Ijma' merupakan salah satu sumber hukum Islam yang mengacu pada kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW mengenai suatu hukum. Terdapat beberapa jenis ijma', antara lain ijma' sharih, ijma' sukuti, dan ijma' kontemporer. Unsur penting ijma' antara lain kesepakatan para mujtahid yang memenuhi syarat, hukum baru tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis, serta meng
2. Landasan Hukum
Landasan hukum dalam Islam :
• Al-Qur’an
• Hadits
• Ijma’ (yang tidak bertentangan dengan Al- qur’an dan
hadits)
• Qiyas (yang tidak bertentangan dengan Al- qur’an dan
hadits)
3. Ijma’
Ijma’ menurut bahasa mengandung dua arti :
berupaya (tekad) terhadap sesuatu. berarti
berupaya di atasnya.
• Pengertian pertama :
disebutkan
Seperti firman Allah SWT :
. . . . . .
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu- sekutumu. (Qs.10:71)
• Pengertian kedua, berarti kesepakatan.
Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk
satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
4. Ijma’
• Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid
dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasulullah SAW
atas hukum syara.
Adapun pengertian Ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i
terdapat perbedaan rumusan yang mana terletak pada segi siapa yang
melakukan kesepakatan itu.
5. Kehujjahan ijma'
Ijma' menjadi hujah (pegangan) dengan sendirinya ditempat yang tidak
didapati dalil (nash),yakni Al-Qur- an dan Al-Hadist. Dan tidak menjadi
ijma' kecuali telah disepakati oleh segala ulama Islam,dan selama tidak
menyalahi nash yang qath'i (Kitabullah dan hadist mutawatir).
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nilai kehujahan ijma' ialah dzanni,
bukan qath'i. Oleh karena nilai ijma' itu dzanni, maka ijma' itu dapat
dijadikan hujjah (pegangan) dalam urusan amal, bukan dalam urusan
i'tiqad, sebab urusan i'tiqad itu mesti dengan dalil yang qath'i.
6. Pembagian ijma'
• Ijma' ummat itu dibagi menjadi dua:
1. Ijma' qauli (ucapan); yaitu ijma' dimana para Ulama ijtihad menetapkan pendapatnya baik dengan
lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain
dimasanya.Ijma' ini disebut juga ijma' qath'i.
2. Ijma' sukuti (diam); ialah ijma' dimana para Ulama ijtihad berdiam diri tiada mengeluarkan
pendapatnya atas mujtahid lain dan diamnya itu bukan karena takut atau malu. Ijma' ini
disebut juga ijma' dzanni. Sebagian ulama berpendapat,bahwa suatu penetapan jika yang
menetapkan hakim yang berkuasa dan didiamkan oleh para Ulama, belum dapat dijadikan hujjah.
Tetapi sesuatu pendapat yang ditetapkan oleh seorang Faqih, lalu didiamkan para Ulama yang lain
maka dapat dipandang ijma'.
Disamping ijma' ummat tersebut,masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu (1). Ijma' sahabat, (2).
Ijma' Ulama Medinah, (3). Ijma' Ulama Kufah, (4). Ijma' Khulafa yang empat, (5). Ijma' Abu Bakar
dan Umar, dan (6). Ijma' itrah, yakni ahli bait= golongan syi'ah.
7.
8. Ijma’ dalam rumusan Al-Ghozali
Kesepakatan umat Muhammad SAW secara khusus atas suatu urusan agama
Pandangan Imam Al-Ghozali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’i yang
menetapkan Ijma’ itu sebagai
kesepakatan umat.
keyakinan bahwa
Yang
yang
mana di dasarkan pada
terhindar dari kesalahan
hanyalah umat secara keseluruhan bukan perorangan. Namun pendapat
Imam Syafi’i ini mengalami perubahan dan perkembangan ditangan
pengikutnya di kemudian hari.
9. Rukun Ijma’
• Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin
dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang
(mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya
disepakati antara satu dengan yang lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan
melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para
mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah,
maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali
dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
10. Rukun Ijma’
3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang
mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk
perkataan, fatwa atau perbuatan.
