Forum quiz be & gg minggu 13,waldy gagantika,hapzi ali, corruption dan fr...
Similar to Be & gg, nadiatur rakhma, prof. dr. ir. h. hapzi ali pre m sc, mm. cma, ethics and business; corruption and fraud, universitas mercu buana, 2017
Similar to Be & gg, nadiatur rakhma, prof. dr. ir. h. hapzi ali pre m sc, mm. cma, ethics and business; corruption and fraud, universitas mercu buana, 2017 (20)
Be & gg, nadiatur rakhma, prof. dr. ir. h. hapzi ali pre m sc, mm. cma, ethics and business; corruption and fraud, universitas mercu buana, 2017
1. Nama : Nadiatur Rakhma
NIM : 55117110011
Dosen : Prof. Dr. Ir. H. Hapzi Ali, Pre-MSc, MM,CMA
Mata Kuliah : Business Ethic and Good Governance
A. Jelaskan apa yang saudara ketahui tentang corruption dan fraud
1) Corruption
Korupsi bukanlah hal yang baru dalam sejarah manusia. Ingat sejarah korupsi di Indonesia yang
telah terjadi sejak zaman kerajaan-kerajaan terdahulu. Sejak kapan korupsi berlangsung menjadi
pertanyaan menarik, karena keberaadannya yang tidak disukai tetapi selalu muncul sepanjang
sejarah.
Sejak 2000 tahun yang lalu seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya menulis buku
berjudul Arthashastra. Dante yang pada tujuh abad silam juga menulis tentang korupsi (penyuapan)
sebagai tindak kejahatan. Shakespeare, seorang sastrawan, juga menyinggung korupsi
sebagai sebuah bentuk kejahatan. Sebuah ungkapan terkenal pada tahun 1887 mengenai
korupsi dari sejarahwan Inggris, Lord Acton, yaitu “power tends to corrupt, absolute power corrupts
absolutely”, menegaskan bahwa korupsi berpotensi muncul di mana saja tanpa memandang ras,
geografi, maupun kapasitas ekonomi. (LAN, 2007).
Berapa usia korupsi?
Bulan Desember 1997 dilaporkan bahwa sebuah tim arkeologi Belanda menemukan di Rakka, Syria,
sekitar 150 prasasti cuneiform yang menunjukkan bahwa situs itu adalah pusat administrasi
peradaban Assyria pada abad ke-13 SM. Ditemukan sebuah arsip, barangkali milik lembaga yang
setara dengan lembaga modern “ Kementrian Dalam Negeri”, yang berisi nama-nama pegawai yang
menerima suap, termasuk nama-nama pejabat tinggi dan seorang putri Assyria.
(Dikutip dalam kertas kerja Parlemen Eropa, “Measures to Prevent Corruption in EU Member States”,
Maret 1998 sebagaimana dikutip kembali oleh Jeremy Pope (2003)
Di Asia, korupsi memiliki berbagai istilah lain. Di China, Hong Kong dan Taiwan, korupsi dikenal
dengan nama yum cha, atau di India terkenal dengan istilah baksheesh, atau di Filipina
dengan nama lagay dan di Indonesia atau Malaysia memiliki padanan kata yaitu suap. Thailand
mempunyai yaitu istilah gin muong, yang secara literal berarti nation eating (makan
negara). Pengertian dari istilah ini
menunjukkan adanya kerusakan yang luar biasa besar terhadap kehidupan suatu bangsa akibat
dari adanya perilaku praktik korupsi.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008), korup berarti busuk, rusak, busuk. Korup juga diartikaan
sebagai suka menerima uang sogok, dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan
pribadi). Korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan
sendiri (seperti menggelapkan uang atau menerima uang sogok).
Definisi lain diberikan oleh Robert Klitgaard (2002), menurutnya dalam arti luas, korupsi berarti
menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Korupsi berarti memungut uang bagi layanan bagi
yang seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah.
2. Korupsi juga diartikan sebagai tidak melakukan tugas karena lalai atau sengaja. Korupsi dapat terjadi
di dalam tubuh organisasi (misalnya, penggelapan uang) maupun diluar organisasi ( misalnya,
pemerasan).
Korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, tetapi juga
melibatkan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dapat membahayakan eksistensi atass
fungsi penyelenggaraan negara.
Tindakan korupsi telah lama dianggap sebagai suatu tindakan yang sangat merugikan perekonomian
suatu negara. Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus yang berasal dari kata
corrumpere (Webster Student Dictionary : 1960). Arti harfiah dari kata tersebut adalah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.(The Lexicon Webster Dictionary 1978).
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyatakan ”Korupsi ialah perbuatan yang
buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam Bahasa Indonesia disebut corruptie,
dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dan dalam Bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah
Kuno Negara Kertagama arti harfiah corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk,
bejad, tidak jujur yang disangkut pautkan dengan keuangan.
Korupsi di dalam Black’s Law Dictionary adalah “suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari
pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-
hak dari pihak lain”.
Dalam pengertian lain, korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip, artinya
dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, baik dilakukan oleh perorangan di sektor swasta
maupun pejabat publik, menyimpang dari aturan yang berlaku. Hakekat korupsi berdasarkan hasil
penelitian World Bank adalah ”An Abuse Of Public Power For Private Gains”, penyalahgunaan
kewenangan / kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Definisi Korupsi Secara etimologi korupsi berasal dari kata “korupsi” yang berarti buruk, buruk rusak
dna busuk. “korup” juga berarti dapat diogok (melalui kekuasaan untuk kepentingan pribadi”. Secara
terminologi diartikan sebagai pemberian dan penerimaan suap, baik yang memberi maupun menerima
suap keduanya termasuk koruptor. David M. Chalmers mengatakan korupsi sebagai tindakan-
tindakan manipulasi dan keputusan menganai keungan yang membahayakan ekonomi. J.J. Senturia
menguraikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan pemrintah untuk keuntungan pribadi. Dari
beberapa pengertian di atas baik secara etimologi maupun terminologi dapat ditarik kesimpulan.
1. Korupsi dalam pengertian tindakan penghianatan terhadap kepercayaan.
2. Korupsi dalam pengertian semua tindakan penyalahgunaan kekuasaaan, walaupun pelakunya
tidak mendapatkan keuntungan material.
3. Korupsi dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan dna bukan haknya.
Jadi, korupsi merupakan suatu tindakan penyalahnyaan wewenang, kekyasaan yang dapat
merugikan dalam bidang ekonomi dan dapat merugikan dalam bidang ekonomi dan dapat merugikan
masyarakat pada umumnya.
ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli.Huntington (1968)
memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yangmenyimpang dari norma-norma
yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang iniditujukan dalam rangka memenuhi
kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum.
Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk
keuntungan pribadi.Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan melawan hukun
3. 2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana
3. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan
korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang
menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim
menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat
untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang
mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang
demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang
melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham
keuangan pribadi dengan masyarakat.
Saat ini fenomena korupsi terjadi di hampir semua negara, baiknegara maju maupunnegara
berkembang. Namun demikian, di negara berkembang, tingkat korupsi cenderung tinggidibandingkan
dengan negara maju. Pada gambar 1 (Peta Indeks Persepsi Korupsi) berikut menjelaskan distribusi
geografis korupsi di seluruh dunia. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) masing-masing negara
digambarkandalam warna. Biru adalah negara-negara yang tingkat korupsinya paling kecil (9-10).
Merah tuamerupakan negara dengan tingkat korupsi terparah (1-1,9). Sedangkan warna-warna lain
beradadi antaranya (2-8,9). Namun sebagian besar negara-negara berkembang berada pada
tingkatkorupsi sedang sampai parah (2-2,9) termasuk Indonesia (warna merah). Dari gambar di atas
juga dapat diketahui bahwa gejala umum korupsi relatif berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan.
Gambar 1. Peta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Seluruh Dunia
Sumber: Transparency International (2006); Sementara itu, di wilayah Asia, Poilitical and Economy
Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga konsultan independen yang berbasis di Hongkong,
menempatkan Indonesia pada posisi sebagai negara juara korupsi di Asia selama 10 tahun lebih
secara berturut-turut.
Pengertian tindak pidana korupsi menurut UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001,
itu dapat dibedakan dari 2 segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif.
Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah :
4. 1. secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara,
2. dengan tujuan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatn atau
kedudukannya,
3. member hadiah atau janji dengan mengingat kekuasaan atau wewenang pada jabatan atau
kedudukannya,
4. percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat,
5. memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat,
6. member sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya,
7. member janji,
8. sengaja membiarkan perbuatan curang,
9. sengaja menggelapkan uang atau surat berharga. Sedangkan
korupsi pasif, antara lain :
1. menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat,
2. menerima penyerahan atau keperluan dengan membiarkan perbuatan curang,
3. menerima pemberian hadiah atau janji,
4. adanya hadiah atau janji diberikan untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu,
5. menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya.
Selain itu juga, dalam prakteknya jenis korupsi itu sendiri dapat dikelompokkan kedalam dua bentuk,
yaitu :
1. Administrative Corruption, dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan
huum/peraturan yang berlaku. Akan tetapi individu-individu tertentu memperkaya diri sendirinya
(contoh; penerimaan CPNS) dan
2. Against the Rule Corruption, artinya korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya bertentangan
dengan hukum (seperti; penyuapan, penyalahgunaan jabatan, pemberian dan lain-lain).
Pengertian Korupsi Secara Yuridis
Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi
rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negaara, tetapi meliputi juga
perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang
perseorangan.
Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
(sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi).
5. 2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) serta
gratifikasi. (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat(1) dan ayat
(2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d, serta Pasal 12B ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Piddana Korupsi).
3. Kelompok delik penggelapan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 10 huruf a Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion). (sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
5. Kelompok delik pemalsuan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana
Korupsi).
6. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan. (sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi).
Dari 6 (enam) kelompok delik di atas, hanya 1 (satu) kelompok saja yang memuat unsur merugikan
negara diatur di dalam 2 pasal yaitu pasal 2 dan 3, sedangkan 5 kelompok lainnya yang terdiri dari 28
pasal terkait dengan perilaku menyimpang dari penyelenggara negara atau pegawai negeri dan pihak
swasta.
Secara Internasional, korupsi diakui sebagai masalah yang sangat kompleks, bersifat sistemik, dan
meluas. Centre for Crime Prevention (CICP) sebagai salah satu organ PBB secara luas
mendefinisikan korupsi sebagai “missus of (public) power for private gain”. Menurut CICP korupsi
mempunyai dimensi perbuatan yang luas meliputi tindak pidana suap (bribery), penggelapan
(emblezzlement), penipuan (fraud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion),
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas
bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interest, insider trading),
nepotisme, komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik (illegal commission) dan kontribusi uang
secara illegal untuk partai politik. Sebagai masalah dunia, korupsi sudah bersifat kejahatan lintas
negara (trans national border crime), dan mengingat kompleksitas serta efek negatifnya, maka korupsi
yang dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) memerlukan upaya
pemberantasan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary measure).
Bagi Indonesia, korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa obat, menyelusup di segala segi
kehidupan dan tampak sebagai pencitraan budaya buruk bangsa Indonesia. Secara sinis orang bisa
menyebut jati diri Indonesia adalah perilaku korupsi. Pencitraan tersebut tidak sepenuhnya salah,
sebab dalam realitanya kompleksitas korupsi dirasakan bukan masalah hukum semata, akan tetapi
sesungguhnya merupakan pelanggaraan atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat. Korupsi telah
menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar. Masyarakat tidak dapat menikmati
pemerataan hasil pembangunan dan tidak menikmati hak yang seharusnya diperoleh. Dan secara
keseluruhan, korupsi telah memperlemah ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Korupsi di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam (widespread and deep-rooted)
akhirnya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri (self destruction).
Korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan di saat pohon
itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa di hisap.
6. Pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan
mendesak (urgent needs) bangsa Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari
bumi pertiwi ini karena dengan demikian penegakan hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat
mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kemiskinan. Pemberantasan tindak pidana korupsi
tersebut tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dari masyarakat Indonesia yang sudah
sangat menderita karena korupsi yang semakin merajarela.
Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi bervariasi. Dalam teori yang dikemukanan oleh Jack Bologne
atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi:
1. Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada
di dalam diri setiap orang.
2. Opportunities (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemekian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan.
3. Needs (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk
menunjang hidupnya yang wajar.
4. Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh
pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau
kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan
pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban
perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor
dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan
dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontral dan sebagai). Lain lagi
yang dikemukakan oleh OPSTIB Pusat, Laksamana Soedomo yang menyebutkan ada lima sumber
potensial korupsi dan penyelewengan yakni proyek pembangunan fisik, pengadaan barang, bea dan
cukai, perpajakan, pemberian izin usaha, danfasilitas kredit perbankan.
Selain penyebab yang telah disebutkan diatas, masih banyak lagi penyebab derasnya korupsi yang
terjadi di Indonesia, antara lain sebagai berikut korupsi yang terjadi di Indonesia, antara lain sebagai
berikut:
1. Tanggung jawab profesi, moral, dan sosial yang rendah
2. Sanksi yang lemah dan penerapan hukum yang tidak konsisten dari institusi penegak hukum,
institusi pemeriksa./ pengawas yang tidak bersih/ independen
3. Rendahnya disiplin/ kepatuhan terhasdap Undang-Undang dan Peraturan
4. Kehidupan yang konsumtif, boros, dan serakah (untuk memperkaya diri sendiri)
5. Lemahnya pengawasan berjenjang (internal) dalam pelaksanaan tugas
2) Fraud
Semua organisasi, apapun jenis, bentuk, skala operasi dan kegiatannya memiliki risiko
terjadinya fraud atau kecurangan. Fraud atau kecurangan tersebut, selain memberi keuntungan bagi
pihak yang melakukannya, membawa dampak yang cukup fatal, seperti misalnya hancurnya reputasi
7. organisasi, kerugian organsisasi, kerugian keuangan Negara, rusaknya moril karyawan serta dampak-
dampak negatif lainnya.
Maraknya berita mengenai investigasi terhadap indikasi penyimpangan (fraud) di dalam perusahaan
dan juga pengelolaan negara di surat kabar dan televisi semakin membuat sadar bahwa kita harus
melakukan sesuatu untuk membenahi ketidakberesan tersebut. Walaupun saat ini sorotan utama
sering terjadi pada manajemen puncak perusahaan, atau terlebih lagi terhadap pejabat tinggi suatu
instansi, namun sebenarnya penyimpangan perilaku tersebut bisa juga terjadi di berbagai lapisan
kerja organisasi.
Defenisi Fraud
Secara harafiah fraud didefenisikan sebagai kecurangan, namun pengertian ini telah dikembangkan
lebih lanjut sehingga mempunyai cakupan yang luas. Black’s Law Dictionary Fraud menguraikan
pengertian fraud mencakup segala macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang diupayakan oleh
seseorang, untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain dengan saran yang salah atau pemaksaan
kebenaran, dan mencakup semua cara yang tidak terduga, penuh siasat. Licik, tersembunyi, dan
setiap cara yang tidak jujur yang menyebabkan orang lain tertipu. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa fraud adalah perbuatan curang (cheating) yang berkaitan dengan sejumlah uang atau properti.
Berdasarkan defenisi dari The Institute of Internal Auditor (“IIA”), yang dimaksud dengan fraud adalah
“An array of irregularities and illegal acts characterized by intentional deception”: sekumpulan tindakan
yang tidak diizinkan dan melanggar hukum yang ditandai dengan adanya unsur kecurangan yang
disengaja.
