1. BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam bahasa Indonesia
telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan
padanan kata “pertanggungan”. Echols dan Shadilly memaknai kata insurance dengan (a)
asuransi, dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie
(asuransi) dan verzekering (pertanggungan).
Mengenai definisi asuransi secara baku dapat dilacak dari peraturan (perundangundangan) dan beberapa buku yang berkaitan dengan asuransi. Muhammad Muslehuddin
dalam bukunya Insurance and Islamic Law mengadopsi pengertian asuransi dari
Encyclopaedia Britanica sebagai suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang,
yang dapat tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan,
sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka beban
kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok.
Lebih jauh Muslehuddin menjelaskan pengertian asuransi dalam sudut pandang yang
berbeda, serta mengalami kesimpangsiuran. Ada yang mendefinisikan asuransi sebagai
perangkat untuk menghadapi kerugian, dan ada yang mengatakannya sebagai persiapan
menghadapi risiko. Dilihat dari signifikansi kerugian, Adam Smith berpendapat bahwa
dengan menyebarkan beban kerugian kepada orang banyak, asuransi membuat kerugian
menjadi ringan dan mudah bagi seluruh masyarakat.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi adalah “transaksi
perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang
lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi
sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.”
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa
yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian (timbal balik), dengan
mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima
suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan,
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu
peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”
Sedangkan pengertian asuransi syariah atau yang lebih dikenal dengan ta’min,
takaful, atau tadhamun adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara
sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ untuk
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai
dengan syariah.
Dari definisi asuransi syariah di atas jelas bahwa pertama, asuransi syariah berbeda
dengan asuransi konvensional. Pada asuransi syariah, setiap peserta sejak awal bermaksud
saling menolong dan melindungi satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai
iuran kebajikan yang disebut tabarru’. Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan resiko
(risk tranfer) di mana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian
resiko (risk sharing) di mana para peserta saling menanggung. Kedua, akad yang digunakan
dalam asuransi syariah harus selaras dengan hukum islam (syariah), artinya akad yang
dilakukan harus terhindar dari riba, gharar (ketidak jelasan dana), dan maysir (gambling), di
samping itu investasi dana harus pada obyek yang halal dan baik.
2. Asuransi syariah merupakan usaha saling melindungi dan tolong menolong diamtara
sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan syariah. Di Indonesia lembaga syariah sekarang berkembang dengan
sangat pesat baik asuransi ataupun perbankan dan usaha lainnya yang berdasarkan prinsipprinsip syariah. Sebagai seorang mahasiswa kita harus bisa mengetahui lebih jauh tentang
asuransi syariah, baik perkembangan, pengertian, manfaat, risikonya dan lain-lain.
B.
Tujuan
Pembahasan ini bertujuan dalam memahami lebih detail dan mendalam tentang
landasan teori asuransi syariah, asal mula asuransi syariah, tafakul dan akad, serta Maisir,
gharar, dan riba.
C.
Rumusan Masalah
1. Landasan teori asuransi syariah
2. Asal mula asuransi syariah
3. Takaful dan akad
4. Maisir, gharar, dan riba
3. BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori Asuransi Syariah
Yaitu merujuk kepada beberapa peristiwa yang dilakukan oleh Bangsa Arab di zaman
sebelum Islam. Masyarakat Arab Kuno mengenal prinsip asuransi sejak dahulu kala. Ketika
kehidupan masih didominasi oleh berbagai suku-suku, saling serang dan penculikan masih
sering terjadi. Wanita dan anak-anak merupakan sasaran penculikan yang paling sering. Dari
hasil penculikan anak-anak dan wanita tersebut nantinya penculik dapat meminta uang
tebusan kepada pihak yang kehilangan. Apabila ternyata di tengah jalan tawanan tersebut
terbunuh maka akan berlaku uang darah (uang ganti rugi) yang akan dibayarkan oleh pihak
yang membunuh kepada pihak yang terbunuh. Dari sinilah asal muasal asuransi mutual mulai
terbentuk. Meskipun bentuk asuransi mutual ini merupakan bentuk asuransi paling primitif
namun jika dibandingkan dengan asuransi modern akan terdapat beberapa perbedaan pokok.
1. Aqilah (Saudara terdekat dari pembunuh)
Yaitu saling memikul atau bertanggungjawab untuk keluarganya. Jika salah satu dari
anggota suku terbunuh oleh anggota suku yang lain, maka pewaris korban akan
dibayar dengan uang darah (diyat) sebagai konpensasi oleh saudara terdekat dari
pembunuh. Lalu mereka mengumpulkan dana yang diperuntukkan membantu
keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak sengaja. Ibnu Hajar Al-Asqolani
mengemukakan bahwa sistem Aqilah ini diterima dan menjadi bagian dari hukum
Islam.
Example :
Hadis yang menceritakan pertengkaran antara dua wanita dari suku Huzail, dimana
salah seorang dari mereka memukul yang lainnya dengan batu hingga mengakibatkan
kematian wanita itu dan bayi yang dikandungnya. Pewaris korban membawa
permasalahan tersebut ke pengadilan. Rasulullah memberikan keputusan bahwa
konpensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan budak, baik laki-laki
maupun wanita. Sedangkan konpensasi atas membunuh wanita adalah uang darah
(diyat) yang harus dibayar oleh Aqilah (saudara pihak ayah) dari yang tertuduh.
2. Muwalat (perjanjian jaminan)
Yaitu dimana seorang penjamin menjamin seseorang yang tidak memiliki waris dan
tidak diketahui ahli warisnya. Penjamin setuju untuk menanggung bayaran dia, jika
orang yang dijamin tersebut melakukan jinayah.
4. Apabila orang yang dijamin meninggal, maka penjamin boleh mewarisi hartanya
sepanjang tidak ada ahli warisnya (Az Zarqa’ dalam Aqad Al-Ta’min). Yaitu sebuah
konsep perjanjian yang berhubungan dengan manusia. Sistem ini melibatkan usaha
pengumpulan dana dalam sebuah tabungan atau iuran dari peserta atau majelis.
Manfaatnya akan dibayarkan kepada ahli waris yang dibunuh jika kasus pembunuhan
itu tidak diketahui siapa pembunuhnya atau tidak ada keterangan saksi yang layak
untuk benar-benar secara pasti mengetahui siapa pembunuhnya.
3. Tanahud
Yaitu dua orang atau lebih berserikat membiayai suatu makanan dengan saham yang
sama. Kemudian makanan itu dibagikan pada saatnya kepada mereka, kendati mereka
mendapatkan porsi yang berbeda-beda.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Marga Asy’ari ketika keluarganya mengalami
kekurangan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam
suatu perkumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata. Mereka adalah
bagian dari kami dan kami adalah bagian dari mereka.” (HR. Bukhari).
Dalam kasus ini, makanan yang diserahkan bisa jadi sama kadarnya atau berbedabeda. Begitu halnya dengan makanan yang diterima, bisa jadi sama porsinya atau
berbeda-beda.
4. Aqad Hirasah
Yaitu kontrak pengawal keselamatan. Di dunia Islam terjadi berbagai kontrak antar
individu, misalnya ada individu yang ingin selamat lalu ia membuat kontrak dengan
seseorang untuk menjaga keselamatannya, dimana ia membayar sejumlah uang
kepada pengawal, dengan konpensasi keamanannya akan dijaga oleh pengawal.
5. Dhaman Khatr Thariq
Kontrak ini merupakan jaminan keselamatan lalu lintas. Para pedagang muslim pada
masa lampau ingin mendapatkan perlindungan keselamatan, lalu ia membuat kontrak
dengan orang-orang yang kuat dan berani di daerah yang rawan bencana. Mereka
membayar sejumlah uang, dan pihak lain menjaga keselamatan perjalanannya.
Dari peristiwa yang terjadi diatas, sebagian ulama menganggap peristiwa diatas sebagai
embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara profesional. Bedanya,
sistem muamalah tersebut didasari atas amal yang tidak berorientasi pada keuntungan.
Bentuk-bentuk akad diatas memang memiliki kemiripan dengan asuransi, meskipun beberapa
diantaranya masih dipertanyakan. Muwalat contohnya, merupakan sistem pewarisan dalam
5. pola kehidupan jahiliyah, yang pada zaman permulaan Islam memang diakui. Namun,
kemudian Islam menetapkan sistem warisnya sendiri sehingga akad itu tak punya wujud lagi.
Lalu pada Aqilah, yang justru pembayar premi tidak mendapatkan manfaat dari preminya
tersebut, karena diperuntukkan bagi orang lain. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan
bentuk antar asuransi dengan Aqilah.
Hal serupa terjadi pada akad Dhaman Khatr Thariq, dimana penjamin memberikan
jaminannya secara sukarela, dan tidak berdasarkan premi yang dibayarkan oleh terjamin.
6. B. Asal mula asuransi syariah
Konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak jaman sebelum masehi dimana
manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antara lain
kekurangan bahan makanan. Salah satu cerita mengenai kekurangan bahan makanan terjadi
pada jaman Mesir Kuno semasa Raja Firaun berkuasa. Suatu hari sang raja bermimpi yang
diartikan oleh Nabi Yusuf bahwa selama 7 tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang
berlimpah dan kemudian diikuti oleh masa paceklik selama 7 tahun berikutnya. Untuk
berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan tersebut Raja Firaun mengikuti saran Nabi Yusuf
dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada 7 tahun pertama sebagai cadangan bahan
makanan pada masa paceklik. Dengan demikian pada masa 7 tahun paceklik rakyat Mesir
terhindar dari risiko bencana kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri.
Pada tahun 2000 sebelum masehi para saudagar dan aktor di Italia membentuk
Collegia Tennirium, yaitu semacam lembaga asuransi yang bertujuan membantu para janda
dan anak-anak yatim dari para anggota yang meninggal. Perkumpulan serupa yaitu Collegia
Nititum, kemudian berdiri dengan beranggotakan para budak belian yang diperbanatukan
pada ketentaraan kerajaan Roma (Rahman, Afzalur). Konsep asuransi sangat berkaitan erat
dengan kehidupan masyarakat primitif yang berkelompok. Dalam masyarakat primitif, orang
hidup bersama dalam keluarga besar atau suku dimana kebutuhan-kebutuhannya dipenuhi
dan dilindungi melalui kerjasama dan saling membantu.
Oleh karena itu mereka merasa tidak memerlukan suatu asuransi karena semua resiko
sepenuhnya dilindungi oleh masyarakat. Pada waktu keluarga atau suku berubah menjadi
kehidupan yang berpindah-pindah secara teori keluarga tersebut mulai menghadapi berbagai
macam bahaya tanpa adanya perlindungan dari keluarga maupun sukunya. Saat itulah mulai
dirasakan perlunya perlindungan terhadap ancaman tersebut sebagai unsur awal munculnya
asuransi.
Kondisi Asuransi Syariah di Indonesia
Kondisi Asuransi Syariah di Indonesia
Data Departemen Keuangan menunjukkan market share asuransi syariah pada tahun 2001
baru mencapai 0.3% dari total premi asuransi nasional. Dibidang aturan hukum saat ini
sedang digodog aturan khusus mengenai asuransi syariah yang diharapkan dapat memberi
dampak yang signifikan sebagaimana dampak dari UU Perbankan tahun 1998.
Hambatan Pengembangan Asuransi Syariah
Instrumen tidak dikenal masyarakat luas
Anggapan masyarakat Indonesia pengurusn klaim asuransi menyulitkan
Instrumen Asuransi kalah bersaing dengan isntrumen investasi seperti surat berharga
Asuransi syariah belum tersosialisasikanluas seperti perbankan syariah
Peluang pengembangan Asuransi Syariah
Alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai
dengan hukum Islam
Perkembangan Perbankan Islam menuntut peranan asuransi syariah untuk pengamanan aset
dan transaksi perbankan
Peluang pengembangan Asuransi Syariah.
Beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan Asuransi Syariah adalah
ditetapkannnya kewajiban agar asuransi haji dikelola oleh perusahaan asuransi syariah.
7. Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah berpegang
pada pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) yaitu fatwa DSN-MUI N0.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah disamping fatwa DSN-MUI yang paling terkini yang terkait pada akad
perjanjian asuransi syariah yaitu fatwa No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah
Musytarakah pada asuransi syariah, fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah
bil Ujrah pada Asuransi Syariah, fatwa No. No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad
Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
Peraturan Perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah berkaitan dengan
asuransi syariah yaitu :
1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 426/KMK.06/2003 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Peraturan inilah yang dapat menjadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah
sebagaimana ketentuan dalam pasal 3 yang menyebutkan bahwa “Setiap pihak dapat
melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah”.
Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam pasal 3-4
mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, pasal 32 mengenai pembukaan kantor
cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
konvensional, pada pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip
syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 424/KMK.06/2003 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan
yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam pasal 15-18 mengenai
kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi
dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep.4499/KK/2000 tentang
jenis, penilaian, dan pembatasan investasi perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dengan sistem syariah.
8. C. Takaful dan akad
Tafakul
Takaful adalah suatu perkataan yang berasal dari bahasa Arab Al-kafala (jaminan) yaitu
bermaksud saling menjamin. Dari segi tafsiran syara’ ialah kesepatakan suatu kumpulan
untuk saling menjamin dan saling membantu antara satu dengan yang lain ketika para peserta
kumpulan tersebut ditimpa suatu musibah.
Tujuan dari Takaful dalam asuransi adalah menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar
yang saling menanggung resiko satu dengan yang lain.
Firman Allah, “....Dan janganlah kalian memakan harta diantara kamu sekalian dengan jalan
yang bathil dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim dengan maksud kalian
hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu. (AlBaqarah:188)
Akad
Asuransi syariah: jual beli (aqd tadabuli). Harus ada penjual, pembeli, terdapatnya harga, dan
barang yang diperjualbelikan.
Asuransi biasa: hanya ada penjual, pembeli, barang atau apa yang akan diperoleh, namun
tidak jelas berapa besar premi atau harga yang harus dibayar kepada perusahaan asuransi.
Secara istilah akad adalah menghubungkan suatu kehendak suatu pihak dengan pihak yang
lain dalam suatu bentuk yang menyebabkan adanya kewajiban untuk melakukan suatu hal.
Disamping itu, akad juga memiliki makna luas yaitu memantapkan hati seseorang untuk
harus melakukan sesuatu baik untuk dirinya sendiri ataupun orang lain.
Rukun akad ada 3:
1. Dua pihak yang mengadakan transaksi
2. Objek transaksi
3. Shighah/pernyataan resmi adanya transaksi
9. D. Maisir, Gharar, dan Riba
1. Gharar
Terlihat dari bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis. Dalam asuransi
jiwa konvensional, digunakan akan tabadduli (pertukaran). Secara syariah, dalam akad
pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini
menjadi rancu (gharar). Misalnya, si pemilik polis tahu berapa yang akan diterima (sejumlah
uang pertanggungan) jika meninggal dunia, tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan
(jumlah seluruh premi), karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal.
2. Maysir
Maysir (untung-untungan) pada akhirnya timbul sebagai efek dari ketidakpastian.
