1. 1
Ikhbât:
“Ketundukan Sejati Seorang Hamba”
Seorang hamba (‘abd) yang tunduk dan patuh kepada yang dihambai (al-ma’bûd) adalah seorang yang sangat diharapkan oleh dicintai oleh siapa pun yang mengharapkan ketundukan dan kepasrahan. Demikian juga, relasi kita dengan Allah. Kita jangan diharapkan olehNya untuk menjadi hamba (‘abd) yang selalu tunduk (beridah) kepadaNya, sebagaimana firmanNya,
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghût itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS an-Nahl/16: 36), dan orang yang berkarakter tunduk dan patuh, disebut sebagai al-Mukhbit (mufrad), jama’nya al-Mukhbitûn. Sebagaimana firmanNya,
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah),” (QS al-Hajj/22: 34)
Siapakah al-Mukhbitûn itu?
Al-Mukhbitun adalah golongan manusia yang disebut di dalam al- Quran sebagai mereka sangat taat dan patuh kepada perintah Allah SWT. Asal kalimahnya adalah al-Khabatu yang bermaksud tempat yang tenang serta selesa di bumi. Az-Zabidi, dalam Tâj al-‘Arûs mendefinisikan sifat al-
2. 2
Ikhbât dengan maksud khusyû’ dan tawadhû’. Sekiranya seorang lelaki itu disebut sebagai bersifat ikhbât kepada Tuhannya bermaksud lelaki itu mencari ketenangan padaNya melalui khusyû’ dan tawadhû’nya dalam ibadah.
Golongan ini sebenarnya memunyai ketenangan dalam berhadapan tuntutan nafsu syahwatnya yang senantiasa mengajaknya melakukan perkara yang dilarang Allah SWT. Hatinya tidak risau atau takut (al-Khauf) kehilangan ‘nikmat keduniaan’ ketika hendak melakukan ketaatan (al- Khudhû’) kepadaNya. Dan tidak pula dia sedih atau menyesal (al-Huzn) setelah kehilangan nikmat keduniaan lantaran melaksanakan ketaatan tersebut.
Baginya keinginan hidupnya adalah ridha Allah SWT sehingga dirinya tidak membutuhkan kepada pujian atau sebaliknya kekhawatiran atas cacian manusia. Dia tidak tersanjung oleh setiap pujian dan tak pernah risau atas setiap cacian. Inilah ‘pribadi’ yang disebut Allah SWT dalam surah al-Fajr sebagai an-Nafs al-Muthmainnah.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS al-Fajr/89: 27-30)
Al-Quran menyebut kalimat yang berkaitan dengan golongan al- Mukhbitûn ini hanya dalam 3 (tiga) rangkaian ayat saja.
1. Al-Mukhbitûn Dalam QS Hûd/11: 23
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (QS Hûd/11: 23)
Para mufassir menyatakan bahwa ayat ini bermakna: tawadhu’ dan khusyû’ dalam beribadah kepada TuhanNya, mencari ketenangan padaNya
3. 3
dan tidak putus-putus dalam beribadah kepadaNya. Ibn Jarir al-Tahbari – misalnya -- menafsirkanya dengan al-Inâbah, al-Khauf, al-Ithmi’nân, al- Khusyû’ dan al-Khudhû’. Kemudian beliau merangkum semua makna ini dengan penjelasan: “Kesemua makna ini adalah saling melengkapi walaupun berbeda istilahnya, karena al-Inâbah bisa tercapai kerana al-Khauf kepada Allah, al-Khusyû’ dan al-Khudhû’ bisa tercapai dengan ketaatan, dan ketenangan hanya bisa tercapai dengan al-Khusyû’ dalam beribadah kepadaNya. Konteks ayat ini pula merujuk kepada sifat para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang telah benar-benar beriman. Karena dapat dipahami bahwa para sahabat nabi s.a.w adalah orang-orang yang sangat taat dan patuh kepada Allah SWT dan Rasulullah s.a.w.. Hati mereka senantiasa dipenuhi dengan ketenangan dalam berhadapan segala macam ujian dari Allah SWT.
Jika diteliti lagi dalam ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan kedudukan sifat al-Ikhbât dalam hidup mukmin. Permulaan ayat tersebut Allah SWT menyebut beriman, kemudian beramal soleh dan diakhiri dengan sifat ikhbat kepada Allah SWT. Ini menunjukkan bahawa sifat Al-Ikhbat merupakan hasil dari keimanan dan amal soleh seseorang individu.
Selain itu di akhir ayat tersebut, Allah SWT turut menjelaskan bahawa al-Mukhbitûn merupakan penghuni surgaNya. Al-Mukhbitun menerima pengakuan dan kedudukan yang tertinggi di sisi Allah SWT.
2. Al-Mukhbitûn Dalam QS Al-Hajj/22: 34-35
Terdapat 2 (dua) ayat dalam QS al-Hajj yang menerangkan sifat al- Mukhbitûn: a. Ayat 34-35: ۗۗ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
4. 4
tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka.” (QS al- Hajj/34-35)
Dalam QS al-Hajj/2: 34 in, Allah SWT menjelaskan bahwa Allah SWT telah menetapkan syariat untuk setiap umat yang terdahulu, maka Allah SWT pun menyuruh manusia agar patuh pada syariat tersebut dan berserah diri dalam mentati semua ketentuanNya. Oleh karena itu, barangsiapa yang taat, maka mereka adalah orang yang memunyai sifat al- Ikhbât (al-Mukhbit) dan diberikan berita gembira (Busyrâ) bagi mereka. Berita gembira yang dimaksudkan adalah ‘janji surga’ Allah bagi mereka seperti yang dinyatakan oleh Allah dalam QS Hûd/11: 23 surah Hud (sebelum ayat ini).
Pada ayat berikutnya (QS al-Hajj/22: 35), Allah SWT menerangkan sifat-sifat Mukhbitûn:
1) Hati-hati mereka takut dan cemas apabila disebut ayat-ayat Allah SWT
2) Mereka amat sabar di atas segala ketentuan Allah baik yang berbentuk bala’ dan ujianNya.
3) Mereka memelihara shalat mereka dengan sempurna dan khusyû’
4) Mereka menafkahkan rezeki karuniaNya yang terbaik kepada keluarga dan saudara mereka, fakir-miskin serta berbuat yang terbaik (Ihsân) terhadap mereka.
Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud ketika berjumpa dengan seorang Tabi’in bernama al-Rabi’ bin Khaithum beliau membacakan kalimat: وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (dalam QS al-Hajj/22: 34).
Dalam hal ini, Imam al-Ghazali menyebut bahwa hal yang menyebabkan Abdullah bin Mas’ud membacakan ayat tersebut terhadap al- Rabi’ bin Khaithum karena beliau amat khusyû’ dalam beribadah kepada Allah SWT dan memelihara pandangannya ketika di sepanjang jalan yang dilalui, hingga sebagian orang menyangka bahwa beliau (al-Rabi’ bin Khaithum) ini buta. Dan ketika beliau berkunjung ke rumah Abdullah bin nu Mas’ud dan pada saat itu hamba perempuannya yang membukakan pintu rumahnya, maka al-Rabi’ bin Khaithum akan menutup pandangannya hingga hamba tersebut memberitahu kepada Abdullah bin Mas’ud: “Sahabatmu yang buta telah datang!” Kemudian al-Rabi’ bin Khaithum pun selalu disambut oleh Abdullah bin Mas’ud dengan menyebut penghujung ayat tersebut (وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ ), sambil berkata: “Sekiranya Nabi Muhammad s.a.w. melihatmu, beliau akan gembira dan mencintaimu”.
5. 5
b. QS al-Hajj/22: 54
“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Quran itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS al-Hajj/22: 54)
Jika diteliti ayat ini, kedudukan sifat al-Ikhbât adalah selepas al-‘Ilm dan al-Îmân. Dan selepas al-Ikhbât disebut pula tentang Istiqâmah atas jalan hidâyah dan kemenangan (al-Falâh). Ini menunjukan bahawa sifat Al- Ikhbat adalah hasil dari ilmu dan iman seseorang. Sifat al-Ikhbât juga adalah merupakan kunci untuk menjadikan diri seseorang untuk bersikap istiqâmah dan berpeluang untuk mendapatkan hidayah Allah SWT. Maka orang-orang yang disebut sebagai al-Mukhbitîn adalah mereka yang memenuhi syarat sebagai al-‘Ālimîn, al-Mu’minîn dan al-Muhtadîn yang tidak akan terpedaya oleh segala macam godaan setan.
Memahami (Lebih Lanjut) Konsep Ikhbât
Ikhbât -- menurut pengertian bahasa -- artinya permukaan tanah yang rendah. Atas dasar pengertian bahasa ini pula Abdullah bin Abbas dan Qatadah mengartikan lafazh mukhbitîn di dalam ayat al-Qur'an sebagai orang-orang yang merendahkan diri. Sedangkan menurut Mujahid, mukhbit artinya orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah, karena menurut pendapatnya, khabtu artinya tanah yang stabil. Menurut Al-Akhfasy, mukhbitîn artinya orang-orang yang khusyû'. Menurut Ibrahim an-Nakha'iy, artinya orang-orang yang shalat dan ikhlas. Menurut al-Kalbiy, artinya orang-orang yang hatinya lembut. Menurut Amr bin Aus, artinya orang- orang yang tidak berbuat zalim, dan jika dizalimi tidak membalas.
Allah berfirman, ۗۗ
6. 6
"Dan, berilah kabar gembira kepada orang-orang yang merendahkan diri (kepada Allah)." (QS al-Hajj/22: 34). ۖ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan merendahkan diri kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." (QS Hûd/11: 23).
Pendapat-pendapat tentang lafazh mukhbitîn ini berkisar pada dua makna: Merendahkan diri, dan merasa tenang terhadap Allah. Karena itu lafazh ini disertai dengan kata ilâ (kepada), sebagai jaminan terhadap pengertian ketenangan dan ketundukan kepada Allah. Al-Harawi -- penulis kitab Manâzil as-Sâirîn -- menyatakan, "Ikhbât ini merupakan permulaan dari ketentraman", seperti ketenangan, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, atau juga merupakan rasa percaya diri bagi musafir untuk tidak surut ke belakang atau ragu-ragu. Karena ikhbât merupakan permulaan posisi bagi orang yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah, yang tidak akan menghentikan perjalanannya selagi dia masih bemapas, maka ikhbât ini bisa diumpamakan air segar yang dilihat musafir saat kehausan di awal tahapan perjalanannya, sehingga air yang diharapkannya menghilangkan keragu- raguannya untuk membatalkan perjalanan, meskipun perjalanannya sulit dan berat. Apabila ia mendapatkan air, maka keragu-raguan atau lintasan pikiran untuk membatalkan perjalanan menjadi sirna. Begitu pula seorang perantau apabila dia sampai ke tempat persinggahan yang pertama, yaitu thuma'ninah maka hilanglah keragu-raguan darinya.
Pandangan al-Harawi tentang al-Ikhbât
Menurut al-Harawi, ikhbât ini didasarkan kepada tiga derajat:
1. Memerkuat penjagaan dalam menghadapi syahwat, menjaga hasrat agar tidak lalai dan kecintaan yang dapat mengalahkan kesenangan. Alhasil, perlindungan dan penjagaannya dapat mengalahkan syahwat, hasratnya dapat mengalahkan kelalaian, dan kecintaannya dapat mengalahkan kesenangan.
2. Hasratnya tidak digugurkan satu sebab pun, hatinya tidak diusik satu penghambat pun, dan jalannya tidak dipotong satu rintangan pun. Ini tiga masalah lain yang dihadapi orang yang sedang berjalan kepada Allah dan yang berada di tempat persinggahan ikhbât. Tetapi selagi hasratnya sudah bulat dan perjalanannya dilakukan secara sungguh- sungguh, tentu tidak ada satu sebab pun yang bisa menghambat
7. 7
perjalanannya. Penghambat yang paling berat ialah kesepian saat berjalan sendirian. Maka hal ini janganlah dianggap sebagai penghambat, sebagaimana yang dikatakan seseorang yang lurus, "Kesendirianmu dalam mencari sesuatu merupakan bukti benarnya apa yang kamu cari." Yang lain berkata, "Janganlah engkau merasa kesepian karena sedikitnya orang yang berjalan bersamamu dan janganlah terkecoh karena banyaknya orang yang binasa." Sedangkan rintangan yang bisa memotong perjalanan ialah hal-hal yang masuk kedalam hati seseorang sehingga dapat menghambatnya untuk mencari dan mengikuti kebenaran. Bila seorang hamba sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbât, hasrat dan pencariannyasudah kuat, maka tidak ada rintangan yang bisa menghambatnya.
3. Sama bagi dia saat mendapat pujian atau pun celaan, senantiasa mencela diri sendiri, dan tidak melihat kekurangan orang lain yang di bawah dia derajatnya. Hamba yang sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbât, tidak lagi terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dia tidak menjadi gembira karena pujian manusia dan juga tidak sedih karena celaan mereka. Inilah sifat orang yang bisa melepaskan diri dari bagian yang seharusnya diterimanya. Jika seseorang terpedaya oleh pujian dan celaan manusia, maka itu merupakan pertanda bagi hatinya yang terputus, tidak memiliki ruh cinta kepada Allah dan belum merasakan manisnya kebergantungan kepada-Nya. Senantiasa mencela nafsu diri sendiri, entah yang berkaitan dengan sifat, akhlak atau perbuatannya yang tercela. Nafsu adalah gunung yang sulit dilewati dalam perjalanan kepada Allah. Ini merupakan satusatunya jalan kepada Allah bagi setiap orang, dan setiap orang juga harus sampai kepada-Nya. Di antara mereka ada yang kesulitan melewatinya dan sebagian yang lain ada yang mudah melewatinya berkat pertolongan Allah. Di atas gunung ini ada lembah, perkampungan, jurang, duri, tebing yang terjal, ada perampok yang akan menghambat siapa pun yang lewat di sana, terlebih lagi orang yang mengadakan perjalanan pada malam yang gelap gulita. Jika dia tidak memunyai persiapan iman, pelita keyakinan yang dinyalakan dengan minyak ikhbât, maka ia akan menyerah kepada penghalang dan perintang yang ada, dan perjalanannya akan terhenti. Sementara setan juga ada di puncak gunung itu, menakut-nakuti manusia yang ingin mendaki dan mencapai puncaknya. Di samping perjalanan melewati gunung itu sendiri sudan sulit, ditambah lagi dengan ketakutan yang dihembuskan setan, dan lemahnya hasrat dan niat orangyang hendak melewatinya, ini semua membuat orang memutuskan perjalanan dan kembali pulang. Sesungguhnya orang yang terjaga dari godaan ini hanyalah orang yang dijaga Allah. Setiap kali perjalanan mendaki gunung ini bertambah ke depan, semakin jelas terdengar teriakan setan yang menakut-nakuti dan memeringatkannya. Jika sudah sampai ke puncaknya, maka semua ketakutan itu berubah menjadi rasa aman. Pada saat itu perjalanan
8. 8
lebih ringan, rambu-rambu jalan sudah ada, jalannya lapang dan aman, tinggal turun ke lerengnya. "Tidak melihat kekurangan orang lain karena derajat yang didapatkannya", artinya tidak memerhatikan keadaan orang lain, karena dia disibukkan oleh urusannya sendiri dengan Allah, dan hatinya yang dipenuhi kecintaan kepada-Nya, sekalipun derajatnya lebih tinggi dari orang-orang lain. Andaikan dia sibuk memerhatikan keadaan orang lain, maka hal ini justru akan menurunkan derajatnya dan membuatnya mundur ke belakang.
Khâtimah
Setelah kita kaji pengertian al-Ikhbât dan al-Mukhbit, dapat dipahami bahwa seseorang akan dapat menggapai kepribadian sebagai seorang hamba yang tunduk dan patuh kepada Allah, sekaligus menikmati ketundukan dan kepatuhannya dengan sikap ikhlas, harus melakukan berbagai upaya yang tidak mudah.
Sebagaimana penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang hamba (Allah) yang sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbât (merendahkan diri di hadapan Allah), tidak lagi terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dia tidak menjadi gembira karena pujian manusia dan juga tidak sedih karena celaan mereka. Inilah sifat orang yang bisa melepaskan diri dari bagian yang seharusnya diterimanya.
Jika seseorang masih terpedaya oleh pujian dan celaan manusia, maka hal itu merupakan pertanda bagi hatinya yang terputus, tidak memiliki ruh cinta kepada Allah dan belum merasakan manisnya kebergantungan kepada-Nya. Seorang mukhbit, tidak akan pernah berkesempatan untuk melihat kekurangan orang lain, karena derajat yang didapatkannya, artinya dirinya tidak pernah memerhatikan keadaan orang lain, karena selalu disibukkan oleh urusannya sendiri dengan Allah, dan hatinya selalu akan dipenuhi kerendah-hatian, sekalipun derajatnya lebih tinggi daripada siapa pun. Andaikan dia sibuk memerhatikan keadaan orang lain, maka hal ini justeru akan menurunkan derajatnya dan membuatnya dirinya surut, karena kehilangan karakter ikhbâtnya.
Ikhbât bagi seorang yang beriman, merupakan permulaan dari “ketenteraman hidup’, atau juga merupakan awal dari rasa percaya diri bagi seorang ‘musafir’ yang tengah mengembara dalam perjalanan jauhnya menuju ridha Allah, yang selamanya tidak akan pernah surut ke belakang atau ragu-ragu dalam melangkahkan kakinya untuk menuju ridha Allah