1. 1
UNIVERSITY RESIDENCE - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KARASIBAZHU
(Kajian Rabu Siang Ba’da Zhuhur)
Rezeki, Dicari atau Dijemput?
Banyak orang menyangka bahwa rezeki itu merupakan sesuatu
yang harus dicari, padahal rezeki adalah sesuatu yang sudah ditetapkan
Allah SWT. Rezeki pasti akan datang baik dicari atau tidak. Lantas, orang
akan bertanya mengapa manusia sibuk mencari rezeki, kalau ‘dia’ (rezeki
itu) sudah pasti akan datang? Jawabnya, karena mencari rezeki itu
merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Melakukannya, berarti
menjalankan sebuah ibadah, yang berarti mendapatkan pahala di
dalamnya.
Allah berfirman,
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” (QS al-Jumu’ah/62: 10)
Selanjutnya, Allah menegaskan bahwa ‘kita’ tidak perlu
khawatir akan tidak tidak mendapatkan rezeki dari Allah, karena Allah
sudah menyediakannya sesuai dengan kebutuhan kita,
ۚ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfûzh).” (QS Hûd/11: 6)
2. 2
Tetapi, Allah mengingatkan “jangan sampai kita mencarinya
dengan cara yang tidak benar, sebagaimana firmanNya,
ۚۚ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS an-Nisâ’/4: 29)
Rasulullah saw pun juga bersabda untuk mengingatkan diri kita,
:
.
“Tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat
perkara (yaitu): (1) Tentang umurnya, untuk apa ia habiskan?; (2) Tentang
ilmunya, untuk apa ia amalkan?; (3)Tentang hartanya, dari mana ia dapatkan
dan kemana ia belanjakan?; dan (4) Tentang badannya, untuk apa ia gunakan?
(HR Ad-Darimi dari Abu Barzah al-Aslami)
Ada sebuah cerita yang dikisahkan oleh guru saya. Di seputar
rumah saya – kata guru saya -- ada seekor ular hijau yang bertubuh kecil,
tetapi sangat berbisa. Ular ini hidup di pohon kayu dan terkenal sangat
pemalas, lamban, dan jarang bergerak. Dia bukan pemakan daun, tetapi
pemakan ulat dan hewan kecil lainnya. Lantas, bagaimana ular yang
sangat lamban dan jarang bergerak ini mendapatkan makanannya?
Orang mungkin akan berpikir bahwa ular ini akan segera mati
kelaparan karena kelemahannya itu. Ternyata, tidak demikian. Ular ini
setiap hari mendapatkan jatah makanannya dari beberapa ekor burung
3. 3
kecil. Burung itu sering disebut ‘Burung Prenjak’. Setiap hari burung itu
membawakan ulat dan menyuapkan nya langsung ke mulut sang ular.
Ular hijau itu akan membukakan mulutnya untuk menerima
makanannya dari sang burung berulang-ulang sampai kenyang. Sekali
pun ular itu tidak pernah memakan sang burung untuk mengenyangkan
perutnya. Padahal, jika ular itu mau, dengan sekali tangkap binasalah
sang burung itu. Dan, ular itu pun akan kenyang dengan serta-merta
tanpa perlu berulang ulang memakan ulat-ulat kecil yang memakan
waktu lama dan melelahkannya.
Dikisahkan oleh para ulama, bahwa suatu hari ada seorang
ulama yang bernama Malik bin Dinar yang tengah melakukan sebuah
perjalanan. Pada suatu saat, beliau berhenti sejenak -- dalam
perjalanannya -- di sebuah padang pasir yang sepi. Beliau mengeluarkan
perbekalannya untuk makan siang. Ketika beberapa potong daging
dendeng diletakkan di atas piring makannya, tiba-tiba seekor kucing liar
datang menghampiri dan menangkap sepotong daging. Kemudian
dengan santainya, sang kucing melenggang pergi sambil membawa
daging itu. Malik bin Dinar pun merasa heran. Tidak biasanya seekor
kucing berani mencuri makanan manusia dengan setenang itu. Kejadian
langka ini menyebabkan beliau membatalkan makannya.
Sambil membungkus kembali perbekalannya, beliau mengikuti
sang kucing. ‘Ajaib’, ternyata kucing itu sama sekali tidak memakan
daging curiannya, tetapi terus berjalan menuju setumpukan batu.
Kemudian sang kucing menjatuhkan daging itu ke dalam sebuah lubang
di tumpukan batu. Sejenak sang kucing memandang ke dalam lubang,
kemudian beranjak pergi meninggalkan lubang tersebut.
Malik bin Dinar pun segera menghampiri lubang itu untuk
mencari tahu. Apa yang dilihat beliau di dalam lubang tersebut
membuatnya tercengang. Ternyata di dalam lubang itu hidup seekor ular
berbisa yang buta. Dapat dipastikan bahwa sang ular akan mati
kelaparan tanpa bantuan si kucing.
Ternyata ‘Sang Kucing’ itu sangat peduli terhadap nasib si ular
yang kurang berdaya untuk mengais rezeki.
Kisah ini, meskipun bisa jadi merupakan kisah yang tidak benar-
benar terjadi, paling tidak bisa kita jadikan pelajaran, bahwa kita harus
yakin “rezeki” setiap makhluk sudah dijamin oleh Allah.
4. 4
Kita, sebenarnya, tak pernah diminta untuk mencari rezeki,
karena rezeki Allah sudah tersedia. Kita hanya diminta (oleh Allah)
untuk ‘menjemputnya’ dengan cara yang beragam di tempat yang sudah
disediakan oleh Allah. Sehingga, ‘kita’ tak perlu bersikap pesimis, karena
Allah telah menjamin rezeki kita masing-masing, sebagaimana yang bisa
kita simak dalam firmanNya,
ۘ
ۗ
"Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan
mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang
bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi
rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS al-
Baqarah/2: 212)
Jika demikian, mengapa kita manusia sering galau dengan
rezekinya, sehingga ada ‘yang rela’ menempuh jalan hina dan tercela
untuk mendapatkannya?
Sungguh tidak pantas, jika keyakinan manusia yang telah
‘dilantik’ Allah sebagai khalifah di bumi ini ‘kalah’ dalam berkompetisi
dengan seekor ular, kucing, burung atau makhluk Allah yang lain yang
tidak diberi kecerdasan sebaik kecerdasan yang telah diberikan oleh
Allah kepada manusia.
Saatnya kita bekerja keras, cerdas dan ikhlas untuk menjemput
rezeki Allah, di mana pun, kapan pun, dengan cara terbaik.
Man Jadda Wajada (Siapa pun yang bersungguh-sungguh, dia
akan memeroleh apa yang dia upayakan).
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
Yogyakarta, 19 Agustus 2015