SlideShare a Scribd company logo
1 of 61
Download to read offline
Ramadhan 1435 h 2 
SALAM 
kiblat 
Fokus umat Islam terhadap krisis Suriah terbelah. Belum kering darah 
yang ditumpahkan rezim kafir Bashar Asad, fitnah muncul dalam bentuk 
perselisihan yang tajam di antara elemen Mujahidin. Menentukan siapa 
benar siapa keliru, bukan semudah membalik tangan. Fitnah yang 
rumit dan lebih ruwet ketimbang menentukan jawaban mana lebih duluan; 
telur atau ayam. 
Masing-masing pihak memiliki landasan dan argumen tersendiri atas sikap 
dan tindakan yang diambilnya. Belum kelar mentas dari keprihatinan ini, 
muncul lagi keprihatinan yang tak kalah memilukan. Sebagian aktivis jihad 
Indonesia hari ini terjebak dalam pengkubuan, larut dalam klaim membenarkan 
satu kelompok dengan mencela kelompok lain—meski kelompok-kelompok 
tersebut sama-sama mujahidin. 
Internet menjadi lahan pergunjingan. Vonis-vonis keji seperti “kafir” dan 
“murtad” begitu mudah diucapkan ketika tak dicapai kata sepakat dalam 
berdebat. Cepat reaksi, instan berpikir dan gampang berkesimpulan, adalah 
wabah yang diakibatkan oleh sindrom debat kusir internet ini. Kita pun terbius, 
dan tak lagi tertarik untuk mendalami masalah dan peristiwa secara lebih adil, 
bijak dan ilmiah. 
Sebagai bagian dari media umat Islam, kiblat.net merasa berkewajiban untuk 
memberikan informasi yang utuh, tak berpihak dan yang tak kalah penting 
memiliki pijakan ilmiah. Kami memandang titik krusial yang menjadi pemantik 
fitnah ini adalah perbedaan pendapat dalam masalah status kepemimpinan 
dan konsekuensi baiat kepadanya. 
Rancangan penulisan majalah ini sudah kami susun sebulan lalu, sebelum 
juru bicara ISIS Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani mendeklarasikan pendirian 
khilafah oleh ISIS. Meski pengakuan statusnya telah berubah dari “daulah” 
menjadi “khilafah,” tulisan dalam majalah ini tetap relevan sebagai pijakan dasar 
untuk memahami bagaimana konsep Islam dalam imamah (kepemimpinan) 
tersebut. Selamat membaca! 
Redaktur Ahli : Abu Zahrah, Abu Abdurrahman Pimpinan Redaksi : Tony Syarqi Redaksi : Agus Abdullah, 
Fahruddin, Dhani el-Ashimi, Bashirudin R, Miftahul Ihsan MAJALAH DIGITAL KIBLAT adalah salah satu 
konten dari situs berita Islam www.kiblat.net. Dapat diunduh dan sebarluaskan secara cuma-cuma. 
Email : kiblatmedia@gmail.com Donasi: BCA 7735072587 BNI Syariah 0298526555 BNI Syariah atas 
nama Muh Bashirudin Rosyed.
3 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
BAIAT 
KEWAJIBAN, 
APLIKASI & 
PENYELEWENGAN 
Deklarasi Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) April 2013—yang 
kemudian disusul pendeklarasian khilafah pada 29 Juni 2014 
lalu—menyisakan polemik. Seruan baiat kepada Syaikh Abu 
Bakar Al-Baghdadi, pemimpin ISIS yang menyusul deklarasi 
tersebut mendapat berbagai tanggapan. Ada yang disambut dan ada yang 
ditolak. Dihantar kecanggihan sarana teknologi informasi dan komunikasi, 
polemik itu pun sampai juga ke Indonesia. Seseorang yang menyebut dirinya 
Ikhwan yang taat kepada Allah disebut-sebut sebagai orang pertama yang 
menyatakan baiat kepada ISIS.1 
Namun, tidak sedikit ulama yang menganggap baiat Syaikh Al-Baghdadi 
tidak sah. Salah satu contohnya, Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-Ulwan 
mengatakan, “Daulah maupun Al-Baghdadi tidak berhak atas baiat umum 
kaum muslimin, karena salah satu syarat baiat umum adalah dipilih oleh Ahlu 
Halli wal ‘Aqdi, dan Al-Baghdadi tidak dipilih oleh siapa pun. Bila Dr. Ayman Az- 
Zhawahiri yang merupakan amir dan penanggung jawabnya saja tidak setuju 
dengan sikapnya, bagaimana ia menuntut orang lain untuk membaiatnya?”2 
1. http://al-mustaqbal.net/baiat-pertama-dari-indonesia-mulai-mengalir-ke-isis/ [23 Juni 2014] 
2. http://www.youtube.com/watch?v=eapGxmDk9f8&feature=youtu.be [23 Juni 2014]
4 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Banyak atau sedikitnya dukungan kepada 
sesuatu pada dasarnya tidak bisa menjadi 
dasar untuk menentukan sikap. Dasar 
bagi orang beriman untuk berbuat adalah 
ilmu yang benar, karena ilmu mendahului 
perkataan dan perbuatan. 
Ada ungkapan salaf, “Bila engkau mampu 
untuk tidak menggaruk kepala kecuali 
dengan dalil, maka lakukanlah.” Artinya, 
dalam urusan agama, kita tidak boleh ikut-ikutan. 
Orang ke utara kita ke utara, orang 
ke selatan kita pun nurut! Boleh saja ikut 
ke utara, tetapi apa dasarnya? Maka dalam 
urusan ini, berbaiat atau tidak, semua harus 
dilandasi dengan ilmu yang benar. 
Baiat adalah salah satu elemen dalam 
sebuah jamaah yang mengikat antara 
pemimpin dan jamaahnya. Maknanya, 
tujuan baiat adalah mempersatukan umat 
Islam dalam satu pemimpin dan jamaah. 
Sebab esensi dari baiat adalah ketaatan dan 
kesetiaan kepada pemimpin selama tidak 
dalam maksiat. 
Berjamaah adalah perintah Islam, “Dan 
berpeganglah kalian kepada tali (agama) 
Allah dan janganlah berpecah belah.” (Ali 
Imran: 103). Banyaknya perselisihan dan 
perbedaan manhaj akibat pemahaman yang 
keliru tentang Islam maka lahirlah Manhaj 
Ahlu Sunnah wal Jamaah. 
Ulama salaf menjelaskan bahwa berjamaah 
adalah: mengikuti sunnah meskipun engkau 
sendirian. Maka, ketika ada dua orang 
yang mengikuti sunnah, keduanya harus 
bergabung dalam satu jamaah sebagai 
pelaksanaan perintah berjamaah dalam 
Al-Qur’an. Bila tidak, yang terjadi adalah 
perpecahan. Sebab masing-masing pihak 
akan mengklaim kebenaran. Ini baru dua 
orang. 
Bagaimana bila dari dua ini berkembang 
dan banyak pengikut? 
Tulisan ini mengajak pembaca untuk 
berdiskusi tentang baiat sebagai elemen 
untuk mewujudkan kehidupan berjamaah, 
yang kemudian dalam praktiknya justru 
perpecahan yang terjadi. Kemudian, kita akan 
mencoba mengurai di manakah kesalahan 
itu dan bagaimana perbaikan yang mesti kita 
lakukan untuk kembali kepada tujuan awal, 
yaitu berjamaah dalam kebenaran. 
Definisi Baiat 
Ibnu Al-Atsir mengatakan, “Baiat ialah 
ungkapan tentang akad dan perjanjian, 
seolah-olah masing-masing pihak menjual 
apa yang ada pada dirinya dan memberikan 
jiwa dan ketaatannya secara tulus dari dasar 
hatinya.” 3 
Ibnu Khaldun mengatakan, “Baiat ialah janji 
untuk taat. Orang yang berbaiat itu berjanji 
kepada pemimpinnya untuk menyerahkan 
kepadanya segala kebijaksanaan tentang 
urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, 
sedikit pun tanpa menentangnya; serta taat 
kepada perintah pimpinan yang dibebankan 
kepadanya, suka maupun tidak.”4 
Baiat adalah bagian dari syariat Islam 
sudah dilaksanakan sejak masa Rasulullah. 
Bahkan diabadikan di dalam Al-Qur’an. 
إِنَّما يُبايِعونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ � إِنَّ الَّذينَ يُبايِعونَكَ � 
نَّما يَنكُثُ عَلىٰ �ِأَيديهِم فَمَن نَكَثَ فَإ� فَوقَ 
أَوفىٰ بِما عٰهَدَ عَلَيهُ اللَّهَ فَسَيُؤتيهِ � نَفسِهِ وَمَن 
أَجرًا عَظيمًا � 
3. Baiah fi Al-Islam; Mafhumuha, Ahammiyatuha, 
wa syurutuha, Dr. Raghib As-Sirjani. 
4. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
5 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
"Bahwasanya orang-orang yang 
berbaiat kepada kamu, mereka berbaiat 
kepada Allah. Tangan Allah di atas 
tangan mereka, maka barang siapa 
yang melanggar janjinya niscaya akibat 
ia melanggar janji itu akan menimpa 
dirinya sendiri dan barang siapa 
menepati janjinya kepada Allah maka 
Allah akan memberinya pahala yang 
besar." (Al-Fath:10) 
Sepeninggal beliau, umat Islam membaiat 
Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah dan 
pemimpin umum bagi umat Islam. Maka 
dengan proses ini umat Islam bersatu dalam 
barisan. 
Baiat Sughra dan Kubra 
Dari peristiwa sejarah dan dalil-dalil nash, 
para ulama membagi baiat menjadi dua, 
yaitu baiat kubra dan sughra. 
Baiat kubra adalah baiat kepada pemimpin 
kaum muslimin (khalifah). Sedangkan baiat 
sughra adalah baiat untuk tetap setia dalam 
perkara tertentu yang tidak bisa dikuasakan 
kepada orang lain. Baiat ini berlaku terhadap 
penguasa dan juga terhadap selain mereka.5 
Banyak orang belum memahami tentang 
syariat baiat sughra ini, terutama dalam amal 
berjamaah. 
Baiat sughra adalah baiat atau ‘ahdun 
(perjanjian) yang diambil atas amal makruf 
syar’i. Dalam ungkapan lain, merupakan akad, 
janji, dan ikatan yang bersyarat. Termasuk 
jenis ini adalah baiat untuk melakukan 
bentuk amal saleh apa saja.6 
Di antara dalil yang menunjukkan adanya 
baiat sughra adalah firman Allah dalam surat 
Al-Fath: 10 dan 18. 
“Bahwasanya orang yang berjanji setia 
kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji 
setia kepada Allah. Tangan Allah di atas 
tangan mereka, maka barang siapa yang 
melanggar janjinya niscaya akibatnya akan 
menimpa diri sendiri dan barang siapa 
menepati janjinya kepada Allah maka Allah 
akan memberinya pahala yang besar.” (Al- 
5 Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah fi Al-‘Alaqoh 
baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman 
(Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.153 
6 Lihat kitab Al-Mausu’ah Al-Muyassarah fi Al-Adyan 
wa Al-Madzahib wa Al-Ahzab Al-Mu’ashirah (II/1000- 
1006) yang diterbitkan oleh WAMY (World Assembly 
of Moslem Youth
6 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Fath: 10) 
Peristiwa baiat yang disebutkan dalam 
ayat di atas adalah Baiatur Ridwan yang 
terjadi pada tahun 6 Hijriah. Tidak diragukan 
lagi–sebagaimana yang disebutkan para 
sejarah Muslim–bahwa baiat tersebut 
bukanlah baiat dalam rangka mendaulat 
Rasulullah n sebagai pimpinan tertinggi 
kaum muslimin. 
Baiat tersebut merupakan sikap 
pembelaan para sahabat terhadap Utsman 
bin Affan yang diisukan telah dibunuh 
oleh kafir Quraisy. Baiat untuk membela 
darah Utsman bin Affan sampai titik darah 
penghabisan. 7 
Selain itu ada juga Baiatun Nisa 
sebagaimana diterangkan dalam firman 
Allah Surat Al-Mumtahanah ayat 12. 
Selain ayat Al-Qur’an di atas, hadits yang 
diriwayatkan Abu Daud dari Abu Sa’id dan 
Abu Hurairah juga mendukung adanya 
baiat sughra secara eksplisit, Rasulullah n 
bersabda: 
اِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَالْيُؤَمِّرُوْا عَلَيْهِمْ 
أَحَدَهُمْ � 
“Apabila ada tiga orang dalam safar 
maka hendaknya mereka mengangkat 
amir (pimpinan) salah satu di antara 
mereka.” (Sunan Abu Dawud no. 2608) 
Ibnu Taimiyyah berkata, “Apabila telah 
diwajibkan mengangkat seorang amir dalam 
perkumpulan dan masyarakat yang paling 
kecil dan bersifat sementara (dalam safar), 
maka hal ini menunjukkan lebih wajibnya 
mengangkat amir dalam skala yang lebih 
besar darinya.” 
7 Lihat: Ar-Rahiq Al-Makhtum hlm. 298 
Qiyas Imam Safar? 
Jika ada yang mengatakan bahwa 
imarah safar tidak dapat diqiyaskan dengan 
imarah amal islami yang lain, maka dapat 
diterangkan sebagai berikut: 1 Imarah jamaah-jamaah Islam 
tidak hanya bersandar pada hadits 
safar, namun ada dalil-dalil lain. 2 Qiyas imarah jamaah-jamaah 
Islam terhadap imarah safar 
merupakan qiyas shahih (benar) 
lantaran kesamaan ‘illat (sebab). 3 Sesungguhnya jamaah yang 
berlangsung terus menerus lebih 
utama untuk menyelenggarakan 
imarah untuk menata kerapian dan 
ketertibannya daripada jamaah yang 
bersifat sementara sebagaimana safar. 8 4 Baiat sughra/baiat amal jama’i 
juga tidak berlaku untuk 
selamanya meskipun rentang 
waktunya lebih lama dari imarah safar. 
Imarah amal jama’i juga akan berakhir, 
yaitu ketika seorang khalifah syar’i 
telah dibaiat. 
Di antara dalil lebih khusus dan spesifik 
yang menunjukkan adanya baiat ini adalah 
hadits Jabir bin Abdillah ra. yang diriwayatkan 
Imam Muslim. Jabir a berkata: 
جَاءَ عَبْدٌ فبََايَعَ النبَّيَِّ صَلىَّ اللهَّ عَليَْهِ وَ سَلمََّ 
عَلَى الْهِجْرَةِ 
“Datang seorang hamba sahaya lalu 
berbaiat kepada Nabi saw atas hijrah.” 
(Shahih Muslim no. 4113) 
8 Al-‘Umdatu fi I’dadil ‘Uddah hlm. 69
7 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
BOLEHKAH MELAKUKAN BAIAT AMAL? 
Beberapa kalangan menilai bahwa 
baiat hanya berlaku dari rakyat 
untuk khalifah. Sedangkan baiat 
amal dalam sebuah jamaah 
minal Muslimin, dianggap bid'ah. 
Pemahaman ini bisa ditanggapi dari 
beberapa sisi: 
Pertama, anggapan bahwa tidak ada 
baiat jenis ini pada masa dakwah Syaikh 
Muhammad bin Abdul Wahhab bertolak 
belakang dengan kenyataan yang 
ada. Justru, para ulama dan ahli tarikh 
menyebutkan adanya pernyataan “saling 
setia” antara Muhammad bin Suud— 
pelopor Daulah Saudi I—dan Syaikh 
Muhammad rahimahumallah. Bahkan, 
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menukilnya 
dalam risalah beliau yang berjudul Al- 
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab: 
Da’watuhu wa Siratuhu, hlm. 38-39, Cet. 
Kerajaan Arab Saudi. 
Ibnu Suud berkata, “Wahai Syaikh, saya 
akan berbaiat (menyatakan setia) kepada 
Anda untuk membela agama Allah dan 
Rasul-Nya dan untuk berjihad di jalan 
Allah. Namun, saya khawatir, jika Anda 
kami dukung dan kami bela lalu Allah 
memenangkan Anda atas musuh-musuh 
Islam, jangan-jangan Anda akan memilih 
negeri lain untuk berpindah ke sana dan 
meninggalkan negeri kami.”. 
Syaikh menjawab, “Saya tidak berbaiat 
kepada Anda untuk tujuan semacam 
itu. Saya berbaiat kepada Anda untuk 
menegaskan tekad bahwa darah harus 
dibayar dengan darah, penghancuran 
harus dibalas penghancuran. Saya tidak 
akan keluar dari negeri Anda selamanya.” 
Kedua, perbuatan atau perkataan para 
ulama dan dai pada dasarnya bukanlah 
dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah 
dalam permasalahan syar’i. Pendapat 
mereka diikuti sepanjang kesesuaiannya 
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Atau 
sebagaimana perkataan Imam Malik, 
“Setiap perkataan seseorang bisa diterima 
dan ditolak kecuali pemilik kubur ini 
(Rasulullah) n.” 1 
Berargumen dengan sikap dan 
perbuatan ulama dan para dai untuk 
mendukung pendapat tidak adanya baiat 
shugra/amal jelas telah bertentangan 
dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang 
dikemukakan di atas. Bahkan, bertentangan 
dengan perbuatan sahabat ketika perang 
Yarmuk yang terjadi pada tahun 13 H. 
Saat itu, pasukan muslim yang 
berjumlah 40.000 orang menghadapi 
240.000 pasukan Romawi. Setelah pecah 
pertempuran dengan dahsyatnya, Ikrimah 
a membaiat 400 pasukan muslim ‘alal 
maut (siap untuk mati). Kemudian pasukan 
ini menyerbu musuh hinggga seluruh 
pasukan ini mendapatkan gugur atau 
dalam keadaan luka parah. Sedang korban 
di fihak musuh ada 120.000 orang.2 
Perlu kita tegaskan pula bahwa 
jumlah sahabat yang ikut dalam perang 
ini berjumlah sekitar seribu, namun 
tidak seorang pun di antara mereka 
yang mengingkari perbuatan Ikrimah, 
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu 
Katsir.3 (Fahruddin) 
1 Siyaru A’lamin Nubala’, Adz-Dzahabi: VIII/93 
2 Lihat: Fathul Bari: XIII/63 
3 Lihat: Al-Bidayah wa An-Nihayah: VII/9
8 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Karakter Baiat Sughra dan Kubra 
• Baiat Sughra 
Dalam baiat sughra, orang yang dibaiat 
(mubaya’) bisa saja khalifah atau kaum 
muslimin sebagian dengan sebagian 
lainnya.9 Ini adalah baiat yang dilakukan 
sebagian manusia, baik tiga orang maupun 
lebih banyak untuk berjanji dan menaati 
dalam urusan ketaatan. Tidak terbatas pada 
Ahlul Halli wal ‘Aqdi, tetapi siapa saja yang 
terlibat dalam suatu perjanjian. 
Baiat ini berlaku bagi mereka untuk 
berjanji dalam ketaatan apapun tanpa 
adanya batas, seperti jihad, dakwah, amar 
ma’ruf nahi munkar, menyelamatkan orang 
yang teraniaya dan menolong orang yang 
dizalimi. Bahkan menyingkirkan duri dari 
jalan—bila menuntut ikatan baiat—maka ini 
termasuk Baiat Sughra. 
Komitmen terhadap Baiat Sughra sifatnya 
wajib bagi orang yang telah suka rela 
bergabung di dalamnya, dan tidak mengikat 
orang di luar baiat tersebut. Jika seseorang 
telah mengikat janji setia, maka wajib baginya 
untuk memenuhi ikatan janji tersebut.10 
9 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie 
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235 
10 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie 
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235 
Keluar dari Baiat Sughra 
adalah maksiat karena telah 
mengingkari janji yang 
mengikat antara sesama 
muslim. Dan ini telah jelas 
dalam syariat tentang 
hukum mengingkari janji 
dalam perkara ketaatan. 
Berdasarkan sifat tersebut, maka dalam 
satu wilayah bisa terjadi banyak baiat 
dengan arah masing-masing. Maka ketika 
ada dua jamaah —atau lebih— dari sebagian 
umat Islam dengan baiat masing-masing, 
hubungannya bersifat kerja sama dan 
nasihat, bukan perintah dari atas ke bawah. 
Jamaah-jamaah ini bisa mengarah kepada 
penggabungan (tansik) untuk membentuk 
jamaah umat Islam yang satu bila terjadi 
kesepakatan. Atau terbentuk jamaah yang 
memiliki kekuatan (syaukah) sehingga jamaah 
yang menyelisihi tunduk di bawahnya. 
Hal ini telah ditunjukkan oleh sejarah. 
Setelah kaum Anshar dan Muhajirin bersatu 
di bawah kepemimpinan Rasulullah n. 
Kekuatan (syaukah) pun terwujud. Sampai 
Rasulullah wafat, kelompok yang menyelisihi
9 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
atau orang-orang munafik tetap ada, tetapi 
syaukah tidak ada pada mereka, sehingga 
tunduk di bawah otoritas kaum muslimin, 
yakni Daulah Nabawiyah n. 
• Baiat Kubra 
Dalam Baiat Kubra, orang yang dibaiat 
adalah Imam A'dham (khalifah).11 Pihak yang 
membaiat adalah Ahlul Halli wal Aqdi dari 
umat ini atau seorang khalifah sebelumnya 
setelah melakukan pertimbangan dan syura 
di antara kaum muslimin. 
Orang yang dibaiat atau dinobatkan 
menjadi khalifah wajib memenuhi syarat-syarat 
baiat.12 
Baiat Kubra mengharuskan 
orang yang dibaiat untuk 
menerapkan segala 
ketentuan syariat bagi kaum 
muslimin.13 
Di sisi lain, umat wajib mendengar dan 
taat kepada imam serta menolongnya 
selama tidak dalam maksiat. 
Kewajiban dan komitmen baiat kubra 
Imam Al-Qurtubi berkata, “Dan jika 
imamah (khilafah) telah terwujud dengan 
kesepakatan Ahlul Halli wal Aqdi atau dengan 
salah satu seperti penjelasan yang lalu, maka 
wajib bagi seluruh rakyat membaiatnya untuk 
mendengar dan taat dan untuk menegakkan 
kitab Allah k dan sunnah Rasulullah n. 
11 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie 
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235 
12 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7. 
13 Imam Al-Mawardi menyebutkan sepuluh kewajiban, 
lihat Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 15-17. 
Barang siapa tidak berbaiat karena ada 
uzur, ia diberi uzur (maaf). Barang siapa tidak 
berbaiat tanpa uzur maka dia dipaksa (untuk 
berbaiat), agar kesatuan kaum muslimin 
tidak terpecah.”14 
Setiap muslim wajib memegang teguh 
baiatnya. Berdasarkan hadits: 
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً 
جَاهِلِيَّةً 
“Barang siapa mati dan belum berbaiat, 
maka matinya seperti mati dalam 
keadaan jahiliah.” (HR. Muslim dari 
Ibnu Umar). 
Dan hadits, “Wajib beriltizam terhadap 
jamaah dan imamnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih 
dari Hudzifah).15 
Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz berkata, 
“Kesimpulannya, bahwa baiat imam kaum 
muslimin adalah wajib menurut syar’i.”16 
Setelah berbaiat, komitmen selanjutnya 
ialah mendengar dan taat, serta tidak 
melepaskan baiatnya kecuali dengan alasan 
yang telah ditetapkan syariat. Rasulullah n 
bersabda: 
مَنْ خَلعََ يدًَا مِنْ طاَعَة،ٍ لقَِيَ اللهَ يوَْم القِْياَمَةِ 
لَا حُجَّةَ لَهُ 
"Barangsiapa melepaskan tangan dari 
ketaatan (kepada Amir), maka dia 
berjumpa dengan Allah di hari kiamat 
dalam keadaan tidak memiliki hujjah." 
(HR. Muslim dari Ibnu Umar). 
14 Al-Qurthubi, Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, juz 1, hal: 302, 
Maktabah Syamilah 
15 Lihat dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 20-23. 
16 Lihat: Abdul Qadir bin Abdul Aziz, al-Umdah fii I’dadil 
Uddah: 1/144
10 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Maksud tidak ada hujjah, seperti dijelaskan 
oleh Imam Nawawi, ialah tidak ada alasan 
baginya di dunia dengan tindakannya itu. 
Sedangkan maksud tidak ada ‘uzur adalah 
tidak ada alasan yang berguna baginya 
untuk menyelamatkan dari ancaman Allah 
pada hari kiamat.17 
Al Hafidz Ibnu Hajar 
(wafat 852 H) dalam Fathul 
Bari mengatakan, “Yang 
dimaksud dengan al miitah 
al jaahiliyyah (mati dalam 
keadaan jahiliah) adalah 
keadaan mati seperti 
matinya orang jahiliah. 
Yakni mati dalam kesesatan; 
tidak mempunyai imam yang 
ditaati karena mereka dulu 
tidak tahu yang demikian. Ia 
tidak mati kafir, namun mati 
dalam keadaan maksiat.” 
Beliau melanjutkan, “(Ungkapan al miitah 
al jahiliah) mengandung makna tasybih 
(penyerupaan) atas zahirnya, yang maknanya 
dia mati seperti mati jahiliah walaupun dia 
bukan orang jahiliah.”18 
Imam Ahmad ditanya tentang makna 
hadits “Barang siapa mati, sedang dia tidak 
memiliki imam, maka matinya seperti mati 
dalam keadaan jahiliah.” 
Beliau bertanya, “Tahukah kamu, siapakah 
imam itu?” Yaitu imam yang telah disepakati 
oleh kaum muslimin. Mereka semua 
menyatakan, “Ini imam,” Inilah maknanya.”19 
17 An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, vol. 6, p. 323. 
18 Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari, (Beirut: Dar 
Ma'rifah, ), vol. 13, p. 7 
19 Dinukil dari al-Wajiz fii Fiqhil Khilafah, hal. 77-78, lihat 
ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat, hal. 230. 
Dengan memahami perbedaan antara 
Baiat Kubra dan Baiat Sughra, maka 
jelaslah bahwa imam kaum muslimin yang 
dimaksudkan dalam hadits tersebut bukan 
pemimpin kelompok atau jamaah yang 
ada saat ini. Akan tetapi maksud imam di 
sini adalah pemimpin yang disepakati oleh 
seluruh kaum muslimin dengan memenuhi 
segala syarat yang ada. Dan yang menjadi 
titik tekan juga adalah pemimpin tersebut 
merupakan pemimpin yang menjalankan 
syariat islam. 
Jadi, kedudukannya 
benar-benar menjadi 
khalifah yang menjalankan 
fungsi kepemimpinan, 
yaitu menjaga agama 
(menjalankan hukum islam) 
dan mengatur kemaslahatan 
dunia.20 
Karena pemimpin yang demikianlah yang 
wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin n 
(Fahruddin) 
20 Lihat: Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7
11 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Islam menghendaki umatnya bersatu 
dalam jamaah dan satu pemimpin. 
Karena itulah, Islam melalui lisan Nabi 
n memberikan sanksi berat terhadap 
upaya yang mengarah kepada dualisme 
kepemimpinan. Hal ini tampak dalam hadits-hadits 
berikut: 
أَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ، وَثَمَرَةَ �إِمَامًا فَ � وَمَنْ بَايَعَ 
آخَرُ � نْ جَاءَ �ِإِنِ اسْتَطَاعَ، فَإ� قَلْبِهِ، فَلْيُطِعْهُ 
آخَرِ � يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْ 
"Barang siapa telah membaiat imam 
serta memberikan kesetiaan dan 
loyalitas kepadanya, maka hendaklah 
dia menaatinya semampu mungkin, 
kemudian bila datang orang lain 
yang menyainginya maka penggallah 
lehernya." (Riwayat Muslim). 
آخَرَ مِنْهُمَا �إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ، فَاقْتُلُوا الْ � 
"Bila dilakukan baiat kepada dua 
khalifah, maka bunuhlah yang paling 
akhir dari keduanya." (Riwayat Muslim). 
أَنْ يفرُقَِّ � أَرَادَ � سَتَكُونُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ فَمَنْ 
أُمَّةِ وَهِيَ جمِيعٌ فَاضْرِبُوه بِالسَّيْفِ � هَذِهِ الْ 
كَائِنًا مَنْ كَانَ 
"Akan terjadi kekacauan dan kekacauan, 
barang siapa ingin memecah persatuan 
umat ini sedangkan umat itu sedang 
bersatu, maka penggallah lehernya 
dengan pedang siapa pun orangnya." 
(Riwayat Muslim). 
أَمْرُكمُْ جَمِيعٌ عَلىَ رَجُلٍ وَاحِدٍ، �أَتَاكمُْ وَ � مَنْ 
أَوْ يفَُرقَِّ جَمَاعَتكَمُْ، � ،أَنْ يشَُق عَصَاكمُْ � يرُيِد 
فَاقْتُلُوهُ 
"Barang siapa datang kepada kalian 
sedangkan urusan kalian itu bersatu 
di bawah kepemimpinan seorang 
pria, dan ia ingin membelah tongkat 
(kepemimpinan) kalian atau memecah 
barisan kalian, maka bunuhlah." 
(Riwayat Muslim). 
lll 
Bagaimana 
Menyikapi Dualisme 
Kepemimpinan 
Dalam Islam?
12 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Para ulama menetapkan kaidah-kaidah 
yang jelas pula dalam perkara ini. Al- 
Mawardi Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, "Dan 
bila kepemimpinan disematkan kepada dua 
imam di dua negeri, maka kepemimpinan 
mereka itu tidak sah, dikarenakan tidak boleh 
bagi umat ini ada dua imam di waktu yang 
sama." (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal: 9). 
Al-Qurthubi menjelaskan alasan 
pelarangan tersebut, “Ini adalah dalil 
yang paling jelas menunjukkan larangan 
pengangkatan dua imam, karena itu bisa 
menyebabkan timbulnya kemunafikan, 
perselisihan, perpecahan, kekacauan dan 
lenyapnya kenikmatan.” (Tafsir Al Qurthubi, 
1/273). 
Namun, menurut Al- 
Qurtubi juga dan beberapa 
ulama lain, dualisme 
kepemimpinan dibolehkan 
bila wilayahnya berjauhan 
dan dipisahkan oleh 
perjalanan yang jauh. 
Tetapi, Al-Juwaini melihat 
kebolehan ini berada di luar 
permasalahan yang telah 
pasti hukumnya. 
"Para ulama mazhab kami berpendapat 
pelarangan penyematan imamah kepada dua 
orang di semua penjuru dunia, sedangkan 
menurut saya bahwa penyematan imamah 
kepada dua orang di satu wilayah yang 
berdekatan itu tidak boleh dan ijma telah 
terjalin terhadap hal itu. 
Adapun bila jaraknya berjauhan dan 
dua imam itu dipisahkan oleh perjalanan 
yang sangat jauh, maka di dalam hal itu 
ada kemungkinan (boleh). Dan ini di luar 
permasalahan yang qath'i." (Lihat Al Irsyaad 
Ilaa Qawathii'il Adillah Fi Ushulil I'tiqad). 
Baiat dalam Kondisi Imam Belum Pasti 
Ada yang menarik dalam hal ini. Abdullah 
bin Umar adalah sahabat yang meriwayatkan 
hadits ancaman mati jahiliyah bagi orang 
yang tidak berbaiat kepada imam kaum 
muslimin, seperti disebutkan sebelumnya. 
Namun bagaimana sikapnya ketika 
kekhilafahan belum jelas? Mari kita lihat! 
Diriwayatkan bahwa Muawiyah 
menunaikan ibadah haji pada tahun 51 H. 
Selain itu ia juga berkeinginan mengambil 
baiat kaum muslimin untuk anaknya, Yazid. 
Lalu ia mengirim utusan untuk memanggil 
Ibnu Umar. Setelah bertemu, Muawiyah 
mengucapkan syahadat dan berkata, “Wahai 
Ibnu Umar! Kamu pernah berkata kepadaku 
bahwa kamu tidak ingin tidur satu malam 
pun tanpa ada pemimpin (khalifah). Aku
13 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
ingatkan kepadamu agar kamu mencegah 
perselisihan kaum muslimin, atau kamu akan 
menyebabkan pertikaian di antara mereka! 
Ibnu Umar mengucapkan tahmid dan 
memuji Allah, lalu berkata, "Amma ba’du, 
sebelum dirimu, banyak khalifah yang 
mempunyai anak, dan anakmu tidak lebih 
baik daripada anak-anak mereka. Akan 
tetapi mereka tidak melakukan untuk anak-anak 
mereka sebagaimana yang kamu 
lakukan untuk anakmu. Mereka membiarkan 
kaum muslimin untuk memilih orang pilihan 
mereka. 
Engkau mengingatkan agar aku 
mencegah perselisihan kaum muslimin. Aku 
tidak akan melakukan hal itu. Aku hanyalah 
seorang dari kalangan kaum muslimin. Jika 
mereka telah sepakat akan suatu perkara, 
maka kau sepakat dengan mereka. Semoga 
kamu dirahmati oleh Allah!’ Lalu Ibnu Umar 
keluar.”1 
Hal yang sama juga terjadi pada masa 
lain. Abdullah bin Umar, pada mulanya tidak 
berbaiat kepada Abdullah bin Zubair ataupun 
Abdul Malik bin Marwan. namun ketika umat 
sepakat kepada Abdul Malik bin Marwan, 
beliau pun berbaiat kepadanya. Diriwayatkan 
dari Abdullah bin Dinar, ia berkata, "Aku 
melihat —pada saat umat berkumpul untuk 
berbaiat kepada Abdul Malik bin Marwan 
sebagai khalifah— Ibnu Umar berkata, 
“Sesungguhnya aku menyatakan mendengar 
dan taat kepada hamba Allah Jalla wa ‘ala, 
Abdul Malik, Amirul Mukminin, di atas 
ketetapan Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla 
dan Sunnah Rasul-Nya selama aku mampu, 
dan sesungguhnya anak-anakku telah 
menyatakan hal yang sama.”(HR. Al-Bukhari 
no. 7203 dan 7205). 
1 Imam Suyuti, Tarikh khulafa, hal: 150 
Kisah lebih lengkap tentang baiat Abdullah 
bin Umar RA ini, baca halaman 16. 
lll 
Menurut DR. Yahya Ismail, salah 
satu karakteristik syariat Islam adalah 
menghilangkan segala kesempitan dan 
kesulitan dalam beribadah. Begitu juga 
halnya dalam urusan baiat. 
Seseorang tidak boleh 
dipaksa untuk berbaiat 
kepada salah seorang 
imam jika mayoritas rakyat 
belum setuju dengan 
kepemimpinan tersebut. 
Lebih lanjut beliau mengungkapkan 
beberapa alasan bahwa Islam membolehkan 
seorang muslim untuk meninggalkan baiat 
dan kepatuhan, apabila berada dalam kondisi 
sebagai berikut: 1Terjadi perebutan kekuasaan 
antara dua penguasa yang sah 
dan belum jelas siapakah di antara 
keduanya yang lebih berhak menerima 
baiat. 2Terjadi fitnah peperangan internal 
umat Islam dan diyakini bahwa 
hal itu bisa diredakan jika tidak 
ada baiat.2 
Baiat Zaman Fitnah 
Sudah hampir satu abad, kaum muslimin 
kehilangan kepimpinan Islam yang dikenal 
2 Minhajul I'tidal, hal. 176, An-Nadhariah Siyasah 
Islamiah, hal. 195, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Hal. 
178
14 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
dengan kekhilafahan. Ahli hadits Basrah 
dan yang lainnya menyatakan bahwa ketika 
tidak ada pemimpin umum bagi umat Islam 
maka zaman itu disebut zaman fitnah.3 
Dalam masa fitnah, perintah Nabi n adalah, 
“Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan 
sunnah khulafaur rasyidin setelahku.” 
Dari uraian sebelumnya, terlihat jelas 
bagaimana petunjuk Islam dalam perkara 
ini. Tidak ada perdebatan dalam baiat ketika 
imam (khalifah) benar-benar ada dan diakui 
3 Ibnu Taimiyah, Minhajus sunnah, Riyadh:Jami’ah 
Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah, 1986, vol 
1, 144. 
di tengah-tengah kaum muslimin. Namun 
yang menjadi polemik adalah bagaimana 
menyikapi seruan baiat dari suatu jamaah. 
Apalagi ketika seruan baiat itu dikuatkan 
dengan dalil-dalil baiat kubra, baik kewajiban 
berbaiat maupun ancaman bagi yang 
enggan melakukannya, seperti disebutkan 
sebelumnya. Walhasil, yang terjadi ialah klaim 
kebenaran dan kepemimpinan. Dampaknya 
ialah perpecahan dan perselisihan. Maka 
tujuan baiat sebagai elemen jamaah menuju 
persatuan tidaklah terwujud n 
(Fahruddin) 
Baiat memang disyariatkan, baik 
sughra apalagi kubra. Namun seringkali 
baiat disalahgunakan. Di antara bentuk 
penyelewengan dalam persoalan baiat 
ini adalah: 
Pertama, menyalahgunakan hadits 
baiat kubra untuk melegitimasi baiat 
sughra, ditambah lagi kesalahan 
dalam mengartikan kalimat “mitatan 
jahiliyyatan”. Hasilnya, orang yang 
tidak bergabung dianggap kafir dan 
syahadatnya tidak berguna. Tidak jarang 
terjadi permusuhan antara orang tua 
dan anak karena kesalahan ini. Orang 
tua dikafirkan karena tidak bergabung 
dengan jamaahnya. 
Tahun 2011 lalu, umat Islam 
dihebohkan oleh banyaknya korban 
baiat NII KW-9. Sejarah juga mencatat 
jamaah LDII yang menganggap orang 
tua, saudara, dan siapa pun di luar jamaah 
mereka diyakini sebagai orang kafir yang 
najis. Maka, bekas tempat duduknya pun 
dipel karena kenajisannya. 
penyelewengan baiat 
Karena pihak di luar jamaahnya 
diyakini kafir, maka harta dan properti 
mereka halal diambil dan tidak ada dosa. 
Kesalahan ini pun semakin kompleks 
karena menggunakan dalil-dalil fa’i untuk 
mengambil harta orang lain. 
Kedua, memaksa kelompok lain agar 
mau bergabung dan berbaiat kepada 
pimpinannya. Baiat tidak boleh dipaksakan 
kecuali dalam baiat kubra kepada imam 
yang telah disepakati oleh Ahlul Halli 
wal Aqdi maupun cara lain sesuai syariat. 
Sedangkan dalam baiat kubra, sifatnya 
adalah ajakan dan nasihat. 
Pada dasarnya suatu kepemimpinan 
akan sah jika telah diakui oleh mayoritas 
umat karena salah satu syarat mutlak 
dalam kepemimpinan adalah adanya 
syaukah (kekuatan). Dan itu akan terwujud 
jika mayoritas telah menyetujuinya.1 
1 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, 
“Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah, 
pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang 
memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam 
hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang 
dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan 
kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat
15 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Dalam kasus baiat dan proyek Daulah 
Islam Irak dan Syam (ISIS) di Suriah 
maupun di Irak, kelompok maupun faksi-faksi 
jihad lain, seperti Ahrar Syam, Liwa 
Tauhid dan lainnya, juga memiliki syaukah 
(kekuatan). Maka pendekatan yang terbaik 
adalah persuasif, selain bahwa baiat yang 
diserukan adalah baiat sughra.2 
Selain itu, ketika persetujuan mayoritas 
umat tidak terwujud dalam kepemimpinan 
tersebut maka akan timbul kekacauan 
dan fitnah di tengah-tengah umat. Dan 
ini jelas terjadi di Suriah. Banyak tokoh 
dari kedua pihak yang dibunuh tanpa ada 
penyelesaian, dengan salah satu alasan 
menolak tahkim karena daulah tidak 
mungkin bertahkim kepada organisasi.3 
Jadi prinsip Islam dalam pengangkatan 
imam adalah adanya persetujuan mayoritas 
umat —terukur dengan terwujudnya 
syaukah— yang ditempuh melalui jalur 
musyawarah bukan dengan pemaksaan. 
Umar bin Khattab berkata, “Barang siapa 
membaiat seseorang tanpa musyawarah 
dari kaum muslimin maka ia tidak boleh 
diikuti, dan tidak pula mengikuti para 
terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka 
jika seseorang dibai’at dan bersamaan dengan 
itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia 
menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya 
berkata para imam salaf: ‘Siapa yang memiliki 
kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya 
terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi 
ulil amri yang Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla 
perintahkan taat kepada mereka selama mereka 
tidak memerintahkan kepada maksiat kepada 
Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla’.” (Minhajus 
Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 
4/388) 
2 Syaikh Abu Ja'far Al-Haththab, Anggota 
Lajnah Syar'iyyah Pada Anshar Syari'ah 
Tunisia, dalam bukunya Bai'atul Amshaar Lil 
Imaam Al Mukhtaar, menyimpulkan bahwa 
baiat kepada Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat 
umum (baiat kubra). Namun pendapat ini 
lemah dan dibantah oleh kenyataan dan para 
ulama. Salah satunya ialah Syaikh Abu Laits 
Al-Anshari dalam bukunya Tabyin Az-Zaif 
wal Jahl wa izhharul Awar. 
3 Lihat kembali catatan Syaikh Al-Maqdisi tentang 
ISIS di mimbar tauhid dan jihad. 
pendukungnya, karena khawatir mereka 
akan dibunuh (yang berbaiat dan yang 
dibaiat).” (HR. Al-Bukhari no. 6442) 
Bahkan lebih tegas lagi Umar a 
berkata, “Barang siapa membaiat seorang 
laki-laki tanpa didahului musyawarah 
dengan umat Islam, maka tidak halal 
bagi kalian kecuali membunuhnya.” 
Pada hajinya yang terakhir, sebagaimana 
yang disebutkan dalam Shahih Bukhari, 
Umar berkata, “Sesungguhnya, sore ini 
aku berdiri dan mengingatkan umat 
Islam tentang orang-orang yang hendak 
merampas pemerintahan mereka”. Umar 
menganggap baiat yang dilakukan oleh 
sebagian sahabat kepada sebagian 
yang lain, tanpa didahului musyawarah 
dengan umat adalah merupakan bentuk 
perampasan hak umat. Tidak ada istilah 
baiat kepada orang yang merampas, 
apalagi kalau merampasnya dengan 
pedang bukan dengan baiat, meskipun 
hanya baiat minoritas. 
Adalah Umar bin Abdul Aziz, ketika 
beliau diangkat menjadi khalifah beliau 
berkata, “Wahai manusia aku telah diuji 
dengan jabatan ini tanpa pernah dimintai 
pendapatku tentangnya, bukan juga 
karena aku yang memintanya dan bukan 
juga berdasarkan hasil musyawarah 
kaum muslimin. Sesungguhnya aku tidak 
memaksa kalian untuk membaiatku. Oleh 
karena itu, pilihlah orang yang pantas 
memimpin kalian.” 
Maka seketika itu juga mereka berkata, 
“Sungguh kami telah memilih engkau 
wahai amirul mukminin dan kami ridha 
dengan kepemimpinanmu. Oleh karena 
itu pimpinlah kami dengan adil dan baik.”4 
(Fahruddin) 
4 Ali Muhammad Ash-Sholabi, Umar bin Abdul Aziz, 
terj: chep M.faqih FR, (Jakarta Timur: Yayasan Ash-shilah: 
tt), hal: 64
16 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 14345 h J E D A 
Kisah ini lebih lengkap diceritakan oleh 
Ibnu Hajar sebagai berikut: 
Dahulu dua pihak yang masing-masing 
mengklaim dirinya sebagai yang 
berhak memegang tampuk kekhilafahan. 
Keduanya adalah Abdul Malik bin Marwan 
dan Abdullah bin Zubair. Pada saat itu, 
Ibnu Zubair tinggal di kota Mekkah dan 
berlindung di sana setelah Muawiyah 
wafat. 
Karena Ibnu Zubair menolak berbaiat 
kepada Yazid bin Muawiyah, Yazid 
mengirimkan tentaranya beberapa kali 
untuk menyerang. Ketika tentaranya masih 
dalam posisi mengepung Ibnu Zubair, 
Yazid meninggal dunia pada bulan Rabiul 
Awal 64 H. Menyusul kematian Yazid, umat 
Islam berbaiat kepada Ibnu Zubair (dengan 
wilayah kekuasaan di Hijaz), sedangkan 
penduduk daerah-daerah lain berbaiat 
kepada Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah 
(Muawiyah II). 
Kira-kira 40 hari kemudian, Muawiyah 
II meninggal dunia. Maka sebagian besar 
penduduk wilayah kekuasaan Muawiyah 
II kemudian berbaiat pada Ibnu Zubair 
dengan wilayah kekhalifahan meliputi 
Hijaz, Yaman, Mesir, Irak, seluruh bagian 
timur dan seluruh negeri Syam, termasuk 
Damaskus. Semua berbaiat kepada Ibnu 
Zubair kecuali seluruh keturunan bani 
Umayyah dan orang-orang yang masih 
setia kepada mereka di Palestina. Dengan 
serentak, mereka berbaiat kepada Marwan 
bin Hakam untuk memegang kekuasaan. 
Selanjutnya, orang-orang yang setia 
kepada Marwan menyerang pengikut 
Ibnu Zubair di Damaskus, sehingga terjadi 
saling bunuh antara dua golongan di 
tanah lapang. Setelah berhasil menguasai 
Syam, Marwan menyerang Mesir dan 
mengepung Abdurrahman bin Jahdar, 
gubernur Ibnu Zubair di sana, dan berhasil 
menguasai Mesir pada bulan Rabiul Akhir 
tahun 65 H. Namun, pada tahun itu juga 
Marwan wafat (memegang kekuasaan 
hanya 6 bulan) dan digantikan putranya, 
Abdul Malik bin Marwan dengan wilayah 
kekuasaan meliputi Syam, Mesir dan 
Maroko. Sementara itu, wilayah Hijaz, Irak 
dan negeri bagian timur berada dalam 
kekuasaan Ibnu Zubair. 
Hanya kota Kufah yang dikuasai Mukhtar 
bin Abu Ubaid, sang pemberontak yang 
mengajak orang untuk setia pada Imam 
Mahdi dan Ahlu Bait. Mukhtar memerintah 
di sana selama kurang lebih dua tahun. 
Kemudian Mus’ab bin Zubair dari pihak 
Kisah Baiat Abdullah 
bin Umar d
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 14345 h 17 
J E D A 
(Ibnu Zubair) menyerang Mukhtar 
pada bukan Ramadhan 71 H yang 
mengakibatkan terbununya Mukhtar. 
Namun, keadaan segera berubah. 
Abdul Malik bin Marwan menyerang 
Mus’ab bin Zubair dan mengepungnya 
sehingga Mus’ab gugur pada bulan 
Jumadil Akhir tahun itu. Karena kekalahan 
yang diderita dan wilayah yang mulai 
menyusut dan hanya terdiri dari Hijaz, 
Yaman dan wilayah timur. Puncaknya, 
Abdul Malik menyiapkan pasukan di 
bawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf dan 
mengepung serta menyerang Hijaz selama 
dua tahun. Pada April 73 H Ibnu Zubair 
terbunuh. 
Selama pertentangan itulah Ibnu Umar 
menolak berbaiat pada Ibnu Zubair atau 
Abdul Malik bin Marwan, sebagaimana 
ia juga menolak berbaiat pada Ali atau 
Muawiyah. Setelah Ibnu Zubair terbunuh 
dan semua wilayah kerajaan berada di bawah 
kekuasaan Abdul Malik, barulah Ibnu Umar 
berbaiat kepada Ibnu Malik.1 
1 Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah fi Al-‘Alaqoh 
baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman 
(Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.181-182 
Masjid Umawiyah, Damaskus
18 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
I S I S 
DAULAH, KHILAFAH ATAU JAMAAH? 
Syaikh Abu Humam Bakar bin Abdul Aziz Al-Atsari, dalam bukunya 
Maddul Ayaadi bi Bai’ah Al-Baghdadi,1 menguatkan legalitas syar’i 
Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Amir Daulah Islam Irak. Setelah 
menampilkan berbagai argumentasi mengenai urgensi, faktor-faktor 
mendorong berdirinya Daulah Islam Irak, serta tinjauan syar’i berdirinya dan 
realitas sejarah berdirinya sebuah negara, maka disimpulkan bahwa Daulah 
Islam Irak sah secara syar’i. 
Syaikh Abu Humam mengulas kelayakan Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi 
sebagai Amirul Mukminin, sahnya baiat sebagian orang dan sebagian Ahlul 
Halli wal Aqdi, sahnya disebut Daulah meskipun belum mendapatkan wilayah 
yang aman (tamkin), menjawab syubhat imam majhul, dan semua hal yang 
menguatkan bahwa Syaikh Al-Baghdadi adalah amir sebuah Daulah Islam 
memimpin jamaah muslimin, bukan amir sebuah imarah (kepemimpinan 
Islam) dalam arti organisasi atau tanzim jihad. 
Di lapangan dan media, hal tersebut dikuatkan oleh tentara dan ulama 
pendukung ISIS bahwa baiat Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat pemimpin 
1 http://www.tawhed.ws/r?i=05081301
19 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
tertinggi dalam Islam, sehingga siapa 
yang menolak wajib diperangi. Dalil-dalil 
yang dipakai adalah dalil-dalil Imamatul 
Uzhma dan konsekuensi-konsekuensi yang 
diterapkan pun berdasarkan pemahaman ini. 
Contohnya hadits, “Barang siapa yang 
mati, sedangkan ia tidak memiliki baiat di 
pundaknya, maka ia mati dalam keadaan 
jahiliah.” (HR Muslim). 
Juga sabda Rasulullah n, “Siapa saja yang 
datang kepada kamu sekalian, sedangkan 
urusan kalian berada di tangan seorang 
Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah 
kesatuan jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.” 
(HR. Muslim) 
Untuk mendudukkan masalah ini, kita 
akan melihatnya dari pengertian Daulah dan 
Khilafah terlebih dahulu. 
Daulah, Imarah dan Khilafah 
Secara bahasa kalimat Daulah oleh para 
ulama diartikan: Sesuatu yang kadang 
dihasilkan dari tangan ini atau dari tangan 
lain, atau balasan dalam hal kekayaan atau 
peperangan.2 
Penggunaan kata daulah digunakan 
sebagai kata istilah, belum begitu merata 
dipakai oleh para fuqaha zaman dulu, hanya 
beberapa kitab yang sudah memakainya 
seperti kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah. 
Namun oleh para fuqaha zaman dulu, 
pembahasan Daulah Islamiyah dalam kitab 
fiqh-fiqh turats sudah dimasukkan ke dalam 
sub tema kepemimpinan negara (al-ahkam 
al-imamiyah) dengan menegaskan bahwa 
Daulah adalah representasi dari sosok 
kepemimpinan tinggi, atau istilah lainnya 
Khalifah. 
Imamah secara bahasa bisa diartikan 
setiap orang yang harus diikuti baik dia itu 
adalah seorang pemimpin atau tidak. Dalam 
Lisanul Arab juga dikatakan bahwa yang 
dimaksud dengan imamah dan imam itu 
adalah orang yang diikuti oleh suatu kaum 
baik mereka berada di jalan yang lurus 
maupun yang sesat. 
2 Lihat : “Mausu’ah Fiqhiyah” Wazartul Auqaf Kuwait, hal 
36 juz 6
20 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Sementara yang dimaksud dengan 
imamah secara istilah ulama memberikan 
definisi secara beragam akan tetapi 
semuanya itu bermuara pada satu tujuan. 
Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam 
Al-Sulthaniyah mengatakan bahwa yang 
dimaksud dengan imamah adalah posisi 
khilafah nubuwwah–pengganti Nabi–untuk 
menjaga agama serta mengatur dunia 
dengan agama tersebut.3 
Oleh para fuqaha tata negara Daulah 
Islam didefinisikan sebagai: 
يْلَاتِ تَجْتَمِعُ لِتَحْقِيْقِ السِّيَادَةِ �ِ مَجْمُوْعَةُ الْإ 
أَقَاليِْمٍ مُعَيَّنَةٍ لَهَا حُدُوْدُهُا وَمُسْتَوْطِنُوْهَا � عَلَى 
أَمِيْرُ المُْؤْمِنِيْنَ � أَوْ� أَوِ الخَْليِْفَةُ � فَيَكُوْنُ الحَْاكِمُ 
أْسِ هذِهِ السُلْطَاتِ � عَلَى رَ 
“Gabungan kelompok masyarakat 
yang menguasai kawasan tertentu, 
mempunyai wilayah dan anggota 
masyarakat tertentu, dan hakim atau 
khalifah atau amirul mukminin yang 
bertindak sebagai pucuk pimpinan 
kekuasaan ini.”4 
Dari definisi di atas dapat 
diambil kesimpulan 
bahwa daulah atau negara 
terdiri dari tiga unsur, 
yaitu wilayah, rakyat dan 
pemerintahan. 
Dalam mengkaji ketiga unsur pokok 
sebuah negara tersebut, para fuqaha ahli 
tata negara telah menjabarkannya di dalam 
3 h t t p : / / i d . s h v o o n g . c o m / h u m a n i t i e s / r e l i g i o n - 
studies/2171993-pengertian-imamah-imaroh-khilafah- 
dan/#ixzz34g72bqoP 
4 Ibid. 
tema hukum Darul Islam. Dr. Wahbah Zuhaili 
berkata: 
“Hijrahnya Nabi n dari kota Mekkah 
menuju kota Madinah yang merupakan 
titik awal berdirinya sebuah Daulah 
Islamiyah oleh kalangan fuqaha di masa 
awal-awal Islam belum digunakan sebagai 
sebuah terminologi umum, melainkan 
mengungkapkannya dengan istilah Darul 
Islam, karena kalimat daulah belum banyak 
digunakan ulama saat itu. Di sisi lain terdapat 
korelasi makna yang bersifat talazum antara 
istilah kalimat daulah dan Darul Islam.5 
Para fuqaha menyatakan bahwa tugas 
khilafah adalah menegakkan din Islam dan 
melaksanakan hukum-hukumnya, serta 
menegakkan politik Daulah di perbatasan 
Islam. 
Dalam aspek ini, Al-Mawardi menjelaskan 
bahwa, “Apabila imam (kepala negara) 
telah menjalankan semua tugas-tugasnya 
dalam memenuhi hak-hak rakyatnya 
dan menegakkan hak-hak Allah SWT di 
antara mereka, maka wajib bagi rakyatnya 
memenuhi dua hak sang imam, yaitu hak 
menaatinya dan hak membantu tugasnya.”6 
5 Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, VIII/6304 
6 Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 15
21 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Bagaimana dengan Daulah Islam Irak dan 
Syam (ISIS)?7 
Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) 
mengklaim sebagai daulah Islam dan 
memakai dalil-dalil baiat kubra untuk 
menguatkannya. Syaikh Abu Bakar Al- 
Baghadi juga dijuluki Amirul Mukminin. 
Namun, pihak lain menyebutnya dengan 
kata jamaah atau tanzim Daulah. Bahkan 
Syaikh Aiman Al-Zawahiri juga menyebut 
demikian. 
Banyak hal yang menguatkan bahwa ISIS 
adalah organisasi. Namun sebelumnya, kita 
perlu memahami perbedaan antara tanzhim 
dan daulah, terutama konsekuensi baiatnya. 
Ini perkara mendasar yang membedakan 
antara keduanya dan konsekuensi-konsekuensi 
di baliknya. Tabel berikut 
merupakan beberapa konsekuensi baiat 
keduanya: 
Pemahaman dasar tersebut menjadi 
penting untuk melihat apa yang harus 
dilakukan Daulah Islam ketika ada pihak yang 
keluar maupun menolak berbaiat, dalam 
kapasitas Daulah sebagai tanzim maupun 
7 Sebagaimana telah kami sebutkan dalam Pengantar, 
makalah ini dirancang ketika ISIS masih menjadi 
"Daulah," belum mendeklarasikan diri sebagai 
"Khilafah." 
daulah Islam dalam makna kepemimpinan 
tertinggi Islam. Demikian pula menjadi 
pandangan setiap umat Islam dalam masalah 
ini. 
Kembali ke persoalan sebelumnya, ISIS 
tanzim ataukah daulah? Syaikh Athiyatullah 
Al-Libbi ketika ditanya tentang Daulah Islam 
Irak (ISI): Mengapa namanya Daulah, bukan 
Imarah, apa bedanya? Beliau menjawab: 
“Nama ’Daulah Islam Irak’ adalah julukan 
bagi entitas politik dan sosial bagi mujahidin 
dan kaum muslimin ahli sunnah di wilayah 
ini sebagai bagian dari negeri-negeri Islam 
lainnya. Ini hendaknya tidak hilang dari 
ingatan kita.” 
Beliau menjelaskan bahwa pemilihan 
nama dan julukan itu sifatnya ijtihad. Makna 
sesungguhnya berhubungan erat dengan 
fakta dan kenyataan yang ada. 
Contohnya, julukan Amirul Mukminin 
dalam sebuah nama daulah. Maksudnya 
adalah pemimpin dan pemegang otoritas 
politik “Daulah”. Julukan ini sifatnya ijtihadi, 
yaitu nama pemimpin dalam Daulah ini. 
Tetapi, maksudnya bukanlah pemimpin 
tertinggi (imam a’dzam) yang diangkat 
berdasarkan baiat umum dari kaum
22 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
muslimin atau oleh Ahlul Halli wal Aqdi, atau 
melakukan kudeta atas suatu negeri Islam 
sampai akhirnya disebut Amirul Mukminin 
dalam arti pemimpin tertinggi atau khalifah. 
Meskipun penamaan dan julukan seperti 
itu dibolehkan sesuai konteks ijtihad tadi, 
Syaikh Athiyatullah Al-Libbi melihat bahwa 
memilih nama lain lebih utama dan lebih 
baik. Termasuk sebutan Amirul Mukminin 
bagi Mulla Muhammad Umar sebelumnya. 
Menurutnya, nama Amir saja tanpa 
tambahan mukminin lebih baik sebab 
kesannya lebih jelas. Yakni dialah pemimpin 
suatu Daulah atau Imarah, dalam makna 
bukan daulah khilafah. Mengapa bukan 
Amirul Mukminin? 
Sebab, masih menurut Syaikh, ini bisa 
menimbulkan ilusi bahwa ia adalah imam 
tertinggi (khalifah). “Itu bisa membuat 
kerancuan bagi saudara-saudara kita, 
mungkin akan mengira bahwa itu khalifah! 
Sebab julukan Amirul Mukminin ini sudah 
tertanam dalam benak kaum muslimin sejak 
Umar bin Khathab a bahwa julukan Amirul 
Mukminin ini adalah untuk imam tertinggi 
dan khalifah.” 
Hal itu, menurut beliau, lebih menambah 
kerancuan dengan kondisinya (Abu Bakar 
Al-Baghdadi)—semoga Allah menjaganya— 
adalah dari suku Quraisy8 dan keturunan 
Husain. Ilusinya semakin kuat!9 
Syaikh Athiyatullah termasuk ulama yang 
menyetujui proyek Daulah Islam Irak, dan 
tampak jelas bahwa beliau juga mendoakan 
kebaikan bagi Syaikh Al-Baghdadi. Namun 
beliau memahami bahwa Daulah Islam Irak 
adalah imarah Islam yang tidak berbeda 
dengan makna tanzhim. 
Baiat Al-Baghdadi kepada Al-Zawahiri 
Banyak kalangan mempertanyakan 
hubungan antara Daulah Islam Irak dan 
Syam (ISIS) dan Al-Qaidah serta status baiat 
antara pemimpinnya. Bukan kalangan awam, 
bahkan para ulama seperti Dr Thariq Abdul 
Halim, Dr Hani As-Sibai dan lainnya juga 
mempertanyakannya. 
Pertanyaan Dr Thariq dan Dr Habi As-Sibai 
tidak berbeda, yaitu urusan baiat Syaikh 
Al-Baghdadi kepada Syaikh Al-Zawahiri 
merupakan baiat yang belum ada kepastian, 
baik sifat maupun hakikatnya. 
Padahal jawaban tersebut sangat penting. 
Untuk mendudukkan perkara sebenarnya. 
Sekurang-kurangnya pertanyaan-pertanyaan 
berikut akan terjawab. 
Penolakan Al-Jaulani atas deklarasi Daulah 
Islam Irak dan Syam adalah penolakan yang 
salah bila alasannya hanyalah karena Al- 
Jaulani tidak diajak bermusyawarah lebih 
8 Lihat kembali syarat-syarat imam tertinggi. 
9 http://www.muslm.org/vb/showthread.php?516157- 
-خيشلا 28 %-اـهدودح-امو-نينمؤملا-ريمأ-اذاملو-ةيملاسلإا-ةلودلا-اذاـمل 
الله-همحر-الله-ةيطع 
Nama "Amir" saja tanpa 
tambahan mukminin lebih 
baik sebab kesannya lebih 
jelas. Yakni dialah pemimpin 
suatu Daulah atau 
Imarah, dalam 
makna bukan 
daulah khilafah. 
Syaikh Athiyatullah Al-Libbi
23 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
dahulu, seperti disebutkan dalam pidatonya.10 
Al-Jaulani juga (bisa dianggap) berdosa 
karena telah melepaskan baiat dari Al- 
Baghadi dengan alasan yang tidak 
dibenarkan. 
Semua arahan Syaikh Aiman, termasuk 
perintah membekukan ISIS tidak mengikat 
sebab hubungannya hanyalah kerja sama 
dan saling menasihati sesama tanzim, bukan 
perintah. Demikian, dan masih banyak lagi. 
Ini adalah persoalan besar. Namun, saat 
banyak pihak mempertanyakan hakikat 
hubungan tersebut, Abu Mu’adz Asy-Syar’i 
mengomentari pertanyaan Dr Habi As-Sibai 
dan menyatakan bahwa esensinya bukan 
pada masalah baiat. Tetapi ada persoalan lain 
yang tidak diperdebatkan lagi yang menjadi 
akar masalah antara JN dan ISIS, yaitu 
penyimpangan manhaj Al-Qaidah. Al-Qaidah 
(dianggap) kesusupan akidah sururiyah dan 
lima poin lainnya tanpa menyebutkan bukti 
apa pun.11 
Dr. Thariq Abdul Halim menilai Abu Mu’adz 
