Kaidah Yakin dan Syak serta Pembolehan Kondisi Darurat
1. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Telah dimaklumi bahwa seorang muslim apabila menghadapi suatu
masalah tanpa dhobith dan kaidah akan terombang-ambing didalam
perbuatannya terhadap diri, mau pun keluarganya, masyarakat serta
umatnya. Dari sinilah kita mengetahui pentingnya ketentuan-ketentuan
dan kaidah-kaidah itu karena dia akan mengatur akal seorang muslim
didalam gambaran-gambarannya yang merupakan sumber dari
perbuatannya didalam diri, keluarga, ataupun masyarakatnya.Dan
salah satu kaidah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan dan
Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi darurat ,harus
disesuaikan menurut batasan ukuran yang dibutuhkan darurat
tersebut
B. RUMUSAN MASALAH
1.Apa definisi Yakin dan Syak (Ragu) ?
2.Apa contoh kasus dalam kaidah fikih yakin dan syak ini?
3.Apa isi dan contoh dari kaidah pembolehan kondisi darurat?
2. BAB II
PEMBAHASAN
1.Asal mula kaidah dan Pembahasan tentang Yakin dan Syak juga
pembolehan kondisi darurat
Asal mula kaidah ini dari kitab Al-Asybah wan Nadhoir karangan Al-Imam
Jalaluddin bin Adurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi,suatu kitab yang banyak
dipakai dikalangan kebanyakan ulama Indonesia1
.
A. Kaidah Yakin
Artinya : sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan pancaindera atau
dengan adanya dalil2
Ada pula yang mengartikan : sesuatu yang sudah yakin tidak akan dapat
dihilangkan dengan keragu-raguan.
Maksudnya ialah semua hukum yang sudah berlandaskan pada suatu
keyakinan itu, tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan yang muncul
kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah
keyakinan, tidak akan bisa mnghilangkan hukum yakin yang telah ada
sebelumnya.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah
tercapainya suatu kemantapan hati pada suatu obyek yang telah dikerjakan, baik
kemantapan itu sudah mencapai pada kadar ukuran pengetahuan yang mantap atau
baru sekadar dugaan kuat (asumtif/dzan). Makanya tidak dianggap suatu
kemantapan hati yang disertai dengan keragu-raguan pada saat pekerjaan itu
dilaksanakanya, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukkan kedalam kategori yakin.
Hal-hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya, tidak dapat
disejajarkan dengan suatu yang sudah diyakini.
B. Dasar Hukum Kaidah Yakin
1. Al-Qur’an
Surat Yunus 36,
1
Drs.H.Abdul Mudjib.Kaidah-kaidah Ilmu Fikih Hal:v
2
Prof.Dr.H.A.Djazuli:kaidah-kaidah fikih Hal:44
3. Artinya : Dan kebanyakan dari mereka tidak mau mengikuti kecuali
persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna
untuk mencapai suatu kebenaran.
2. Hadits
a. HR Imam Muslim dari Abi Hurairah,
Artinya : jika seseorang menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu dia
ragu-ragu apakah sesuatu tersebut sudah keluar dari perutnya ataukah belum?,
maka baginya tidak boleh keluar dari Masjid sampai ia mendengar suara atau
menemukan bau.
b. HR. Imam Muslim dari ‘Ubbad bin Tamim dari pamannya:
Artinya : Nabi saw. Mendapatkan pengaduan bahwasannya seorang
laki-laki merasa bingung oleh sesuatu dalam salatnya, beliau
menjawab: janganlah ia pergi sehingga benar-benar mendengar suara
atau baunya. HR. Bukhari-Muslim.
c. HR. Muslim dari Sa’id al-Khudri, Rasulullah saw
Artinya : jika seseorang mengalami keragu-raguan dalam
mengerjakan salatnya, lalu dia tidak mengerti apakah salat yang
telah ia kerjakan itu sudah mendapatkan tiga rakaat?, maka ia harus
menghilangkan keragu-raguan dan berpegangan pada jumlah rakaat
yang benar-benar meyakinkan.
d. HR. Al-Turmuzhi dan Nasa’i dari Muhammad al-Hasan bin Ali bin
Abi Thalib
Artinya : Aku telah menghafal dari Rasulullah saw : tinggalkanlah
sesuatu yang meragukanmu dan ambillah sesuatu yang tidak
meragukanmu.
