SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
i
MAKALAH
Qaidah Fiqhiyah
Dosen Pembimbing : ABDUL HAMID ALY, S.PD., M.PD
Disusun oleh kelompok 2 :
1. Fahmi Ibrahim Adjie : 21601081415
2. Avid Styagung : 21801081078
3. Lia Tiana : 21801081013
4. Lailul Aminah : 21801081019
5. Suriyanto : 21801081508
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2019
ii
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Makalah
ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Agama Islam III. Dalam makalah ini
kami akan membahas mengenai‘’Qaidah Fiqhiyah’’. Dalam kesempatan ini kami ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini. Terutama kepada bapak Abdul Hamid Aly, S.PD., M.PD selaku
dosen pengajar Agama Islam III. Kami sebagai penyusun berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami sendiri maupun pembaca lainnya.
Apabila terdapat kesalahan yang tidak kami sadari dalam penulisan makalah ini, maka
dari itu kami mohon saran dan kritik untuk makalah ini supaya menjadi lebih baik. Dengan
segala kerendahan hati kami selaku penyusun mengucapkan terimakasih.
Malang, 27 September 2019
Penyusun
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................................................. iv
BAB 1 ............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................ 2
1.3 Tujuan Pembahasan.......................................................................................................... 2
BAB 2 ............................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 3
2.1 Definisi dan Kedudukan Qaidah Fiqhiyah............................................................................ 3
2.2 Al – Umur bi Maqasidiha...................................................................................................... 4
2.3 Al – Yaqin La Yuzalu bi al – Syak ....................................................................................... 6
2.4 Al – Masyaqqah Tajlib al – Tasyir........................................................................................ 9
2.5 Al – Dhoruratu Tuzalu ........................................................................................................ 10
2.6 Al – Adah............................................................................................................................ 12
BAB 3 .................................................................................................Error! Bookmark not defined.
PENUTUP..........................................................................................Error! Bookmark not defined.
3.1 Kesimpulan..............................................................................Error! Bookmark not defined.
3.2 Saran.........................................................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................. 15
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu aspek terpenting dalam islam
disamping beberapa aspek terpenting lainnya. Dengan adanya hukum, manusia dapat
menjalankan beragam aktivitasnya dengan tenang tanpa was-was. Dan dengan hukum pula
manusia dapat mengetahui manakah pekerjaan yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan. Fiqih
sebagai acuan hukum tentu mendapat penjelasan tentang apa dan bagaimana fiqih bisa menjadi
sebuah ketetapan hukum ?.
Fiqih merupakan ilmu kefahaman. Seseorang dapat menentukan hukum tentang sesuatu jika
ia memahami dalil yang sesuai. Namun demikian, dalam penentuan hukum terdapat aturan-
aturan pokok yang sering dikenal qowaid. Adapun ilmu yang mempelajari tentang qowaid
disebut dengan ushul fiqih. Seperti kita ketahui bersama, banyak hukum-hukum yang sudah
dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’an maupun al-Hadist. Akan tetapi para ulama banyak yang
memperjelas supaya memudahkan para fuqoha’ yang lain dalam mengistibathkan suatu hukum.
Hukum islam sering menjadi pokok suatu permasalahan yang tidak ada akhirnya, karena itu
para ulama’ selalu berijtihad untuk menentukan hukum tersebut dengan dalil-dalil tentang suatu
hukum yang telah disepakati bersama. Ilmu fiqih merupakan hasil pemahaman dan interpretasi
mujtahid terhadap peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
Untuk itu qoidah-qoidah yang ada dalam ushul fiqih membantu seseorang untuk lebih mudah
memahami serta menentukan hukum yang belum jelas dengan disertai beberapa dalil yang
mendukung.
Maka dalam penyusunan makalah ini, kami akan menjelaskan tentang definisi dan
kedudukan Qaidah Fiqhiyah, makna dan beberapa contoh Qoidah Fiqhiyah serta penerapannya
dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.
2
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa definisi Qaidah Fiqhiyah ?
b. Bagaimana kedudukan Qaidah Fiqhiyah ?
c. Apa makna dan contoh Qaidah Fiqhiyah ?
d. Seperti apa penerapannya dalam menyelesaikan sebuah masalah Fiqhiyah ?
1.3 Tujuan Pembahasan
a. Untuk mengetahui tentang definisi Qaidah Fiqhiyah
b. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Qaidah Fiqhiyah
c. Untuk mengetahui makna dan contoh Qaidah Fiqhiyah
d. Untuk mengetahui bagaimana cara penerapannya dan menyelesaikan sebuah masalah
Fiqhiyah
3
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni Qa’idah dan Fiqhiyyah. Qa’idah kata
mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan kata Fiqhiyah
berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum
syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang
terperinci.
Menurut, Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah :
‫كثيرة‬ ‫جزئيات‬ ‫حكم‬ ‫منها‬ ‫واحدة‬ ‫كل‬ ‫تحت‬ ‫يندرج‬ ‫التى‬ ‫الكلية‬ ‫القضايا‬
Artinya : "Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum
juz'i yang banyak".
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi :
‫والتأ‬ ‫النظر‬ ‫الى‬ ‫فيه‬ ‫ويحتاج‬ ‫واالجتهاد‬ ‫بالرأي‬ ‫مستنبط‬ ‫علم‬ ‫وهو‬ ‫التفصلية‬ ‫ادلتها‬ ‫من‬ ‫العملية‬ ‫الشريعة‬ ‫باالحكام‬ ‫العلم‬‫مل‬
Artinya : ”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-
dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan
perenungan".
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud
dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:
‫الكلى‬ ‫االمر‬‫منها‬ ‫احكامها‬ ‫تفهم‬ ‫كثيرة‬ ‫جزئيات‬ ‫على‬ ‫ينطبق‬ ‫الذى‬
’’Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya
diketahui hukum-hukum juziyat itu”. Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah :
dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi
hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam
ruang lingkup kaidah tersebut.
Adapun kedudukannya yaitu,
Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya
yangg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau
4
diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab
tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu :
1) Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg bersifat
dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati
oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :
a. Al-Umuru bi maqashidiha.
b. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.
c. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.
d. Adh-Dhararu Yuzal,
e. Al- ’Adatu Muhakkamah.
2) Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id menyeluruh yang diterima oleh madzhab-
madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu
3) Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh
pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian :
a. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
b. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
4) Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan
dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh
tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.
2.2 Al – Umur bi Maqasidiha
Kaidah al-umuru bi maqashidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al-
maqashid terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshid. Secara etimologi lafadz al-umuru
merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan.
jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru bi maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu
anggota.
Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau
tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.
Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari
fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada- yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al
5
maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma,
condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
Kaidah pertama ini (al-umuru bi maqasidiha) menegaskan bahwa semua urusan sesuai
dengan maksud pelakunya kaidah itu berbunyi:
‫بمقـاصدها‬ ‫األمور‬
Artinya : (“segala perkara tergantung kepada niatnya”).
Contoh penerapannya: Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau
menjual maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan
khamr, atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya
haram. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan
perintah dan menjauhi laranganNya. Atau dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang
lain. Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul
dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari
perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum yang
dilarang dalam syari’at Islam.
Makna Niat, Kata niat dengan tasydid pada huruf ya adalah bentuk mashdar dari kata kerja
nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di kalangan ahli bahasa. Ada pula yang membaca niat
dengan ringan, tanpa tasydid menjadi (niyah)..Sementara Ibnu Abidin menyatakan niat secara
bahasa berarti, kemantapan hati terhadap sesuatu, sedangkan menurut istilah berarti
mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan.
Niat itu diperlukan karena Untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah dengan yang
