1. Kamis, 08 Mei 2014
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum
2. Di susun Oleh :
1. Miftahuddin (2013002009)
2. Tri Hadi Susanto (2013002005)
STIE Muhammadiyah pekalongan
USHUL FIQH “IJTIHAD DAN PERANNYA DALAM ISLAM”
3. Secara etimologis kata “ijtihad” merupakan bentuk
masdar dari lafadz “ijtihada-yajtahidu-ijtihadan”, yang
diambilkan dari akar kata “jahada-yajhadu-jahdan”,
yang berarti: mengarahkan segala kemampuan atau
menanggung beban. Oleh karena itu, “ijtihad” menurut
bahasa adalah pengarahan seluruh daya upaya yang
dimiliki secara optimal dan maksimal.
Ijtihad menurut ulama’ ushul ialah usaha seorang yang
ahli fiqih yang menggunakan seluruh kemampuannya
untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis)
dari dalil-dalil yang terperinci.
A. PENGERTIAN IJTIHAD
4. Secara terminologis, para ulama telah memberikan definisi dengan
berbagai versinya antara lain:
1. Abdul Wahab Khallaf
ِيِع َْرشال ِمْكُحال َليِإ ِل ْوُصُوْلِل ِدْهُجْال ُلْذَب َوُه ُداَهِتْجِاإلٍلْيِلَد ْنِم
ٍيِلْي ِصْفَتِةَّيِع ْرَّشال ِةَّلِدَألا َنِم
“Ijtihad adalah pencurahan daya kemampuan untuk menghasilkan
hukum (berdasarkan) dalil-dalil “syara’” yang detail.”
2. Muhamad Abu Zahrah
َاكْحَألا ِاطَبْنِتْسا يِف ُهَعْسُو ِهْيِقَفْال ُلْذَب َوُه ُداَهِتْجِاإلَاهِتَّلِدَأ ْنِم ِةَيِلَمَعال ِم
ِةَّيِلْي ِصْفَّتال
“Ijtihad adalah pencurahan daya upaya dari seorang faqih (ahli
hukum islam) dalam rangka mengistimbatkan hukum yang terkait
dengan hukum ‘amaliyyah berdasarkan argumentasi yang detail.”
5. 3. Al-Amidi
ُداَهِتْجِاإلِم ٍْئيَشِب ِِّنَّالط ِبَلَط يِف ِعْس ُالو ُغا َرْفِتْسِا َوُهٍٍ ْج ََ َليَِ َِِّيِِ ْرَّشال ِِاََََْْأا َن
ُّسُحَيِدْي ِزَمال ِنَِ ِسْفَّنال َنِمٍِ ْيِف
“Ijtihad adalah pengarahan segala daya upaya untuk mencari hukum
yang bersifat dzanni, dimana seseorang tidak mampu lagi untuk
berusaha maksimal dari itu.”
4. Asy-Syaukani
ٍِّيِلَمَِ ٍِّيِِ َْرش ٍمَُْْ ِلْيَن يِف ِعْس ُالو ُلْذَب َوُه ُداَهِتْجِاإلِاطَبْنِتْسِاإل ِقْي ِرَطِب
“Ijtihad adalah pencurahan segala daya upaya didalam mencari
hukum syar’I yang bersifat amaliah (praktis) dengan menggunakan
beberapa metode istinbat, (penggalian hukum).”
6. B. Kedudukan Ijtihad
Imam Syafii ra dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan
kesempurnaan Alquran menegaskan: ‘maka tidak terjadi suatu
peristiwapun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab
Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya. Menurutnya, hukum-
hukum yang dikandung oleh alquran yang bisa menjawab berbagai
permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena
itu, menurutnya Allah mewajibkan kepada hamba_Nya untuk
berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang
untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan
hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainya.
Pernyataan Imam Syafii diatas, menggambarkan betapa pentingnya
kedudukan ijtihad disamping alquran dan sunah Rasullah. Dalam
surat an-Nisa ayat 59:
7. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
9. “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab
dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama.
Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun
yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan
mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah
melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan
rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan pada al-Qur’an
dan sunnah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa
nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya
dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist
yang barang kali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau
berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang
disimpulkan dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
10. Ijtihad sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus berkembang
dan permasalahan pun semakin kompleks, sehingga perlu adanya tatanan
hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman tetapi tetap mengacu pada
Al-Qur’an dan As-Sunah. Tentang kedudukan hasil ijtihad dalam masalah
fiqih terhadap dua golongan, yaitu:
a. Golongan pertama berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid adalah benar,
dengan alasan karena masalah tersebut Allah swt. tidak menentukan
hukum tertentu sebeluim diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib mengikuti
hasil ijtihad para mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam suatu
masalah adalah karena berbedanya jangkauan para mujtahid.
b. Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu
hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum Allah. Sedangkan
yang tidak cocok dengan jangkauan hukum Allah maka dikategorikan
salah. Golongan ini beralasan bahwa Allah telah meletakkan hukum
tertentu pada salah satu masalah sebelum diijtihadkan, hanya saja
terkadang mujtahid dapat menjangkaunya dan terkadang tidak.
Demikian pendapat para jumhur ulama, termasuk di dalamnya Imam
Syafi’i. Ia berpendapat dengan dikuatkan oleh sabda Nabi saw:
11. َمَم َو ِانَرْجَا ُهَلَف َابَصاَف َدَهَتِْجا ْنٌرْجَا ُهَلَفَأَطْخَأ ْنٌد ِاح َو
(ومسلم البخارى رواه)
Artinya: “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar maka ia mendapatkan dua
pahala, dan barang siapa yang berijtihad tetapi salah maka ia mendapatkan
satu pahala.” (HR. Bukhari Muslim).
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadist yang tidak
sampai ke tingkat hadist mutawatir seperti hadist ahad atau sebagai upaya
memahami redaksi ayat atau hadist yang tidak tegas pengertianya sehingga
tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-quran dan
sunah seperti dengam qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. pengembangan
prinsip-prinsip hukum dalam Alquran dan As-sunah adalah penting, karena
dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadist hukum yang sangat terbatas jumlahnya
itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
12. C. Syarat Mujtahid
Ulama’ ushul berbeda pendapat dalam mnenetapkan syarat-syarat ijtihad
atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang
melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan
seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam
Alqur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak
disyaratkan menghafalnya, melainkan cukup mengetahui letak-
letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan
b. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum, baik menurut
bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratakan harus
menghafalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti
untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya.
13. c. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Alqur’an dan As-
Sunnah supaya tidak salah dalam menetapkan hukum,
namun tidak disyaratkan harus menghafalnya.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui
ijma’ ulama’ sehingga ijtihadnya tidak bertentangan
dengan ijma’.
e. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta
menginstinbathnya, karena qiyas merupakan kaidah dalam
berijtihad.
f. Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang
berkaitan dengan bahasa serta berbagai problematikanya.
Hal ini antara lain karena Alqur’an dan As-Sunnah ditulis
dengan bahasa arab. Namun, tidak disyaratkan betul-betul
menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-
kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari
Alqur’an dan Al-Hadits (Al-Amidi : 140).
14. g. Menegetahui Ilmu Ushul Fiqh yang merupakan fondasi
dari ijtihad. Bahkan menurut Fakhru Ar-Razi, ilmu yang
paling penting dalam berijtihad adalah ilmu Ushul Fiqh.
h. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan Syari’at)
secara umum, karena bagaimanapun juga syari’at itu
berkaitan dengan maqashidu asy-syari’ah atau rahasia
disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil
rujukan pada istihsan, maslahah mursalah, ‘urf dan
sebagainya yang menggunakan maqashidu asy-syari’ah
sebagai standarnya.
Maksud dari maqashidu asy-syari’ah, antara lain menjaga
kemaslahatan manusia dan menjauhkan dari kemadharatan.
Namun standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia,
karena manusia tidak jarang menganggap yang haq menjadi
tidak haq dan sebaliknya.
15. D. Ijtihad Bisa Benar dan
Bisa Salah
Bila seorang mujtahid melakukan ijtihad terhadap
suatu masalah dalam lapangan ijtihad dan sampai
pada suatu kesimpulan berupa hukum, maka
secara lahir dapat dikatakan bahwa ia telah
menetapkan hukum syara’, namun pada
hakikatnya, mujtahid itu bukan menetapkan dan
membuat hukum, karena sesuai dengan keyakinan
dalam islam, bahwa yang berhak menetapkan
hukum syara’ hanyalah Allah. Dan tiada hukum
kecuali dari Allah.
16. Bahwa ijtihad itu berlaku dalam hal-hal yang hukumnya tidak terdapat
secara dalam Alqur’an maupun Sunnah, ataupun ada Nashnya akan tetapi
dalam bentuk yang tidak meyakinkan (dzanni). Dengan demikian tidak
tertutup kemungkinan beberapa orang mujtahid yang sama-sama
melakukan ijtihad terhadap suatu masalah yang sama menghasilkan
pendapat yang berbeda, maka muncul pertanyaan: “mana di antara pendapat
itu yang benar?”. Pertanyaan ini muncul karena hasil yang dicapai mujtahid
itu adalah hukum Allah, seandainya semua pendapat yang berbeda itu
dinyatakan benar tentu akan beragam hukum Allah dalam suatu masalah
tertentu. Karenanya persoalan ini menjadi perbincangan yang tidak ada
hentinya di kalangan ulama’, terutama tentang mana di antara pendapat
yang berbeda tersebut yang benar, salah satu di antaranya atau semuanya.
Kalau hanaya satu yang benar, maka tentu yang lainnya salah. Jika salah
dalam berijtihad apakah berdosa atau tidak. Seandainya berdosa apakah
hanya sekadar berdosa atau membawa akibat kekafiran.
Dalam menjelaskan persoalan di atas, para ahli ushul memilah-memilah
masalah yang menjadi lapangan ijtihad. Dalam hal ini para ahli membaginya
pada dua lingkup yang besar, yaitu :
17. a. Masalah ‘aqliyah atau nazharriyah; yaitu masalah yang berkaitan
dengan ‘aqidah.
Bidang ‘aqliyah dalam kajian ini dibagi dalam dua masalah:
1. Masalah paling dasar dalam agama yang seandainya salah dalam
bidang ini, dapat menghilangkan keimanan dan menyimpang dari
ketentuan agama. Umpamanya tentang keberadaan Allah SWT dengan
segala sifat-sifat-Nya dan kerasulan Nabi Muhammad SAW
2. Masalah ‘aqliyah yang seandainya salah dalam hal ini, tidak sampai
menghilangkan keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Umpamanya masalah kemungkinan manusia melihat Allah atau tidak,
Alqur’an sebagai makhluk atau Bukan, dan sebagainya.
Mayoritas Jumhur Ulama’ sependapat dalam bidang ‘aqliyah tersebut,
bahwa yang betul hanya satu, yaitu yang mencapai kebenaran Allah,
sedangkan yang lainnya adalah salah.
18. • Dalam bidang ‘aqliyah bentuk pertama :
Mereka juga bersepakat bahwa yang salah
dalam ijtihadnya, di samping berdosa juga
kafir atau keluar dari islam karena hasil
ijtihadnya itu telah menafikan keimanannya.
• Tetapi dalam bidang ‘aqliyah bentuk kedua
Mereka berbeda pendapat dalam menyatakan
kafir (keluar dari islam) terhadap mujtahid
yang salah dalam berijtihad.
19. b. Masalah Syar’iyyah
Mengenai Ijtihad dalam bidang Syari’ah ini Jumhur Ulama’
membaginya kepada dua bentuk:
• Bidang syari’ah yang sudah pasti dan dapat diketahui secara dharurui
(tanpa memerlukan pemikiran atau ra’yu) bahwa ia termasuk ketentuan
agama; seperti: wajibnya shalat lima waktu, puasa ramadhan, zakat dan
haji yang sudah memenuhi syarat, haramnya zina serta minum khamr itu
haram, dan lain-lain yang termasuk masalah pokok-pokok dalam agama.
Hasil ijtihad dalam bidang ini hanya satu yang benar , yaitu hasil ijtihad
dari mujtahid yang sanggup mencapai kebenaran tersebut, dan yang
lainnya adalah salah. Kesalahannya itu tidak dapat dimaafkan, sehingga
mujtahid tersebut dengan sendirinya menjadi berdosa. Bahkan ada
ulama’yang menganggapnya kafir karena si mujtahid itu dianggap telah
menyalahi suatu yang bersifat dharuriyat (masalah pokok) dalam agama.
• Bidang syari’ah yang tidak memiliki dalil yang qath’i dan meyakinkan,
seperti: kedudukan wali dalam nikah, hak waris cucu, ijab qabul dalam
jual beli, investasi dalam mudharabah dan sebagainya. Para ulama’
berbeda pendapat hasil ijtihad yang berbeda antar para mujtahid, yaitu:
20. a. Kebanyakan ulama’ (menurut riwayat Al-Mawardi dan Al-
Royani) seperti Abu Hasan Al Asy’ari dan Al-Mu’tazilah
(menurut Al-Mawardi) berpendapat bahwa setiap
mujtahid yang mengemukakan hasil ijtihadnya terdapat
kebenaran. Karena itu, setiap mujtahid itu adalah benar,
dalam hal ini berlaku ketentuan bahwa hukum Allah ada
pada lisan setiap mujtahid.
b. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam syafi’i dan
kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa yang benar hanya
terdapat pada satu di antara beberapa pendapat mujtahid
yang berbeda itu. Namun mengenai satu pendapat mana
yang benar, tidak bisa ditentukan oleh pandangan
manusia, hanya Allah yang mengetahuinya.
21. Jumhur ulama’ (yang mengatakan bahwa yang benar hanya satu dan yang lain salah
namun tidak berdosa) mengemukakan argumen dengan dalil dari Alqur’an, Sunnah
dan Ijma;
1. Dalil Alqur’an yang di antaranya adalah surat Al-Anbiya’ Ayat 78-79:
• 78. dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-
kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang
diberikan oleh mereka itu,
• 79. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum
(yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan
Hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-
burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya.
Jalan pikiran argumentasi dari ayat di atas bahwa Allah telah memberikan
secara khusus kepada Sulaiman pemahaman yang haq tentang kejadian yang
dihadapi itu. Berarti dalam hal ini Dawud tidak memiliki pemahaman. Ini
mengandung arti bahwa di antara keduanya ada yang betul dan ada yang salah.
22. 2. Dalil dari Sunnah adalah sabda Nabi Muhammad SAW:
َمَا ٍُ َلَفَأَطْخَأ ْنَم ََ ِانَرْجَا ٍُ َلَف َابَصاَف َدَهَتْجِا ْنٌد ِْا ََ ٌرْج
(َمسلم البخارى رَاه)
Artinya: “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar maka ia
mendapatkan dua pahala, dan barang siapa yang berijtihad
tetapi salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari
Muslim)
Dari sabda Nabi Muhammad di atas jelaslah bahwa
ijtihad itu ada yang salah di samping itu ada pula yang benar.
Hal ini berarti bahwa dari sekian banyak pendapat mujtahid
yang berbeda tidak mungkin benar semua.
23. 3. Argumen dalam bentuk ijma’ adalah bahwa para sahabat berijma’
dalam menggunakan kata “salah” dalam berijtihad. Di antaranya apa
yang diriwayatkan dari Abu Bakar yang mengatakan:
“Saya berkata tentang hukum kalalah itu berdasarkan pendapat saya.
Bila betul, maka itu adalah dari Allah. Bila salah, itu adalah dari saya
sendiri dan dari syaithan. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya terlepas
dan bersih dari kesalahan itu.”
Dari ucapan Abu Bakar itu jelaslah bahwa para sahabat dalam
berijtihadnya ada yang mencapai kebenaran dan ada pula yang yang
salah. Tidak pernah terjadi seorang sahabat mengingkari pendapat
sahabat lain karena kesalahannya. Ini berarti bahwa mereka telah
ijma’ bahwa yang benar dari beberapa pendapat yang berbeda itu
hanya satu