Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Qada dan Qadar
1.
2. Qadha Dan Qadhar
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah mengutus hambaNya Muhammad shalallahu ‘alaihi
wasallam dengan membawa kebenaran, menyampaikan amanat kepada ummat dan berjihad
dijalanNya hingga akhir hayat. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada
beliau, berikut para keluarga, shahabat dan pengikutnya yang setia.
Sudah sejak dahulu masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat
Islam. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam keluar menemui shahabatnya
radhiyallahu ‘anhum, ketika itu mereka sedang berselisih tentang masalah Qadha’ dan Qadar (
takdir ) maka beliau melarangnya dan memperingatkan bahwa kehancuran umat – umat
terdahulu tiada lain karena perdebatan seperti ini.
2. Rumusan Dan Batasan Masalah
Allah menetapkan setiap yang hidup pasti merasai mati dan tidak ada seorang pakar
perubatan pun yang mampu mengubah kenyataan ini. Semua ini dan yang lain-lainnya tidak
dapat diubah sebab ia adalah ketetapan Allah sejak dari azali lagi berdasarkan kebijaksanaanNya
yang tanpa batas dan ia telah menjadi hukum alam yang dikenali sebagai hukum sebab musabab
dan sebab akibat. Justeru, hukum alam yang berkait rapat dengan kehidupan manusia ini adalah
sebahagian daripada ketetapan qada dan qadar.
Adapun batasan maslah dari penulisan makalah ini antara lain, yaitu:
Makalah ini membahas tentang pengertian qadha dan qadhar Allah SWT.
Makalah ini membahas hubungan qadha dan qadhar SWT dan kewajiban untuk beriman terhadap
keduanya.
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah antara lain sebagai berikut:
Pemakalah ingin mengupas lebih jauh tentang qadha dan qadhar secara etimologi maupun
terminologi
3. Pemakalah ingin mengetahui tentang implementasi qadha dan qadhar serta kaitannya dengan
kehendak manusia.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Al-Islam”.
B. Pembahasan
1. Pengertian Qadha dan Qadar
Menurut bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan pemerintah,
kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha
adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang
berkenan dengan makhluk.
Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun
menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam
kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya.
Kata Qadar berarti ukuran (miqdar), dan taqdir (takdir) yaitu ukuran sesuatu dan
menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan sesuatu dengan ukurannya yang
ditentukan. Sedangkan kata qadha berarti menuntaskan dan memutuskan sesuatu, yang di
dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi. Terkadang dua kata ini digunakan secara
sinonim yang berarti nasib. Maksud dari takdir Ilahi yaitu bahwa Allah SWT telah menciptakan
segala sesuatu serta telah menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas,
kualitas, ruang dan waktu. Dan hal ini dapat terealisasi di dalam rangkaian sebab-sebab.
Sedangkan yang dimaksud qadha Ilahi adalah menyampaikan sesuatu kepada tahap kepastian
wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu itu. Berdasarkan maksud
ini, tahap takdir itu lebih dahulu dari tahap qadha', karena di dalam takdir terdapat beberapa
tahap gradual dan syarat-syarat yang jauh, tengah dan dekat. Dan takdir ini dapat mengalami
perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya. Misalnya, perjalanan janin yang
berangsur-angsur dari sperma, segumpal darah, segumpal daging sampai membentuk janin yang
sempurna. Janin ini melewati tahap-tahap yang beragam untuk sampai kepada takdir tersebut,
dan di antara tahap-tahap itu adalah ruang dan waktu. Keluar atau gugurnya janin pada salah satu
tahap-tahap tersebut adalah perubahan pada takdir itu.
4. Adapun tahap qadha' bersifat seketika (daf'i). Qadha' ini berhubungan dengan tahap
terpenuhinya segenap sebab-sebab dan syarat-syarat. Maka itu, ia bersifat pasti serta tidak akan
mengalami perubahan. Allah SWT berfirman:
"Apabila Allah menetapkan suatu perkara, Ia akan mengatakan, "Jadilah." Maka
terjadilah." (QS. Ali Imran: 47)
Akan tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan, qadha' dan qadar ini juga bisa digunakan
sebagai dua kata yang sinonim. Dari sinilah qadha' dan qadar dapat dibagi menjadi dua bagian:
qadha' dan qadar yang pasti (hatmi) dan qadha dan qadar yang tidak pasti (ghairi hatmi).