Dari semua hadits tersebut, dapat diambil pemahaman
bahwa hukum dari segala sesuatu itu, harus dilihat dari kondisi asal
yang meyakinkan. Maksudnya, jika kondisi asal batal, maka faktor
eksternal yang akan datang kemudian tidak dapat mempengaruhi
terhadap status hukum batal tersebut, sehingga hukumnya tetap
batal. Akan tetapi jika kondisi asalnya sah, maka hukum
4. selanjutnya tetap sah, selama tidak ada bukti yang meyakinkan
yang mampu untuk merubahnya. Dari sini lah, terbangun kaidah
komprehensip mayor kedua, yaitu’’ ِكَّشِلاب ُلا َُزي َال ُنْيِقَيْلَا (al-yaqin la
yuzalu bi al-syakki.”)
C. Beberapa Kaidah Minor
Maksudnya ialah suatu perkara yang sudah berada pada satu
kondisi tertentu dimasa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula,
selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap hukum lain, sebab
dasar dari segala sesuatu adalah tidak berubahnya atau tetap seperti
sediakala, sedang kemungkinan untuk terjadi perubahan dari kondisi
semula adalah sesuatu yang baru dan sifatnya spekulatif, sehingga tidak
dijadikan sebagai pijakan hukum.
Dengan demikian, jika seseorang sedang mengalami keragua-
raguan tentang status hukum dari suatu perkara, maka yang diperlukan
adalah hukum yang telah ada atau hukum yang telah ditetapkan
sebelumnya, sampai ditemukan adanya hukum lain yang merubahnya,
sebab hukum yang telah ada lebih meyakinkan.
Berkaitan dengan kaidah kontinu ini, dalam ilmu ushul fiqh,
ditemukan adanya ketentuan bahwa kaidah kontinuitas ini sama dengan
dalil istishab, yaitu tetap memberlakukan ketetapan hukum yang telah
ditetapkan atau yang telah ada pada masa lampau sampai pada ditemukan
adanya hukum lain yang merubahnya. Maksudnya jika sebelumnya sudah
ada, maka selanjutnya tetap dihukumi ada. Akan tetapi jika sebelumnya
tidak ada, maka selanjutnya dianggap tidak ada.
Contoh :
1. Kasus orang ragu-ragu tentang apakah ia sudah berhadas
ataukah belum, maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi
yang telah ada sebelumnya, yaitu :
a. Jika kondisi sebelumnya ia belum wudlu, maka ia dianggap
batal
b. Jika kondisi sebelumnya ia sudah pernah berwudlu, maka
yang dianggap suci.
2. Kasus orang ketika salat jum’ah, yang meragukan apakah salat
yang dilakukan itu sudah keluar dari waktu atau belum? Maka
5. keraguan seperti ini tidak bisa mempengaruhi akan keafsahan
salat yang yang sedang ia lakukan, sebab keluarnya waktu
merupakan suatu kemungkinan yang sifatnya baru, padahal
kondisi asalnya adalah tetap masih adanya waktu salat jum’ah,
sehingga secara otomatis kondisi asal tersebut tetap bertahan
sampai salat selesai dilaksanakan.
3. Kasus orang berwudlu yang sudah berniat wudlu sebelum
membasuh muka yang merupakan permulaan rukun wudlu.
Niat tersebut ia ucapkan pada saat melaksanakan kesunahan
wudlu, baik saat ia berkumur atau memasukkan air kelubang
hidung. Ketika mulai membasuh muka, baru muncullah keragu-
raguan dalam hati tentang apakah niat yang sudah dilakukan
sejak berkumur itu masih tetap ada atau sudah hilang.
Dalam kondisi ini, status hukum berwudlu tetap dianggap sah,
sebab keraguan tersebut baru muncul dan sifatnya spekulatif,
sedang kondisi sebelumnya ia sudah yakin bahwa dirinya
sudah berniat. Karena itu, niat tersebut dianggap tetap ada dan
berlangsung sampai ia membasuh mukanya.
4. Kasus dua orang (yang berhutang dan pemberi hutang) sedang
berselisih tentang sudah atau belumnya hutang terbayar, maka
hukum yang dapat diambil adalah pengakuan pemberi hutang
yang dikuatkan dengan sumpahnya, sebab hal ini lebih
meyakinkan. Sekalipun demikian, ketetapan ini bisa berubah
jika ada bukti yang meyakinkan tentang pengakuan yang
berhutang.