hanya bersifat adat (kebiasaan). Seperti halnya makan, minum, tidur dan lain-lain. hal itu
merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari atau tidak kita butuh
keberadaanya karena hal yang seperti itu termasuk kategori kebutuhan primer. Akan tetapi jika
dalam aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar tubuh sehingga lebih konsentrasi
dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita bisa memenuhi kebutuhan juga akan
bernilai ibadah di sisi Allah. Jika seseorang mencaburkan diri ke dalam sungai apabila tidak
berniat maka berarti ia mandi biasa, tetapi jika ia berniat untuk berwudhu maka ia dihukumkan
berwudhu. Akan tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan amalan
yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti halnya iman, dzikir dan
6
membaca al-Qur’an. Dan juga termasuk amalan yang tidak membutuhkan niat adalah
meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya. Dengan niat itu kita bisa
menciptakan beraneka ragam ibadah dengan tingkatan yang berbeda namun dengan tata cara
yang sama seperti halnya wudhu’, mandi besar, shalat dan puasa.
Sebagai syarat diterimanya perbuatan ibadah. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama,
adalah dengan adanya niat yang ikhlas. Kedua adalah perbuatan atau pekerjaan tersebut harus
sesuai dengan yang disyariatkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Ketiga, adalah
meng-istishhab-kan niat sampai akhir pekerjaan ibadah.
Niat yang ikhlas yaitu keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala
keburukan nafsu dan keduniaan.Niatnya itu hanya semata-mata perintah Allah. Hal ini dijelaskan
oleh Allah dalam beberapa ayat, antara lain pada surah al-Nisa ayat 125;
َ‫خ‬َّ‫ت‬‫ٱ‬ َ‫و‬ ۗ‫ا‬ٗ‫يف‬ِ‫ن‬َ‫ح‬ َ‫م‬‫ي‬ِ‫ه‬ ََٰ‫ر‬ۡ‫ب‬ِ‫إ‬ َ‫ة‬َّ‫ل‬ِ‫م‬ َ‫ع‬َ‫ب‬َّ‫ت‬‫ٱ‬ َ‫و‬ ٞ‫ن‬ِ‫س‬ ۡ‫ح‬ُ‫م‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ َ‫و‬ ِ َّ ِ‫ّلِل‬ ‫ۥ‬ُ‫ه‬َ‫ه‬ ۡ‫ج‬ َ‫و‬ َ‫م‬َ‫ل‬ۡ‫س‬َ‫أ‬ ۡ‫ن‬َّ‫م‬ِ‫م‬ ‫ا‬ٗ‫ين‬ِ‫د‬ ُ‫ن‬َ‫س‬ ۡ‫ح‬َ‫أ‬ ۡ‫ن‬َ‫م‬ َ‫و‬ۡ‫ب‬ِ‫إ‬ ُ َّ‫ٱّلِل‬ َ‫ذ‬ٗ‫يٗل‬ِ‫ل‬َ‫خ‬ َ‫م‬‫ي‬ِ‫ه‬ ََٰ‫ر‬١٢٥
Artinya; Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim
yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah,
mengamalkan dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah.
Adapun ibadah itu mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. karena apabila menyalahi dari
petunjuk Rasulullah SAW. maka ibadah itu tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
Artinya; “Barangsiapa yang beramal tanpa adanya perintah dari kami, maka amalan
tersebut tertolak”.
Sedangkan niat itu tetap berlanjut sampai akhirnya pelaksanaan ibadah, artinya bahwa
niat itu tidak berubah dalam pelaksanaan ibadah. jika berubah dalam pelaksanaan ibadah maka
ibadahnya menjadi batal. Tiga syarat tersebut di atas, apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka
amal itu tidak sah atau batal.
2.3 Al – Yaqin La Yuzalu bi al – Syak
Arti dari kaidah tersebut adalah keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keraguan. Kaidah ini,
kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan masalah akidah dan persoalan-persoalan dalil
7
hukum dalam syariat islam.Namun demikan, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa
hilang kecuali berdasarkan dalil argumen yang pasti (qath’i) bukan semata-mata oleh argumen
yang hanya bernilai sanksi / tidak pasti.
Hampir seluruh bab fiqh bisa masuk dalam qaidah ini, Adapun sumber kaidah ini, adalah dari
firman allah yang berbunyi:
Artinya: “ Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690].Sesungguhnya allah
maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.(QS. Yunus :36)
Dan hadis nabi Muhammad yang artinya :
“Manakala seseorang diantara kamu menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, adalah
sesuatu yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid, sampai ia
mendengar suara atau menemukan bau”. (HR. Muslim)
Dari kaidah yang merupakan garis besar ini dapat dibentuk kaidah-kaidah yang lebih khusus
yang pada dasarnya tidak menyimpang dari kaidah pokok ini. Kaidah-kaidah itu antara lain ialah
:
a. “yang jadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula”
Contoh :Seseorang mempunyai wudhu lalu ia ragu sudah batalkan atau belum, maka hukumnya
ia tetap mempunyai wudhu.
b. “yang menjadi patokan adalah yang bebas dari tanggungan”
Contoh : A mengadukan B bahwa B hutang Rp. 1.000 kepadanya, tetapi pengaduan itu tidak
disertai bukti maupun saksi, sedangkan B (yang diadukan) menyangkal dengan menyatakan
bahwa ia tidak merasa berhutang, maka menurut hukum, pengaduan A bertolak berdasarkan
kaidah ini.
c. “jika ada orang ragu, apakah menjalankan sesuatu atau belum, maka ia dianggap belum
berbuat”
Contoh : A mengadukan B bahwa B hutang Rp. 1.000 kepadanya, lalu didepan pengadilan
terjadilah dialog seperti ini.
Hakim : B! benarkah kau berhutang Rp.1.000 kepada A?”
B : “Benar, tetapi sudah saya lunasi”.
Hakim : “kau punya bukti tanda pembayaran hutang?”.
B : “Tidak”.
8
Hakim : “A! Kata B, hutangnya kepadamu sudah dibayar, betul?”.
B : Belum!”,
Maka berdasarkan kaidah ini, hakim memutuskan bahwa hutang B kepada A belum terlunasi
d. “jika seseorang yakin berbuat (sesuatu), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka
yang dihitung adalah yang sedikit”.
Contoh : seseorang sedang tengah-tengahnya sholat dhuhur mereka merasa ragu, apakah yang
dikerjakannya rakaat,atau baru tiga rakaat. Berdasarkan ini, yang dihitung dalah tiga rakaat dan
ia harus menambah satu rakaat lagi.
e. “Asal (didalam hak) itu tidak ada ”.
Contoh : menyerahkan Rp. 1.000 kepada B, untuk digunakan sebagai modal, dengan perjanjian
keuntungan dibagi dua.selang beberapa lama A, menuduh bahwa B telah memperoleh
keuntungan dari uang modal tersebut, tetapi B menyangkal tuduhan tersebut.
Berdasarkan kaidah ini yang dibenarkan adalah B yang menyatakan tidak / belum ada
keuntungan.
f. “tiap-tiap yang baru itu harus dikira-kirakan kepada masa yang lebih dekat”.
Contoh : seseorang melihat mani pada sarung yang dipakainya, lalu ia ragu, mani yang
kemarinkah yang karenanya ia mandi atau mani baru setelah ia bangun dari tidaur tadi.
Berdasarkan kaidah ini, dapat diputuskan bahwa mani itu adalah baru buka mani yang kemaren.
g. “segala sesuatu pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Kaidah ini berasal dari iman syafi’i, sedangkan menurut madzhab hanafi sebaliknya, yakni :
Segala sesuatu pada dasarny aharam, kecuali ada dalil yang menghalalkannya”.
Imam syafi’i berpendapat bahwa allah itu maha bijaksana, jadi mustahil allah menciptakan
sesuatu lalu mengharamkannya atas hamba-Nya. Beliau berpegang kepada sabda rosul yang
artinya : apa yang dihalalkan allah adalah halal, dan apa yang diharamkannya adalah haram,
sedangkan yang didiamkanNya adalah dimaafkan”.
Sedangkan imam abu hanifa menyatakan bahwa “Memang allah itu bijaksana, tetapi
bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik allah SWT itu sendiri. Jadi kita tidak boleh
menggunakannya sebelum ada izin dari allah SWT.
9
2.4 Al – Masyaqqah Tajlib al – Tasyir
Al – Masyaqqah menurut bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan,
kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan kata al – tasyir secara bahasa (etimologis) adalah
kemudahan, seperti di dalam hadis Rasulluah saw disebutkan :
َ‫ْن‬‫ي‬ِ‫الد‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬‫ر‬ْ‫س‬ُ‫ي‬
Artinya : “Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaidah kesukaran itu dapat menarik kemudahan artinya kesukaran menyebabkan adanya suatu
kemudahan. Hukum yang dipraktiknya menyulitkan mukallaf dan pada diri dan sekitarnya
terdapat kesukaran, maka syariat memudahkannya sehingga beban tersebut berada di bawah
kemampuan mukallaf tanpa kesukaran. Hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan
kesukaran dan kesulitan bagi mukallaf maka syariah memudahkannya sehingga mukkalaf
mampu melaksanakannya tanpa tanpa kesukaran dan kesulitan.
Akan tetapi ada standar umum yang sebenarnya bukan kesukaran dan karenanya tidak
menyebabkan kemudahan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti digigit semut pada waktu sholat,
malas berzakat padahal mencapai nishab, atau terasa lapar apabila sedang berpuasa, dalam hal ini
Dr.Wahbah az-Zuhaili membagi Al-Masyaqqah (kesukaran) menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1) Al-Masyaqqah al-‘Azhimah (kesukaran yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan
hilangnya jiwa atau rusaknya anggota badan. Sehingga kita tidak bisa melakasanakan
ibadah dengan sempurna. Kesukaran semacam ini membawa kemudahan.
2) Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesukaran yang pertengahan, tidak sangat berat juga
tidak sangat ringan). Kesukaran semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat
kepada kesukaran yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat
kepada kesukaran yang ringan, maka ada kemudahan di situ. Hal ini tergantung kondisi
seseorang dengan berbagai pertimbangan.
3) Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesukaran yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa,
malas naik haji padahal sudah dikategorikan mampu, dan lain sebagainya. Kesukaran
(masyaqqah) semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah dengan cara sabar dalam
melaksanakan ibadah.
Dari tiga tingkatan yang penulis kutip berdasarkan pendapat Dr.Wahbah az-Zuhaili di atas,
yang menjadi kategori masyaqqah tajlib at-taisir (kesukaran itu dapat menarik kemudahan)
adalah kategori yang pertama, alasannya karena lebih tepat terhadap kaidah kemudharan harus
10
dihilangkan (al-dharar yuzal), sedangkan pada kategori kedua dan ketiga adalah apa yang
dimaksud masyaqqah tajlib at-taisir (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan).
Adapun dalam hal kemudahan (at-taisir) para ulama juga telah menyebutkan sebab-sebab yang
menimbulkan (akibat diperbolehkan) kemudahan (rukhsah), yaitu:
1) Kekurangmampuan bertindak hukum ( ُ‫ص‬ْ‫ق‬َّ‫ن‬‫,)ال‬ Misalnya, orang gila dan anak kecil tidak
wajib melaksanakan sholat, puasa, bayar zakat dan naik haji. Dalam ilmu hukum, yang
berhubungan dengan perilaku ini disebut unsur pemaaf.
2) Kesulitan yang umum (‫ى‬ َ‫و‬ْ‫ل‬َ‫ب‬ْ‫ل‬َ‫ا‬ ُ‫م‬ ْ‫و‬ُ‫م‬ُ‫ع‬), seperti debu yang berserakan di jalan, maka tidak
mungkin seseorang untuk menghindar, atau adanya hama tikus yang jumlahnya sangat
banyak menyerang satu desa kemudian meninggalkan air kencingnya yang kering.
3) Bepergian (ُ‫ر‬َ‫ف‬َّ‫س‬‫,)ا‬ Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat
jumat.
4) Keadaan sakit ( ُ‫ض‬ َ‫ر‬َ‫م‬ْ‫ل‬َ‫ا‬), Misalnya, boleh bertayamum ketika sulit memakai air, shalat
fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah
sehat. Ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang
mentruasi.
5) Keadaan terpaksa (ُ‫ه‬‫ا‬َ‫ر‬ْ‫ك‬ِ‫ء‬ ْ‫ال‬َ‫ا‬), Seperti di ancam orang lain untuk membatalkan puasa
ramadhan, sehingga membahayakan jiwanya.
6. Lupa (ُ‫ان‬َ‫ي‬ْ‫س‬ِ‫لن‬َ‫ا‬), Seperti seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa.
7. Ketidaktahuan ( ُ‫ل‬ْ‫ه‬َ‫ج‬ْ‫ل‬َ‫ا‬), Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu,
kemudian berdagang dengan praktik riba
2.5 Al – Dhoruratu Tuzalu
Pengertian kaedah al-dharar yuzalu adalah kemudharatan harus dihilangkan. Qaidah ini
memerintahkan untuk menghilangkan kemudharatan. Bila digeneralkan semua wujud
kemudharatan, baik kecil maupun besar mesti dihilangkan. Alasan menghilangkan kemudharatan
karena menzalimi dan menyengsarakan.
Kemudharatan juga bertolak belakang dengan maksud syari’at (maqashid syar’iyah) yaitu
mengwujudkan kemaslahatan hidup manusia. Karena itu kemudharatan yang terjadi harus segera
dihilangkan kataal-dharar yang, berarti bahaya. Dharurat juga berarti masyaqqah atau kondisi
sulit. Dalam mendifinisikan dharurat, sejumlah ulama, baik ulama terdahulu maupun
11
kontemporer, banyak bersilang pendapat walaupun tidak terlalu berjauhan. Ada definisi Al-
Jashshash, Al-Zarkasyi, Al-Suyuthi, Abu Zahrah, ulama-ulama Malikiyah dan Syafi'iyah.
Seluruh defenisi yang jumlahnya tidak sedikit itu memang saling berlainan dan mempunyai
standar jami' danmani' yang berbeda, namun mempunyai arah yang hampir bersamaan. Kaidah
diatas kempabil kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al syariah dengan menolak yang
mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan apabila Ahmad al-Nadwi menyebutkan bahwa penerapan
kaidah diatas meliputi lapangan yang luas didalam fikih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari
fkih yang ada.
Contoh-contoh di bawah ini antara lain memunculkan kaidah di atas :
 Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan
tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
 Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana islam) adalah juga
untuk menghilangkan kemudaratan
Adapun penerapannya sebagai berikut :
1. Khiyar dengan segala jenis dan bentuknya ditetapkan oleh syara’ untuk menghilangkan
bahaya atau mudharat.
a) Khiyar syarth dalam transaksi jual beli misalnya diberlakukan untuk menghilangkan
kemungkinan terjadinya bahaya (kerugian) pada orang yang belum berpengalaman
dalam transaksi jual beli, sehingga ia rentan menjadi korban penipuan.
b) Khiyar ru’yah mengandung unsur menghilangkan bahaya (kerugian) yang muncul dari
kondisi barang yang tidak sesuai dengan sifat-sifat (spesifikasi) yang disebutkan pada
saat transaksi.
c) Khiyar ‘aib, unsur menghilangkan bahaya (kerugian) di dalamnya sudah sangat jelas.
2. Al-hijr (pembatasan wewenang dalam mentasharuffkan hak milik) mempunyai banyak
faktor yang melatarbelakanginya, di antaranya si pemilik masih anak-anak, gila,
sembrono, dan idiot. Mekanisme al-hijr yang diterapkan pada mereka sesungguhnya
diberlakukan untuk memelihara kemashlahatan mereka sesungguhnya diberlakukan
untuk memelihara kemashlahatan mereka sendiri dan menghindari bahaya
pengeksplotasian mereka.
12
3. Syuf’ah (hak membeli pertama), ditetapkan sebagai milik partner kongsian (asy-syirk)
untuk menepis bahaya pembagian barang kongsian, sedangkan hak syuf’ah bagi seorang
tetangga dimaksudkan untuk menepis bahaya perlakuan buruk bertetangga (suu al jiwar)
yang mungkin ia terima dari tetangga baru yang dapat jadi berkelakuan buruk.
4. Qishash, dalam konteks jiwa dan hudud disyariatkan untuk menepis bahaya yang
menyeluruh dari masyarakat dan memelihara kelima prinsip umum. Sedangkan qishash
dalam konteks selain jiwa ditetapkan untuk menyingkirkan unsur bahaya dari pihak
korban tindak kejahatan dengan mengobati rasa dendamnya terhadap orang yang
melanggar haknya sesuai dengan watak alamiah manusia. Dari sisi lain, pelaku kejahatan
pun terlindungi dengan mekanisme qishash ini dari tindak balas dendam yang lebih hebat
dari pihak korban. Pensyariatan qishash juga menjaga keamanan dan stabilitas
masyarakat.
5. Demi menjaga kemaslahatan umum, maka disyariatkanlah berbagai bentuk hukuman
ta’zir guna mencegah bahaya sosial maupun bahaya individual baik sebagai tindakan
preventif ataupun represif dengan cara yang mungkin dapat menghilangkan bahaya bagi
pihak korban ataupun menghapus pengaruh yang ditimbulkan dalam bentuk hukuman
yang setimpal.
6. Pembatasan (limitasi) kebebasan manusia dalam mempergunakan hak utilitasnya,
kepemilikannya, ataupun tasharrufnya pada hal-hal yang dapat menimbulkan bahay bagi
orang lain juga termasuk kategori upaya pencegahan bahaya yang mengerikan dengan
segala cara jika ia memang benar-benar terjadi.
2.6 Al – Adah
Perkataan “al-`Adah Muhakkamah” merupakan salah satu kaidah fiqh yang digunakan para
ahli ushul fiqh untuk merumuskan atau menggali hukum Islam, yang masuk dalam al-Qowa`id
al-Kubro, di samping kaidah-kaidah: al-Umur bi-Maqosidhiha (Amal-amal tergantung pada
niatnya), al-Yaqin la Yuzalu bisy Syakk (keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan);
al-Masyaqqoh Tajlibut Taisir (Kesulitan mendorong Kemudahan), dan adh-Dharoru Yuzalu
(Bahaya/mudharat harus dihilangkan)
Salah satu kitab yang diajarkan di pesantren yang membahas soal ini, adalah kitab kecil al-
Faroidul Bahiyah, yang disusun Syaikh Abu Bakar bin Abul Qosim bin Ahmad bin Muhammad
13
bin Abu Bakar bin Sulaiman bin Abul Qosim bin Umar al-Ahdal (984-1035 H.), atau kitab yang
lebih tebal susunan al-Mufassir al-Faqih al-Hafizh, Jalaluddin as-Suyuthi berjudul al-Asybah
wan Nazho’ir
Kaidah di atas, diambil berdasarkan beberapa dalail, seperti dalam QS. An-Nisa [4]: 115,
yaitu: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, wayattabi’
ghoiro sabilil mu’minin (dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin), Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Jalannya orang-orang mukmin, adalah jalan yang ditempuh mereka yang mendasarkan pada
Alquran, sunah, dan bila tidak terdapat dalam keduanya, menggunakan jalan ijtihad melalui dan
mengambil ijma dan qiyas (atau melalui prosedur lain menurut beberapa ulama). Ketika kaum
muslimin dengan mendasarkan pada ini, jalan yang tidak ada dalam Alquran dan hadis secara
eksplisit, lalu mereka membuat sesuatu hal, karena ada dalail implisitnya dari keduanya (Alquran
dan hadis), lalu dipraktikkan dan diulang-ulang, dia bisa menjadi adat dan Urf.
Ada juga hadis yang digunakan memperkuat jalan seperi ini, dan keputusan berdasarkan adat/urf
yang berkaitan dengan hukum bisa ditetapkan. Para ahli ushul fiqh menyebut riwayat hadits ini:
“Ma ro’ahul muslimun hasanan fahuwa `indallohi husnun/ apa yang dipandang baik oleh orang-
orang Islam maka bagi Alloh juga dianggap baik”.
14
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa
Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Al-‘adah
atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula.
Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-
’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun
kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat
hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya.
Persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat,
tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum
yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa
hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah
bilamana adat istiadat itu berubah.
3.2 Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan
buku referensi. Maka dari itu saya menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami
masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber
lainyang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.
15
DAFTAR PUSTAKA
http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.com/2014/07/kaidah-asasiyyah-tentang-al-masyaqqah.html
http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html
http://kumpulan-makalah-dlords.blogspot.com/2009/07/lima-kaidah-pokok.html
Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah muassasah tsaqofah al-
Jamiiyah .1983.
Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta bulan bintang 1975.
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta.
Ali Ahmad al Nadawy, al Qawi’id al Fiqhiyyah, (Dmasascus; Dar al Qalam, 1994)
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: GayaMedia Pratama, 2008)
Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah
Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah), (Depok, Gramata Publishing)
http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan oleh H. Asnin Syafiuddin,
Lc. MA diposting pada tanggal 10 september 2012.
https://bocahhukum.blogspot.com/2018/06/pengertian-kadiah-al-dhararu-yuzalu.html
https://www.academia.edu/35185411/QAIDAH_AL-
DHARAR_YUZALU_Pengertian_dan_Batasannya
http://sabaniblog.blogspot.com/2017/10/makalah-adh-dhararu-yuzalu.html

More Related Content

What's hot

45820888 tafsir-tarbawi
45820888 tafsir-tarbawi45820888 tafsir-tarbawi
45820888 tafsir-tarbawipopon matuqoh
 
Ilmu musthalah hadits gratis
Ilmu musthalah hadits gratisIlmu musthalah hadits gratis
Ilmu musthalah hadits gratisQomaruz Zaman
 
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYADHUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYADNovianti Rossalina
 
Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar
Hadits, Sunnah, Atsar, dan KhabarHadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar
Hadits, Sunnah, Atsar, dan KhabarNur Singgih
 
Kaedah pengambilan hukum a1
Kaedah pengambilan hukum a1Kaedah pengambilan hukum a1
Kaedah pengambilan hukum a1Kamarudin Jaafar
 
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, maharKonsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, maharEloknadlifah
 
Metodologi Tafsir Imam Ar Razi
Metodologi Tafsir Imam Ar RaziMetodologi Tafsir Imam Ar Razi
Metodologi Tafsir Imam Ar RaziIndah Fatmawati
 
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'ifHadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'ifAzzahra Azzahra
 
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)Anas Wibowo
 
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaihTerminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaihMarhamah Saleh
 
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)wmkfirdaus
 
Maqasid al syariah pengenalan
Maqasid al syariah pengenalanMaqasid al syariah pengenalan
Maqasid al syariah pengenalanAffwan Lokman
 
Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha
Kaidah cabang al umuru bi maqasidihaKaidah cabang al umuru bi maqasidiha
Kaidah cabang al umuru bi maqasidihaDodyk Fallen
 
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...desi_aoi
 
PPT - MAD THABI'I DAN MAD FAR'I
PPT - MAD THABI'I DAN MAD FAR'IPPT - MAD THABI'I DAN MAD FAR'I
PPT - MAD THABI'I DAN MAD FAR'Iaralailiyah
 

What's hot (20)

45820888 tafsir-tarbawi
45820888 tafsir-tarbawi45820888 tafsir-tarbawi
45820888 tafsir-tarbawi
 
8 qowaid fiqhiyah
8 qowaid fiqhiyah8 qowaid fiqhiyah
8 qowaid fiqhiyah
 
Ilmu musthalah hadits gratis
Ilmu musthalah hadits gratisIlmu musthalah hadits gratis
Ilmu musthalah hadits gratis
 
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYADHUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
HUKUM LAFADZ MUTLAQ DAN MUQAYYAD
 
Fiqih nikah
Fiqih nikahFiqih nikah
Fiqih nikah
 
Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar
Hadits, Sunnah, Atsar, dan KhabarHadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar
Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar
 
Kaedah pengambilan hukum a1
Kaedah pengambilan hukum a1Kaedah pengambilan hukum a1
Kaedah pengambilan hukum a1
 
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, maharKonsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
Konsep kafa’ah, syarat dan rukun nikah, mahar
 
Metodologi Tafsir Imam Ar Razi
Metodologi Tafsir Imam Ar RaziMetodologi Tafsir Imam Ar Razi
Metodologi Tafsir Imam Ar Razi
 
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa MansukhUlumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
 
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'ifHadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'if
 
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)
 
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaihTerminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
 
10.1 HUKUM SYIRKAH
10.1 HUKUM SYIRKAH 10.1 HUKUM SYIRKAH
10.1 HUKUM SYIRKAH
 
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
 
Maqasid al syariah pengenalan
Maqasid al syariah pengenalanMaqasid al syariah pengenalan
Maqasid al syariah pengenalan
 
Mantik moden
Mantik modenMantik moden
Mantik moden
 
Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha
Kaidah cabang al umuru bi maqasidihaKaidah cabang al umuru bi maqasidiha
Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha
 
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
 
PPT - MAD THABI'I DAN MAD FAR'I
PPT - MAD THABI'I DAN MAD FAR'IPPT - MAD THABI'I DAN MAD FAR'I
PPT - MAD THABI'I DAN MAD FAR'I
 

Similar to Agama 3 sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah

Kata pengantar.studi hukum islamdocx
Kata pengantar.studi hukum islamdocxKata pengantar.studi hukum islamdocx
Kata pengantar.studi hukum islamdocxRaja Aidil Angkat
 
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docxmakalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docxAmeliaJonson1
 
Ijtihad dan Madzhab.docx
Ijtihad dan Madzhab.docxIjtihad dan Madzhab.docx
Ijtihad dan Madzhab.docxZukét Printing
 
Ijtihad dan Madzhab .pdf
Ijtihad dan Madzhab .pdfIjtihad dan Madzhab .pdf
Ijtihad dan Madzhab .pdfZukét Printing
 
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdf
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdfMetode Ijtihad Ushul Fiqh.pdf
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdfpamtahpamtah
 
Makalah IJTIHAD
Makalah IJTIHADMakalah IJTIHAD
Makalah IJTIHADNur Rohmah
 
IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
 IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUMEvi Rohmatul Aini
 
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdfIjtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdfZukét Printing
 
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docx
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docxIjtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docx
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docxZukét Printing
 
Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Amiruddin Ahmad
 
Makalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsanMakalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsanMuli Bluelovers
 
PEND.Agama islam ijma' bab 11 ( kel 8)MAKALAH
PEND.Agama islam ijma' bab 11 ( kel 8)MAKALAHPEND.Agama islam ijma' bab 11 ( kel 8)MAKALAH
PEND.Agama islam ijma' bab 11 ( kel 8)MAKALAHAlfiseptina
 

Similar to Agama 3 sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah (20)

01 02 pendahuluan
01 02 pendahuluan01 02 pendahuluan
01 02 pendahuluan
 
Pengertian qawaid fiqhiyyah
Pengertian qawaid fiqhiyyahPengertian qawaid fiqhiyyah
Pengertian qawaid fiqhiyyah
 
Qaidah Fiqhiyyah
Qaidah FiqhiyyahQaidah Fiqhiyyah
Qaidah Fiqhiyyah
 
Kata pengantar.studi hukum islamdocx
Kata pengantar.studi hukum islamdocxKata pengantar.studi hukum islamdocx
Kata pengantar.studi hukum islamdocx
 
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docxmakalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
 
Ijtihad dan Madzhab.docx
Ijtihad dan Madzhab.docxIjtihad dan Madzhab.docx
Ijtihad dan Madzhab.docx
 
Ijtihad dan Madzhab .pdf
Ijtihad dan Madzhab .pdfIjtihad dan Madzhab .pdf
Ijtihad dan Madzhab .pdf
 
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdf
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdfMetode Ijtihad Ushul Fiqh.pdf
Metode Ijtihad Ushul Fiqh.pdf
 
Ijma’ dan Qiyas.pdf
Ijma’ dan Qiyas.pdfIjma’ dan Qiyas.pdf
Ijma’ dan Qiyas.pdf
 
Ijma’ dan Qiyas.docx
Ijma’ dan Qiyas.docxIjma’ dan Qiyas.docx
Ijma’ dan Qiyas.docx
 
Makalah IJTIHAD
Makalah IJTIHADMakalah IJTIHAD
Makalah IJTIHAD
 
Qawaid fiqh pt 1
Qawaid fiqh  pt 1Qawaid fiqh  pt 1
Qawaid fiqh pt 1
 
IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
 IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
 
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdfIjtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.pdf
 
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docx
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docxIjtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docx
Ijtihad Ushul Fiqh dan Kaidah.docx
 
Makalah taqlid
Makalah taqlidMakalah taqlid
Makalah taqlid
 
Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1
 
makalah-Ta'wil dan nasakh
makalah-Ta'wil dan nasakhmakalah-Ta'wil dan nasakh
makalah-Ta'wil dan nasakh
 
Makalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsanMakalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsan
 
PEND.Agama islam ijma' bab 11 ( kel 8)MAKALAH
PEND.Agama islam ijma' bab 11 ( kel 8)MAKALAHPEND.Agama islam ijma' bab 11 ( kel 8)MAKALAH
PEND.Agama islam ijma' bab 11 ( kel 8)MAKALAH
 

More from FahmiIbrahim10

Ai3 ppt zakat kelompok 3
Ai3 ppt  zakat kelompok 3Ai3 ppt  zakat kelompok 3
Ai3 ppt zakat kelompok 3FahmiIbrahim10
 
Ai3 ppt ibadah kelompok 3
Ai3 ppt ibadah kelompok 3Ai3 ppt ibadah kelompok 3
Ai3 ppt ibadah kelompok 3FahmiIbrahim10
 
Ai3 ibadah kelompok 3
Ai3 ibadah kelompok 3 Ai3 ibadah kelompok 3
Ai3 ibadah kelompok 3 FahmiIbrahim10
 
Agama sesi 2 kelompok 2 Puasa Bulan Ramadhan
Agama sesi 2 kelompok 2 Puasa Bulan RamadhanAgama sesi 2 kelompok 2 Puasa Bulan Ramadhan
Agama sesi 2 kelompok 2 Puasa Bulan RamadhanFahmiIbrahim10
 
Agama 3 sesi 2 Kelompok 2 Puasa Bulan Ramadhan
Agama 3 sesi 2 Kelompok 2 Puasa Bulan RamadhanAgama 3 sesi 2 Kelompok 2 Puasa Bulan Ramadhan
Agama 3 sesi 2 Kelompok 2 Puasa Bulan RamadhanFahmiIbrahim10
 
Agama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
Agama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah FiqhiyahAgama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
Agama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah FiqhiyahFahmiIbrahim10
 

More from FahmiIbrahim10 (7)

Ai3 ppt zakat kelompok 3
Ai3 ppt  zakat kelompok 3Ai3 ppt  zakat kelompok 3
Ai3 ppt zakat kelompok 3
 
Ai3 zakat kelompok 3
Ai3 zakat kelompok 3Ai3 zakat kelompok 3
Ai3 zakat kelompok 3
 
Ai3 ppt ibadah kelompok 3
Ai3 ppt ibadah kelompok 3Ai3 ppt ibadah kelompok 3
Ai3 ppt ibadah kelompok 3
 
Ai3 ibadah kelompok 3
Ai3 ibadah kelompok 3 Ai3 ibadah kelompok 3
Ai3 ibadah kelompok 3
 
Agama sesi 2 kelompok 2 Puasa Bulan Ramadhan
Agama sesi 2 kelompok 2 Puasa Bulan RamadhanAgama sesi 2 kelompok 2 Puasa Bulan Ramadhan
Agama sesi 2 kelompok 2 Puasa Bulan Ramadhan
 
Agama 3 sesi 2 Kelompok 2 Puasa Bulan Ramadhan
Agama 3 sesi 2 Kelompok 2 Puasa Bulan RamadhanAgama 3 sesi 2 Kelompok 2 Puasa Bulan Ramadhan
Agama 3 sesi 2 Kelompok 2 Puasa Bulan Ramadhan
 
Agama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
Agama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah FiqhiyahAgama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
Agama sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah
 

Recently uploaded

ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdf
ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdfppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdf
ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdfimad362574
 
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.ppt
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.pptTEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.ppt
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.pptssuserd13850
 
Teknologi Pangan Kelas 3 SD, Mentahan Edit
Teknologi Pangan Kelas 3 SD, Mentahan EditTeknologi Pangan Kelas 3 SD, Mentahan Edit
Teknologi Pangan Kelas 3 SD, Mentahan EditJosuaSagala5
 
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konseling
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konselingWawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konseling
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konselingalisudrajat22
 
"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"
"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan""PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"
"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"bayuputra151203
 
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...ayinaini27
 

Recently uploaded (6)

ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdf
ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdfppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdf
ppt-bab-8-adab-menggunakan-media-sosial.pdf
 
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.ppt
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.pptTEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.ppt
TEKNIK WAWANCARA dalam ilmu komunikasi.ppt
 
Teknologi Pangan Kelas 3 SD, Mentahan Edit
Teknologi Pangan Kelas 3 SD, Mentahan EditTeknologi Pangan Kelas 3 SD, Mentahan Edit
Teknologi Pangan Kelas 3 SD, Mentahan Edit
 
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konseling
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konselingWawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konseling
Wawancara dan Observasi alat non tes bimbingan konseling
 
"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"
"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan""PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"
"PPT K1_pengantar komunikasi pendidikan"
 
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan kepada khalayak yang luas, u...
 

Agama 3 sesi 1 kelompok 2 Kedudukan Qaidah Fiqhiyah

  • 1. i MAKALAH Qaidah Fiqhiyah Dosen Pembimbing : ABDUL HAMID ALY, S.PD., M.PD Disusun oleh kelompok 2 : 1. Fahmi Ibrahim Adjie : 21601081415 2. Avid Styagung : 21801081078 3. Lia Tiana : 21801081013 4. Lailul Aminah : 21801081019 5. Suriyanto : 21801081508 MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2019
  • 2. ii
  • 3. iii KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Agama Islam III. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai‘’Qaidah Fiqhiyah’’. Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Terutama kepada bapak Abdul Hamid Aly, S.PD., M.PD selaku dosen pengajar Agama Islam III. Kami sebagai penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami sendiri maupun pembaca lainnya. Apabila terdapat kesalahan yang tidak kami sadari dalam penulisan makalah ini, maka dari itu kami mohon saran dan kritik untuk makalah ini supaya menjadi lebih baik. Dengan segala kerendahan hati kami selaku penyusun mengucapkan terimakasih. Malang, 27 September 2019 Penyusun
  • 4. iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................................................. iii DAFTAR ISI................................................................................................................................. iv BAB 1 ............................................................................................................................................. 1 PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................ 2 1.3 Tujuan Pembahasan.......................................................................................................... 2 BAB 2 ............................................................................................................................................. 3 PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 3 2.1 Definisi dan Kedudukan Qaidah Fiqhiyah............................................................................ 3 2.2 Al – Umur bi Maqasidiha...................................................................................................... 4 2.3 Al – Yaqin La Yuzalu bi al – Syak ....................................................................................... 6 2.4 Al – Masyaqqah Tajlib al – Tasyir........................................................................................ 9 2.5 Al – Dhoruratu Tuzalu ........................................................................................................ 10 2.6 Al – Adah............................................................................................................................ 12 BAB 3 .................................................................................................Error! Bookmark not defined. PENUTUP..........................................................................................Error! Bookmark not defined. 3.1 Kesimpulan..............................................................................Error! Bookmark not defined. 3.2 Saran.........................................................................................Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................. 15
  • 5. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu aspek terpenting dalam islam disamping beberapa aspek terpenting lainnya. Dengan adanya hukum, manusia dapat menjalankan beragam aktivitasnya dengan tenang tanpa was-was. Dan dengan hukum pula manusia dapat mengetahui manakah pekerjaan yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan. Fiqih sebagai acuan hukum tentu mendapat penjelasan tentang apa dan bagaimana fiqih bisa menjadi sebuah ketetapan hukum ?. Fiqih merupakan ilmu kefahaman. Seseorang dapat menentukan hukum tentang sesuatu jika ia memahami dalil yang sesuai. Namun demikian, dalam penentuan hukum terdapat aturan- aturan pokok yang sering dikenal qowaid. Adapun ilmu yang mempelajari tentang qowaid disebut dengan ushul fiqih. Seperti kita ketahui bersama, banyak hukum-hukum yang sudah dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’an maupun al-Hadist. Akan tetapi para ulama banyak yang memperjelas supaya memudahkan para fuqoha’ yang lain dalam mengistibathkan suatu hukum. Hukum islam sering menjadi pokok suatu permasalahan yang tidak ada akhirnya, karena itu para ulama’ selalu berijtihad untuk menentukan hukum tersebut dengan dalil-dalil tentang suatu hukum yang telah disepakati bersama. Ilmu fiqih merupakan hasil pemahaman dan interpretasi mujtahid terhadap peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Untuk itu qoidah-qoidah yang ada dalam ushul fiqih membantu seseorang untuk lebih mudah memahami serta menentukan hukum yang belum jelas dengan disertai beberapa dalil yang mendukung. Maka dalam penyusunan makalah ini, kami akan menjelaskan tentang definisi dan kedudukan Qaidah Fiqhiyah, makna dan beberapa contoh Qoidah Fiqhiyah serta penerapannya dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.
  • 6. 2 1.2 Rumusan Masalah a. Apa definisi Qaidah Fiqhiyah ? b. Bagaimana kedudukan Qaidah Fiqhiyah ? c. Apa makna dan contoh Qaidah Fiqhiyah ? d. Seperti apa penerapannya dalam menyelesaikan sebuah masalah Fiqhiyah ? 1.3 Tujuan Pembahasan a. Untuk mengetahui tentang definisi Qaidah Fiqhiyah b. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Qaidah Fiqhiyah c. Untuk mengetahui makna dan contoh Qaidah Fiqhiyah d. Untuk mengetahui bagaimana cara penerapannya dan menyelesaikan sebuah masalah Fiqhiyah
  • 7. 3 BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Definisi dan Kedudukan Qaidah Fiqhiyah Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni Qa’idah dan Fiqhiyyah. Qa’idah kata mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan kata Fiqhiyah berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci. Menurut, Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah : ‫كثيرة‬ ‫جزئيات‬ ‫حكم‬ ‫منها‬ ‫واحدة‬ ‫كل‬ ‫تحت‬ ‫يندرج‬ ‫التى‬ ‫الكلية‬ ‫القضايا‬ Artinya : "Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak". Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi : ‫والتأ‬ ‫النظر‬ ‫الى‬ ‫فيه‬ ‫ويحتاج‬ ‫واالجتهاد‬ ‫بالرأي‬ ‫مستنبط‬ ‫علم‬ ‫وهو‬ ‫التفصلية‬ ‫ادلتها‬ ‫من‬ ‫العملية‬ ‫الشريعة‬ ‫باالحكام‬ ‫العلم‬‫مل‬ Artinya : ”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil- dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan". Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki: ‫الكلى‬ ‫االمر‬‫منها‬ ‫احكامها‬ ‫تفهم‬ ‫كثيرة‬ ‫جزئيات‬ ‫على‬ ‫ينطبق‬ ‫الذى‬ ’’Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu”. Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut. Adapun kedudukannya yaitu, Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yangg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau
  • 8. 4 diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu : 1) Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah : a. Al-Umuru bi maqashidiha. b. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk. c. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir. d. Adh-Dhararu Yuzal, e. Al- ’Adatu Muhakkamah. 2) Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id menyeluruh yang diterima oleh madzhab- madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu 3) Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian : a. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab. b. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab. 4) Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab. 2.2 Al – Umur bi Maqasidiha Kaidah al-umuru bi maqashidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshid. Secara etimologi lafadz al-umuru merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru bi maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada- yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al
  • 9. 5 maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi sesuatu dan menuju. Kaidah pertama ini (al-umuru bi maqasidiha) menegaskan bahwa semua urusan sesuai dengan maksud pelakunya kaidah itu berbunyi: ‫بمقـاصدها‬ ‫األمور‬ Artinya : (“segala perkara tergantung kepada niatnya”). Contoh penerapannya: Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr, atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Atau dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain. Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum yang dilarang dalam syari’at Islam. Makna Niat, Kata niat dengan tasydid pada huruf ya adalah bentuk mashdar dari kata kerja nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di kalangan ahli bahasa. Ada pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid menjadi (niyah)..Sementara Ibnu Abidin menyatakan niat secara bahasa berarti, kemantapan hati terhadap sesuatu, sedangkan menurut istilah berarti mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan. Niat itu diperlukan karena Untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah dengan yang hanya bersifat adat (kebiasaan). Seperti halnya makan, minum, tidur dan lain-lain. hal itu merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari atau tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang seperti itu termasuk kategori kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar tubuh sehingga lebih konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita bisa memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi Allah. Jika seseorang mencaburkan diri ke dalam sungai apabila tidak berniat maka berarti ia mandi biasa, tetapi jika ia berniat untuk berwudhu maka ia dihukumkan berwudhu. Akan tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan amalan yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti halnya iman, dzikir dan
  • 10. 6 membaca al-Qur’an. Dan juga termasuk amalan yang tidak membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya. Dengan niat itu kita bisa menciptakan beraneka ragam ibadah dengan tingkatan yang berbeda namun dengan tata cara yang sama seperti halnya wudhu’, mandi besar, shalat dan puasa. Sebagai syarat diterimanya perbuatan ibadah. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, adalah dengan adanya niat yang ikhlas. Kedua adalah perbuatan atau pekerjaan tersebut harus sesuai dengan yang disyariatkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Ketiga, adalah meng-istishhab-kan niat sampai akhir pekerjaan ibadah. Niat yang ikhlas yaitu keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan nafsu dan keduniaan.Niatnya itu hanya semata-mata perintah Allah. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam beberapa ayat, antara lain pada surah al-Nisa ayat 125; َ‫خ‬َّ‫ت‬‫ٱ‬ َ‫و‬ ۗ‫ا‬ٗ‫يف‬ِ‫ن‬َ‫ح‬ َ‫م‬‫ي‬ِ‫ه‬ ََٰ‫ر‬ۡ‫ب‬ِ‫إ‬ َ‫ة‬َّ‫ل‬ِ‫م‬ َ‫ع‬َ‫ب‬َّ‫ت‬‫ٱ‬ َ‫و‬ ٞ‫ن‬ِ‫س‬ ۡ‫ح‬ُ‫م‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ َ‫و‬ ِ َّ ِ‫ّلِل‬ ‫ۥ‬ُ‫ه‬َ‫ه‬ ۡ‫ج‬ َ‫و‬ َ‫م‬َ‫ل‬ۡ‫س‬َ‫أ‬ ۡ‫ن‬َّ‫م‬ِ‫م‬ ‫ا‬ٗ‫ين‬ِ‫د‬ ُ‫ن‬َ‫س‬ ۡ‫ح‬َ‫أ‬ ۡ‫ن‬َ‫م‬ َ‫و‬ۡ‫ب‬ِ‫إ‬ ُ َّ‫ٱّلِل‬ َ‫ذ‬ٗ‫يٗل‬ِ‫ل‬َ‫خ‬ َ‫م‬‫ي‬ِ‫ه‬ ََٰ‫ر‬١٢٥ Artinya; Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah, mengamalkan dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah. Adapun ibadah itu mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. karena apabila menyalahi dari petunjuk Rasulullah SAW. maka ibadah itu tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Artinya; “Barangsiapa yang beramal tanpa adanya perintah dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. Sedangkan niat itu tetap berlanjut sampai akhirnya pelaksanaan ibadah, artinya bahwa niat itu tidak berubah dalam pelaksanaan ibadah. jika berubah dalam pelaksanaan ibadah maka ibadahnya menjadi batal. Tiga syarat tersebut di atas, apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka amal itu tidak sah atau batal. 2.3 Al – Yaqin La Yuzalu bi al – Syak Arti dari kaidah tersebut adalah keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keraguan. Kaidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan masalah akidah dan persoalan-persoalan dalil
  • 11. 7 hukum dalam syariat islam.Namun demikan, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa hilang kecuali berdasarkan dalil argumen yang pasti (qath’i) bukan semata-mata oleh argumen yang hanya bernilai sanksi / tidak pasti. Hampir seluruh bab fiqh bisa masuk dalam qaidah ini, Adapun sumber kaidah ini, adalah dari firman allah yang berbunyi: Artinya: “ Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690].Sesungguhnya allah maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.(QS. Yunus :36) Dan hadis nabi Muhammad yang artinya : “Manakala seseorang diantara kamu menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, adalah sesuatu yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid, sampai ia mendengar suara atau menemukan bau”. (HR. Muslim) Dari kaidah yang merupakan garis besar ini dapat dibentuk kaidah-kaidah yang lebih khusus yang pada dasarnya tidak menyimpang dari kaidah pokok ini. Kaidah-kaidah itu antara lain ialah : a. “yang jadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula” Contoh :Seseorang mempunyai wudhu lalu ia ragu sudah batalkan atau belum, maka hukumnya ia tetap mempunyai wudhu. b. “yang menjadi patokan adalah yang bebas dari tanggungan” Contoh : A mengadukan B bahwa B hutang Rp. 1.000 kepadanya, tetapi pengaduan itu tidak disertai bukti maupun saksi, sedangkan B (yang diadukan) menyangkal dengan menyatakan bahwa ia tidak merasa berhutang, maka menurut hukum, pengaduan A bertolak berdasarkan kaidah ini. c. “jika ada orang ragu, apakah menjalankan sesuatu atau belum, maka ia dianggap belum berbuat” Contoh : A mengadukan B bahwa B hutang Rp. 1.000 kepadanya, lalu didepan pengadilan terjadilah dialog seperti ini. Hakim : B! benarkah kau berhutang Rp.1.000 kepada A?” B : “Benar, tetapi sudah saya lunasi”. Hakim : “kau punya bukti tanda pembayaran hutang?”. B : “Tidak”.
  • 12. 8 Hakim : “A! Kata B, hutangnya kepadamu sudah dibayar, betul?”. B : Belum!”, Maka berdasarkan kaidah ini, hakim memutuskan bahwa hutang B kepada A belum terlunasi d. “jika seseorang yakin berbuat (sesuatu), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit”. Contoh : seseorang sedang tengah-tengahnya sholat dhuhur mereka merasa ragu, apakah yang dikerjakannya rakaat,atau baru tiga rakaat. Berdasarkan ini, yang dihitung dalah tiga rakaat dan ia harus menambah satu rakaat lagi. e. “Asal (didalam hak) itu tidak ada ”. Contoh : menyerahkan Rp. 1.000 kepada B, untuk digunakan sebagai modal, dengan perjanjian keuntungan dibagi dua.selang beberapa lama A, menuduh bahwa B telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut, tetapi B menyangkal tuduhan tersebut. Berdasarkan kaidah ini yang dibenarkan adalah B yang menyatakan tidak / belum ada keuntungan. f. “tiap-tiap yang baru itu harus dikira-kirakan kepada masa yang lebih dekat”. Contoh : seseorang melihat mani pada sarung yang dipakainya, lalu ia ragu, mani yang kemarinkah yang karenanya ia mandi atau mani baru setelah ia bangun dari tidaur tadi. Berdasarkan kaidah ini, dapat diputuskan bahwa mani itu adalah baru buka mani yang kemaren. g. “segala sesuatu pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Kaidah ini berasal dari iman syafi’i, sedangkan menurut madzhab hanafi sebaliknya, yakni : Segala sesuatu pada dasarny aharam, kecuali ada dalil yang menghalalkannya”. Imam syafi’i berpendapat bahwa allah itu maha bijaksana, jadi mustahil allah menciptakan sesuatu lalu mengharamkannya atas hamba-Nya. Beliau berpegang kepada sabda rosul yang artinya : apa yang dihalalkan allah adalah halal, dan apa yang diharamkannya adalah haram, sedangkan yang didiamkanNya adalah dimaafkan”. Sedangkan imam abu hanifa menyatakan bahwa “Memang allah itu bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik allah SWT itu sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari allah SWT.
  • 13. 9 2.4 Al – Masyaqqah Tajlib al – Tasyir Al – Masyaqqah menurut bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan kata al – tasyir secara bahasa (etimologis) adalah kemudahan, seperti di dalam hadis Rasulluah saw disebutkan : َ‫ْن‬‫ي‬ِ‫الد‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬‫ر‬ْ‫س‬ُ‫ي‬ Artinya : “Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan Muslim) Kaidah kesukaran itu dapat menarik kemudahan artinya kesukaran menyebabkan adanya suatu kemudahan. Hukum yang dipraktiknya menyulitkan mukallaf dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesukaran, maka syariat memudahkannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesukaran. Hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesukaran dan kesulitan bagi mukallaf maka syariah memudahkannya sehingga mukkalaf mampu melaksanakannya tanpa tanpa kesukaran dan kesulitan. Akan tetapi ada standar umum yang sebenarnya bukan kesukaran dan karenanya tidak menyebabkan kemudahan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti digigit semut pada waktu sholat, malas berzakat padahal mencapai nishab, atau terasa lapar apabila sedang berpuasa, dalam hal ini Dr.Wahbah az-Zuhaili membagi Al-Masyaqqah (kesukaran) menjadi tiga tingkatan, yaitu : 1) Al-Masyaqqah al-‘Azhimah (kesukaran yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa atau rusaknya anggota badan. Sehingga kita tidak bisa melakasanakan ibadah dengan sempurna. Kesukaran semacam ini membawa kemudahan. 2) Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesukaran yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Kesukaran semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada kesukaran yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada kesukaran yang ringan, maka ada kemudahan di situ. Hal ini tergantung kondisi seseorang dengan berbagai pertimbangan. 3) Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesukaran yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, malas naik haji padahal sudah dikategorikan mampu, dan lain sebagainya. Kesukaran (masyaqqah) semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Dari tiga tingkatan yang penulis kutip berdasarkan pendapat Dr.Wahbah az-Zuhaili di atas, yang menjadi kategori masyaqqah tajlib at-taisir (kesukaran itu dapat menarik kemudahan) adalah kategori yang pertama, alasannya karena lebih tepat terhadap kaidah kemudharan harus
  • 14. 10 dihilangkan (al-dharar yuzal), sedangkan pada kategori kedua dan ketiga adalah apa yang dimaksud masyaqqah tajlib at-taisir (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan). Adapun dalam hal kemudahan (at-taisir) para ulama juga telah menyebutkan sebab-sebab yang menimbulkan (akibat diperbolehkan) kemudahan (rukhsah), yaitu: 1) Kekurangmampuan bertindak hukum ( ُ‫ص‬ْ‫ق‬َّ‫ن‬‫,)ال‬ Misalnya, orang gila dan anak kecil tidak wajib melaksanakan sholat, puasa, bayar zakat dan naik haji. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan perilaku ini disebut unsur pemaaf. 2) Kesulitan yang umum (‫ى‬ َ‫و‬ْ‫ل‬َ‫ب‬ْ‫ل‬َ‫ا‬ ُ‫م‬ ْ‫و‬ُ‫م‬ُ‫ع‬), seperti debu yang berserakan di jalan, maka tidak mungkin seseorang untuk menghindar, atau adanya hama tikus yang jumlahnya sangat banyak menyerang satu desa kemudian meninggalkan air kencingnya yang kering. 3) Bepergian (ُ‫ر‬َ‫ف‬َّ‫س‬‫,)ا‬ Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat jumat. 4) Keadaan sakit ( ُ‫ض‬ َ‫ر‬َ‫م‬ْ‫ل‬َ‫ا‬), Misalnya, boleh bertayamum ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat. Ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang mentruasi. 5) Keadaan terpaksa (ُ‫ه‬‫ا‬َ‫ر‬ْ‫ك‬ِ‫ء‬ ْ‫ال‬َ‫ا‬), Seperti di ancam orang lain untuk membatalkan puasa ramadhan, sehingga membahayakan jiwanya. 6. Lupa (ُ‫ان‬َ‫ي‬ْ‫س‬ِ‫لن‬َ‫ا‬), Seperti seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa. 7. Ketidaktahuan ( ُ‫ل‬ْ‫ه‬َ‫ج‬ْ‫ل‬َ‫ا‬), Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian berdagang dengan praktik riba 2.5 Al – Dhoruratu Tuzalu Pengertian kaedah al-dharar yuzalu adalah kemudharatan harus dihilangkan. Qaidah ini memerintahkan untuk menghilangkan kemudharatan. Bila digeneralkan semua wujud kemudharatan, baik kecil maupun besar mesti dihilangkan. Alasan menghilangkan kemudharatan karena menzalimi dan menyengsarakan. Kemudharatan juga bertolak belakang dengan maksud syari’at (maqashid syar’iyah) yaitu mengwujudkan kemaslahatan hidup manusia. Karena itu kemudharatan yang terjadi harus segera dihilangkan kataal-dharar yang, berarti bahaya. Dharurat juga berarti masyaqqah atau kondisi sulit. Dalam mendifinisikan dharurat, sejumlah ulama, baik ulama terdahulu maupun
  • 15. 11 kontemporer, banyak bersilang pendapat walaupun tidak terlalu berjauhan. Ada definisi Al- Jashshash, Al-Zarkasyi, Al-Suyuthi, Abu Zahrah, ulama-ulama Malikiyah dan Syafi'iyah. Seluruh defenisi yang jumlahnya tidak sedikit itu memang saling berlainan dan mempunyai standar jami' danmani' yang berbeda, namun mempunyai arah yang hampir bersamaan. Kaidah diatas kempabil kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al syariah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Ahmad al-Nadwi menyebutkan bahwa penerapan kaidah diatas meliputi lapangan yang luas didalam fikih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari fkih yang ada. Contoh-contoh di bawah ini antara lain memunculkan kaidah di atas :  Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.  Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana islam) adalah juga untuk menghilangkan kemudaratan Adapun penerapannya sebagai berikut : 1. Khiyar dengan segala jenis dan bentuknya ditetapkan oleh syara’ untuk menghilangkan bahaya atau mudharat. a) Khiyar syarth dalam transaksi jual beli misalnya diberlakukan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya bahaya (kerugian) pada orang yang belum berpengalaman dalam transaksi jual beli, sehingga ia rentan menjadi korban penipuan. b) Khiyar ru’yah mengandung unsur menghilangkan bahaya (kerugian) yang muncul dari kondisi barang yang tidak sesuai dengan sifat-sifat (spesifikasi) yang disebutkan pada saat transaksi. c) Khiyar ‘aib, unsur menghilangkan bahaya (kerugian) di dalamnya sudah sangat jelas. 2. Al-hijr (pembatasan wewenang dalam mentasharuffkan hak milik) mempunyai banyak faktor yang melatarbelakanginya, di antaranya si pemilik masih anak-anak, gila, sembrono, dan idiot. Mekanisme al-hijr yang diterapkan pada mereka sesungguhnya diberlakukan untuk memelihara kemashlahatan mereka sesungguhnya diberlakukan untuk memelihara kemashlahatan mereka sendiri dan menghindari bahaya pengeksplotasian mereka.
  • 16. 12 3. Syuf’ah (hak membeli pertama), ditetapkan sebagai milik partner kongsian (asy-syirk) untuk menepis bahaya pembagian barang kongsian, sedangkan hak syuf’ah bagi seorang tetangga dimaksudkan untuk menepis bahaya perlakuan buruk bertetangga (suu al jiwar) yang mungkin ia terima dari tetangga baru yang dapat jadi berkelakuan buruk. 4. Qishash, dalam konteks jiwa dan hudud disyariatkan untuk menepis bahaya yang menyeluruh dari masyarakat dan memelihara kelima prinsip umum. Sedangkan qishash dalam konteks selain jiwa ditetapkan untuk menyingkirkan unsur bahaya dari pihak korban tindak kejahatan dengan mengobati rasa dendamnya terhadap orang yang melanggar haknya sesuai dengan watak alamiah manusia. Dari sisi lain, pelaku kejahatan pun terlindungi dengan mekanisme qishash ini dari tindak balas dendam yang lebih hebat dari pihak korban. Pensyariatan qishash juga menjaga keamanan dan stabilitas masyarakat. 5. Demi menjaga kemaslahatan umum, maka disyariatkanlah berbagai bentuk hukuman ta’zir guna mencegah bahaya sosial maupun bahaya individual baik sebagai tindakan preventif ataupun represif dengan cara yang mungkin dapat menghilangkan bahaya bagi pihak korban ataupun menghapus pengaruh yang ditimbulkan dalam bentuk hukuman yang setimpal. 6. Pembatasan (limitasi) kebebasan manusia dalam mempergunakan hak utilitasnya, kepemilikannya, ataupun tasharrufnya pada hal-hal yang dapat menimbulkan bahay bagi orang lain juga termasuk kategori upaya pencegahan bahaya yang mengerikan dengan segala cara jika ia memang benar-benar terjadi. 2.6 Al – Adah Perkataan “al-`Adah Muhakkamah” merupakan salah satu kaidah fiqh yang digunakan para ahli ushul fiqh untuk merumuskan atau menggali hukum Islam, yang masuk dalam al-Qowa`id al-Kubro, di samping kaidah-kaidah: al-Umur bi-Maqosidhiha (Amal-amal tergantung pada niatnya), al-Yaqin la Yuzalu bisy Syakk (keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan); al-Masyaqqoh Tajlibut Taisir (Kesulitan mendorong Kemudahan), dan adh-Dharoru Yuzalu (Bahaya/mudharat harus dihilangkan) Salah satu kitab yang diajarkan di pesantren yang membahas soal ini, adalah kitab kecil al- Faroidul Bahiyah, yang disusun Syaikh Abu Bakar bin Abul Qosim bin Ahmad bin Muhammad
  • 17. 13 bin Abu Bakar bin Sulaiman bin Abul Qosim bin Umar al-Ahdal (984-1035 H.), atau kitab yang lebih tebal susunan al-Mufassir al-Faqih al-Hafizh, Jalaluddin as-Suyuthi berjudul al-Asybah wan Nazho’ir Kaidah di atas, diambil berdasarkan beberapa dalail, seperti dalam QS. An-Nisa [4]: 115, yaitu: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, wayattabi’ ghoiro sabilil mu’minin (dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Jalannya orang-orang mukmin, adalah jalan yang ditempuh mereka yang mendasarkan pada Alquran, sunah, dan bila tidak terdapat dalam keduanya, menggunakan jalan ijtihad melalui dan mengambil ijma dan qiyas (atau melalui prosedur lain menurut beberapa ulama). Ketika kaum muslimin dengan mendasarkan pada ini, jalan yang tidak ada dalam Alquran dan hadis secara eksplisit, lalu mereka membuat sesuatu hal, karena ada dalail implisitnya dari keduanya (Alquran dan hadis), lalu dipraktikkan dan diulang-ulang, dia bisa menjadi adat dan Urf. Ada juga hadis yang digunakan memperkuat jalan seperi ini, dan keputusan berdasarkan adat/urf yang berkaitan dengan hukum bisa ditetapkan. Para ahli ushul fiqh menyebut riwayat hadits ini: “Ma ro’ahul muslimun hasanan fahuwa `indallohi husnun/ apa yang dipandang baik oleh orang- orang Islam maka bagi Alloh juga dianggap baik”.
  • 18. 14 BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al- ’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. Persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah. 3.2 Saran Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu saya menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lainyang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.
  • 19. 15 DAFTAR PUSTAKA http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.com/2014/07/kaidah-asasiyyah-tentang-al-masyaqqah.html http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html http://kumpulan-makalah-dlords.blogspot.com/2009/07/lima-kaidah-pokok.html Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah muassasah tsaqofah al- Jamiiyah .1983. Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta bulan bintang 1975. Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta. Ali Ahmad al Nadawy, al Qawi’id al Fiqhiyyah, (Dmasascus; Dar al Qalam, 1994) Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: GayaMedia Pratama, 2008) Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah), (Depok, Gramata Publishing) http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan oleh H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA diposting pada tanggal 10 september 2012. https://bocahhukum.blogspot.com/2018/06/pengertian-kadiah-al-dhararu-yuzalu.html https://www.academia.edu/35185411/QAIDAH_AL- DHARAR_YUZALU_Pengertian_dan_Batasannya http://sabaniblog.blogspot.com/2017/10/makalah-adh-dhararu-yuzalu.html