Krisis keuangan global 2008 dipengaruhi oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat yang menyebabkan banyak perusahaan pembiayaan perumahan bangkrut. Krisis ini menyebar ke seluruh dunia karena sistem keuangan global yang saling terintegrasi. Indonesia terkena dampak krisis ini meski tidak parah, terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang masih positif meski melambat.
Pengantar Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi.ppt
Dampak Krisis Keuangan Global 2008 terhadap Sektor Keuangan di Indonesia
1. DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL 2008 TERHADAP SEKTOR
KEUANGAN DI INDONESIA
Dosen Pengampu: Dr. Ari Saptono, S.E, M.Pd
Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi Makro
Disusun untuk Memenuhi Ulangan Tengah Semester 2
Nama: Thufailah Mujahidah
NIM: 1709619016
Kelas: PAP-A 2019
Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran
Fakultas Ekonomi
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2020
2. ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan rasa terima kasih ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas semua yang telah diberikan untuk kita. Kemudahan demi kemudahan yang
didapatkan tidak terlepas dari karunia Sang Pencipta. Tanpa-Nya, kita bukanlah
apa-apa. Segala hambatan dan kesulitan dapat dilalui berkat pertolongan-Nya.
Sehingga kini, penulis dapat membuat makalah yang berjudul “Dampak Krisis
Global 2008 terhadap Sektor Keuangan di Indonesia.” Selain itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada dosen untuk mata kuliah Pengantar Ilmu
Ekonomi Makro, yaitu Bapak Dr. Ari Saptono, S.E, M.Pd.
Dalam pembuatan makalah ini, tidak menutup adanya kekurangan yang
terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, penulis memohon saran dari para pembaca
agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi. Selain itu, kritik yang disampaikan
juga dapat membangun penulis untuk memberikan yang terbaik ke depannya.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat membawa manfaat untuk orang
banyak. Terima kasih.
Jakarta, 15 April 2020
Penulis
3. iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul Makalah ....................................................................................i
Kata Pengantar..................................................................................................ii
Daftar Isi ...........................................................................................................iii
Daftar Gambar .................................................................................................iv
Daftar Tabel....................................................................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................... 3
1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................... 3
1.4. Manfaat Penulisan ........................................................................ 4
1.5. Metode Studi Pustaka ................................................................... 4
BAB II. KAJIAN PUSTAKA.................................................................... 5
2.1. Penyebab Krisis Keuangan Global 2008........................................ 5
2.2. Dampak Krisis Keuangan Global 2008.......................................... 7
2.3. Upaya Mengatasi Dampak Krisis Keuangan Global 2008............ 11
BAB III. PEMBAHASAN........................................................................ 15
3.1. Pengaruh Krisis Keuangan Global 2008 terhadap Ketahanan
Perbankan di Indonesia ............................................................... 15
3.2. Pengaruh Krisis Keuangan Global 2008 terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG)............................................................ 19
3.3. Pengaruh Krisis Keuangan Global 2008 terhadap Kinerja Lembaga
Keuangan Non Bank (LKNB) ..................................................... 22
3.4. Kebijakan untuk Memperkuat Sektor Keuangan Indonesia.......... 24
BAB IV. KESIMPULAN ......................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 28
4. iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Indeks Saham Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat............................. 8
Gambar 2. Indeks Saham Amerika Serikat, Emerging Market, dan dunia............. 9
Gambar 3. Perkiraan Pertumbuhan Volume Perdagangan Dunia Tahun 2009..... 11
5. v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kondisi Perbankan Indonesia: Krisis Asia (1997) dan Krisis Global
(2008)................................................................................................................ 15
Tabel 2. Indikator Kinerja Bank Umum ............................................................. 16
Tabel 3. Indikator Kinerja Bank Syariah ............................................................ 17
Tabel 4. Perkembangan IHSG dan Net Beli Asing ............................................. 20
Tabel 5. Perkembangan IHSG dan Bursa Regional............................................. 20
6. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada awal 2008, Amerika Serikat mengalami krisis keuangan. Berbeda
dengan krisis ekonomi 1929-1930-an, resesi pada 2008 di Amerika Serikat
berdampak lebih luas sampai ke negara lain, terutama negara maju (Wulandari,
Purnama, 2010). Hal ini tidak lepas dari pengaruh besar Amerika Serikat dalam
tatanan internasional, di mana Amerika Serikat dijadikan sebagai model negara
kapitalis. Akibat pengaruh yang besar tersebut, ketika ekonomi Amerika Serikat
dilanda krisis banyak negara pengikut Amerika Serikat yang terkena dampaknya.
Bahkan krisis ini dianggap sebagai krisis terparah dalam sejarah ekonomi Amerika
Serikat. Krisis global di tahun 2008-2009 disebut banyak ekonom sebagai krisis
finansial terburuk di sepanjang 80 tahun terakhir (Indonesia.go.id, indonesia.go.id,
2019). Krisis ini disebut juga sebagai “the mother of all crises.”
Krisis finansial di Amerika Serikat berawal dari peristiwa Subprime
Mortgage dimana bank cenderung memberi pinjaman perumahan sebesar-
besarnya, terutama kepada peminjam “sub-prime”, yaitu peminjam yang kurang
atau tidak layak (banyak yang tidak mempunyai agunan dan bahkan tidak
mempunyai pekerjaan atau penghasilan tetap) (Wulandari, Purnama, 2010).
Sehingga banyak terjadi kredit macet karena banyak yang gagal membayar dan
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat berjalan lambat. Krisis
finansial di Amerika Serikat ini telah berdampak pada krisis perekonomian dunia,
sehingga hal ini mendapat perhatian yang luas dan serius dari para pemimpin dunia.
Sistem perekonomian internasional yang dipengaruhi oleh konsep
perdagangan bebas, telah menghubungkan banyak negara, baik maju maupun
berkembang dalam satu skema besar (Tumbelaka, Daniela S, 2014). Keterkaitan
antar perekonomian negara-negara semakin erat seiring dengan meningkatnya
pergerakan arus barang, jasa, dan modal. Keterkaitan tersebut, yang sebelumnya
diharapkan dapat mengembangkan perekonomian negara-negara secara
7. 2
keseluruhan, juga berpotensi untuk menjadi katalisator bagi penyebaran krisis
dalam sistem ekonomi global.
Krisis finansial global yang menyebabkan menurunnya kinerja
perekonomian dunia secara drastis pada tahun 2008 diperkirakan masih akan terus
berlanjut, bahkan akan meningkat intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan
pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global
pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri
besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan
terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia (Putri, Rizqi Apriani, 2017). Bagi
negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak
fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Krisis finansial adalah situasi dimana asset keuangan kehilangan sebagian
nilainya. 15 September 2008 menjadi catatan kelam sejarah perekonomian Amerika
Serikat, kebangkrutan Leman Brothers yang merupakan salah satu perusahaan
investasi atau bank keuangan senior dan terbesar ke-4 di Amerika Serikat menjadi
awal dari drama krisis keuangan di negara yang mengagungkan sistem kapitalis
tanpa batas (Putri, Rizqi Apriani, 2017). Kuatnya krisis global ini membuat negara-
negara kawasan Asia, yang semula dianggap relatif steril dari krisis, akhirnya sulit
bertahan dan terkena imbasnya. Tidak terkecuali Indonesia yang terkena imbasnya.
Indonesia merupakan negara penganut sistem perekonomian terbuka, sehingga jika
terjadi fluktuasi pada perekonomian dunia nantinya juga akan berpengaruh terhadap
perekonomian Indonesia (Harahap, Siti Romida, 2013). Setelah ditimpa krisis tahun
1997/1998, pada tahun 2008 Indonesia juga terkena dampak dari krisis keuangan
global.
Data makro menunjukkan bahwa dampak krisis keuangan global terhadap
Indonesia tidaklah terlalu parah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama triwulan
keempat 2008 mengalami penurunan ke tingkat 5,2% (year on year) dibandingkan
pertumbuhan 6,4% pada triwulan ketiga 2008. Indonesia juga masih mencatat
pertumbuhan positif sebesar 4,4% pada triwulan pertama dan 4% pada triwulan
kedua 2009 (Lembaga Penelitian Smeru Research Institute, 2009). Dinamika
perekonomian Indonesia 2008 dibayangi oleh tekanan yang cukup berat terimbas
8. 3
oleh ketidakpastian pasar finansial global yang meningkat, proses perlambatan
ekonomi dunia yang signifikan, dan perubahan harga komoditas global yang sangat
drastis (Bank Indonesia, 2009). Meskipun secara keseluruhan tahun mampu tumbuh
hampir menyamai tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi pada 2008 cenderung
melambat dengan tekanan stabilitas ekonomi makro yang semakin tinggi terutama
di paruh kedua 2008. Maka dari itu, dalam makalah ini, penulis akan membahas
tentang dampak dari krisis keuangan global 2008 terhadap sektor keuangan di
Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
a. Bagaimana pengaruh krisis keuangan global 2008 terhadap ketahanan
perbankan di Indonesia?
b. Bagaimana pengaruh krisis keuangan global 2008 terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG)?
c. Bagaimana pengaruh krisis keuangan global 2008 terhadap Lembaga
Keuangan Non Bank (LKNB) di Indonesia?
d. Bagaimana kebijakan untuk memperkuat sektor keuangan Indonesia?
1.3. Tujaun Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini, yaitu:
a. Mengetahui pengaruh krisis keuangan global 2008 terhadap ketahanan
perbankan di Indonesia
b. Mengetahui pengaruh krisis keuangan global 2008 terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG)
c. Mengetahui pengaruh krisis keuangan global 2008 terhadap Lembaga
Keuangan Non Bank (LKNB) di Indonesia
d. Mengetahui kebijakan untuk memperkuat sektor keuangan Indonesia
9. 4
1.4. Manfaat Penulisan
Melalui makalah ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh krisis keuangan global
2008 terhadap ketahanan perbankan di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG), dan juga Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB). Selain itu, kebijakan
untuk memperkuat sektor keuangan Indonesia juga dibahas sebagai wujud
mempertahankan kondisi sektor keuangan pada saat krisis keuangan global 2008.
1.5. Metode Studi Pustaka
Metode studi pustaka yang penulis lakukan adalah dengan membaca referensi dari
jurnal ilmiah, laporan, buku, dan artikel terkait guna memperkuat studi pustaka dari
makalah ini.
10. 5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Penyebab Krisis Keuangan Global 2008
Ekonomi Amerika Serikat adalah ekonomi terbesar di dunia dengan nilai
PDB sebesar USD 15,5 Triliun pada akhir tahun 2011 (seperempat dari PDB dunia).
Sebelum krisis di tahun 2008, pertumbuhan ekonomi yang stabil menyebabkan
tingkat pengangguran dan inflasi di Amerika Serikat rendah (Nezky, Mita, 2013).
Pada awal tahun 2007, tingkat pengangguran di Amerika Serikat sebesar 4,4%
dengan tingkat inflasi 2,1%, sedangkan saat krisis tahun 2008, tingkat
pengangguran di Amerika Serikat meningkat menjadi 6,8% dengan tingkat inflasi
5,6%.
Pada pertengahan tahun 2007, Amerika Serikat dilanda krisis subprime
mortgage dan memuncak pada September 2008, yang ditandai dengan
pengumuman kebangkrutan beberapa lembaga keuangan. Awal mula masalah
tersebut terjadi pada periode 2000-2001, saat saham-saham perusahaan dotcom di
Amerika Serikat kolaps, sehingga perusahaan-perusahaan yang menerbitkan saham
tersebut tidak mampu membayar pinjaman ke bank (Nezky, Mita, 2013). Sebagai
upaya untuk mengatasi hal tersebut, The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat)
menurunkan suku bunga. Suku bunga yang rendah tersebut dimanfaatkan oleh para
perusahaan developer dan perusahaan pembiayaan perumahan. Rumah-rumah yang
dibangun oleh developer dan dibiayai oleh perusahaan pembiayaan perumahan
adalah rumah-rumah murah dan dijual kepada kalangan berpenghasilan rendah
yang tidak memiliki jaminan keuangan yang memadai. Dengan runtuhnya nilai
saham perusahaan-perusahaan tersebut, bank menghadapi gagal bayar dari para
debiturnya (developer dan perusahaan pembiayaan perumahan).
Kredit macet di sektor properti tersebut mengakibatkan efek domino yang
mengarah pada bangkrutnya beberapa lembaga keuangan di Amerika Serikat. Hal
ini dikarenakan lembaga pembiayaan sektor properti umumnya meminjam dana
jangka pendek dari pihak lain yang umumnya adalah lembaga keuangan. Jaminan
11. 6
yang diberikan perusahaan pembiayaan kredit properti adalah surat utang (subprime
mortgage securities) yang dijual kepada lembaga-lembaga investasi dan investor di
berbagai negara (Kementerian PPN/Bappenas, 2009). Padahal, surat utang tersebut
tidak ditopang dengan jaminan debitur yang memiliki kemampuan membayar
kredit perumahan yang baik. Dengan adanya tunggakan kredit properti, perusahaan
pembiayaan tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada lembaga-lembaga
keuangan, baik bank investasi maupun aset management. Hal tersebut
mempengaruhi likuiditas pasar modal maupun sistem perbankan. Kondisi tersebut
mengarah kepada terjadinya pengeringan likuiditas lembaga-lembaga keuangan
akibat tidak memiliki dana aktiva untuk membayar kewajiban yang ada.
Ketidakmampuan membayar kewajiban tersebut membuat lembaga keuangan yang
memberikan pinjaman terancam kebangkrutan.
Menurut George Soros, krisis finansial saat ini adalah yang terburuk
semenjak depresi besar tahan 1929 dan krisis ini menuju pada titik nadir (paling
rendah). Akar krisis keuangan ini sudah tertanam semenjak dekade 1980-an, yang
saat itu presiden Ronald Reagen dan Perdana Menteri Margaret Thatcher
mendamba laissez faire, mazhab yang menjunjung pasar liberal yang akan
mengoreksi sendiri atas kesalahan (Sihono, Teguh, 2008). Ben S. Bernanke
(Gubernur Bank Sentral/ The Federal Reserve) Amerika Serikat pada akhir tahun
2007 menyampaikan warning bahwa perekonomiaan Amerika serikat akan
melamban sebelum akhir tahun 2008, karena krisis kredit perumahan yang
mempersulit sektor finansial. Menurut IMF (International Monetary Fund),
turbulensi saat ini mencerminkan kerapuhan neraca keuangan dan lemahnya
modal.
Di sisi lain, negara-negara G20 sepakat bahwa krisis keuangan global 2008
disebabkan oleh beberapa faktor (Wulandari, Purnama, 2010). Penyebab dari krisis
ini antara lain: Pengelolaan risiko pasar keuangan yang kurang bertanggung jawab
akibat skema kompensasi lembaga keuangan yang mendorong investasi jangka
pendek dan pengambilan risiko yang berlebihan, kebijakan moneter yang
mendorong kondisi global imbalances, menurunnya standar penilaian credit rating
agencies akibat kurangnya transparansi dan adanya konflik kepentingan, serta
12. 7
ketidakmampuan otoritas keuangan negara maju dalam menerapkan safeguard
yang memadai atas inovasi dan perkembangan di sektor keuangan.
2.2. Dampak Krisis Keuangan Global 2008
Krisis keuangan global yang terjadi pada 2008 sangat terkait erat dengan
kondisi perekonomian Amerika yang memburuk (Kementerian PPN/Bappenas,
2009). Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat telah berkembang menjadi
masalah yang serius. Goncangan yang terjadi pada negara adikuasa tersebut
dipastikan telah memberikan dampak terhadap perekonomian dunia. Gejolak
perekonomian yang terjadi di Amerika Serikat telah mempengaruhi stabilitas
ekonomi global di beberapa kawasan. Keterbukaan ekonomi antar negara,
memungkinkan terjadinya resesi di suatu negara untuk mengarah dan
mempengaruhi negara lainnya.
Sejak awal Maret 2008, telah terjadi lonjakan angka kerugian yang dialami
bank-bank investasi dunia yang ditaksir mencapai US$160 miliar dan
diprediksikan masih terus berlanjut serta berpotensi akan menembus US$300
miliar, bahkan para analis moneter memperkirakan angka kerugian bisa mencapai
lebih dari US$1 triliun (Sihono, Teguh, 2008). Dalam laporan sidang International
Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and Development
(IBRD) yang dihadiri menteri keuangan dan Gubernur Bank Sentral 185 negara
pada 12 – 13 April 2008, serta pertemuan G7 pada April 2008 di Washington,
memastikan kerugian finansial akibat krisis subprime mortgage Amerika mencapai
hampir US$1 triliun.
Krisis Amerika Serikat tersebut menyebabkan merosotnya harga saham
global dalam beberapa bulan terakhir. Krisis di Amerika Serikat tersebut menjalar
ke Eropa, merontokkan harga saham global, dan melemahkan dollar Amerika
Serikat ke rekor tertinggi US$1,4967 terhadap Euro, pada waktu ditetapkan tahun
1999 US$1,16675. Bank-bank yang memiliki networking dalam ikatan investasi
perumahan dengan pelaku bisnis properti bereputasi buruk ikut terkena dampaknya,
sehingga membuat kinerja perbankan mengalami kegoncangan hebat dan
diperparah saat pasar saham global tidak kuasa menanggulangi dampak mortgage
(Sihono, Teguh, 2008). Hal ini memukul pasar saham pada level terpuruk, semakin
13. 8
sulit mendapat kepercayaan pelaku pasar modal, baik di pasar Amerika maupun di
kawasan ekonomi dunia. Para emiten terpukul dan tidak mampu beradaptasi pada
perubahan yang drastis, maka jatuhnya harga saham nyaris merontokan portofolio
beberapa korporat ternama di dunia. Krisis kredit di Amerika Serikat berakibat
kredit bertambah mahal dan sulit diperoleh, banyak bank enggan memberikan
pinjaman kepada nasabah. Para banker lebih suka mencari aman (safety) dengan
pola kredit ketat dan tindakan ini logis sebagai langkah preventif meminimalisasi
risiko dari pengaruh mortgage yang semakin meluas.
Indeks saham Dow Jones mencatat rekor tertinggi pada Oktober 2007 di
level 14.164 kemudian menurun tajam dengan level terendah sebesar 7.552 pada
November 2008 atau selama 13 bulan telah terjadi penurunan indeks sekitar 46%
(Bank Indonesia, 2009). Kejatuhan yang sama segera menyebar hingga mencapai
pasar saham di seluruh dunia. Di pertengahan tahun 2008, tiga bursa saham utama
dunia (Amerika Serikat, Kawasan Euro, Jepang) memasuki fase bearish.
Gambar 1. Indeks Saham Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat
Sumber: Bank Indonesia, 2009
14. 9
Sebagai perbandingan, pada 23 Oktober 1929 sampai dengan 13 November
1929, Dow Jones Industrial Average (DJIA) Indeks menurun tajam sebesar 39%
akibat spekulasi di pasar modal (Bank Indonesia, 2009). Penurunan Indeks Dow
Jones tersebut berlangsung cukup lama hingga tahun 1933. Sementara itu, jika
dibandingkan dengan krisis tahun 1998 di Asia, terjadinya gejolak pasar keuangan
mengakibatkan pelarian modal asing dari negara-negara berkembang yang
signifikan. Gejolak keuangan tersebut terutama sangat memukul pasar modal Asia.
Pada September 1998, indeks harga saham Asia merosot tajam, dari 348,38 pada
Juli 1997 merosot menjadi 104,06 pada September 1998 atau turun sekitar 70%.
Demikian pula dengan indeks saham negara emerging market, dari 561 pada Juli
1997 menjadi 240,31 pada Agustus 1998 atau merosot sekitar 52%. Namun,
penurunan indeks saham di negara emerging market pada tahun tersebut masih
relatif rendah dibandingkan dengan krisis yang terjadi saat 2008 yaitu sekitar 66%,
sementara penurunan indeks harga saham di Asia sedikit lebih besar dibandingkan
dengan krisis saat 2008, yaitu sekitar 67%.
Gambar 2. Indeks Saham Amerika Serikat, Emerging Market, dan
dunia
Sumber: Bank Indonesia, 2009
15. 10
Terakumulasinya dana besar di sektor perumahan telah melahirkan stagnasi
yang berakibat melambatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada tahun
2007 yang diperkirakan tumbuh 2,3%, padahal tahun 2006 tumbuh 3,3%. Keadaan
ini juga diikuti dengan memburuknya keadaan sosial dengan tingkat angka
pengangguran sebesar 4,9%, sementara pada tahun 2006 adalah 3% (Sihono,
Teguh, 2008). Inflasi pada tahun 2006 sebesar 2,1% dan tahun 2007 meningkat
menjadi 4,3%. Supreme mortgage ini juga mengacaukan bursa sejak pertengahan
tahun 2007 terjadi perubahan yang memanas, dan satu per satu perusahaan besar
berjatuhan seperti: Bear Stern, Morgan Stanley, Citigroup , bahkan General Motor
yang menjadi kebanggaan Amerika Serikat pun tersungkur. Subprime mortgage
penyebab krisis di pasar uang antar bank, menelan korban sampai di Eropa dan
Jepang. Bank-bank dan perusahaan sekuritas telah menghapus buku asset, kerugian
kredit per 1 April 2008 mencapai US$232 miliar. Banyak perusahaan menjadikan
subprime mortgage sebagai jaminan atau aset utama (underlying asset) untuk surat-
surat utang.
Krisis keuangan global yang terus berlangsung saat 2008 menyebabkan
macetnya sistem keuangan dunia sehingga menyebabkan merosotnya aktivitas
ekonomi dan perdagangan dunia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan
menurunnya pertumbuhan volume perdagangan dunia telah terjadi sejak
pertengahan tahun 2007 (Kementerian PPN/Bappenas, 2009). Volume
perdagangan dunia dalam tahun 2009 terus merosot ditunjukkan dengan proyeksi
IMF yang mengalami beberapa kali revisi volume perdagangan dunia pada tahun
2009 dari 6,9 persen yaitu proyeksi yang dibuat pada bulan Januari 2008 menjadi
2,1 persen pada bulan November 2008 dan bahkan pada bulan Januari 2009
proyeksi pertumbuhan volume perdagangan dunia direvisi kembali menjadi negatif
2,8 persen. Hal ini tentunya akan memberikan dampak langsung yang signifikan
bagi negara-negara yang perekonomiannya ditopang oleh ekspor seperti Cina,
Jepang, Korea, dan negara ASEAN, termasuk Indonesia.
16. 11
Gambar 3. Perkiraan Pertumbuhan Volume Perdagangan Dunia
Tahun 2009
Sumber: Kementerian PPN/Bappenas, 2009
2.3. Upaya Mengatasi Dampak Krisis Keuangan Global 2008
Sebagai upaya penanggulangan krisis, The Fed pada pertengahan Agustus
2007 bersama dengan bank sentral lainnya mengucurkan likuiditas ke pasar uang
bersama untuk tiga Bank Sentral Eropa dan Jepang lebih dari US$400 miliar dan
menurunkan suku bunga 50 bsp., guna mengatasi kepanikan para investor global
(Sihono, Teguh, 2008). Upaya yang dilakukan untuk merangsang pergerakan
ekonomi agar bangkit kembali, The Fed memangkas suku bunga sejak tanggal 18
September 2007 sampai akhir Desember 2007. The Fed funds rate diturunkan dari
5,25% menjadi 4,25%, turun lagi menjadi 3,5% (22 Januari 2008) dan 3% pada
akhir Januari 2008, bahkan menuju ke 2,5%, tetapi BOJ (Bank of Japan) Jepang
dan ECB (European Central Bank) Zona Euro masih menahan laju suku bunga di
tengah tingginya inflasi akibat kenaikan harga energi. Pada awalnya, turunnya suku
bunga berhasil mendorong laju bursa global (termasuk IHSG), akan tetapi pada
penurunan terakhir 11 Desember 2007, bursa global malah terpuruk. Pemerintah
Amerika Serikat telah mengumumkan kebijakan stimulus fiskal sebesar US$150
miliar berupa tax rebates US$800 per rumah, bahkan pertengahan Februari 2009
-4,00%
-2,00%
0,00%
2,00%
4,00%
6,00%
8,00%
Jan-08 Apr-08 Oct 08 Nov-08
Persentase
Jan 09
6,9
5,8
4,1
2,1
-2,8
17. 12
stimulus fiskal yang telah disetujui sebesar US$787 miliar. The Fed menurunkan
suku bunga dan pemerintah memberikan stimulus fiskal, bertujuan meningkatkan
daya beli masyarakat agar konsumsi meningkat.
Selain itu, pemerintah Amerika Serikat juga mengambil alih Fannie Mae
dan Freeddie Mac, menyelamatkan AIG lewat pengucuran dana US$182 miliar atau
Rp2.685 triliun dan Kongres menyediakan US$700 miliar atau RP10.368 triliun
untuk menyelamatkan bank-bank bermasalah (Uchoa, Pablo, bbc.com, 2018). Bank
sentral juga mulai membeli obligasi untuk memompa dana ke ekonomi –
menghimpun dana sebesar US$4,5 triliun atau RP66 juta triliun dalam enam tahun.
Selain itu, IMF berusaha merilis decoupling, agar krisis tidak menjalar ke
seluruh dunia, dengan melakukan mitra kerja dengan negara-negara lain. The Fed
dan pemerintah Amerika Serikat melakukan positioning yang tepat dan berusaha
mengembalikan kepercayaan pasar bisnis internasional (Sihono, Teguh, 2008).
Menteri Keuangan Henry Paulson, menganjurkan agar sepuluh bank besar di
Amerika Serikat mencari suntikan dana segar yang berasal dari luar APBN.
Kebijakan moneter dan fiskal yang dilakukan ini, baru mencapai pada tataran
emergency menyelamatkan perekonomian.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi krisis keuangan global,
muncul kesadaran Amerika Serikat dan negara-negara maju bahwa krisis keuangan
global yang terjadi tidak bisa mereka atasi sendiri tanpa melibatkan negara lain.
Dibutuhkan suatu harmonisasi atau kerjasama antar negara-negara untuk mengatasi
krisis finansial global yang melanda dunia (Wulandari, Purnama, 2010). Oleh sebab
itu, para pemimpin dari 20 negara melakukan kerjasama yang kemudian disebut G-
20 yang merupakan suatu mekanisme sebagai upaya untuk mengatasi krisis.
Negara-negara G-20 tersebut meliputi : Amerika Serikat, Afrika Selatan, Arab
Saudi, Argentina, Australia, Brazil, China, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang,
Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Perancis, Rusia, Turki, dan Uni Eropa.
Pada KTT G20 November 2008 di Washington DC, para pemimpin G20
menyepakati langkah-langkah yang dapat diambil guna memulihkan pertumbuhan
dan mendukung ekonomi emerging market (Wulandari, Purnama, 2010).
Langkah-langkah tersebut antara lain: melakukan langkah untuk menstabilkan
18. 13
sistem keuangan; dukungan kebijakan moneter dan menggunakan langkah fiskal
yang sesuai; memberikan likuiditas untuk membantu mencairkan pasar kredit;
memastikan bahwa IMF, Bank Dunia dan Multilateral Development Banks (MDBs)
lainnya memiliki sumber daya yang cukup untuk membantu negara-negara
berkembang yang terkena dampak krisis; dan juga memberikan pendanaan
perdagangan dan infrastruktur.
Kemudian, pertemuan di London, Inggris, pada April 2009 menghasilkan
kesepakatan diantaranya: menyetujui pengambilan langkah segera untuk
memperbaiki kembali pertumbuhan dan mendukung ekonomi negara berkembang;
menyepakati sejumlah prinsip bersama untuk mengawal reformasi pasar keuangan,
sependapat mengenai rencana aksi yang menyusun berbagai rencana kerja
komprehensif untuk mengimplementasi berbagai prinsip tadi, dan meminta menteri
keuangan untuk bekerja memastikan rencana aksi bisa diimplementasi secara penuh
dan giat; menyepakati bahwa reformasi hanya bisa sukses jika dilakukan
berdasarkan komitmen atas prinsip pasar bebas (Wulandari, Purnama, 2010). Hal
itu mencakup regulasi, penghormatan bagi milik pribadi, perdagangan dan investasi
terbuka, pasar kompetitif, dan sistem keuangan yang diregulasi secara efektif dan
efisien.
Kesepakatan-kesepakatan dan usaha-usaha tersebut dapat dijadikan acuan
bagi langkah-langkah antisipatif kebijakan dalam negeri untuk mengatasi dampak
dari krisis keuangan global yang berpengaruh dalam memulihkan perekonomian
global (Wulandari, Purnama, 2010). Kesepakatan-kesepakatan tersebut akan sangat
bermakna apabila semua negara anggota G20 dapat melakukan action plan bagi
usaha-usaha penanggulangan dampak krisis keuangan melalui kebijakan dalam
negeri maupun kerjasama multilateral.
Langkah pertemuan pimpinan negara G20 pada November 2008 dan April
2009 secara bertahap telah berhasil memulihkan kepercayaan dan mengurangi
kepanikan global, sehingga ketenangan dapat dibangun kembali. Kondisi sektor
keuangan berangsur-angsur mulai pulih dan likuiditas global mulai mengalir
kembali (Wulandari, Purnama, 2010). Sementara itu, kebijakan counter cyclical
dan kucuran likuiditas menyebabkan perekonomian global mulai pulih. G20 telah
19. 14
melaksanakan komitmen dalam KTT Washington dan London, antara lain:
pertama, melaksanakan kebijakan fiskal stimulus 2% PDB atau setara US$1,4
triliun; kedua, melakukan rekapitalisasi perbankan dan restrukturisasi asset
bermasalah dengan biaya sebesar US$2 triliun-US$2,5 triliun; ketiga, penambahan
resources IMF sebesar US$500 miliar dan alokasi SDR untuk menambah likuiditas
dunia sebesar US$250 miliar; keempat, peningkatan kapital ADB 200% dan
penambahan pendanaan dari Bank Pembangunan Multilateral dan Regional
(Multilateral/Regional Development Bank) sebesar US$300 miliar serta Trade
Financing sebesar US$250 miliar untuk mengompensasi kemerosotan aliran modal
ke negara berkembang.
20. 15
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pengaruh Krisis Keuangan Global 2008 terhadap Ketahanan
Perbankan di Indonesia
Di tengah-tengah krisis ekonomi dunia, pertumbuhan kredit perbankan
nasional meningkat pesat (Kementerian PPN/Bappenas, 2009). Sampai dengan
Desember 2008, kredit tumbuh mencapai 30,7 persen dengan nilai Rp1.300,2
triliun, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahunan 2007 yang sebesar
26,4 persen (y-o-y). Di sisi penghimpunan dana, simpanan masyarakat pada bank
tumbuh sebesar 16,2 persen (y-o-y) dari Rp1.528,2 triliun pada akhir 2007 menjadi
Rp1.775,2 triliun pada akhir 2008, lebih lambat dibandingkan akhir tahun 2007
yang tumbuh sebesar 17,7 persen (y-o-y). Seiring dengan perkembangan tersebut,
rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio – LDR) naik dari 65,1
persen pada tahun 2007 menjadi 73,2 persen pada akhir 2008. Pada sektor UMKM,
kredit bank umum yang berskala mikro, kecil, dan menengah (kredit UMKM)
meningkat sebesar 26,1 persen (y-o-y) pada akhir 2008 dengan nilai Rp 633,9
triliun yang terdistribusi 8,6 persen untuk kredit investasi; 39,0 persen untuk kredit
modal kerja, dan 52,4 persen untuk kredit konsumsi.
Tabel 1. Kondisi Perbankan Indonesia: Krisis Asia (1997) dan Krisis Global
(2008)
PERBANKAN 1997 2008
LDR (%) 111,1% 77,2%
CAR (%) 9,19% 16,2%
NPL (%) 8,15% 3,8%
Sumber: Bank Indonesia, 2009
Daya tahan bank umum tercermin dari terjaganya indikator kinerja. Terlebih
lagi ekspansi kredit yang semakin meningkat terbukti kondusif dalam pembiayaan
perekonomian domestik. Kualitas kredit tetap terpelihara baik, sebagaimana
21. 16
tercermin pada Non Performing Loan (NPL) tahun 2008, baik gross maupun net,
yang berhasil mencatat angka terendah semenjak krisis keuangan Asia tahun
1997/1998 dan sekaligus berada jauh di bawah target indikatif yang ditetapkan
Bank Indonesia (Bank Indonesia, 2009). Namun, ekspansi kredit yang lebih tinggi
dari peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) tersebut terjadi di tengah ketatnya
likuiditas global sehingga memengaruhi likuiditas antar bank. Meski secara industri
likuiditas mencukupi, kecenderungan segmentasi antar bank yang meningkat
sempat menjadikan likuiditas antar bank ketat. Rentabilitas bank cukup terjaga
didukung kualitas kredit yang baik, meskipun suku bunga dana relatif meningkat.
Permodalan bank tercatat masih jauh di atas benchmark internasional, meski relatif
menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya sejalan dengan ekspansi kredit
untuk pembiayaan ekonomi domestik.
Tabel 2. Indikator Kinerja Bank Umum
Sumber: Bank Indonesia, 2009
Selain melalui sistem konvensional, pembiayaan melalui perbankan syariah
juga terus meningkat. Pembiayaan melalui perbankan syariah tumbuh sebesar 36,5
persen (y-o-y) dari Rp28,0 triliun pada akhir 2007 menjadi Rp38,2 triliun pada 2008
(Kementerian PPN/Bappenas, 2009). Dilihat dari komposisinya, pembiayaan
terbesar masih merupakan pembiayaan yang keuntungannya telah disepakati
dahulu (piutang murabahah). Di sisi lain, penghimpunan dana masyarakat pada
tahun 2008 tumbuh sebesar 31,6 persen (y-o-y) dari Rp28,0 triliun (2007) menjadi
Rp36,9 triliun (2008). Terkait dengan fungsi intermediasi, rasio LDR perbankan
syariah relatif stabil, yaitu sekitar 103,0 persen. Pesatnya perkembangan perbankan
syariah juga diikuti dengan membaiknya kualitas pembiayaan yang disalurkan.
22. 17
Rasio non performing financing (NPF) turun menjadi 3,9 persen (2008) dari 4,1
persen (2007).
Kinerja perbankan syariah relatif tidak terpengaruh imbas krisis global,
sehingga fungsi intermediasi berjalan optimal dengan tingkat pembiayaan
bermasalah yang relatif rendah dan senantiasa mendukung pembiayaan sektor riil
(Bank Indonesia, 2009). Pertumbuhan aset dan pendanaan juga tercatat cukup
tinggi dan mengesankan. Disamping itu, eksposur pembiayaan perbankan syariah
yang masih didominasi oleh pembiayaan pada aktivitas perekonomian domestik
turut berperan dalam memperkuat daya tahan perbankan syariah dari imbas krisis
keuangan global.
Tabel 3. Indikator Kinerja Bank Syariah
Sumber: Bank Indonesia, 2009
Dampak krisis keuangan global membuat bisnis bank-bank BUMN harus
direvisi dan bahkan lebih bersikap hati-hati dalam mengucurkan kreditnya. Tidak
mau menimbulkan kredit macet dan tingginya Non Performance Loan (NPL),
sekarang perbankan harus lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kreditnya
(Nabhani, Ahmad. Economy.okezone.com, 2008). Hal semacam ini yang dilakukan
PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang lebih selektif memberikan kucuran kredit
kepada nasabahnya. Apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan cara tersebut
sebagai upaya mengantisipasi terjadinya kredit macet yang tinggi, sebagaimana
pengalaman yang terjadi di tahun 2005.
23. 18
Selain itu, adanya sentimen negatif terhadap pasar keuangan global juga
membuat terjadinya pelepasan aset finansial oleh investor asing dan membuat
neraca finansial dan modal ikut menjadi defisit. Suasana krisis saat itu sedemikian
mencekam, seolah tak terkendali, seperti terlihat dari rontoknya harga-harga saham
di pasar modal (Susanto, Steve, investor.id, 2014). Para pemilik modal pun resah,
dan keresahan masyarakat ditunjukkan dari migrasi dana dari 23 bank kecil yang
seukuran dengan Bank Century ke bank-bank besar. Para pemilik modal mulai ragu,
dan krisis kepercayaan pun mulai menjalar dan bereskalasi akibat cepatnya
pemburukan yang terjadi. Business as usual secara berangsur beralih menjadi
business not as usual, karena rupiah biasanya tidak selemah dan selabil pada kuartal
IV 2008. Di tengah rasa was-was dan cemas inilah pemerintah memutuskan untuk
mengambil Bank Century. Suasana kebatinan serupa inilah yang melatari
diputuskannya Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, dan
dikeluarkannya dana bailout.
Prakiraan kondisi perbankan pada 2009 akan tetap dibayangi oleh kondisi
pasar keuangan yang diprakirakan masih berada pada ketidakpastian akibat krisis
global yang masih berlangsung (Bank Indonesia, 2009). Pertumbuhan kredit
diprakirakan turun seiring dengan meningkatnya kehati-hatian bank dan risiko
meningkatnya NPL. Kondisi likuiditas secara agregat akan meningkat namun masih
terdapat risiko likuditas pada bank-bank tertentu akibat masih adanya segmentasi
di pasar uang walaupun risiko ini akan membaik sejalan dengan menurunnya suku
bunga. Sesuai dengan Rencana Bisnis Bank, kredit secara agregat diprakirakan
akan tumbuh sebesar 15,4% (atau sekitar Rp. 202 triliun) dan seluruhnya dapat
dipenuhi dari proyeksi kenaikan dana pihak ketiga sebesar Rp. 220,2 triliun atau
meningkat sebesar 12,6%. Sesuai dengan rencana bisnis tersebut, kenaikan DPK
akan tetap didominasi oleh deposito yang relatif lebih mahal dibandingkan
tabungan dan giro. Hal ini berimplikasi bahwa pergerakan suku bunga merupakan
pertimbangan utama bagi perbankan ke depan.
Secara sektoral, rencana pertumbuhan kredit tertinggi akan disalurkan ke
sektor konsumsi, diikuti sektor jasa dunia usaha, perdagangan dan pertanian.
Sementara berdasarkan penggunaan, kenaikan terbesar akan terjadi pada kredit
konsumsi dan diikuti kredit modal kerja (Bank Indonesia, 2009). Kredit mikro kecil
24. 19
dan menengah diprakirakan masih tumbuh, namun dengan tingkat yang lebih
rendah dibandingkan dengan pertumbuhannya di tahun 2008. Indikator utama
perbankan seperti CAR dan NPL diproyeksikan masih cukup baik, walaupun ada
potensi kenaikan NPL seiring melemahnya perekonomian. Sementara CAR industri
perbankan pada akhir 2009 diproyeksikan sekitar 15%.
3.2. Pengaruh Krisis Keuangan Global 2008 terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG)
Krisis keuangan global tahun 2008 pada kuartal ketiga, dimulai di Amerika
Serikat dan meluas hampir ke seluruh belahan dunia (Taftazani, Afif M, Abdul
Kohar Irwanto, Eko Rudy Cahyadi., 2015). Krisis finansial global yang kemudian
berubah menjadi krisis ekonomi global ini, semula dipicu oleh krisis subprime
mortgage di Amerika Serikat. Krisis ini diawali oleh persoalan kredit macet
berisiko tinggi di sektor perumahan, yang pada hitungan bulan menjalar menjadi
krisis ekonomi global yang melanda seluruh dunia. Ambruknya pasar finansial dan
moneter beberapa negara yang dianggap kuat membawa dampak negatif bagi
negara lain, salah satunya Indonesia yang secara pelan tapi pasti terkena imbas
jatuhnya harga saham di BEI (Bursa Efek Indonesia) yang tergabung dalam Index
Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencapai pada ambang batas tolelir
penurunan index saham dalam satu hari yaitu 10%. Selain ISHG dampak krisis juga
berpengaruh terhadap Indekx LQ45. Indeks saham LQ45 mengalami penurunan
67% anjlok mencapai angka 206,68 di tanggal 28 Oktober 2008. Dampak krisis ini
akan mempengaruhi tingkat return dan risiko saham di pasar modal.
Goncangan pasar modal internasional dengan Wall Street di Amerika
Serikat sebagai episentrumnya secara cepat menjalar dan menular ke negara-negara
lainnya, termasuk negara-negara anggota Uni Eropa, Jepang, dan Cina sehingga
berimbas pula kepada Bursa Efek Indonesia (BEI). Indeks harga saham gabungan
(IHSG) BEI yang sedikit membaik pada awal tahun 2008 dari 2.627,3 pada bulan
Januari 2008 menjadi 2.721,9 (3,6 persen) pada bulan Februari 2008, menurun
secara bertahap menjadi 2.165,9 (minus 20,4 persen) pada bulan Agustus, dan
menurun secara bergejolak menjadi 1.355,4 (minus 37,4 persen) pada bulan
Desember 2008 (Kementerian PPN/Bappenas, 2009). Penurunan IHSG didorong
25. 20
pula oleh keluarnya sebagian investor asing dari bursa. Pada bulan Februari 2009
IHSG masih mengalami penurunan menjadi 1.296,9 (minus 4,3 persen). Pada
minggu III April 2009 IHSG sudah mulai meningkat menjadi 1.625,09.
Tabel 4. Perkembangan IHSG dan Net Beli Asing
Sumber: Bank Indonesia, 2009
Tabel 5. Perkembangan IHSG dan Bursa Regional
Sumber: Bank Indonesia, 2009
26. 21
Resesi Amerika Serikat yang menghantam Bursa di Wall Street New York
menyeret jatuh IHSG karena: (a) sentimen negatif bursa Amerika Serikat dan
regional sangat cepat menyusupi para investor, (b) resesi ekonomi Amerika Serikat
akan menggeser toleransi risiko investor dari high yield ke high grade, (c) harga
komoditas yang merosot membuat harga saham-saham komoditas merosot pula
(Sihono, Teguh, 2008). Pada tahun 2007, penggerak indeks saham hanya tiga, yaitu
CPO, batubara, dan nikel, (d) risiko lain yang menghadang bursa Jakarta yang
berganti nama Bursa Efek Indonesia (BEI) akhir tahun 2007 adalah harga minyak.
Hal ini berefek negatif terhadap anggaran, mata uang, margin perusahaan,
pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan neraca pembayaran.
Dalam risetnya Masquarie Securities menyebutkan bahwa bursa di empat
negara Asean: Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia, serta Hongkong akan
bullish di tahun 2008. Kondisi domestik Singapura, Hongkong, dan Malaysia
memang bagus, bursa Indonesia harus bersaing dengan bursa Thailand, Filipina,
dan India. Price to Earning Ratio (PER) tahun 2008 adalah 15,3 kali, sementara
Thailand 14,7 kali dan India 16,8 kali (Sihono, Teguh, 2008). Konsumsi
masyarakat Indonesia masih tumbuh kuat, turunnya suku bunga dan banjir
likuiditas memasuki musim Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden
(Pilpres) tahun 2009 mendorong konsumsi masyarakat. ADB telah menaikkan
target pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 6,2% menjadi 6,4% pada tahun 2008
lalu. Banyak pendatang baru di bursa dan pada tahun 2008, terdapat 40 perusahaan
yang meminta izin untuk Go Public. Pemerintah berusaha memacu program
pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan aktivitas ekonomi di sektor riil.
Suku bunga yang rendah akan menggerakkan bank dan lembaga keuangan untuk
mengucurkan kredit di sektor riil. Kebijakan ini akan membuat kinerja emiten
perbankan dan sektor keuangan menguat, dan diharapkan akan mampu menekan
harga saham di sektor pertambangan.
Seiring dengan tren perbaikan di pasar keuangan global khususnya pada
paruh kedua tahun 2009, kondisi pasar modal domestik diprakirakan akan turut
membaik (Bank Indonesia, 2009). Meskipun investor akan berperilaku “wait and
see” selama paruh pertama, namun mereka diprakirakan akan meningkatkan
transaksinya di paruh akhir tahun 2009. Aksi korporasi dari perusahaan yang
27. 22
tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) di tahun 2009 juga diprediksi akan relatif
marak dengan aktivitas IPO oleh setidaknya 15 perusahaan dan right issue oleh 25
emiten, sedikit lebih rendah untuk jumlah IPO dibandingkan dengan tahun 2008
sebanyak 17 perusahaan.
3.3. Pengaruh Krisis Keuangan Global 2008 terhadap Kinerja Lembaga
Keuangan Non Bank (LKNB)
Kinerja reksadana juga mengalami tekanan namun relatif minimal. Kinerja
reksadana sebenarnya cukup baik pada awal tahun 2008, namun berbalik arah pada
triwulan III-2008 (Bank Indonesia, 2009). Peningkatan Nilai Aktiva Bersih (NAB)
pada awal hingga pertengahan tahun tersebut ditopang oleh kinerja pasar saham dan
pasar obligasi negara yang masih baik pada periode tersebut. Namun memasuki
triwulan III-2008 NAB reksadana terus mengalami penurunan sejalan dengan
memburuknya kinerja pasar saham dan pasar obligasi negara. Dengan
perkembangan tersebut, NAB reksadana mengalami penurunan sebesar 18,74%
dari Rp91,5 triliun pada 2007 menjadi Rp74,4 triliun pada 2008. Penurunan tersebut
masih tergolong minimal, karena di satu sisi unit penyertaan reksadana pada tahun
2008 masih mengalami pertumbuhan dari 53,39 miliar unit penyertaan menjadi
61,51 miliar unit penyertaan atau meningkat sebesar 14,78%. Di sisi lain jumlah
produk reksadana juga meningkat dari 473 reksadana pada 2007 menjadi 602
reksadana pada 2008 atau meningkat 27,27%.
Kinerja perusahaan asuransi sampai dengan September 2008 cukup baik dan
tidak terpengaruh oleh krisis gobal (Bank Indonesia, 2009). Total aset industri
asuransi masih tumbuh walaupun secara kelembagaan mengalami penurunan
sehingga menjadi 144 perusahaan. Perolehan premi dan investasi, baik untuk
asuransi komersial yang meliputi asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi
maupun untuk asuransi nonkomersial yang meliputi asuransi sosial, asuransi PNS,
asuransi TNI dan polisi, juga mengalami peningkatan. Total aset industri asuransi
pada periode laporan meningkat 6,2% dari sebesar Rp228,8 triliun menjadi Rp234,7
triliun pada September 2008. Dalam hal ini, asuransi komersial masih merupakan
motor pendorong industri asuransi secara umum dengan total aset mencapai
Rp136,1 triliun pada September 2008 atau 58,0% dari total aset industri asuransi.
28. 23
Kinerja perusahaan dana pensiun diperkirakan terus meningkat walaupun
secara kelembagaan mengalami penurunan. Total perusahaan dana pensiun aktif
sampai dengan akhir tahun 2008 sebanyak 281 perusahaan atau berkurang 7
perusahaan dari tahun sebelumnya (Bank Indonesia, 2009). Dari jumlah tersebut
sebanyak 255 perusahaan (90,7%) merupakan Dana Pensiun Pemberi Kerja
(DPPK) dan 26 perusahaan merupakan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
Namun penurunan kelembagaan tersebut diperkirakan tidak berpengaruh terhadap
peningkatan kinerja perusahaan. Sampai dengan akhir tahun 2007, total aktiva
bersih perusahaan dana pensiun mencapai Rp91,3 triliun dengan rata-rata
pertumbuhan sejak tahun 2000 sebesar 17.3%. Nilai aktiva bersih perusahaan dana
pensiun pada tahun 2008 diperkirakan tetap meningkat mengikuti tren
pertumbuhannya, tidak banyak terpengaruh oleh krisis keuangan global seperti
halnya industri asuransi. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari upaya pemerintah
memperkenankan dana pensiun untuk mengklasifikasi obligasi negara ke dalam
kelompok HTM untuk tahun buku 2008 sehingga neraca dana pensiun menjadi
relatif terjaga dari dampak gejolak di pasar obligasi negara.
Sepanjang tahun 2009, reksadana diprakirakan masih memiliki prospek
yang cukup baik. Meskipun nilai NAB reksadana tahun 2008 menurun, namun
peningkatan nilai unit penyertaan mengindikasikan bahwa minat investor terhadap
reksadana masih cukup besar, baik terhadap reksadana pendapatan tetap maupun
reksadana terproteksi (Bank Indonesia, 2009). Sementara itu, penerbitan peraturan
pemerintah yang mengatur tentang pajak penghasilan atas pendapatan modal dan
bunga obligasi pada level nol persen diprakirakan akan semakin menambah daya
tarik reksadana pada tahun 2009, khususnya reksadana yang berbasis obligasi.
Reksadana obligasi ini bahkan dinilai lebih mampu memberikan return yang pasti
dan lebih kuat dalam menghadapi dampak krisis keuangan global. Sebaliknya,
permintaan reksadana saham yang biasanya menjadi primadona tampaknya akan
semakin berkurang karena semakin tingginya unsur ketidakpastiannya.
Terkait dengan dana pensiun, pertumbuhan bisnis ini yang cukup baik di
tahun 2008 kemungkinan akan sedikit mengalami perlambatan di tahun 2009.
Ancaman terjadinya gelombang PHK menyusul perlambatan ekonomi domestik
diprakirakan akan mendorong perusahaan untuk mencairkan dana pensiun guna
29. 24
membayar pesangon karyawan (Bank Indonesia, 2009). Namun demikian, dana
pensiun diprakirakan masih bisa tumbuh dengan baik dan mendapatkan keuntungan
dari investasi jangka panjang seperti pada surat utang negara dan salah satu dari
delapan instrumen baru yang diperkenankan pemerintah seperti real estate
investmen trust (REITS) atau kontrak investasi kolektif efek beragun aset.
Sementara itu prospek bisnis asuransi dan perusahaan pembiayaan di Indonesia
pada tahun 2009 diprakirakan tetap menjanjikan walaupun terjadi perlambatan
dibandingkan kinerja pada tahun 2008.
3.4. Kebijakan untuk Memperkuat Sektor Keuangan Indonesia
Dalam menghadapi krisis ini, pemerintah di berbagai negara terpaksa
melakukan bailout dan bank sentralnya memompakan likuiditas ke dalam
perekonomian dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya (Boediono,
fe.ugm.ac.id, 2009). Upaya ini juga dilakukan di Indonesia. Terkait dengan kondisi
eksternal yang tidak menentu, selama tahun 2008 telah ditetapkan kebijakan guna
memperkuat ketahanan sektor keuangan domestik khususnya perbankan
(Kementerian PPN/Bappenas, 2009). Beberapa kebijakan penting perbankan yang
dikeluarkan pemerintah selama tahun 2008 antara lain; (i) memberikan bantuan
bagi perbankan yang mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik serta
menimbulkan potensi krisis akan dibiayai oleh pemerintah melalui APBN; (ii)
merubah besaran nilai simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) yang didahului oleh Perppu Nomor 3 tahun 2008 tentang Perubahan UU No
24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan; serta (iii) membentuk landasan hukum
bagi Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Seiring dengan langkah-langkah
kebijakan yang dilakukan pemerintah di dalam penanganan sektor keuangan
tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan sektor
keuangan yang antara lain adalah fleksibilitas di dalam pengaturan Giro Wajib
Minimum (GWM).
Dalam rangka memberikan keleluasaan penyaluran kredit perbankan pada
saat krisis global ini, ada beberapa hal yang akan ditempuh oleh Bank Indonesia
(Bank Indonesia, 2009). Hal-hal tersebut meliputi: pertama, meningkatkan peran
serta perbankan dalam penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah
30. 25
(KUMKM). Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan
untuk penurunan bobot risiko untuk KUMKM yang dijamin lembaga
penjaminan/asuransi kredit berstatus baik BUMN maupun bukan BUMN dengan
persyaratan tertentu. Kedua, meningkatkan efisiensi bank dalam melakukan
pembiayaan dalam rangka mendorong pergerakan sektor riil. Kebijakan tersebut
merupakan penyesuaian atas ketentuan Bank Indonesia mengenai kualitas aktiva.
Penyesuaian ketentuan tersebut meliputi antara lain penyempurnaan penilaian
Kualitas Aktiva Produktif, dan penyempurnaan kategori Penyisihan Penghapusan
Aktiva (PPA). Ketiga, meningkatkan peran Bank dalam memperluas jangkauan
pelayanan kepada nasabah. Mengingat semakin beragamnya jaringan kantor bank
yang dapat meningkatkan peran bank dalam memperluas jangkauan pelayanan
kepada nasabah, Bank Indonesia menyesuaikan ketentuan mengenai Bank Umum,
termasuk Bank Umum Syariah antara lain dengan mempertegas aturan mengenai
jaringan kantor bank, menyederhanakan mekanisme pelaporan pembukaan Kantor
Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas (Kas Keliling, Payment Point, ATM, dan lainnya
yang sejenis) yakni cukup dilakukan melalui Laporan Rencana Bisnis Bank (RBB),
penyederhanaan prosedur peningkatan/penurunan status kantor, dan pengaturan
mengenai kepemilikan saham bank oleh Pemegang Saham Pengendali yang
dilarang untuk digadaikan atau dijaminkan kepada pihak lain.
Sementara itu, Bank Indonesia juga melakukan beberapa hal untuk lebih
memperkuat sistem perbankan nasional di tengah-tengah kondisi krisis global yang
masih berlangsung (Bank Indonesia, 2009). Langkah-langkah tersebut adalah
pertama, memperpanjang masa transisi penerapan risiko operasional dalam
perhitungan kecukupan modal dalam rangka Basel II. Bank Indonesia mengambil
kebijakan untuk memperpanjang masa transisi penerapan risiko operasional dalam
perhitungan kecukupan modal dalam rangka Basel II yang dari semula
direncanakan dilakukan pada tahun 2009 secara keseluruhan menjadi diterapkan
secara bertahap. Kedua, meningkatkan transparansi kondisi keuangan bank dan
laporan keuangan bank. Bank Indonesia telah menerbitkan surat edaran mengenai
pemberlakuan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) 2008. PAPI
merupakan acuan bagi bank dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan
sesuai PSAK dan ketentuan lain yang berlaku. Penerbitan PAPI dilakukan lebih
31. 26
awal untuk memberi waktu bagi bank dalam memahami dan mempersiapkan secara
matang berbagai hal yang diperlukan, antara lain proses bisnis, sistem teknologi
dan informasi akuntansi, serta persiapan sumber daya manusia terkait. Ketiga,
memperkuat manajemen risiko bank. Penyempurnaan manajemen risiko pada bank
diantaranya akan dilakukan melalui ketentuan manajemen risiko terkait resiko
likuiditas dan terkait dengan produk dan aktivitas baru bank. Keempat,
menyempurnakan aturan yang terkait dengan merger, konsolidasi, dan akuisisi.
Dalam rangka mendukung konsolidasi perbankan nasional, maka bagi bank yang
melakukan merger melalui 2 (dua) tahap, yaitu melalui akuisisi dilanjutkan dengan
proses merger, proses perizinannya dipersingkat. Dan kelima, menyediakan
fasilitas transaksi USD repurchase agreement bank kepada Bank Indonesia. Dalam
rangka menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dalam situasi krisis global saat ini,
salah satu upaya Bank Indonesia adalah mendorong tersedianya pasokan valuta
asing di pasar domestik, di mana bank yang memiliki Government of Indonesia
Bonds dalam valuta asing dapat me-repo-kannya kepada Bank Indonesia dengan
jangka waktu 1 bulan.
Sebagai upaya untuk mendukung arah kebijakan Bank Indonesia tersebut,
maka secara internal Bank Indonesia juga melakukan langkah-langkah yang terkait
dengan penguatan penerapan Risk Based Supervision melalui penyempurnaan
Prinsip Memahami Bank (PMB), peningkatan kualitas rekomendasi pengawasan
bank melalui pembentukan Panel Expert, penyempurnaan sistem deteksi dini dan
peningkatan kemampuan pengawas dalam pemantauan likuiditas bank, serta
peningkatan peran Kantor Bank Indonesia Koordinator dalam pengawasan bank di
wilayah kerjanya (Bank Indonesia, 2009).
32. 27
BAB IV
KESIMPULAN
Krisis keuangan global 2008 yang semula disebabkan oleh kredit macet
perumahan yang terjadi di Amerika Serikat, ternyata menimbulkan efek yang
meluas ke banyak negara, sebagai akibat dari bentuk integrasi antara negara satu
dengan yang lainnya. Hal ini juga turut menimbulkan dampak bagi Indonesia, di
mana perekonomian di dalamnya cukup dipengaruhi oleh situasi makro di
internasional. Namun, pengaruh dari krisis keuangan global 2008 tidak membuat
perekonomian Indonesia terdampak secara keseluruhan atau sebagaimana
terjadinya pada krisis 1998.
Dalam sektor keuangan, krisis ini juga berdampak kepada ketahanan
perbankan di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dan Lembaga
Keuagan Non Bank. Berbagai upaya dalam bentuk kebijakan dilakukan oleh
pemerintah dan Bank Indonesia untuk mempertahankan kondisi sektor keuangan di
Indonesia, sehingga Indonesia mampu bertahan untuk melewati krisis keuangan
global 2008 ini.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa krisis yang terjadi secara global pastilah
memiliki dampak seperti efek domino bagi negara lainnya. Di sisi lain, dalam
melewati krisis ini juga diperlukan adanya kerjasama antara negara satu dan yang
lainnya, sebab ini adalah masalah global yang tidak hanya dapat diselesaikan oleh
Amerika Serikat saja. Dalam hal ini, Indonesia pun juga turut andil untuk
menyelesaikan masalah ini bersama negara-negara yang tergabung dalam G20.
Kejadian ini pastinya memberikan Indonesia pembelajaran bahwa kita harus
mampu bertahan dalam melewati kondisi yang sulit melalui kebijakan-kebijakan
yang mampu diterapkan demi ketahanan Indonesia, khususnya pada sektor
keuangan .
33. 28
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. 2009. Buku Laporan Perekonomian Indonesia 2008.
https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-
tahunan/perekonomian/Pages/lpi_2008.aspx diakses pada tanggal 14 April
2020
Boediono. Hidup di Tengah Krisis Ekonomi Dunia.
https://feb.ugm.ac.id/id/penelitian/artikel-dosen/819-hidup-di-tengah-
krisis-ekonomi-dunia diakses pada tanggal 15 April 2020
Harahap, Siti Romida. 2013. Deteksi Dini Krisis Nilai Tukar Indonesia: Identifikasi
Periode Krisis Tahun 1995-2011. Economics Development Analysis
Journal 2 (4) diakses pada tanggal 14 April 2020
Indonesia.go.id. Belajar dari Pengalaman Menghadapi Krisis Ekonomi Dunia.
https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/belajar-
dari-pengalaman-menghadapi-krisis-ekonomi-dunia diakses pada tanggal
15 April 2020
Kementerian PPN/Bappenas. 2009. Buku Pegangan 2009 Penyelenggaraan dan
Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Penguatan Ekonomi Daerah:
Langkah Menghadapi Krisis Keuangan Global.
https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/features/buku-
pegangan-2009-penyelenggaraan-pemerintahan-dan-pembangunan-daerah/
diakses pada tanggal 14 April 2020
Lembaga Penelitian Smeru Research Institute. 2009. Memantau Dampak Sosial-
Ekonomi Krisis Keuangan Global 2008/09 di Indonesia. Laporan Pantauan
Berkala diakses pada tanggal 15 April 2020
Nabhani, Ahmad. Jalan Berliku Perbankan Indonesia di 2008-2009.
https://economy.okezone.com/read/2008/12/23/277/176453/jalan-berliku-
perbankan-indonesia-di-2008-2009 diakeses pada tanggal 15 April 2020
34. 29
Nezky, Mita. 2013. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Pengaruh Krisis
Ekonomi Amerika Serikat Terhadap Bursa Saham dan Perdagangan
Indonesia diakses pada tanggal 14 April 2020
Putri, Rizqi Apriani. 2017. Implikasi Krisis Ekonomi Amerika Serikat Terhadap
Ekspor Karet Indonesia. Jom FISIP Volume 4 No. 2 Oktober 2017 diakses
pada tanggal 14 April 2020
Sihono, Teguh. 2008. Krisis Finansial Amerika Serikat dan Perekonomian
Indonesia. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 5 Nomor 2 diakses pada
tanggal 14 April 2020
Susanto, Steve. Krisis Global dan Penyelamatan Bank.
https://investor.id/opinion/krisis-global-dan-penyelamatan-bank diakses
pada tanggal 15 April 2020
Taftazani, Afif M, Abdul Kohar Irwanto, Eko Rudy Cahyadi. 2015. Dampak Krisis
Keuangan Global 2008 terhadap Volatilitas Return Saham Perbankan di
BEI. Jurnal Aplikasi Manejemen (JAM) Vol 13 No 1 diakses pada tanggal
14 April 2020
Tumbelaka, Daniela S. 2014. Pengaruh Krisis Ekonomi Global terhadap Ekspor
Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia di Pasar Internasional. Jurnal Analisis
Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 diakses pada tanggal 14 April 2020
Uchoa, Pablo. Krisis Ekonomi 2008 dan Keadaannya di Sejumlah Negara,
Termasuk Indonesia, 10 Tahun Kemudian.
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-45495304 diakses pada tanggal 15
April 2020
Wulandari, Purnama. 2010. G20 dan Krisis Finansial Global. Jurnal ISIP diakses
pada tanggal 14 April 2020