BE &GG, Antoni Butarbutar, Hapzi Ali, Ethics and Business; Corruption and Fraud, Universitas Mercu Buana, 2017.pdf
1. Nama : Antoni Butarbutar (51116120011)
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA
Materi Minggu 13: Corruption and Fraud
Di India, korupsi berlangsung di bawah meja. Di China, korupsi terjadi di atas meja. Di Indonesia,
sekalian dengan meja-mejanya! Rasanya apa yang dituliskan Asia Times Online beberapa tahun
silam ini masih relevan hingga saat ini.
Korupsi
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai
negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu
yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak[1]
.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
perbuatan melawan hukum,
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah
memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
penggelapan dalam jabatan,
pemerasan dalam jabatan,
ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang
diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti
2. harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama
sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi
atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika,
pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk
mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi
dan kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi
atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga
yang tidak legal di tempat lain.
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi
Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan
politik yang normal.
Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
Lemahnya ketertiban hukum.
Lemahnya profesi hukum.
Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang
makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada
umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang
dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal
tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi satu sama
lain.
Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak
yang melakukan korupsi. Namun kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor
yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan
oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia
Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123).
Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi
begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar
cukup untuk makan selama dua minggu.
3. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan
banyak di antaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang
diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)
Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian
yang cukup ke pemilihan umum.
Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan
kampanye".
Dampak negatif
Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi
mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi
akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan
menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-
seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi
dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan
membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam
sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam
negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang
menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus
yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos
niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi
dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang
tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi
publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat
mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktik korupsi, yang
akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat
keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas
pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran
pemerintah.
4. Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan
ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang
menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya
diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika
yang memiliki rekening bank di Swiss).
Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari
semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui
investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas
Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-
Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya,
dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu
teori oleh ekonomis Mancur Olson).
Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa
pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini
memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar
jangkauan dari ekspropriasi pada masa depan.
Kesejahteraan umum negara
Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya.
Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya
rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi
perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-
bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan
sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme,
juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan
seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di
beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan
kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-
negara yang paling sering menerima sogokan.
Duabelas negara yang paling minim korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan tentang korupsi
oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional pada tahun 2001 adalah sebagai berikut:
Australia
Kanada
Denmark
Finlandia
5. Islandia
Luxemburg
Belanda
Selandia Baru
Norwegia
Singapura
Swedia
Swiss
Israel
Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah:
Azerbaijan
Bangladesh
Bolivia
Kamerun
Indonesia
Irak
Kenya
Nigeria
Pakistan
Rusia
Tanzania
Uganda
Ukraina
6. Namun, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi
subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi
(karena survey semacam itu juga tidak ada)
Sumbangan kampanye dan "uang haram"
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk
membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan
untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka
yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.
Tuduhan korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan
korupsi. Di Republik Rakyat Tiongkok, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir,
oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.
Mengukur korupsi
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami
adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi
Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan
setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup
negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap
persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat
seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga
menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank
Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.
Fraud
Semua organisasi, apapun jenis, bentuk, skala operasi dan
kegiatannya memiliki risiko terjadinya fraud atau
kecurangan. Fraud atau kecurangan tersebut, selain memberi
keuntungan bagi pihak yang melakukannya, membawa dampak
yang cukup fatal, seperti misalnya hancurnya reputasi organisasi,
kerugian organsisasi, kerugian keuangan Negara, rusaknya moril karyawan serta dampak-dampak
negatif lainnya.
Maraknya berita mengenai investigasi terhadap indikasi penyimpangan (fraud) di dalam perusahaan
dan juga pengelolaan negara di surat kabar dan televisi semakin membuat sadar bahwa kita harus
melakukan sesuatu untuk membenahi ketidakberesan tersebut. Walaupun saat ini sorotan utama
sering terjadi pada manajemen puncak perusahaan, atau terlebih lagi terhadap pejabat tinggi suatu
7. instansi, namun sebenarnya penyimpangan perilaku tersebut bisa juga terjadi di berbagai lapisan
kerja organisasi.
Defenisi Fraud
Secara harafiah fraud didefenisikan sebagai kecurangan, namun pengertian ini telah dikembangkan
lebih lanjut sehingga mempunyai cakupan yang luas. Black’s Law Dictionary Fraud menguraikan
pengertian fraud mencakup segala macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang diupayakan oleh
seseorang, untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain dengan saran yang salah atau
pemaksaan kebenaran, dan mencakup semua cara yang tidak terduga, penuh siasat. Licik,
tersembunyi, dan setiap cara yang tidak jujur yang menyebabkan orang lain tertipu. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa fraud adalah perbuatan curang (cheating) yang berkaitan dengan sejumlah
uang atau properti.
Berdasarkan defenisi dari The Institute of Internal Auditor (“IIA”), yang dimaksud
dengan fraud adalah “An array of irregularities and illegal acts characterized by intentional
deception”: sekumpulan tindakan yang tidak diizinkan dan melanggar hukum yang ditandai dengan
adanya unsur kecurangan yang disengaja.
Webster’s New World Dictionary mendefenisikan fraud sebagai suatu pembohongan atau penipuan
(deception) yang dilakukan demi kepentingan pribadi, sementara International Standards of
Auditing seksi 240 – The Auditor’s Responsibility to Consider Fraud in an Audit of Financial Statement
paragraph 6 mendefenisikan fraud sebagai “…tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen
perusahaan, pihak yang berperan dalam governanceperusahaan, karyawan, atau pihak ketiga yang
melakukan pembohongan atau penipuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil atau
illegal”.
Apapaun itu defenisinya, menurutku fraud tetaplah fraud, dimanapun itu dilakukan, baik
dilingkungan swasta maupun di sektor publik. Motifnya sama, yaitu sama-sama memperkacaya diri
sendiri/ golongan dan modus operandinya sama, yaitu dengan melakukan cara-cara yang illegal.
Faktor Pemicu Fraud
Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang disebut juga
dengan teori GONE,
yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), Exposure (pengungkapan)
. Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku kecurangan
(disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity dan Exposure merupakan faktor yang
berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan (disebut juga faktor
generik/umum).
1. Faktor generic
- Kesempatan (opportunity) untuk melakukan kecurangan tergantung pada kedudukan pelaku
terhadap objek kecurangan. Kesempatan untuk melakukan kecurangan selalu ada pada setiap
kedudukan.Namun, ada yang mempunyai kesempatan besar dan ada yang kecil. Secara umum
8. manajemen suatu organisasi/perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk
melakukan kecurangan daripada karyawan;
- Pengungkapan (exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya kecurangan
tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh karena itu, setiap pelaku
kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya terungkap.
2. Faktor individu
- Moral, faktor ini berhubungan dengan keserakahan (greed).
- Motivasi, faktor ini berhubungan dengan kebutuhan (need), yang lebih cenderung berhubungan
dengan pandangan/pikiran dan keperluan pegawai/pejabat yang terkait dengan aset yang dimiliki
perusahaan/instansi/organisasi tempat ia bekerja. Selain itu tekanan (pressure) yang dihadapi dalam
bekerja dapat menyebabkan orang yang jujur mempunyai motif untuk melakukan kecurangan.
Gejala Adanya Fraud
Fraud (Kecurangan) yang dilakukan oleh manajemen umumnya lebih sulit ditemukan dibandingkan
dengan yang dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, perlu diketahui gejala yang menunjukkan
adanya kecurangan tersebut, adapun gejala tersebut adalah:
1.Gejala kecurangan pada manajemen:
Ketidakcocokan diantara manajemen puncak;
Moral dan motivasi karyawan rendah;
Departemen akuntansi kekurangan staf;
Tingkat komplain yang tinggi terhadap organisasi/perusahaan dari pihak konsumen,
pemasok, atau badan otoritas;
Kekurangan kas secara tidak teratur dan tidak terantisipasi;
Penjualan/laba menurun sementara itu utang dan piutang dagang meningkat;
Perusahaan mengambil kredit sampai batas maksimal untuk jangka waktu yang lama;
Terdapat kelebihan persediaan yang signifikan;
Terdapat peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun buku.
2.Gejala kecurangan pada karyawan/ pegawai:
Pembuatan ayat jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan tanpa
perincian/penjelasan pendukung;
Pengeluaran tanpa dokumen pendukung;
Pencatatan yang salah/tidak akurat pada buku jurnal/besar;
9. Penghancuran, penghilangan, pengrusakan dokumen pendukung pembayaran;
Kekurangan barang yang diterima;
Kemahalan harga barang yang dibeli;
Faktur ganda;
Penggantian mutu barang.
Konsep dan Upaya Memberantas Tindak Pidana Korupsi (dan Pencegahan Fraud)
Pada Tahun 1999 dikeluarkan undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi,
dan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang No 31 tahun
1999 tentang tindak pidana korupsi, secara yuridis dalam hal memberantas tindak pidana korupsi
pada pasal 1 angka 3 yaitu : Serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
disidang pengadilan, dengan peran masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Tentunya disini Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan ketetapan undang-undang nomor 30
tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi komisi independen memiliki peran
yang sangat penting dan kewenangan yang sangat besar dalam hal memberantas tindak pidana
korupsi, KPK juga memiliki agenda yang penting antara lain dalam upaya Mencegah Korupsi:
1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi
2. Mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi publik sektor dengan mewujudkan good
governance
3. Membangun kepercayaan masyarakat
4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar
5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi
Sudah jelas terlihat dalam agenda KPK, dalam memberantas tindak pidana korupsi merupakan suatu
upaya yang sangat penting dalam menjalankan pemerintahan dan majunya suatu pemerintahan
untuk menuju yang lebih baik.
Saran dan Harapan
Pemerintah perlu meninjau kembali wewenang dan tanggung jawab Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam rangka upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang dengan
sendirinya juga akan mengurangi tindakan fraud. KPK perlu diberi ruang yang lebih besar dan posisi
yang benar-benar indipenden.