Kaidah Al Yaqin La Yuzalu bi Al-syak menyatakan bahwa keyakinan yang telah ada sebelumnya tidak akan hilang akibat keraguan yang muncul kemudian. Keyakinan hanya dapat hilang jika ada bukti yang jelas yang menunjukkan bahwa keyakinan tersebut salah. Kaidah ini berlaku dalam berbagai konteks hukum Islam seperti status kebersihan, hutang, dan status perkawinan.
1. Kaidah Al Yaqin La Yuzalu
bi Al-syak
APRIL 23, 2014NIAMULES
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia hidup tidak mungkin lepas dari beragam perasaan senang, sedih, sakit, sehat,
kuat, lemah, rajin, malas, dan beragam sifat manusiawi lainya. Begitupun rasa yakin dan
ragu, selalu menyertai denyut nadi kehidupan manusia. Islam pun sebagai agama
yang rahmtan lil alamiin memiliki pengertian dan perhatian besar pada hal-hal yang
bersifat psikologis-antropologis ini. Rasa yakin yang bisa mengawal hidup manusia, baik
dalam dunia bisnis, relasi sosial, hingga interaksi spriritualnya, merupakan modal primer
yang tidak layak di sia-siakan. Rasa yakin yang akan mengiringi manusia menuju kunci
kesuksesan dan keberhasilanya menggapai kebahagiaan hidup dunia akhirat. Sebaliknya,
orang yang tidak punya keyakinan, perjalanan hidupnya akan goyah tak tentu arah.
Karenanya, keraguan yang menganggu pikiran sebagaimana pesan substansial kaidah ini
tidak akan mampu menggoyahkan status hukum yang telah dimiliki oleh keyakinan.
Kaidah ini menandaskan bahwa hukum yang sudah berlandas kan keyakinan tidak dapat
dipengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu yang merupakan unsur
eksternal dan muncul setelah keyakinan tidak akan menghilangkan hukum yakin yang
telah ada sebelumnya. Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam
kondisi suci dengan berwudlu misalnya tidak akan hilang hukum kesucianya di sebabkan
munculnya keraguan setelah itu. Karena sebelum keraguan itu timbul, dia telah
menyakini keabsahan thaharah yang telah dilakukan.
1. Rumusan Masalah
2. Apa definisi Kaidah Al-Yaqin La Yuzalu bi Al-syak ?
3. Apa dalil landasan kaidahnya ?
4. Bagaimana aplikasi kaidahnya ?
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. Definisi Kaidah Al-Yaqin La Yuzalu bi Al-syak.
Dalam bahasa arab, diskursuskan seputar makna kata yaqin (selanjutnya di-Indonesiakan
menjadi yakin) cukup semarak di bicarakan, terutama dalam kajian ilmu Fiqih, Uahul
Fiqih, maupun Kaidah fiqih. Dilihat dari sisi bahasa, yakin secara sederhana di maknai
sebagai ketetapan hati (Thuma’ninah Al-qalb) atas suatu kenyataan atau realitas tertentu.
Umpamanya seseorang mamiliki ketetapan hati bahwa hari ini adalah hari rabu, maka dia
telah yakin bahwa hari ini adalah hari rabu. Lebih jauh, Al-Ghozali menandaskan bahwa
yakin adalah”kemantapan hati untuk membenarkan sebuah objek hukum, dimana hati
juga mampu memastikan bahwa kemantapan itu adalah hal yang benar.[1]
Sementara yakin dalam konteks kaidah ini mempunyai makna lebih luas dari pada
pengertian secara etimologi. Sebab yang dimaksud yakin disini juga
memasukan Zhan (praduga kuat), dimana dzan sendiri belum mencapai derajat yakin.
Namun para fukaha’ terbiasa menggunakan kata Al-ilmu (tahu) dan yakin untuk
menunjuk makna dzan, dan sebaliknya. Dalam kerangka ini, Al-nawawi menandaskan
bahwa bila ada orang yang di percaya ( Tsiqah) memberi tahu bahwaair yang kita pakai
berwudlu terkena najis, maka pengetahuan kita yang berdasarkan berita tadi telah
dikategorikan yakin. Padahal sebenarnya kemantapan hati kita baru harus mencapai
taraf dzan (asumsi atau presepsi kuat), karena kita tidak melihat langsung najis yang
menimpa air yang kita gunakan berwudlu itu. Karenanya, fuqaha’ sering kali
menamai dzan seperti itu dengan kalimat yakin atau al-ilmu(tahu). Konsekuensinya, kita
wajib mensucikan kembali anggota badan yang terkena air najis tersebut sekaligus wajib
mengulangi sholat.[2]
Sedangkan Syak Secara literal biasa diartikan sebagai keraguan atau kebimbangan.