5. Kasus istri yang ditinggal suami dan tidak diketahui
domisilinya, maka hukum yang diambil adalah tidak
diperbolehkannya istri menikah dengan laki-laki lain, sebab
hukum yang berlaku baginya adalah statusnya yang masih
bersuami.3
D. Yakin dan Syak
1. Arti yakin dan syak
3
Dr.H.Dahlan Tamrin.Kaidah-kaidah Huum Islam Kulliyah Al-Khamsah.Hal:75-82
6. a. Yakin ialah
Sesuatu yang tetap sebab adanya penglihatan dan bukti (dalil)
b. Syak ialah
Syak atau ragu-ragu sesuatu kebimbangan diantara kepastian
dan ketidak pastian dimana sisi benar dan sisi salah dalam keadaan
seimbang dan satu diantara yang lain tidak ada yang unggul.
2. Klasifikasi syak
Dengan adanya uraian tersebut, Syekh Abu Hamid al-Isfarainy
berpendapat bahwa syak/keragu-raguan dapat diklafisikasikan menjadi
tiga kategori, yaitu :
a. Keragu-raguan yang muncul dari sumber yang haram,
Contoh : binatang sembelihan didaerah yang penduduknya
muslim dan non muslim, maka hukum nya adalah haram,
kecuali diketahui benar bahwa binatang tersebut hasil
sembelihan muslim, atau umumnya disembelih muslim.
b. Keragu-raguan yang muncul dari yang mubah.
Contoh : seseorang menemukan air yang keadanya sudah
mengalami perubahan. Hal ini dimungkinkan adanya dua
sebab, yaitu sebab Nazis atau sebab Lamanya diam, maka
baginya diperbolehkan bersuci dengan air tersebut
berdasarkan asumsi bahwa asal air tersebut adalah suci.
c. Keragu-raguan yang muncul dari mana asal haram dan
halal.
Contoh : orang bekerja dengan perusahaan yang sebagian
besar modalnya haram dan keberadaanya memang tidak
bisa dibedakan mana yang haram dan yang halal. Maka
baginya boleh bertransaksi jual beli dengannya, sebab
dimungkinkan barangnya halal dan memang tidak ada
ketegasan barang yang berstatus haram, hanya saja masih
ada kekhwatiran pada barangnya yang haram. Sekalipun
demikian, hukum kerja sama ini dihukumi makruh, sebab
menghindari akan terjadinya keharaman didalamnya.4
4
Ibid.Hal:116-118
7. d. Didalam buku kaidah-kaidah fiqh Drs.H.Abdul Mudjib
disebutkan salah satu contoh Syak dari keragu-raguan sah
atau tidak.Contoh orang makan sahur diakhir malam merasa
ragu kalau-kalau saat fajar sudah terbit.Puasanya tetap
dipandang sah, karena menurut yang asal adalah berlakunya
waktu masih malam,bukan waktu fajar
e. Berbuka menjelang maghrib anpa penelitian,kmudian
timbul keraguan bahwa kemungkinan matahari belum
terbenam,maka puasanya dihuumi batal,sebab menurut
yang asal adalah berlakunya waktu sebelum maghrib5
.
3. Status Syak Dan Dzan
Dari adanya penjelasan masalah yakin dan syak seperti diatas,
maka dapat diambil pemahaman bahwa syak dan dhon adalah dua
istilah yang memiliki arti sama, sebagaimana yang umum dipakai
dalam kitab-kitab fiqh, sebab keduanya merupakan amaliyah hati yang
sulit diketahui secara pasti.
Sekalipun demikian, sebagian para ahli hukum islam
melakukan pemilahan secara sistimatis tentang kondisi hati dalam lima
bagian yaitu :
a. Yakin, yaitu artinya : ketangguhan hati yang bersandar pada
hakikat sesuatu (pasti benarnya).
b. Dzanniy, yaitu artinya : asumsi atau persepsi hati terhadap
dua hal yang berbeda, dimana salah satunya lebih kuat dari
yang lain.
c. Syak, yaitu artinya : sebuah prasangka terhadap dua hal
tanpa mengunggulkan salah satu diantara keduanya.
d. Waham, yaitu artinya : kemungkinan yang lebih lemah dari
dua hal yang sedang diasumsikan. 6
5
Op Cit.Hal:21
6
Loc Cit.Hal:118-119
8. Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi al-syak { كَّشِلاب ُلا َُزي َال ُنْيِقَيْلَا }.ini kemudian
muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya misalnya { يزال اليقينثلهِم ليقين با
}Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula.
Contoh:
1.Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka
wudhu kita menjadi batal.
2.Kita berpraduga tidak bersalah kepada seseorang,tetapikemudian ternyata orang tersebut
tertangkap tangan sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dn harus
dihukum.
3.Si A berutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A sudah lunas,maka si A
yang tadinya berutang ,sekarang sudah bebas dari utangnya.
4.Ada bukti yang meyakinkan bahwa seseorang telah melakuka kejahatan,oleh karenanya
harus dihukum.tetapi,bila ada bukti lain yang meyakinkan pula bahwa orang tersebut tidak
ada di tempat kejahatan waktu terjadiya kejahatan tersebut, melainkan sedang di luar negeri
misalnya, maka orang terseut tidak dapat di anggap sebagai pelaku kejahatan. Karena
keyakinan pertama menjadi hilang dengan keyakinan kedua inilah yang disebut alibi di dunia
hukum7
.
5.Dalam kitab I’lamul Muwaqi’in disebutkan dalam pembahasan Istishab bahwa Apabila ada
suami istri yang sudah sah melaksanakan pernikahan tetapi muncul seorang wanita yang
mengaku bahwa suami istri itu adalah anak kandungnya (saudara sesusuan) dan ternyata
bukti itu benar maka pernikahan itu batal dan tidak sah, karena pernikahan saudara sesusuan
itu haram hukumnya8
.
2.Pembahasan Tentang Pemahaman pembolehan Kondisi Darurat
تحتاجه ما بقدر الضرورة مع محظور وكلالضرورة Wa kullu mahthurin ma'ad dhorurohi bi
qodri maa tahtaajuhu ad dhorurotu
7
Loc cit.Hal;47-48
8
Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah.I’lamul Muwafiqi’in.hal:246-247 (ada redaksi perubahan)
9. Artinya setiap hal yang dilarang itu di bolehkan jika dalam kondisi yang darurat,
tetapi sesui dengan kadar yang dibolehkan saja untuk menghilangkan darurat itu.asal mula
kaidah ini juga berasal dari kitab Al-Asybah wan Nadhoir karangan Al-Imam Jalaluddin bin
Adurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi
Dalil Al-Qur’an : Pembolehan Kondisi Darurat
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqoroh : 173 )
Dalam ayat ini ada syarat: tidak ada keinginan terhadapnya, dan tidak pula melampui
batas, makna al udwan : terus menambah hinga melampui batas yang di wajibkan, maka
barang siapa yang melampui batas tersebut maka dia mendapatkan dosa, dan inilah dalil dari
qaidah ini.9
Contoh masalah dari kaidah ini adalah
1. Orang haus sekali dan tidak ada minuman kecuali Khamr (minuman keras),maka baginya
boleh meminumnya,tetapi hanya sekedar untuk mempertahankan hidupnya yang sedang
terancam lantaran kehausan.Akan tetapi jika haunya telah hilang,maka uumnya kembali
kepada asal yaitu haram.
2. Kasus sakit kronis ang tidak kunjung sembuh.Kasus ini bsa membuat penderita
mendapatkan suatu keringanan (rukhshah) dengan mengkonsumsi obat-obatan yang
hakikatnya diharamkan,misalna obat bius dan yang sejenisnya,dengan ketentuan selama
sudah sdissuaikan dengan kadar kesulitannya 10
3. Apakah bahaya/kondisi darurat itu di timbulkan oleh hak milik orang lain atau bukan?
jika kondisi itu di timbulkan oleh hak milik orang lain maka, yang punya hak tidak boleh
menuntutnya untuk menganti rugi hak yang hilang tersebut. Misalnya: seseorang tiba-tiba
di serang onta (sapi) sampai membahayakan dirinya, maka orang tersebut melawannya
hingga terbunuh onta/sapi tersebut karena membela diri, disini ada kondisi darurat
(membela diri).Maka apakah boleh sang pemilik onta/sapi datang kepadanya dan
mengatakan: berikan ganti rugi seharga onta/ sapi tersebut? Maka kami (para ulama)
katakan: tidak ada hak bagi sang pemilik, kenapa, karena bahaya/kondisi gawat tersebut
9
Kaidah-kaidh fikih.Sulaiman abu syeikha al magetiy.http://www.raudhatulmuhibbin.org/2008/01/qawaidul-
fiqhiyyah.html.diakses pada tanggal 28 tahun 2014
10
Loc cit.Hal:165-166
10. di timbulkan karena kelalailan sang pemilik, dia lupa menjaga hak miliknya, maka jika
yang demikian itu tidak ada garansi (ganti rugi)
4. Adapun jika kondisi darurat (bahaya) tersebut tidak ditimbulkan karena hak miliknya
(berhubungan dengan) orang lain maka wajib mengantinya jika mengambil
(menhilangkan hak milik tersebut) misalnya: seseorang sangat kelaparan, dan dia tidak
mendapati makanan apapun kecuali onta milik (hak) orang lain kemudian orang ini
menyembelihnya dan memakanya,maka dalam kondisi darurat (bahaya) ini ada dan
terjadi tanpa ada hubungannya dan bukan karena hak orang lain, maka sang pemilik onta
boleh menuntut ganti rugi dari onta yang dimakan orang tersebut, maka para ulama
mengambil kaidah dari hal ini :
5. (al idhirar laa yubtilu haqol ghoiri) الغير حق يبطل ال االضطرار kondisi bahaya tidak
menhalalkan (membatalkan) hak orang lain, dengan catatan kondisi darurat (bahaya)
tersebut timbul bukan disebabkan hak milik orang lain. Contoh lainnya yang lebih
terperinci: para penumpang dalam kapal, membuang sebagian barang milik penumpang
lain kelautan ,karena bisa menyebakan bahaya jika tidak membuangnya, masalahnya
apakah orang yang membuang barang tersebut harus menganti barang tersebut apa tidak?
maka kita lihat sebabnya: jika dia membuangnya karena kelalaian sang pemilik barang,
misalnya orang tersebut tinggal dibawah barang tersebut di letakkan, dan membuat kapal
bocor,maka bahaya tersebut timbul karena kelalaian sang pemilik barang maka, tidak
wajib baginya menganti barang tersebut, namun jika kondisi bahaya tersebut bukan
ditimbulkan dari hak (barang) oranga lain, misal kapal tersebut kelebihan barang dan
muatan, dan bisa menyebabkab kapal tersebut tengelam sehingga pemilik/kapten kapal
mengatakan: kita harus membuang sebagain barang kelaut, dan diambillah sebagian
barang tersebut dan dibuang kelaut, maka apakah ada garansi (ganti rugi) barang tersebut,
kita katakan: iya ada garansi, karena bahaya tersebut tidak ditimbulkan dari barang itu
sendiri atau kelalaian pemilik barang namun timbul karena kelalaian semua orang dalam
kapal, sehingga di katakan kepada semua yang ada di kapal: beri ganti rugi barang
tersebut, dan di bagi rata setiap penumpang hingga terkumpul seharga barang tersebut,
tergantung jumlah dan harganya, atau sang pemilik kapal yang bertanggung jawab karena
dia yang mengatur dan mengurusi semua tentang kapalnya.11
11
Opcit. http://www.raudhatulmuhibbin.org/2008/01/qawaidul-fiqhiyyah.html
11. BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kaidah fiqh yang berbunyi Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan sudah
banyak sekali dibahas di kitab-kitab klasik maupun kitab kontemporer. Begitu juga dengan
kaidah yang berbunyi Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi darurat ,harus disesuaikan
menurut batasan ukuran yang dibutuhkan darurat tersebut. Dua kaidah ini sangat penting
untuk dibahas karena masalah ini selalu muncul dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya
seperti seseorang yang lupa raka’at dalam keadaan shalat apakah 3 raka’at atau empat raka’at
maka yang diambil adalah yang diambil 3 karena sebelum empat, jadi dalam bilangan yang
diambil adalah bilangan yang terkecil. Sedangkan contoh keadaan darurat maka apabla
seseorang terseat di hutan dan dia tidak ada makanan untuk dimakan dan dikhawatirkan akan
mati apabila tidak makan, maka diperbolehkan memakan bangkai hewan tetapi secukupnya
saja untuk bertahan hidup.
12. DAFTAR PUSTAKA
abu syeikha al magetiy,Sulaiman.(2008).Kaidah - Kaidah Fikih.www.raudhatul
muhibbin.org/2008/01/qaidul fiqiyah.html.diakses pada tanggal 28 tahun 2014
Al-jauziyyah,Ibnu Qayyim.(2000).I’lamul Muwafiqi’in. Jakarta:Pustaka Azzam
Djazuli,A .(2006).Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta:Kencana
Mudjib,Abdul.(2001).Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih.Jakata:kencana mulia
Tamrin,Dahlan.(2010).Kaidah-Kaidah hukum Islam Kulliah Khamsah.Malang:UIN Maliki
13. TUGAS BERSTRUKTUR DOSEN PEMBIMBING
Kaidah – Kaidah Fikih H.Nuril Khasyi’in, LC, MA
PEMAHAMAN KAIDAH FIQH YAKIN,SYAK DAN PEMBOLEHAN
KONDISI DARURAT
Disusun Oleh :
Kelompok 2
INTAN PAMBUDI :1201150110
HERLINA SRI WAHYUNI :1201150106
LIA ANGGRAINI :1201150116
ARIEF SIPAHUTAR :1111151528
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
BANJARMASIN
2013