Webster’s New World Dictionary mendefenisikan fraud sebagai suatu pembohongan atau penipuan
(deception) yang dilakukan demi kepentingan pribadi, sementara International Standards of
Auditing seksi 240 – The Auditor’s Responsibility to Consider Fraud in an Audit of Financial Statement
paragraph 6 mendefenisikan fraud sebagai “…tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen
perusahaan, pihak yang berperan dalam governance perusahaan, karyawan, atau pihak ketiga yang
melakukan pembohongan atau penipuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil atau illegal”.
Apapaun itu defenisinya, menurutku fraud tetaplah fraud, dimanapun itu dilakukan, baik dilingkungan
swasta maupun di sektor publik. Motifnya sama, yaitu sama-sama memperkacaya diri
sendiri/golongan dan modus operandinya sama, yaitu dengan melakukan cara-cara yang illegal.
Tipologi Fraud
Association of Certified Fraud Examiners (“ACFE”) di Amerika serikat menyusun peta mengenai fraud.
Peta ini berbentuk pohon, dengan cabang dan ranting. Tiga cabang utama dari fraud tree ini
adalah Corruption, Asset misappropriation dan fraudulent statement. Turunannya lebih jauh dapat
dilihat dalam gambar dibawah.
8. Ada enam ranting yang muncul dari cabang corruption. Bandingkan ini dengan 30 (tiga puluh) jenis
tindak pidana korupsi dalam ketentutan perundang-undangan Indonesia. Cabang kedua adalah Asset
Misappropriation yang dapat diartikan secara bebas sebagai penjarahan kekayaan perusahaan atau
lembaga. Kita bisa membayangkan banyaknya jenis fraud dalam cabang ini, mulai dari pencurian
uang secara terbuka (larceny), pencurian dan penyalahgunaan (misuse) harta lembaga, sampai
pada larceny secara tidak langsung (rekening bank atas nama pejabat). Cabang ketiga (Fraudulent
Statement) merupakan fraud yang dilakukan dengan menggunakan cara-cara akuntansi
9. seperti earning managemen dan, windows dressing. Kausus Enron merupakan contoh nyata dari
tipe Fraud ini.
Sedangkan Delf (2004) menambahkan satu lagi tipologi fraud yaitu cybercrime. Ini jenis fraud yang
paling canggih dan dilakukan oleh pihak yang mempunyai keahlian khusus yang tidak selalu dimiliki
oleh pihak lain. Cybercrime juga akan menjadi jenis fraud yang paling ditakuti di masa depan dimana
teknologi berkembang dengan pesat dan canggih.
Motivasi Melakukan Fraud
Pada umumnya fraud terjadi karena tiga hal yang mendasarinya terjadi secara bersama, yaitu:
1. Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud
2. Peluang untuk melakuakn fraud
3. Sikap atau rasionalisasi untuk membenarkan tindakan fraud.
Ketiga faktor tersebut digambarkan dalam segitiga fraud (Fraud Triangle) berikut:
Opportunity biasanya muncul sebagai akibat lemahnya pengendalian inernal di organisasi tersebut.
Terbukanya kesempatan ini juga dapat menggoda individu atau kelompok yang sebelumnya tidak
memiliki motif untk melakukan fraud.
Pressure atau motivasi pada sesorang atau individu akan memebuat mereka mencari kesempatan
melakukan fraud, beberapa contoh pressure dapat timbul karena masalah keuangan pribadi, Sifat-
sifat buruk seperti berjudi, narkoba, berhutang berlebihan dan tenggat waktu dan target kerja yang
tidak realistis.
Rationalization terjadi karena seseorang mencari pembenaran atas aktifitasnya yang
mengandung fraud. Pada umumnya para pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa tindakannya
bukan merupakan suatu kecurangan tetapi adalah suatu yang memang merupakan haknya, bahkan
kadang pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat banyak untuk organisasi. Dalam beberapa
kasus lainnya terdapat pula kondisi dimana pelaku tergoda untuk melakukan fraud karena merasa
rekan kerjanya juga melakukan hal yang sama dan tidak menerima sanksi atas
tindakan fraud tersebut.
Faktor Pemicu Fraud
10. Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang disebut juga dengan
teori GONE,
yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), Exposure (pengungkapan
).
Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku kecurangan
(disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity dan Exposure merupakan faktor yang
berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan (disebut juga faktor
generik/umum).
1. Faktor generic
– Kesempatan (opportunity) untuk melakukan kecurangan tergantung pada kedudukan pelaku
terhadap objek kecurangan. Kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu ada pada setiap
kedudukan. Namun, ada yang mempunyai kesempatan besar dan ada yang kecil. Secara umum
manajemen suatu organisasi/perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan
kecurangan daripada karyawan;
– Pengungkapan (exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya kecurangan
tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh karena itu, setiap pelaku
kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya terungkap.
2. Faktor individu
– Moral, faktor ini berhubungan dengan keserakahan (greed).
– Motivasi, faktor ini berhubungan dengan kebutuhan (need), yang lebih cenderung
berhubungan dengan pandangan/pikiran dan keperluan pegawai/pejabat yang terkait dengan aset
yang dimiliki perusahaan/instansi/organisasi tempat ia bekerja. Selain itu tekanan (pressure) yang
dihadapi dalam bekerja dapat menyebabkan orang yang jujur mempunyai motif untuk melakukan
kecurangan.