Dalam asuransi, terdapat 3 kemungkinan ending-nya:
a. Jika pemegang polis terkena musibah padahal baru sedikit membayar premi, maka
perusahaan harus menanggung selisih antara jumlah yang dibayar dengan uang
pertanggungan. Dalam hal ini, nasabah diuntungkan.
b. Jika sampai akhir perjanjian tidak terjadi sesuatu sedangkan nasabah telah membayar
lunas, maka perusahan yang diuntungkan.
c. Jika nasabah berhenti sebelum batas maktu tertentu (istilahnya reversing period),
nasabah akan menerima pengembalian dalam jumlah yang sangat kecil, bahkan pada
sebagian perusahaan dianggap hangus.
3. Riba
Riba muncul dari investasi yang dijalankan perusahaan asuransi. Pada dasarnya,
perusahaan asuransi mirip dengan perbankan, yakni sama-sama menghipun dana masyarakat.
Dana ini nantinya akan diinvestasikan, sehingga akan didapat keuntungan. Namun,
masalahnya instrumen investasi yang dipraktikkan asuransi konvensional tidak
memperhatikan kehalalan dan keharaman jenis investasi yang dilakukan. Sehingga
dikhawatirkan terjerumus pada investasi yang berbasis bunga (riba), padahal dalam Islam hal
tersebut dilarang.
Perbedaan riba dengan bunga :
Bunga= Keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan atau bank karena jasanya meminjamkan
dana baik kepada perusahaan atau perorangan.
Riba= Tambahan atas piutang seseorang yang harus dibayarkan lebih dari apa yang dia
pinjam karena adanya jangka waktu.
Pendapat ahli tentang riba dan bunga :
1. Golongan Muharrimun (Abu Zahro’, Yusud Qordowi, Zaid Tsabit) mengharamkan
bunga bank karena sama dengan riba.
10. 2. Al Ghazali, menghalalkan bunga bank karena bunga bank merupakan keuntungan
yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak, sedangkan riba hanya
menguntungkan satu pihak saja dan merugikan pihak yang lainnya.
11. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Asuransi syariah merupakan usaha syariah yang memiliki prinsip saling tolong
menolong antara pihak yang berkerjasama. Asuransi syariah tersebut banyak memiliki
manfaat, yaitu memberikan rasa aman, lebih adil, dapat dijadikan sebagai tabungan dan
memiliki banyak fungsi.
12. DAFTAR PUSTAKA
www.agustiantocentre.com/
Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya. 1998. Jakarta : Departemen Agama RI
Ali, Hasan. 2008. Konsep dan Operasional Asuransi Syariah. Majalah Muhammadiyah.
Jakarta
Jatmika, Agung. 2007. Asuransi Syariah. Materi Seminar Insurance Goes To Campus di FE
UNAIR. Surabaya
Nugraha, Jakub. 2007. Pengenalan Asuransi. Materi Seminar Insurance Goes To Campus di
FE UNAIR. Surabaya
Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). 2008. Lembaga Bisnis Syariah. Jakarta : PKES
Sula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah (Life and General). Jakarta : Gema Insani
Press
Al-‘Assal, Ahmad Muhammad dan Fathi Ahmad Abdul Karim, 1999, Sistem, Prinsip dan
Tujuan Ekonomi Islam, edisi terjemahan, Pustaka Setia, Bandung.
Achsien, Iggi H, 2003, Investasi Syariah di Pasar Modal, Menggagas Konsep dan Praktek
Manajemen Portofolio Syariah, Gramedia, Jakarta.
Astiwara, Endy M, 2001, Perbedaan Secara Syariah Asuransi Takaful Dengan Asuransi
Konvensional, Muamalatuna Vol. I/Edisi I/Th. I/25 Mei 2001
Mannan, M.A, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, edisi revisi, PT Intermasa, Jakarta.
Muslehuddin, Muhammad, 1999, Menggugat Asuransi Modern, Lentera, Jakarta.
Rahman, Afzalur, 2003, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4, edisi lisensi, Dana Bhakti Waqaf,
Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
www.detik.com
www.sinarharapan.co.id