4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid.
Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan
yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan
jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan
yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
11. Syarat Mujtahid
- Para Mujtahid hendaknya sminimal memiliki 3 syarat:
• Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
a) Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
b)Memiliki pengetahuan tentang Sunnah. c)
Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’
sebelumnya.
tentang ushul
• Syarat kedua, memiliki pengetahuan fiqh.
• Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
12. Syarat Mujtahid
As-syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu
memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat).
Karena menurutnya, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan
mujtahid kecuali menguasai dua hal:
1. ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna.
2. ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum
berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-
Syariah.
13. Ijma’
Kata ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan
atau kesepakatan tentang suatu masalah. Ijma’ dalam istilah ahli ushul
adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam masa
setelah wafat Rasulullah SAW atas hukum syara’.
14. A. Ijma’
Yang telibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui Ijma’ tersebut adalah
seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setujuh, sekalipun
jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum Ijma’.
Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid
yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia islam.
Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pandangannya.
Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat actual dan tidak
ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an.
Sandaran hukum Ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qur’an dan atau hadits
Rasulullah SAW.
15. A. Ijma’
Ijma’Sharih adalah ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu
masa mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan
terbuka, baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarkan melalui fatwa),
melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan (mujtahid yang menjadi hakim
memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat mereka
menghasilakan hukum yang sama atas hukum tersebut.
16. Ijma’ Sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum.
Alasannya, diamnya sebagian ulama para mujtahid belum tentu
menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa
bilamana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga
disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya
pendapat itu karena dianggap lebih senior.
17. PENGERTIAN IJMA’
KESEPAKATAN MENGENAI PENDAPAT PARA MUJTAHID SESUDAH
WAFATNYA NABI MUHAMMAD SAW PADA SUATU MASA,
TENTANG SUATU PERKARA/ HUKUM TERTENTU.
ARTINYA SEPAKAT, SETUJU ATAU SEPENDAPAT
SECARA BAHASA
SECARA ISTILAH
18. LANDASAN HUKUM IJMA’
Landasan hukum ijma’ tercantum dalam Surat An-Nisa ayat 115, yang artinya :
“Dan barang siapa yang menentang Rasulullah SAW sesudah jelas jalan
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruknya tempat
kembali”.
Selain itu juga tercantum dalam Surat An-Nisa ayat 59 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan taati Rasul-Nya, dan
Ulil Amri diantara kamu”.
19. Syarat-
Syarat Ijma
Yang melakukan Ijma’ adalah orang-orang
yang memenuhi persyaratan ijtihad
Kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang
bersifat adil
Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha
menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan
bid’ah
20. RUKUN IJMA’
Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma adalah
seluruh mujtahid
Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum adalam seluruh
mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia
Islam
Kesepakatan itu diawali dari masing-masing mujtahid setelah mereka
mengemukakan pandangannya
Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat actual
dan tidak ada hukumnya dalam Al-Quran, Sunnah, ataupun Hadis
24. Ijma’ dan Kehujjahannya
Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah
terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak
boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur
Firman Allah SWT. dalam surat Annisa’ ayat 115.
Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai
hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I yang menyebutkan hal tersebut
dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya
karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid
lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh
mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’
sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan
oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka
terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qat’i karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang
tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.([8])
25. Contoh Ijma’
Hukum Vaksinasi dan Imunisasi yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad SAW,
menurut fatwa MUI Nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi, MUI menyatakan bahwa hal
tersebut diperbolehkan (Ijma Kontemporer)
Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh
sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak
ada yang memprotes atau menolak ijma’ beliau dan diamnya para sahabat lainnya adalah
tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. (Ijma’ Sukuti)
Setelah Nabi wafat, terjadinya kekosongan khilafah, kemudian para sahabat nabi
melakukan perundingan (ijma’) penggantian nabi untuk memimpin Islam pada saat itu
dengan terpilihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq. (Ijma’ Sharih)