2. Negara
Sebuah wilayah dapat dikatakan sebagai sebuah negara
jika wilayah tersebut telah memenuhi berbagai unsur yang
diperlukan oleh sebuah negara di dalamnya. Hingga saat
ini, jumlah negara yang di seluruh dunia mencapai 195
negara. Setiap negara tersebut memiliki bentuk
pemerintahan yang berbeda antara satu sama lain, dimana
ada yang menggunakan sistem pemerintahan kerajaan
sampai republik.
3. Prof. Nasroen
Prof. Miriam Budihardjo
Negara merupakan organisasi yang
ada di dalam suatu wilayah yang
dapat memaksakan kekuasaannya
yang sah terhadap semua golongan
kekuasaan yang berada di dalamnya
dan dapat menetapkan berbagai
tujuan dari kehidupan tersebut.
Sebuah negara adalah sebuah
bentuk pergaulan hidup. Oleh
karena itu, sebuah negara
harus ditinjau secara sosiologis
agar dapat dijelaskan serta
dipahami.
Prof. Dr. Djokosoetono, SH.
Negara sebagai organisasi manusia
maupun kumpulan individu yang berada
di bawah sebuah pemerintahan yang
sama.
Prof. Farid S.
negara merupakan sebuah wilayah
merdeka yang sudah mendapatkan
pengakuan dari negara lain serta
memiliki sebuah kedaulatan.
01 02
03
Negara Menurut Para Ahli
04
5. Konsep Teokratis
Negara teokrasi adalah sebuah negara yang
kedaulatannya ada pada Tuhan. Konsep teokratis
pada negara Islam muncul di era paling awal
sejarah Islam, yakni pada masa nabi Muhammad
SAW. Sebagaimana diketahui, dalam mengelola
negara dan masyarakat, nabi senantiasa
berdasarkan pada tuntunan dan bimbingan wahyu
dari Allah SWT. Konsep teokrasi ini tentunya tidak
akan dapat dilakukan lagi oleh siapapun setelahnya,
mengingat nabi merupakan orang terakhir yang
menerima wahyu dari Allah. Dengan kata lain, tidak
ada teokrasi dalam konsep negara Islam setelah
nabi Muhammad wafat, meskipun dia berdalih
menyandarkan semuanya pada Al-Quran dan As-
Sunnah.
6. Konsep Republik
Ketika nabi wafat, dan urusan pemerintahan beralih ke tangan Khulafaur Rasyidin, terjadi
perubahan-perubahan mendasar dalam pengelolaan pemerintahan Islam. Konsep teokrasi yang
pernah dijalankan nabi Muhammad digantikan dengan bentuk republik. Bentuk republik ini
dijalankan karena para Khalifah bukan lagi orang-orang yang menerima wahyu, layaknya para
rasul, meskipun para Khalifah tetap tunduk pada prinsip-prinsip dasar yang digariskan oleh Al-
Quran dan As-Sunnah. Dimulai oleh Abu Bakar, kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, pemerintahan Islam era Khulafaur Rasyidin mengambil
bentuk demokrasi dan republik. Beberapa pemikir politik dalam Islam berpendapat, bentuk
negara dan sistem pemerintahan di era Khulafaur Rasyidin inilah yang paling ideal dalam Islam.
Bahkan para pemikir Muslim di abad ke 19 dan 20 dengan tegas menyatakan bahwa kemuduran
umat Islam di era modern adalah karena umat Islam telah meninggalkan konsep negara yang
pernah diterapkan oleh para Khulafaur Rasyidin. Sarjana-sarjana Barat, sebut saja salah satunya
Philip K. Hitti, turut membenarkan pernyataan tersebut. Menurut Hitti, konsep negara dengan
bentuk republik yang dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin merupakan bentuk terbaik negara Islam
pasca nabi Muhammad.
7. Konsep Monarki
Setelah Ali bin Abi Thalib wafat, yang menandai berakhirnya era
kekalifahan, bentuk negara dalam Islam berubah dari republik ke
monarki (kerajaan). Muawiyah pionir berdirinya kerajaan bani
Umayyah- adalah pemimpin Islam pertama yang mengubah bentuk
pemerintahan tersebut. Sesuai dengan bentuk monarki, kepala negara
bersifat absout, kekuasaan terjadi secara turun temurun, dan
musyawarah kurang dilaksanakan. Bentuk monarki ini dilestarikan
oleh Dinasti Abbasiyah yang datang kemudian. Namun bedanya, pada
masa Muawiyah yang masih terpengaruh jiwa demokratis Arab
keabsolutan kepala negara belum terlalu menonjol. Sementara para
era Abbasiyah, keabsolutan itu meningkat. Dan keabsolutan itu
berada pada pucaknya ketika kekuasaan Turki Utsmani di Istambul
muncul. Kerajaan Turki Utsmani inilah yang nantinya akan menjadi
titik balik dan pusat perdebatan di kalangan umat Islam di dunia
mengenai bentuk negara ideal. Turki Utsmani dijadikan contoh
sebagai bentuk negara terburuk dalam sejarah Islam, dimana kepala
negara bukan saja absolute, namun juga memiliki sifat kekudusan.
8. Konsep Monarki
Konstitusional
Masuknya pengaruh Barat pada abad ke 19 ke dunia Islam dalam
bidang politik, membuat para pemikir Islam mulai membuka wacana
baru, terutama dalam paham konstitusi dan republik. Sebagai
akibatnya kemudian muncul gerakan konstitusionalisme dalam
gerakan Islam. Di antara para pemikir tersebut terdapat nama Rifa’ah
Badawi, Jamaludin Al-Afghani dan Khayr Al-Din At-Tunisi. Dari para
pemikir-pemikir tersebutlah kemudian disusunlah konstitusi pertama
di dunia Islam yang diumumkan di Tunisia pada tahun 1861,
menyusul kemudian di Turki pada tahun 1876. Pada pertengahan
abad ke 20 boleh dibilang hampir seluruh dunia Islam sudah
mempunyai konstitusi. Dengan demikian, terjadi perubahan penting
di dunia Islam, yaitu perubahan bentuk pemerintahan dari monarki
absolute menjadi monarki konstitusional.
9. Konsep Republik
Masih di abad ke 20, perubahan penting
terjadi pula ketika Musthafa Kemal Attaturk
(1881-1938) menghapus dinasti Turki
Utsmani dan melahirkan Republik Turki pada
tahun 1923, dan pada tahun 1924, Turki
kemudian berubah menjadi republik murni.
Berakhirnya sistem monarki dari Turki
memancing antusiasme para pemikir Muslim
untuk mulai membicarakan konsep negara
Islam secara lebih serius, terstruktur dan
sistematis.
10. Politik Dalam Islam
Islam menyebut politik dengan istilah Siyasah. Jika yang
dimaksud politik adalah siyasah mengatur segenap urusan umat,
maka Islam sangat menekankan pentingnya siyasah. Bahkan
Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau tahu terhadap
urusan umat. Tetapi jika siyasah diartikan sebagai orientasi
kekuasaan, maka sesungguhnya Islam memandang kekuasaan
hanya sebagai sarana menyempurnakan pengabdian kepada
Allah. Tapi Islam hanya menjadi sarana dalam masalah
kekuasaan.
11. Pandangan Islam Mengenai Politik
Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib.
Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-
Ghazali mengatakan bahwa Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi
sempurna kecuali dengan dunia. memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau
tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari
memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).
12. lengkapnya Imam Al- Ghazali mengatakan:
“Memperjuangkan kebaikan ajaran agama
dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa)
adalah saudara kembar. Agama adalah dasar
perjuangan, sedang penguasa kekuasaan
politik adalah pengawal perjuangan.
Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama
akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak
dikawal akan sia-sia”. Dari pandangan Al-
Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik
itu wajib karena berpolitik merupakan
prasyarat dari beragama dengan baik dan
nyaman. Begitulah islam memandang pollitik
13. Karena paraktiknya politik itu banyak diwarnai oleh perilaku
jahat, kotor, bohong, dan korup, timbullah kesan umum bahwa politik
(pada situasi tertentu) adalah kotor dan harus dihindari. Mujaddid Islam,
Muhammad Abduh, pun pernah marah kepada politik dan politisi karena
berdasarkan pengalaman dan pengamatannya waktu itu beliau melihat di
dalam politik itu banyak yang melanggar akhlak, banyak korupsi,
kebohongan, dan kecurangan-kecurangan.
14. Muhammad Abduh pernah mengungkapkan
doa taawwudz dalam kegiatan politik ,”Aku
berlindung kepada Allah dari masalah politik,
dari orang yang menekuni politik dan terlibat
urusan politik serta dari orang yang mengatur
politik dan dari orang yang diatur politik”.
Tetapi dengan mengacu pada filosofi Imam Al-
Ghazali menjadi jelas bahwa berpolitik itu
bagian dari kewajiban syari’at karena tugas-
tugas syari’at hanya bisa direalisasikan di
dalam dan melalui kekuasaan politik atau
penguasa (organisasi negara).
15. Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la yatimmul
wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan
kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/
dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak
bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula
hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal turunnya Islam,
muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan
Negara, dan Rasulullah, SAW, Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin islam
terdahulu telah membuktikanya.