1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam fase (tahap) perkembangan yang terakhir perhatian para
antropolog hukum tidak saja pada proses penyelesaian sengketa semata-mata,
masalah hukum atau pluralisme hukum di luar penyelesaian sengketa mulai
mendapatkan perhatian. Salah satu tema masalah di luar sengketa adalah
masalah kesejahteraan sosial yang menyita banyak waktu para antropolog. Hal
ini berhubungan dengan banyaknya tatanan nilai atau norma yang berlaku di
masyarakat tertentu yang mempengaruhi kesejahteraan sosial masyarakat.
Pada mulanya, para antropolog memulai kajiannya dengan upaya untuk
menjawab pertanyaan; Apakah masyarakat di luar Eropa-Amerika mengenal
kesejahteraan sosial seperti yang sudah dikenal di negara-negara tersebut?
Pertanyaan itu muncul karena adanya pemahaman bahwa tolok ukur
kesejahteraan sosial di setiap negara atau wilayah kerap berbeda dengan negara
lain.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan antropologi, kajian mengenai
masalah kesejahteraan sosial makin beragam, dengan mengkaji masalah
kesejahteraan dalam masyarakat negara berkembang maupun masyarakat
industri.
Dalam masalah kesejahteraan sosial, para antropolog biasanya
mengungkapkan hubungan-hubungan yang terjadi dalam kerangka pembedaan
(dikotomi) dengan landasan pranata umum atau biasa (konvensional), misalnya
antara kesejahteraan sosial di sektor umum dan perorangan, formal dan informal,
modern dan tradisional.
Pendekatan antropologi hukum dapat menjelaskan masalah-masalah
hukum yang muncul dalam masalah penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Permasalahan yang dimaksud adalah permasalahan karena adanaya berbagai
pranata hukum yang mendasari berbagai mekanisme (cara kerja)
2. 2
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang bersifat kontekstual dan
bagaimanakah pranata itu bekerja dalam realita.
Apa relevansi mengkaji masalah kesejahteraan sosial dengan pendekatan
antropologi hukum?
Dalam rangka menggali pranata-pranata yang dihayati sebagai hukum
oleh individu, kelompok atau masyarakat, maka sebagai upaya untuk
mengungkapkan kasus-kasus sengketa maupun non-sengketa, dapat diberikan
penjelasan mengenai apa yang disebut sebagai hukum yang hidup itu? Pada
tahap selanjutnya dapat ditelusuri bagaimanakah pranata hukum bekerja dalam
praktiknya. Kemudian melalui kasus-kasus yang diperoleh di lapangan dapat
dijembatani/dihubungkan jurang antara pranata hukum yang ideal dengan
keadaan yang nyata terjadi. Hal ini dilakukan dengan cara mengkaji berbagai
aspek di luar hukum (sosial, ekonomi, politik) yang mempengaruhi hukum
secara terintegrasi (berpadu; bergabung supaya menjadi kesatuan yang utuh ).
1.2.Rumusan Masalah
1. Apakah Kesejahteraan Sosial dan Pluralisme Hukum?
2. Bagaimanakah relevansi pengkajian masalah kesejahteraan sosial dalam
hukum?
1.3.Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan Kesejahteraan Sosial dan Pluralisme Hukum
2. Mendeskripsikan relevansi pengkajian masalah kesejahteraan sosial dalam
hukum
1.4.Manfaat Penulisan
1. Bagi pemerintah, agar lebih peka dalam mengurus masalah kesejahteraan
sosial terutama agar memperhatikan masalah pluralisme hukum sehingga
tercapai kesejahteraan sosial yang diinginkan.
2. Bagi masyarakat, agar semakin menyadari tugasnya sebagai warga negara
dalam mengontrol segala bentuk kebijakan yang dilakukan pemerintah.
3. 3
3. Bagi penulis, agar mampu menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dalam
menganalisis masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat
dan sebagai salah satu persyaratan memenuhi tuntutan kuliah.
1.4.Metode Penulisan
Dalam menyusun karya tulis ini penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan yang dilaksanakan di perpustakaan Universitas Nasional dan
penelusuran di internet.
1.5. Sistematika Penulisan
BAB I : berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode
penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : berisi hakikat kesejahteraan sosial dan plularisme hukum
BAB III : berisi relevansi pengkajian masalah kesejahteraan sosial dalam
hukum
BAB IV : berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
4. 4
BAB II
HAKIKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN PLURALISME HUKUM
2.1. Pengertian Kesejahteraan Sosial
Sampai saat ini belum ada batasan kesejahteraan sosial yang dapat diterima
secara umum. Para cendekiawan ilmu kesejahteraan sosial atau praktisi
pekerjaan sosial merumuskan batasannya sendiri-sendiri sehingga terdapatlah
beraneka ragam definisi (Mohammad Suud; 4). Pengertian dari kesejahteraan
sosial tidaklah mutlak karena bersifat pluralistik dan kontekstual, karena harus
ditempatkan dalam konteks politik, ekonomi, dan sosiokultural setiap
masyarakat pada waktu tertentu.
2.1.1. Menurut para ahli
2.1.1.1.Menurut F. Benda Beckmann:
Pada tingkat pertama, kesejahteraan sosial menunjukkan keragaman nilai,
ideal-ideal, ideologi-ideologi, dan tujuan-tujuan kebijakan. Pada tingkat ini
tidak ada satu masyarakat pun yang memiliki gagasan yang sama tentang
kesejahteraan sosial.
Pada tingkat kedua, kesejahteraan sosial mengacu pada lembaga
penyelenggara. Pada sebagian masyarakat terdapat lembaga-lembaga khusus
yang didirikan untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Pada sebagian
masyarakat lain, lembaga semacam itu tidak ada.
Pada tingkat terakhir, yaitu tingkat pelaksanaan, kegiatan kesejahteraan
sosial yang diupayakan oleh individu atau kelompok dapat mewarnai
banyak proses yang beragam.
2.1.1.2.Menurut Suparlan
Kesejahteraan sosial, keadaan sejahtera pada umumnya, yang meliputi
keadaan jasmaniah, rohaniah dan sosial dan bukan hanya perbaikan dan
pemberantasan keburukan sosial tertentu saja; jadi merupakan suatu
keadaan dan kegiatan (Muh. Suud; 5)
5. 5
2.1.1.3.Menurut Segal dan Brzuzy (1998:8)
Kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat.
Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan,
dan kualitas hidup rakyat (Muh. Suud: 5).
2.1.1.4.Menurut Midgley (1995:14)
Midgley menjelaskan bahwa suatu keadaaan sejahtera secara sosial
tersusun dari tiga unsur berikut. Pertama, setinggi apa masalah-masalah
sosial dikendalikan. Kedua, seluas apa kebutuhan-kebutuhan dipenuhi.
Ketiga, setinggi apa kesempatan-kesempatan untuk maju tersedia. Tiga
unsur ini berlaku bagi individu-individu, keluarga-keluarga, komunitas-
komunitas dan bahkan seluruh masyarakat (Muh. Suud: 5).
2.1.1.5.Menurut Walter A. Friedlander
Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-
pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu
individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang
memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka
mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan
kesejahteraannya secara selaras dengan kebutuhan keluarga dan
masyarakat.” (Drs. Syarif Muhidin, Msc; 1961).
2.1.1.6.Menurut Dwi Heru Sukoco
Kesejahteraan sosial mencakup semua bentuk intervensi sosial yang
secara pokok dan langsung untuk meningkatkan keadaan yang baik antara
individu dan masyarakat secara keseluruan. Kesejahteraan sosial mencakup
semua tindakan dan proses secara langsung yang mencakup tindakan dan
pencegahan masalah sosial, pengembangan sumber daya manusia dan
peningkatan kualitas hidup.” (Max Siporin; 1995).
2.1.2. Batasan PBB
Kesejahteraan sosial adalah suatu kegiatan yang terorganisasi dengan
tujuan membantu penyesuaian timbal balik antara individu-individu dengan
lingkungan sosial mereka. tujuan ini dipakai secara saksama melalui teknik-
teknik dan metode-metode dengan maksud agar memungkinkan individu-
6. 6
individu, kelompok-kelompok maupun komunitas-komunitas memenuhi
keutuhan dan memecahkan masalah-masalah penyesuaian diri mereka
terhadap perubahan pola-pola masyarakat, serta melalui tindakan kerja sama
untuk memperbaiki kondisi-kondisi ekonomi dan sosial (Muh. Suud: 6-7).
2.1.3. Menurut Undang-Undang No. 6/1979 pasal 2.1.
Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial
material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan
dan ketenteraman lahir dan bathin, yang memungkinkan setiap warga
negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
jasmaniah-rohaniah dan sosial sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta
masyarakat, dengan menjunjung tinggi hak-hak, azas serta kewajiban
manusia sesuai dengan Pancasila. (Moh. Suud, 4-5)
Setelah membaca beberapa definisi tentang kesejahteraan sosial di atas di
atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tindakan
yang mengarah kepada kondisi sosial masyarakat yang menjamin kehidupan
masyarakat dalam lingkungan untuk hidup dengan rasa nyaman, aman, dan
tentram untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
2.2. Pengertian Pluralisme Hukum
2.2.1. Menurut Griffith
Pluralisme hukum merupakan adanya lebih dari satu tatanan hukum
dalam suatu arena sosial (By ‘legal pluralism’ i mean the presence in a
social field of more than one legal order), (1986:1). Menurutnya, istilah
pluralisme hukum muncul sebagai tanggapan terhadap adanya paham
sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa hukum
seharusnya merupakan hukum negara yang berlaku seragam untuk semua
orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang lain dan
dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga negara”...law is and should
be the law of the state, uniform for all persons, excluzive of all other law,
and administered by a single set of state institutions” (1986:1).
7. 7
Konsep pluralisme hukum yang dikemukakan Griffiths di atas pada
dasarnya dimaksudkan untuk menonjolkan keberadaan dan interaksi sistem-
sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law)
dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious
law) dalam suatu kelompok masyarakat.
Dalam kaitan ini, Tamanaha (1992:25-6) memberi komentar kritis
terhadap konsep pluralisme dari Griffiths yang cenderung terfokus pada
penekanan dikotomi keberadaan hukum negara dengan sistem-sistem
hukum yang lain, seperti berikut :
1. Konsep pluralisme hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi
dua macam, yaitu pluralisme yang kuat (strong legal pluralism) dan
pluralisme yang lemah (weak legal pluralism). Pluralisme yang lemah
merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena
walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya
sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang
sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat
inferior dalam hierarki sistem hukum negara.
Contoh yang memperlihatkan pluralisme hukum yang lemah (weak legal
pluralism) adalah konsep pluralisme hukum dalam konteks interaksi sistem
hukum pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan
hukum agama (religious law) yang berlangsung di negara-negara jajahan
seperti dideskripsikan oleh Hooker (1975).
2. Sedangkan, pluralisme hukum yang kuat mengacu pada fakta adanya
kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang
dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak terdapat hierarki yang
menunjukkan sistem hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum
yang lain. Untuk ini, teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang menyatakan
dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (living
law) dari tatanan normatif (Sinha, 1993:227; Cotterrell, 1995:306), yang
biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara
8. 8
termasuk dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal
pluralism).
3. Selain itu, yang dimasukkan kategori pluralisme hukum yang kuat adalah
teori Semi-Autonomous Social Field yang diintroduksi Moore (1978)
mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam
menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation)
dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa pentaatannya. Karena itu,
Griffiths kemudian mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore
(1978) :
2.2.2. Menurut Hooker
Pluralisme hukum merupakan situasi dimana dua atau lebih hukum
saling berinteraksi. The term ‘legal pluralism’ refers to the situation in
which two or more laws interact (1975:3). Pendapatnya berangkat dari
peristiwa dimana negara-negara jajahan mulai memerdekakan diri dan
terjadi saling mempengaruhi antara hukum Eropa dengan hukum pribumi di
negara-negara jajahan. Menurutnya, situasi pluralisme hukum adalah suatu
pertemuan antara dua atau lebih kebudayaan (hukum) yang mengakibatkan
konflik mengenai prinsip-prinsip menjadi hal yang sangat biasa.
2.2.3. Menurut F. Benda-Beckmann
Menurutnya, jika keanekaragaman sistem hukum merupakan situasi yang
umum maka hal yang menarik bukanlah terletak pada dapat ditunjukkannya
keanekaragaman peraturan hukum, tetapi yang lebih penting adalah apakah
yang terkandung dalam keanekaragaman hukum itu, bagaimanakah sistem-
sistem hukum itu saling berinteraksi satu sama lain, macam manakah
keberadaan sistem-sistem hukum itu secara bersamaan dalam suatu
lapangan pengkajian tertentu (1990:2).
9. 9
BAB III
RELEVANSI PENGKAJIAN MASALAH KESEJAHTERAAN
SOSIAL DALAM HUKUM
Formulasi kesejahteraan sosial terletak dalam bentuk pranata hukum, termuat
dalam berbagai perundang-undangan, peraturan, hukum kebiasaan, nilai, norma dan
kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam arena sosial tempat orang mengadakan
interaksi. Dengan demikian relevansi mengkaji masalah kesejahteraan sosial dalam
pengkajian hukum adalah terletak pada tingkat abstraksi pertama yang diungkapkan
oleh Benda Beckmann, dimana istilah kesejahteraan sosial dapat mengacu pada
keragaman nilai-nilai, ideal-ideal, ideologi-ideologi dan dalam bentuknya yang
konkret ialah: tujuan-tujuan kebijakan.
Pengkajian kesejahteraan sosial pada tingkat abstraksi yang pertama ini
menghubungan antara nilai, cita-cita dan ideologi yang dianut suatu masyarakat
dengan program kesejahteraan yang ada. Dalam hal ini, manusia sebagai penganut
ideologi tersebut dipengaruhi oleh hukum yang berlaku di lingkungannya.
Kesejahteraan sosial di negara indonesia pada umumnya diselenggarakan oleh
negara, misalnya jaminan sosial, program kesejahteraan dalam bidang kesehatan,
pendidikan, dan digalakkannya koperasi. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial oleh
pemerintah seirngkali tidak tepat sasaran.
Selain itu, terdapat kesejahteraan sosial yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Kesejahteraan sosial yang terakhir itulah yang dalam kenyataannya justru lebih
banyak memberikan perlindungan sosial kepada orang banyak. Hal itu tidak
disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan upaya pemerintah, tetapi juga disebabkan
oleh tersedianya peluang-peluang yang sudah hidup dan berkembang dalam arena-
arena sosial.
Kesejahteraan sosial yang terdapat dalam masyarakat itu tersedianya dalam
hubungan-hubungan sosial: kelompok kekerabatan, persahabatan, pertetanggaan,
dan patronage dan brokerage. Hubungan-hubungan sosial yang melahirkan
10. 10
kesejahteraan sosial itu ditandai oleh hak dan kewajiban diantara orang-orang yang
terikat di dalam hubungan-hubungan tersebut.
Dalam buku berjudul 3 orientasi kesejahteraan sosial dijelaskan bahwa ada
beberapa pandangan mengenai kebijakan kesejahteraan sosial. Salah satunya adalah
perspektif institusional, yang menjelaskan fungsi institusi sosial dalam mencapai
kesejahteraan sosial. Ada tujuh institusi sosial dasar dimana aktivitas-aktivitas
pokok kehidupan masyarkat berlangsung, yaitu; kekeluargaan, agama, tempat kerja,
pasar, tolong-menolong, dan pemerintah. (Moh.suud: 97).
Kesejahteraan sosial dengan dasar hubungan kekerabatan merupakan bagian
yang terbesar yang hidup di masyarakat. Pranata yang mendasarinya terdapat dalam
agama atau adat, atau perpaduan di antara keduanya. Dengan demikian hukum atau
kebiasaan yang dianut oleh suatu masyarakat lebih banyak dan lebih mudah
membantu mereka dalam meningkatkan kesejahteraan sosial.
Misalnya, Zakat yang dikenal sebagai salah satu rukun dalam agama Islam
dapat dipandang sebagai salah satu sistem kesejahteraan sosial. Zakat diberikan
kepada mereka yang digolongkan sebagai orang miskin dan membutuhkan. Mereka
yang dipertimbangkan menerima zakat pertama-tama adalah mereka yang memiliki
hubungan sosial (kerabat, tetangga) dengan si pemberi zakat. Institusi sosial agama
mempunyai fungsi kesejahteraan sosial yaitu melalui pelayanan-pelayanan sosial
(Suud: 98)
Kesejahteraan sosial juga terbentuk dalam hubungan patronage dan brokerage.
Ilustrasi berikut menggambarkan hubungan patronage dan brokerage tersebut.
Seorang hakim yang tinggal di Kota Ambon, datang ke desa asalanya, Hila,
pada akhir minggu saja. Bersama istrinya ia membangun usaha pembuatan es
mambo bersama kerabatnya yang terdiri dari wanita dan anak-anak miskin.
Kerabat-kerabatnya ini merupakan tenaga kerja yang tidak bayar. Namun, bagi
para kerabatnya itu, usaha tersebut mendatangkan penghasilan, kebutuhan-
kebutuhannya dibayar oleh sang hakim dan istrinya, dan mereka mendapatkan
akses kepada hubungan-hubunga (koneksi) dengan lembaga-lembaga pemerintah
dan swasta. Sebaliknya, apa yang dilakukan sang hakim berserta istrinya itu adalah
merupakan investasi dalam pengertian ekonomi tetapi juga membangun hubungan
11. 11
sosial dengan kerabat-kerabatnya. Hal yang menarik dalam hal ini adalah pada
gilirannya sang hakim adalah juga merupakan calon penerima kesejahteraan
sosial di kemudian hari, karena apa yang dilakukannya itu adalah membangun
hubungan sosial dengan kerabat yang diharapkan akan menolongnya kembali bila
ia sudah tua dan pensiun, dan pulang ke kampung halaman. (1991:18-19).
Ilustrasi di atas mau menjelaskan bahwa usaha untuk mencapai kesjahteraan
sosial dalam arti yang sederdana di masyarakat desa tidak selalu dilakukan oleh
pemerintah pusat atau daerah. Sistem pranata atau hukum kebiasaan, hubungan
kekerabatan dan sistem kekeluargaaan lebih mudah dalam mencapai kesejahteraan
sosial. Sistem-sistem yang berlaku dalam masyarakat dipandang sebagai bentuk dari
pluralisme hukum. Pluralisme hukum ada dan berkembang karena setiap masyarakat
mempunyai hukum dan sistemnya sendiri-sendiri dalam mengatur kehidupan
bersama.
Meskipun masing-masing lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial memiliki
komunitas atau golongan-golongan sosial tertentu yang dilindunginya, namun dalam
praktiknya hampir tidak ditemukan seorang individu, kelompok, atau masyarakat
yang hanya terlindung dalam satu macam sistem kesejahteraan sosial saja. Setiap
orang dapat terjaring dalam berbagai macam mekanisme kesejahteraan sosial pada
waktu yang sama.
Kesejahteraan sosial bersifat kontekstual dan pluralistik. Oleh karena itu, di
samping terdapat pluralisme hukum, terdapat pula pluralisme kesejahteraan sosial.
Seseorang yang dianggap kategori “orang miskin” dan “orang yang membutuhkan”
yang perlu mendapat perlindungan kesejahteraan sosial akan berbeda menurut
sistem-sistem hukum negara, agama, adat, atau kebiasaan setempat yang lain.
Hal ini nampak dalam penelitian F dan K Von Benda Beckmann di Hila.
Seorang pegawai negeri yang sakit adalah “orang yang membutuhkan” perlindungan
kesejahteraan sosial menurut hukum negara, namun belum tentu masuk dalam
kategori “orang yang membutuhkan menurut adat, atau orang yang berhak
menerima zakat menurut agama”. Sebaliknya seorang guru yang tidak menikah,
tidak memiliki hubungan-hubungan sosial di desa yang asing tempat dia datang dan
menetap, tidaklah dianggap sebagai “orang yang membutuhkan” menurut sistem
12. 12
hukum negara, tetapi termasuk kategori orang “yang membutuhkan” menurut adat
(1991:22).
Namun, untuk kepentingan analitik, membuat pemisahan antara kesejahteraan
sosial yang dibuat negara, agama, ikatan-ikatan adat tradisional atau lokal, dan
ikatan-ikatan lain dapat mengakibatkan salah pengertian. Dan dalam praktiknya
sering terjadi saling interaksi dan pengaruh antara pranata-pranata hukum negara,
adat, agama, dan kebiasaan-kebiasaan setempat.
13. 13
BAB IV
PENUTUP
Setelah mengkaji dan membahas masalah kesejahteraan dalam sudut pandang
pliralisme hukum, pada bab ini penulis akan menyimpulkan berbagai hal yang telah
dibahas sebelumnya. Selain itu penulis mencoba memberikan jalan keluar dan saran
kepada pihak-pihak tertentu.
4.1. Kesimpulan
Kesejahteraan sosial berhubungan dengan masalah pangan, papan,
penanggungan terhadap orang yang tidak bisa bekerja lagi karena sakit; usia lanjut dan
kematian; pemeliharaan terhadap anak adan orang lanjut usia; penanggungan terhadap
anak dan istri apabila suami mereka sakit, menganggur, meninggal dan sebagainya
(Ihromi, 2001;237).
Masalah kesejahteraan sosial yang merupakan masalah non-sengketa dapat
diteliti dengan pendekatan pluralisme hukum. Pluralisme hukum merupakan bahan
kajian antroplogi hukum, karena pluralisme muncul disebabkan masyarakat memiliki
sistem pranta, hukum, atau nilai yang berbeda-beda yang dianutnya. Tidak cukup bila
hanya dapat ditunjukkan beberapa sistem hukum dalam suatu arena sosial atau lapangan
pengkajian, tetapi juga bagaimana sistem-sistem hukum yang majemuk itu
mempengaruhi perilaku orang, mempengaruhi pilihan orang mengenai pranata hukum
mana yang akan dipilihnya.
Tentu saja pilihan atas dasar kemungkinan mendapatkan akses kepada
sumberdaya sangatlah memainkan peranan penting. Maka dapat dilihat bagaimana
hukum bekerja dalam realita, dan bagaimana sistem-sistem hukum yang berbeda itu
saling mempengaruhi dan berinteraksi. Pengaruh dan interaksi antara sistem-sistem
hukum yang beraneka ragam itu berpengaruh langsung dengan usaha mencapai
kesejahteraan sosial.
Dalam realitanya hukum yang sudah lama berlaku dan telah dihidupi oleh
masyarakat seringkali lebih banyak membantu mereka untuk mencapai tujuan-tujuan
14. 14
bersama, termasuk usaha untuk mencapai kesejahteraan sosial. Oleh karena itu usaha
untuk membangun masyarakat harus dilakukan dengan memperhatikan hukum yang
hidup dan berlaku serta menjadi panduan kehidupan mereka.
Peran institusi-institusi sosial juga sangat besar dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan sosial. Cara kerja institusi itu lebih mudah diterima dan lebih cepat dalam
mencapai tujuan yang ingin dicapai masyarakat. Kenyataan itu menunjukkan bahwa
dalam kehidupan masyarakat pranata-pranata yang mereka anut dan hukum yang hidup
di dalamnya mempunyai peran yang lebih baik dibandingkan dengan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
4.2. Usul dan Saran
4.2.1. Bagi Masyarakat
Masyarakat hendaknya tetap mempertahankan kebiasaan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup, misalnya dengan usaha koperasi
Masyarakat diharapkan mau bekerja sama dengan pemerintah salam usaha
meningkatkan kesejahteraan.
Kebiasaan masyarakat yakni sikap saling membantu hendaknya tetap dijaga
dalam usaha mewujudkan kehidupan yang lebih baik
4.2.2. Bagi Pemerintah
Kebijakan pemerintah untuk mencapai masyarakat yang sejahtera diharapkan
sesuai dengan hukum atau pranata yang berlaku agar lebih mudah dilaksanakan
Pemerintah hendaknya mempelajari dan memahami hukum yang berlaku di
masyarakat sehingga tidak salah dalam membuat kebijakan.
Pemerintah hendaknya memberikan dukungan terhadap inisiatif masyarakat
dalam usaha mencapai kesejahteraan.
4.2.3. Bagi Institusi-Institusi sosial
Agar tetap membantu masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan sosial,
dengan usaha yang sesuai dengan budaya masyarakat.
15. 15
Agar membantu pemerintah dengan mengusulkan cara-cara yang tepat dalam
mencapai kesejahteraan sosial.
Institusi sosial hendaknya mendorong masyarakat dalam usaha meningkatkan
taraf hidup sosial, misalnya dengan membuka usaha yang mengurangi
pengangguran dalam masyarakat.
4.2.4. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa hendaknya peka terhadap permasalah sosial yang ada di sekitarnya
dan berinisiaif untuk menganalisis permasalahan itu
Mahasiswa diharapkan mampu mengaplikasikan pengetahuan yang diterimanya
di sekolah dalam sebuah karya ilmiah yang berguna untuk menambah
wawasannya dan wawasan bagi massyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Ihromi, T.O. 2001. Antropologi hukum; sebuah bunga rampai. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Suud, Mohammad. 2009. 3 orientasi kesejahteraan sosial. Jakarta: Rajawali Pers
WWW. Artikata.Com