Secara lebih spesifik, ahli fiqih memaknai syak sebagai keraguan dan kebimbangan akan
terjadinya sesuatu atau tidak terjadinya. Yang agak berbeda adalah makna syak yang di
ajukan ahli ushul fiqih, yakni keseimbangan hati dalam menyikapi sesuatu. Dalam
pengertian ini, hati kita tidak lebih cenderung kepada salah satu dari dua kemungkinan
yang ada. Semisal seseorang yang ragu, apakah temanya yang sedang di tunggu akan
datang atau tidak, tanpa melebihkan kemungkinan antara datang dan tidak tersebut.
Dengan pemahaman ini, ushuliyyin sering melontarkan kritik epistimoilogis ( teori ilmu
pengetahuan) kepada para fuqaha” seputar rumsuan kaidah ini . Sebab menurut
ushuliyyin, apabila seseorang telah di hinggapi keraguan dalam hatinya, maka keyakinan
yang sebelumnya telah bulat pasti akan hilang, atau minimal terganggu dan tidak utuh
lagi. Sedangkan kaidah ini mengklaim bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh
keraguan; ini jelas sesuatu yang mengada ada, demikian menurut ushuliyyin.
3. Menanggapi kritik ini, fuqaha’ menegaskan bahwa yang dimaksud tidak hilang”(La
yuzhalu) bukan berarti keyakinan itu sendiri yang sendiri yang sirna, sebab hal itu
mustahil terjadi, melainkan hukum yang telah terbangun berdasarkan keyakinan itulah
yang tidak akan hilang. Hal ini berdasarkan arguman pokok, bahwa pada dasarnya
keyakinan memiliki nilai hukum lebih kuat dari pada keraguan. Sebab, ketika dalam hati
telah terbangun suatu keyakinan, maka dia tidak dapat digoyahkan oleh situasi, kondisi,
atau faktor eksternal apapun. Artinya, dalam sebuah keyakinan terdapat hukum pasti
yang tidak akan tergoyahkan oleh hal-hal yang baru timbul, kecuali oleh keyakinan yang
lain.[3]
Terlepas dari kontradiksi diatas, Al-Nawawi menandaskan bahwa syakdalam istilah
fuqaha’ didefinisikan sebagai keraguan antara wujud dan tidaknya sesuatu. Hak ini dapat
dilihat dari penggunaan istilah syak atau ragu dalam masalah air, kemudian soal hadats,
najasah, sholat, puasa, thalaq, semuanya mengandung pengertian kebimbangan antara ada
dan tidak ada; anaar wujud dan tidak wujud, anatara dikerjakan dan tidak dikerjakan.
Keraguan dalam kasus ini bisa bersifat sama kuat atau seimbang antara keberadaan dan
tidak keberadaanya, dan bisa pula ada yang lebih tinggi salah satu kadarnya.
Secara lebih sistematis, sebagian ulama’ memilah kondisi hati dalam lima bagian berikut:
1. Yakin, yakni keteguhan hati yang bersandar dalam dalil qath’iy(petunjuk pasti).
2. I’tiqad, yaitu keteguhan hati yang tidak bersandar pada dalil qath’iy.
3. Dzan, yakni presepsi atau asumsi hati terhadap dua hal berbeda, dimana salah
satunya lebih kuat.
4. Syak,yaitu sebentuk prasangka terhadap dua hal tanpa mengunggulkan salah satu
diantara keduanya.
5. Wahm, atau kemungkinan yang lebih lemah dari dua hal yang di asumsikan.[4]
1. Dalil Landasan Kaidah
Pondasi terbangunya kaidah ini adalah firman Allah SWT. Dalam QS. Yunus :36 yang
berbunyi:
ماَ وَعُ بِ تّ يَمْ هُ رُ ثَ كْ أَإلِناّ ظَنّ إِنّ ظّ اللنيِ غْ يُنَ مِقّ حَ لْ ائاً يْ شَ
“ Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka saja. Sesungguhnya prasangka
itu tidak akan mengantarkan kebenaran sedikitpun”
4. Ayat ini pada mulanya menyoroti karakter orang-orang musyrik yang seringkali
berpegangan pada prasangka-prasangka yang tidak bisa di buktikan kebenaranya.
Terhadap tuhan yang mesti disembahpun mereka masih cenderung berimajinasi pada
benda-benda mati yang dalam presepsi mereka dapat memberi jaminan keselamatan dan
kelangsungan hidup. Dengan ayat ini, Allah SWT memberi penegasan akan hal yang
mesti dijadikan bijakan berfikir dan bertindak: yakni yang jelas-jelas dapat menunjukkan
pada kebenaran, bukan yang masih diragukan. Karena walau bagaimanapun, hal yang
masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya tidak dapat disejarahkan dengan
keyakinan. Dari penegasan ini akan memunculkan keniscayaan bahwa apabila terjadi
keragu-raguan yang berpotensi untuk mempengaruhi hal-hal yang telah diyakini
sebelumnya, sudah barang tentu tidak dapat mempengaruhi keyakinan yang sudah ada,
selama belum ada elemen-elemen fundamental yang dapat menunjukan bukti falid bahwa
keyakinan itu tidak sesuai kenyataan: Al-yaqin la yuzalu bi al-syak. [5]
Hadist Nabi Muhammad SAW yang menjadi pondasi kaidah ini antara lain:
اذاوجداحدكمفيبطنهشياءفاءشكلعليهاخرجمنهشيءامل؟فليخرجنمن
المسجدحتييسمعصوتااويجدريحا
“ Apabila salah seorang diantara kalian merasakan’sesuatu’didalam perutnya,
kemudian dia ragu, apakah telah keluar sesuatu (dari parutnya) atau tidak, maka
janganlah dia keluar dari masjid (membatalkan sholatnya), samapai dia mendengar
suara atau mencium bau”(H.R Muslim).
Menurut Al-Nawawi, hadist ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprodensi islam
yang kemudian dijadikan fundamen terbangunya kaidah-kaidah fiqih, dari hadits ini pula
terbangun konsep serta metodologi-analitis mengenai status objek, yakni dengan cara
melihat status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang
falid dan mampu mempengaruhi” keaslian “nya, secara eksplisit, hadist ini memang
berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah telah merasakan keluarnya angin
atau tidak. Dalam hal ini,Nabi saw mengesahkan, keraguan yang beru timbul itu tidak
dapat mempengaruhi status wudlunya. Kecuali jika dia memang telah benar-benar
mendengar bunyi nya atau mencium bau angin tersebut. Proses mendengar maupun
mencium bau ini biasa dijadikan indikasi kuat bahwa wudlunya telah batal.[6]
.
5. 1. Aplikasi Kaidah
Banyak sekali persoalan-persoalan hukum yang di cakup kaidah ini, diantaranya adalah
keyakinan akan syahnya thaharah(bersuci). Seseorang yang sebelumnya telah yakin
bahwa dia berada dalam kondisi suci semisal dengan berwudlu tidak akan hilang hukum
thaharahnya disebabkan keraguan yang muncul kemudian. Karena sebelum keraguan itu
timbul, dia telah menyakini keabsahan thaharahnya. Begitupun seseorang yang berhutang
kepada temanya, kemudian dia ragu apakah nilai hutangnya sebanyak sepuluh ribu atau
sebelas ribu? Maka dia diharuskan membayar sebelas ribu. Dengan argumen, apabila
jumlah hutang yang sebenarnya adalah sebelas ribu, maka telah membayarnya dengan
tepat. Namun jika hanya sepuluh ribu, berarti dia telah berbuat kebaikan dengan
bersedekah melalui kelebihan nilai nominal yang dibayarkan.
Sebaliknya, bila keraguanya adalah tentang apakah dia telah melunasi hutangnya atau
belum, maka hutangnya masih dianggap belum terbayar. Karena keraguan bahwa ia telah
membayar hutang tidak dapat merubah suatu hal yang sudah pasti sebelumnya, berupa
kenyataan bahwa dia memiliki hutang. Contoh lainya adalah bila tali perkawinan antara
suami-istri telah nyata-nyata syah, tapi suatu ketika timbul keraguan apakah sang suami
telah menjatuhkan talak atau tidak? Maka hukum nikahnya tetap dianggap syah, karena
hukumnya asal berupa tali pernikahan diantara keduanya telah syah sejak semula.
Alasan mendasar menganggap kebimbangan tidak bisa menghilangkan keyakinan
adalah karena posisi keraguan(syak) dianggap lebih lemah dari pada keyakinan.
Keyakinan hanya bisa hilang bila telah ada sebab-sebab pasti yang mampu
menghilangkan nilai-nilai dasar keyakinan, yang dalam bahasa fuqaha’ disebut Al-sabab
al-muzil (sebab yang mampu menghilangkan).[7]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwasanya kaidah kedua ini yang berbunyi Al-yaqin La yuzalu bi
Al-syak yang artinya keyakinan itu tidak bisa dihilangkan oleh kebimbangan. Yang
dimaksud yakin dalam kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu objek
hukum yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan
yang mantap atau presepsi kuat (Zhan). Jadi bukanlah sebuah kemantapan hati yang
6. disertai dengan keraguan saat melaksanakan pekerjaan, karena hal itu tidak kategori
yakin.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad bin Muhammad al-ghazali, al- musthafa(Dar Al-khutub Al-
Ilmiyah,Beirut).
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim(Beirut,1983).
Ahmad bin Ahmad bin al-Hawali, Ghamzu ‘uyun’ al-Basha’ir hasyiah Asybah li Ibn
Nujaim(Dar al-Thiba’ah al-Amirah, Istanbul,1290 H),131-134.
Muhammad bin jarir bin Yazid al-Thabariy, Tafsir al-Thabari(Dar al-fikri, Beirut,1405
H).
Muhammad Khalid al-attasi, Syarh Majallah al-Ahkam al-Adliyah(Mhatba’ah
Hims,,1349).
Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min al-Hishni,Dirasah wa
Tahqiq(Al-Rusydu,Syirkah al-Riyadl,1997).
[1]Abu Muhammad bin Muhammad al-ghazali, al- musthafa(Dar Al-khutub Al-
Ilmiyah,Beirut),35
[2]Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min al-Hishni,Dirasah wa
Tahqiq(Al-Rusydu,Syirkah al-Riyadl,1997),268.
[3]Ibid,.
[4]Ahmad bin Ahmad bin al-Hawali, Ghamzu ‘uyun’ al-Basha’ir hasyiah Asybah li Ibn
Nujaim(Dar al-Thiba’ah al-Amirah, Istanbul,1290 H),131-134.
[5]Muhammad bin jarir bin Yazid al-Thabariy, Tafsir al-Thabari(Dar al-fikri,
Beirut,1405 H),116.
[6]Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim(Beirut,1983),90.
[7]Muhammad Khalid al-attasi, Syarh Majallah al-Ahkam al-Adliyah(Mhatba’ah
Hims,,1349),18.
7. disertai dengan keraguan saat melaksanakan pekerjaan, karena hal itu tidak kategori
yakin.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad bin Muhammad al-ghazali, al- musthafa(Dar Al-khutub Al-
Ilmiyah,Beirut).
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim(Beirut,1983).
Ahmad bin Ahmad bin al-Hawali, Ghamzu ‘uyun’ al-Basha’ir hasyiah Asybah li Ibn
Nujaim(Dar al-Thiba’ah al-Amirah, Istanbul,1290 H),131-134.
Muhammad bin jarir bin Yazid al-Thabariy, Tafsir al-Thabari(Dar al-fikri, Beirut,1405
H).
Muhammad Khalid al-attasi, Syarh Majallah al-Ahkam al-Adliyah(Mhatba’ah
Hims,,1349).
Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min al-Hishni,Dirasah wa
Tahqiq(Al-Rusydu,Syirkah al-Riyadl,1997).
[1]Abu Muhammad bin Muhammad al-ghazali, al- musthafa(Dar Al-khutub Al-
Ilmiyah,Beirut),35
[2]Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min al-Hishni,Dirasah wa
Tahqiq(Al-Rusydu,Syirkah al-Riyadl,1997),268.
[3]Ibid,.
[4]Ahmad bin Ahmad bin al-Hawali, Ghamzu ‘uyun’ al-Basha’ir hasyiah Asybah li Ibn
Nujaim(Dar al-Thiba’ah al-Amirah, Istanbul,1290 H),131-134.
[5]Muhammad bin jarir bin Yazid al-Thabariy, Tafsir al-Thabari(Dar al-fikri,
Beirut,1405 H),116.
[6]Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim(Beirut,1983),90.
[7]Muhammad Khalid al-attasi, Syarh Majallah al-Ahkam al-Adliyah(Mhatba’ah
Hims,,1349),18.