Asy-Syar’i telah menelanjangi Dr Aiman dan 
Dr Hani Sibai sebagai tokoh yang dalam 
10 Rabu, 29 Jumadil Ula 1434 /10 April 2013 M, yang 
diterbitkan oleh Media Al-Manarah al-Baidha’. 
11 Lihat http://alplatformmedia.com/vb/showthread. 
php?t=42298 
sejarah panjang telah mengabdikan diri 
dalam pertarungan dengan thaghut dengan 
lisan dan perbuatan. “Nama, rupa, sejarah 
dan pengalaman keduanya telah dikenal, 
sedangkan lainnya tidaklah kita kenal rupa, 
sejarah, dan tulisannya kecuali penambahan 
kata “Asy-Syar’i” yang tidak pernah kita 
kenal sebelumnya kecuali setelah muncul 
perkataan-perkataan mereka di justpaste. 
it12 sejak pengumumam “Daulah Islam” 
beberapa bulan lalu,” ungkapnya. 
Dr Thariq mengapresiasi upaya para 
pendukung Daulah dalam menjawab setiap 
persoalan. Namun, “sangat disayangkan, 
tindakan ini dinilai sebagian orang telah 
menjadi ciri umum Daulah, yaitu menghantam 
siapa dan apa saja yang sifatnya menyelisihi 
Daulah.” 
Dan itu berimbas kepada para pendukung 
mereka di twitter dan facebook. Mereka 
seolah-olah telah memenangkan al-haq 
secara keseluruhan dan tidak terbantahkan 
lagi; bebas dari kesalahan secara keseluruhan. 
Merekalah yang benar dalam setiap hal yang 
mengingatkan mereka.” 
12 Hosting gratis tempat berbagi artikel dan tulisan.
24 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Ya, permasalahan baiat 
antara Syaikh Al-Zawahiri 
dan Syaikh al-Baghdadi 
adalah jantung dari masalah 
ini. Itulah sebabnya jawaban 
dari kedua pihak sangat 
ditunggu-tunggu. 
Sebenarnya, Dr Thariq telah memiliki 
persepsi bahwa Al-Baghdadi berbaiat 
kepada Al-Zawahiri. Ia memiliki kesaksian 
dari orang yang dikenal sebagai orang adil 
dan kesaksiannya tidak patut didustakan. 
Di sisi lain, berdasarkan upaya penyelesaian 
masalah antara ISIS dan JN, Dr. Thariq Abdul 
Halim melihat bahwa Abu Bakar Al-Baghdadi 
sebenarnya menerima Syaikh Aiman menjadi 
hakim bagi dirinya dan Al-Jaulani.13 Hanya 
saja, ketika keputusannya tidak sesuai 
dengan keinginan Daulah, Al-Baghdadi 
tidak melaksanakannya. Ini menguatkan 
bahwa Al-Zawahiri adalah amir Al-Baghdadi. 
Karena itulah, beliau menginginkan pihak 
Daulah memberikan penjelasan tegas dalam 
masalah ini.14 
Pertanyaan-pertanyaan para ulama 
tersebut akhirnya dijawab oleh Syaikh Aiman. 
Surat Syaikh Aiman menjawab pertanyaan-pertanyaan 
Dr. Thariq Abdul Halim, Dr. Hani 
As-Siba’i, Dr. Iyadh Qunaibi, Dr. Abdullah 
Al-Muhaisini, Syaikh Muhammad Al-Hashmi 
dan Dr. Sami Al-Uraidi.15 
"Adapun pertanyaan kalian tentang 
jamaah Daulah Islamiyah di Irak dan 
Syam (ISIS), sebelum dan sesudah 
13 Lihat http://www.tariqabdelhaleem.net/new/ 
Artical-72557 
14 Ibid. 
15 h t t p : / / w w w . a l m a q r e z e . n e t / a r / n e w s . 
php?readmore=2445 
pengumuman ekspansi serta persoalan 
baiat, maka saya telah menjelaskan 
dalam tulisan saya berjudul: Kesaksian 
untuk menghentikan pertumpahan 
darah mujahidin di Suriah. Yaitu bahwa 
Daulah Islam Irak (ISIS) adalah cabang 
jamaah Al-Qaidah. Amir dan tentara 
ISIS memiliki kewajiban baiat di pundak 
mereka terhadap jamaah Al-Qaidah. 
Amir mereka adalah Usamah bin 
Ladin—semoga Allah mengasihinya— 
kemudian saya yang lemah ini.” 
Salah satu buktinya ialah surat Syaikh Al- 
Baghdadi kepada Syaikh Aiman pada 7 Dzul 
Hijjah 1433. Di dalamnya, Syaikh Al-Baghdadi 
mengatakan: 
“Syaikh kami yang diberkati, kami 
ingin menjelaskan dan mengumumkan 
kepadamu bahwa kami adalah bagian 
darimu. Kami adalah dari dan untukmu. 
Kami berhutang kepada Allah bahwa 
engkau adalah pemegang otoritas 
urusan kami. Engkau memiliki hak 
ketaatan (sam’u wa tha’ah) selama 
kami hidup. Dan bahwa nasihat dan 
peringatanmu untuk kami adalah hak 
kami untuk menerimanya darimu. 
Perintahmu mengikat bagi kami. 
Akan tetapi, beberapa masalah 
adakalanya memerlukan beberapa 
penjelasan untuk menangani 
kenyataan yang terjadi di lapangan 
kami. Kami berharap engkau lapang 
dada untuk mendengar sudut pandang 
kami. Setelah itu, engkau berhak 
mengeluarkan perintah karena kami ini 
hanyalah anak-anak panah di busurmu.” 
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi 
bersaksi kepada Allah atas kebenaran 
semua pernyataan Syaikh Aiman Al-Zawahiri
25 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
tentang hubungan ISIS dan Al-Qaidah16 dan 
ini juga diakui oleh Juru Bicara ISIS Syaikh 
Al-Adnani dalam pidatonya yang berjudul 
“Maaf wahai Amir Al-Qaidah”: 
“Sesungguhnya semua kesaksianmu 
yang engkau sebutkan itu adalah 
benar”.17 
Di antara kesaksian Syaikh Aiman saat ISIS 
masih di Irak ialah: 
“Syaikh Abu Hamzah t mengirimkan 
surat kepada kepemimpinan pusat (Al- 
Qaidah) yang isinya membenarkan 
pembentukan Daulah. Ia menegaskan 
di dalamnya bahwa loyalitas Daulah 
adalah kepada jamaah Al-Qaidah dan 
bahwa saudara-saudara di Dewan 
Syuro telah mengambil janji kepada 
Syaikh Asy-Syahid—seperti yang kami 
harapkan—Abu Umar Al-Baghdadi 
bahwa amirnya adalah Syaikh Usamah 
bin Ladin t. Dan bahwa Daulah 
berada di bawah jamaah Al-Qaidah. 
Akan tetapi, Dewan Syuro memandang 
saudara-saudara harus diberitahu itu, 
namun tidak diberitahukan secara 
luas dengan beberapa pertimbangan 
politik, yang mereka lihat di Irak saat 
itu.” 
“Delegasi Dewan Syuro Daulah Islam Irak 
menanggapinya pada awal Dzul Qa’dah 
1431, sebagai berikut: '... Seluruh ikhwah 
di sini, yang dipimpin oleh Syaikh Abu 
Bakar, semoga Allah melindunginya 
dan Dewan Syura sepakat bahwa tidak 
ada keberatan bila imarah (daulah) ini 
bersifat sementara. Dan kalian boleh 
mengirimkan seseorang kepada kami 
bila kalian melihat keputusan sebagai 
bagian dari perwujudan maslahat 
16 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401 
17 Lihat transkripnya di http://www.dawaalhaq. 
com/?p=12828 
untuk menyerahkan imarah ini. Kami 
tidak keberatan dan kami semua di 
sini adalah prajuritnya (Syaikh Usamah) 
yang di pundak mereka ada beban 
mendengar dan taat. Kewajiban ini 
adalah hasil kesepakatan dari Majelis 
Syuro dan Syaikh Abu Bakar Al- 
Baghdadi, semoga Allah melindungi 
mereka.”18 
Hal yang sama juga dilakukan saat 
kepemimpinan Al-Qaidah dipercayakan 
kepada Syaikh Aiman, sepeninggal 
Syaikh Usamah bin Ladin. Syaikh Al- 
Baghdadi meminta kepastian apakah 
18 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401 
Transkrip penjelasan Al-Zawahiri tentang hubungan 
Al-Qaidah dan ISIS. Terjemahnya dapat dilihat di : 
http://www.kiblat.net/2014/05/03/inilah-penegasan-al- 
qaidah-untuk-jn-dan-isis/
26 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
harus memperbarui baiat secara terang-terangan 
atau cukup secara rahasia seperti 
sebelumnya. Disebutkan juga dalam surat Dr 
Aiman, menukil dari surat yang dikirimkan 
kepada beliau dari Daulah: 
“… dan ia (Syaikh Al-Baghdadi) 
menanyakan posisinya dari sudut 
pandang kalian (organisasi Al-Qaidah), 
ketika ada pengumuman amir baru 
di organisasi (Al-Qaidah). Apakah 
Daulah harus memperbarui baiatnya 
secara terang-terangan atau secara 
rahasia saja, seperti yang dilakukan 
sebelumnya. Ini penting sebab saudara-saudara 
di sini adalah anak panah di 
busurmu.”19 
Semua proses tersebut dilakukan secara 
rahasia antara dua pihak. Maka wajar bila 
sekelas tokoh senior dalam dunia jihad pun 
tidak mengetahui hubungan sebenarnya 
antara Al-Baghdadi dan Al-Zawahiri. 
Dengan demikian semua pertanyaan 
seputar status ISIS dan hubungannya dengan 
Al-Qaidah terjawablah sudah. 
Daulah adalah bagian dari Al-Qaidah. 
Sejak awal berdirinya adalah bagian dari 
Al-Qaidah pusat. Pembubaran tanzim Al- 
Qaidah fi Bilad Rafidhain oleh Syaikh AIman 
Al-Zawahiri dan diumumkan bergabung 
dengan Daulah adalah langkah yang 
benar. Ini bukan berarti tidak adanya baiat 
kepada Al-Qaidah pusat. Sebab sifatnya 
diintegrasikan, bukan independen. 
Pernyataan-pernyataan Syaikh Al-Zawahiri 
dan Syaikh Usamah dalam memuji Daulah 
adalah wujud apresiasi kepemimpinan pusat 
kepada organisasi cabang. Azh-Zhawahiri 
pernah menyatakan: 
19 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401 
“... Dan pada hari ini (2007) Daulah 
Islam Irak telah didirikan di Irak. Para 
mujahidin merayakan (berdirinya) di 
jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut 
berdemonstrasi untuk mendukungnya 
di kota-kota dan desa-desa Irak, 
dukungannya diumumkan, dan baiat 
terhadapnya (Daulah Islam Irak) 
dilakukan di masjid-masjid Baghdad.”20 
Maka tidak salah bila Syaikh Aiman pernah 
menyatakan: 
“Saya ingin menjelaskan bahwa pada 
hari ini tidak ada kelompok yang 
bernama Al-Qaidah di Irak. Sebagai 
gantinya Al-Qaidah yang berada di 
Irak menyatukan diri dengan Daulah 
Islamiyah Irak— semoga Allah 
menjaganya – bersama jama’ah-jama’ah 
jihad lainnya. Daulah Islam Iraq 
adalah Imarah Syar’iyah yang berdiri 
di atas manhaj syar’i yang benar dan 
didirikan melalui Syura (musyawarah) 
dan membai’at sebagian besar 
Mujahidin dan suku-suku di Irak.” 
Adalah sikap yang tepat sebagai pemimpin 
untuk menengahi dan mendudukkan 
masalahnya ketika bagian dari organisasinya 
mendapatkan tuduhan. Daulah Islam Irak 
dituduh menjadi penyebab berbagai perang 
saudara dan dituding telah membunuh 
orang-orang sipil dan menumpahkan darah. 
Syaikh Aiman pada saat itu menjawab: 
“Ini merupakan suatu tuduhan, 
dan tuduhan memerlukan bukti. 
Sebagaimana halnya Daulah Islamiyah 
Irak mengumumkan kesiapannya 
untuk menanggapi setiap keluhan…. 
20 Simak pesan Aiman Azh-Zhawahiri, Nashiihah 
Musyaffaq, yang dirilis pada Juni 2007. http://archive. 
org/download/The-Advice-of-One-Concerned3b/ 
The-Advice-of-One-Concerned3b_512kb.mp4
27 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Saya tidak memiliki kewenangan 
untuk berlepas diri maupun membela 
berbagai bentuk urusan sebelum 
saya mendengar dari dua sisi urusan 
tersebut.”21 
Prospek Daulah Islam Akhir Zaman 
Bagaimanapun Daulah Islam Irak awalnya 
adalah tanzim yang disetujui dan dipuji oleh 
para ulama jihad dan proyek Daulah Islam 
yang digadang-gadang menjadi cikal-bakal 
khilafah ala manhaj nubuwwah. Ini adalah 
harapan para pemimpin pergerakan jihad, 
terlebih lagi para pemimpin Daulah. 
Syaikh Al-Adnani misalnya dalam 
pernyataan berjudul “La yadzurrukum illa 
adza” mengatakan, ‘Proyek kami adalah 
proyek umat. Tujuannya adalah menegakkan 
daulah Islam ala manhaj nubuwwah, yang 
tidak mengenal batas (teritorial), tidak 
membedakan Arab dan non-Arab, tidak 
pula timur dan barat, kecuali ketakwaan dan 
loyalitasnya yang tulus kepada Allah.”22 
Dalam dalam salah satu pesannya, Azh- 
Zhawahiri berkata, “... Dan pada hari ini 
(2007) Daulah Islam Irak telah didirikan di 
Irak. Para mujahidin merayakan (berdirinya) 
di jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut 
berdemonstrasi untuk mendukungnya di 
kota-kota dan desa-desa Irak, dukungannya 
diumumkan, dan baiat terhadapnya (Daulah 
Islam Irak) dilakukan di masjid-masjid 
Baghdad.”23 
21 http://www.arrahmah.com/read/2008/01/15/1503- 
wawancara-eksklusif-syaikh-aiman-az-zawahiri-mengenai- 
dunia-islam-bag-1.html 
22 http://alplatformmedia.com /vb/s howthread. 
php?t=26620 
23 Simak pesan Aiman Azh-Zhawahiri, Nashiihah 
Musyaffaq, yang dirilis pada Juni 2007. http://archive. 
org/download/The-Advice-of-One-Concerned3b/ 
The-Advice-of-One-Concerned3b_512kb.mp4 
Pernyataan Aiman Azh-Zhawahiri menarik 
untuk dicermati: “Sungguh, Al-Qaidah ingin 
agar umat Islam memiliki seorang khalifah 
yang mereka pilih sendiri dengan kerelaan, 
keputusan bulat, atau dengan kesepakatan 
mayoritas mereka. 
Dan seandainya umat Islam 
memungkinkan untuk menjalankan hukum 
Allah di manapun wilayah tersebut sebelum 
tegaknya khilafah, maka orang yang diridai 
(direstui) oleh umat Islam di wilayah tersebut 
sebagai imam (pemimpin) yang memenuhi 
syarat-syarat syar’i dan akan memimpin 
umat dengan Al-Quran dan As-Sunnah, 
maka kami merupakan orang pertama 
yang akan merestuinya. Karena kami bukan 
menginginkan kekuasaan, namun hanya 
menginginkan (tegaknya) hukum Islam.”24 
Apakah daulah atau imarah kecil tidak 
bisa menjadi Daulah Islam? Apakah baiat 
amal atau baiat jihad dalam taraf tertentu 
tidak bisa menjadi baiat kubra? 
Tentu bisa. Sebab sebuah daulah, bila 
berkaca kepada perjuangan Nabi n 
menegakkan Daulah di Madinah, merupakan 
proses yang tidak lepas dari kekurangan 
dan kesabaran. Ya, meskipun kondisi Daulah 
Islam, menurut beberapa analisis, tidak layak 
dianalogikan dengan Madinah. 
Sebagian karya dan tulisan ulama yang 
menguatkan baiat Syaikh Al-Baghdadi telah 
kami baca dan teliti dan telah dibantah pula 
oleh banyak pihak. Ada yang kuat di satu 
bagian namun ada juga kelemahan di bagian 
lain. Namun satu hal yang harus menjadi 
catatan adalah pengakuan terhadap ISIS dan 
baiat Syaikh Al-Baghdadi. Ya, pengakuan 
kaum muslimin. 
24 Simak pesan audio Aiman Azh-Zhawahiri, Al-Iman 
Yashra’u Al-Istikbar. http://www.youtube.com/ 
watch?v=aIa7Mx43D5g
28 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Misalnya baiat kepada imam yang tidak 
dikenal (majhul), bantahannya kemungkinan 
lebih kuat, namun yang dibantah juga tidak 
bisa ditolak secara total. Majhul bagi sebagian 
orang, belum tentu majhul bagi sebagian 
lain. Demikian pula persoalan lainnya. 
Tetapi, perdebatan itu tidak 
berlaku untuk pengakuan. 
Sebuah daulah maupun 
baiat tidak akan berlaku 
tanpa pengakuan kaum 
muslimin. 
Apakah pengakuan tersebut harus datang 
dari seluruh manusia? 
Tentu saja tidak, tetapi umat Islam secara 
umum atau sebuah proses yang dengan itu 
kepemimpinan dan kekuasaan bisa berjalan. 
Ibnu Khaldun di Mukadimah mengatakan, 
“Yaitu baiat dari Ahlul Halli wal Aqdi yang 
dengan mereka tercapailah kekuatan dan 
pembelaan.” 
Imam Al-Ghazali berkata, “Seandainya 
yang membaiat Abu Bakar a hanya 
Umar a, sementara umat Islam secara 
keseluruhan tidak mau melakukannya, 
atau mereka terpecah belah dan tidak bisa 
dibedakan mana kelompok mayoritas dan 
mana kelompok minoritas, niscaya tidak ada 
pengukuhan imamah.”25 
Ketika kubu Muawiyah dan Ali tidak mau 
memberikan kesepakatan untuk menaati 
salah satu pihak, maka Muawiyah—sesuai 
riwayat Ziyad bin Abdullah dari Abu 
Ishaq—menulis surat kepada Ali, “Bila 
engkau bersedia, ambillah Irak, dan Syam 
untuk saya. Dengan demikian, berhentilah 
ancaman pedang terhadap umat ini dan 
25 Fathaih Al-Bathiniyah, 176-177. 
pertumpahan darah di antara umat Islam.” 
Maka Ali menyetujuinya. Keduanya rela 
dengan kesepakatan tersebut. Muawiyah 
tinggal di Syam dengan pasukannya dan 
demikian pula Ali di Irak. 
Manhaj Nabi dalam Menegakkan Daulah 
Intinya adalah membangun kepercayaan. 
Manhaj Nabi n dalam membentuk 
kedaulatan Madinah telah mewariskan 
strategi yang sangat baik. Langkah awal 
setelah menyatukan barisan internal dengan 
membangun masjid dan mempersaudarakan 
antara muhajirin dan Anshar ialah menjalin 
perjanjian dengan Yahudi dan suku-suku di 
sekitarnya untuk menciptakan keamanan di 
Madinah. 
Allah bahkan memberikan kelonggaran 
yang jelas bagi pembela kebenaran, “Dan 
bila mereka cenderung kepada perdamaian, 
maka cenderunglah kepada perdamaian itu. 
Dan bertawakallah kepada Allah.” (QS. Al 
Anfal: 61) 
Nabi n mengirimkan surat kepada orang-orang 
kafir, mengajak mereka untuk bertobat 
dan masuk Islam. Nabi juga menerima hadiah 
dari mereka, dan juga meminta bantuan. 
Maka tidaklah salah ketika Syaikh Abu 
Muhammad Al-Maqdisi berpesan untuk 
amal jihad di Suriah: 
"Kami ingatkan mereka akan urgensi 
memperhatikan siyasah syar’iyyah yang 
ditempuh Nabi n, khususnya pada awal-awal 
berdirinya negara dan sebelum terbentuknya 
kekuatan kaum muslimin di Madinah. Beliau 
memelihara persekutuan-persekutuan yang 
diadakan. Beliau mengadakan perjanjian-perjanjian 
bahkan dengan orang-orang 
Yahudi. Beliau tidak membatalkannya sampai 
negara Islam menguat dan mereka sendiri 
yang melanggar.
29 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Demikian juga, beliau tidak bersegera 
mengadakan bentrok dengan orang-orang 
munafik padahal beliau mengalami 
gangguan dari mereka. Beliau membiarkan 
mereka dan menunda sampai terbentuknya 
kekuatan kaum Muslimin. Beliau bersikap 
memaafkan dan berpaling dari jenis munafik 
yang lain agar orang-orang tidak berbincang-bincang 
(menyebar isu) bahwa Muhammad 
membunuh para shahabatnya sendiri. 
Kami juga mengingatkan mereka akan 
langkah Nabi n yang menempuh sunnah-sunnah 
dan sebab-sebab kauni. Kondisi 
tidak berdaya, sedikitnya persenjataan, dan 
lemahnya kekuatan kaum muslimin menjadi 
pertimbangan bagi beliau. Padahal beliau 
adalah tokoh orang-orang yang bertawakal, 
penyabar dan orang-orang yang yakin. 
Beliau juga memperhatikan kondisi 
para shahabat, yang notabene baru saja 
meninggalkan masa jahiliah dan Islam belum 
mengakar di hati banyak dari mereka. Itulah 
sebagian pertimbangan-pertimbangan yang 
diperhatikan Rasulullah n. 
Sebab, meski mayoritas mereka melebur 
pada kategori Muhajirin dan Anshar, namun 
beliau tidak lupa bahwa hati para shahabat 
itu masih mengunggulkan tokoh-tokoh 
mereka. Para shahabat masih memandang 
para pembesar mereka, serta berkonsultasi 
kepada para pemikir mereka dalam 
menghadapi suatu peristiwa. Sirah Nabawi 
memuat hal itu dan mencantumkannya. 
Karena itu, siapa saja yang ingin membakar 
fase-fase ini dan tergesa-gesa dengan cara 
mengabaikan pertimbangan-pertimbangan 
ini serta melompatinya, maka berarti ia 
tergesa-gesa sebelum waktunya. Ia tidak 
memperhatikan siyasah nabawiyyah. Ia akan 
menuai akibat berupa bercabangnya area 
pertempuran dan terbukanya banyak front 
di satu waktu. Hal ini bukanlah termasuk 
siasat Nabi n. 
Karena itu, dalam jihad di Suriah, kami 
ingin agar orang yang muncul pada jajaran 
pimpinannya dan tampak pada tokoh-tokohnya 
adalah saudara-saudara kami ahli 
Tauhid yang notabene adalah penduduk 
negeri itu. Kami melihat ada kemaslahatan 
dalam pengambilan kebijakan tersebut. Ini 
pula yang kami nasihatkan kepada saudara-saudara 
kami mujahidin di berbagai medan 
tempur. Kami tidak suka jika hal tersebut 
diabaikan dengan alasan bahwa ini mengikat 
jihad dengan pembagian-pembagian 
jahiliah Sykes Picot. Sebab, kami tidak 
mengikatnya dengan itu sama sekali, tapi 
kami mengikatnya dengan kitab Allah yang 
memperhatikan hal itu dalam pengutusan 
para nabi. Sehingga, memperhatikan hal itu 
pada selain mereka lebih utama. Demikian 
juga kami mengikatnya dengan siyasah 
nabawiyyah yang memperhatikan hal itu 
pula dan tidak mengabaikannya di banyak 
pertempuran.”26 
(Agus Abdullah) 
26 http://www.tawhed.ws/r?i=17111301
30 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 14345 h J E D A
31 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
“Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para 
khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. (HR. Abu Dawud 
dan Tirmidzi) 
Setelah Rasulullah n wafat, kaum Muhajirin dan Anshar terlibat dalam 
perdebatan di Saqifah Bani Saidah yang nyaris mengarah pada 
konflik. Ketegangan terjadi terkait dengan siapa yang layak menjadi 
pemimpin pengganti Rasulullah n. Setiap pihak mengajukan 
argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai khalifah. 
Kaum Anshar menuntut bahwa mereka adalah orang yang memberi 
tempat kepada Nabi n pada saat kritis. Oleh karena itu seorang penerus 
Nabi harus dipilih di antara mereka. Sedangkan kaum Muhajirin merasa lebih 
berhak mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sebab merekalah yang 
menyertai Rasulullah sejak awal. 
Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas 
menyampaikan pendirian kaum Muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin 
dari kalangan Quraisy. Akan tetapi hal tersebut mendapat perlawanan keras 
dari al-Hubab bin Munzir (kaum Anshar). 
Setelah suasana ketegangan sedikit mereda, Abu Bakar berkata, “Marilah 
kita semua bermusyawarah dan kita pilih bersama siapa yang pantas menjadi 
pemimpin kita semua. Saya ingatkan pilihlah mereka yang tidak meminta 
SUKSESI 
MENURUT ISLAM
32 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
kekuasaan, seperti yang Rasulullah telah 
menyatakan kepada Abbas, pamannya, 
saat ia meminta untuk menjadi gubernur, 
Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu 
tidak memberikan kekuasaan ini kepada 
orang yang memintanya’.” 
Abu Bakar melanjutkan, “Sesungguhnya 
orang yang pantas menjadi Khalifah hanya 
satu, di antara dua orang, yaitu Umar bin 
Khattab dan Ubaidah bin Jarrah.” 
Mendengar usulan Abu Bakar tersebut 
Abu Ubaidah bin Jarrah sepontan kaget 
seperti tersambar petir pada siang bolong. 
Begitu juga Umar bin Khattab, mereka malu 
berhadapan dengan orang besar seperti Abu 
Bakar. Umar bin Khattab berteriak, “Demi 
Allah..., lebih baik aku maju dan dipukul 
leherku tanpa dosa, daripada aku diminta 
memimpin kaum sementara masih ada Abu 
Bakar di dalamnya.” 
Abu Ubaidah bin Jarah pun maju ke 
depan Abu Bakar, sambil berkata, “Mana 
mungkin saya dikatakan pantas! Demi Allah, 
kami yakin hanya engkaulah wahai Abu 
Bakar yang pantas memimpin umat Islam 
pengganti Rasulullah! Engkaulah orang 
yang kami anggap paling mulia di kalangan 
Muhajirin dan Tsaniu-Itsnain. Engkaulah 
yang menemani Rasulullah saat Hijrah, dan 
engkaulah yang pernah menggantikan 
Rasulullah dalam imam salat ketika Rasulullah 
sakit. Padahal salat merupakan hal utama 
sebagai tiang atau landasan tegaknya agama. 
Lantas siapa yang mampu membelakangimu 
dan siapa yang paling layak darimu? Ulurkan 
tanganmu dan kami akan mengangkat bai’at 
terhadapmu.” 
Kemudian Abu Ubaidah dan Basyir bin 
Saad, menjabat tangan Abu Bakar dan 
mengucapkan bai’at diikuti Umar bin Khattab 
serta tokoh-tokoh kaum Anshar yang 
lainnya menyatakan persetujuannya atas 
pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. 
Seluruh yang hadir dalam pertemuan 
tersebut kemudian ikut membaiat Abu Bakar. 
Mereka kemudian ramai-ramai mengarak 
Abu Bakar menuju Masjid Nabawi. Di Masjid 
Nabawi sekali lagi Abu Bakar dibaiat di 
depan khalayak umum. Dengan demikian 
Abu Bakar dinyatakan sah sebagai khalifah 
pengganti Rasulullah n. 
Itulah suksesi kepemimpinan Islam 
sepeniggal Rasulullah n. Proses 
pengangkatan Abu Bakar ra sebagai khalifah 
pertama menunjukkan betapa seriusnya 
masalah suksesi kepemimpinan dalam 
masyarakat Islam dan sekaligus menjadi 
salah satu mekanisme pemilihan pemimpin 
yang jelas dalam Islam. 
Dari proses pengangkatan Abu Bakar 
dan tiga khalifah berikutnya—yang akan 
dijelaskan selanjutnya insya Allah—tersebut, 
kemudian para ulama menetapkan bahwa 
mekanisme pengangkatan khalifah terdiri 
atas dua cara1: 
1. Pemilihan (ikhtiyar) 
Yakni, Ahlu Halli wa ‘Aqdi memilih 
seorang imam yang pada dirinya memenuhi 
persyaratan yang harus dimiliki seorang 
imam. 
1 Abu Umar Asy-Syaif, Siyasah Syar’iah, (Beirut: Dar Al- 
Ma’alim Li Toba’ah, 2007), 192
33 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
2. Penunjukan (istikhlaf) 
Imam sebelumnya menunjuk seseorang 
yang memenuhi persyaratan seorang 
imam untuk menjadi penggantinya, tetapi 
tetap melewati proses syura dengan Ahlu 
Halli wa ‘Aqdi, dan jika terjadi perselisihan 
dalam penunjukan imam pengganti, maka 
perselisihan ini diserahkan dan diselesaikan 
dengan syariat Allah, sesuai dengan firman- 
Nya 
إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ � ن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ �ِ فَإ 
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ذَٰلِكَ � 
أْوِيلًا �أَحْسَنُ تَ � خَيْرٌ وَ 
“Kemudian jika kamu berlainan 
pendapat tentang sesuatu, maka 
kembalikanlah ia kepada Allah (Al 
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika 
kamu benar-benar beriman kepada 
Allah dan hari kemudian. Yang demikian 
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik 
akibatnya.” (An-Nisa’ : 59) 
Qadhi Abu Ya’la menambahkan, “Imamah 
itu ditetapkan dengan dua cara, pertama, 
dengan dipilih oleh Ahlu Halli wa ‘Aqdi. Kedua, 
dengan dipilih dan diangkat oleh imam 
sebelumnya, tetapi dalam pengangkatannya 
tetap melalui musyawarah dengan Ahlu Halli 
wa ‘Aqdi.2 
Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji 
dalam Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As- 
Sunnah wa al-Jama’ah menambahkan, yaitu 
kesimpulan yang bisa diambil dari proses 
istikhlaf yang dilakukan oleh Abu Bakar 
yang menunjuk penggantinya Umar adalah 
selain harus dengan persetujuan Ahlu Halli 
wa ‘Aqdi juga harus dengan kerelaan yang 
ditunjuk sebagai pengganti.3 
3. Imamah Mutaghallibah 
Cara ini bukanlah suksesi kepemimpinan 
Islam yang didasarkan kepada nash ataupun 
atsar yang qath’i. Mekanisme kepemimpinan 
seperti ini akan diulas di halaman 50, insya 
Allah. 
Mekanisme Ikhtiar 
Pemilihan dengan cara ikhtiar terwujud 
dalam pengangkatan Abu Bakar4 seperti 
dikisahkan di awal tulisan ini, Utsman bin 
Affan5 dan Ali Bin Abi Thalib.6 
Pengangkatan Utsman bin Affan juga 
melalui proses ikhtiar. Amirul Mukminin 
Umar bin Khattab pada saat itu menunjuk 
6 shahabat yang terpercaya. Khalifah Umar 
yakin bahwa integritas dan kapabilitas 
keenam shahabat ini tidak diragukan lagi. 
Sehingga umat Islam pada saat itu tidak akan 
ragu mewakilkan hak suara mereka kepada 
2 Al-Qadiy Abu Ya’la, Ahkamu Sulthaniyah, (Beirut: Dar 
Kutub Al-‘Alamiyah, 2000), 23 
3 Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imamah 
al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah, 
(Riyadh:Dar Thoyyibah, 1403 H), 151 
4 Ibid, 148 
5 Ibid, 153 
6 Syaikh Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bin Abi 
Thalib, Jakarta:Yayasan Ash-Shilah, 395
34 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
keenam shahabat yang shalih ini, yaitu 
Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad 
bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, 
Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin 
Awwam. Inilah enam shahabat dari sepuluh 
shahabat yang dijamin masuk jannah. 
Setelah melalui proses musyawarah—yang 
akan kami sebutkan nanti insya Allah—maka 
terpilihlah khalifah Utsman bin Affan sebagai 
pengganti dari Khalifah Umar bin Khattab 
melalui proses ikhtiyar para Ahlu Halli wa 
‘Aqdi yang telah diridhai umat Islam pada 
saat itu.7 
Pengangkatan shahabat Ali bin Abi Thalib 
juga menggunakan cara ikhtiar. Setelah 
Utsman terbunuh pada malam Jum’at 18 
Dzulhijjah tahun 35 H, kaum muslimin 
mendatangi Ali a Beberapa orang 
shahabat mengetuk-ngetuk pintunya dan 
berkata, “Sesungguhnya Amirul Mukminin 
telah terbunuh, sedang kaum muslimin 
harus memiliki seorang khalifah. Kami tidak 
melihat seseorang yang lebih layak dengan 
kekhalifahan selain anda.” 
Kemudian Ali berkata kepada mereka, 
“Janganlah kalian memilih aku, cukuplah 
aku sebagai menteri pembantunya. Karena 
itu pilihlah untuk diriku seorang Amir 
bagi kalian.” Akan tetapi,mereka tetap 
berkata,”Demi Allah, tidak, kami tidak 
melihat seseorang yang lebih layak selain 
Anda.” Lalu Ali berkata, “Jika kalian tetap 
menolak, maka baiklah, namun syaratnya 
acara pembai’atanku ini tidak dilakukan 
secara rahasia melainkan aku akan keluar 
menuju masjid dan di sanalah nanti kalian 
membaia’atku.” Kemudian ia keluar menuju 
masjid, setelah itu seluruh kaum muslimin 
berduyun-duyun membai’atnya.”8 
7 Fathul Bary, 7/67 
8 Abu Bakar AL-Khallal, Kitab Sunnah, 415 
Sebagian orang menyanggah ijma’ atas 
kekhalifahan Ali berdasarkan beberapa 
alasan sebagai berikut: 
Adanya sekelompok shahabat yang 
tidak mau membai’at Ali seperti Sa’ad bin 
Abi Waqash, Muhammad bin Maslamah, 
Ibnu Umar, Usamah bin Zaid, Shuhaib, 
Zaid bin Tsabit dan Salamah bin Salaamah 
bin Waqsy. Klaim ini tidak benar, karena 
tidak ada seorang pun dari sahabat yang 
tidak mau membaiat Ali. Adapun dalam hal 
membantu dan mendukungnya, memang 
ada beberapa orang dari mereka yang 
enggan melakukannya, karena masalah ini 
adalah masalah ijtihadiyah. Maka masing-masing 
berhak berijtihad dan memberikan 
pandangannya. Semuanya benar sesuai 
denga porsi dan batasannya.9 
Penduduk Syam, yaitu Muawiyah dan 
orang-orang yang bersamanya tidak 
mau membaiat Ali, bahkan mengadakan 
perlawanan terhadapnya.10 Klaim ini salah 
karena Muawiyah tidak memerangi atas 
kekhalifahan Ali dan tidak pula karena 
mengingkari keimamahannya. Muawiyah 
hanya menuntut Ali menegakkan hukum had 
syar’i atas orang-orang yang berkomplot 
dalam pembunuhan Utsman. Muawiyah 
dalam hal ini merasa benar dengan ijtihadnya, 
meskipun pada dasarnya salah. Maka dari 
ijtihadnya, ia mendapat satu pahala.11 
Beberapa riwayat yang menyatakan bahwa 
Thalhah dan Zubair dipaksa untuk melakukan 
baiat adalah batil dan rusak.12 Karena di sisi 
lain terdapat beberapa riwayat shahih yang 
menetapkan bai’at mereka kepada Ali secara 
sukarela tanpa paksaan apapun. 
9 Al-BAqilani, At-Tamhid, 233-234. 
10 Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah fi Ash-Shahabah, vol. 
2, 695 
11 Ibid, vol, 2, 696 
12 Isytishad Usman, 141
35 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Sebagaimana riwayat shahih yang 
dituturkan oleh Ibnu Hajar dari jalur Al- 
Ahnaf bin Qais. Diriwayatkan bahwa 
Aisyah, Thalhah dan Zubair menyuruh Al- 
Ahnaf agar membai’at Ali setelah mereka 
bermusyawarah menentukan siapakah yang 
layak dibaiat sepeninggal Utsman bin Affan.13 
Mekanisme Istikhlaf 
Pemilihan secara istikhlaf adalah 
pengangkatan Umar bin Khattab.14 Abu Bakar 
jatuh sakit di musim panas tahun 634 M, dan 
selama 15 hari dia berbaring ditempat tidur. 
Khalifah ingin sekali menyelesaikan masalah 
peggantian dan mencalonkan seorang 
pemimpin. Ia tidak ingin rakyatnya masuk 
ke dalam perang saudara karena tidak ada 
pemimpin. 
Berdasarkan penilain pribadinya, Abu Bakar 
yakin bahwa tidak ada seorang pun kecuali 
Umar bin khatthab yang dapat mengambil 
tanggung jawab kekhalifahan yang berat 
13 Fathul Bari, vol 13, 38, Istisyhad Usman, 141. Al- 
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, vol 11, 118. Seluruh 
rawinya adalah rawi hadits shahih kecuali Umar bin 
Jawan, ia hanyalah orang yang diterima hadistnya, 
dan telah dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul 
Bariy,vol. 34, 13-57 
14 Ibnul Jauziy, Shirah Umar bin Khattab, (Dar Ibnu 
Khaldun, 1996), 44 
itu. Namun, Abu Bakar ingin mengambil 
pendapat umum. Ia bermusyawarah dengan 
para sahabat yang terpandang. Imam Ath- 
Thabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke 
atas balkon rumahnya dan berbicara kepada 
orang banyak yang berkerumunan di bawah, 
”Apakah kalian akan menerima orang yang 
saya calonkan sebagai pengganti saya?” 
“Saya bersumpah bahwa saya melakukan 
yang terbaik dalam menentukan hal ini, dan 
saya telah memilih Umar bin Khathab sebagi 
pengganti saya. Dengarkanlah saya, dan 
ikutilah keinginan-keinginan saya.” Mereka 
semua berkata serempak, “Kami telah 
mendengar Anda dan Kami akan menaati 
Anda.” 
Ahlul Halli wal Aqdi 
Semua cara pengangkatan imam tadi, 
baik ikhtiar maupun istikhlaf, tidak lepas 
dari proses musyawarah dan persetujuan 
para sahabat senior, yang kemudian dalam 
konsep Islam dikenal dengan istilah Ahlu 
Halli wa ‘Aqdi. Kedudukan Ahlu Halli wal 
Aqdi ini sangat penting, apalagi bagi umat 
Islam zaman ini. Sebab, keputusan mereka 
bisa diterima umat dan mengikat mereka. 
Pemimpin atau khalifah bisa diterima dan
36 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
tidak ada penentangan. 
Mengapa mereka yang tidak secara tegas 
diangkat oleh rakyat menjadi wakil, tetapi 
peran mereka benar-benar mewakili umat? 
Siapakah sebenarnya Ahlu Halli wa ‘Aqdi ini 
dan bagaimana proses terbentuknya? 
Ahlu Halli wa ‘Aqdi adalah sekelompok 
manusia yang memiliki kapasitas ilmu dien 
yang memadai, budi pekerti atau akhlak 
serta mempunyai ilmu dan diakui oleh umat. 
Terkadang disebut sebagai ahlu ikhtiar, ahlu 
syura, dan ahlu ra’yi wa tadbir. Sebagian 
ulama ada yang mendefinisikan mereka 
adalah ulama dan para pemimpin yang 
terkemuka di antara manusia yang mudah 
untuk berkumpul bersama.15 
Dr. Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa 
Ahlu Halli wa ‘Aqdi adalah ulama mujtahid, 
tokoh-tokoh terkemuka yang keberadaannya 
berfungsi mewakili umat dalam memilih 
imam.16 
15 Syihabuddin Ar-Romly,Nihayatul Muhtaj ila Syarhi 
Manhaj,(Beirut:Dar Kutub Al-Alamiyah,2003) vol. 7, 
390 
16 Prof DR.Wahbah Az-Zuhaily, Fiqih Islam wa Adillatuhu, 
(Beirut:Darul Fikr, 2007-1428 H), vol 6, 685-686 
Imam Al-Mawardi dalam Ahkamu 
Sulthaniyah17 menyebutkan beberapa syarat 
Ahlu Halli wa ‘Aqdi , yaitu: 
1. Adil yaitu menjaga muru’ah dan 
mengerjakan semua perintah Allah dan 
menjauhi semua larangan-Nya. 
2. Mengetahui tata cara pengangkatan 
imam yang sesuai dengan syarat-syarat 
yang telah ditentukan. 
3. Tegas dan bijaksana dalam memilih 
imam yang lebih baik dan cerdas dalam 
menentukan program untuk mencapai 
masa depan yang lebih baik. 
Para fuqaha mengisyaratkan bahwa 
Ahlul Halli wal ‘Aqdi tidak harus berasal dari 
penduduk yang senegeri dengan sang imam, 
yaitu penduduk ibu kota. Karena tempat 
tinggal bukanlah alat ukur.18 
Proses terbentuknya Ahlul Halli wal 
Aqdi, seperti disebutkan oleh Ad-Dumaiji,19 
mereka dipilih oleh imam sebelum lengser. 
Contohnya pada masa pemerintahan Umar 
bin Khattab saat pembentukan Ahlu Syura 
untuk mengangkat pengganti khalifah. 
Muhammad Syakir Syarif menambahkan20 
syarat lain bagi Ahlu Halli wa ‘Aqdi menyangkut 
bagaimana proses pengangkatannya adalah 
bergantung pada keridhaan masyarakat 
pada mereka.21 
Tugas dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi antara 
lain memilih khalifah, imam, kepala negara 
17 Al-Mawardi, Ahkamu Sultoniyah, (Kuwait:Dar Ibnu 
Qutaibah, 1989), 8 
18 Al-Qodiy Abu Ya’la, Ahkamu Sultoniyah, (Beirut:Dar 
Kutub Al-‘Alamiyah, 2000), 4. 
19 Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imamah 
al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah, 
(Riyadh:Dar Thoyyibah, 1403 H), 162 
20 Muhammad Syakir Syarif, Muqoddimah fi Fiqh Nidzom 
Siyasi Al-Islamiy, 14 
21 Seperti yang terjadi pada saat pembaiatan Abu Bakr 
dimana Umar telah dipercaya umat untuk mewakili 
dalam memilih dan membaiat Abu Bakr. Intinya adalah 
keridhaan umat pada orang yang mewakili mereka.
37 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
secara langsung. Karena itu Ahlul Halli wal 
‘Aqdi juga disebut oleh Al-Mawardi sebagai 
ahlu al-ikhtiar (orang-orang yang berhak 
menentukan pemimpin). Peranan mereka 
sangat penting untuk memilih salah seorang 
di antara orang-orang yang layak dipilih 
menjadi khalifah. 
Ahlul Halli wal ‘Aqdi ialah orang-orang yang 
berkecimpung langsung dengan rakyat yang 
telah memberi kepercayaan kepada mereka. 
Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil 
itu karena keikhalasan, kekuatan komitmen, 
ketakwaan, keadilan dan kecemerlangan 
pikiran serta kegigihan mereka di dalam 
memperjuangkan kepentingan rakyatnya. 
Di samping punya hak pilih, menurut 
Muhammad Rasyid Ridha adalah 
menurunkan khalifah jika terdapat hal-hal 
yang mengharuskan pemecatannya.22 Al- 
Mawardi juga berpendapat jika kepala negara 
melakukan tindakan yang bertentangan 
dengan agama, rakyat dan Ahlu Halli wa 
‘Aqdi berhak untuk menyampaikan “mosi 
tidak percaya” kepadanya. 23 
Sekalipun mereka mewakili rakyat, 
menurut Rasyid Ridha, tidak identik dengan 
parlemen di zaman modern yang memiliki 
kekuasaan legislatif dan berhak membatasi 
kekuasaan kepala negara melalui undang-undang. 
Sementara khalifah adalah kepala 
negara yang memegang kekuasaan legislatif, 
eksekutif dan yudikatif.24 
22 Muhammad Rasyid Ridha, Al-Khilafat, (Kairo:Az-Zahro 
Lil I’laami Arabiy,1354 H), 15. 
23 Al-Mawardi, Op. Cit, hlm. 17. 
24 Muhammad Rasyid Ridha, Op. Cit, 28. 
Kualitas dan Kuantitas Ahlul Halli wal 
Aqdi untuk Mengangkat Pemimpin 
Fakta sejarah dan uraian ulama tadi 
menunjukkan bahwa kualitas Ahlul Halli 
wal Aqdi dapat diukur. Seperti ahlu syura 
yang diangkat khalifah Umar bin Khattab 
yang terdiri dari eam shahabat yang dijamin 
masuk jannah. Bila dihubungkan dengan 
masa sekarang, tentu berbeda. Namun, 
dapat disimpulkan bahwa mereka adalah 
orang-orang yang dipercaya umat. 
Kapabilitas mereka tidak 
diragukan lagi oleh umat 
Islam pada zamannya, 
seperti digambarkan 
oleh Imam Mawardi, 
mereka berkecimpung 
langsung dengan 
umat. Umat menyetujui 
pendapat wakil-wakil 
itu karena keikhalasan, 
kekuatan komitmen, 
ketakwaan, keadilan dan 
kecemerlangan pikiran 
serta kegigihan mereka di 
dalam memperjuangkan 
kepentingan umat Islam. 
Secara kuantitas pun ukurannya tidak 
berbeda, yaitu bahwa pemimpin yang 
mereka pilih tidak ditentang oleh umat 
atau kelompok Islam lain yang memiliki 
kekuatan seimbang atau lebih besar. Karena
38 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
itulah, para ulama menetapkan bahwa baiat 
pengangkatan imam tidak harus melalui 
semua Ahlul Halli wal Aqdi. Selama baiat itu 
menghasilkan pengakuan dan umat Islam 
bersatu pada pemimpin yang diangkat maka 
baiat tersebut sah. 
Imam Nawawi berkata, “Tentang bai’at, 
para ulama telah sepakat bahwa legitimasinya 
tidak disyaratkan pembai’atan seluruh 
manusia dan tidak pula seluruh Ahlul Halli wal 
‘Aqdi. Pengangkatan pemimpin sah dengan 
baiat orang-orang yang bisa berkumpul dari 
kalangan ulama, para pemimpin dan para 
tokoh masyarakat.” (Syarh Muslim 12/77). 
Ya, para ulama menguatkan bahwa 
kuncinya berada di pengakuan dan 
persetujuan, bukan jumlah. Ibnu Taimiyyah 
mengatakan, “Penguasa tidak menjadi 
seorang penguasa dengan persetujuan satu, 
dua atau empat orang Ahlul Halli wal ‘Aqdi 
kecuali jika persetujuan mereka memperoleh 
persetujuan yang lain untuk menjadikannya 
sebagai seorang penguasa. 
Seperti halnya Umar ketika dia menerima 
wasiat dari Abu Bakar untuk menjadi khalifah, 
hal itu hanya terwujud ketika orang-orang 
membaiatnya dan mematuhinya. Seandainya 
meraka tidak melakukan amanat Abu Bakar 
dan tidak membaiat Umar, niscaya dia tidak 
menjadi seorang khalifah.”25 
Imam Al-Ghazali juga menyebutkan hal 
yang sama, “Seandainya yang membaiat 
Abu Bakar hanya Umar sementara mayoritas 
ummat Islam menolaknya atau mereka 
terpecah belah dan tidak bisa dibedakan 
mana kelompok mayoritas dan mana 
kelompok minoritas, niscaya tidak ada 
pengukuhan imamah.”26 Karena itulah 
25 Minhajus Sunnah: 1/527. 
26 Dinukil dari Ar-Raddu alal Bathiniyah, Leiden 1916, 
kutipan dari an-Nazhariyah as-siyasah al-Islamiyah, 
Al-Mawardi menambahkan, “Dilihat dari 
ketaatan manusia kepada mereka.”27 
Persetujuan dan pengakuan tersebut tidak 
berarti semua manusia, tetapi persetujuan 
yang dengan itu fungsi kepemimpinan 
terwujud seperti yang dikehendaki oleh 
syariat. Wujudnya ialah syaukah (kekuatan) 
bagi umat Islam di bawah pemimpin tersebut. 
Dan itu akan terwujud jika mayoritas telah 
menyetujuinya.28 
Selain itu, ketika persetujuan mayoritas 
umat tidak terwujud dalam kepemimpinan 
tersebut maka akan timbul kekacuan dan 
fitnah di tengah-tengah umat. Dalam kondisi 
ini, kewajiban umat untuk berbaiat kepada 
pemimpin gugur sampai mayoritas umat 
berpihak kepada salah satu pemimpin yang 
disepakati. 
Kesimpulan dari baiat Ahlu Halli wal Aqdi 
kepada pemimpin yang dipilih ialah, apakah 
ia representatif atau tidak. Artinya, mau satu, 
enam atau sepuluh orang bukanlah persoalan 
hal. 233. Dr. Hasan Ibrahim berkata, “Abu Bakar dibaiat 
oleh Abu Ubaidah setelah Basyir bin Sa’ad, diikuti 
oleh kaum Muhajirin dan Anshar.” Baiat ini dinamakan 
baiat khusus, karena hanya dilakukan oleh segolongan 
kecil umat Islam yang hadir di balai tersebut. Adapun 
baiat umum terjadi pada hari berikutnya di masjid. 
Pada waktu itu, Abu Bakar berada di atas mimbar dan 
orang-orang membaiatnya dengan baiat umum. Lihat: 
Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif 
Sunnah, hal. 165. 
27 Raudhatu Ath-Thalibin, Imam Nawawi, X/43. 
28 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, 
“Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah, 
pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang 
memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam 
hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang 
dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan 
kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat 
terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika 
seseorang dibai’at dan bersamaan dengan itu terwujud 
kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin 
(yang sah). Oleh karenanya para imam salaf berkata, 
‘Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang 
dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan, 
maka dia menjadi ulil amri yang Allah Jalla wa ‘ala 
Azza wa Jalla perintahkan taat kepada mereka selama 
mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada 
Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla’.” (Minhajus Sunnah 
An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527. 
Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 4/388)
39 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
selama itu mewakili umat Islam. Ukuran 
mewakili ini ialah bila baiatnya diterima 
umat. Bukti penerimaan umat adalah tidak 
terjadi perpecahan dan fitnah. Dan bila ada 
yang menyelisihi, mereka tunduk di bawah 
pemimpin pemilik syaukah. Hal ini terbukti 
dalam baiat-baiat pada masa khalifah yang 
empat. Demikian pula pada masa Nabi 
n, kaum munafik tidaklah sedikit. Namun 
mereka tunduk di bawah kepemimpinan 
Nabi n sebagai pemilik syaukah. 
Peran Syura dalam Suksesi Kepemimpinan 
Beberapa persoalan bisa terjadi seiring 
dengan banyaknya jamaah dan kelompok 
Islam yang bercita-cita menegakkan khilafah 
Islam. Contohnya: 
Beberapa jamaah atau kelompok jihad 
bisa saja memiliki Ahlul Halli wal ‘Aqdi 
sendiri untuk membuat pertimbangan-pertimbangan 
internal sebelum menjadi 
keputusan organisasi. Ketika Ahlul Halli wal 
Aqdi ini mengangkat dan membaiat Amir 
Jamaah, maka keputusannya mengikat 
anggota jamaahnya. Namun tidak mengikat 
orang di luar jamaah. Dan baiat ini tidak 
bisa diklaim sebagai baiat kubra, sehingga 
orang yang tidak berbaiat dianggap sebagai 
bughot yang wajib diperangi, halal darah 
dan hartanya. 
Sebagain jamaah mungkin saja 
berkeyakinan bahwa semua ulama telah 
murtad dan kafir. Demikian pula tokoh dan 
pemimpin masyarakat yang disebutkan oleh 
para ulama bisa menjadi Ahlu Halli wa ‘Aqdi, 
tidak mewakili umat ini. Lalu, ahlu halli wa 
‘aqdi diklaim secara sepihak sebagai elemen 
yang mewakili umat. Ini akan berakibat 
pertumpahan darah bila imam yang 
diangkat dipaksakan kepada jamaah lain. 
Dan lebih kacau lagi masing-masing jamaah 
melakukan hal yang sama terhadap amirnya. 
Maka, musyawarah adalah cara yang 
harus ditempuh dalam proses pengangkatan 
imam. Semua proses pengangkatan khalifah 
yang empat, baik dengan ikstikhlaf maupun 
ikhtiyar, tidak lepas dari syura ini. Dalam 
proses ikstikhlaf, Abu Bakar meminta 
pertimbangan para shahabat dahulu sebelum 
pengangkatan Umar bin Khattab. Dalam 
proses ikhtiyar, kita dapat melihat detilnya 
musyawarah ini dalam proses pengangkatan 
Utsman bin Affan ra sebagai khalifah. 
Demikian pula dengan Umar bin Al- 
Khattab yang telah memilih enam orang untuk 
mengangkat pemimpin sepeninggalnya 
(baca: Jalan Panjang Pengangkatan Utsman 
bin Affan). 
Syura 
Barang siapa tidak 
meninggalkan ucapan dusta, 
mengamalkannya, kebodohan, 
maka tidak ada gunanya bagi 
Allah meskipun ia meninggalkan 
makan dan minum.
40 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Mereka adalah Ali bin Abi 
Thalib, Utsman bin ‘Affan, 
Abdurrahman bin ‘Auf, 
Sa‘ad bin Abi Waqqash, Zubair bin 
‘Awwam, dan Thalhah bin Ubaidullah 
radhiyallahu ‘anhum. Ketika dewan 
musyawarah sudah berkumpul, 
Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada 
mereka, “Berikanlah hak kalian dalam 
perkara ini kepada tiga orang di antara 
kalian.” 
Zubair berkata, “Aku berikan hakku 
kepada Ali.” Thalhah berkata, “Aku 
berikan hakku kepada Utsman.” Sa‘ad 
berkata, “Aku berikan hakku kepada 
Abdurrahman bin ‘Auf.” 
Para kandidat pada saat itu menjadi 
tiga orang: Ali bin Abi Thalib, Utsman 
bin ‘Affan, dan Abdurrahman bin ‘Auf. 
Kemudian Abdurrahman bin ‘Auf 
berkata, “Siapa di antara kalian berdua 
yang berlepas diri dari hal ini dan kami 
jadikan perkara ini kepadanya? Demi 
Allah dan demi Islam! Hendaknya 
setiap orang melihat siapa yang paling 
utama di antara mereka.” Utsman dan 
Ali pun diam. Abdurrahman bin ‘Auf 
berkata, “Apakah kalian menyerahkan 
kepadaku, demi Allah, untuk memilih 
siapa yang paling utama di antara 
kalian berdua?” 
Mereka berdua berkata, “Iya.”1 
Setelah itu, Abdurrahman bin ‘Auf 
bertugas mengelola musyawarah untuk 
menentukan pilihan antara Utsman 
dan Ali bin Abi Thalib. Abdurrahman 
bin ‘Auf memulai komunikasi dan 
konsultasi segera setelah rapat enam 
kandidat pada pagi hari Ahad. 
Musyawarah terus dilakukan selama 
tiga hari penuh sampai hari Rabu 4 
Muharram yang merupakan hari terakhir 
dari waktu yang telah diberikan Umar. 
Abdurrahman bin ‘Auf mulai dengan 
Ali bin Abi Thalib. Dia berkata kepada 
Ali, “Apabila aku tidak membaiatmu, 
maka siapakah yang engkau calonkan 
untuk menjadi khalifah?” Ali berkata, 
“Utsman bin ‘Affan.”. 
Abdurrahman bin ‘Auf pergi menemui 
Utsman dan berkata, “Apabila aku 
tidak membaiatmu, maka siapakah 
yang engkau calonkan untuk menjadi 
khalifah?” Utsman menjawab, “Ali bin 
Abi Thalib.” 
1 Al-Bukhâri, Kitab Fadhâ’il Ashhâb An-Nabiyyi 
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. No. 3700. 
Jalan Panjang Pengangkatan 
Utsman bin Affan
41 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 14345 h Abdurrahman bin ‘Auf menemui 
para shahabat yang lain dan 
bermusyawarah dengan mereka. Dia 
juga bermusyawarah dengan setiap 
sahabat senior yang dia temui di 
Madinah, tokoh-tokoh, para panglima 
perang, dan siapa saja yang datang 
ke Madinah. Dia juga bermusyawarah 
dengan kaum perempuan dan 
menyampaikan pendapat mereka. 
Dia juga menanyakan pendapat para 
pemuda dan hamba sahaya di Madinah. 
Hasil dari musyawarah Abdurrahman 
bin ‘Auf adalah sebagian besar kaum 
Muslim memilih Utsman bin ‘Affan. 
Pada pertengahan malam Rabu, 
Abdurrahman bin ‘Auf pergi ke 
rumah putra saudara perempuan 
Al-Musawwar bin Mahramah. Dia 
mengetuk pintu dan mendapati Al- 
Musawwar sedang tidur.2 
Abdurrahman bin ‘Auf memukul pintu 
sampai Al-Musawwar bangun. Dia 
berkata, “Saya melihatmu sedang tidur. 
Demi Allah! Malam ini saya belum 
sempat tidur. Pergilah dan panggil 
Zubair dan Sa‘ad ke sini.” 
Al-Musawwar berkata, “Aku pun 
memanggil keduanya. Abdurrahman 
bermusyawarah dengan mereka 
berdua. Kemudian Abdurrahman bin 
‘Auf memanggilku lagi dan berkata, 
‘Panggilkan Ali untukku.’ Aku pun 
memanggilnya. Mereka berdua 
berbicara rahasia sampai pertengahan 
malam. 
2 Al-Khulâfâ’ Ar-Râsyidûn, Al-Khâlidi. Hal. 106, 107 
Kemudian Ali bangkit dan pergi. 
Beberapa waktu kemudian, 
Abdurrahman bin ‘Auf berkata, 
‘Panggilan Utsman untukku.’ Aku 
pun memanggil Utsman dan mereka 
berdua berbicara rahasia sampai azan 
Subuh memisahkan mereka.”3 
Ketika mereka telah berkumpul, 
Abdurrahman bersyahadat kemudian 
berkata, “Amma ba‘du. Wahai Ali! Aku 
telah memperhatikan kondisi orang 
banyak. Aku tidak melihat mereka 
berpaling dari Utsman. Oleh karena itu, 
janganlah engkau memberi jalan untuk 
dirimu.” 
Lalu Abdurrahman berkata kepada 
Utsman, “Aku membaiatmu atas dasar 
sunnatullah, sunnah Rasul-Nya, dan 
sunnah kedua khalifah sepeninggalnya.” 
Para hadirin dari kalangan Muhajirin, 
Anshar, panglima perang, gubernur 
berbagai wilayah, dan kaum Muslim 
membaiat Utsman.4 
Penulis At-Tamhîd wa Al-Bayân 
meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib 
adalah orang pertama yang berbaiat 
setelah Abdurrahman bin ‘Auf. 5 
Abdurrahman bin Auf melakukan 
proses musyawarah panjang dan 
banyak kalangan untuk sampai kepada 
keputusan akhir pengangkatan Utsman 
bin Affan. Ini adalah sejarah yang 
berharga bagi umat Islam hari ini! n 
(Dhani el-Ashimi) 
3 Al-Bukhâri, Kitâb Al-Ahkâm. No. 8207 
4 Al-Bukhâri, Kitab Al-Ahkâm, No. 7207. 
5 At-Tamhîd wa Al-Bayân, hal. 26.
42 
MUNAQOSYAH 
kiblat Ramadhan 1435 h 
Syura dalam Islam adalah kaidah hukum 
yang wajib untuk mewujudkan tegaknya 
keadilan dan hukum dalam syariah Islam 
dalam berbagai segi kehidupan. Juga 
sebagai upaya untuk menolak segala 
bentuk kezaliman dan kerusakan di dunia, 
sebagaimana firman Allah : 
أَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ � وَ 
“Urusan mereka (diputuskan) dengan 
musyawarat antara mereka.” (Asy Syura 
: 36-39). 
Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya): 
“Sedang urusan mereka (diputuskan) 
dengan musyawarat antara mereka” 
adalah mereka tidak melaksanakan 
suatu urusan sampai mereka saling 
bermusyawarah mengenai hal itu agar 
mereka saling mendukung dengan 
pendapat mereka seperti dalam 
masalah peperangan dan semisalnya” 29 
Ibnu Taimiyah mengatakan, 
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan 
Nabi-Nya bermusyawarah untuk 
mempersatukan hati para sahabatnya, 
dan dapat dicontoh oleh orang-orang 
setelah beliau, serta agar beliau mampu 
menggali ide mereka dalam permasalahan 
yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, 
baik permasalahan yang terkait dengan 
peperangan, permasalahan parsial, dan 
selainnya. Dengan demikian, selain beliau N 
tentu lebih patut untuk bermusyawarah” 30 
29 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-'Azhim,(Beirut:Dar 
Kutub Thoyyibah, 1999) vol 7,p. 211. 
30 Ibnu Taimiyah,As Siyasah asy-Syar'iyah,(Beirut:Dar Al- 
Afaq Al-Jadiidah,1983), 126 
Manfaat Syura 
Urgensi dan faedah syura banyak 
diterangkan oleh para ulama, di antaranya 
imam Fakhruddin Ar-Razy.31 Secara ringkas 
beliau menyebutkan bahwa syura memiliki 
faedah antara lain adalah sebagai berikut : 
1. Musyawarah yang dilakukan Nabi N dengan 
para sahabatnya menunjukkan ketinggian 
derajat mereka (di hadapan nabi) dan 
juga hal ini membuktikan betapa cintanya 
mereka kepada beliau dan kerelaan 
mereka dalam menaati beliau. Jika beliau 
tidak mengajak mereka bermusyawarah, 
tentulah hal ini merupakan bentuk 
penghinaan kepada mereka. 
2. Musyawarah perlu diadakan karena 
bisa saja terlintas dalam benak 
seseorang pendapat yang mengandung 
kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy 
al-amr (penguasa). 
3. Al-Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah 
mengatakan, “Sesungguhnya Nabi 
diperintahkan untuk bermusyawarah agar 
bisa dijadikan teladan bagi yang lain dan 
agar menjadi sunnah (kebiasaan) bagi 
umatnya” 
4. Syura memberitahukan kepada Rasulullah 
N dan juga para penguasa setelah beliau 
mengenai kadar akal dan pemahaman 
orang-orang yang mendampinginya, 
serta untuk mengetahui seberapa besar 
kecintaan dan keikhlasan mereka dalam 
menaati beliau. Dengan demikian, akan 
nampak baginya tingkatan mereka dalam 
keutamaan. 
31 Fakhruddin Ar-Rozy, Mafatih al-Ghaib,(Beirut:Dar Al- 
Fikr, 1981,) vol9, 67-68
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH
BAIAT DAN JAMA'AH

More Related Content

What's hot

Orang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugiOrang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugiMuhsin Hariyanto
 
Agama Islam "Kandungan surat Al-Hujurat ayat 10
Agama Islam "Kandungan surat Al-Hujurat ayat 10Agama Islam "Kandungan surat Al-Hujurat ayat 10
Agama Islam "Kandungan surat Al-Hujurat ayat 10Reza Novita Sari
 
Buku Pedoman MUI ttg Syiah-6
Buku Pedoman MUI ttg Syiah-6Buku Pedoman MUI ttg Syiah-6
Buku Pedoman MUI ttg Syiah-6Feizal Karim
 
Presentasi Fiqh Siyasah 3
Presentasi Fiqh Siyasah 3Presentasi Fiqh Siyasah 3
Presentasi Fiqh Siyasah 3Marhamah Saleh
 
Orang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugiOrang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugiMuhsin Hariyanto
 
Orang mukmin-tercipta-penuh-coba
Orang mukmin-tercipta-penuh-cobaOrang mukmin-tercipta-penuh-coba
Orang mukmin-tercipta-penuh-cobaRa Hardianto
 
Amalan bidaah dalam masyarakat melayu
Amalan bidaah dalam masyarakat melayuAmalan bidaah dalam masyarakat melayu
Amalan bidaah dalam masyarakat melayuKamarudin Jaafar
 
Presentasi Fiqh 6 ( Kisi)
Presentasi Fiqh 6 ( Kisi)Presentasi Fiqh 6 ( Kisi)
Presentasi Fiqh 6 ( Kisi)Marhamah Saleh
 
Presentasi Ukhuwah (persaudaraan)
Presentasi Ukhuwah (persaudaraan)Presentasi Ukhuwah (persaudaraan)
Presentasi Ukhuwah (persaudaraan)Hestifidiah
 
Bahaya syiah terhadap negara 1.0
Bahaya syiah terhadap negara 1.0Bahaya syiah terhadap negara 1.0
Bahaya syiah terhadap negara 1.0mohdasrimohdhasim
 
kajian sejarah perkembangan syiah
kajian sejarah perkembangan syiahkajian sejarah perkembangan syiah
kajian sejarah perkembangan syiahNatasha Nabila
 
SYARAT, RUKUN, DAN WAJIB-WAJIB SALAT
SYARAT, RUKUN, DAN WAJIB-WAJIB SALATSYARAT, RUKUN, DAN WAJIB-WAJIB SALAT
SYARAT, RUKUN, DAN WAJIB-WAJIB SALATIslamhouse.com
 
Khulafa rasyidin diantara_nas_dan_ijtihad
Khulafa rasyidin diantara_nas_dan_ijtihadKhulafa rasyidin diantara_nas_dan_ijtihad
Khulafa rasyidin diantara_nas_dan_ijtihadRamlee Nooh
 
az-dzauq dan syurbun
az-dzauq dan syurbunaz-dzauq dan syurbun
az-dzauq dan syurbunachik93
 
15 petunjuk menguatkan iman
15 petunjuk menguatkan iman15 petunjuk menguatkan iman
15 petunjuk menguatkan imannyongkoh
 

What's hot (18)

Orang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugiOrang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugi
 
Tafsir surat al ma'un-01
Tafsir surat al ma'un-01Tafsir surat al ma'un-01
Tafsir surat al ma'un-01
 
Jsk by rm
Jsk by rmJsk by rm
Jsk by rm
 
Agama Islam "Kandungan surat Al-Hujurat ayat 10
Agama Islam "Kandungan surat Al-Hujurat ayat 10Agama Islam "Kandungan surat Al-Hujurat ayat 10
Agama Islam "Kandungan surat Al-Hujurat ayat 10
 
Buku Pedoman MUI ttg Syiah-6
Buku Pedoman MUI ttg Syiah-6Buku Pedoman MUI ttg Syiah-6
Buku Pedoman MUI ttg Syiah-6
 
Presentasi Fiqh Siyasah 3
Presentasi Fiqh Siyasah 3Presentasi Fiqh Siyasah 3
Presentasi Fiqh Siyasah 3
 
Orang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugiOrang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugi
 
Orang mukmin-tercipta-penuh-coba
Orang mukmin-tercipta-penuh-cobaOrang mukmin-tercipta-penuh-coba
Orang mukmin-tercipta-penuh-coba
 
Amalan bidaah dalam masyarakat melayu
Amalan bidaah dalam masyarakat melayuAmalan bidaah dalam masyarakat melayu
Amalan bidaah dalam masyarakat melayu
 
Presentasi Fiqh 6 ( Kisi)
Presentasi Fiqh 6 ( Kisi)Presentasi Fiqh 6 ( Kisi)
Presentasi Fiqh 6 ( Kisi)
 
Presentasi Ukhuwah (persaudaraan)
Presentasi Ukhuwah (persaudaraan)Presentasi Ukhuwah (persaudaraan)
Presentasi Ukhuwah (persaudaraan)
 
Bahaya syiah terhadap negara 1.0
Bahaya syiah terhadap negara 1.0Bahaya syiah terhadap negara 1.0
Bahaya syiah terhadap negara 1.0
 
kajian sejarah perkembangan syiah
kajian sejarah perkembangan syiahkajian sejarah perkembangan syiah
kajian sejarah perkembangan syiah
 
Islam dihujat
Islam dihujatIslam dihujat
Islam dihujat
 
SYARAT, RUKUN, DAN WAJIB-WAJIB SALAT
SYARAT, RUKUN, DAN WAJIB-WAJIB SALATSYARAT, RUKUN, DAN WAJIB-WAJIB SALAT
SYARAT, RUKUN, DAN WAJIB-WAJIB SALAT
 
Khulafa rasyidin diantara_nas_dan_ijtihad
Khulafa rasyidin diantara_nas_dan_ijtihadKhulafa rasyidin diantara_nas_dan_ijtihad
Khulafa rasyidin diantara_nas_dan_ijtihad
 
az-dzauq dan syurbun
az-dzauq dan syurbunaz-dzauq dan syurbun
az-dzauq dan syurbun
 
15 petunjuk menguatkan iman
15 petunjuk menguatkan iman15 petunjuk menguatkan iman
15 petunjuk menguatkan iman
 

Similar to BAIAT DAN JAMA'AH

MATA KULIAH AL ISLAM pertemuan 4.pptx
MATA KULIAH AL ISLAM pertemuan 4.pptxMATA KULIAH AL ISLAM pertemuan 4.pptx
MATA KULIAH AL ISLAM pertemuan 4.pptxAsepRiandi2
 
Syura dan konsep kenegaraan islam
Syura dan konsep kenegaraan islamSyura dan konsep kenegaraan islam
Syura dan konsep kenegaraan islamNooreen Jazlina
 
Aliran Islam di Indonesia.pptx
Aliran Islam di Indonesia.pptxAliran Islam di Indonesia.pptx
Aliran Islam di Indonesia.pptxpakKamalkamal
 
ulasan sunnah vs bid'ah
ulasan sunnah vs bid'ahulasan sunnah vs bid'ah
ulasan sunnah vs bid'ahWan Syafawati
 
BERAMAL DENGAN IKHLAS DAN TINGKAH LAKU TERPUJI
BERAMAL DENGAN IKHLAS DAN TINGKAH LAKU TERPUJIBERAMAL DENGAN IKHLAS DAN TINGKAH LAKU TERPUJI
BERAMAL DENGAN IKHLAS DAN TINGKAH LAKU TERPUJIYunisa Astuti
 
makalah khitbah.docx
makalah khitbah.docxmakalah khitbah.docx
makalah khitbah.docxzeindafa1
 
UKHUWAH ISLAMIYYAH 1.ppt
UKHUWAH ISLAMIYYAH 1.pptUKHUWAH ISLAMIYYAH 1.ppt
UKHUWAH ISLAMIYYAH 1.pptarsalhakim1
 
Syarat Sah dan syarat wajib shalat
Syarat Sah dan syarat wajib shalatSyarat Sah dan syarat wajib shalat
Syarat Sah dan syarat wajib shalatAlfian Ramli
 
(12) 0122 - Ta'awun.pptx
(12) 0122 - Ta'awun.pptx(12) 0122 - Ta'awun.pptx
(12) 0122 - Ta'awun.pptxjhon535046
 
Saatnya ahlu-haq-berlaku-jujur
Saatnya ahlu-haq-berlaku-jujurSaatnya ahlu-haq-berlaku-jujur
Saatnya ahlu-haq-berlaku-jujurRa Hardianto
 

Similar to BAIAT DAN JAMA'AH (20)

192608705 karakter-pemimpin-dalam-islam
192608705 karakter-pemimpin-dalam-islam192608705 karakter-pemimpin-dalam-islam
192608705 karakter-pemimpin-dalam-islam
 
192608705 karakter-pemimpin-dalam-islam
192608705 karakter-pemimpin-dalam-islam192608705 karakter-pemimpin-dalam-islam
192608705 karakter-pemimpin-dalam-islam
 
MATA KULIAH AL ISLAM pertemuan 4.pptx
MATA KULIAH AL ISLAM pertemuan 4.pptxMATA KULIAH AL ISLAM pertemuan 4.pptx
MATA KULIAH AL ISLAM pertemuan 4.pptx
 
Syura dan konsep kenegaraan islam
Syura dan konsep kenegaraan islamSyura dan konsep kenegaraan islam
Syura dan konsep kenegaraan islam
 
Rukun al fahmu pt 6
Rukun al fahmu pt 6Rukun al fahmu pt 6
Rukun al fahmu pt 6
 
Makalah nikah beda agama
Makalah nikah beda agamaMakalah nikah beda agama
Makalah nikah beda agama
 
Rukun al fahmu pt 7
Rukun al fahmu pt 7Rukun al fahmu pt 7
Rukun al fahmu pt 7
 
Aliran Islam di Indonesia.pptx
Aliran Islam di Indonesia.pptxAliran Islam di Indonesia.pptx
Aliran Islam di Indonesia.pptx
 
ulasan sunnah vs bid'ah
ulasan sunnah vs bid'ahulasan sunnah vs bid'ah
ulasan sunnah vs bid'ah
 
BERAMAL DENGAN IKHLAS DAN TINGKAH LAKU TERPUJI
BERAMAL DENGAN IKHLAS DAN TINGKAH LAKU TERPUJIBERAMAL DENGAN IKHLAS DAN TINGKAH LAKU TERPUJI
BERAMAL DENGAN IKHLAS DAN TINGKAH LAKU TERPUJI
 
Rukun al fahmu pt 1
Rukun al fahmu pt 1Rukun al fahmu pt 1
Rukun al fahmu pt 1
 
Rukun al fahmu pt 8
Rukun al fahmu pt 8Rukun al fahmu pt 8
Rukun al fahmu pt 8
 
BUKU PUTIH MAZHAB SYIAH
BUKU PUTIH MAZHAB SYIAHBUKU PUTIH MAZHAB SYIAH
BUKU PUTIH MAZHAB SYIAH
 
KE_NU_AN_Manzilul_Ulum.doc
KE_NU_AN_Manzilul_Ulum.docKE_NU_AN_Manzilul_Ulum.doc
KE_NU_AN_Manzilul_Ulum.doc
 
makalah studi hadis
makalah studi hadismakalah studi hadis
makalah studi hadis
 
makalah khitbah.docx
makalah khitbah.docxmakalah khitbah.docx
makalah khitbah.docx
 
UKHUWAH ISLAMIYYAH 1.ppt
UKHUWAH ISLAMIYYAH 1.pptUKHUWAH ISLAMIYYAH 1.ppt
UKHUWAH ISLAMIYYAH 1.ppt
 
Syarat Sah dan syarat wajib shalat
Syarat Sah dan syarat wajib shalatSyarat Sah dan syarat wajib shalat
Syarat Sah dan syarat wajib shalat
 
(12) 0122 - Ta'awun.pptx
(12) 0122 - Ta'awun.pptx(12) 0122 - Ta'awun.pptx
(12) 0122 - Ta'awun.pptx
 
Saatnya ahlu-haq-berlaku-jujur
Saatnya ahlu-haq-berlaku-jujurSaatnya ahlu-haq-berlaku-jujur
Saatnya ahlu-haq-berlaku-jujur
 

Recently uploaded

"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"
"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan""PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"
"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"bayuputra151203
 
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...ayinaini27
 
ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdf
ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdfppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdf
ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdfimad362574
 
Peran CSR Dalam Pembangunan ( Paparan Kendari 2024).pptx
Peran CSR Dalam Pembangunan ( Paparan Kendari 2024).pptxPeran CSR Dalam Pembangunan ( Paparan Kendari 2024).pptx
Peran CSR Dalam Pembangunan ( Paparan Kendari 2024).pptxJeckyReyhanAditya
 
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.ppt
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.pptTEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.ppt
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.pptssuserd13850
 
Pert 1(definisi-elemen perancangan kota).pptx
Pert 1(definisi-elemen perancangan kota).pptxPert 1(definisi-elemen perancangan kota).pptx
Pert 1(definisi-elemen perancangan kota).pptxkrisddaparchitect
 
PPT PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR.pptx
PPT PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR.pptxPPT PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR.pptx
PPT PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR.pptxsrirahayu566632
 
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konseling
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konselingWawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konseling
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konselingalisudrajat22
 

Recently uploaded (8)

"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"
"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan""PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"
"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"
 
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...
 
ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdf
ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdfppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdf
ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdf
 
Peran CSR Dalam Pembangunan ( Paparan Kendari 2024).pptx
Peran CSR Dalam Pembangunan ( Paparan Kendari 2024).pptxPeran CSR Dalam Pembangunan ( Paparan Kendari 2024).pptx
Peran CSR Dalam Pembangunan ( Paparan Kendari 2024).pptx
 
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.ppt
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.pptTEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.ppt
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.ppt
 
Pert 1(definisi-elemen perancangan kota).pptx
Pert 1(definisi-elemen perancangan kota).pptxPert 1(definisi-elemen perancangan kota).pptx
Pert 1(definisi-elemen perancangan kota).pptx
 
PPT PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR.pptx
PPT PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR.pptxPPT PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR.pptx
PPT PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR.pptx
 
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konseling
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konselingWawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konseling
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konseling
 

BAIAT DAN JAMA'AH

  • 1.
  • 2. Ramadhan 1435 h 2 SALAM kiblat Fokus umat Islam terhadap krisis Suriah terbelah. Belum kering darah yang ditumpahkan rezim kafir Bashar Asad, fitnah muncul dalam bentuk perselisihan yang tajam di antara elemen Mujahidin. Menentukan siapa benar siapa keliru, bukan semudah membalik tangan. Fitnah yang rumit dan lebih ruwet ketimbang menentukan jawaban mana lebih duluan; telur atau ayam. Masing-masing pihak memiliki landasan dan argumen tersendiri atas sikap dan tindakan yang diambilnya. Belum kelar mentas dari keprihatinan ini, muncul lagi keprihatinan yang tak kalah memilukan. Sebagian aktivis jihad Indonesia hari ini terjebak dalam pengkubuan, larut dalam klaim membenarkan satu kelompok dengan mencela kelompok lain—meski kelompok-kelompok tersebut sama-sama mujahidin. Internet menjadi lahan pergunjingan. Vonis-vonis keji seperti “kafir” dan “murtad” begitu mudah diucapkan ketika tak dicapai kata sepakat dalam berdebat. Cepat reaksi, instan berpikir dan gampang berkesimpulan, adalah wabah yang diakibatkan oleh sindrom debat kusir internet ini. Kita pun terbius, dan tak lagi tertarik untuk mendalami masalah dan peristiwa secara lebih adil, bijak dan ilmiah. Sebagai bagian dari media umat Islam, kiblat.net merasa berkewajiban untuk memberikan informasi yang utuh, tak berpihak dan yang tak kalah penting memiliki pijakan ilmiah. Kami memandang titik krusial yang menjadi pemantik fitnah ini adalah perbedaan pendapat dalam masalah status kepemimpinan dan konsekuensi baiat kepadanya. Rancangan penulisan majalah ini sudah kami susun sebulan lalu, sebelum juru bicara ISIS Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani mendeklarasikan pendirian khilafah oleh ISIS. Meski pengakuan statusnya telah berubah dari “daulah” menjadi “khilafah,” tulisan dalam majalah ini tetap relevan sebagai pijakan dasar untuk memahami bagaimana konsep Islam dalam imamah (kepemimpinan) tersebut. Selamat membaca! Redaktur Ahli : Abu Zahrah, Abu Abdurrahman Pimpinan Redaksi : Tony Syarqi Redaksi : Agus Abdullah, Fahruddin, Dhani el-Ashimi, Bashirudin R, Miftahul Ihsan MAJALAH DIGITAL KIBLAT adalah salah satu konten dari situs berita Islam www.kiblat.net. Dapat diunduh dan sebarluaskan secara cuma-cuma. Email : kiblatmedia@gmail.com Donasi: BCA 7735072587 BNI Syariah 0298526555 BNI Syariah atas nama Muh Bashirudin Rosyed.
  • 3. 3 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h BAIAT KEWAJIBAN, APLIKASI & PENYELEWENGAN Deklarasi Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) April 2013—yang kemudian disusul pendeklarasian khilafah pada 29 Juni 2014 lalu—menyisakan polemik. Seruan baiat kepada Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi, pemimpin ISIS yang menyusul deklarasi tersebut mendapat berbagai tanggapan. Ada yang disambut dan ada yang ditolak. Dihantar kecanggihan sarana teknologi informasi dan komunikasi, polemik itu pun sampai juga ke Indonesia. Seseorang yang menyebut dirinya Ikhwan yang taat kepada Allah disebut-sebut sebagai orang pertama yang menyatakan baiat kepada ISIS.1 Namun, tidak sedikit ulama yang menganggap baiat Syaikh Al-Baghdadi tidak sah. Salah satu contohnya, Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-Ulwan mengatakan, “Daulah maupun Al-Baghdadi tidak berhak atas baiat umum kaum muslimin, karena salah satu syarat baiat umum adalah dipilih oleh Ahlu Halli wal ‘Aqdi, dan Al-Baghdadi tidak dipilih oleh siapa pun. Bila Dr. Ayman Az- Zhawahiri yang merupakan amir dan penanggung jawabnya saja tidak setuju dengan sikapnya, bagaimana ia menuntut orang lain untuk membaiatnya?”2 1. http://al-mustaqbal.net/baiat-pertama-dari-indonesia-mulai-mengalir-ke-isis/ [23 Juni 2014] 2. http://www.youtube.com/watch?v=eapGxmDk9f8&feature=youtu.be [23 Juni 2014]
  • 4. 4 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Banyak atau sedikitnya dukungan kepada sesuatu pada dasarnya tidak bisa menjadi dasar untuk menentukan sikap. Dasar bagi orang beriman untuk berbuat adalah ilmu yang benar, karena ilmu mendahului perkataan dan perbuatan. Ada ungkapan salaf, “Bila engkau mampu untuk tidak menggaruk kepala kecuali dengan dalil, maka lakukanlah.” Artinya, dalam urusan agama, kita tidak boleh ikut-ikutan. Orang ke utara kita ke utara, orang ke selatan kita pun nurut! Boleh saja ikut ke utara, tetapi apa dasarnya? Maka dalam urusan ini, berbaiat atau tidak, semua harus dilandasi dengan ilmu yang benar. Baiat adalah salah satu elemen dalam sebuah jamaah yang mengikat antara pemimpin dan jamaahnya. Maknanya, tujuan baiat adalah mempersatukan umat Islam dalam satu pemimpin dan jamaah. Sebab esensi dari baiat adalah ketaatan dan kesetiaan kepada pemimpin selama tidak dalam maksiat. Berjamaah adalah perintah Islam, “Dan berpeganglah kalian kepada tali (agama) Allah dan janganlah berpecah belah.” (Ali Imran: 103). Banyaknya perselisihan dan perbedaan manhaj akibat pemahaman yang keliru tentang Islam maka lahirlah Manhaj Ahlu Sunnah wal Jamaah. Ulama salaf menjelaskan bahwa berjamaah adalah: mengikuti sunnah meskipun engkau sendirian. Maka, ketika ada dua orang yang mengikuti sunnah, keduanya harus bergabung dalam satu jamaah sebagai pelaksanaan perintah berjamaah dalam Al-Qur’an. Bila tidak, yang terjadi adalah perpecahan. Sebab masing-masing pihak akan mengklaim kebenaran. Ini baru dua orang. Bagaimana bila dari dua ini berkembang dan banyak pengikut? Tulisan ini mengajak pembaca untuk berdiskusi tentang baiat sebagai elemen untuk mewujudkan kehidupan berjamaah, yang kemudian dalam praktiknya justru perpecahan yang terjadi. Kemudian, kita akan mencoba mengurai di manakah kesalahan itu dan bagaimana perbaikan yang mesti kita lakukan untuk kembali kepada tujuan awal, yaitu berjamaah dalam kebenaran. Definisi Baiat Ibnu Al-Atsir mengatakan, “Baiat ialah ungkapan tentang akad dan perjanjian, seolah-olah masing-masing pihak menjual apa yang ada pada dirinya dan memberikan jiwa dan ketaatannya secara tulus dari dasar hatinya.” 3 Ibnu Khaldun mengatakan, “Baiat ialah janji untuk taat. Orang yang berbaiat itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, sedikit pun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.”4 Baiat adalah bagian dari syariat Islam sudah dilaksanakan sejak masa Rasulullah. Bahkan diabadikan di dalam Al-Qur’an. إِنَّما يُبايِعونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ � إِنَّ الَّذينَ يُبايِعونَكَ � نَّما يَنكُثُ عَلىٰ �ِأَيديهِم فَمَن نَكَثَ فَإ� فَوقَ أَوفىٰ بِما عٰهَدَ عَلَيهُ اللَّهَ فَسَيُؤتيهِ � نَفسِهِ وَمَن أَجرًا عَظيمًا � 3. Baiah fi Al-Islam; Mafhumuha, Ahammiyatuha, wa syurutuha, Dr. Raghib As-Sirjani. 4. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
  • 5. 5 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h "Bahwasanya orang-orang yang berbaiat kepada kamu, mereka berbaiat kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar." (Al-Fath:10) Sepeninggal beliau, umat Islam membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah dan pemimpin umum bagi umat Islam. Maka dengan proses ini umat Islam bersatu dalam barisan. Baiat Sughra dan Kubra Dari peristiwa sejarah dan dalil-dalil nash, para ulama membagi baiat menjadi dua, yaitu baiat kubra dan sughra. Baiat kubra adalah baiat kepada pemimpin kaum muslimin (khalifah). Sedangkan baiat sughra adalah baiat untuk tetap setia dalam perkara tertentu yang tidak bisa dikuasakan kepada orang lain. Baiat ini berlaku terhadap penguasa dan juga terhadap selain mereka.5 Banyak orang belum memahami tentang syariat baiat sughra ini, terutama dalam amal berjamaah. Baiat sughra adalah baiat atau ‘ahdun (perjanjian) yang diambil atas amal makruf syar’i. Dalam ungkapan lain, merupakan akad, janji, dan ikatan yang bersyarat. Termasuk jenis ini adalah baiat untuk melakukan bentuk amal saleh apa saja.6 Di antara dalil yang menunjukkan adanya baiat sughra adalah firman Allah dalam surat Al-Fath: 10 dan 18. “Bahwasanya orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibatnya akan menimpa diri sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al- 5 Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah fi Al-‘Alaqoh baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman (Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.153 6 Lihat kitab Al-Mausu’ah Al-Muyassarah fi Al-Adyan wa Al-Madzahib wa Al-Ahzab Al-Mu’ashirah (II/1000- 1006) yang diterbitkan oleh WAMY (World Assembly of Moslem Youth
  • 6. 6 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Fath: 10) Peristiwa baiat yang disebutkan dalam ayat di atas adalah Baiatur Ridwan yang terjadi pada tahun 6 Hijriah. Tidak diragukan lagi–sebagaimana yang disebutkan para sejarah Muslim–bahwa baiat tersebut bukanlah baiat dalam rangka mendaulat Rasulullah n sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin. Baiat tersebut merupakan sikap pembelaan para sahabat terhadap Utsman bin Affan yang diisukan telah dibunuh oleh kafir Quraisy. Baiat untuk membela darah Utsman bin Affan sampai titik darah penghabisan. 7 Selain itu ada juga Baiatun Nisa sebagaimana diterangkan dalam firman Allah Surat Al-Mumtahanah ayat 12. Selain ayat Al-Qur’an di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah juga mendukung adanya baiat sughra secara eksplisit, Rasulullah n bersabda: اِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَالْيُؤَمِّرُوْا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ � “Apabila ada tiga orang dalam safar maka hendaknya mereka mengangkat amir (pimpinan) salah satu di antara mereka.” (Sunan Abu Dawud no. 2608) Ibnu Taimiyyah berkata, “Apabila telah diwajibkan mengangkat seorang amir dalam perkumpulan dan masyarakat yang paling kecil dan bersifat sementara (dalam safar), maka hal ini menunjukkan lebih wajibnya mengangkat amir dalam skala yang lebih besar darinya.” 7 Lihat: Ar-Rahiq Al-Makhtum hlm. 298 Qiyas Imam Safar? Jika ada yang mengatakan bahwa imarah safar tidak dapat diqiyaskan dengan imarah amal islami yang lain, maka dapat diterangkan sebagai berikut: 1 Imarah jamaah-jamaah Islam tidak hanya bersandar pada hadits safar, namun ada dalil-dalil lain. 2 Qiyas imarah jamaah-jamaah Islam terhadap imarah safar merupakan qiyas shahih (benar) lantaran kesamaan ‘illat (sebab). 3 Sesungguhnya jamaah yang berlangsung terus menerus lebih utama untuk menyelenggarakan imarah untuk menata kerapian dan ketertibannya daripada jamaah yang bersifat sementara sebagaimana safar. 8 4 Baiat sughra/baiat amal jama’i juga tidak berlaku untuk selamanya meskipun rentang waktunya lebih lama dari imarah safar. Imarah amal jama’i juga akan berakhir, yaitu ketika seorang khalifah syar’i telah dibaiat. Di antara dalil lebih khusus dan spesifik yang menunjukkan adanya baiat ini adalah hadits Jabir bin Abdillah ra. yang diriwayatkan Imam Muslim. Jabir a berkata: جَاءَ عَبْدٌ فبََايَعَ النبَّيَِّ صَلىَّ اللهَّ عَليَْهِ وَ سَلمََّ عَلَى الْهِجْرَةِ “Datang seorang hamba sahaya lalu berbaiat kepada Nabi saw atas hijrah.” (Shahih Muslim no. 4113) 8 Al-‘Umdatu fi I’dadil ‘Uddah hlm. 69
  • 7. 7 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h BOLEHKAH MELAKUKAN BAIAT AMAL? Beberapa kalangan menilai bahwa baiat hanya berlaku dari rakyat untuk khalifah. Sedangkan baiat amal dalam sebuah jamaah minal Muslimin, dianggap bid'ah. Pemahaman ini bisa ditanggapi dari beberapa sisi: Pertama, anggapan bahwa tidak ada baiat jenis ini pada masa dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Justru, para ulama dan ahli tarikh menyebutkan adanya pernyataan “saling setia” antara Muhammad bin Suud— pelopor Daulah Saudi I—dan Syaikh Muhammad rahimahumallah. Bahkan, Syaikh Abdul Aziz bin Baz menukilnya dalam risalah beliau yang berjudul Al- Imam Muhammad bin Abdul Wahhab: Da’watuhu wa Siratuhu, hlm. 38-39, Cet. Kerajaan Arab Saudi. Ibnu Suud berkata, “Wahai Syaikh, saya akan berbaiat (menyatakan setia) kepada Anda untuk membela agama Allah dan Rasul-Nya dan untuk berjihad di jalan Allah. Namun, saya khawatir, jika Anda kami dukung dan kami bela lalu Allah memenangkan Anda atas musuh-musuh Islam, jangan-jangan Anda akan memilih negeri lain untuk berpindah ke sana dan meninggalkan negeri kami.”. Syaikh menjawab, “Saya tidak berbaiat kepada Anda untuk tujuan semacam itu. Saya berbaiat kepada Anda untuk menegaskan tekad bahwa darah harus dibayar dengan darah, penghancuran harus dibalas penghancuran. Saya tidak akan keluar dari negeri Anda selamanya.” Kedua, perbuatan atau perkataan para ulama dan dai pada dasarnya bukanlah dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah dalam permasalahan syar’i. Pendapat mereka diikuti sepanjang kesesuaiannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Atau sebagaimana perkataan Imam Malik, “Setiap perkataan seseorang bisa diterima dan ditolak kecuali pemilik kubur ini (Rasulullah) n.” 1 Berargumen dengan sikap dan perbuatan ulama dan para dai untuk mendukung pendapat tidak adanya baiat shugra/amal jelas telah bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dikemukakan di atas. Bahkan, bertentangan dengan perbuatan sahabat ketika perang Yarmuk yang terjadi pada tahun 13 H. Saat itu, pasukan muslim yang berjumlah 40.000 orang menghadapi 240.000 pasukan Romawi. Setelah pecah pertempuran dengan dahsyatnya, Ikrimah a membaiat 400 pasukan muslim ‘alal maut (siap untuk mati). Kemudian pasukan ini menyerbu musuh hinggga seluruh pasukan ini mendapatkan gugur atau dalam keadaan luka parah. Sedang korban di fihak musuh ada 120.000 orang.2 Perlu kita tegaskan pula bahwa jumlah sahabat yang ikut dalam perang ini berjumlah sekitar seribu, namun tidak seorang pun di antara mereka yang mengingkari perbuatan Ikrimah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir.3 (Fahruddin) 1 Siyaru A’lamin Nubala’, Adz-Dzahabi: VIII/93 2 Lihat: Fathul Bari: XIII/63 3 Lihat: Al-Bidayah wa An-Nihayah: VII/9
  • 8. 8 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Karakter Baiat Sughra dan Kubra • Baiat Sughra Dalam baiat sughra, orang yang dibaiat (mubaya’) bisa saja khalifah atau kaum muslimin sebagian dengan sebagian lainnya.9 Ini adalah baiat yang dilakukan sebagian manusia, baik tiga orang maupun lebih banyak untuk berjanji dan menaati dalam urusan ketaatan. Tidak terbatas pada Ahlul Halli wal ‘Aqdi, tetapi siapa saja yang terlibat dalam suatu perjanjian. Baiat ini berlaku bagi mereka untuk berjanji dalam ketaatan apapun tanpa adanya batas, seperti jihad, dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, menyelamatkan orang yang teraniaya dan menolong orang yang dizalimi. Bahkan menyingkirkan duri dari jalan—bila menuntut ikatan baiat—maka ini termasuk Baiat Sughra. Komitmen terhadap Baiat Sughra sifatnya wajib bagi orang yang telah suka rela bergabung di dalamnya, dan tidak mengikat orang di luar baiat tersebut. Jika seseorang telah mengikat janji setia, maka wajib baginya untuk memenuhi ikatan janji tersebut.10 9 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235 10 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235 Keluar dari Baiat Sughra adalah maksiat karena telah mengingkari janji yang mengikat antara sesama muslim. Dan ini telah jelas dalam syariat tentang hukum mengingkari janji dalam perkara ketaatan. Berdasarkan sifat tersebut, maka dalam satu wilayah bisa terjadi banyak baiat dengan arah masing-masing. Maka ketika ada dua jamaah —atau lebih— dari sebagian umat Islam dengan baiat masing-masing, hubungannya bersifat kerja sama dan nasihat, bukan perintah dari atas ke bawah. Jamaah-jamaah ini bisa mengarah kepada penggabungan (tansik) untuk membentuk jamaah umat Islam yang satu bila terjadi kesepakatan. Atau terbentuk jamaah yang memiliki kekuatan (syaukah) sehingga jamaah yang menyelisihi tunduk di bawahnya. Hal ini telah ditunjukkan oleh sejarah. Setelah kaum Anshar dan Muhajirin bersatu di bawah kepemimpinan Rasulullah n. Kekuatan (syaukah) pun terwujud. Sampai Rasulullah wafat, kelompok yang menyelisihi
  • 9. 9 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h atau orang-orang munafik tetap ada, tetapi syaukah tidak ada pada mereka, sehingga tunduk di bawah otoritas kaum muslimin, yakni Daulah Nabawiyah n. • Baiat Kubra Dalam Baiat Kubra, orang yang dibaiat adalah Imam A'dham (khalifah).11 Pihak yang membaiat adalah Ahlul Halli wal Aqdi dari umat ini atau seorang khalifah sebelumnya setelah melakukan pertimbangan dan syura di antara kaum muslimin. Orang yang dibaiat atau dinobatkan menjadi khalifah wajib memenuhi syarat-syarat baiat.12 Baiat Kubra mengharuskan orang yang dibaiat untuk menerapkan segala ketentuan syariat bagi kaum muslimin.13 Di sisi lain, umat wajib mendengar dan taat kepada imam serta menolongnya selama tidak dalam maksiat. Kewajiban dan komitmen baiat kubra Imam Al-Qurtubi berkata, “Dan jika imamah (khilafah) telah terwujud dengan kesepakatan Ahlul Halli wal Aqdi atau dengan salah satu seperti penjelasan yang lalu, maka wajib bagi seluruh rakyat membaiatnya untuk mendengar dan taat dan untuk menegakkan kitab Allah k dan sunnah Rasulullah n. 11 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235 12 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7. 13 Imam Al-Mawardi menyebutkan sepuluh kewajiban, lihat Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 15-17. Barang siapa tidak berbaiat karena ada uzur, ia diberi uzur (maaf). Barang siapa tidak berbaiat tanpa uzur maka dia dipaksa (untuk berbaiat), agar kesatuan kaum muslimin tidak terpecah.”14 Setiap muslim wajib memegang teguh baiatnya. Berdasarkan hadits: وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً “Barang siapa mati dan belum berbaiat, maka matinya seperti mati dalam keadaan jahiliah.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar). Dan hadits, “Wajib beriltizam terhadap jamaah dan imamnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Hudzifah).15 Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz berkata, “Kesimpulannya, bahwa baiat imam kaum muslimin adalah wajib menurut syar’i.”16 Setelah berbaiat, komitmen selanjutnya ialah mendengar dan taat, serta tidak melepaskan baiatnya kecuali dengan alasan yang telah ditetapkan syariat. Rasulullah n bersabda: مَنْ خَلعََ يدًَا مِنْ طاَعَة،ٍ لقَِيَ اللهَ يوَْم القِْياَمَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ "Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan (kepada Amir), maka dia berjumpa dengan Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah." (HR. Muslim dari Ibnu Umar). 14 Al-Qurthubi, Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, juz 1, hal: 302, Maktabah Syamilah 15 Lihat dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 20-23. 16 Lihat: Abdul Qadir bin Abdul Aziz, al-Umdah fii I’dadil Uddah: 1/144
  • 10. 10 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Maksud tidak ada hujjah, seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi, ialah tidak ada alasan baginya di dunia dengan tindakannya itu. Sedangkan maksud tidak ada ‘uzur adalah tidak ada alasan yang berguna baginya untuk menyelamatkan dari ancaman Allah pada hari kiamat.17 Al Hafidz Ibnu Hajar (wafat 852 H) dalam Fathul Bari mengatakan, “Yang dimaksud dengan al miitah al jaahiliyyah (mati dalam keadaan jahiliah) adalah keadaan mati seperti matinya orang jahiliah. Yakni mati dalam kesesatan; tidak mempunyai imam yang ditaati karena mereka dulu tidak tahu yang demikian. Ia tidak mati kafir, namun mati dalam keadaan maksiat.” Beliau melanjutkan, “(Ungkapan al miitah al jahiliah) mengandung makna tasybih (penyerupaan) atas zahirnya, yang maknanya dia mati seperti mati jahiliah walaupun dia bukan orang jahiliah.”18 Imam Ahmad ditanya tentang makna hadits “Barang siapa mati, sedang dia tidak memiliki imam, maka matinya seperti mati dalam keadaan jahiliah.” Beliau bertanya, “Tahukah kamu, siapakah imam itu?” Yaitu imam yang telah disepakati oleh kaum muslimin. Mereka semua menyatakan, “Ini imam,” Inilah maknanya.”19 17 An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, vol. 6, p. 323. 18 Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari, (Beirut: Dar Ma'rifah, ), vol. 13, p. 7 19 Dinukil dari al-Wajiz fii Fiqhil Khilafah, hal. 77-78, lihat ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat, hal. 230. Dengan memahami perbedaan antara Baiat Kubra dan Baiat Sughra, maka jelaslah bahwa imam kaum muslimin yang dimaksudkan dalam hadits tersebut bukan pemimpin kelompok atau jamaah yang ada saat ini. Akan tetapi maksud imam di sini adalah pemimpin yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin dengan memenuhi segala syarat yang ada. Dan yang menjadi titik tekan juga adalah pemimpin tersebut merupakan pemimpin yang menjalankan syariat islam. Jadi, kedudukannya benar-benar menjadi khalifah yang menjalankan fungsi kepemimpinan, yaitu menjaga agama (menjalankan hukum islam) dan mengatur kemaslahatan dunia.20 Karena pemimpin yang demikianlah yang wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin n (Fahruddin) 20 Lihat: Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7
  • 11. 11 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Islam menghendaki umatnya bersatu dalam jamaah dan satu pemimpin. Karena itulah, Islam melalui lisan Nabi n memberikan sanksi berat terhadap upaya yang mengarah kepada dualisme kepemimpinan. Hal ini tampak dalam hadits-hadits berikut: أَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ، وَثَمَرَةَ �إِمَامًا فَ � وَمَنْ بَايَعَ آخَرُ � نْ جَاءَ �ِإِنِ اسْتَطَاعَ، فَإ� قَلْبِهِ، فَلْيُطِعْهُ آخَرِ � يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْ "Barang siapa telah membaiat imam serta memberikan kesetiaan dan loyalitas kepadanya, maka hendaklah dia menaatinya semampu mungkin, kemudian bila datang orang lain yang menyainginya maka penggallah lehernya." (Riwayat Muslim). آخَرَ مِنْهُمَا �إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ، فَاقْتُلُوا الْ � "Bila dilakukan baiat kepada dua khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya." (Riwayat Muslim). أَنْ يفرُقَِّ � أَرَادَ � سَتَكُونُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ فَمَنْ أُمَّةِ وَهِيَ جمِيعٌ فَاضْرِبُوه بِالسَّيْفِ � هَذِهِ الْ كَائِنًا مَنْ كَانَ "Akan terjadi kekacauan dan kekacauan, barang siapa ingin memecah persatuan umat ini sedangkan umat itu sedang bersatu, maka penggallah lehernya dengan pedang siapa pun orangnya." (Riwayat Muslim). أَمْرُكمُْ جَمِيعٌ عَلىَ رَجُلٍ وَاحِدٍ، �أَتَاكمُْ وَ � مَنْ أَوْ يفَُرقَِّ جَمَاعَتكَمُْ، � ،أَنْ يشَُق عَصَاكمُْ � يرُيِد فَاقْتُلُوهُ "Barang siapa datang kepada kalian sedangkan urusan kalian itu bersatu di bawah kepemimpinan seorang pria, dan ia ingin membelah tongkat (kepemimpinan) kalian atau memecah barisan kalian, maka bunuhlah." (Riwayat Muslim). lll Bagaimana Menyikapi Dualisme Kepemimpinan Dalam Islam?
  • 12. 12 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Para ulama menetapkan kaidah-kaidah yang jelas pula dalam perkara ini. Al- Mawardi Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, "Dan bila kepemimpinan disematkan kepada dua imam di dua negeri, maka kepemimpinan mereka itu tidak sah, dikarenakan tidak boleh bagi umat ini ada dua imam di waktu yang sama." (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal: 9). Al-Qurthubi menjelaskan alasan pelarangan tersebut, “Ini adalah dalil yang paling jelas menunjukkan larangan pengangkatan dua imam, karena itu bisa menyebabkan timbulnya kemunafikan, perselisihan, perpecahan, kekacauan dan lenyapnya kenikmatan.” (Tafsir Al Qurthubi, 1/273). Namun, menurut Al- Qurtubi juga dan beberapa ulama lain, dualisme kepemimpinan dibolehkan bila wilayahnya berjauhan dan dipisahkan oleh perjalanan yang jauh. Tetapi, Al-Juwaini melihat kebolehan ini berada di luar permasalahan yang telah pasti hukumnya. "Para ulama mazhab kami berpendapat pelarangan penyematan imamah kepada dua orang di semua penjuru dunia, sedangkan menurut saya bahwa penyematan imamah kepada dua orang di satu wilayah yang berdekatan itu tidak boleh dan ijma telah terjalin terhadap hal itu. Adapun bila jaraknya berjauhan dan dua imam itu dipisahkan oleh perjalanan yang sangat jauh, maka di dalam hal itu ada kemungkinan (boleh). Dan ini di luar permasalahan yang qath'i." (Lihat Al Irsyaad Ilaa Qawathii'il Adillah Fi Ushulil I'tiqad). Baiat dalam Kondisi Imam Belum Pasti Ada yang menarik dalam hal ini. Abdullah bin Umar adalah sahabat yang meriwayatkan hadits ancaman mati jahiliyah bagi orang yang tidak berbaiat kepada imam kaum muslimin, seperti disebutkan sebelumnya. Namun bagaimana sikapnya ketika kekhilafahan belum jelas? Mari kita lihat! Diriwayatkan bahwa Muawiyah menunaikan ibadah haji pada tahun 51 H. Selain itu ia juga berkeinginan mengambil baiat kaum muslimin untuk anaknya, Yazid. Lalu ia mengirim utusan untuk memanggil Ibnu Umar. Setelah bertemu, Muawiyah mengucapkan syahadat dan berkata, “Wahai Ibnu Umar! Kamu pernah berkata kepadaku bahwa kamu tidak ingin tidur satu malam pun tanpa ada pemimpin (khalifah). Aku
  • 13. 13 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h ingatkan kepadamu agar kamu mencegah perselisihan kaum muslimin, atau kamu akan menyebabkan pertikaian di antara mereka! Ibnu Umar mengucapkan tahmid dan memuji Allah, lalu berkata, "Amma ba’du, sebelum dirimu, banyak khalifah yang mempunyai anak, dan anakmu tidak lebih baik daripada anak-anak mereka. Akan tetapi mereka tidak melakukan untuk anak-anak mereka sebagaimana yang kamu lakukan untuk anakmu. Mereka membiarkan kaum muslimin untuk memilih orang pilihan mereka. Engkau mengingatkan agar aku mencegah perselisihan kaum muslimin. Aku tidak akan melakukan hal itu. Aku hanyalah seorang dari kalangan kaum muslimin. Jika mereka telah sepakat akan suatu perkara, maka kau sepakat dengan mereka. Semoga kamu dirahmati oleh Allah!’ Lalu Ibnu Umar keluar.”1 Hal yang sama juga terjadi pada masa lain. Abdullah bin Umar, pada mulanya tidak berbaiat kepada Abdullah bin Zubair ataupun Abdul Malik bin Marwan. namun ketika umat sepakat kepada Abdul Malik bin Marwan, beliau pun berbaiat kepadanya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Dinar, ia berkata, "Aku melihat —pada saat umat berkumpul untuk berbaiat kepada Abdul Malik bin Marwan sebagai khalifah— Ibnu Umar berkata, “Sesungguhnya aku menyatakan mendengar dan taat kepada hamba Allah Jalla wa ‘ala, Abdul Malik, Amirul Mukminin, di atas ketetapan Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla dan Sunnah Rasul-Nya selama aku mampu, dan sesungguhnya anak-anakku telah menyatakan hal yang sama.”(HR. Al-Bukhari no. 7203 dan 7205). 1 Imam Suyuti, Tarikh khulafa, hal: 150 Kisah lebih lengkap tentang baiat Abdullah bin Umar RA ini, baca halaman 16. lll Menurut DR. Yahya Ismail, salah satu karakteristik syariat Islam adalah menghilangkan segala kesempitan dan kesulitan dalam beribadah. Begitu juga halnya dalam urusan baiat. Seseorang tidak boleh dipaksa untuk berbaiat kepada salah seorang imam jika mayoritas rakyat belum setuju dengan kepemimpinan tersebut. Lebih lanjut beliau mengungkapkan beberapa alasan bahwa Islam membolehkan seorang muslim untuk meninggalkan baiat dan kepatuhan, apabila berada dalam kondisi sebagai berikut: 1Terjadi perebutan kekuasaan antara dua penguasa yang sah dan belum jelas siapakah di antara keduanya yang lebih berhak menerima baiat. 2Terjadi fitnah peperangan internal umat Islam dan diyakini bahwa hal itu bisa diredakan jika tidak ada baiat.2 Baiat Zaman Fitnah Sudah hampir satu abad, kaum muslimin kehilangan kepimpinan Islam yang dikenal 2 Minhajul I'tidal, hal. 176, An-Nadhariah Siyasah Islamiah, hal. 195, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Hal. 178
  • 14. 14 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h dengan kekhilafahan. Ahli hadits Basrah dan yang lainnya menyatakan bahwa ketika tidak ada pemimpin umum bagi umat Islam maka zaman itu disebut zaman fitnah.3 Dalam masa fitnah, perintah Nabi n adalah, “Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin setelahku.” Dari uraian sebelumnya, terlihat jelas bagaimana petunjuk Islam dalam perkara ini. Tidak ada perdebatan dalam baiat ketika imam (khalifah) benar-benar ada dan diakui 3 Ibnu Taimiyah, Minhajus sunnah, Riyadh:Jami’ah Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah, 1986, vol 1, 144. di tengah-tengah kaum muslimin. Namun yang menjadi polemik adalah bagaimana menyikapi seruan baiat dari suatu jamaah. Apalagi ketika seruan baiat itu dikuatkan dengan dalil-dalil baiat kubra, baik kewajiban berbaiat maupun ancaman bagi yang enggan melakukannya, seperti disebutkan sebelumnya. Walhasil, yang terjadi ialah klaim kebenaran dan kepemimpinan. Dampaknya ialah perpecahan dan perselisihan. Maka tujuan baiat sebagai elemen jamaah menuju persatuan tidaklah terwujud n (Fahruddin) Baiat memang disyariatkan, baik sughra apalagi kubra. Namun seringkali baiat disalahgunakan. Di antara bentuk penyelewengan dalam persoalan baiat ini adalah: Pertama, menyalahgunakan hadits baiat kubra untuk melegitimasi baiat sughra, ditambah lagi kesalahan dalam mengartikan kalimat “mitatan jahiliyyatan”. Hasilnya, orang yang tidak bergabung dianggap kafir dan syahadatnya tidak berguna. Tidak jarang terjadi permusuhan antara orang tua dan anak karena kesalahan ini. Orang tua dikafirkan karena tidak bergabung dengan jamaahnya. Tahun 2011 lalu, umat Islam dihebohkan oleh banyaknya korban baiat NII KW-9. Sejarah juga mencatat jamaah LDII yang menganggap orang tua, saudara, dan siapa pun di luar jamaah mereka diyakini sebagai orang kafir yang najis. Maka, bekas tempat duduknya pun dipel karena kenajisannya. penyelewengan baiat Karena pihak di luar jamaahnya diyakini kafir, maka harta dan properti mereka halal diambil dan tidak ada dosa. Kesalahan ini pun semakin kompleks karena menggunakan dalil-dalil fa’i untuk mengambil harta orang lain. Kedua, memaksa kelompok lain agar mau bergabung dan berbaiat kepada pimpinannya. Baiat tidak boleh dipaksakan kecuali dalam baiat kubra kepada imam yang telah disepakati oleh Ahlul Halli wal Aqdi maupun cara lain sesuai syariat. Sedangkan dalam baiat kubra, sifatnya adalah ajakan dan nasihat. Pada dasarnya suatu kepemimpinan akan sah jika telah diakui oleh mayoritas umat karena salah satu syarat mutlak dalam kepemimpinan adalah adanya syaukah (kekuatan). Dan itu akan terwujud jika mayoritas telah menyetujuinya.1 1 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, “Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah, pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat
  • 15. 15 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Dalam kasus baiat dan proyek Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) di Suriah maupun di Irak, kelompok maupun faksi-faksi jihad lain, seperti Ahrar Syam, Liwa Tauhid dan lainnya, juga memiliki syaukah (kekuatan). Maka pendekatan yang terbaik adalah persuasif, selain bahwa baiat yang diserukan adalah baiat sughra.2 Selain itu, ketika persetujuan mayoritas umat tidak terwujud dalam kepemimpinan tersebut maka akan timbul kekacauan dan fitnah di tengah-tengah umat. Dan ini jelas terjadi di Suriah. Banyak tokoh dari kedua pihak yang dibunuh tanpa ada penyelesaian, dengan salah satu alasan menolak tahkim karena daulah tidak mungkin bertahkim kepada organisasi.3 Jadi prinsip Islam dalam pengangkatan imam adalah adanya persetujuan mayoritas umat —terukur dengan terwujudnya syaukah— yang ditempuh melalui jalur musyawarah bukan dengan pemaksaan. Umar bin Khattab berkata, “Barang siapa membaiat seseorang tanpa musyawarah dari kaum muslimin maka ia tidak boleh diikuti, dan tidak pula mengikuti para terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika seseorang dibai’at dan bersamaan dengan itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya berkata para imam salaf: ‘Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi ulil amri yang Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla perintahkan taat kepada mereka selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla’.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 4/388) 2 Syaikh Abu Ja'far Al-Haththab, Anggota Lajnah Syar'iyyah Pada Anshar Syari'ah Tunisia, dalam bukunya Bai'atul Amshaar Lil Imaam Al Mukhtaar, menyimpulkan bahwa baiat kepada Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat umum (baiat kubra). Namun pendapat ini lemah dan dibantah oleh kenyataan dan para ulama. Salah satunya ialah Syaikh Abu Laits Al-Anshari dalam bukunya Tabyin Az-Zaif wal Jahl wa izhharul Awar. 3 Lihat kembali catatan Syaikh Al-Maqdisi tentang ISIS di mimbar tauhid dan jihad. pendukungnya, karena khawatir mereka akan dibunuh (yang berbaiat dan yang dibaiat).” (HR. Al-Bukhari no. 6442) Bahkan lebih tegas lagi Umar a berkata, “Barang siapa membaiat seorang laki-laki tanpa didahului musyawarah dengan umat Islam, maka tidak halal bagi kalian kecuali membunuhnya.” Pada hajinya yang terakhir, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Bukhari, Umar berkata, “Sesungguhnya, sore ini aku berdiri dan mengingatkan umat Islam tentang orang-orang yang hendak merampas pemerintahan mereka”. Umar menganggap baiat yang dilakukan oleh sebagian sahabat kepada sebagian yang lain, tanpa didahului musyawarah dengan umat adalah merupakan bentuk perampasan hak umat. Tidak ada istilah baiat kepada orang yang merampas, apalagi kalau merampasnya dengan pedang bukan dengan baiat, meskipun hanya baiat minoritas. Adalah Umar bin Abdul Aziz, ketika beliau diangkat menjadi khalifah beliau berkata, “Wahai manusia aku telah diuji dengan jabatan ini tanpa pernah dimintai pendapatku tentangnya, bukan juga karena aku yang memintanya dan bukan juga berdasarkan hasil musyawarah kaum muslimin. Sesungguhnya aku tidak memaksa kalian untuk membaiatku. Oleh karena itu, pilihlah orang yang pantas memimpin kalian.” Maka seketika itu juga mereka berkata, “Sungguh kami telah memilih engkau wahai amirul mukminin dan kami ridha dengan kepemimpinanmu. Oleh karena itu pimpinlah kami dengan adil dan baik.”4 (Fahruddin) 4 Ali Muhammad Ash-Sholabi, Umar bin Abdul Aziz, terj: chep M.faqih FR, (Jakarta Timur: Yayasan Ash-shilah: tt), hal: 64
  • 16. 16 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 14345 h J E D A Kisah ini lebih lengkap diceritakan oleh Ibnu Hajar sebagai berikut: Dahulu dua pihak yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang berhak memegang tampuk kekhilafahan. Keduanya adalah Abdul Malik bin Marwan dan Abdullah bin Zubair. Pada saat itu, Ibnu Zubair tinggal di kota Mekkah dan berlindung di sana setelah Muawiyah wafat. Karena Ibnu Zubair menolak berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, Yazid mengirimkan tentaranya beberapa kali untuk menyerang. Ketika tentaranya masih dalam posisi mengepung Ibnu Zubair, Yazid meninggal dunia pada bulan Rabiul Awal 64 H. Menyusul kematian Yazid, umat Islam berbaiat kepada Ibnu Zubair (dengan wilayah kekuasaan di Hijaz), sedangkan penduduk daerah-daerah lain berbaiat kepada Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah (Muawiyah II). Kira-kira 40 hari kemudian, Muawiyah II meninggal dunia. Maka sebagian besar penduduk wilayah kekuasaan Muawiyah II kemudian berbaiat pada Ibnu Zubair dengan wilayah kekhalifahan meliputi Hijaz, Yaman, Mesir, Irak, seluruh bagian timur dan seluruh negeri Syam, termasuk Damaskus. Semua berbaiat kepada Ibnu Zubair kecuali seluruh keturunan bani Umayyah dan orang-orang yang masih setia kepada mereka di Palestina. Dengan serentak, mereka berbaiat kepada Marwan bin Hakam untuk memegang kekuasaan. Selanjutnya, orang-orang yang setia kepada Marwan menyerang pengikut Ibnu Zubair di Damaskus, sehingga terjadi saling bunuh antara dua golongan di tanah lapang. Setelah berhasil menguasai Syam, Marwan menyerang Mesir dan mengepung Abdurrahman bin Jahdar, gubernur Ibnu Zubair di sana, dan berhasil menguasai Mesir pada bulan Rabiul Akhir tahun 65 H. Namun, pada tahun itu juga Marwan wafat (memegang kekuasaan hanya 6 bulan) dan digantikan putranya, Abdul Malik bin Marwan dengan wilayah kekuasaan meliputi Syam, Mesir dan Maroko. Sementara itu, wilayah Hijaz, Irak dan negeri bagian timur berada dalam kekuasaan Ibnu Zubair. Hanya kota Kufah yang dikuasai Mukhtar bin Abu Ubaid, sang pemberontak yang mengajak orang untuk setia pada Imam Mahdi dan Ahlu Bait. Mukhtar memerintah di sana selama kurang lebih dua tahun. Kemudian Mus’ab bin Zubair dari pihak Kisah Baiat Abdullah bin Umar d
  • 17. MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 14345 h 17 J E D A (Ibnu Zubair) menyerang Mukhtar pada bukan Ramadhan 71 H yang mengakibatkan terbununya Mukhtar. Namun, keadaan segera berubah. Abdul Malik bin Marwan menyerang Mus’ab bin Zubair dan mengepungnya sehingga Mus’ab gugur pada bulan Jumadil Akhir tahun itu. Karena kekalahan yang diderita dan wilayah yang mulai menyusut dan hanya terdiri dari Hijaz, Yaman dan wilayah timur. Puncaknya, Abdul Malik menyiapkan pasukan di bawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf dan mengepung serta menyerang Hijaz selama dua tahun. Pada April 73 H Ibnu Zubair terbunuh. Selama pertentangan itulah Ibnu Umar menolak berbaiat pada Ibnu Zubair atau Abdul Malik bin Marwan, sebagaimana ia juga menolak berbaiat pada Ali atau Muawiyah. Setelah Ibnu Zubair terbunuh dan semua wilayah kerajaan berada di bawah kekuasaan Abdul Malik, barulah Ibnu Umar berbaiat kepada Ibnu Malik.1 1 Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah fi Al-‘Alaqoh baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman (Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.181-182 Masjid Umawiyah, Damaskus
  • 18. 18 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h I S I S DAULAH, KHILAFAH ATAU JAMAAH? Syaikh Abu Humam Bakar bin Abdul Aziz Al-Atsari, dalam bukunya Maddul Ayaadi bi Bai’ah Al-Baghdadi,1 menguatkan legalitas syar’i Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Amir Daulah Islam Irak. Setelah menampilkan berbagai argumentasi mengenai urgensi, faktor-faktor mendorong berdirinya Daulah Islam Irak, serta tinjauan syar’i berdirinya dan realitas sejarah berdirinya sebuah negara, maka disimpulkan bahwa Daulah Islam Irak sah secara syar’i. Syaikh Abu Humam mengulas kelayakan Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Amirul Mukminin, sahnya baiat sebagian orang dan sebagian Ahlul Halli wal Aqdi, sahnya disebut Daulah meskipun belum mendapatkan wilayah yang aman (tamkin), menjawab syubhat imam majhul, dan semua hal yang menguatkan bahwa Syaikh Al-Baghdadi adalah amir sebuah Daulah Islam memimpin jamaah muslimin, bukan amir sebuah imarah (kepemimpinan Islam) dalam arti organisasi atau tanzim jihad. Di lapangan dan media, hal tersebut dikuatkan oleh tentara dan ulama pendukung ISIS bahwa baiat Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat pemimpin 1 http://www.tawhed.ws/r?i=05081301
  • 19. 19 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h tertinggi dalam Islam, sehingga siapa yang menolak wajib diperangi. Dalil-dalil yang dipakai adalah dalil-dalil Imamatul Uzhma dan konsekuensi-konsekuensi yang diterapkan pun berdasarkan pemahaman ini. Contohnya hadits, “Barang siapa yang mati, sedangkan ia tidak memiliki baiat di pundaknya, maka ia mati dalam keadaan jahiliah.” (HR Muslim). Juga sabda Rasulullah n, “Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah kesatuan jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.” (HR. Muslim) Untuk mendudukkan masalah ini, kita akan melihatnya dari pengertian Daulah dan Khilafah terlebih dahulu. Daulah, Imarah dan Khilafah Secara bahasa kalimat Daulah oleh para ulama diartikan: Sesuatu yang kadang dihasilkan dari tangan ini atau dari tangan lain, atau balasan dalam hal kekayaan atau peperangan.2 Penggunaan kata daulah digunakan sebagai kata istilah, belum begitu merata dipakai oleh para fuqaha zaman dulu, hanya beberapa kitab yang sudah memakainya seperti kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Namun oleh para fuqaha zaman dulu, pembahasan Daulah Islamiyah dalam kitab fiqh-fiqh turats sudah dimasukkan ke dalam sub tema kepemimpinan negara (al-ahkam al-imamiyah) dengan menegaskan bahwa Daulah adalah representasi dari sosok kepemimpinan tinggi, atau istilah lainnya Khalifah. Imamah secara bahasa bisa diartikan setiap orang yang harus diikuti baik dia itu adalah seorang pemimpin atau tidak. Dalam Lisanul Arab juga dikatakan bahwa yang dimaksud dengan imamah dan imam itu adalah orang yang diikuti oleh suatu kaum baik mereka berada di jalan yang lurus maupun yang sesat. 2 Lihat : “Mausu’ah Fiqhiyah” Wazartul Auqaf Kuwait, hal 36 juz 6
  • 20. 20 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Sementara yang dimaksud dengan imamah secara istilah ulama memberikan definisi secara beragam akan tetapi semuanya itu bermuara pada satu tujuan. Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan imamah adalah posisi khilafah nubuwwah–pengganti Nabi–untuk menjaga agama serta mengatur dunia dengan agama tersebut.3 Oleh para fuqaha tata negara Daulah Islam didefinisikan sebagai: يْلَاتِ تَجْتَمِعُ لِتَحْقِيْقِ السِّيَادَةِ �ِ مَجْمُوْعَةُ الْإ أَقَاليِْمٍ مُعَيَّنَةٍ لَهَا حُدُوْدُهُا وَمُسْتَوْطِنُوْهَا � عَلَى أَمِيْرُ المُْؤْمِنِيْنَ � أَوْ� أَوِ الخَْليِْفَةُ � فَيَكُوْنُ الحَْاكِمُ أْسِ هذِهِ السُلْطَاتِ � عَلَى رَ “Gabungan kelompok masyarakat yang menguasai kawasan tertentu, mempunyai wilayah dan anggota masyarakat tertentu, dan hakim atau khalifah atau amirul mukminin yang bertindak sebagai pucuk pimpinan kekuasaan ini.”4 Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa daulah atau negara terdiri dari tiga unsur, yaitu wilayah, rakyat dan pemerintahan. Dalam mengkaji ketiga unsur pokok sebuah negara tersebut, para fuqaha ahli tata negara telah menjabarkannya di dalam 3 h t t p : / / i d . s h v o o n g . c o m / h u m a n i t i e s / r e l i g i o n - studies/2171993-pengertian-imamah-imaroh-khilafah- dan/#ixzz34g72bqoP 4 Ibid. tema hukum Darul Islam. Dr. Wahbah Zuhaili berkata: “Hijrahnya Nabi n dari kota Mekkah menuju kota Madinah yang merupakan titik awal berdirinya sebuah Daulah Islamiyah oleh kalangan fuqaha di masa awal-awal Islam belum digunakan sebagai sebuah terminologi umum, melainkan mengungkapkannya dengan istilah Darul Islam, karena kalimat daulah belum banyak digunakan ulama saat itu. Di sisi lain terdapat korelasi makna yang bersifat talazum antara istilah kalimat daulah dan Darul Islam.5 Para fuqaha menyatakan bahwa tugas khilafah adalah menegakkan din Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menegakkan politik Daulah di perbatasan Islam. Dalam aspek ini, Al-Mawardi menjelaskan bahwa, “Apabila imam (kepala negara) telah menjalankan semua tugas-tugasnya dalam memenuhi hak-hak rakyatnya dan menegakkan hak-hak Allah SWT di antara mereka, maka wajib bagi rakyatnya memenuhi dua hak sang imam, yaitu hak menaatinya dan hak membantu tugasnya.”6 5 Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, VIII/6304 6 Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 15
  • 21. 21 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Bagaimana dengan Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS)?7 Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) mengklaim sebagai daulah Islam dan memakai dalil-dalil baiat kubra untuk menguatkannya. Syaikh Abu Bakar Al- Baghadi juga dijuluki Amirul Mukminin. Namun, pihak lain menyebutnya dengan kata jamaah atau tanzim Daulah. Bahkan Syaikh Aiman Al-Zawahiri juga menyebut demikian. Banyak hal yang menguatkan bahwa ISIS adalah organisasi. Namun sebelumnya, kita perlu memahami perbedaan antara tanzhim dan daulah, terutama konsekuensi baiatnya. Ini perkara mendasar yang membedakan antara keduanya dan konsekuensi-konsekuensi di baliknya. Tabel berikut merupakan beberapa konsekuensi baiat keduanya: Pemahaman dasar tersebut menjadi penting untuk melihat apa yang harus dilakukan Daulah Islam ketika ada pihak yang keluar maupun menolak berbaiat, dalam kapasitas Daulah sebagai tanzim maupun 7 Sebagaimana telah kami sebutkan dalam Pengantar, makalah ini dirancang ketika ISIS masih menjadi "Daulah," belum mendeklarasikan diri sebagai "Khilafah." daulah Islam dalam makna kepemimpinan tertinggi Islam. Demikian pula menjadi pandangan setiap umat Islam dalam masalah ini. Kembali ke persoalan sebelumnya, ISIS tanzim ataukah daulah? Syaikh Athiyatullah Al-Libbi ketika ditanya tentang Daulah Islam Irak (ISI): Mengapa namanya Daulah, bukan Imarah, apa bedanya? Beliau menjawab: “Nama ’Daulah Islam Irak’ adalah julukan bagi entitas politik dan sosial bagi mujahidin dan kaum muslimin ahli sunnah di wilayah ini sebagai bagian dari negeri-negeri Islam lainnya. Ini hendaknya tidak hilang dari ingatan kita.” Beliau menjelaskan bahwa pemilihan nama dan julukan itu sifatnya ijtihad. Makna sesungguhnya berhubungan erat dengan fakta dan kenyataan yang ada. Contohnya, julukan Amirul Mukminin dalam sebuah nama daulah. Maksudnya adalah pemimpin dan pemegang otoritas politik “Daulah”. Julukan ini sifatnya ijtihadi, yaitu nama pemimpin dalam Daulah ini. Tetapi, maksudnya bukanlah pemimpin tertinggi (imam a’dzam) yang diangkat berdasarkan baiat umum dari kaum
  • 22. 22 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h muslimin atau oleh Ahlul Halli wal Aqdi, atau melakukan kudeta atas suatu negeri Islam sampai akhirnya disebut Amirul Mukminin dalam arti pemimpin tertinggi atau khalifah. Meskipun penamaan dan julukan seperti itu dibolehkan sesuai konteks ijtihad tadi, Syaikh Athiyatullah Al-Libbi melihat bahwa memilih nama lain lebih utama dan lebih baik. Termasuk sebutan Amirul Mukminin bagi Mulla Muhammad Umar sebelumnya. Menurutnya, nama Amir saja tanpa tambahan mukminin lebih baik sebab kesannya lebih jelas. Yakni dialah pemimpin suatu Daulah atau Imarah, dalam makna bukan daulah khilafah. Mengapa bukan Amirul Mukminin? Sebab, masih menurut Syaikh, ini bisa menimbulkan ilusi bahwa ia adalah imam tertinggi (khalifah). “Itu bisa membuat kerancuan bagi saudara-saudara kita, mungkin akan mengira bahwa itu khalifah! Sebab julukan Amirul Mukminin ini sudah tertanam dalam benak kaum muslimin sejak Umar bin Khathab a bahwa julukan Amirul Mukminin ini adalah untuk imam tertinggi dan khalifah.” Hal itu, menurut beliau, lebih menambah kerancuan dengan kondisinya (Abu Bakar Al-Baghdadi)—semoga Allah menjaganya— adalah dari suku Quraisy8 dan keturunan Husain. Ilusinya semakin kuat!9 Syaikh Athiyatullah termasuk ulama yang menyetujui proyek Daulah Islam Irak, dan tampak jelas bahwa beliau juga mendoakan kebaikan bagi Syaikh Al-Baghdadi. Namun beliau memahami bahwa Daulah Islam Irak adalah imarah Islam yang tidak berbeda dengan makna tanzhim. Baiat Al-Baghdadi kepada Al-Zawahiri Banyak kalangan mempertanyakan hubungan antara Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) dan Al-Qaidah serta status baiat antara pemimpinnya. Bukan kalangan awam, bahkan para ulama seperti Dr Thariq Abdul Halim, Dr Hani As-Sibai dan lainnya juga mempertanyakannya. Pertanyaan Dr Thariq dan Dr Habi As-Sibai tidak berbeda, yaitu urusan baiat Syaikh Al-Baghdadi kepada Syaikh Al-Zawahiri merupakan baiat yang belum ada kepastian, baik sifat maupun hakikatnya. Padahal jawaban tersebut sangat penting. Untuk mendudukkan perkara sebenarnya. Sekurang-kurangnya pertanyaan-pertanyaan berikut akan terjawab. Penolakan Al-Jaulani atas deklarasi Daulah Islam Irak dan Syam adalah penolakan yang salah bila alasannya hanyalah karena Al- Jaulani tidak diajak bermusyawarah lebih 8 Lihat kembali syarat-syarat imam tertinggi. 9 http://www.muslm.org/vb/showthread.php?516157- -خيشلا 28 %-اـهدودح-امو-نينمؤملا-ريمأ-اذاملو-ةيملاسلإا-ةلودلا-اذاـمل الله-همحر-الله-ةيطع Nama "Amir" saja tanpa tambahan mukminin lebih baik sebab kesannya lebih jelas. Yakni dialah pemimpin suatu Daulah atau Imarah, dalam makna bukan daulah khilafah. Syaikh Athiyatullah Al-Libbi
  • 23. 23 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h dahulu, seperti disebutkan dalam pidatonya.10 Al-Jaulani juga (bisa dianggap) berdosa karena telah melepaskan baiat dari Al- Baghadi dengan alasan yang tidak dibenarkan. Semua arahan Syaikh Aiman, termasuk perintah membekukan ISIS tidak mengikat sebab hubungannya hanyalah kerja sama dan saling menasihati sesama tanzim, bukan perintah. Demikian, dan masih banyak lagi. Ini adalah persoalan besar. Namun, saat banyak pihak mempertanyakan hakikat hubungan tersebut, Abu Mu’adz Asy-Syar’i mengomentari pertanyaan Dr Habi As-Sibai dan menyatakan bahwa esensinya bukan pada masalah baiat. Tetapi ada persoalan lain yang tidak diperdebatkan lagi yang menjadi akar masalah antara JN dan ISIS, yaitu penyimpangan manhaj Al-Qaidah. Al-Qaidah (dianggap) kesusupan akidah sururiyah dan lima poin lainnya tanpa menyebutkan bukti apa pun.11 Dr. Thariq Abdul Halim menilai Abu Mu’adz Asy-Syar’i telah menelanjangi Dr Aiman dan Dr Hani Sibai sebagai tokoh yang dalam 10 Rabu, 29 Jumadil Ula 1434 /10 April 2013 M, yang diterbitkan oleh Media Al-Manarah al-Baidha’. 11 Lihat http://alplatformmedia.com/vb/showthread. php?t=42298 sejarah panjang telah mengabdikan diri dalam pertarungan dengan thaghut dengan lisan dan perbuatan. “Nama, rupa, sejarah dan pengalaman keduanya telah dikenal, sedangkan lainnya tidaklah kita kenal rupa, sejarah, dan tulisannya kecuali penambahan kata “Asy-Syar’i” yang tidak pernah kita kenal sebelumnya kecuali setelah muncul perkataan-perkataan mereka di justpaste. it12 sejak pengumumam “Daulah Islam” beberapa bulan lalu,” ungkapnya. Dr Thariq mengapresiasi upaya para pendukung Daulah dalam menjawab setiap persoalan. Namun, “sangat disayangkan, tindakan ini dinilai sebagian orang telah menjadi ciri umum Daulah, yaitu menghantam siapa dan apa saja yang sifatnya menyelisihi Daulah.” Dan itu berimbas kepada para pendukung mereka di twitter dan facebook. Mereka seolah-olah telah memenangkan al-haq secara keseluruhan dan tidak terbantahkan lagi; bebas dari kesalahan secara keseluruhan. Merekalah yang benar dalam setiap hal yang mengingatkan mereka.” 12 Hosting gratis tempat berbagi artikel dan tulisan.
  • 24. 24 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Ya, permasalahan baiat antara Syaikh Al-Zawahiri dan Syaikh al-Baghdadi adalah jantung dari masalah ini. Itulah sebabnya jawaban dari kedua pihak sangat ditunggu-tunggu. Sebenarnya, Dr Thariq telah memiliki persepsi bahwa Al-Baghdadi berbaiat kepada Al-Zawahiri. Ia memiliki kesaksian dari orang yang dikenal sebagai orang adil dan kesaksiannya tidak patut didustakan. Di sisi lain, berdasarkan upaya penyelesaian masalah antara ISIS dan JN, Dr. Thariq Abdul Halim melihat bahwa Abu Bakar Al-Baghdadi sebenarnya menerima Syaikh Aiman menjadi hakim bagi dirinya dan Al-Jaulani.13 Hanya saja, ketika keputusannya tidak sesuai dengan keinginan Daulah, Al-Baghdadi tidak melaksanakannya. Ini menguatkan bahwa Al-Zawahiri adalah amir Al-Baghdadi. Karena itulah, beliau menginginkan pihak Daulah memberikan penjelasan tegas dalam masalah ini.14 Pertanyaan-pertanyaan para ulama tersebut akhirnya dijawab oleh Syaikh Aiman. Surat Syaikh Aiman menjawab pertanyaan-pertanyaan Dr. Thariq Abdul Halim, Dr. Hani As-Siba’i, Dr. Iyadh Qunaibi, Dr. Abdullah Al-Muhaisini, Syaikh Muhammad Al-Hashmi dan Dr. Sami Al-Uraidi.15 "Adapun pertanyaan kalian tentang jamaah Daulah Islamiyah di Irak dan Syam (ISIS), sebelum dan sesudah 13 Lihat http://www.tariqabdelhaleem.net/new/ Artical-72557 14 Ibid. 15 h t t p : / / w w w . a l m a q r e z e . n e t / a r / n e w s . php?readmore=2445 pengumuman ekspansi serta persoalan baiat, maka saya telah menjelaskan dalam tulisan saya berjudul: Kesaksian untuk menghentikan pertumpahan darah mujahidin di Suriah. Yaitu bahwa Daulah Islam Irak (ISIS) adalah cabang jamaah Al-Qaidah. Amir dan tentara ISIS memiliki kewajiban baiat di pundak mereka terhadap jamaah Al-Qaidah. Amir mereka adalah Usamah bin Ladin—semoga Allah mengasihinya— kemudian saya yang lemah ini.” Salah satu buktinya ialah surat Syaikh Al- Baghdadi kepada Syaikh Aiman pada 7 Dzul Hijjah 1433. Di dalamnya, Syaikh Al-Baghdadi mengatakan: “Syaikh kami yang diberkati, kami ingin menjelaskan dan mengumumkan kepadamu bahwa kami adalah bagian darimu. Kami adalah dari dan untukmu. Kami berhutang kepada Allah bahwa engkau adalah pemegang otoritas urusan kami. Engkau memiliki hak ketaatan (sam’u wa tha’ah) selama kami hidup. Dan bahwa nasihat dan peringatanmu untuk kami adalah hak kami untuk menerimanya darimu. Perintahmu mengikat bagi kami. Akan tetapi, beberapa masalah adakalanya memerlukan beberapa penjelasan untuk menangani kenyataan yang terjadi di lapangan kami. Kami berharap engkau lapang dada untuk mendengar sudut pandang kami. Setelah itu, engkau berhak mengeluarkan perintah karena kami ini hanyalah anak-anak panah di busurmu.” Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi bersaksi kepada Allah atas kebenaran semua pernyataan Syaikh Aiman Al-Zawahiri
  • 25. 25 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h tentang hubungan ISIS dan Al-Qaidah16 dan ini juga diakui oleh Juru Bicara ISIS Syaikh Al-Adnani dalam pidatonya yang berjudul “Maaf wahai Amir Al-Qaidah”: “Sesungguhnya semua kesaksianmu yang engkau sebutkan itu adalah benar”.17 Di antara kesaksian Syaikh Aiman saat ISIS masih di Irak ialah: “Syaikh Abu Hamzah t mengirimkan surat kepada kepemimpinan pusat (Al- Qaidah) yang isinya membenarkan pembentukan Daulah. Ia menegaskan di dalamnya bahwa loyalitas Daulah adalah kepada jamaah Al-Qaidah dan bahwa saudara-saudara di Dewan Syuro telah mengambil janji kepada Syaikh Asy-Syahid—seperti yang kami harapkan—Abu Umar Al-Baghdadi bahwa amirnya adalah Syaikh Usamah bin Ladin t. Dan bahwa Daulah berada di bawah jamaah Al-Qaidah. Akan tetapi, Dewan Syuro memandang saudara-saudara harus diberitahu itu, namun tidak diberitahukan secara luas dengan beberapa pertimbangan politik, yang mereka lihat di Irak saat itu.” “Delegasi Dewan Syuro Daulah Islam Irak menanggapinya pada awal Dzul Qa’dah 1431, sebagai berikut: '... Seluruh ikhwah di sini, yang dipimpin oleh Syaikh Abu Bakar, semoga Allah melindunginya dan Dewan Syura sepakat bahwa tidak ada keberatan bila imarah (daulah) ini bersifat sementara. Dan kalian boleh mengirimkan seseorang kepada kami bila kalian melihat keputusan sebagai bagian dari perwujudan maslahat 16 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401 17 Lihat transkripnya di http://www.dawaalhaq. com/?p=12828 untuk menyerahkan imarah ini. Kami tidak keberatan dan kami semua di sini adalah prajuritnya (Syaikh Usamah) yang di pundak mereka ada beban mendengar dan taat. Kewajiban ini adalah hasil kesepakatan dari Majelis Syuro dan Syaikh Abu Bakar Al- Baghdadi, semoga Allah melindungi mereka.”18 Hal yang sama juga dilakukan saat kepemimpinan Al-Qaidah dipercayakan kepada Syaikh Aiman, sepeninggal Syaikh Usamah bin Ladin. Syaikh Al- Baghdadi meminta kepastian apakah 18 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401 Transkrip penjelasan Al-Zawahiri tentang hubungan Al-Qaidah dan ISIS. Terjemahnya dapat dilihat di : http://www.kiblat.net/2014/05/03/inilah-penegasan-al- qaidah-untuk-jn-dan-isis/
  • 26. 26 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h harus memperbarui baiat secara terang-terangan atau cukup secara rahasia seperti sebelumnya. Disebutkan juga dalam surat Dr Aiman, menukil dari surat yang dikirimkan kepada beliau dari Daulah: “… dan ia (Syaikh Al-Baghdadi) menanyakan posisinya dari sudut pandang kalian (organisasi Al-Qaidah), ketika ada pengumuman amir baru di organisasi (Al-Qaidah). Apakah Daulah harus memperbarui baiatnya secara terang-terangan atau secara rahasia saja, seperti yang dilakukan sebelumnya. Ini penting sebab saudara-saudara di sini adalah anak panah di busurmu.”19 Semua proses tersebut dilakukan secara rahasia antara dua pihak. Maka wajar bila sekelas tokoh senior dalam dunia jihad pun tidak mengetahui hubungan sebenarnya antara Al-Baghdadi dan Al-Zawahiri. Dengan demikian semua pertanyaan seputar status ISIS dan hubungannya dengan Al-Qaidah terjawablah sudah. Daulah adalah bagian dari Al-Qaidah. Sejak awal berdirinya adalah bagian dari Al-Qaidah pusat. Pembubaran tanzim Al- Qaidah fi Bilad Rafidhain oleh Syaikh AIman Al-Zawahiri dan diumumkan bergabung dengan Daulah adalah langkah yang benar. Ini bukan berarti tidak adanya baiat kepada Al-Qaidah pusat. Sebab sifatnya diintegrasikan, bukan independen. Pernyataan-pernyataan Syaikh Al-Zawahiri dan Syaikh Usamah dalam memuji Daulah adalah wujud apresiasi kepemimpinan pusat kepada organisasi cabang. Azh-Zhawahiri pernah menyatakan: 19 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401 “... Dan pada hari ini (2007) Daulah Islam Irak telah didirikan di Irak. Para mujahidin merayakan (berdirinya) di jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut berdemonstrasi untuk mendukungnya di kota-kota dan desa-desa Irak, dukungannya diumumkan, dan baiat terhadapnya (Daulah Islam Irak) dilakukan di masjid-masjid Baghdad.”20 Maka tidak salah bila Syaikh Aiman pernah menyatakan: “Saya ingin menjelaskan bahwa pada hari ini tidak ada kelompok yang bernama Al-Qaidah di Irak. Sebagai gantinya Al-Qaidah yang berada di Irak menyatukan diri dengan Daulah Islamiyah Irak— semoga Allah menjaganya – bersama jama’ah-jama’ah jihad lainnya. Daulah Islam Iraq adalah Imarah Syar’iyah yang berdiri di atas manhaj syar’i yang benar dan didirikan melalui Syura (musyawarah) dan membai’at sebagian besar Mujahidin dan suku-suku di Irak.” Adalah sikap yang tepat sebagai pemimpin untuk menengahi dan mendudukkan masalahnya ketika bagian dari organisasinya mendapatkan tuduhan. Daulah Islam Irak dituduh menjadi penyebab berbagai perang saudara dan dituding telah membunuh orang-orang sipil dan menumpahkan darah. Syaikh Aiman pada saat itu menjawab: “Ini merupakan suatu tuduhan, dan tuduhan memerlukan bukti. Sebagaimana halnya Daulah Islamiyah Irak mengumumkan kesiapannya untuk menanggapi setiap keluhan…. 20 Simak pesan Aiman Azh-Zhawahiri, Nashiihah Musyaffaq, yang dirilis pada Juni 2007. http://archive. org/download/The-Advice-of-One-Concerned3b/ The-Advice-of-One-Concerned3b_512kb.mp4
  • 27. 27 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Saya tidak memiliki kewenangan untuk berlepas diri maupun membela berbagai bentuk urusan sebelum saya mendengar dari dua sisi urusan tersebut.”21 Prospek Daulah Islam Akhir Zaman Bagaimanapun Daulah Islam Irak awalnya adalah tanzim yang disetujui dan dipuji oleh para ulama jihad dan proyek Daulah Islam yang digadang-gadang menjadi cikal-bakal khilafah ala manhaj nubuwwah. Ini adalah harapan para pemimpin pergerakan jihad, terlebih lagi para pemimpin Daulah. Syaikh Al-Adnani misalnya dalam pernyataan berjudul “La yadzurrukum illa adza” mengatakan, ‘Proyek kami adalah proyek umat. Tujuannya adalah menegakkan daulah Islam ala manhaj nubuwwah, yang tidak mengenal batas (teritorial), tidak membedakan Arab dan non-Arab, tidak pula timur dan barat, kecuali ketakwaan dan loyalitasnya yang tulus kepada Allah.”22 Dalam dalam salah satu pesannya, Azh- Zhawahiri berkata, “... Dan pada hari ini (2007) Daulah Islam Irak telah didirikan di Irak. Para mujahidin merayakan (berdirinya) di jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut berdemonstrasi untuk mendukungnya di kota-kota dan desa-desa Irak, dukungannya diumumkan, dan baiat terhadapnya (Daulah Islam Irak) dilakukan di masjid-masjid Baghdad.”23 21 http://www.arrahmah.com/read/2008/01/15/1503- wawancara-eksklusif-syaikh-aiman-az-zawahiri-mengenai- dunia-islam-bag-1.html 22 http://alplatformmedia.com /vb/s howthread. php?t=26620 23 Simak pesan Aiman Azh-Zhawahiri, Nashiihah Musyaffaq, yang dirilis pada Juni 2007. http://archive. org/download/The-Advice-of-One-Concerned3b/ The-Advice-of-One-Concerned3b_512kb.mp4 Pernyataan Aiman Azh-Zhawahiri menarik untuk dicermati: “Sungguh, Al-Qaidah ingin agar umat Islam memiliki seorang khalifah yang mereka pilih sendiri dengan kerelaan, keputusan bulat, atau dengan kesepakatan mayoritas mereka. Dan seandainya umat Islam memungkinkan untuk menjalankan hukum Allah di manapun wilayah tersebut sebelum tegaknya khilafah, maka orang yang diridai (direstui) oleh umat Islam di wilayah tersebut sebagai imam (pemimpin) yang memenuhi syarat-syarat syar’i dan akan memimpin umat dengan Al-Quran dan As-Sunnah, maka kami merupakan orang pertama yang akan merestuinya. Karena kami bukan menginginkan kekuasaan, namun hanya menginginkan (tegaknya) hukum Islam.”24 Apakah daulah atau imarah kecil tidak bisa menjadi Daulah Islam? Apakah baiat amal atau baiat jihad dalam taraf tertentu tidak bisa menjadi baiat kubra? Tentu bisa. Sebab sebuah daulah, bila berkaca kepada perjuangan Nabi n menegakkan Daulah di Madinah, merupakan proses yang tidak lepas dari kekurangan dan kesabaran. Ya, meskipun kondisi Daulah Islam, menurut beberapa analisis, tidak layak dianalogikan dengan Madinah. Sebagian karya dan tulisan ulama yang menguatkan baiat Syaikh Al-Baghdadi telah kami baca dan teliti dan telah dibantah pula oleh banyak pihak. Ada yang kuat di satu bagian namun ada juga kelemahan di bagian lain. Namun satu hal yang harus menjadi catatan adalah pengakuan terhadap ISIS dan baiat Syaikh Al-Baghdadi. Ya, pengakuan kaum muslimin. 24 Simak pesan audio Aiman Azh-Zhawahiri, Al-Iman Yashra’u Al-Istikbar. http://www.youtube.com/ watch?v=aIa7Mx43D5g
  • 28. 28 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Misalnya baiat kepada imam yang tidak dikenal (majhul), bantahannya kemungkinan lebih kuat, namun yang dibantah juga tidak bisa ditolak secara total. Majhul bagi sebagian orang, belum tentu majhul bagi sebagian lain. Demikian pula persoalan lainnya. Tetapi, perdebatan itu tidak berlaku untuk pengakuan. Sebuah daulah maupun baiat tidak akan berlaku tanpa pengakuan kaum muslimin. Apakah pengakuan tersebut harus datang dari seluruh manusia? Tentu saja tidak, tetapi umat Islam secara umum atau sebuah proses yang dengan itu kepemimpinan dan kekuasaan bisa berjalan. Ibnu Khaldun di Mukadimah mengatakan, “Yaitu baiat dari Ahlul Halli wal Aqdi yang dengan mereka tercapailah kekuatan dan pembelaan.” Imam Al-Ghazali berkata, “Seandainya yang membaiat Abu Bakar a hanya Umar a, sementara umat Islam secara keseluruhan tidak mau melakukannya, atau mereka terpecah belah dan tidak bisa dibedakan mana kelompok mayoritas dan mana kelompok minoritas, niscaya tidak ada pengukuhan imamah.”25 Ketika kubu Muawiyah dan Ali tidak mau memberikan kesepakatan untuk menaati salah satu pihak, maka Muawiyah—sesuai riwayat Ziyad bin Abdullah dari Abu Ishaq—menulis surat kepada Ali, “Bila engkau bersedia, ambillah Irak, dan Syam untuk saya. Dengan demikian, berhentilah ancaman pedang terhadap umat ini dan 25 Fathaih Al-Bathiniyah, 176-177. pertumpahan darah di antara umat Islam.” Maka Ali menyetujuinya. Keduanya rela dengan kesepakatan tersebut. Muawiyah tinggal di Syam dengan pasukannya dan demikian pula Ali di Irak. Manhaj Nabi dalam Menegakkan Daulah Intinya adalah membangun kepercayaan. Manhaj Nabi n dalam membentuk kedaulatan Madinah telah mewariskan strategi yang sangat baik. Langkah awal setelah menyatukan barisan internal dengan membangun masjid dan mempersaudarakan antara muhajirin dan Anshar ialah menjalin perjanjian dengan Yahudi dan suku-suku di sekitarnya untuk menciptakan keamanan di Madinah. Allah bahkan memberikan kelonggaran yang jelas bagi pembela kebenaran, “Dan bila mereka cenderung kepada perdamaian, maka cenderunglah kepada perdamaian itu. Dan bertawakallah kepada Allah.” (QS. Al Anfal: 61) Nabi n mengirimkan surat kepada orang-orang kafir, mengajak mereka untuk bertobat dan masuk Islam. Nabi juga menerima hadiah dari mereka, dan juga meminta bantuan. Maka tidaklah salah ketika Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi berpesan untuk amal jihad di Suriah: "Kami ingatkan mereka akan urgensi memperhatikan siyasah syar’iyyah yang ditempuh Nabi n, khususnya pada awal-awal berdirinya negara dan sebelum terbentuknya kekuatan kaum muslimin di Madinah. Beliau memelihara persekutuan-persekutuan yang diadakan. Beliau mengadakan perjanjian-perjanjian bahkan dengan orang-orang Yahudi. Beliau tidak membatalkannya sampai negara Islam menguat dan mereka sendiri yang melanggar.
  • 29. 29 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Demikian juga, beliau tidak bersegera mengadakan bentrok dengan orang-orang munafik padahal beliau mengalami gangguan dari mereka. Beliau membiarkan mereka dan menunda sampai terbentuknya kekuatan kaum Muslimin. Beliau bersikap memaafkan dan berpaling dari jenis munafik yang lain agar orang-orang tidak berbincang-bincang (menyebar isu) bahwa Muhammad membunuh para shahabatnya sendiri. Kami juga mengingatkan mereka akan langkah Nabi n yang menempuh sunnah-sunnah dan sebab-sebab kauni. Kondisi tidak berdaya, sedikitnya persenjataan, dan lemahnya kekuatan kaum muslimin menjadi pertimbangan bagi beliau. Padahal beliau adalah tokoh orang-orang yang bertawakal, penyabar dan orang-orang yang yakin. Beliau juga memperhatikan kondisi para shahabat, yang notabene baru saja meninggalkan masa jahiliah dan Islam belum mengakar di hati banyak dari mereka. Itulah sebagian pertimbangan-pertimbangan yang diperhatikan Rasulullah n. Sebab, meski mayoritas mereka melebur pada kategori Muhajirin dan Anshar, namun beliau tidak lupa bahwa hati para shahabat itu masih mengunggulkan tokoh-tokoh mereka. Para shahabat masih memandang para pembesar mereka, serta berkonsultasi kepada para pemikir mereka dalam menghadapi suatu peristiwa. Sirah Nabawi memuat hal itu dan mencantumkannya. Karena itu, siapa saja yang ingin membakar fase-fase ini dan tergesa-gesa dengan cara mengabaikan pertimbangan-pertimbangan ini serta melompatinya, maka berarti ia tergesa-gesa sebelum waktunya. Ia tidak memperhatikan siyasah nabawiyyah. Ia akan menuai akibat berupa bercabangnya area pertempuran dan terbukanya banyak front di satu waktu. Hal ini bukanlah termasuk siasat Nabi n. Karena itu, dalam jihad di Suriah, kami ingin agar orang yang muncul pada jajaran pimpinannya dan tampak pada tokoh-tokohnya adalah saudara-saudara kami ahli Tauhid yang notabene adalah penduduk negeri itu. Kami melihat ada kemaslahatan dalam pengambilan kebijakan tersebut. Ini pula yang kami nasihatkan kepada saudara-saudara kami mujahidin di berbagai medan tempur. Kami tidak suka jika hal tersebut diabaikan dengan alasan bahwa ini mengikat jihad dengan pembagian-pembagian jahiliah Sykes Picot. Sebab, kami tidak mengikatnya dengan itu sama sekali, tapi kami mengikatnya dengan kitab Allah yang memperhatikan hal itu dalam pengutusan para nabi. Sehingga, memperhatikan hal itu pada selain mereka lebih utama. Demikian juga kami mengikatnya dengan siyasah nabawiyyah yang memperhatikan hal itu pula dan tidak mengabaikannya di banyak pertempuran.”26 (Agus Abdullah) 26 http://www.tawhed.ws/r?i=17111301
  • 30. 30 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 14345 h J E D A
  • 31. 31 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Setelah Rasulullah n wafat, kaum Muhajirin dan Anshar terlibat dalam perdebatan di Saqifah Bani Saidah yang nyaris mengarah pada konflik. Ketegangan terjadi terkait dengan siapa yang layak menjadi pemimpin pengganti Rasulullah n. Setiap pihak mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai khalifah. Kaum Anshar menuntut bahwa mereka adalah orang yang memberi tempat kepada Nabi n pada saat kritis. Oleh karena itu seorang penerus Nabi harus dipilih di antara mereka. Sedangkan kaum Muhajirin merasa lebih berhak mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sebab merekalah yang menyertai Rasulullah sejak awal. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas menyampaikan pendirian kaum Muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy. Akan tetapi hal tersebut mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin Munzir (kaum Anshar). Setelah suasana ketegangan sedikit mereda, Abu Bakar berkata, “Marilah kita semua bermusyawarah dan kita pilih bersama siapa yang pantas menjadi pemimpin kita semua. Saya ingatkan pilihlah mereka yang tidak meminta SUKSESI MENURUT ISLAM
  • 32. 32 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h kekuasaan, seperti yang Rasulullah telah menyatakan kepada Abbas, pamannya, saat ia meminta untuk menjadi gubernur, Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak memberikan kekuasaan ini kepada orang yang memintanya’.” Abu Bakar melanjutkan, “Sesungguhnya orang yang pantas menjadi Khalifah hanya satu, di antara dua orang, yaitu Umar bin Khattab dan Ubaidah bin Jarrah.” Mendengar usulan Abu Bakar tersebut Abu Ubaidah bin Jarrah sepontan kaget seperti tersambar petir pada siang bolong. Begitu juga Umar bin Khattab, mereka malu berhadapan dengan orang besar seperti Abu Bakar. Umar bin Khattab berteriak, “Demi Allah..., lebih baik aku maju dan dipukul leherku tanpa dosa, daripada aku diminta memimpin kaum sementara masih ada Abu Bakar di dalamnya.” Abu Ubaidah bin Jarah pun maju ke depan Abu Bakar, sambil berkata, “Mana mungkin saya dikatakan pantas! Demi Allah, kami yakin hanya engkaulah wahai Abu Bakar yang pantas memimpin umat Islam pengganti Rasulullah! Engkaulah orang yang kami anggap paling mulia di kalangan Muhajirin dan Tsaniu-Itsnain. Engkaulah yang menemani Rasulullah saat Hijrah, dan engkaulah yang pernah menggantikan Rasulullah dalam imam salat ketika Rasulullah sakit. Padahal salat merupakan hal utama sebagai tiang atau landasan tegaknya agama. Lantas siapa yang mampu membelakangimu dan siapa yang paling layak darimu? Ulurkan tanganmu dan kami akan mengangkat bai’at terhadapmu.” Kemudian Abu Ubaidah dan Basyir bin Saad, menjabat tangan Abu Bakar dan mengucapkan bai’at diikuti Umar bin Khattab serta tokoh-tokoh kaum Anshar yang lainnya menyatakan persetujuannya atas pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. Seluruh yang hadir dalam pertemuan tersebut kemudian ikut membaiat Abu Bakar. Mereka kemudian ramai-ramai mengarak Abu Bakar menuju Masjid Nabawi. Di Masjid Nabawi sekali lagi Abu Bakar dibaiat di depan khalayak umum. Dengan demikian Abu Bakar dinyatakan sah sebagai khalifah pengganti Rasulullah n. Itulah suksesi kepemimpinan Islam sepeniggal Rasulullah n. Proses pengangkatan Abu Bakar ra sebagai khalifah pertama menunjukkan betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam dan sekaligus menjadi salah satu mekanisme pemilihan pemimpin yang jelas dalam Islam. Dari proses pengangkatan Abu Bakar dan tiga khalifah berikutnya—yang akan dijelaskan selanjutnya insya Allah—tersebut, kemudian para ulama menetapkan bahwa mekanisme pengangkatan khalifah terdiri atas dua cara1: 1. Pemilihan (ikhtiyar) Yakni, Ahlu Halli wa ‘Aqdi memilih seorang imam yang pada dirinya memenuhi persyaratan yang harus dimiliki seorang imam. 1 Abu Umar Asy-Syaif, Siyasah Syar’iah, (Beirut: Dar Al- Ma’alim Li Toba’ah, 2007), 192
  • 33. 33 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h 2. Penunjukan (istikhlaf) Imam sebelumnya menunjuk seseorang yang memenuhi persyaratan seorang imam untuk menjadi penggantinya, tetapi tetap melewati proses syura dengan Ahlu Halli wa ‘Aqdi, dan jika terjadi perselisihan dalam penunjukan imam pengganti, maka perselisihan ini diserahkan dan diselesaikan dengan syariat Allah, sesuai dengan firman- Nya إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ � ن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ �ِ فَإ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ذَٰلِكَ � أْوِيلًا �أَحْسَنُ تَ � خَيْرٌ وَ “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 59) Qadhi Abu Ya’la menambahkan, “Imamah itu ditetapkan dengan dua cara, pertama, dengan dipilih oleh Ahlu Halli wa ‘Aqdi. Kedua, dengan dipilih dan diangkat oleh imam sebelumnya, tetapi dalam pengangkatannya tetap melalui musyawarah dengan Ahlu Halli wa ‘Aqdi.2 Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji dalam Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As- Sunnah wa al-Jama’ah menambahkan, yaitu kesimpulan yang bisa diambil dari proses istikhlaf yang dilakukan oleh Abu Bakar yang menunjuk penggantinya Umar adalah selain harus dengan persetujuan Ahlu Halli wa ‘Aqdi juga harus dengan kerelaan yang ditunjuk sebagai pengganti.3 3. Imamah Mutaghallibah Cara ini bukanlah suksesi kepemimpinan Islam yang didasarkan kepada nash ataupun atsar yang qath’i. Mekanisme kepemimpinan seperti ini akan diulas di halaman 50, insya Allah. Mekanisme Ikhtiar Pemilihan dengan cara ikhtiar terwujud dalam pengangkatan Abu Bakar4 seperti dikisahkan di awal tulisan ini, Utsman bin Affan5 dan Ali Bin Abi Thalib.6 Pengangkatan Utsman bin Affan juga melalui proses ikhtiar. Amirul Mukminin Umar bin Khattab pada saat itu menunjuk 6 shahabat yang terpercaya. Khalifah Umar yakin bahwa integritas dan kapabilitas keenam shahabat ini tidak diragukan lagi. Sehingga umat Islam pada saat itu tidak akan ragu mewakilkan hak suara mereka kepada 2 Al-Qadiy Abu Ya’la, Ahkamu Sulthaniyah, (Beirut: Dar Kutub Al-‘Alamiyah, 2000), 23 3 Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah, (Riyadh:Dar Thoyyibah, 1403 H), 151 4 Ibid, 148 5 Ibid, 153 6 Syaikh Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bin Abi Thalib, Jakarta:Yayasan Ash-Shilah, 395
  • 34. 34 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h keenam shahabat yang shalih ini, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam. Inilah enam shahabat dari sepuluh shahabat yang dijamin masuk jannah. Setelah melalui proses musyawarah—yang akan kami sebutkan nanti insya Allah—maka terpilihlah khalifah Utsman bin Affan sebagai pengganti dari Khalifah Umar bin Khattab melalui proses ikhtiyar para Ahlu Halli wa ‘Aqdi yang telah diridhai umat Islam pada saat itu.7 Pengangkatan shahabat Ali bin Abi Thalib juga menggunakan cara ikhtiar. Setelah Utsman terbunuh pada malam Jum’at 18 Dzulhijjah tahun 35 H, kaum muslimin mendatangi Ali a Beberapa orang shahabat mengetuk-ngetuk pintunya dan berkata, “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah terbunuh, sedang kaum muslimin harus memiliki seorang khalifah. Kami tidak melihat seseorang yang lebih layak dengan kekhalifahan selain anda.” Kemudian Ali berkata kepada mereka, “Janganlah kalian memilih aku, cukuplah aku sebagai menteri pembantunya. Karena itu pilihlah untuk diriku seorang Amir bagi kalian.” Akan tetapi,mereka tetap berkata,”Demi Allah, tidak, kami tidak melihat seseorang yang lebih layak selain Anda.” Lalu Ali berkata, “Jika kalian tetap menolak, maka baiklah, namun syaratnya acara pembai’atanku ini tidak dilakukan secara rahasia melainkan aku akan keluar menuju masjid dan di sanalah nanti kalian membaia’atku.” Kemudian ia keluar menuju masjid, setelah itu seluruh kaum muslimin berduyun-duyun membai’atnya.”8 7 Fathul Bary, 7/67 8 Abu Bakar AL-Khallal, Kitab Sunnah, 415 Sebagian orang menyanggah ijma’ atas kekhalifahan Ali berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut: Adanya sekelompok shahabat yang tidak mau membai’at Ali seperti Sa’ad bin Abi Waqash, Muhammad bin Maslamah, Ibnu Umar, Usamah bin Zaid, Shuhaib, Zaid bin Tsabit dan Salamah bin Salaamah bin Waqsy. Klaim ini tidak benar, karena tidak ada seorang pun dari sahabat yang tidak mau membaiat Ali. Adapun dalam hal membantu dan mendukungnya, memang ada beberapa orang dari mereka yang enggan melakukannya, karena masalah ini adalah masalah ijtihadiyah. Maka masing-masing berhak berijtihad dan memberikan pandangannya. Semuanya benar sesuai denga porsi dan batasannya.9 Penduduk Syam, yaitu Muawiyah dan orang-orang yang bersamanya tidak mau membaiat Ali, bahkan mengadakan perlawanan terhadapnya.10 Klaim ini salah karena Muawiyah tidak memerangi atas kekhalifahan Ali dan tidak pula karena mengingkari keimamahannya. Muawiyah hanya menuntut Ali menegakkan hukum had syar’i atas orang-orang yang berkomplot dalam pembunuhan Utsman. Muawiyah dalam hal ini merasa benar dengan ijtihadnya, meskipun pada dasarnya salah. Maka dari ijtihadnya, ia mendapat satu pahala.11 Beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Thalhah dan Zubair dipaksa untuk melakukan baiat adalah batil dan rusak.12 Karena di sisi lain terdapat beberapa riwayat shahih yang menetapkan bai’at mereka kepada Ali secara sukarela tanpa paksaan apapun. 9 Al-BAqilani, At-Tamhid, 233-234. 10 Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah fi Ash-Shahabah, vol. 2, 695 11 Ibid, vol, 2, 696 12 Isytishad Usman, 141
  • 35. 35 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Sebagaimana riwayat shahih yang dituturkan oleh Ibnu Hajar dari jalur Al- Ahnaf bin Qais. Diriwayatkan bahwa Aisyah, Thalhah dan Zubair menyuruh Al- Ahnaf agar membai’at Ali setelah mereka bermusyawarah menentukan siapakah yang layak dibaiat sepeninggal Utsman bin Affan.13 Mekanisme Istikhlaf Pemilihan secara istikhlaf adalah pengangkatan Umar bin Khattab.14 Abu Bakar jatuh sakit di musim panas tahun 634 M, dan selama 15 hari dia berbaring ditempat tidur. Khalifah ingin sekali menyelesaikan masalah peggantian dan mencalonkan seorang pemimpin. Ia tidak ingin rakyatnya masuk ke dalam perang saudara karena tidak ada pemimpin. Berdasarkan penilain pribadinya, Abu Bakar yakin bahwa tidak ada seorang pun kecuali Umar bin khatthab yang dapat mengambil tanggung jawab kekhalifahan yang berat 13 Fathul Bari, vol 13, 38, Istisyhad Usman, 141. Al- Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, vol 11, 118. Seluruh rawinya adalah rawi hadits shahih kecuali Umar bin Jawan, ia hanyalah orang yang diterima hadistnya, dan telah dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bariy,vol. 34, 13-57 14 Ibnul Jauziy, Shirah Umar bin Khattab, (Dar Ibnu Khaldun, 1996), 44 itu. Namun, Abu Bakar ingin mengambil pendapat umum. Ia bermusyawarah dengan para sahabat yang terpandang. Imam Ath- Thabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke atas balkon rumahnya dan berbicara kepada orang banyak yang berkerumunan di bawah, ”Apakah kalian akan menerima orang yang saya calonkan sebagai pengganti saya?” “Saya bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam menentukan hal ini, dan saya telah memilih Umar bin Khathab sebagi pengganti saya. Dengarkanlah saya, dan ikutilah keinginan-keinginan saya.” Mereka semua berkata serempak, “Kami telah mendengar Anda dan Kami akan menaati Anda.” Ahlul Halli wal Aqdi Semua cara pengangkatan imam tadi, baik ikhtiar maupun istikhlaf, tidak lepas dari proses musyawarah dan persetujuan para sahabat senior, yang kemudian dalam konsep Islam dikenal dengan istilah Ahlu Halli wa ‘Aqdi. Kedudukan Ahlu Halli wal Aqdi ini sangat penting, apalagi bagi umat Islam zaman ini. Sebab, keputusan mereka bisa diterima umat dan mengikat mereka. Pemimpin atau khalifah bisa diterima dan
  • 36. 36 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h tidak ada penentangan. Mengapa mereka yang tidak secara tegas diangkat oleh rakyat menjadi wakil, tetapi peran mereka benar-benar mewakili umat? Siapakah sebenarnya Ahlu Halli wa ‘Aqdi ini dan bagaimana proses terbentuknya? Ahlu Halli wa ‘Aqdi adalah sekelompok manusia yang memiliki kapasitas ilmu dien yang memadai, budi pekerti atau akhlak serta mempunyai ilmu dan diakui oleh umat. Terkadang disebut sebagai ahlu ikhtiar, ahlu syura, dan ahlu ra’yi wa tadbir. Sebagian ulama ada yang mendefinisikan mereka adalah ulama dan para pemimpin yang terkemuka di antara manusia yang mudah untuk berkumpul bersama.15 Dr. Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa Ahlu Halli wa ‘Aqdi adalah ulama mujtahid, tokoh-tokoh terkemuka yang keberadaannya berfungsi mewakili umat dalam memilih imam.16 15 Syihabuddin Ar-Romly,Nihayatul Muhtaj ila Syarhi Manhaj,(Beirut:Dar Kutub Al-Alamiyah,2003) vol. 7, 390 16 Prof DR.Wahbah Az-Zuhaily, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Beirut:Darul Fikr, 2007-1428 H), vol 6, 685-686 Imam Al-Mawardi dalam Ahkamu Sulthaniyah17 menyebutkan beberapa syarat Ahlu Halli wa ‘Aqdi , yaitu: 1. Adil yaitu menjaga muru’ah dan mengerjakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. 2. Mengetahui tata cara pengangkatan imam yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. 3. Tegas dan bijaksana dalam memilih imam yang lebih baik dan cerdas dalam menentukan program untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Para fuqaha mengisyaratkan bahwa Ahlul Halli wal ‘Aqdi tidak harus berasal dari penduduk yang senegeri dengan sang imam, yaitu penduduk ibu kota. Karena tempat tinggal bukanlah alat ukur.18 Proses terbentuknya Ahlul Halli wal Aqdi, seperti disebutkan oleh Ad-Dumaiji,19 mereka dipilih oleh imam sebelum lengser. Contohnya pada masa pemerintahan Umar bin Khattab saat pembentukan Ahlu Syura untuk mengangkat pengganti khalifah. Muhammad Syakir Syarif menambahkan20 syarat lain bagi Ahlu Halli wa ‘Aqdi menyangkut bagaimana proses pengangkatannya adalah bergantung pada keridhaan masyarakat pada mereka.21 Tugas dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara 17 Al-Mawardi, Ahkamu Sultoniyah, (Kuwait:Dar Ibnu Qutaibah, 1989), 8 18 Al-Qodiy Abu Ya’la, Ahkamu Sultoniyah, (Beirut:Dar Kutub Al-‘Alamiyah, 2000), 4. 19 Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah, (Riyadh:Dar Thoyyibah, 1403 H), 162 20 Muhammad Syakir Syarif, Muqoddimah fi Fiqh Nidzom Siyasi Al-Islamiy, 14 21 Seperti yang terjadi pada saat pembaiatan Abu Bakr dimana Umar telah dipercaya umat untuk mewakili dalam memilih dan membaiat Abu Bakr. Intinya adalah keridhaan umat pada orang yang mewakili mereka.
  • 37. 37 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h secara langsung. Karena itu Ahlul Halli wal ‘Aqdi juga disebut oleh Al-Mawardi sebagai ahlu al-ikhtiar (orang-orang yang berhak menentukan pemimpin). Peranan mereka sangat penting untuk memilih salah seorang di antara orang-orang yang layak dipilih menjadi khalifah. Ahlul Halli wal ‘Aqdi ialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberi kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena keikhalasan, kekuatan komitmen, ketakwaan, keadilan dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Di samping punya hak pilih, menurut Muhammad Rasyid Ridha adalah menurunkan khalifah jika terdapat hal-hal yang mengharuskan pemecatannya.22 Al- Mawardi juga berpendapat jika kepala negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama, rakyat dan Ahlu Halli wa ‘Aqdi berhak untuk menyampaikan “mosi tidak percaya” kepadanya. 23 Sekalipun mereka mewakili rakyat, menurut Rasyid Ridha, tidak identik dengan parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasaan legislatif dan berhak membatasi kekuasaan kepala negara melalui undang-undang. Sementara khalifah adalah kepala negara yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.24 22 Muhammad Rasyid Ridha, Al-Khilafat, (Kairo:Az-Zahro Lil I’laami Arabiy,1354 H), 15. 23 Al-Mawardi, Op. Cit, hlm. 17. 24 Muhammad Rasyid Ridha, Op. Cit, 28. Kualitas dan Kuantitas Ahlul Halli wal Aqdi untuk Mengangkat Pemimpin Fakta sejarah dan uraian ulama tadi menunjukkan bahwa kualitas Ahlul Halli wal Aqdi dapat diukur. Seperti ahlu syura yang diangkat khalifah Umar bin Khattab yang terdiri dari eam shahabat yang dijamin masuk jannah. Bila dihubungkan dengan masa sekarang, tentu berbeda. Namun, dapat disimpulkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dipercaya umat. Kapabilitas mereka tidak diragukan lagi oleh umat Islam pada zamannya, seperti digambarkan oleh Imam Mawardi, mereka berkecimpung langsung dengan umat. Umat menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena keikhalasan, kekuatan komitmen, ketakwaan, keadilan dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam. Secara kuantitas pun ukurannya tidak berbeda, yaitu bahwa pemimpin yang mereka pilih tidak ditentang oleh umat atau kelompok Islam lain yang memiliki kekuatan seimbang atau lebih besar. Karena
  • 38. 38 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h itulah, para ulama menetapkan bahwa baiat pengangkatan imam tidak harus melalui semua Ahlul Halli wal Aqdi. Selama baiat itu menghasilkan pengakuan dan umat Islam bersatu pada pemimpin yang diangkat maka baiat tersebut sah. Imam Nawawi berkata, “Tentang bai’at, para ulama telah sepakat bahwa legitimasinya tidak disyaratkan pembai’atan seluruh manusia dan tidak pula seluruh Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Pengangkatan pemimpin sah dengan baiat orang-orang yang bisa berkumpul dari kalangan ulama, para pemimpin dan para tokoh masyarakat.” (Syarh Muslim 12/77). Ya, para ulama menguatkan bahwa kuncinya berada di pengakuan dan persetujuan, bukan jumlah. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Penguasa tidak menjadi seorang penguasa dengan persetujuan satu, dua atau empat orang Ahlul Halli wal ‘Aqdi kecuali jika persetujuan mereka memperoleh persetujuan yang lain untuk menjadikannya sebagai seorang penguasa. Seperti halnya Umar ketika dia menerima wasiat dari Abu Bakar untuk menjadi khalifah, hal itu hanya terwujud ketika orang-orang membaiatnya dan mematuhinya. Seandainya meraka tidak melakukan amanat Abu Bakar dan tidak membaiat Umar, niscaya dia tidak menjadi seorang khalifah.”25 Imam Al-Ghazali juga menyebutkan hal yang sama, “Seandainya yang membaiat Abu Bakar hanya Umar sementara mayoritas ummat Islam menolaknya atau mereka terpecah belah dan tidak bisa dibedakan mana kelompok mayoritas dan mana kelompok minoritas, niscaya tidak ada pengukuhan imamah.”26 Karena itulah 25 Minhajus Sunnah: 1/527. 26 Dinukil dari Ar-Raddu alal Bathiniyah, Leiden 1916, kutipan dari an-Nazhariyah as-siyasah al-Islamiyah, Al-Mawardi menambahkan, “Dilihat dari ketaatan manusia kepada mereka.”27 Persetujuan dan pengakuan tersebut tidak berarti semua manusia, tetapi persetujuan yang dengan itu fungsi kepemimpinan terwujud seperti yang dikehendaki oleh syariat. Wujudnya ialah syaukah (kekuatan) bagi umat Islam di bawah pemimpin tersebut. Dan itu akan terwujud jika mayoritas telah menyetujuinya.28 Selain itu, ketika persetujuan mayoritas umat tidak terwujud dalam kepemimpinan tersebut maka akan timbul kekacuan dan fitnah di tengah-tengah umat. Dalam kondisi ini, kewajiban umat untuk berbaiat kepada pemimpin gugur sampai mayoritas umat berpihak kepada salah satu pemimpin yang disepakati. Kesimpulan dari baiat Ahlu Halli wal Aqdi kepada pemimpin yang dipilih ialah, apakah ia representatif atau tidak. Artinya, mau satu, enam atau sepuluh orang bukanlah persoalan hal. 233. Dr. Hasan Ibrahim berkata, “Abu Bakar dibaiat oleh Abu Ubaidah setelah Basyir bin Sa’ad, diikuti oleh kaum Muhajirin dan Anshar.” Baiat ini dinamakan baiat khusus, karena hanya dilakukan oleh segolongan kecil umat Islam yang hadir di balai tersebut. Adapun baiat umum terjadi pada hari berikutnya di masjid. Pada waktu itu, Abu Bakar berada di atas mimbar dan orang-orang membaiatnya dengan baiat umum. Lihat: Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 165. 27 Raudhatu Ath-Thalibin, Imam Nawawi, X/43. 28 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, “Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah, pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika seseorang dibai’at dan bersamaan dengan itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya para imam salaf berkata, ‘Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi ulil amri yang Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla perintahkan taat kepada mereka selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla’.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 4/388)
  • 39. 39 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h selama itu mewakili umat Islam. Ukuran mewakili ini ialah bila baiatnya diterima umat. Bukti penerimaan umat adalah tidak terjadi perpecahan dan fitnah. Dan bila ada yang menyelisihi, mereka tunduk di bawah pemimpin pemilik syaukah. Hal ini terbukti dalam baiat-baiat pada masa khalifah yang empat. Demikian pula pada masa Nabi n, kaum munafik tidaklah sedikit. Namun mereka tunduk di bawah kepemimpinan Nabi n sebagai pemilik syaukah. Peran Syura dalam Suksesi Kepemimpinan Beberapa persoalan bisa terjadi seiring dengan banyaknya jamaah dan kelompok Islam yang bercita-cita menegakkan khilafah Islam. Contohnya: Beberapa jamaah atau kelompok jihad bisa saja memiliki Ahlul Halli wal ‘Aqdi sendiri untuk membuat pertimbangan-pertimbangan internal sebelum menjadi keputusan organisasi. Ketika Ahlul Halli wal Aqdi ini mengangkat dan membaiat Amir Jamaah, maka keputusannya mengikat anggota jamaahnya. Namun tidak mengikat orang di luar jamaah. Dan baiat ini tidak bisa diklaim sebagai baiat kubra, sehingga orang yang tidak berbaiat dianggap sebagai bughot yang wajib diperangi, halal darah dan hartanya. Sebagain jamaah mungkin saja berkeyakinan bahwa semua ulama telah murtad dan kafir. Demikian pula tokoh dan pemimpin masyarakat yang disebutkan oleh para ulama bisa menjadi Ahlu Halli wa ‘Aqdi, tidak mewakili umat ini. Lalu, ahlu halli wa ‘aqdi diklaim secara sepihak sebagai elemen yang mewakili umat. Ini akan berakibat pertumpahan darah bila imam yang diangkat dipaksakan kepada jamaah lain. Dan lebih kacau lagi masing-masing jamaah melakukan hal yang sama terhadap amirnya. Maka, musyawarah adalah cara yang harus ditempuh dalam proses pengangkatan imam. Semua proses pengangkatan khalifah yang empat, baik dengan ikstikhlaf maupun ikhtiyar, tidak lepas dari syura ini. Dalam proses ikstikhlaf, Abu Bakar meminta pertimbangan para shahabat dahulu sebelum pengangkatan Umar bin Khattab. Dalam proses ikhtiyar, kita dapat melihat detilnya musyawarah ini dalam proses pengangkatan Utsman bin Affan ra sebagai khalifah. Demikian pula dengan Umar bin Al- Khattab yang telah memilih enam orang untuk mengangkat pemimpin sepeninggalnya (baca: Jalan Panjang Pengangkatan Utsman bin Affan). Syura Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dusta, mengamalkannya, kebodohan, maka tidak ada gunanya bagi Allah meskipun ia meninggalkan makan dan minum.
  • 40. 40 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abi Waqqash, Zubair bin ‘Awwam, dan Thalhah bin Ubaidullah radhiyallahu ‘anhum. Ketika dewan musyawarah sudah berkumpul, Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada mereka, “Berikanlah hak kalian dalam perkara ini kepada tiga orang di antara kalian.” Zubair berkata, “Aku berikan hakku kepada Ali.” Thalhah berkata, “Aku berikan hakku kepada Utsman.” Sa‘ad berkata, “Aku berikan hakku kepada Abdurrahman bin ‘Auf.” Para kandidat pada saat itu menjadi tiga orang: Ali bin Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan, dan Abdurrahman bin ‘Auf. Kemudian Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Siapa di antara kalian berdua yang berlepas diri dari hal ini dan kami jadikan perkara ini kepadanya? Demi Allah dan demi Islam! Hendaknya setiap orang melihat siapa yang paling utama di antara mereka.” Utsman dan Ali pun diam. Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Apakah kalian menyerahkan kepadaku, demi Allah, untuk memilih siapa yang paling utama di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Iya.”1 Setelah itu, Abdurrahman bin ‘Auf bertugas mengelola musyawarah untuk menentukan pilihan antara Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Abdurrahman bin ‘Auf memulai komunikasi dan konsultasi segera setelah rapat enam kandidat pada pagi hari Ahad. Musyawarah terus dilakukan selama tiga hari penuh sampai hari Rabu 4 Muharram yang merupakan hari terakhir dari waktu yang telah diberikan Umar. Abdurrahman bin ‘Auf mulai dengan Ali bin Abi Thalib. Dia berkata kepada Ali, “Apabila aku tidak membaiatmu, maka siapakah yang engkau calonkan untuk menjadi khalifah?” Ali berkata, “Utsman bin ‘Affan.”. Abdurrahman bin ‘Auf pergi menemui Utsman dan berkata, “Apabila aku tidak membaiatmu, maka siapakah yang engkau calonkan untuk menjadi khalifah?” Utsman menjawab, “Ali bin Abi Thalib.” 1 Al-Bukhâri, Kitab Fadhâ’il Ashhâb An-Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. No. 3700. Jalan Panjang Pengangkatan Utsman bin Affan
  • 41. 41 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 14345 h Abdurrahman bin ‘Auf menemui para shahabat yang lain dan bermusyawarah dengan mereka. Dia juga bermusyawarah dengan setiap sahabat senior yang dia temui di Madinah, tokoh-tokoh, para panglima perang, dan siapa saja yang datang ke Madinah. Dia juga bermusyawarah dengan kaum perempuan dan menyampaikan pendapat mereka. Dia juga menanyakan pendapat para pemuda dan hamba sahaya di Madinah. Hasil dari musyawarah Abdurrahman bin ‘Auf adalah sebagian besar kaum Muslim memilih Utsman bin ‘Affan. Pada pertengahan malam Rabu, Abdurrahman bin ‘Auf pergi ke rumah putra saudara perempuan Al-Musawwar bin Mahramah. Dia mengetuk pintu dan mendapati Al- Musawwar sedang tidur.2 Abdurrahman bin ‘Auf memukul pintu sampai Al-Musawwar bangun. Dia berkata, “Saya melihatmu sedang tidur. Demi Allah! Malam ini saya belum sempat tidur. Pergilah dan panggil Zubair dan Sa‘ad ke sini.” Al-Musawwar berkata, “Aku pun memanggil keduanya. Abdurrahman bermusyawarah dengan mereka berdua. Kemudian Abdurrahman bin ‘Auf memanggilku lagi dan berkata, ‘Panggilkan Ali untukku.’ Aku pun memanggilnya. Mereka berdua berbicara rahasia sampai pertengahan malam. 2 Al-Khulâfâ’ Ar-Râsyidûn, Al-Khâlidi. Hal. 106, 107 Kemudian Ali bangkit dan pergi. Beberapa waktu kemudian, Abdurrahman bin ‘Auf berkata, ‘Panggilan Utsman untukku.’ Aku pun memanggil Utsman dan mereka berdua berbicara rahasia sampai azan Subuh memisahkan mereka.”3 Ketika mereka telah berkumpul, Abdurrahman bersyahadat kemudian berkata, “Amma ba‘du. Wahai Ali! Aku telah memperhatikan kondisi orang banyak. Aku tidak melihat mereka berpaling dari Utsman. Oleh karena itu, janganlah engkau memberi jalan untuk dirimu.” Lalu Abdurrahman berkata kepada Utsman, “Aku membaiatmu atas dasar sunnatullah, sunnah Rasul-Nya, dan sunnah kedua khalifah sepeninggalnya.” Para hadirin dari kalangan Muhajirin, Anshar, panglima perang, gubernur berbagai wilayah, dan kaum Muslim membaiat Utsman.4 Penulis At-Tamhîd wa Al-Bayân meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang berbaiat setelah Abdurrahman bin ‘Auf. 5 Abdurrahman bin Auf melakukan proses musyawarah panjang dan banyak kalangan untuk sampai kepada keputusan akhir pengangkatan Utsman bin Affan. Ini adalah sejarah yang berharga bagi umat Islam hari ini! n (Dhani el-Ashimi) 3 Al-Bukhâri, Kitâb Al-Ahkâm. No. 8207 4 Al-Bukhâri, Kitab Al-Ahkâm, No. 7207. 5 At-Tamhîd wa Al-Bayân, hal. 26.
  • 42. 42 MUNAQOSYAH kiblat Ramadhan 1435 h Syura dalam Islam adalah kaidah hukum yang wajib untuk mewujudkan tegaknya keadilan dan hukum dalam syariah Islam dalam berbagai segi kehidupan. Juga sebagai upaya untuk menolak segala bentuk kezaliman dan kerusakan di dunia, sebagaimana firman Allah : أَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ � وَ “Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.” (Asy Syura : 36-39). Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya” 29 Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau N tentu lebih patut untuk bermusyawarah” 30 29 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-'Azhim,(Beirut:Dar Kutub Thoyyibah, 1999) vol 7,p. 211. 30 Ibnu Taimiyah,As Siyasah asy-Syar'iyah,(Beirut:Dar Al- Afaq Al-Jadiidah,1983), 126 Manfaat Syura Urgensi dan faedah syura banyak diterangkan oleh para ulama, di antaranya imam Fakhruddin Ar-Razy.31 Secara ringkas beliau menyebutkan bahwa syura memiliki faedah antara lain adalah sebagai berikut : 1. Musyawarah yang dilakukan Nabi N dengan para sahabatnya menunjukkan ketinggian derajat mereka (di hadapan nabi) dan juga hal ini membuktikan betapa cintanya mereka kepada beliau dan kerelaan mereka dalam menaati beliau. Jika beliau tidak mengajak mereka bermusyawarah, tentulah hal ini merupakan bentuk penghinaan kepada mereka. 2. Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak seseorang pendapat yang mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy al-amr (penguasa). 3. Al-Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah mengatakan, “Sesungguhnya Nabi diperintahkan untuk bermusyawarah agar bisa dijadikan teladan bagi yang lain dan agar menjadi sunnah (kebiasaan) bagi umatnya” 4. Syura memberitahukan kepada Rasulullah N dan juga para penguasa setelah beliau mengenai kadar akal dan pemahaman orang-orang yang mendampinginya, serta untuk mengetahui seberapa besar kecintaan dan keikhlasan mereka dalam menaati beliau. Dengan demikian, akan nampak baginya tingkatan mereka dalam keutamaan. 31 Fakhruddin Ar-Rozy, Mafatih al-Ghaib,(Beirut:Dar Al- Fikr, 1981,) vol9, 67-68