bisa dipidana. Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungan jawab pidana) orang yang bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk menerapkan kesalahan sipelaku. Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu. 114 Itulah sebabnya, maka kita harus senantiasa menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat pemidaan ialah adanya : 1. dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit) 2. dapat dipidananya orangnya atau pelakunya (strafbaarheid van de persoon).
  • 58. 115 BAB VI KESENGAJAAN (DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ) Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas- luasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan batin antara si pelaku terhadap perbuatan, yang dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa berupa kesengajaan atau kealpaan. Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet) sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu 116 mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan perbuatannya. 1. Teori-teori Kesengajaan Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut: a. Teori kehendak (wilstheorie) Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons, Zevenbergen) b. Teori pengetahuan / membayangkan (voorstelling- theorie) Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan
  • 59. 117 pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. (Frank). Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya saja. 2. Bentuk Kesengajaan Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan sebagai berikut : a. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus b. kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn 118 c. kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet) Bentuk kesengajaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan beserta akibatnya. Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B agar B tidak membohong. Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan motif. Motif suatu perbuatan adalah alasan yang mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel dsb. Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor kausa yang menghubungkan perbuatan dengan akibat (kausalitas) dimana : 1. akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat merupakan delik tersendiri atau tidak.
  • 60. 119 2. akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no. 1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi. Contoh 1 : A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik restoran itu. Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406 KUHP) ada kesengajaan dengan keinsyafan kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya tujuan. Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula merupakan diperkirakan sipelaku sebagai kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi merupakan resiko yang harus diemban sipelaku. 120 Contoh 2 : A hendak membalas dendam B yang bertempat tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya, meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan dianggap tertuju pula pada matinya istri B. Dalam batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan baginya. Jadi dalam kasus ini : Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B dan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan terhadap kematian istri B (Arrest H.R. 9 Maret 1911) Contoh 3 : Seorang yang melakukan penggelapan, merasa bahwa akhirnya ia akan ketahuan. Ia ingin menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak
  • 61. 121 membunuh dirinya dengan merencanakan sustu kecelakaan lalu – lintas, Ia menabrakkan mobil yang dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang. Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi (1 ton) itu dapat dibayarkan kepada soprnya. Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka. Beberapa penumpang bis mengalami luka dan seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa. R.v.J (Raad van Justitie) Semarang yang diperkuat oleh Hoogerechtshof dalam tingkat banding menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain sebagai berikut: Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpang- penumpang bis mendapat luka-luka, namun akibat ini ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan perbuatan itu, meskipun ia sadr akan akibat yang mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers, ketika menjadi Jaksa Tinggi (Officier van Justitie) pada R.v.J di Semarang. 122 3. Dolus Eventualis Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana, akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat mengelak dari suatu keadaan tertentu. Contoh: Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan lajunya di jalan dalam kota. Dimuka ia lihat sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila ia tetap dalam kecepatan yang sama tanpa menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada kesengajaan unuk menganiaya atau membunuh, meskipun tidak dapat dikatakan bahwa ia mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia menghendaki hal itu, dalam arti, meskipun ia sadar akan kemungkinan tentang luka dan matinya anak ia mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima
  • 62. 123 apa boleh buat kemungkinan itu, dengan melampiaskan naPasalunya untuk menegar kudanya. Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja. Bagaimanakah menerangkan adanya kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis) ? Berdasarkan teori kehendak, jika sipelaku menetapkan dalam batinnya, bahwa ia lebih menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan, dari pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan itu. Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui / membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat yang tak dikehendaki, tetapi bayangkan itu tidak mencegah dia untuk tidak berbuat; maka dapat dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada akibat yang mungkin terjadi itu. 124 Dalam kedua teori itu digambarkan, bahwa dalam batin si – pelaku terjadi suatu proses, bahwa ia lebih baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu yang tidak jelas, oleh karena itu disamping kedua teori itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie”atau” op de koop toe nemen theorie”). Menurut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie “atau”op de koop toe nemen theorie”) keadaan batin si pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai berikut: a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat itu b. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul resiko.”
  • 63. 125 Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S. Menteri Modderman mengatakan, bahwa “voorwaardelijkk opzet” (dolus eventualis) itu ada, apabila kehendak kita langsung ditujukan pada kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan terjadinya hal yang telah kita ketahui itu. Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya tidak perlu lagi untuk membedakan kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan. Dalam uraian-uraian diatas penentuan tentang kesengajaan si-pelaku adalah dengan melihat bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan dipandang sebagai sikap batin pelaku terhadap perbuatannya. Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap 126 batin yang berupa kesengajaan (atau kealpaan) itu benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat secara pasti mengetahui mengetahui batin orang lain, lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu orang ini berbuat. Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran. Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi dalam banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya kesengajaan itu. Contoh Van Bemmelen: A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2 meter. Meskipun A mungkin, bahwa ia mempunyai kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap akan menentukan adanya kesengajaan tersebut, kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi