Dokumen tersebut membahas dalil-dalil yang digunakan oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam menetapkan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dikafirkan. Dalil-dalil tersebut antara lain ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi yang menyebut pelaku dosa sebagai saudara dan orang mukmin meskipun telah berbuat dosa, serta kisah seorang sahabat Nabi yang minum khamar berulang kali tanpa imann
1. Dalil yang dijadikan landasan oleh Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah untuk menghukumi bahwa orang
Islam yang melakukan dosa tidak dikafirkan. Kesimpulan ini ditunjukkan oleh sejumlah dalil
dari al-Qur’an dan as-Sunnah, diantaranya :
1. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
ىَلْتَقْال يِف ُاصَصِقْال ُمُكْيَلَع َبِتُك واُنَآم َينِذَّال اَهُّيَأ اَي
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh.” [al-Baqarah/2:178]
Sebagaimana telah diketahui bahwa orang yang membunuh termasuk diantara orang yang diseru
dengan seruan iman iman.
Karena setelah itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
انَسْحِإِب ِهْيَلِإ ٌءَادَأ َو ِوفُْرعَمْالِب ٌعاَبِاتَف ٌءَْيش ِهي ِخَأ ْنِم ُهَل َيِفُع ْنَمَف
“Maka barangsiapa (yakni pembunuh orang mukmin) yang mendapat suatu pema’afan dari
saudaranya (yakni keluarga korban), hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang
baik (di dalam menuntut diyat), dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma’af dengan cara yang baik (pula).” [al-Baqarah/2:178]
Allâh Azza wa Jalla menamakannya saudara bagi keluarga korban. Ini menunjukkan bahwa
pembunuhan, meskipun dia dosa besar namun tidak menghilangkan iman.
2. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
2. َفِئاَط ْنِإ َوَّال واُلِتاَقَف ٰىَرْخُ ْاْل ىَلَع اَمُهَادْحِإ ْتَغَب ْنِإَف ۖ اَُمهَنْيَب ُواحِلْصَأَف واُلَتَتْاق َينِنِمْؤُمْال َنِم ِانَتٰىَّتَح يِْغبَت يِت
َ َّاَّلل َّنِإ ۖ واُطِسْقَأ َو ِلْدَعْالِب اَُمهَنْيَب ُواحِلْصَأَف ْتَءاَف ْنِإَف ۚ ِ َّاَّلل ِرْمَأ ٰىَلِإ َءيِفَتَينِطِسْقُمْال ُّب ُِحي٩َونُنِمْؤُمْال اَمَّنِإ﴾
ْمُكْيَوَخَأ َْنيَب ُواحِلْصَأَف ٌة َوْخِإ
“Dan jika ada dua golongan kaum mukminin berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain
maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada
perintah Allâh; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allâh), maka damaikanlah
antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang
yang berlaku adil.”
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu.” [Al-Hujurat/49: 9-10]
Allâh Azza wa Jalla tetap menamakan mereka orang-orang mukmin dan bersaudara. Ini
menunjukkan bahwa pembunuhan yang mereka lakukan tidak menyebabkan imannya hilang,
padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman :
ُهَنَعَلَو ِهْيَلَع ُ َّاَّلل َب ِضَغَو اَهيِف اًدِلاَخ ُمَّنَهَجُهُؤا َزَجَف اًدِمَعَتُم اًنِمْؤُم ْلُتْقَي ْنَم َو
“Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah
Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allâh murka kepadanya, dan mengutukinya.” [an-
Nisâ’/4:93]
Allâh Azza wa Jalla mengancamnya dengan Jahannam, kemurkaan dan laknat, namun Allâh
Azza wa Jalla tidak menghilangkan iman (status mukmin) darinya. Ini menunjukkan bahwa dosa
besar yang dilakukan oleh seorang muslim tidak menyebabkan imannya hilang.
3. Dan perbuatan dosa ini bukan alasan untuk melegalkan vonis “keluar dari Islam” untuk para
pelaku dosa.
3. Diantara dalil yang dijadikan landasan juga adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan lainnya, ketika ada salah shahabat yang dijuluki
Himar dibawa kehadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena minum khamr, maka
beliau menderanya. Lalu dia minum khamr kedua kali, dia dibawa lagi kehadapan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau menderanya. Kemudian ketika dia dihadapkan
ketiga kalinya, seorang laki-laki berkata, “Semoga Allâh melaknatnya, alangkah seringnya
dia dihadapkan!” (Mendengar ini), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu
jangan mengatakan demikian, karena sesunggunya dia mencintai Allâh dan Rasul-Nya.”
(Lafazh hadits yang dibawakan oleh syaikh adalah sebagai berikut ):
ِْنب َرَمُع َْنعِىِبَّنال ِْدهَع ىَلَع ًالُج َر َّنَأ ِباَّطَخْال–وسلم عليه هللا صلى–ُبَّقَلُي ََانك َو ، ِ َّاَّلل َدْبَع ُهُمْسا ََانك
ِ َّاَّلل َلُوس َر ُك ِحْضُي ََانك َو ، ا ًارَم ِح–وسلم عليه هللا صلى–ُّىِبَّنال ََانك َو ،–وسلم عليه هللا صلى–ُهَدَلَج ْدَق
َّشال ىِفُي اَم َرَثْكَأ اَم ُهْنَعْال َّمُهَّالل ِم ْوَقْال َنِم ٌلُج َر َلاَقَف ، َدِلُجَف ِهِب َرَمَأَف اًم ْوَي ِهِب َىِتُأَف ، ِبا َرُّىِبَّنال َلاَقَف . ِهِب ىَتْؤ
–وسلم عليه هللا صلى–«ُس َرَو َ َّاَّلل ُّب ُِحي ُهَّنَأ ُتْمِلَع اَم ِ َّاَّلل َوَف ، ُهوُنَعْلَت َالُهَلو»
Dari Umar bin Al-Khaththab, bahwa ada seorang laki-laki di zaman Nabi namannya Abdullah,
dia diberi julukan Himar. Dia biasa menjadikan Rasulullah tertawa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menderanya karena minum (khomr). Suatu hari dia didatangkan, maka beliau
memerintahkan terhadapnya, lalu dia didera. Maka seorang laki-laki dari para sahabat berkata,
“Semoga Allâh melaknatnya, alangkah seringnya dia dia didatangkan.
4. Maka Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu jangan mengatakan demikian,
demi Allâh, yang aku ketahui dia mencintai Allâh dan RasulNya”. [HR. Bukhari, no.6780]
Ini menunjukkan bahwa rasa cinta kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n (yang
dimiliki seseorang) menyebabkan dia tidak boleh dilaknat meski dia melakukan perbuatan dosa
besar. Ini berarti menjatuhkan vonis kafir atau keluar dari Islam lebih terlarang lagi.
4. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
َونُقْلُت َءاَيِلْوَأ ْمُك َّوُدَعَو يِوُدَعواُذ ِخَّتَت َال واُنَآم َينِذَّال اَهُّيَأ اَيِةَّد َوَمْالِب ْمِْهيَلِإ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu
menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad),
karena rasa kasih sayang.” [al-Mumtahanah/60:1]
Allâh Azza wa Jalla memanggil mereka dengan panggilan iman meski mereka melakukan dosa
yaitu menyampaikan (berita-berita Muhammad) kepada musuh Allâh dan musuh Rasul-Nya
dengan dasar cinta.
Ini menunjukkan bahwa memberikan kasih sayang (kepada orang-orang kafir) karena urusan
dunia tidak menyebabkan seseorang keluar dari iman, bahkan terkumpul padanya firman Allâh
di akhir ayat tersebut: ِليِبَّسال َءا َوَس َّلَض ْدَقَف ْمُكْنِم ُهْلَعْفَي ْنَمَو Barangsiapa di antara kamu yang
melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. [al-
Mumtahanah/60:1]
5. Dalam kisah Hâthib bin Abi Balta’ah yang menyampaikan berita Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada orang-orang kafir secara rahasia, menunjukkan adanya perbuatan
5. dosa yang dilakukan Hathib dan adanya ampunan untuknya karena dia termasuk sahabat
yang ikut perang Badar.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Hathib Radhiyallahu anhu :
ْدَقَف ، ْمُتْئِش اَم واُلَمْعا َلاَقَف رْدَب ِلْهَأ ىَلَع َعَلَّاط ِدَق َونُكَي ْنَأ َ َّاَّلل َّلَعَلْمُكَل ُتْرَفَغ
Mudah-mudahan Allâh telah memperhatikan Ahli Badr (para sahabat yang ikut perang Badar)
lalu berkata, “Lakukan semaumu, sesungguhnya Aku telah mengampuni kamu”. [HR. Bukhari,
no. 3007]
Dalam riwayat lain (yakni riwayat imam Ahmad, dengan lafazh) :
ْمُكَل ُتْرَفَغ ْدَقَف ْمُتْئِش اَم واُلَمْعا َلاَقَف رْدَب ِلْهَأ ىَلَع َعَلَّاط َّلَج َو ََّزع َ َّاَّلل َّنِإ
Sesungguhnya Allâh telah memperhatikan Ahli Badr (para sahabat yang ikut perang Badar) lalu
berkata, “Lakukan semaumu, sesungguhnya Aku telah mengampuni kamu”. [HR. Ahmad] Dalil-
dalil tentang prinsip ini banyak dibawakan oleh Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.
6. Diantara dasar yang mendasari kaidah ini dari sisi akal adalah dosa-dosa besar, seperti:
mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, menuduh berzina, dan lain sebagainya telah
ditetap adanya had atau hudûd. Dan hudûd itu adalah pembersih dosa-dosa, sementara
(hukuman) orang murtad itu dibunuh, bagaimanapun keadaannya. Jadi keberadaan hudûd ini
membuktikan bahwa dia telah melakukan sesuatu yang tidak menyebabkannya keluar dari
agama Islam. karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ُهوُلُتْقاَف ُهَنيِد َلَّدَب ْنَم
Barangsiapa merubah agamanya,maka bunuhlah dia [HR. Bukhâri, no. 6022, Abu Dâwud,
no. 4351, Nasâi, no. 4059, Ibnu Mâjah, no 2535]