Berdasarkan pembagian ini, sebagian riwayat, hadis, dan doa-doa menyinggung perubahan
tersebut. Di antaranya, bahwa bersedekah, patuh kepada kedua orang tua, silaturahim dan doa
termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah qadha'.
Pengertian Qadha dan Qadar Menurut Para Ulama
Adapun menurut syara’ terdapat beberapa pendapat para ulama, di antaranya :
1. Pendapat Imam Abul Hasan al-Asy’ari
-
Qadha adalah iradah Allah yang bersifat azali yang berkaitan dengan segala sesuatu dengan
keberadaannya.
-
Qadar adalah penciptaan Allah akan sesuatu dengan kadar ukuran yang tertentu dengan qadha,
zat/jenis dan sifatnya, perbuatan dan keadaan, waktu dan tempat serta sebab-sebabnya.
2. Pendapat Abul Manshur al-Maturidi
-
Qadha adalah penciptaan yang mengacu kepada pembentukan.
-
Qadar adalah penakaran/penentuan, yakni menjadikan sesuatu dengan mudah pada kadar yang
telah ditentukan sebelum keberadaannya.1[9]
2. Tingkatan qadha’ dan qadar
Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha’ dan qadar mempunyai empat tingkatan :
Pertama : Al-‘Ilm (pengetahuan)
Artinya mengimani dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Tahu atas segala sesuatu. Dia
mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu
1[9] Abdurrahman Hubarakah, Op cit, hlm. 616
5. termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatupun yang
tersembunyi bagiNya.
Kedua : Al-kitabah (penulisan)
Artinya mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam
Lauh Mahfuzh.
Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
َّ ِ ٍ ِ
َّ ِ ِ ْ ْ َ َ َّ
أَلَم تَعلَم أَن اَّللَ يعلَم ما في السماء واْلَرض إن ذَلِكَ فِي كت َاب إن ذَلِكَ علَى اَّللِ يسير
ِ َ َّ
ِ َ ُ ْ َ َّ َّ ْ ْ ْ
َ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang
ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh
Mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al-Hajj:70)
Oleh karena itu hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabat. Anda akan di mudahkan menurut takdir yang
telah ditentukan Allah Ta’ala.
Ketiga : Al- Masyiah ( kehendak ).
Artinya: bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah
dengan kehendak Allah Ta’ala. Hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an Al–Karim. Dan Allah
Ta’ala telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta apa yang diperbuat para
hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah:
َّ
َِلمن شَاء منكم أَن يَستَقيم . وما تَشَاؤُونَ إَِّل أَن يَشَاء اَّللُ ربُّ العَالَمين
ِ ْ
َ َّ
ُْ ِ
َ َ َ ِ ْ
َ
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak
dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apa bila dikehendaki Allah, Tuhan semesta
alam”. (At Takwir : 28 -29)
ُولَو شَاء ربُّكَ ما فَعَلُوه
ْ َ
َ
َ
“ jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya”. (Al–An’am 112)
Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar (takdir) kecuali dengan
mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau
tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit
ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah Ta’ala.
6. Keempat : Al–Khalq ( penciptaan )
Artinya mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi
penciptanya tiada lain kecuali Allah Ta’ala. Sampai “ kematian” lawan dari kehidupan itupun
diciptakan Allah.
ًََ َ
َ
الَّذِي خلَقَ الموتَ والحيَاة َ ِليَبلُوكم أَيُّكم أَحْ سنُ عمل
َ ْ َ َْْ
ُْ ُْ َ ْ
“Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya”. (Al-Mulk : 2)
Jadi segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah
Ta’ala. Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil perbuatan Allah
adalah ciptaan-Nya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari, bulan, bintang, angin,
manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk
para makhluk ini, seperti : sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah Ta’ala.
Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan
bahwa perbuatan dan perkataan yang kita lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah
Ta’ala?
Jawabnya: Ya, memang demikian, sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena
adanya dua faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apa bila perbuatan manusia timbul karena
kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan
kemampuan manusia adalah Allah Ta’ala. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah yang
menciptakan akibatnya.
Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia maksudnya
adalah bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor, yaitu : kehendak dan
kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat,
karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan dia berbuat, begitu pula
andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan terjadi suatu perbuatan.
Jika perbuatan manusia terjadi karena adanya kehendak yang mantap dan kemampuan yang
sempurna, sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan tadi pada diri manusia
adalah Allah Ta’ala, maka dengan ini dapat dikatakan bahwa yang menciptakan perbuatan
manusia adalah Allah Ta’ala.
7. Akan tetapi, pada hakekatnya manusia-lah yang berbuat, manusia-lah yang bersuci, yang
melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan ibadah haji dan
umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuat ketaatan; hanya saja perbuatan ini ada dan
terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Dan alhamdulillah
hal ini sudah cukup jelas.
Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah Ta’ala. Dan hal ini
tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku perbuatan.
3. Antara Qadha', Qadar dan Kehendak Bebas Manusia
Telah kita pelajari pada pelajaran yang telah lalu bahwa keyakinan terhadap qadha' dan
qadar 'aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal
keberadaannya lalu tahap-tahap pertumbuhannya sam-pai akhir usianya, bahkan sejak
terpenuhinya syarat-syarat yang jauh, seluruhnya tunduk kepada takdir dan pengaturan Ilahi yang
mahabijak. Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan proses mereka hingga
tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar kepada kehendak Allah SWT.
Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu bersandar kepada ijin dan
kehendak cipta (takwiniyah) Allah SWT, dan tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya
tidak akan mungkin mencapai pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya
segala sesuatu bersandarkan kepada qadha' dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala realitas
tidak akan sampai kepada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta ketentuan ajalnya.
Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya lebih merupakan pengajaran
secara bertahap tentang Tauhid dalam arti Pengaruh Mandiri; sebuah derajat tauhid yang paling
tinggi, yang memiliki peranan besar dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana
telah kami jelaskan.
Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah, atau bahkan kepada kehendakNya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada pemahaman. Dibandingkan dengan menyandarkan
tahap terakhir dan kepastian wujud mereka kepada qadha' Ilahi adalah sulit dan lebih banyak
menjadi topik perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara keimanan terhadap qadha'
Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak bebas yang ada pada manusia dalam menentukan jalan
dan nasib hidupnya.
8. Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para teolog Asy'ariyah, tatkala
mereka menerima kemutlakan qadha' Ilahi pada perbuatan-perbuatan manusia, tampak
kecondongan mereka kepada pemikiran Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita
melihat teolog lainnya, yaitu kaum Mu'tazilah. Madzhab teologi ini tidak menerima pandangan
Jabariyah. Kaum Mu'tazilah mengingkari qadha' Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang
bersifat sengaja dan berkehendak bebas.
Masing-masing kelompok menakwilkan ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang
saling berlawanan satu dengan yang lainnya, sebagaimana hal ini tercatat di dalam ilmu Kalam
dan dalam risalah-risalah yang membahas secara khusus masalah jabr dan tafwidh, keterpaksaan
dan kebebasan (mutlak).
Titik inti persoalan yang mengemuka di sini adalah bahwa perbuatan manusia itu, apabila ia
bersungguh-sungguh dengan sifat kebebasan kehendaknya, dan bahwa perbuatannya itu
bersandar kepada kehendaknya sendiri, maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan
kepada kehendak dan qadha' Allah SWT. Sebaliknya, apabila perbuatan manusia itu disandarkan
kepada qadha' Ilahi, bagaimana mungkin hal itu tunduk kepada kehendak bebas manusia itu
sendiri.
Untuk menjawab persoalan semacam ini dan mengkompromikan perbuatan manusia dan
kehendak bebasnya, serta penyandaran dan penisbahannya kepada qadha' Ilahi, kita mesti
membahas berbagai macam penyandaran satu akibat kepada sebab yang beraneka ragam.
Sehingga akan menjadi jelaslah jenis penyandaran suatu perbuatan sengaja manusia kepada
dirinya dan kepada Allah SWT.
4. Macam Pengaruh Sebab yang Berbeda-beda
Dapat kita gambarkan adanya pengaruh berbagai sebab yang berbeda-beda terhadap
kejadian suatu makhluk melalui beberapa keadaan:
Pertama, beberapa sebab secara serempak dan bersama-sama memberikan pengaruh atas
sesuatu. Misalnya, berkumpulnya biji dan air, panas dan lainnya yang menyebabkan terbelahnya
biji tersebut dan keluarnya tumbuhan.
Kedua, beberapa sebab saling bergantian pengaruhnya. Setiap sebab ini memberikan
pengaruh ke atas sesuatu sedemikian rupa sehingga panjang usianya terbagi sesuai jumlah sebabsebab itu, dan setiap bagiannya merupakan akibat dari sebab-sebab yang pada gilirannya
9. memberi pengaruh juga. Misalnya, beberapa mesin yang hidup secara bergiliran dan menjadi
sebab bergeraknya sebuah pesawat.
Ketiga, masing-masing sebab mempengaruhi sebab yang lain secara beruntun seperti
benturan bola-bola, dimana setiap bola itu membentur yang lainnya sehingga sebuah bola
menjadi sebab pada gerak yang lain, dan bola itulah yang menimbulkan gerakan berantai, satu
sama lainnya saling mempengaruhi dan menggerakkan yang lain, secara beruntun. Atau
misalnya, kalau kita lihat perhatikan pengaruh kehendak manusia dalam menggerakkan
tangannya dan pengaruh tangan dalam menggerakkan sebuah pena dan pengaruh pena dalam
kejadian tindakan menulis.
Keempat, pengaruh yang muncul dari beberapa sebab vertikal, dimana wujud setiap sebab
itu bergantung kepada wujud sebab lainnya. Ini berbeda dengan keadaan tiga di atas tadi, dimana
wujud pena tidak mempunyai hubungan dengan wujud tangan dan wujud tangan juga tidak
berhubungan dengan kehendak manusia.
Pada seluruh keadaan ini, bisa terjadi berkumpulnya (pengaruh) beberapa sebab pada satu
akibat. Tidak sekedar bisa (baca: mungkin) terjadi perkumpulan ini, akan tetapi mesti terjadi.
Dan pengaruh kehendak Allah dan kehendak manusia dalam perbuatan yang bersifat sengaja dan
berkehendak bebas itu termasuk ke dalam keadaan terakhir, yaitu keadaan keempat. Karena
sesungguhnya wujud manusia dengan kehendaknya itu berhubungan erat dengan kehendak Allah
SWT.
5. Hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar
Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa
Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya. Berkaitan dengan qadha
dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut yang artinya:
”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk
nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah
mengutus malaekat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu
tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupny) sengsara atau
bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah sejak
sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa
10. manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap
berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.
Janganlah sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas berusaha dan berbuat
kejahatan.
Mengenai hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama berpendapat,
bahwa takdir itu ada dua macam :
Takdir mua’llaq
Yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh seorang siswa bercita-cita
ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun.
Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. Dalam hal
ini Allah berfirman:
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka
dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. ( Q.S Ar-Ra’d
ayat 11)
Takdir mubram
Yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di
tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau
dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.
6. Hikmah Beriman kepada Qada dan qadar
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita
dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah
tersebut antara lain:
Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia
akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri.
Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian,
Allah Berfirman dalam Al-Qur’an:
11. Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila
ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”( QS. AnNahl ayat 53).
Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia
menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa
dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa ,
karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an :
Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87).
Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada
sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim).
Memupuk sifat optimis dan giat bekerja
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu
menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi
harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa
optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)
Menenangkan jiwa
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami ketenangan jiwa dalam
hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika
beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha
lagi.
12. C. Penutup
1. Kesimpulan
Menurut bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan pemerintah,
kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha
adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang
berkenan dengan makhluk.
Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun
menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam
kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya.
Taqdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai
dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita
beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir
yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima
dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang
terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
2. Saran
Dalam penulisan makalah ini, pemakalah mempunyai beberapa antara lain yaitu:
Sebagai umat muslim kita wajib untuk mengimani qadha dan qadhar Allah SWT.
Adakalanya ketentuan Allah SWT yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan,
namun sebagai hamba Allah SWT kita diwajibkan untuk berikhtiar atau berusaha untuk merubah
sesuai dengan apa yang inginkan. Kendatipun demikian, selain berikhtiar kita harus berdoa dan
bertawakal kepada Allah SWT terhadap ketentuan-Nya yang diberikan kepada kita.
D. Daftar Pustaka
Al-Quranul kariem
Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996
Nata, Abuddin.” Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf” Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 1995
Rozak, Abdul, dkk . Ilmu kalam. Bandung:CV. Pustaka setia,2006.
Drs. Abuddin Nata, M.A. “Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf”. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1995.
Drs. H. M Yusran Asmuni. “Ilmu Tauhid”, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996.