Tulisan ini membahas peran dan tanggung jawab ulama dalam masyarakat. Ulama diharapkan tidak hanya berkutat dengan pengkajian akademik tetapi hadir untuk membimbing umat. Mereka harus mampu memberikan solusi kreatif untuk persoalan umat, memimpin umat menjadi yang terbaik, dan berjuang untuk kebenaran dengan bijak mencerdaskan. Ulama juga diharapkan berani memimpin dalam aktivitas keagamaan dan sosial serta
Pemikiran Tokoh Teologi (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho)Islamic Studies
Pemikiran Muhammad Abduh yang disebarluaskan oleh Muhammad Rasyid Ridha melalui tulisannya di majalah “al Manar“ menjadi rujukan para tokoh pembaru dalam dunia Islam
Pemikiran Tokoh Teologi (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho)Islamic Studies
Pemikiran Muhammad Abduh yang disebarluaskan oleh Muhammad Rasyid Ridha melalui tulisannya di majalah “al Manar“ menjadi rujukan para tokoh pembaru dalam dunia Islam
Mengedepankan wacana tentang Edmund Husserl tidak boleh tidak harus menyentuh core ideanya tentang filsafat, yaitu “Fenomenologi”, sebab dialah yang – paling tidak hingga saat ini – dianggap sebagai pendiri aliran pemikiran ini. Bertens, dalam salah satu tulisannya, menyatakan bahwa selaku pendiri aliran fenomenologi, Husserl telah mempengaruhi filsafat abad kita ini secara amat mendalam.[1] Sebegitu mendalamnya pengaruh pemikiran Edmund Husserl terhadap pemikiran filsafat abad ini, Delfgaauw, seorang filosof Belanda, bahkan dengan tegas menyatakan bahwa filsafat jaman kita (ini) dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).[2]
Bahagia dalam kehidupan dunia adalah dambaan setiap insan. Jika dia orang yang beriman, maka dia juga berharap bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Namun, tidak semua orang yang berkeinginan baik bisa meraih impiannya. Salah satu dari sekian banyak orang yang bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat adalah al-Mukhbitûn. Siapakah mereka? Apakah kriteria-kriteria mereka?
Ibrahim ibn Adham, ketika menjawab pertanyaan penduduk Basrah, “kenapa doa-doa kami tak pernah dikabulkan oleh Allah?” Beliau menyatakan bahwa ada sepuluh persoalan yang menjadi penyebab tidak terkabulnya serangkain doa, salah satu di antaranya yang terpenting adalah: “banyak memakan nikmat Tuhanmu, akan tetapi tidak mensyukurinya”.
TAWAKKAL adalah sebuah sikap yang – seharusnya – dipilih oleh setiap muslim, di mana pun, kapan pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun. Tetapi, ternyata untuk memilihnya tidak semudah yang kita katakan. Selalu saja ada kendala yang menjadikan diri kita tak mampu bersikap tawakkal. Bahkan, karena kesalahfahaman kita terhadap makna tawakkal, bukan tidak mungkin ‘kita’ akan terjebak pada sikap yang salah.
Pada bulan Muharram ada satu hari yang dikenal dengan sebutan hari ‘Asyura. Orang-orang jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan hari ini. Hal tersebut karena pada hari ini Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ menyelamatkan Nabi Musa ’alaihis salâm dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Bersyukur atas karunia Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ kepadanya, Nabi Musa ’alaihis salâm akhirnya berpuasa pada hari ini. Tatkala sampai berita ini kepada Nabi kita (Muhammad) shallallâhu ‘alaihi wa sallam, melalui orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah beliau bersabda, فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ (Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian [kaum Yahudi]).
Pesan moral dari kisah ashhabul kahfi.pdf (muhsin hariyanto)Muhsin Hariyanto
Kisah-kisah dalam al-Quran, dalam pandangan para mufassir, selalu mengisyaratkan ‘ibrah yang sarat makna. Setiap pembaca kisah ini, bahkan mungkin akan menangkap isyarat yang berbeda-beda, karena kemampuan mereka yang tidak sama, atau karena mereka memiliki sudut-pandang yang berbeda terhadap kisah-kisah itu. Tak terkecuali terhadap kisah Ash-hâbul Kahfi. Kisah ini, menurut para mufassir sangat sarat dengan pesan moral. Dan siapa pun yang bisa membaca isyarat pesan moral di dalamnya akan mampu bercerita kembali dengan berbagai perspektif.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Menimbang kembali peran dan tanggung jawab ulama
1. 1
Menimbang Kembali Peran dan Tanggung Jawab Ulama
Oleh: Muhsin Hariyanto
BERAT. Itulah yang seringkali saya dengar dari ucapan guru saya ketika
menasihati diri saya ketika itu. Di saat seseorang sudah diperankan atau
memerankan diri sebagai seorang elit intelektual muslim, yang oleh masyarakat
disebut sebagai ulama.
Dalam khazanah muslim kata ulama dikenal bersamaan dengan
munculnya ajaran Islam itu sendiri. Meskipun sebutan iu bisa dikoreksi, karena
kata ‘Ulamâ’ – dalam bahasa Arab – adalah bentuk jama’ dari mufradnya, Ālim.
Tetapi, sebutan itu sudah dikenal luas untuk menyatakan bahwa sesorang atau
sekelompok yang menyandang predikat itu adalah orang yang dianggap telah
memahami ilmu agama secara mendalam, dan bahkan dituntut menjadi panutan
dalam pengamalannya. Karena, misalnya, al-Qur’an sendiri telah mengenalkan
istilah ini sebagai sebutan bagi orang yang yang memiliki kedekatan dengan
Allah, baik dari sisi intelektualitas maupun spiritualitasnya. Misalnya – sebagai
sebuah contoh -- yang disebut di dalam QS Fâthir/35: 28, “… sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama ...”
Dinyatakan oleh para pakar tafsir bahwa yang dimaksud dengan kata ulama di
dalam ayat ini, ialah: “orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan
Allah.”
Sementara itu, ketika kita rujuk di dalam hadits Nabi Muhammad saw,
ulama dinyatakan – antara lain -- sebagai waratsatul anbiyâ’. Sebagaima
pernyataan Rasulullah saw yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah dari Abu Darda’, “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para
Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi
mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil
bagian yang sangat besar.” (HR Ibnu Majah dari Abu Darda’, Sunan ibn Mâjah,
juz I, hal. 150, hadits no. 223)
Dari kedua sumber itu, kita bisa memahaminya bahwa ulama bukanlah
sekadar orang-orang yang ‘cerdas’, yang boleh berpangku tangan di atas menara
gading, tetapi juga ‘mencerdaskan, dalam pengertian harus memiliki kemauan
dan kesediaan untuk menularkan kecerdasannya kepada orang lain, baik dalam
pengertian intelektual maupun spiritual. Atau, dengan perkataan lain, yang
disebut ulama adalah: “orang yang di samping berilmu dan berakhlak mulia,
juga memiliki peran dan tanggung jawab sosial yang harus dijalani sebagai
‘pencerah’ bagi umat manusia yang menjadi bagian dari tanggung jawabnya.”
Karakter intelektualitas dan spiritulitas ulama, dalam al-Qur’an disebut
dengan predikat: ‘sosok rabbani’ (QS Āli ‘Imrân/ 3: 79), yang oleh Ath-Thabari
dinyatakan – antara lain -- sebagai “orang yang berilmu dan berakhlak mulia,
serta memiliki kearifan dengan ilmu dan akhlaknya untuk menjadi orang yang
2. 2
memberi manfaat, bukan saja bagi dirinya, tetapi – juga – bagi orang lain .”
Kapasitas intelektual dan spiritual inilah, yang menjadikan dirinya berpotensi
untuk memberikan kontribusi dalam memajukan masyarakat, ditunjang oleh
sikap bijaknya yang terimplementasi karena kesadaran ilahiahnya yang sudah
menjadi bagian dari karakternya.
Dalam kajian saya di dalam sebuah diskusi terbatas, kami fahami bahwa
ulama bukanlah sosok intelektual yang sekadar mau dan mampu berkutat dengan
pengkajian dan aktivitas akademis belaka. Ulama yang didambakan oleh umat
saat ini dan juga di masa depan adalah sosok pribadi yang berkesediaan untuk
hadir di tengah masyarakat -- dengan sepenuh hati – untuk mengulurkan
tangannya kepada masyarakat. Mereka adalah kumpulan sosok pribadi yang
selalu bersedia untuk menuntun umat manusia menuju kemashlahatan. Sama
sekali bukan kaum elit-intelektual yang – saat ini ditengarai – tengah berbulan
madu dengan para penguasa, dan menyediakan diri untuk menjadi alat
kekuasaan, yang tiba-tiba – secara mengejutkan -- muncul dengan suara lantang
ketika kepentingan patronnya menghendakinya. Atau mereka yang – dengan
sangat antusias -- bersedia untuk menjadi ‘corong’ bagi kepentingan kelompok
tertentu, yang dalam banyak hal justeru menjadi beban masyarakat. Ulama yang
kini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat adalah mereka yang
berkemampuan untuk menjadi unsur perekat bagi seluruh komponen umat.
Ulama, adalah mereka yang keberpihakannya jelas tertuju kepada kepentingan
seluruh umat, dan berjuang hanya dalam rangka mencari ridha Allah semata-
mata.
Untuk memenuhi kepentingan itu, mereka yang disebut sebagai ulama –
saat ini, dan di masa yang akan datang – mereka harus memiliki kemauan dan
kemampuan prima untuk (1) memainkan peran sebagai pemberi solusi atas
persoalan-persoalan umat dengan kecerdasan intelektual dan spiritualnya; (2)
bisa menawarkan solusi kreatif dan inovatif terhadap sejumlah persoalan umat;
(3) bersikap pro-aktif untuk menjadi yang pertama dan utama untuk memimpin
umat agar menjadi khairu ummah, umat yang terbaik, dengan semangat sebagai
seorang ‘mujâhid dan mujaddid’, yang selalu berjuang untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan dengan cerdas dan mencerdaskan.
Dan, akhirnya harus dinyatakan, bahwa seberat apa pun peran dan
tanggung jawab yang diemban, mereka – yang disebut ulama - harus berani
tampil (berada) di garda terdepan untuk bersedia memulai dan memberikan
teladan untuk melakukan aktivitas ‘kesalehan individual dan sosial’ yang
berkelanjutan, dengan sikap istiqamahnya, di mana pun dan kapan pun mereka
berada.
Ibda’ bi nafsik!
(Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta)