3. Secara etismologis al-baghyu berasal dari kata بغى
-
يبغى
-
بغي yang berarti menuntut sesuatu. Kalau dalam kalimat
بغيا الناس على بغى artinya واعتد ظام berbuat dzalim dan
menganiaya. Kata juga berarti sombong atau takabbur.
Dikatakan demikian karna pelaku jarimah bersikap
takabbur dengan melampaui batas dalam menuntut
sesuatu yang bukan haknya.
Adapun secara terminologis, al-baghyu dikemukakan oleh
Abdul Qadir Audah dengan mengutip pendapat para
ulama mazhab
PENGER
TIAN
4. Menurut ulama kalangan malikiyyah
Pemberontakan adalah sikap menolak untuk taat terhadap seseorang yang dianggap sah
kepemimpinannya bukan lantaran kemaksiatan walaupun dengan argumentasi yang kuat.
Menurut ulama kalangan hanafiyah
Pemberontakan adalah yang keluar dari kedudukan terhadap penguasa yang benar.
Pemberotaknya ialah orang-orang islam yang keluar dari ketaatan terhadap penguasa yang
sah dengan cara tidak benar.
Menurut ulama kalangan Syafi’iyah, Imam Ramli mengemukakan.
Pemberotak adalah orang-orang islam yang membangkang terhadap penguasa dengan cara
keluar dan meninggalkan ketaatan yang ditunjukkan kepada mereka, dengan syarat adanya
kekuatan serta adanya tokoh yang diikuti di kalangan mereka.
5. Menurut imam An-Nawawi pemberontak menurut fuqoha adalah seseorang yang
menentang penguasa. Orang yang keluar dari ketundukannya dengan cara
meninggalkan kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia lakukan
Menurut ulama kalangan Hanabilah
Pemberontak adalah kelompok yang keluar dari ketundukan terhadap penguasa,
walaupun penguasa itu tidak adil dengan adanya alasan yang kuat. Kelompok ini
memiliki kekuatan, walaupun didalamnya tidak terdapat tokoh yang ditaati.
Abdul Qodir menyimpulkan bahwa pemberontakan adalah keluar dari kepemimpinan
negara dengan cara melakukan perlawanan.
6. Dalam tindak pidana pemberontakan
terdapat tiga unsur:
● Memberontak terhadap pemimpin
negara yang sah serta berdaulat
● dilakukan demonstratif
● Termasuk tindakan pidana
UNSUR-UNSUR JARIMAH AL-
BAGHYU
8. Maksudnya adalah upaya memberhentikan pemimpin negara dari jabatannya. Para
pemberontak tidak mematuhi peraturan yang ada serta tidak melaksanakan
kewajibannya sebagai warga negara.
Namun menurut ulama fiqh pemberontakan yang ada karna pemerintah mengarahkan
warganya untuk melakukan maksiat tidak dapat dikatakan Al-Baghyu. Jika seorang
kepala negara tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat, sekalipun
kebijakannya tidak selalu membawa kebaikan bagi seluruh rakyat, maka tetap wajib
didengar dan ditaati.
Menurut ulama Zhahiriyyah bahwa memberontak terhadap pemimpin negara
hukumnya haram, kecuali nyata-nyata ia zalim. Terlepas dari perbedaan pendapat dan
persoalan teknis mengenai pemberontakan, para ulama dari seluruh kalangan
mazhab telah sepakat bahwa untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku
jarimah pemberontakan tidak dapat dilakukan secara gegabah. Harus ada
konfirmasi mengapa mereka melakukan pemberontakan.
9. a. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka memberontak,
baik mereka mempunyai kekuatan senjata atau tidak
b. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka memberontak,
tetapi mereka tidak mempunyai kekuatan senjata
c. Kaum pemberontak mempunyai argumentasi dan juga memiliki kekuatan
senjata.
Imam Abu Hanifah, al-Syafi’i, dan Ahmad membedakan cara dan
alasan pemberontakan ini dilakukan menjadi tiga :
11. Maksudnya adalah didukung dengan kekuatan bersenjata. Dan menurut ulama fiqh,
sikap sekedar menolak kepala negara yang telah diangkat secara aklamasi bukan
termasuk al-Baghyu. Dicontohkan seperti kalangan Khawarij pada masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib, imam Syafi’i mengatakan:
“Sesungguhnya sekelompok orang yang menampakkan sikap seperti kaum khawarij
dengan memisahkan diri dari jamaah, bahkan menganggap jamaah tersebut kafir,
tidak menyebabkan diperbolehkannya memerangi kelompok ini sebab mereka masih
berada dibawah perlindungan iman. Hal ini tidak menyebabkan mereka murtad.”
Alasan tersebut dikemukakan karena karena mereka tidak termasuk
pemberontak adalah karena mereka tidak melakukannya secara demonstratif dengan
kekuatan bersenjata.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa kaum Khawarij dianggap
sebagai pemberontak karena mereka berkumpul bersama dan merencanakan
penyerangan. Hal ini cukup di jadikan indikasi akan adanya jarimah al-baghyu,
walaupun tidak bersikap demonstratif dengan menggunakan senjata
13. Maksudnya untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan berdaulat dengan
cara mengacau ketertiban umum. Namun apabila pemberontak tersebut tidak
mengacu untuk menggulingkan pemerintahan dan tidak pula melakukan tindak
pidana maka tidak dikatakan Al-Baghyu.
14. DASAR HUKUM JARIMAH BAGHYU
DALIL QUR’AN (QS. AL-HUJURAT: 9-10)
ِاَف ۚاَمُهَنۡيَب ا ۡ
وُحِل ۡصَاَف ا ۡ
وُلَتَتۡاق َنۡيِنِم ۡ
ؤُمۡال َنِم ِنٰتَفِٕٮٓاَط ۡ
ِنا َو
ى ٰ
ر ۡ
خُ ۡ
اۡل ىَلَع اَمُهٮٰد ۡ
ِحا ۡ
َتغَب ۡۢۡ
ن
ۡبَت ۡىِتَّال واُلِتاَقَف
ىِٰٓلا َءٓۡىِفَت ىّٰتَح ۡىِغ
ِا ؕا ۡ
وُطِسۡقَا َو ِلۡدَعۡالِب اَمُهَنۡيَب ا ۡ
وُحِل ۡصَاَف ۡ
تَءٓاَف ۡ
ِناَف ۚ ِ ّٰ
ّٰللا ِر ۡمَا
َنۡيِِطسۡقُمۡال ُّب ِحُي َ ّٰ
ّٰللا َّن
ترحمون لعلكم هللا واتقوا أخويكم بين فأصلحوا إخوة المؤمنون إنما
HADIST
Adapun Hadis tentang pemberontakkan adalah sabda Rasulullah SAW;
السائب وأبو ،كريب أبو حدثنا
(
جنادة بن سالم
:)
جده عن ،بردة أبي بن هللا عبد بن بريد عن أسامة أبو حدثنا
قال ،وسلم عليه هللا صلى النبي عن موس أبي عن ،بردة أبي
( :
منا فليسي السالح علينا حمل من )
“Abu Kuraib dan Abu as-Sa'ib Salim bin Janadah menyampaikan kepada kami dari Abu Usmah, dari
Buraid bin Abdullah bin Abu Burdah, dari kakeknya, Abu Burdah, dari Musa bahwa Nabi SAW
bersabda, "Siapa yang menghunus Senjata untuk memerangi kami maka dia bukan termasuk
golongan kami. (HR. Ibnu Umar)."
16. 1.
Para pemberontak
- tidak memiliki kekuatan senjata
- dan tidak menguasai daerah tertentu
sebagai basis mereka,
pemerintah boleh memenjarakan
mereka sampai mereka bertaubat.
2.
Para pemberontak
- menguasai suatu daerah
- dan memiliki kekuatan senjata,
pemerintah harus melakukan tindakan sesuai
dengan dalil bughat, berupa
himbauan bagi mereka untuk mematuhi segala
peraturan yang berlaku. Apabila usaha ini
disambut dengan gerakan senjata, pemerintah
boleh memerangi mereka.
Sanksi bagi Pelaku Jarimah Bughat
Dalam menentukan sanksi terhadap para pelaku pemberontak, ulama fiqh
membagi jarimah pemberontak itu menjadi dua bentuk, yaitu sebagai berikut:
17. Pertanggungjawaban pelaku jarimah Al-Baghyu
Pemisahan pertanggungjawaban pidana dan perdata bagi pelaku tindak pidana
al-baghyu berkaitan dengan waktu terjadinya jarimah ini,
1.
Pertanggungjawaban Sebelum dan Sesudah
Terjadinya Pemberontakan.
Apabila mereka melakukan pembunuhan,
pencurian, dan pemerkosaan; mereka harus
dikenakan sanksi pidana sesuai dengan jarimah
yang mereka lakukan. Apabila mereka membunuh,
mereka diqishash; apabila mereka mencuri, tangan
mereka dipotong; apabila mereka memerkosa,
mereka dikenakan hukuman zina; apabila mereka
melenyapkan harta, mereka dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
2.
Pertanggungjawaban pada Saat Terjadi
Pemberontakan.
Ulama mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan
Syafi'i bersepakat bahwa para pemberontak
yang memiliki argumentasi kuat, tidak
berkewajiban mengganti harta dan jiwa yang
terbunuh ketika terjadi kontak senjata
18. Delik Pemberontakan (Bughat) sebenarnya mirip dengan delik murtad
atau “Ahl ridah”, bedannya hanyalah bahwa pelaku delik pemberontakan ini
masih tetap beriman, tetapi ia menentang kekuasaan umum. Dalam delik murtad
sebenarmya Tindakan keluar dari agama (murtad) atau barisan kaum muslimin
yang disebut di atas, juga sangat erat sekali kaitannya dengan Tindakan melawan
dan menentang Nabi seperti yang diuraikan di atas. Pada masa-masa awal
perkembangan Islam, Tindakan murtad itu selalu bermakna perlawanan atau
pemberontakan. Oleh karena itu, orang murtad itu diperangi sampai bertobat.
Demikian pula orang yang memberontak, walaupun tetap beriman juga diancam
untuk diperang.
19. Setiap tata krama itu pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai oleh pembuatnya.
karena itu kalau tidak ada maka pembuatan tata aturan itu menjadi sia-sia serta tidak
mencerminkan kebijaksanaan pikiran pembuatnya. Begitu pula adanya larangan
contempt of court / menghina peradilan menurut Islam itu mempunyai tujuan. Dalam
membahas mengenai tujuan diadakanya larangan penghinaan itu tidaklah dapat
dilepaskan dari tujuan diadakanya tata hukum pidana khususnya pidana Islam.
Adapun tujuan diadakanya pidana dalam hukum pidana Islam itu ada dua macam :
● Untuk memelihara kemuliaan masyarakat dari penetapan hukum yang jelas
● Untuk kemanfaatan dan kemaslahatan umum.
Hikmah Dan Falsafah Jarimah Baghyu
20. Sedangkan menurut Abdul Qadir sudah
bahwa tujuan syari’at Islam mewajibkan
adanya pidana bagi orang yang melanggar
hukum Allah adalah untuk memperbaiki
keadaan manusia serta menjaga mereka
dari kerusakan dan menunjukkan ke arah
yang tidak menyesatkan dan mencegah
dari maksiat dan mengajak mereka untuk
taat dan menyelamatkan diri dari
kebodohan.
22. Perbuatan bughat atau perbuatan yang melampaui batas dalam hukum positif
Indonesia bisa disebutkan juga dengan istilah MAKAR.
Dalam KUHP pasal 107 KUHP menentukan bahwa perbuatan makar dengan
maksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Menggulingkan
pemerintahan yang sah dapat diartikan karna adanya niat dan permualaan
pelaksanaan.
Dalam perspektif hukum pidana, perbuatan makar terdapat dalam serangkaian
peraturan yang saling berkaitan. Adalah pasal 87, 104, 106, 107 KUHP yang
merupakan dasar hukum makar yang dapat kita temukan dalam beberapa pasal
KUHP yang seluruhnya saling berkaitan.
Tindak pidana makar ada 3 macam, yakni makar terhadap nyawa, atau
kemerdekaan Presiden dan Wakil Presiden, makar terhadap wilayah Negara,
dan makar terhadap pemerintahan
23. PASAL 104 KUHP PASAL 106 KUHP PASAL 107 KUHP
menjelaskan tentang perbuatan makar
yang dilakukan terhadap nyawa, atau
kemerdekaan Presiden atau Wakil
Presiden.
menjelaskan perbuatan makar terhadap
wilayah negara,
perbuatan makar yang dilakukan terhadap
pemerintahan
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
a.Makar dengan maksud menggulingkan
pemerintahan,
(diancam dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun
b. Para pemimpin dan pengatur makar
(diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun)