2. PENGERTIAN QADHA DAN QADAR
Al-Qadlā maknanya al-Khalq, artinya penciptaan, dan al-
Qadar maknanya at-Tadbīr, artinya ketentuan. Secara
istilah al-Qadar artinya ketentuan Allah atas segala
sesuatu sesuai dengan pengetahuan (al-‘Ilm) dan
kehendak-Nya (al-Masyī’ah) yang Azali (tidak bermula), di
mana sesuatu tersebut kemudian terjadi pada waktu yang
telah ditentukan dan dikehendaki oleh-Nya terhadap
kejadiannya.
3. Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian, yaitu:
• Pertama; Kata al-Qadar bisa bermaksud bagi sifat “Taqdīr” Allah, yaitu
sifat menentukannya Allah terhadap segala sesuatu yang ia
kehendakinya. al-Qadar dalam pengertian sifat “Taqdīr” Allah ini tidak
boleh kita sifati dengan keburukan dan kejelekan, karena sifat
menentukan Allah terhadap segala sesuatu bukan suatu keburukan
atau kejelekan, tetapi sifat menentukannya Allah terhadap segala
sesuatu yang Ia kehendakinya adalah sifat yang baik dan sempurna,
sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya.
• Kedua; Kata al-Qadar dapat bermaksud bagi segala sesuatu yang
terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdūr. Al-Qadar dalam
pengertian al-Maqdūr ini ialah mencakup segala apapun yang terjadi
pada seluruh makhluk ini; dari keburukan dan kebaikan, kesalehan
dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan dan kemaksiatan,
dan lain-lain.
4. Segala perbuatan yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan
keimanan, ketaatan dan kemaksiatan, dan berbagai hal lainnya,
semunya terjadi dengan kehendak dan dengan penciptaan Allah.
Rasulullah bersabda:
ْنُكَي ْمَل َْأشَي ْمَل اَم َو َانَك ُهللا َءَاش اَم(داود أبو رواه)
“Apa yang dikehendaki oleh Allah -akan kejadiannya- pasti terjadi,
dan apa yang tidak dikehandaki oleh-Nya maka tidak akan pernah
terjadi”. (HR. Abu Dawud).
5. TAKDIR: MUBRAM DAN MUALLAQ
Qadla terbagi kepada dua bagian: Qadlā Mubram dan Qadlā
Mu’allaq.
Pertama: Qadlā Mubram, ialah ketentuan Allah yang pasti terjadi
dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya ada pada Ilmu Allah,
tidak ada siapapun yang mengetahuinya selain Allah sendiri,
seperti ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqāwah), dan
mati dalam keadaan beriman (as-Sa’ādah), ketentuan dalam dua
hal ini tidak berubah.
6. Kedua, Qadlā Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah yang berada
pada lambaran-lembaran para Malaikat, yang telah mereka
kutip dari al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si fulan apa bila ia
berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan
mendapat rizki yang luas, atau akan mendapatkan kesehatan,
dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau
berdoa, atau tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya
enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatkan rizki yang luas,
dan tidak akan mendapatkan kesehatan
LANJUTAN
7. KEBEBASAN MANUSIA DAN
TAKDIR
Menurut Syekh Zarruq kemauan manusia terdiri atas tiga macam.
1. Ada kemauan yang tinggal kemauan tanpa upaya dan tanpa hasil.
Kemauan seperti ini kerap kali kita dapati melekat pada banyak orang
di sekitar kita terutama pada kebaikan sehingga kita sering
mendengar orang mengatakan, ‘Saya sebenarnya ingin sekali
menghadiri majelis taklim, menuntut ilmu,’ tanpa ada upaya riil.
2. Kemauan kuat yang diiringi usaha nyata dengan atau tanpa hasil. Ini
kita temukan pada pegawai kantoran, petani, nelayan, pemulung,
pengusaha, dan seterusnya.
3. Kemauan kuat tanpa upaya, tetapi membawa hasil. Kemauan seperti
ini jarang kita temukan karena kemauan seperti ini hanya dimiliki oleh
para rasul, wali Allah, dan para wali setan seperti penyihir dan lain
sebagainya.
8. • Meskipun semua terjadi berdasarkan kehendak Allah, kita
tetap harus mempertimbangkan hukum kausalitas, hukum
alam sebagai ketetapan Allah. Pasalnya, hukum kausalitas
dan hokum alam sebagai sunatullah cukup kuat dan kuasa.
• Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menempatkan takdir dengan
menyarankan untuk memperhatikan hukum kausalitas dan
hukum alam. Meskipun sakit dan sehat adalah kehendak
Allah, kita sebagai manusia–menurutnya–harus tetap
berupaya untuk menjaga kesehatan dan berupaya hidup
sehat.
9. • Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya,
dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu,
dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa
takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam
pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut
sementara ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau
yang sering secara salah kaprah disebut "hukum-hukum alam."