SlideShare a Scribd company logo
1 of 9
PEMBUNUHAN DENGAN DAYA PAKSA (OVERMACHT) 
A. Pendahuluan. 
Dalam kehidupan bermasyarakat kita tentunya selalu berhadapan dengan beraneka norma hukum yang 
ditaati dan dipatuhi, karena dalam norma hukum tersebut memuat suatu aturan yang menjadi acuan 
atau pegangan hidup bagi setiap individu. Di mana salah satu tujuan dari norma hukum adalah 
mengadakan keselamatan dan tatatertib di dalam masyarakat. Norma-norma hukum tersebut 
adakalanya lahir dalam perintah supaya dilakukan dan adakalanya lahir dalam bentuk larangan supaya 
dihindari atau tidak dilakukan. Salah satu dari norma hukum yang lahir dalam wujud larangan adalah 
tindak pidana pembunuhan yang pada akhirnya akan masuk kedalam lingkup pidana.[1] 
Delik pembunuhan merupakan salah satu tindakan yang dilarang menurut undang-undang (KUHP) 
maupun menurut syari’at. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini dianggap melanggar salah satu tujuan 
yang telah ditetapkan oleh syari’ah (Maqashid al-Syari’ah) yaitu memelihara nyawa, oleh karena itu 
tidak dibenarkan secara hukum, dilanggar kemuliaannya dan tidak boleh dianggap remeh. 
Allah menyatakan di dalam al-Qur’an : 
٣٣ : تلإ امتء} مَت نلسقن مو لَّسْووق تل لُُلتو لاْ قِلالملسو لْو اقلْ سَ ل ل لاِلوو ان لْس لُقو نلمقْنََ قَل تو نلمو ل ل اَللو لَّوَْ وقُ مَْ رو ت لاُ ت سْلف نو لُقُقْتَ وَ وَ } 
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan 
dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami 
telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam 
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al-Isra’ : 33) 
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan, dan janganlah kamu membunuh jiwa baik 
jiwa orang lain maupun jiwamu sendiri yang dibenarkan agama. Dan bagi yang dibunuh secara zhalim 
maka ahli warisnya berhak untuk menuntut “qishash” atau ganti rugi kepada keluarganya si pembunuh 
melalui hakim yang berwenang. Sesungguhnya orang yang terbunuh itu adalah orang yang telah 
dimenangkan dengan ketetapan hukum yang adil melaui ketetapan Allah.[2] 
Manusia dalam menjalankan kehidupan ber-masyarakat, tentunya mengenal norma-norma yang harus 
ditaati, yang memuat suatu ketentuan dengan segala macam cara atau menghalalkan segala cara 
sehingga dapat menyebabkan suatu tindakan pidana dalam perbuatan yang bisa diancam dengan 
hukum. Jadi apabila seseorang melakukan tindakan pidana terhadap orang lain dan terbukti 
melakukannya, maka si pelaku akan dikenakan hukuman yang sesuai dengan tindakannya. 
Hukum Pidana Islam membagi perbuatan pem-bunuhan kepada tiga hal : 
1. Pembunuhan sengaja ( .(ت ننق تَُ 
2. Pembunuhan semi sengaja ( .(ت ننق ش وِّ تَُ
3. Pembunuhan karena kekeliruan.[3] 
Dari ketiga macam pembunuhan ini dapat diketahui bahwa pembunuhan dengan sengaja dapat dijatuhi 
hukuman qishash. Qishash berarti memberlakukan seseorang sebagaimana orang itu memperlakukan 
orang lain. Atau dengan kata lain, mengikuti jejak si Fulan apabila si Fulan diperlakukan sebagaimana ia 
memperlakukan orang lain. Oleh karena itu, qishash adalah mengikuti darah yang tertumpah dengan 
pembalasan penumpahan darah.[4] Atau dimaafkan dengan gantinya pembayaran denda, yang 
diputuskan sendiri oleh keluarga si terbunuh. Lalu bagaimanakah jika pembunuhan ini terjadi 
dikarenakan adanya paksaan dari orang lain. 
Pemakasaan dalam hukum Islam dikenal dengan sebutan al-ikrah, yakni : 
5]ت شق قِ تلأذ ى أ ت ن ت لَُّس أ أ تَ اام ضمب ت هُق قِ أ تُُ عَ قِ مَِه ن ع ىْ ت غ مِ نَت ] 
Artinya : “Menganjurkan seseorang terhadap suatu yang dibenci dengan ancaman akan dibunuh, 
dipukul, dipenjarakan, dirusak hartanya, atau siksaan yang pedih”. 
Al-ikrah atau pemaksaan sendiri terbagi menjadi dua bagian : 
1. Pemaksaan untuk berkata sesuatu. 
2. Pemaksaan untuk berbuat sesuatu. 
Hal ini semua berdasarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala di dalam al-Qur’an : 
١٠٦ : ت س تَ}… ل لللإ ن لمو قنل نملمُو لَْقِّووق أقللَمهو نلمو لَّوَْ لَّ ن سللوو لِّنلقو لنلمو ل اول فَ مو نلمو } 
Artinya : “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), 
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…” (QS. 
An-Nahl : 106) 
Berbeda dengan hukum pidana positif. Dalam pandangan hukum pidana positif bahwa pembentukan 
undang-undang membuat aturan-aturan bertujuan untuk mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya. 
Ada banyak hal baik yang bersifat objektif maupun subyektif yang mendorong dan 
mempengaruhi ketika seseorang mewujudkan suatu tingkah laku yang pada kenyataannya dilarang oleh 
undang‑undang. Pemikiran yang semacam inilah yang mendasarkan dibentuknya ketentuan umum 
perihal faktor-faktor yang meyebabkan tidak dipidananya si pelaku.[6] 
Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) menentukan ada 7 (tujuh) yang menyebabkan tidak dapat 
dipidananya si pelaku. Salah satunya adalah karena ada Daya Paksa (Overmacht : pasal 48). Dalam suatu 
keadaan gawat, seseorang sering harus memilih antara dua kepentingan yang salah satunya harus 
dikorbankan untuk menyelamatkan kepentingan yang lain. Kalau ini terjadi timbul persoalan, apakah ini 
sama dengan adanya overmacht dari pasal 48 K KUHP, yang isinya “barang siapa yang melakukan 
perbuatan karena adanya daya paksa tidak di pidana”. Dengan kata lain apakah seseorang, yang
dianggap terpaksa berbuat sesuatu itu selalu dianggap bebas ataukah ini telah dianggap melakukan 
perbuatan melanggar hukum. 
Seseorang yang dipaksa ketika memilih melakukan jarimah, maka suatu bahaya menimpa orang lain dan 
sebaliknya. Dan ketika ia memilih ancaman, maka bahaya akan menimpa dirinya. Kedua keadaan itu 
dilarang oleh syari’at melarang seseorang untuk menimbulkan bahaya pada orang lain. Sebagaimana ia 
melarangnya untuk membawa dirinya dalam kehancuran. Jadi seseorang yang ketika mengadakan 
pilihan sehenarnya ia memilih dua perkara yang berbahaya dan dilarang.[7] Dengan demikian, keadaan 
seperti ini akan mempengaruhi terhadap diri pelaku kejahatan, karena sebenarnya dia dapat dituntut 
dan dapat dijatuhi hukuman, akan tetapi pada akhirnya si pelaku tindak pidana tersebut dapat 
dibebaskan dari tuntutan dan kejahatan hukum, karena adanya hal yang bertalian dengan perbuatan 
sendiri atau dengan keadaan diri si pelaku. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapatlah penulis 
rumuskan masalahnya yakni; bagaimana pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif 
tentang akibat hukum orang yang membunuh karena adanya daya paksa (overmacht) ? 
B. Pembahasan. 
1. Klasifikasi Kejahatan Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif. 
Klasikasi kejahatan yang paling penting dan paling banyak dibahas para ahli hukum Islam adalah hudud, 
qishash dan ta’zir. Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana 
Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik. Tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan hudud 
tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun, terutama sekali, berkaitan dengan apa 
yang disebut hak Allah. 
Dengan demikian, kejahatan dalam kategori ini dapat didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam 
dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah. Dalam definisi ini, hukuman 
yang ditentukan, berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitasnya ditentukan dan ia tidak mengenal 
tingkatan. Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang tergolong kejahatan hudud ada tujuh 
kejahatan yaitu riddah (murtad), al-baghy (pemberontakan), zina, qadzaf (tuduhan palsu zina), sariqah 
(pencurian), hirabah (perampokan), dan shurb al-khamr (meminum khamar).[8] 
Kategori berikutnya adalah qishash. Ia jatuh pada posisi di tengah antara kejahatan hudud dan ta’zir 
dalam hal beratnya. Kejahatan dalam kategori qishash ini kurang serius dibanding yang pertama 
(hudud), namun lebih berat dari pada yang berikutnya yakni ta’zir. Sasaran dari kejahatan ini adalah 
integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri dari apa yang dikenal dalam hukum 
pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau crimes agianst persons. 
Kategori terahir adalah kejahatan ta’zir. Landasan ini penentuan hukumnya di dasarkan pada ijma’ 
(konsensus) berkaitan dengan hak negara muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum 
semua perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian/kerusakan fisik, sosial, politik, 
finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.
Adapun dalam hukum pidana positif, klasifikasi kejahatan adalah misdrijven dan overtredingen. 
Kejahatan pertama merupakan perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang 
sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang 
bertentangan dengan tata-hukum. Sedangkan yang kedua merupakan perbuatan-perbuatan yang sifat 
melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah keterangan yang menentukan demikian.[9] 
2. Macam-Macam Pembunuhan Menurut Hukum Islam. 
Hukum Islam menetapkan faktor niat sebagai hal yang sangat menetukan bobot perbuatan yang 
dilakukan manusia. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa amal manusia 
ditentukan oleh niat dalam hatinya. Bagi manusia diberlakukan perbuatannya berdasarkan apa yang 
diniatkannya. 
10 ]{ت خِّ مى م تَه}… س ت تلأع ن ت سَّ ن ] 
Artinya : “Sesungguhnya setiap amal itu sesuai dengan niatnya”. 
Sejalan dengan itu, kaidah hukum Islam menyatakan bahwa ; 
11 ] نِّ نقه تلأن مَ ] 
Artinya : “Segala perbuatan manusia tergantung maksud si pelakunya”. 
Oleh karena itu, kaidah hukum Islam membagi perbuatan pembunuhan kepada tiga macam : 
a. Pembunuhan sengaja ( .(ت ننق تَُ 
Yakni pembunuhan yang diniatkan oleh si pelaku. Misalnya si pelaku memukul korbannya dengan alat 
tertentu yang diyakini bisa mematikan. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam al- 
Qur’an surat al-Maidah ayat 45 : 
٤٥ : ت ن م قة}…ل سْلفلنو نوت سْلوف أ مْو ل ه ع لِلهلرو لِّس } 
Artinya : “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) 
dengan jiwa…” 
b. Pembunuhan semi sengaja ( .(ت ننق ش وِّ تَُ 
Ini jenis pembunuhan yang dengan tidak sengaja ingin membunuh. Misalnya, sengaja memukul 
seseorang dengan suatu alat yang biasanya tidak akan berakibat kematian, tetapi ternyata membuat 
kematian. Jadi, memukulnya disengaja, tetapi tidak ada maksud membunuh. 
c. Pembunuhan karena kekeliruan.
Ini pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain tetapi niat sama sekali tidak untuk 
mencederai orang tersebut, tapi yang dituju adalah makhluk lain. Misalnya seseorang bermaksud 
menembak rusa, tapi yang terkena manusia sehingga membuat mati. Hal ini berdasarkan firman Allah 
dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 92 : 
٩٢ : ت س ا ء}… خ وَط لَّوَْ قنلملنسَ لُِقُ تو أ لمو ل قنلملنمِو مو ن } 
Artinya : “Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena 
tersalah (tidak sengaja)…” 
3. Pengertian Daya Paksa Menurut Hukum Islam. 
Daya paksa di dalam fiqh disebut dengan al-ikrah,[12] yang berarti menekan se­seorang 
untuk 
melakukan sesuatu yang tidak diri­dhainya 
atau secara paksa. Pembahasan ikrah ber­kaitan 
dengan 
persoalan tindakan hukum seseorang dan akibatnya. Secara bahasa al-ikrah, adalah : 
13 ] أ شَمع نَِّ قِه مَِ أنم ع ىْ تلإس ا م نَت ] 
Artinya : “menganjurkan seseorang untuk melakukan suatu perintah yang tidak diinginkannya secara 
pribadi maupun secara syara’.” 
Dan secara istilah adalah : 
14 ]ت شق قِ تلأذ ى أ ت ن ت لَُّس أ أ تَ اام ضمب ت هُق قِ أ تُُ عَ قِ مَِه ن ع ىْ ت غ مِ نَت ] 
Artinya : “Menganjurkan seseorang terhadap suatu yang dibenci dengan ancaman akan dibunuh, 
dipukul, dipenjarakan, dirusak hartanya, atau siksaan yang pedih”. 
Ulama sepakat mendefinisikan ikrah dengan “pemaksaan seseorang untuk melakukan sesuatu yang 
tidak diridoinya dan juga bukan pilihannya untuk melakukan secara langsung perbuatan ter­sebut”.[ 
15] 
Yang dimaksud dengan ridha adalah secara sukarela dan bermotivasi dalam melakukan sesuatu. Adapun 
yang dimaksudkan dengan pilihan adalah keputusan yang diambil setelah melakukan pertim­bangan 
antara berbuat dan tidak berbuat. Kedua aspek ini dalam ikrah tidak ada sama sekali. Dari definisi ini, 
tergambar bahwa ikrah “merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan seseorang atas dasar 
tekanan dari pihak lain yang disertai ancaman sehingga apabila orang yang dipaksa tidak melakukan 
perbuatan tersebut, keselamatan jiwa atau anggota tubuhnya bisa terancam”.[16] 
Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa, beberapa pengertian telah diberikan oleh fuqaha’ tentang paksaan. 
Pertama, paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain, dan oleh 
karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua, paksaan ialah suatu 
perbuatan yang keluar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu 
keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang diminta­kan 
daripadanya. Ketiga, 
paksaan menimpakan ancaman atas orang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan 
sesuatu sehingga karenanya hilang kerelaannya. Keempat, paksaan ialah apa yang ditimpakan pada
orang lain, yaitu yang membahayakan­nya 
atau menyakitinya. Kelima, batasan tentang paksaan ialah 
apa­bila 
sesuatu hukuman (ancaman) segera yang cukup mempenga­ruhi 
orang yang berakal pikiran 
sehat untuk mengerjakan apa yang dipaksakan padanya, serta timbul dugaan kuat pada dirinya bahwa 
ancaman tersebut akan dikenakan benar-benar apabila ia menolak apa yang dipaksakan kepadanya.[17] 
4. Hukum Pembunuhan dengan Daya Paksa. 
Ulama fiqh se­pakat 
bahwa jika seseorang dipaksa untuk mem­bunuh 
ia berdosa. Akan tetapi, terjadi 
perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum qishash (pembunuhan) jika ikrah-nya sempurna. 
Imam Abu Hanifah, Muhammad Hasan al-Syaibani, Daud az-Zahiri, Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah 
satu riwayatnya, dan Imam al-Syafi’i menyatakan bahwa orang yang dipaksa tidak dikenakan qishash. 
Yang dikenakan hukuman qishash adalah orang yang memaksa, sedangkan orang yang dipaksa 
dikenakan hukuman ta’zir (hukuman yang penentuannya didelegasikan syarak kepada hakim). Alasan 
mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam lbnu Majah, at-Tabrani, dan al- 
Hakim. Akan tetapi Zufar bin Huzail bin Qais, ahli fiqh Mazhab Hanafi dan Ibnu Hazm me­nyatakan 
bahwa orang yang terpaksa dikenakan hukuman qishash, karena pembunuh sebenarnya ada­lah 
dia 
(pelaku), sedangkan orang yang memaksa hanyalah penyebab, dan untuk penyebab tidak dikenakan 
hukuman. Imam Abu Yusuf menyatakan baik orang yang terpaksa maupun yang memaksa tidak 
dikenakan hukuman qishash, karena dalam kasus seperti ini terjadi keraguan,[18] sedangkan Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: 
19 ]{ت هِِّ اُ م تَه}ل شهقِّ ه لتو تل ققَققَو تلق مقء تَ : ل لفلمو : لََل لوو لنلمو علسووق وقُ ملض او علْااو علمو ] 
Artinya : “Hindarkan hukuman hudud dalam kasus yang ada unsur keraguannya” (HR. al-Baihaqi). 
Akan tetapi, menurut Imam Abu Yusuf, orang yang terpaksa tersebut dikenakan diyat (denda 
pembunuhan), sedangkan orang yang memaksa tidak dikenakan sama sekali. Ulama Mazhab Maliki, 
pendapat yang terkuat di kalangan Mazhab dan pendapat standar dalam Mazhab Hanbali menyatakan 
bahwa ke­duanya 
di-qishash, karena masing-masing punya andil dalam pembunuhan tersebut. Akan 
tetapi, jika ikrah-­nya 
bersifat al-naqis, maka yang dikenakan hu­kuman 
qishash adalah orang yang 
terpaksa, karena masih ada pilihan baginya.[20] 
Kalau diteliti lebih mendalam tentang pendapat-pendapat pada fuqaha’ di atas, maka akan terlihat 
bahwa paksaan dapat menghilangkan kerelaan hati, tetapi tidak menghilangkan pilihan. Orang yang 
dipaksa tidak hi­lang 
sama sekali pilihannya tetapi pilihan itu hanya menjadi tidak normal dan menjadi 
sempit daerahnya, sehingga ia tidak bisa berbuat lain, kecuali harus memilih antara dua perkara yaitu 
melakukan jarimah atau menerima bahaya dari pemaksa. Kalau pertanggunganjawab pidana di dasarkan 
atas pilihan pem­buat 
maka selama masih ada pilihan tersebut, berarti pertanggunganjawaban pidana 
tersebut tetap ada, sebab bagaimanapun juga ia bisa memilih. 
Seorang yang dipaksa ketika memilih melakukan jarimah maka suatu bahaya akan menimpa orang lain, 
dan sebaliknya ketika ia memilih ancaman maka bahaya akan menimpa dirinya. Kedua keadaan ini 
dilarang oleh syari’at Islam, karena syari’at ini melarang seseorang untuk menimbulkan bahaya pada 
orang lain sebagaimana ia melarangnya untuk membawakan diri­nya 
dalam kehancuran. Jadi orang yang
dipaksa ketika mengada­kan 
pilihan sebenarnya ia memilih antara dua perkara yang dila­rang 
atau 
antara dua bahaya. Untuk hal ini syari’at Islam telah membuat dua kaidah hukum. 
Kaidah pertama berbunyi; Suatu bahaya tidak boleh dihi­langkah 
dengan bahaya lain (ad-dhararu la 
yuzalu bi ad-dharari). Jadi menurut kaidah hukum tersebut seseorang tidak boleh me­nyelamatkan 
harta 
sendiri dengan jalan menghancurkan harta orang lain, atau seseorang yang sedang sakit berat tidak 
boleh mengambil (menyorot) obat orang lain yang juga mengalami sakit berat dan sama penyakitnya. 
Kaidah hukum kedua berbunyi; Salah satu dari kedua perbuatan yang mengakibatkan bahaya (kerugian) 
boleh dikerja­kan 
untuk menjauhkan perbuatan yang mengakibatkan bahaya yang lebih besar (inna 
akhaffa ad-dhararaini yurtakabu littiqaai asyaddihima). 
Penerapan kedua kaidah hukum tersebut menghapuskan pada orang yang dipaksa untuk memilih satu 
perbuatan dari kedua perbuatan yang dihadapi. Jadi kalau ia mengerjakannya maka se­benarnya, 
ia 
tidak memilihnya, melainkan terpaksa untuk me­ngadakannya, 
sesuai dengan adanya paksaan dan 
dengan adanya hukum syari’at Islam. Jadi pilihannya menjadi hilang sama sekali dan oleh karena itu 
hapuslah pertanggunganjawab pidana, karena tidak adanya pilihan dan oleh karena itu maka hapuslah 
hukuman. 
Akan tetapi apabila orang yang dipaksa menyalahi kedua kaidah hukum tersebut, dan ia menolak bahaya 
dengan bahaya lagi atau menolak bahaya yang lebih ringan dengan (menimbulkan) bahaya yang besar, 
maka artinya orang tersebut mempunyai pilihan, dan dengan adanya pilihan ini pertanggunganjawab­pidana 
tidak hapus dan hukuman juga tidak hapus, meskipun daerah pilihan itu sempit. 
Ketika orang yang dipaksa kemudian membunuh orang lain, di mana perbuatan ini dikerjakannya 
dengan maksud untuk menghindarkan kematian atau penganiyaan berat dari dirinya sendiri, di mana ia 
sebenarnya tidak boleh menolak bahaya, yaitu kematian dirinya, dengan bahaya lain yang sama atau 
lebih berat, yaitu kematian orang lain. Kalau ia berbuat demikian berarti ia mempunyai pilihan, 
meskipun sempit daerahnya, pilihan ini tidak bisa menghapuskan pertanggungan jawab pidana, dan oleh 
karenanya ia dijatuhi hukuman atas pembunuhan yang dilakukannya. 
Tidak jauh berbeda dengan penjelasan di dalam hukum pidana positif, dimana di dalam pasal 48 KUHP 
Indonesia berbunyi sebagai berikut; “Orang yang melakukan perbuatan karena ia terdorong oleh 
sesuatu sebab paksaan tidak dapat dihukum”. Menurut bunyi pasal tersebut, daya-paksa (sebab 
paksaan), berat-lawan, sebab-kadar, kuasa-tak-terlawan, sebab paksa (over­macht), 
menjadi dasar 
peniadaan hukuman. Akan tetapi tersebut tidak memberikan pengertian dan penjelasan tentang 
dayapaksa itu sendiri. Datangnya dayapaksa tersebut sebagaimana yang dapat diartikan secara luas dari 
kata-kata “terdorong”, adakalanya dari manusia atau dari gejala-gejala alam keadaan dan serangan 
hewan. Juga bisa berupa dorongan materiil atau dorongan kejiwaan. Seseorang yang melakukan suatu 
perbuatan misalnya dengan menuntut untuk membela badan atau membela kesusilaan atau harta 
benda miliknya atau orang lain dari serangan yang melawan hukum, yang dihadapi seketika itu atau 
dikhawatirkan segera akan menimpa, hingga dengan cara membunuh, maka ia tidak dihukum. Inilah 
yang disebut Dasar Penghapus Pidana dari kelompok Dasar Pembenaran, yaitu daya paksa.
Daya paksa merupakan alasan pembenar, sebab jika dalam hal yang demikian ketentuan hukum masih 
tetap dipertahankan, maka di situ ternyata bahwa tata hukum menghendaki supaya orang mempunyai 
keberanian yang luar biasa (heldenmoed) seperti dalam halnya Karneades jika hal yang tak mungkin 
sama sekali (dwaasheid). Karenanya, dalam dayapaksa di situ tatahukum me­nerima 
saja apa yang 
terjadi (berust in het gebeurde). Perbuatan pidana yang dilakukan orang karena pengaruh daya-paksa 
di­terima 
sebagai sebuah pembenar. 
Segala perbuatan yang dilakukan orang karena pengaruh dayapaksa, di mana fungsi batinnya tak dapat 
bekerja secara normal karena adanya tekanan-tekanan dari luar, orang itu dapat dimaafkan 
kesalahan­nya. 
Hal ini tidak mungkin ditentukan secara umum, tapi harus dilihat bertalian dengan 
keadaan-keadaan yang khusus ada dalam masing-masing perkara. Dan apabila dalam suatu perkara 
hakim menentukan bahwa besarnya kekuatan yang mendorong ke arah dilakukannya suatu perbuatan 
pidana, adalah kurang cukup untuk dikualifisir sebagai dayapaksa dalam arti pasal 48, maka hemat 
penulis hal bahwa itu hanya dapat dinyatakan dalam pengurangan pidana yang akan dijatuhkan. 
C. Kesimpulan. 
Pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang akibat hukum orang yang membunuh 
karena adanya daya paksa (overmacht) tidaklah berbeda. Dalam hukum Islam ditetapakan, bahwa 
seseorang yang dipaksa untuk membunuh tetap berdosa. Akan tetapi, yang dikenakan hukuman qishash 
adalah orang yang memaksa, sedangkan orang yang dipaksa dikenakan hukuman ta’zir (hukuman yang 
penentuannya didelegasikan syara’ kepada hakim). Sedangkan dalam hukum pidana positif dimana di 
dalam pasal 48 KUHP Indonesia berbunyi sebagai berikut; “Orang yang melakukan perbuatan karena ia 
terdorong oleh sesuatu sebab paksaan tidak dapat dihukum”. Segala perbuatan yang dilakukan orang 
karena pengaruh dayapaksa, di mana fungsi batinnya tak dapat bekerja secara normal karena adanya 
tekanan-tekanan dari luar, orang itu dapat dimaafkan kesalahan­nya. 
[1] Moel Jatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Citra, 1993), h. 13 
[2] M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah ; Pesan kesan dan keserasian Al-Qur’an Volume 7, (Jakarta: 
Lentera Hati, 2007), h. 458 
[3] Muhammad Amin Suma dkk, Pidana Islam di Indonesia; Peluang Prospek dan Tantangan, (Jakarta: 
Pustaka Firdaus, 2001), h. 94-96 
[4] Ibid., h. 90 
[5] As-Syekh As-Said Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid III, (Mesir: Daar Al-Fikr, 1983), h. 355 
[6] Adnan Ghazawi, Pelajar Hukum Pidana ; Penafsiran Hukum Pidana Dasar Hukum Penundaan 
Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, (Jakarta: Raja 
Grafindo Persada, 2002), h. 15 
[7] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 363
[8] Muhammad bin Ibrahim ibn Jubair, Criminal Law in Islam and the Muslim World: A Comparative 
Perspective, (Delhi: Institut of Objektive Studies, 1996), h. 54-55 
[9] Moeljanto, op.cit., h. 71 
[10] Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Sohih Al-Bukhari Juz I, (Semarang: Usaha Keluarga, 
t.th.), h. 6 
[11] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Padang Panjang: Sa’diyah Putra, t.th.), h. 22 
[12] Ahmad Warson Munawwir, al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al- 
Munawwir, 1984), h. 1294 
[13] As-Syekh As-Said Sabiq, op.cit., h. 355 
[14] Ibid. 
[15] Abdul Aziz Dahlan…(et al.)., op.cit., h. 682 
[16] Ibid. 
[17] Ahmad Hanafi, op.cit., h. 354 
[18] Abdul Aziz Dahlan…(et al.)., op.cit., h. 684 
[19] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.), Jilid 4, h. 15 
[20] Abdul Aziz Dahlan…(et al.)., Loc.Cit.

More Related Content

What's hot

Nota mudah memahami hukum hudud
Nota mudah memahami hukum hududNota mudah memahami hukum hudud
Nota mudah memahami hukum hududkatsumaru
 
Fiqih jinayah
Fiqih jinayahFiqih jinayah
Fiqih jinayahAzat Net
 
MAKALAH TA'ZIR FIQH JINAYAH PIDANA ISLAM
MAKALAH TA'ZIR FIQH JINAYAH PIDANA ISLAMMAKALAH TA'ZIR FIQH JINAYAH PIDANA ISLAM
MAKALAH TA'ZIR FIQH JINAYAH PIDANA ISLAMDian Oktavia
 
(Unit 4) jenayah islam ( hudud )-1
(Unit 4)   jenayah islam ( hudud )-1(Unit 4)   jenayah islam ( hudud )-1
(Unit 4) jenayah islam ( hudud )-1Norni Wahab
 
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan Qazaf
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan QazafMakalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan Qazaf
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan QazafAZA Zulfi
 
Konsep kehakiman dalam islam f5
Konsep kehakiman dalam islam f5Konsep kehakiman dalam islam f5
Konsep kehakiman dalam islam f5Fadlan Fadzy
 
Hudud,qisas,diat,dan takzir
Hudud,qisas,diat,dan takzirHudud,qisas,diat,dan takzir
Hudud,qisas,diat,dan takzirshashahussein
 
Islamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islamIslamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islamEdi Awaludin
 
Pengertian stuktur sosial
Pengertian stuktur sosialPengertian stuktur sosial
Pengertian stuktur sosialMastur Demak
 
Jenayah Dalam Islam (Pendidikan Syariah Islamiah)
Jenayah Dalam Islam (Pendidikan Syariah Islamiah)Jenayah Dalam Islam (Pendidikan Syariah Islamiah)
Jenayah Dalam Islam (Pendidikan Syariah Islamiah)najwanabila
 
jarimah ta'zir
jarimah ta'zirjarimah ta'zir
jarimah ta'zirswirawan
 
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010Fathur Rohman
 
Nilai nilai anti-korupsi dalam agama
Nilai nilai anti-korupsi dalam agamaNilai nilai anti-korupsi dalam agama
Nilai nilai anti-korupsi dalam agamaMahfudz spdi
 
Ham dan implementasinya dalam keluarga training diklat
Ham dan implementasinya dalam keluarga training diklatHam dan implementasinya dalam keluarga training diklat
Ham dan implementasinya dalam keluarga training diklatMeehawk
 

What's hot (20)

Nota mudah memahami hukum hudud
Nota mudah memahami hukum hududNota mudah memahami hukum hudud
Nota mudah memahami hukum hudud
 
Fiqih jinayah
Fiqih jinayahFiqih jinayah
Fiqih jinayah
 
Power point msi
Power point msiPower point msi
Power point msi
 
MAKALAH TA'ZIR FIQH JINAYAH PIDANA ISLAM
MAKALAH TA'ZIR FIQH JINAYAH PIDANA ISLAMMAKALAH TA'ZIR FIQH JINAYAH PIDANA ISLAM
MAKALAH TA'ZIR FIQH JINAYAH PIDANA ISLAM
 
(Unit 4) jenayah islam ( hudud )-1
(Unit 4)   jenayah islam ( hudud )-1(Unit 4)   jenayah islam ( hudud )-1
(Unit 4) jenayah islam ( hudud )-1
 
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan Qazaf
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan QazafMakalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan Qazaf
Makalah Fikih Jinayah tentang Jarimah Hudud, Zina dan Qazaf
 
Konsep kehakiman dalam islam f5
Konsep kehakiman dalam islam f5Konsep kehakiman dalam islam f5
Konsep kehakiman dalam islam f5
 
Hudud,qisas,diat,dan takzir
Hudud,qisas,diat,dan takzirHudud,qisas,diat,dan takzir
Hudud,qisas,diat,dan takzir
 
Pembunuhan dan qishosh
Pembunuhan dan qishoshPembunuhan dan qishosh
Pembunuhan dan qishosh
 
Ta’zir
Ta’zirTa’zir
Ta’zir
 
Islamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islamIslamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islam
 
Qisas,diyat
Qisas,diyatQisas,diyat
Qisas,diyat
 
Pengertian stuktur sosial
Pengertian stuktur sosialPengertian stuktur sosial
Pengertian stuktur sosial
 
Jenayah Dalam Islam (Pendidikan Syariah Islamiah)
Jenayah Dalam Islam (Pendidikan Syariah Islamiah)Jenayah Dalam Islam (Pendidikan Syariah Islamiah)
Jenayah Dalam Islam (Pendidikan Syariah Islamiah)
 
jarimah ta'zir
jarimah ta'zirjarimah ta'zir
jarimah ta'zir
 
Je nayah dalam islam
Je nayah dalam islamJe nayah dalam islam
Je nayah dalam islam
 
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010
Materi 7 nilai nilai anti-korupsi dalam agama 2010
 
Nilai nilai anti-korupsi dalam agama
Nilai nilai anti-korupsi dalam agamaNilai nilai anti-korupsi dalam agama
Nilai nilai anti-korupsi dalam agama
 
konsep syariah
konsep syariahkonsep syariah
konsep syariah
 
Ham dan implementasinya dalam keluarga training diklat
Ham dan implementasinya dalam keluarga training diklatHam dan implementasinya dalam keluarga training diklat
Ham dan implementasinya dalam keluarga training diklat
 

Similar to Pembunuhan dengan daya paksa ( overmach ) menurut islam

26.33020210152_AN NISAA DARWISY FITRADA.pdf
26.33020210152_AN NISAA DARWISY FITRADA.pdf26.33020210152_AN NISAA DARWISY FITRADA.pdf
26.33020210152_AN NISAA DARWISY FITRADA.pdfRINIRISDAYANTI0125
 
PERBEZAAN_ANTARA_HUDUD.docx
PERBEZAAN_ANTARA_HUDUD.docxPERBEZAAN_ANTARA_HUDUD.docx
PERBEZAAN_ANTARA_HUDUD.docxAimanFirdaus40
 
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-Jawi
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-JawiKeunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-Jawi
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-JawiAnas Wibowo
 
PPT Fikih Jinayah. Kelompok 1.pptx
PPT Fikih Jinayah. Kelompok 1.pptxPPT Fikih Jinayah. Kelompok 1.pptx
PPT Fikih Jinayah. Kelompok 1.pptxRINIRISDAYANTI0125
 
Jarimah Hudud.doc.docx
Jarimah Hudud.doc.docxJarimah Hudud.doc.docx
Jarimah Hudud.doc.docxsodre muhamad
 
Bahan makalah tujuan dan fungsi hukum islam
Bahan makalah tujuan dan fungsi hukum islamBahan makalah tujuan dan fungsi hukum islam
Bahan makalah tujuan dan fungsi hukum islamSholehKhuddin
 
(13) Hukum Pidana Islam.pptx
(13) Hukum Pidana Islam.pptx(13) Hukum Pidana Islam.pptx
(13) Hukum Pidana Islam.pptxMrFirmansyah1
 
4. 33020210030_AMBAR SETIANI.pdf
4. 33020210030_AMBAR SETIANI.pdf4. 33020210030_AMBAR SETIANI.pdf
4. 33020210030_AMBAR SETIANI.pdfRINIRISDAYANTI0125
 
Maqhasid as syariah dan qishas pemikiran
Maqhasid as syariah dan qishas pemikiranMaqhasid as syariah dan qishas pemikiran
Maqhasid as syariah dan qishas pemikiranFAI Unmuh Ponorogo
 
28. 33020210156_Adam Ibnu Pratama .pdf
28. 33020210156_Adam Ibnu Pratama .pdf28. 33020210156_Adam Ibnu Pratama .pdf
28. 33020210156_Adam Ibnu Pratama .pdfRINIRISDAYANTI0125
 
main hakim sendiri. tugas filsafat hukum
main hakim sendiri. tugas filsafat hukummain hakim sendiri. tugas filsafat hukum
main hakim sendiri. tugas filsafat hukumnidaulhasanah9
 
5. 33020210031_Fatilah Nuraeni.pdf
5. 33020210031_Fatilah Nuraeni.pdf5. 33020210031_Fatilah Nuraeni.pdf
5. 33020210031_Fatilah Nuraeni.pdfRINIRISDAYANTI0125
 
hubungan jarimah dan larangan syara' & Asas Legalitas.pptx
hubungan jarimah dan larangan syara' & Asas Legalitas.pptxhubungan jarimah dan larangan syara' & Asas Legalitas.pptx
hubungan jarimah dan larangan syara' & Asas Legalitas.pptxAlimuddinLimun
 
Etika Soisial Hk. Mati.pptx
Etika Soisial Hk. Mati.pptxEtika Soisial Hk. Mati.pptx
Etika Soisial Hk. Mati.pptxKikoKoe
 
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukan
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukanPertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukan
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukanyudikrismen1
 

Similar to Pembunuhan dengan daya paksa ( overmach ) menurut islam (20)

26.33020210152_AN NISAA DARWISY FITRADA.pdf
26.33020210152_AN NISAA DARWISY FITRADA.pdf26.33020210152_AN NISAA DARWISY FITRADA.pdf
26.33020210152_AN NISAA DARWISY FITRADA.pdf
 
PERBEZAAN_ANTARA_HUDUD.docx
PERBEZAAN_ANTARA_HUDUD.docxPERBEZAAN_ANTARA_HUDUD.docx
PERBEZAAN_ANTARA_HUDUD.docx
 
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-Jawi
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-JawiKeunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-Jawi
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-Jawi
 
7. 33020210037_Sekarwati.pdf
7. 33020210037_Sekarwati.pdf7. 33020210037_Sekarwati.pdf
7. 33020210037_Sekarwati.pdf
 
PPT Fikih Jinayah. Kelompok 1.pptx
PPT Fikih Jinayah. Kelompok 1.pptxPPT Fikih Jinayah. Kelompok 1.pptx
PPT Fikih Jinayah. Kelompok 1.pptx
 
Jarimah Hudud.doc.docx
Jarimah Hudud.doc.docxJarimah Hudud.doc.docx
Jarimah Hudud.doc.docx
 
Bahan makalah tujuan dan fungsi hukum islam
Bahan makalah tujuan dan fungsi hukum islamBahan makalah tujuan dan fungsi hukum islam
Bahan makalah tujuan dan fungsi hukum islam
 
(13) Hukum Pidana Islam.pptx
(13) Hukum Pidana Islam.pptx(13) Hukum Pidana Islam.pptx
(13) Hukum Pidana Islam.pptx
 
Makalah hukum islam
Makalah hukum islamMakalah hukum islam
Makalah hukum islam
 
4. 33020210030_AMBAR SETIANI.pdf
4. 33020210030_AMBAR SETIANI.pdf4. 33020210030_AMBAR SETIANI.pdf
4. 33020210030_AMBAR SETIANI.pdf
 
jinayat.pptx
jinayat.pptxjinayat.pptx
jinayat.pptx
 
Maqhasid as syariah dan qishas pemikiran
Maqhasid as syariah dan qishas pemikiranMaqhasid as syariah dan qishas pemikiran
Maqhasid as syariah dan qishas pemikiran
 
28. 33020210156_Adam Ibnu Pratama .pdf
28. 33020210156_Adam Ibnu Pratama .pdf28. 33020210156_Adam Ibnu Pratama .pdf
28. 33020210156_Adam Ibnu Pratama .pdf
 
Dosa Besar Merampok
Dosa Besar MerampokDosa Besar Merampok
Dosa Besar Merampok
 
main hakim sendiri. tugas filsafat hukum
main hakim sendiri. tugas filsafat hukummain hakim sendiri. tugas filsafat hukum
main hakim sendiri. tugas filsafat hukum
 
Bab 3 ham kls x retno
Bab 3 ham kls x   retnoBab 3 ham kls x   retno
Bab 3 ham kls x retno
 
5. 33020210031_Fatilah Nuraeni.pdf
5. 33020210031_Fatilah Nuraeni.pdf5. 33020210031_Fatilah Nuraeni.pdf
5. 33020210031_Fatilah Nuraeni.pdf
 
hubungan jarimah dan larangan syara' & Asas Legalitas.pptx
hubungan jarimah dan larangan syara' & Asas Legalitas.pptxhubungan jarimah dan larangan syara' & Asas Legalitas.pptx
hubungan jarimah dan larangan syara' & Asas Legalitas.pptx
 
Etika Soisial Hk. Mati.pptx
Etika Soisial Hk. Mati.pptxEtika Soisial Hk. Mati.pptx
Etika Soisial Hk. Mati.pptx
 
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukan
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukanPertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukan
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukan
 

Recently uploaded

Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxbinsar17
 
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptxYudisHaqqiPrasetya
 
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaSesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaYogaJanuarR
 
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxPengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxEkoPriadi3
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxFucekBoy5
 
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxBPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxendang nainggolan
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxFeniannisa
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanIqbaalKamalludin1
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptAlMaliki1
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptJhonatanMuram
 
file power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdffile power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdfAgungIstri3
 
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaIndra Wardhana
 

Recently uploaded (12)

Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
 
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
 
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaSesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
 
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxPengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
 
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxBPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
 
file power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdffile power point Hukum acara PERDATA.pdf
file power point Hukum acara PERDATA.pdf
 
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
 

Pembunuhan dengan daya paksa ( overmach ) menurut islam

  • 1. PEMBUNUHAN DENGAN DAYA PAKSA (OVERMACHT) A. Pendahuluan. Dalam kehidupan bermasyarakat kita tentunya selalu berhadapan dengan beraneka norma hukum yang ditaati dan dipatuhi, karena dalam norma hukum tersebut memuat suatu aturan yang menjadi acuan atau pegangan hidup bagi setiap individu. Di mana salah satu tujuan dari norma hukum adalah mengadakan keselamatan dan tatatertib di dalam masyarakat. Norma-norma hukum tersebut adakalanya lahir dalam perintah supaya dilakukan dan adakalanya lahir dalam bentuk larangan supaya dihindari atau tidak dilakukan. Salah satu dari norma hukum yang lahir dalam wujud larangan adalah tindak pidana pembunuhan yang pada akhirnya akan masuk kedalam lingkup pidana.[1] Delik pembunuhan merupakan salah satu tindakan yang dilarang menurut undang-undang (KUHP) maupun menurut syari’at. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini dianggap melanggar salah satu tujuan yang telah ditetapkan oleh syari’ah (Maqashid al-Syari’ah) yaitu memelihara nyawa, oleh karena itu tidak dibenarkan secara hukum, dilanggar kemuliaannya dan tidak boleh dianggap remeh. Allah menyatakan di dalam al-Qur’an : ٣٣ : تلإ امتء} مَت نلسقن مو لَّسْووق تل لُُلتو لاْ قِلالملسو لْو اقلْ سَ ل ل لاِلوو ان لْس لُقو نلمقْنََ قَل تو نلمو ل ل اَللو لَّوَْ وقُ مَْ رو ت لاُ ت سْلف نو لُقُقْتَ وَ وَ } Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al-Isra’ : 33) M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan, dan janganlah kamu membunuh jiwa baik jiwa orang lain maupun jiwamu sendiri yang dibenarkan agama. Dan bagi yang dibunuh secara zhalim maka ahli warisnya berhak untuk menuntut “qishash” atau ganti rugi kepada keluarganya si pembunuh melalui hakim yang berwenang. Sesungguhnya orang yang terbunuh itu adalah orang yang telah dimenangkan dengan ketetapan hukum yang adil melaui ketetapan Allah.[2] Manusia dalam menjalankan kehidupan ber-masyarakat, tentunya mengenal norma-norma yang harus ditaati, yang memuat suatu ketentuan dengan segala macam cara atau menghalalkan segala cara sehingga dapat menyebabkan suatu tindakan pidana dalam perbuatan yang bisa diancam dengan hukum. Jadi apabila seseorang melakukan tindakan pidana terhadap orang lain dan terbukti melakukannya, maka si pelaku akan dikenakan hukuman yang sesuai dengan tindakannya. Hukum Pidana Islam membagi perbuatan pem-bunuhan kepada tiga hal : 1. Pembunuhan sengaja ( .(ت ننق تَُ 2. Pembunuhan semi sengaja ( .(ت ننق ش وِّ تَُ
  • 2. 3. Pembunuhan karena kekeliruan.[3] Dari ketiga macam pembunuhan ini dapat diketahui bahwa pembunuhan dengan sengaja dapat dijatuhi hukuman qishash. Qishash berarti memberlakukan seseorang sebagaimana orang itu memperlakukan orang lain. Atau dengan kata lain, mengikuti jejak si Fulan apabila si Fulan diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan orang lain. Oleh karena itu, qishash adalah mengikuti darah yang tertumpah dengan pembalasan penumpahan darah.[4] Atau dimaafkan dengan gantinya pembayaran denda, yang diputuskan sendiri oleh keluarga si terbunuh. Lalu bagaimanakah jika pembunuhan ini terjadi dikarenakan adanya paksaan dari orang lain. Pemakasaan dalam hukum Islam dikenal dengan sebutan al-ikrah, yakni : 5]ت شق قِ تلأذ ى أ ت ن ت لَُّس أ أ تَ اام ضمب ت هُق قِ أ تُُ عَ قِ مَِه ن ع ىْ ت غ مِ نَت ] Artinya : “Menganjurkan seseorang terhadap suatu yang dibenci dengan ancaman akan dibunuh, dipukul, dipenjarakan, dirusak hartanya, atau siksaan yang pedih”. Al-ikrah atau pemaksaan sendiri terbagi menjadi dua bagian : 1. Pemaksaan untuk berkata sesuatu. 2. Pemaksaan untuk berbuat sesuatu. Hal ini semua berdasarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala di dalam al-Qur’an : ١٠٦ : ت س تَ}… ل لللإ ن لمو قنل نملمُو لَْقِّووق أقللَمهو نلمو لَّوَْ لَّ ن سللوو لِّنلقو لنلمو ل اول فَ مو نلمو } Artinya : “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…” (QS. An-Nahl : 106) Berbeda dengan hukum pidana positif. Dalam pandangan hukum pidana positif bahwa pembentukan undang-undang membuat aturan-aturan bertujuan untuk mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya. Ada banyak hal baik yang bersifat objektif maupun subyektif yang mendorong dan mempengaruhi ketika seseorang mewujudkan suatu tingkah laku yang pada kenyataannya dilarang oleh undang‑undang. Pemikiran yang semacam inilah yang mendasarkan dibentuknya ketentuan umum perihal faktor-faktor yang meyebabkan tidak dipidananya si pelaku.[6] Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) menentukan ada 7 (tujuh) yang menyebabkan tidak dapat dipidananya si pelaku. Salah satunya adalah karena ada Daya Paksa (Overmacht : pasal 48). Dalam suatu keadaan gawat, seseorang sering harus memilih antara dua kepentingan yang salah satunya harus dikorbankan untuk menyelamatkan kepentingan yang lain. Kalau ini terjadi timbul persoalan, apakah ini sama dengan adanya overmacht dari pasal 48 K KUHP, yang isinya “barang siapa yang melakukan perbuatan karena adanya daya paksa tidak di pidana”. Dengan kata lain apakah seseorang, yang
  • 3. dianggap terpaksa berbuat sesuatu itu selalu dianggap bebas ataukah ini telah dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum. Seseorang yang dipaksa ketika memilih melakukan jarimah, maka suatu bahaya menimpa orang lain dan sebaliknya. Dan ketika ia memilih ancaman, maka bahaya akan menimpa dirinya. Kedua keadaan itu dilarang oleh syari’at melarang seseorang untuk menimbulkan bahaya pada orang lain. Sebagaimana ia melarangnya untuk membawa dirinya dalam kehancuran. Jadi seseorang yang ketika mengadakan pilihan sehenarnya ia memilih dua perkara yang berbahaya dan dilarang.[7] Dengan demikian, keadaan seperti ini akan mempengaruhi terhadap diri pelaku kejahatan, karena sebenarnya dia dapat dituntut dan dapat dijatuhi hukuman, akan tetapi pada akhirnya si pelaku tindak pidana tersebut dapat dibebaskan dari tuntutan dan kejahatan hukum, karena adanya hal yang bertalian dengan perbuatan sendiri atau dengan keadaan diri si pelaku. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapatlah penulis rumuskan masalahnya yakni; bagaimana pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang akibat hukum orang yang membunuh karena adanya daya paksa (overmacht) ? B. Pembahasan. 1. Klasifikasi Kejahatan Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif. Klasikasi kejahatan yang paling penting dan paling banyak dibahas para ahli hukum Islam adalah hudud, qishash dan ta’zir. Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik. Tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan hudud tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun, terutama sekali, berkaitan dengan apa yang disebut hak Allah. Dengan demikian, kejahatan dalam kategori ini dapat didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah. Dalam definisi ini, hukuman yang ditentukan, berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitasnya ditentukan dan ia tidak mengenal tingkatan. Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang tergolong kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu riddah (murtad), al-baghy (pemberontakan), zina, qadzaf (tuduhan palsu zina), sariqah (pencurian), hirabah (perampokan), dan shurb al-khamr (meminum khamar).[8] Kategori berikutnya adalah qishash. Ia jatuh pada posisi di tengah antara kejahatan hudud dan ta’zir dalam hal beratnya. Kejahatan dalam kategori qishash ini kurang serius dibanding yang pertama (hudud), namun lebih berat dari pada yang berikutnya yakni ta’zir. Sasaran dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri dari apa yang dikenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau crimes agianst persons. Kategori terahir adalah kejahatan ta’zir. Landasan ini penentuan hukumnya di dasarkan pada ijma’ (konsensus) berkaitan dengan hak negara muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian/kerusakan fisik, sosial, politik, finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.
  • 4. Adapun dalam hukum pidana positif, klasifikasi kejahatan adalah misdrijven dan overtredingen. Kejahatan pertama merupakan perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata-hukum. Sedangkan yang kedua merupakan perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah keterangan yang menentukan demikian.[9] 2. Macam-Macam Pembunuhan Menurut Hukum Islam. Hukum Islam menetapkan faktor niat sebagai hal yang sangat menetukan bobot perbuatan yang dilakukan manusia. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa amal manusia ditentukan oleh niat dalam hatinya. Bagi manusia diberlakukan perbuatannya berdasarkan apa yang diniatkannya. 10 ]{ت خِّ مى م تَه}… س ت تلأع ن ت سَّ ن ] Artinya : “Sesungguhnya setiap amal itu sesuai dengan niatnya”. Sejalan dengan itu, kaidah hukum Islam menyatakan bahwa ; 11 ] نِّ نقه تلأن مَ ] Artinya : “Segala perbuatan manusia tergantung maksud si pelakunya”. Oleh karena itu, kaidah hukum Islam membagi perbuatan pembunuhan kepada tiga macam : a. Pembunuhan sengaja ( .(ت ننق تَُ Yakni pembunuhan yang diniatkan oleh si pelaku. Misalnya si pelaku memukul korbannya dengan alat tertentu yang diyakini bisa mematikan. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam al- Qur’an surat al-Maidah ayat 45 : ٤٥ : ت ن م قة}…ل سْلفلنو نوت سْلوف أ مْو ل ه ع لِلهلرو لِّس } Artinya : “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa…” b. Pembunuhan semi sengaja ( .(ت ننق ش وِّ تَُ Ini jenis pembunuhan yang dengan tidak sengaja ingin membunuh. Misalnya, sengaja memukul seseorang dengan suatu alat yang biasanya tidak akan berakibat kematian, tetapi ternyata membuat kematian. Jadi, memukulnya disengaja, tetapi tidak ada maksud membunuh. c. Pembunuhan karena kekeliruan.
  • 5. Ini pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain tetapi niat sama sekali tidak untuk mencederai orang tersebut, tapi yang dituju adalah makhluk lain. Misalnya seseorang bermaksud menembak rusa, tapi yang terkena manusia sehingga membuat mati. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 92 : ٩٢ : ت س ا ء}… خ وَط لَّوَْ قنلملنسَ لُِقُ تو أ لمو ل قنلملنمِو مو ن } Artinya : “Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” 3. Pengertian Daya Paksa Menurut Hukum Islam. Daya paksa di dalam fiqh disebut dengan al-ikrah,[12] yang berarti menekan se­seorang untuk melakukan sesuatu yang tidak diri­dhainya atau secara paksa. Pembahasan ikrah ber­kaitan dengan persoalan tindakan hukum seseorang dan akibatnya. Secara bahasa al-ikrah, adalah : 13 ] أ شَمع نَِّ قِه مَِ أنم ع ىْ تلإس ا م نَت ] Artinya : “menganjurkan seseorang untuk melakukan suatu perintah yang tidak diinginkannya secara pribadi maupun secara syara’.” Dan secara istilah adalah : 14 ]ت شق قِ تلأذ ى أ ت ن ت لَُّس أ أ تَ اام ضمب ت هُق قِ أ تُُ عَ قِ مَِه ن ع ىْ ت غ مِ نَت ] Artinya : “Menganjurkan seseorang terhadap suatu yang dibenci dengan ancaman akan dibunuh, dipukul, dipenjarakan, dirusak hartanya, atau siksaan yang pedih”. Ulama sepakat mendefinisikan ikrah dengan “pemaksaan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak diridoinya dan juga bukan pilihannya untuk melakukan secara langsung perbuatan ter­sebut”.[ 15] Yang dimaksud dengan ridha adalah secara sukarela dan bermotivasi dalam melakukan sesuatu. Adapun yang dimaksudkan dengan pilihan adalah keputusan yang diambil setelah melakukan pertim­bangan antara berbuat dan tidak berbuat. Kedua aspek ini dalam ikrah tidak ada sama sekali. Dari definisi ini, tergambar bahwa ikrah “merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan seseorang atas dasar tekanan dari pihak lain yang disertai ancaman sehingga apabila orang yang dipaksa tidak melakukan perbuatan tersebut, keselamatan jiwa atau anggota tubuhnya bisa terancam”.[16] Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa, beberapa pengertian telah diberikan oleh fuqaha’ tentang paksaan. Pertama, paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain, dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua, paksaan ialah suatu perbuatan yang keluar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang diminta­kan daripadanya. Ketiga, paksaan menimpakan ancaman atas orang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan sesuatu sehingga karenanya hilang kerelaannya. Keempat, paksaan ialah apa yang ditimpakan pada
  • 6. orang lain, yaitu yang membahayakan­nya atau menyakitinya. Kelima, batasan tentang paksaan ialah apa­bila sesuatu hukuman (ancaman) segera yang cukup mempenga­ruhi orang yang berakal pikiran sehat untuk mengerjakan apa yang dipaksakan padanya, serta timbul dugaan kuat pada dirinya bahwa ancaman tersebut akan dikenakan benar-benar apabila ia menolak apa yang dipaksakan kepadanya.[17] 4. Hukum Pembunuhan dengan Daya Paksa. Ulama fiqh se­pakat bahwa jika seseorang dipaksa untuk mem­bunuh ia berdosa. Akan tetapi, terjadi perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum qishash (pembunuhan) jika ikrah-nya sempurna. Imam Abu Hanifah, Muhammad Hasan al-Syaibani, Daud az-Zahiri, Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya, dan Imam al-Syafi’i menyatakan bahwa orang yang dipaksa tidak dikenakan qishash. Yang dikenakan hukuman qishash adalah orang yang memaksa, sedangkan orang yang dipaksa dikenakan hukuman ta’zir (hukuman yang penentuannya didelegasikan syarak kepada hakim). Alasan mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam lbnu Majah, at-Tabrani, dan al- Hakim. Akan tetapi Zufar bin Huzail bin Qais, ahli fiqh Mazhab Hanafi dan Ibnu Hazm me­nyatakan bahwa orang yang terpaksa dikenakan hukuman qishash, karena pembunuh sebenarnya ada­lah dia (pelaku), sedangkan orang yang memaksa hanyalah penyebab, dan untuk penyebab tidak dikenakan hukuman. Imam Abu Yusuf menyatakan baik orang yang terpaksa maupun yang memaksa tidak dikenakan hukuman qishash, karena dalam kasus seperti ini terjadi keraguan,[18] sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: 19 ]{ت هِِّ اُ م تَه}ل شهقِّ ه لتو تل ققَققَو تلق مقء تَ : ل لفلمو : لََل لوو لنلمو علسووق وقُ ملض او علْااو علمو ] Artinya : “Hindarkan hukuman hudud dalam kasus yang ada unsur keraguannya” (HR. al-Baihaqi). Akan tetapi, menurut Imam Abu Yusuf, orang yang terpaksa tersebut dikenakan diyat (denda pembunuhan), sedangkan orang yang memaksa tidak dikenakan sama sekali. Ulama Mazhab Maliki, pendapat yang terkuat di kalangan Mazhab dan pendapat standar dalam Mazhab Hanbali menyatakan bahwa ke­duanya di-qishash, karena masing-masing punya andil dalam pembunuhan tersebut. Akan tetapi, jika ikrah-­nya bersifat al-naqis, maka yang dikenakan hu­kuman qishash adalah orang yang terpaksa, karena masih ada pilihan baginya.[20] Kalau diteliti lebih mendalam tentang pendapat-pendapat pada fuqaha’ di atas, maka akan terlihat bahwa paksaan dapat menghilangkan kerelaan hati, tetapi tidak menghilangkan pilihan. Orang yang dipaksa tidak hi­lang sama sekali pilihannya tetapi pilihan itu hanya menjadi tidak normal dan menjadi sempit daerahnya, sehingga ia tidak bisa berbuat lain, kecuali harus memilih antara dua perkara yaitu melakukan jarimah atau menerima bahaya dari pemaksa. Kalau pertanggunganjawab pidana di dasarkan atas pilihan pem­buat maka selama masih ada pilihan tersebut, berarti pertanggunganjawaban pidana tersebut tetap ada, sebab bagaimanapun juga ia bisa memilih. Seorang yang dipaksa ketika memilih melakukan jarimah maka suatu bahaya akan menimpa orang lain, dan sebaliknya ketika ia memilih ancaman maka bahaya akan menimpa dirinya. Kedua keadaan ini dilarang oleh syari’at Islam, karena syari’at ini melarang seseorang untuk menimbulkan bahaya pada orang lain sebagaimana ia melarangnya untuk membawakan diri­nya dalam kehancuran. Jadi orang yang
  • 7. dipaksa ketika mengada­kan pilihan sebenarnya ia memilih antara dua perkara yang dila­rang atau antara dua bahaya. Untuk hal ini syari’at Islam telah membuat dua kaidah hukum. Kaidah pertama berbunyi; Suatu bahaya tidak boleh dihi­langkah dengan bahaya lain (ad-dhararu la yuzalu bi ad-dharari). Jadi menurut kaidah hukum tersebut seseorang tidak boleh me­nyelamatkan harta sendiri dengan jalan menghancurkan harta orang lain, atau seseorang yang sedang sakit berat tidak boleh mengambil (menyorot) obat orang lain yang juga mengalami sakit berat dan sama penyakitnya. Kaidah hukum kedua berbunyi; Salah satu dari kedua perbuatan yang mengakibatkan bahaya (kerugian) boleh dikerja­kan untuk menjauhkan perbuatan yang mengakibatkan bahaya yang lebih besar (inna akhaffa ad-dhararaini yurtakabu littiqaai asyaddihima). Penerapan kedua kaidah hukum tersebut menghapuskan pada orang yang dipaksa untuk memilih satu perbuatan dari kedua perbuatan yang dihadapi. Jadi kalau ia mengerjakannya maka se­benarnya, ia tidak memilihnya, melainkan terpaksa untuk me­ngadakannya, sesuai dengan adanya paksaan dan dengan adanya hukum syari’at Islam. Jadi pilihannya menjadi hilang sama sekali dan oleh karena itu hapuslah pertanggunganjawab pidana, karena tidak adanya pilihan dan oleh karena itu maka hapuslah hukuman. Akan tetapi apabila orang yang dipaksa menyalahi kedua kaidah hukum tersebut, dan ia menolak bahaya dengan bahaya lagi atau menolak bahaya yang lebih ringan dengan (menimbulkan) bahaya yang besar, maka artinya orang tersebut mempunyai pilihan, dan dengan adanya pilihan ini pertanggunganjawab­pidana tidak hapus dan hukuman juga tidak hapus, meskipun daerah pilihan itu sempit. Ketika orang yang dipaksa kemudian membunuh orang lain, di mana perbuatan ini dikerjakannya dengan maksud untuk menghindarkan kematian atau penganiyaan berat dari dirinya sendiri, di mana ia sebenarnya tidak boleh menolak bahaya, yaitu kematian dirinya, dengan bahaya lain yang sama atau lebih berat, yaitu kematian orang lain. Kalau ia berbuat demikian berarti ia mempunyai pilihan, meskipun sempit daerahnya, pilihan ini tidak bisa menghapuskan pertanggungan jawab pidana, dan oleh karenanya ia dijatuhi hukuman atas pembunuhan yang dilakukannya. Tidak jauh berbeda dengan penjelasan di dalam hukum pidana positif, dimana di dalam pasal 48 KUHP Indonesia berbunyi sebagai berikut; “Orang yang melakukan perbuatan karena ia terdorong oleh sesuatu sebab paksaan tidak dapat dihukum”. Menurut bunyi pasal tersebut, daya-paksa (sebab paksaan), berat-lawan, sebab-kadar, kuasa-tak-terlawan, sebab paksa (over­macht), menjadi dasar peniadaan hukuman. Akan tetapi tersebut tidak memberikan pengertian dan penjelasan tentang dayapaksa itu sendiri. Datangnya dayapaksa tersebut sebagaimana yang dapat diartikan secara luas dari kata-kata “terdorong”, adakalanya dari manusia atau dari gejala-gejala alam keadaan dan serangan hewan. Juga bisa berupa dorongan materiil atau dorongan kejiwaan. Seseorang yang melakukan suatu perbuatan misalnya dengan menuntut untuk membela badan atau membela kesusilaan atau harta benda miliknya atau orang lain dari serangan yang melawan hukum, yang dihadapi seketika itu atau dikhawatirkan segera akan menimpa, hingga dengan cara membunuh, maka ia tidak dihukum. Inilah yang disebut Dasar Penghapus Pidana dari kelompok Dasar Pembenaran, yaitu daya paksa.
  • 8. Daya paksa merupakan alasan pembenar, sebab jika dalam hal yang demikian ketentuan hukum masih tetap dipertahankan, maka di situ ternyata bahwa tata hukum menghendaki supaya orang mempunyai keberanian yang luar biasa (heldenmoed) seperti dalam halnya Karneades jika hal yang tak mungkin sama sekali (dwaasheid). Karenanya, dalam dayapaksa di situ tatahukum me­nerima saja apa yang terjadi (berust in het gebeurde). Perbuatan pidana yang dilakukan orang karena pengaruh daya-paksa di­terima sebagai sebuah pembenar. Segala perbuatan yang dilakukan orang karena pengaruh dayapaksa, di mana fungsi batinnya tak dapat bekerja secara normal karena adanya tekanan-tekanan dari luar, orang itu dapat dimaafkan kesalahan­nya. Hal ini tidak mungkin ditentukan secara umum, tapi harus dilihat bertalian dengan keadaan-keadaan yang khusus ada dalam masing-masing perkara. Dan apabila dalam suatu perkara hakim menentukan bahwa besarnya kekuatan yang mendorong ke arah dilakukannya suatu perbuatan pidana, adalah kurang cukup untuk dikualifisir sebagai dayapaksa dalam arti pasal 48, maka hemat penulis hal bahwa itu hanya dapat dinyatakan dalam pengurangan pidana yang akan dijatuhkan. C. Kesimpulan. Pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang akibat hukum orang yang membunuh karena adanya daya paksa (overmacht) tidaklah berbeda. Dalam hukum Islam ditetapakan, bahwa seseorang yang dipaksa untuk membunuh tetap berdosa. Akan tetapi, yang dikenakan hukuman qishash adalah orang yang memaksa, sedangkan orang yang dipaksa dikenakan hukuman ta’zir (hukuman yang penentuannya didelegasikan syara’ kepada hakim). Sedangkan dalam hukum pidana positif dimana di dalam pasal 48 KUHP Indonesia berbunyi sebagai berikut; “Orang yang melakukan perbuatan karena ia terdorong oleh sesuatu sebab paksaan tidak dapat dihukum”. Segala perbuatan yang dilakukan orang karena pengaruh dayapaksa, di mana fungsi batinnya tak dapat bekerja secara normal karena adanya tekanan-tekanan dari luar, orang itu dapat dimaafkan kesalahan­nya. [1] Moel Jatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Citra, 1993), h. 13 [2] M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah ; Pesan kesan dan keserasian Al-Qur’an Volume 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 458 [3] Muhammad Amin Suma dkk, Pidana Islam di Indonesia; Peluang Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 94-96 [4] Ibid., h. 90 [5] As-Syekh As-Said Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid III, (Mesir: Daar Al-Fikr, 1983), h. 355 [6] Adnan Ghazawi, Pelajar Hukum Pidana ; Penafsiran Hukum Pidana Dasar Hukum Penundaan Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 15 [7] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 363
  • 9. [8] Muhammad bin Ibrahim ibn Jubair, Criminal Law in Islam and the Muslim World: A Comparative Perspective, (Delhi: Institut of Objektive Studies, 1996), h. 54-55 [9] Moeljanto, op.cit., h. 71 [10] Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Sohih Al-Bukhari Juz I, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th.), h. 6 [11] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Padang Panjang: Sa’diyah Putra, t.th.), h. 22 [12] Ahmad Warson Munawwir, al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al- Munawwir, 1984), h. 1294 [13] As-Syekh As-Said Sabiq, op.cit., h. 355 [14] Ibid. [15] Abdul Aziz Dahlan…(et al.)., op.cit., h. 682 [16] Ibid. [17] Ahmad Hanafi, op.cit., h. 354 [18] Abdul Aziz Dahlan…(et al.)., op.cit., h. 684 [19] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.), Jilid 4, h. 15 [20] Abdul Aziz Dahlan…(et al.)., Loc.Cit.