Be & gg, muh agus priyetno, prof dr ir hapzi, governance rating, universitas mercubuana, 2017
1. Nama Mahasiswa : Muh. Agus Priyetno
NIM : 55117110052
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. H. Hapzi Ali, Pre-MSc, MM, CM
GOVERNANCE RATING
Tata laksana pemerintahan yang baik (good governance) adalah seperangkat
proses yang diberlakukan dalam organisasi baik swasta maupun negeri untuk
menentukan keputusan. Tata laksana pemerintahan yang baik ini walaupun tidak
dapat menjamin sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi sempurna - namun,
apabila dipatuhi jelas dapat mengurangi penyalah-gunaan kekuasaan dan korupsi.
Banyak badan-badan donor internasional, seperti IMF dan Bank Dunia,
mensyaratkan diberlakukannya unsur-unsur tata laksana pemerintahan yang baik
sebagai dasar bantuan dan pinjaman yang akan mereka berikan.
Karakteristik dasar tata laksana pemerintahan yang baik
Tata laksana pemerintahan yang baik ini dapat dipahami dengan memberlakukan
delapan karakteristik dasarnya yaitu:
1. Partisipasi aktif
2. Tegaknya hukum
3. Transparansi
4. Responsif
5. Berorientasi akan musyawarah untuk mendapatkan mufakat
6. Keadilan dan perlakuan yang sama untuk semua orang.
7. Efektif dan ekonomis
8. Dapat dipertanggungjawabkan
Berlakunya karakteristik-karakteristik di atas biasanya menjadi jaminan untuk:
1. Meminimimalkan terjadinya korupsi
2. Pandangan minoritas terwakili dan dipertimbangkan
3. Pandangan dan pendapat kaum yang paling lemah didengarkan dalam
pengambilan keputusan.
Pelaksanaan prinsip GCG didasarkan pada Peraturan Menteri BUMN No. Per-
01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011 tentang Penerapan Praktik Good Corporate
Governance (GCG) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyebutkan
ketentuan serta pedoman pelaksanaan GCG di Perusahaan. Penjabaran landasan
pelaksanaan GCG tersebut juga diperjelas dalam Anggaran Dasar Perusahaan,
pedoman–pedoman dan berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Panduan Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan
Penilaian GCG Bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Penilaian Good Corporate Governance (GCG) bagi BUMN mengacu pada dua
ketentuan dibawah ini yakni:
2. 1. Surat Keputusan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (SK
Sekmen BUMN) No.SK-16/S.MBU/2012 tentang Indikator/Parameter
Penilaian dan Evaluasi Atas Penerapan GCG pada BUMN dan
2. Peraturan Menteri (Permen) BUMN No.PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan
GCG pada BUMN
Parameter Penilaian
Penilaian GCG bagi BUMN berdasarkan Self Assessment (menilai diri sendiri)
dengan menggunakan checklist penilaian, dimana terdapat 6 (enam) parameter
penilaian GCG berikut bobot penilaian sebagai berikut:
1. Komitmen terhadap penerapan tata kelola perusahaan yang baik (GCG) secara
berkelanjutan (bobot 7%)
2. Pemegang saham (shareholders) dan RUPS/Capital Owner (bobot 9%)
3. Dewan Komisaris/Dewan Pengawas (bobot 35%)
4. Direksi (bobot 35%)
5. Pengungkapan informasi (disclosure) dan transparansi ((bobot 9%), serta
6. Aspek lainnya (bobot 5%)
Penilai
Penilaian GCG dilaksanakan secara berkala setiap dua tahun sekali, yang mana
sebelumnya wajib dilaksanakan sosialisasi GCG pada BUMN yang bersangkutan.
Pelaksanaan penilaian dilakukan oleh independent assesor yang ditunjuk oleh
Dewan Komisaris/Dewan Pengawas melalui proses sesuai dengan ketentuan
pengadaan barang dan jasa masing-masing BUMN dan apabila diperlukan dapat
meminta bantuan Direksi untuk proses penunjukkannya
Landasan peraturan parameter penilaian dan evaluasi manajemen risiko
BUMN
1. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor PER-
01/MBU/2011 (PER-01/2011)
2. Keputusan Sekretaris KBUMN Nomor SK-16/S.MBU/2012 (SK-16/2012)
Sebagai bentuk pelaksanaan ketentuan Peraturan Menteri Negara Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor PER-01/MBU/2011 (PER-01/2011)
berisi tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate
Governace) pada BUMN, Kementerian Negara (KBUMN) telah
mengeluarkan Keputusan Sekretaris KBUMN Nomor SK-16/S.MBU/2012
(SK-16/2012) membahas tentang Indikator/Parameter Penilaian dan Evaluasi
atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate
Governance) pada BUMN pada tanggal 6 Juni 2012. Surat keputusan (SK-
16/2012) ini memuat 153 poin parameter GCG yang dikelompokkan ke
dalam 43 indikator dan 6 aspek.
3. Keenam aspek tersebut terdiri atas:
1. Komitmen terhadap penerapan tata kelola secara berkelanjutan,
2. Pemegang saham dan RUPS/pemilik modal,
3. Dewan Komisaris/dewan pengawas,
4. Direksi,
5. Pengungkapan informasi dan transparansi, serta
6. Aspek lainnya.
Setiap parameter penilaian pada SK-16/2012 memiliki faktor-faktor yang
diuji kesesuaiannya yang menjadi alat ukur untuk menilai kualitas inisiatif
BUMN dalam menerapkan prinsip-prinsip GCG di BUMN tersebut.
Dua parameter penilaian utama yang terkait dengan manajemen risiko pada
SK-16/2012, yaitu:
Satu parameter (parameter nomor 52) termasuk di dalam aspek ke-3 yang
ditujukan kepada Dewan Komisaris (Dekom) / Dewan Pengawas
Satu parameter lainnya (parameter nomor 106) termasuk di dalam aspek ke-
4 yang ditujukan kepada Direksi.
Selain itu, SK-16 juga memuat beberapa faktor lain yang terkait dengan
manajemen risiko.
Setelah parameter penilaian dan evaluasi manajemen risiko BUMN ini,
tulisan berikutnya saya akan coba membahas parameter dan faktor penilaian
yang terkait dengan manajemen risiko tersebut serta cara dan kiat praktis
yang dapat dilakukan untuk memenuhinya. Juga akan membahas lebih
lanjut peran dari Dewan Komisaris (Dekom) sesuai dengan landasan
peraturan yang ada untuk menilai dan mengevaluasi manajemen risiko pada
Badan Usaha Milik Negara
Good Corporate Governance (GCG) Assessment
Selain itu upaya untuk menilai pelaksanaan GCG jamak disebut
GCG Assessment. Penilaian ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan,
yakni Self Assessment dan Third-Party/External Assessment.
Self Assesment
Self Assessment merupakan penilaian akan implementasi GCG yang dilakukan
oleh internal perusahaan atau penilaian secara mandiri, penilaian ini bagi akan
berbeda-beda bagi entitas perusahaan yakni apakah perusahaan tersebut
merupakan perbankan atau non bank, maupun BUMN atau non BUMN.
Self Assessment GCG bagi industri perbankan berpedoman pada ketentuan
BI/OJK yakni sbb:
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/14/PBI/2006 tentang pelaksanaan GCG
bagi Bank Umum
4. 2. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No.15/15/DPNP tentang pelaksanaan
GCG bagi Bank Umum
Laporan Self Assessment GCG berdasarkan ketentuan OJK wajib disampaikan
semesteran, dengan periode pelaporan Januari s/d Juni (semester 1) dan Juli s/d
Desember (semester 2).
Self Assessment GCG bagi industri non perbankan dapat menggunakan tools
indikator GCG Kementerian BUMN, yang berpedoman pada :
1. Peraturan Menteri (Permen) BUMN No.PER-09/MBU/2012 tentang perubahan
atas peraturan menteri negara badan usaha milik negara nomor PER-
01/MBU/2011 tentang penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good
Corporate Governance) pada badan usaha milik negara
2. SK Sekretaris Kementerian BUMN No.SK-16/MBU/2012 tentang indikator
tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada badan
usaha milik negara
External /Third Party Assessment
Merupakan penilaian GCG yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga yang
melakukan penilaian umumnya adalah regulator/pengawas maupun pihak
independen yang berkompeten dalam bidang GCG pada khususnya.
Implementasi Pengukuran GCG di Indonesia
Saat ini GCG telah menjadi salah satu frasa yang banyak digunakan dalam kosa
kata bisnis global. Berbagai skandal korporasi yang menghancurkan bisnis
ditengarai karena korporasi-korporasi tersebut mengabaikan GCG dalam
pelaksanaan bisnisnya. Tidak heran, jika saat ini korporasi berlomba menerapkan
GCG untuk menghindar dari kehancuran. Oleh karena itulah, implementasi GCG
diprediksi semakin meningkat di masa datang seiring dengan kompleksitas
perusahaan dan dinamika globalisasi. Di Indonesia, GCG bukan lagi dilihat
sebagai asesoris semata tetapi diterapkan sebagai suatu sistem nilai dan best
practices yang fundamental.
Salah satu pertanyaan penting dalam pelaksanaan implementasi GCG di korporasi
Indonesia adalah mengenai mekanisme pengukurannya. Berbeda dengan ISO,
GCG belum memiliki standar ukuran yang diterima sebagai tolok ukur bersama.
GCG belum memiliki sertifikasi dan oleh karenanya, pengukuran GCG masih
berbeda-beda satu dengan yang lain. Sejauh ini GCG memiliki pengukuran
(assessment) GCG yang berbeda antara satu regulator dengan regulator lainnya.
Tidak heran jika Kementerian BUMN, Bank Indonesia memiliki kriteria
tersendiri. Belum lagi tools assessment yang dimiliki oleh konsultan, antara satu
konsultan dengan konsultan lainnya pun berbeda-beda.
Hal ini dapat dipahami, mengingat luasnya dimensi pelaksanaan GCG itu sendiri,
yang mencakup seluruh aspek di dalam perusahaan. Tidak heran, jika penekanan
aspek assessment tersebut pun pada akhirnya juga berbeda-beda. Pada
5. hakikatnya, assessment diperlukan untuk mengetahui sudah sejauh mana kualitas
penerapan GCG di perusahaan. Melalui pemotretan terhadap kondisi aktual GCG
dan pembandingan kondisi tersebut dengan kebijakan GCG yang ditetapkan akan
diperoleh secara utuh peta praktik GCG yang pada akhirnya bermanfaat dalam
penentuan dan perumusan strategi di masa mendatang. Pengujian dan penilaian
akan mencakup kekuatan praktik GCG pada perusahaan berikut kelemahan-
kelemahan yang perlu diperbaiki dan disempurnakan pada tingkat kebijakan dan
pelaksanaan GCG. Berdasarkan hasil assessment tersebut, perusahaan dapat
segera menetapkan rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan
korektif (corrective action) yang diperlukan.
Dalam berbagai kesempatan membantu implementasi GCG di berbagai korporasi,
mekanisme pengukuran inilah yang kerap dipertanyakan. Pertanyaan yang sering
timbul adalah output dari hasil assessment yang biasanya berupa angka ataupun
kriteria. Pada beberapa kasus di perusahaan, beberapa kasus ditemui,
nilai assessment GCG-nya tinggi, namun ternyata perusahaan ini tetap melakukan
praktik-praktik yang bertentangan dengan GCG. Misalnya, praktik KKN di tender
pengadaan masih kerap ditemui dan sudah menjadi rahasia umum. Lantas,
mengapa hal ini dapat terjadi? Berarti pengukuran GCG belum
menyentuh/menggambarkan kondisi riil dari perusahaan?
Kritik
Selama ini, assessment GCG dianggap belum menyentuh persoalan mendasar dari
pelaksanaan korporasi karena kebanyakan tools assessment masih
berupa checklist. Artinya, keberadaan dokumen lebih dipentingkan dibandingkan
dengan implementasi dari dokumen tersebut. Contoh:
pertanyaan assessmentmenanyakan apakah perusahaan telah memiliki Code of
Conduct (Pedoman Perilaku)? Kalau hanya keberadaan dokumen Code of
Conduct saja, membuat hal itu sangatlah mudah. Namun, apakah Code of Conduct
tersebut dijalankan, ditegakkan dan dievaluasi, itu belum ditanyakan. Artinya,
kalau dokumen ada namun praktik tidak berjalan, semestinya tidak begitu saja
mendapat poin.
Kelemahan berikutnya, assessor (pihak yang melakukan assessment) GCG kurang
mendalami/memahami proses bisnis perusahaan. Hal ini dikarenakan keterbatasan
waktu pelaksanaan assessment, sehingga assessor belum memahami secara utuh
kondisi riil perusahaan. Hal ini biasanya berlaku untuk pihak assessorindependen
yang berasal dari eksternal perusahaan. Namun, hal ini juga berlaku sebaliknya,
dimana assessor GCG dari pihak internal sangat memahami proses bisnis, namun
tidak memahami secara utuh kerangka GCG itu sendiri. Akhirnya, praktik-praktik
yang jika dianalisa secara mendalam sebenarnya bertentangan dengan GCG, pada
akhirnya diloloskan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana hasil assessment dapat
dijadikan jaminan bagi para stakeholders dalam melakukan penilaian terhadap
perusahaan. Jangan sampai stakeholders skeptis dan merasa assessment hanya
menjadi alat publisitas bagi kepentingan citra perusahaan. Bagi perusahaan yang
telah baik nilai assessment GCG-nya, perlu membuktikan dalam praktik bahwa
memang itulah kondisi riil yang terjadi di perusahaan. Hal lainnya, sudah saatnya
Indonesia memiliki satu ukuran kriteria GCG yang berlaku bagi semua jenis
6. perusahaan, sehingga mekanisme penilaian dalam assessment dapat diterima oleh
semua pihak. Komite Kebijakan Nasional Governance (KNKG) dapat menjadi
pelopor untuk mempersatukan dan mengeluarkan tools assessment yang
komprehensif dan diterima semua pihak. Memang bukan pekerjaan mudah,
namun bukan hal yang mustahil.
Saran
Untuk memperoleh hasil terbaik, korporasi harus meredefinisikan kembali
makna assessment. Langkah pertama adalah dengan membangun kesadaran akan
pentingnya pelaksanaan assessment ini. Keterbukaan dari pihak internal
perusahaan dalam mengungkapkan permasalahan GCG yang terjadi harus
dilakukan. Hal ini dikarenakan, ketika pihak perusahaan menutup-nutupi
permasalahan, ini dapat menjadi “bom waktu” di masa mendatang. Ketika suatu
saat terungkap, efeknya akan membahayakan perusahaan. Perlu
dipahami, assessment GCG ini jangan hanya menjadi formalitas, namun
sesungguhnya ini adalah salah satu bagian penting dari pelaksanaan GCG itu
sendiri. Terkait dengan hal tersebut, komitmen Dewan Komisaris dan Direksi
perlu dibangun agar menyediakan waktu dan jika perlu turut terjun langsung
membantu pihak assessor GCG dalam memperoleh data dan informasi yang
diperlukan.
Langkah selanjutnya, perusahaan melakukan perbaikan parameter, indikator dan
kriteria yang terdapat dalam tools assessment. Perusahaan dapat mengembangkan
sendiri tools assessment GCG agar dapat memperoleh manfaat maksimal. Jika
dirasakan tools assessment dari regulator dianggap kurang memotret secara
keseluruhan praktik GCG, maka sebaiknya ditambahkan sendiri oleh perusahaan.
Hal ini untuk memastikan dimensi seluruh praktik yang dilakukan perusahan
dapat terpotret secara maksimal dan tidak memotret secara parsial. Pastikan
bahwa assessment GCG bukan hanya checklist, namun mengukur secara lengkap
praktik yang dilakukan. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan terkait
dengan stakeholdersperlu dipertajam. Metode pelaksanaan assessment GCG pun
perlu dilihat mana yang cocok dengan perusahaan. Intinya, assessment ini benar-
benar mengukur seluruh praktik yang melibatkan GCG di dalam pengelolaan
perusahaan.
Langkah berikutnya adalah dengan mengimplementasikan rekomendasi perbaikan
hasil assessment dengan penuh kesungguhan. Hal ini sangat penting, karena tanpa
pelaksanaan hasil rekomendasi ini, pelaksanaan assessment akan sia-sia belaka.
Ada rekomendasi yang memerlukan waktu jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang. Perusahaan dapat memfokuskan pada perbaikan rekomendasi
jangka pendek dan jangka menengah yang relatif dapat ditangani dengan baik.
Pada akhirnya, diharapkan assessment GCG benar-benar dapat dilaksanakan
secara maksimal oleh perusahaan. Semoga.