Gejala Adanya Fraud
Fraud (Kecurangan) yang dilakukan oleh manajemen umumnya lebih sulit ditemukan dibandingkan
dengan yang dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, perlu diketahui gejala yang menunjukkan
adanya kecurangan tersebut, adapun gejala tersebut adalah:
1. Gejala kecurangan pada manajemen
• Ketidakcocokan diantara manajemen puncak;
• Moral dan motivasi karyawan rendah;
• Departemen akuntansi kekurangan staf;
• Tingkat komplain yang tinggi terhadap organisasi/perusahaan dari pihak konsumen, pemasok,
atau badan otoritas;
• Kekurangan kas secara tidak teratur dan tidak terantisipasi;
• Penjualan/laba menurun sementara itu utang dan piutang dagang meningkat;
• Perusahaan mengambil kredit sampai batas maksimal untuk jangka waktu yang lama;
• Terdapat kelebihan persediaan yang signifikan;
• Terdapat peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun buku.
2. Gejala kecurangan pada karyawan/pegawai
• Pembuatan ayat jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan tanpa perincian/penjelasan
pendukung;
11. • Pengeluaran tanpa dokumen pendukung;
• Pencatatan yang salah/tidak akurat pada buku jurnal/besar;
• Penghancuran, penghilangan, pengrusakan dokumen pendukung pembayaran;
• Kekurangan barang yang diterima;
• Kemahalan harga barang yang dibeli;
• Faktur ganda;
• Penggantian mutu barang.
Perilaku Pelaku Fraud
Berikut merupakan beberapa perilaku seseorang yang harus menjadi perhatian karena dapat
merupakan indikasi adanya kecurangan yang dilakukan orang tersebut, yaitu:
• Perubahan perilaku secara signifikan, seperti: easy going, tidak seperti biasanya, gaya hidup
mewah, mobil atau pakaian mahal;
• Gaya hidup di atas rata-rata;
• Sedang mengalami trauma emosional di rumah atau tempat kerja;
• Penjudi berat;
• Peminum berat;
• Sedang dililit utang;
• Temuan audit atas kekeliruan (error) atau ketidakberesan (irregularities) dianggap tidak material
ketika ditemukan;
• Bekerja tenang, bekerja keras, bekerja melampaui jam kerja, sering bekerja sendiri.
Fraud dalam Pengelolaan Keuangan Negara
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan Century Gate. Kedua kasus ini memiliki kesamaan, yaitu
sama-sama menggunakan dana talangan yang diberikan pemerintah yang seharusnya untuk
menyelamatkan kondisi modal perbankan namun dana tersebut oleh manajemen malah
diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau bisnisnya yang lain.
Pengadaan Barang dan Jasa. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo pada Kongres ISEI 1993
memperkirakan kebocoran keungan Negara sekitar 30% dari pengadaan barang dan jasa. Kerugian
ini bervariasi dari department ke department sampai ke tingkat pemerintah daerah. JIka dilakukan
penelitian untuk tahun-tahun sekarang ini kemungkinan persentasenya akan lebih besar lagi, karena
otonomi daerah membawa dampak adanya raja-raja kecil di daerah yang menuntut bagian proyek
pengadaan barang dan jasa.
Penyediaan Barang dan Jasa Publik. Teorinya pubic goods disediakan untuk masyarakat luas, tanpa
diskriminasi. Namun, berbagai faktor memberi peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk
menikmati public goods seolah-olah itu merupakan private goods bagi mereka. Contohnya saja jasa
keamanan yang merupakan public goods yang disediakan TNI/Polri dapat dinikmati oleh orang atau
perusahaan yang membayar harga yang tepat. Demikian pula dengan kendaraan, rumah dinas, dll
yang diakui sepihak menjadi hak milik pejabat sebelumnya.
Peran Multinational Corporation (MNC). Potensi fraud yang melibatkan perusahaan atau pengusaha
asing biasanya terletak pada perizinan usaha pertambangan dan energi yang bisanya diperoleh
dengan cara-cara penyuapan. Apalagi pemerintah menerapkan production sharing atas lokasi-lokasi
pertambangan di tanah air yang sangat rentan diselewengkan oleh para operator pertambangan.
Fraud pada Penerimaan Negara. Sebenarnya volume fraud yang paling besar bukan terletak pada
sisi pengeluaran tetapi justru pada penerimaan Negara, tengok saja kasus Bahasim dan Gayus
12. Tambunan yang meraup kekayaan besar dalam waktu singkat hanya dengna menyelewengkan
prosedur perpajakan, atau membantu mengurangi jumlah pajak kiennya. Di pemerintah daerah
kasusnya lebih bergam lagi, mulai dari pemetongan sekian persen dari pencairan anggaran, sampai
setoran penerimaan yang banyak dipotong untuk peruntukan yang tidak jelas.
Pencegahan dan Pendeteksian Fraud
Dalam mencegah dan mendeteksi serta menangani fraud sebenarnya ada beberapa pihak yang
terkait: yaitu akuntan (baik sebagai auditor internal, auditor eksternal, atau auditor forensik) dan
manajemen perusahaan. Peran dan tanggung jawab msaing-masing pihak ini dapat digambarkan
sebagai suatu siklus yang dinamakan Fraud Deterrence Cycle atau siklus pencegahan fraud seperti
gambar dibawah ini.
Corporate Governance dilakukan oleh manajemen yang dirancang dalam rangka mengeliminasi atau
setidaknya menekan kemungkinan terjadinya fraud. Corporate governance meliputi budaya
perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan pendelegasian wewenang.
Transaction Level Control Process yang dilakukan oleh auditor internal, pada dasarnya adalah proses
yang lebih bersifat preventif dan pengendalian yang bertujuan untuk memastikan bahwa hanya
transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai yang dicatat dan melindungi perusahaan dari
kerugian.
Retrospective Examination yang dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan untuk
mendeteksi fraud sebelum menjadi besar dan membahayakan perusahaan.
Investigation and Remediation yang dilakukan forensik auditor. Peran auditor forensik adalah
menentukan tindakan yang harus diambil terkait dengan ukuran dan tingkat kefatalan fraud, tanpa
memandang apakah fraud itu hanya berupa pelanggaran kecil terhdaap kebijakan perusahaan
ataukah pelanggaran besar yang berbentuk kecurangna dalam laporan keuangan atau
penyalahgunaan aset.
Mengapa Pencegahan?
Keberhasilan kegiatan memerangi fraud, setelah korupsi terjadi adalah suatu ironi tersendiri dalam
upaya penanggualan fraud karena semakin banyak mendeteksi dan menyelesaikan kasus
berindikasi fraud, bukan merupakan kondisi umum yang dikehendaki masyarakat, sebab pada
dasarnya kejadian fraud bukanlah kejadian yang dikehendaki masyarakat.
13. Pencegahan fraud bisa dianalogikan dengan penyakit, yaitu lebih baik dicegah dari pada diobati. Jika
menunggu terjadinya fraud baru ditangani itu artinya sudah ada kerugian yang terjadi dan telah
dinikmati oleh pihak terntu, bandingkan bila kita berhasil mencegahnya, tentu kerugian belum
semuanya beralih ke pelaku fraud tersebut. Dan bila fraud sudah terjadi maka biaya yang dikeluarkan
jauh lebih besar untuk memulihkannya daripada melakukan pencegahan sejak dini.
Untuk melakukan pencegahan, setidaknya ada tiga upaya yang harus dilakukan yaitu (1) membangun
individu yang didalamnya terdapat trust and openness, mencegah benturan kepentingan, confidential
disclosure agreement dan corporate security contract. (2) Membangun sistem pendukung kerja yang
meliputi sistem yang terintegrasi, standarisasi kerja, aktifitas control dan sistem rewards and
recognition. (3) membangun sistem monitoring yang didalamnya terkandung control self sssessment,
internal auditor dan eksternal auditor
Peran Internal Auditor
Pendeteksian fraud oleh auditor internal merupakan salah satu peran dari kegiatan internal
auditing yang dijalankan dalam organisasi. Standards No. 1210.A2 menyatakan sebagai berikut: “The
internal auditor should have sufficient knowledge to identify the indicators of fraud but is not expected
to hace the expertise of a person whose primary responsibility is detecting and investigating fraud”.
Merujuk pada standar profesi diatas, auditor internal diharuskan memiliki pengetahuan yang cukup
untuk mendeteksi adanya indikasi fraud dalam organisasi. Pengetahuan yang harus harus
dimiliki auditor internal termasuk pula pengetahuan mengenai karakteristik fraud, teknik-teknik yang
digunakan dalam melakukan fraud, dan jenis-jenis fraudyang mungkin terjadi pada berbagai proses
bisnis.
Auditor internal bertanggung jawab dalam mendeteksi fraud yang mungkin telah terjadi sedini
mungkin, sebelum memebawa dampak yang lebih buruk pada organisasi. Pendeteksian tersebut
dapat dilakukan pada saatmenjalankan kegiatan internal auditing. Pada saat melakukan audit, auditor
internal dapat memfokuskan diri pada area-area yang memeiliki risiko tinggi terjadinya fraud seperti
transaski kas, rekonsiliasi bank, proses pengadaan, penjualan, dll.
Jika auditor internal menemukan suatu indikasi terjadinya fraud dalam organisasi, auditor
internal harus melaporkannya kepada pihak-pihak terkait dalam organsiasi tersebut, seperti audit
committee. Auditor internal dapat memberikan rekomendasi dilakukannya investigasi yang diperlukan
untuk menyelidiki fraud tersebut.
Dalam sektor publik. Auditor internal dapat dilakukan oleh inspektorat di masing-masing department
dan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”) berdasarkan permintaan dari
pemerintah. Teknis dan proses auditnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan di sektor swasta.
Peran Eksternal Auditor
Dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya seorang auditor eksternal dibatasi oleh standar-
standar auditing yang berlaku. Tanggung jawab auditor sehubungan dengan fraud dijelaskan secara
umum dalam SA seksi 110 – Tanggung jawab dan fungsi auditor independen paragraph 02: “Auditor
bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan
memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh
kekeliruan atau kecurangan”.
Tanggung jawab auditor dalam mendeteksi fraud tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam SA seksi 316
– pertimbangan atas kecurangan dalam audit laporan keuangan. Berdasarkan SA Seksi 316 tersebut,
auditor harus secara khusus menaksir risiko salah saji material dalam laoran keuangan sebagai akibat
dari kecurangan dan harus memperhatikan taksiran risiko ini dalam mendesain prosedur audit yang
akan dilaksanakan. Prosedur audit mungkin berubah apabila terjadi fraud.
Selanjutnya dalam SA Seksi 317 – Unsur tindakan pelanggaran hukum oleh klien, dijelaskan bahwa
apabila terjadi unsur tindakan pelanggaran hukum (termasuk fraud) maka auditor akan
mengumpulkan informasi tentang sifat pelanggaran, kondisi terjadinya pelanggaran dan dampak
14. potensialnya terhadap laporan keuangan. Apabila dibutuhkan auditor dapat berkonsultasi dengan
penasehat hukum dan melakukan prosedur audit tambahan untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik tentang sifat pelanggaran yang terjadi. Terungkapanya fraud, yang berrdampak pada denda
dan kerugian, harus diungkapakan dalam catatan atas laporan keungan. Lebih jauh lagi,
bila fraud yang terjadi sangat material dan bisa mempengaruhi kewajaran laporan keuangan, maka
auditor tidak dapat memberikan opini “wajar tanpa pengecualian”.
Pada sektor public, yang menjadi auditor eksternal adalah Badan Pemerika keuangan (“BPK”)
berdasarkan UU No 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
Negara. Dalam UU ini diatur bahwa BPK melaksanakan pemeriksaaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keungan Negara. Pemeriksaan tersebut terdiri dari pemeriksaan keuangan,
pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Kebijakan Anti Fraud
Beberapa Perusahaan besar telah menyadari bahaya besar akibat fraud, mereka telah melakukan
perencanaan sedini mungkin terhadap pencegahan fraud ini. Tengok saja Telkom Grup dan Astra
Grup, kedua Perusahaan ini telah mengantisipasi fraud yang diwujudkan dalam kebijakan
anti fraud yang diterapkan di dalam peruashaan.
1. Telkom Group
Grup Astra memberikan perhatian yang demikian besar dalam pengembangan praktek Good
Corporate Governance(GCG) dengan standar tinggi. Beberapa paket kebijakan telah dibuat untuk
mendukung GCG diseluruh Astra Grup yang dimonitor oleh Komite Audit, Komite Renumerasi dan
Nominasi, Komite Eksekutif, kelompok Manajemen Resiko dan Departemen Audit Internal.
Untuk memberikan petunjuk yang jelas dan bagaimana karyawan melaksanakan tugas-tugasnya,
Grup Astra telah membuat buku pedoman yang komprehensif, yaitu “Pedoman Etika Bisnis dan kerja”,
yang mencakup semua aspek dalam berhubungan dengan pihak ketiga dan masyarakat luas secara
bertanggung jawab dan professional. Selain itu Astra juga mengeluarkan pedoman lainnya untuk
memberikan kepastian dan assurance bahwa seluruh aktivitas telah menerapkan pola yang sesuai
dengan GCG, pedoman-pedoamn itu yaitu: pedoman sistem audit dan manajemen risiko, pedoman
benturan kepentingan, peraturan mengenai informasi orang dalam, pedoman kewajiban sosial
perusahaan, pedoman manajemen sumber daya manausia, pedoman direksi dan komisaris Astra,
kebijakan pelaporan atas pelanggaran etika, kebijakan atas penyampaian laporan tahunan dan
kebijakan transaksi material dan perubahan kegiatan usaha.
2. Telkom Group
Sebagai perusahan publik yang juga melantai di bursa internasional (NYSE dan LSE) Telkom
berupaya mewujudkan tata kelola perusahaan yang bersih sebagai mana tuntutan dari
aturan Sarbanes Oxley Act (SOA) yang dianut Telkom Grup. Telkom secara berkala terus
mengeluarkan berbagai program yang memastikan kesempatan berbuat curang (fraud) itu tertutup.
Didalam program anti fraud tersebut terdapat code of ethics, whistleblower policy, organization
structure dan Human Resource Policy.
Program whistleblower yang diterapkan Telkom dimaksudkan untuk menciptakan sebuah sistem yang
memungkinkan perusahaan dapat melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan atau indikasi
adanya fraud, dengan begitu Telkom dapat secara lebih awal melakukan langkah-langkah koreksi dan
mitigasi yang diperlukan untuk mengamankan asset, reputasi dan risiko kerugian yang mungkin
timbul.
Selain itu Telkom juga menerapkan Enterprise Risk Management (ERM) yang disusun oleh COSO.
Beberapa kebijakan yang dilakukan Telkom terkait penerapan ERM ini antara lain: (1) peningkatan
kebijakan melalui evaluasi, perbaikan, peningkatan, distribusi dan kebijakan internal untuk
mendukung pengelolaan resiko; (2) Peningkatan pemahaman proses bisnis yang efektif melalui
15. penyederhanaan atau penghapusan proses bisnis yang kurang efektif; (3) pelaksanaan pengkajian
risiko dan langkah mitigasi yang meliputi inisiatif startegis, RKAP, dan evaluasi diri atas pengendalian
risiko seluruh unit; (4) perlindungan asset melalui penyediaan informasi yang memadai dan akurat
hingga menciptakan efektifitas dan efisiensi proses bisnis serta kepatuhan terhadap peraturan.
B. Jelaskan kondisi kerja di lingkungan saudara adalah indikasi telah atau pernah terjadi kasus
koruspi dan penipuan. Kalau ada bagaimana cara perusahaan saudara mengatasinya.
Praktik korupsi yang terjadi sekarang memang semakin meluas, bahkan mungkin terjadi disekitar kita.
Saya yakin sebagian besar dari kita tentu ingin agar tidak ada korupsi. Bahkan kalau perlu kita ikut
memberantasnya. Tetapi, alih-alih kita ingin memberantas, malah kita sendiri sering terjebak untuk
ikut mendiamkan korupsi yang terjadi disekitar kita. Bahkan secara tidak langsung ataupun langsung,
mungkin kita juga terlibat dalam korupsi itu.Langkah yang perlu kita lakukan dalam kondisi seperti ini
adalah:
Mulai dari diri sendiri. Luruskan niat kita. Bekerja adalah untuk mencari rezeki yang halal. Harus halal.
Jangan sampai meragukan/syubhat, apalagi haram. Kalau sampai kita dan keluarga yang kita sayangi
memakan rezeki yang haram, maka hal itu akan berakibat buruk bagi kita semua. Baik secara
pertumbuhan fisik, secara kesehatan mental, ataupun untuk ketenangan batin kita. Setiap
kebohongan yang kita lakukan akan terus membayangi langkah kita di dunia, belum lagi
pertanggungjawaban nanti di akhirat. Motivasi spiritual ini harus terus kita perkuat dengan keyakinan
bahwa Tuhan Yang Maha Kaya pasti punya banyak jalan rezeki yang halal untuk seluruh makhluk
ciptaanNya. Asal kita yakin dan terus berusaha.
Setelah kita yakin akan pentingnya rezeki yang halal dan bahayanya rezeki yang haram (korupsi),
selanjutnya tutup semua pintu yang memungkinkan kita untuk terlibat. Pintu godaan terbesar bukanlah
dari orang lain/suasana kantor. Tapi dari diri kita sendiri. Pintu godaan terbesar itu bernama ‘gaya
hidup’. Gaya hidup melebihi penghasilan ‘resmi’ kita adalah muaranya. Apalagi kalau kita/anggota
keluarga kita sering melihat ke atas (yang lebih kaya), maka pintu ini akan terbuka semakin lebar.
Kuncinya, untuk urusan dunia (harta, jabatan, kekuasaan, dsb) lihatlah kepada yang lebih bawah agar
kita mudah bersyukur. Selanjutnya mari kita atur gaya hidup kita agar masih dibawah jumlah
penghasilan kita. Kalau pengin banget ingin membeli sesuatu sedangkan keuangan kita belum
mampu, yakinkan bahwa segalanya akan indah pada waktunya: saat kita benar-benar sudah mampu
nanti.
Pintu selanjutnya adalah godaan dari rekan kerja, atau mungkin atasan kita. Pasti akan dimulai dari
hal yang kecil, lalu bertingkat jadi semakin membesar sampai kita tidak terasa. Kuncinya adalah
menghindari ketidakjujuran dalam bekerja, meskipun hal itu tidak terkait dengan uang. Karena akar
dari korupsi adalah ketidakjujuran. Kalau dipaksa, tolaklah secara halus. Jangan takut dengan resiko
dijauhi, dimarahi, atau dikucilkan. Karena sekali saja kita lunak/menurut, selamanya kita akan susah
terlepas dari jerat korupsi ini. Tapi sekali kita menolak, yang mengajak kita sebenarnya akan merasa
segan, bahkan hormat pada kita. Penolakan ini sekaligus bernilai sebagai kampanye atau ajakan
kepada rekan sekantor kita untuk tidak melakukan korupsi. Bisa jadi banyak rekan yang akhirnya
terinspirasi/menjadi berani setelah mengetahui penolakan kita. Sebenarnya masih sangat banyak
orang yang tidak ingin terlibat korupsi, hanya saja sangat sedikit yang berani. Nah, kalau bukan kita
yang memulai, siapa lagi. Dan Kalau bukan sekarang kita lakukan, kapan lagi.
Ada banyak cara dari teman-teman saya yang berada pada posisi rawan korupsi, tapi tetap ingin
menjaga integritasnya. Terutama saat sudah mencoba cara-cara diatas, tetapi masih tidak bisa
menolak terjadinya tindakan korupsi. Misalnya saat menerima uang/barang yang bukan haknya. Kalau
bisa dikembalikan. Kalau tidak bisa dikembalikan, biasanya disalurkan pada lembaga sosial/fakir
miskin yang membutuhkan. Ada juga teman yang karena tugasnya bahkan dilarang menerima
makanan/minuman/fasilitas lain dari pihak terkait. Tetapi karena beberapa kondisi yang tidak
16. memungkinkan untuk menolak pemberian itu, terpaksa harus diterima/dimakan/dipakai. solusinya dia
mengkonversikan nilai fasilitas yang sudah diterima tadi dalam bentuk uang. Selanjutnya uang
tersebut disedekahkan.
Daftar Pustaka :
Harry Andrian simbolon,2010.https://akuntansiterapan.com/2010/12/22/mengupas-seluk-beluk-fraud-
dan-cara-mengatasinya/. (diakses tanggal 7 Desember 2017 , jam 19. 30 WIB)
Anonim1,2014.https://kampoengngawi.com/file.post.menyikapi-korupsi-di-lingkungan-kerja/.(diakses
tanggal 7 Desember 2017 , jam 19.45 WIB)
Anonim2,2016.http://www.definisi-pengertian.com/2016/02/pengertian-korupsi-definisi-faktor-
penyebab.html. (diakses tanggal 7 Desember 2017 , jam 19.47 WIB)