Makalah ini membahas tentang ijma' dan qiyas sebagai sumber hukum Islam. Ijma' didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, sedangkan qiyas adalah menyamakan hukum baru dengan hukum lama berdasarkan kesamaan alasan hukum. Makalah ini juga menjelaskan rukun, syarat, dan macam-macam ijma' dan qiyas.
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
Ijma’ dan Qiyas.docx
1. i
MAKALAH
"IJMA’ DAN QIYAS”
Dosen Pengampu: Abd. Ghafur, M.E.I
Di susun oleh:
Muhammad Ainun Najib
Siti Juhairiyah
Nuva Artika Sari
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN GENGGONG
KRAKSAAN PROBOLINGGO
2. ii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
berkat limpahan karunianya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah kami
yang berjudul “Ijma’ dan Qiyas”.
Selain itu, kami pun mengucapkan terimakasih kepada para penulis yang
penulisannya kami kutip sebagai bahan rujukan. Tak lupa juga kami ucapkan maaf
yang sebesar - besarnya, jika ada kata dan pembahasan yang keliru dari kami.
Kami berharap kritik dan saran yang membangun, demi kesempurnaan
materi yang dibahas dalam makalah ini.
Semoga dengan makalah yang kami buat ini dapat menambah pengetahuan
dan pemahaman kita semua tentang “Ijma’ dan Qiyas”.
Kami sadar dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan.
Akan tetapi kami yakin makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
3. iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................ii
DAFTAR ISI .............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................3
2.1 Pengertian Ijma’................................................................................3
2.2 Definisi Ijma’ Dan Kehujjahannya ...................................................3
2.3 Rukun Dan Syarat Ijma’ ...................................................................4
2.4 Macam - Macam Ijma’ ...............................................................4
2.5 Pengertian Qiyas ...............................................................................5
2.6 Definisi Qiyas Dan Kehujjahannya ..................................................6
2.7 Rukun Qiyas Dan Syaratnya.............................................................7
2.8 Macam - Macam Qiyas.....................................................................8
BAB III PENUTUP .........................................................................................12
3.1 Kesimpulan .......................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................13
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam berkembang pesat di indonesia dengan waktu yang lumayan singkat,
umlah penduduk islam merupakan yang terbesar di dunia. Keberhasilan
penyebaran islam di indonesia tidak lepas dari perjuangan dan jerih payah
ulama terdahulu.
Dengan seiring berjalannya waktu para ulama menetapkan sumber - sumber
hukum yang menjadi objek dalam melakukan praktik istinbath.
Ulama sepakat bahwasumber hukum yang pertama adalah Al - Qura’an,
turunnya Al - Qur’an sebagai wahyu yang menjadi pedoman seluruh manusia
sebagai bekal keselamatan dan kebahagiaan hidup.
Sumber hukum yang kedua adalah Sunnah. Perkataan dan perbuatan Nabi
Muhammad SAW, seorang yang ma’shim (dijaga dari dosa), tidak luput dari
target penggalian hukum. Yang ketiga adalah Al - Ijma’, yaitu kesepakatan para
ulama terhadap suatu hukum dalam menghadapi suatu peristiwa. Dan yang
terakhir yaitu Al - Qiyas, yaitu sebagai penalaran hukum secara personal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ijma’?
2. Apa saja definisi ijma’ dan kehujjahannya?
3. Apa saja rukun dan syarat ijma’?
4. Apa saja macam - macam ijma’?
5. Apa pengertian dari qiyas?
6. Apa saja definisi qiyas dan kehujjahannya?
7. Apa saja rukun dan syarat qiyas?
8. Apa saja macam - macam qiyas?
5. 2
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui tentang sumber hukum ijma’ dan qiyas, serta
mengemukakan tentang definisi serta rukun maupun syarat yang termasuk
dalam ijma’ dan qiyas.
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ijma’
Ijma' menurut istilah ushul fiqih adalah kesepakatan seluruh mujtahid
dikalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat atas
hukum syara' mengenai suatu kejadian. Kriteria mujtahid adalah orang yang
beragama Islam, baligh, berakal sehat, mempunyai akhlak yang baik. Ia juga
menguasai ilmu bahasa Arab beserta tata bahasanya secara baik, memahami
ayat - ayat Alquran dan hadits - hadits, serta mampu melakukan istinbath hukum
dari Alquran dan Sunnah. Apabila terjadi sesuatu kejadian yang dihadapkan
kepada semua mujtahid dari umat islam pada waktu kejadian itu terjadi dan
mereka sepakat atas hukum yang mengenainya, maka kesepakatan mereka itu
yang disebut dengan Ijma'.
Al - Syaukani dalam kitab Irsyadul fuhul telah menjelaskan, secara definitif
bahwa ijma adalah kesepakatan ulama mujtahid secara umum. Jumlah mujtahid
itu tidak terbatas dan tempatnya terpencar, serta saling berjauhan. Sehingga ada
yang berpendapat bahwa ijma mustahil terlaksana kecuali pada masa sahabat.
2.2 Definisi Ijma’ dan Kehujjahannya
Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan kehujjan ijma', misalnya
apakah ijma' itu syar'i? Apakah ijma' itu merupakan landasan ushul fiqhi atau
bukan? Bolehkah kita nafikan atau mengingkari ijma’?
Maka para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1) Al - Badawi berpendapat bahwa, orang-orang hawa tidak menjadikan ijma
itu sebagai hujjah secara mutlak
2) Menurut Al - Hamidi, bahwa para ulama sepakat mengenai ijma' itu bukan
sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan
dengan syari'ah khawarij dan Nizam dari golongan Mu'tazilah
3) Al - Hajib berkata bahwa ijma' itu hujjah tanpa menanggapi pendapat
nizam, khawarij dan syi'ah
7. 4
4) Ar - Rahawi berpendapat bahwa ijma' itu pada dasarnya adalah hujjah
5) Dalam kitab Qawaidul Ushul dan Ma'aqidul Ushul dikatakan bahwa ijma'
itu hujjah pada setiap masa. Namun pendapat ini ditentang oleh daud yang
mengatakan bahwa ijma' itu terjadi pada masa sahabat.
6) Bagi mayoritas ulama kedudukan ijma’ termasuk dalil yang argumentatif
dalam syariat sesudah Al - quran dan Sunah. Ini berarti ijma dapat
menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam.
7) Al - Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul telah menjelaskan, secara
definitif bahwa ijma adalah kesepakatan ulama mujtahid secara umum.
Jumlah mujtahid itu tidak terbatas dan tempatnya terpencar, serta saling
berjauhan. Sehingga ada yang berpendapat bahwa ijma mustahil terlaksana
kecuali pada masa sahabat.
2.3 Rukun dan Syarat Ijma’
A. Rukun Ijma’
Menurut Az Zuhaili (1986: 537) dalam Ushul Fiqih Islami, ijma baru
dianggap sah jika memenuhi rukun - rukunnya, yaitu:
1. Mujtahid berjumlah lebih dari satu orang.
2. Kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat direalisasikan.
3. Adanya kesepakatan semua mujtahid atas suatu hukum syar'i tanpa
memandang negeri, kebangsaan, atau kelompoknya. Artinya jika
terdapat kesepakatan ulama Mekkah saja, Irak saja, atau yang
lainnya, itu tidak bisa disebut ijma.
4. Kesepakatan tersebut diawali setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya secara jelas dan transparan.
5. Sandaran hukum ijma adalah Alquran dan hadits Rasulullah SAW
B. Syarat - Syarat Ijma'
Adapun syarat - syarat ijma’ adalah:
1. Yang bersepakat adalah para mujtahid
8. 5
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
3. Ijma' dilakukan setelah wafatnya Rasulullah saw.,
4. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari'at
2.4 Macam - Macam Ijma’
Adapun berdasarkan kekuatan kehujjahan Ijma sebagai hukum Islam yang
disepakati, ijma’ terbagi menjadi dua, di antaranya:
1. Ijma Sharih
Yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa
mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas, baik
melalui ucapan, tulisan atau perbuatan. Dan ternyata seluruh pendapat
menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut. Ijma’ ini juga
disebut dengan ijma’ qauli.
Ijma sharih sangat jarang terjadi, sebagian ulama mengatakan bahwa
itu hanya terjadi di masa sahabat karena waktu itu jumlah mujtahid masih
terbatas dan domisili mereka relatif berdekatan. Hukum yang dihasilkan
melalui ijma sharih bersifat qath’i sehingga mempunyai kekuatan yang
mengikat dan tidak boleh seorang pun pada masa itu untuk
menyanggahnya.
2. Ijma Sukuti
Yaitu, kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih
lebih mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah dalam
masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar dan diketahui oleh orang
banyak. Namun ternyata tidak seorang pun di antara mujtahid yang lain
mengemukakan pendapat yang berbeda.
Pengaruh Ijma’ sukuti terhadap hukum bersifat dzanni atau merupakan
dugaan kuat terhadap kebenaran. Karena itu tidak terhalang bagi mujtahid
9. 6
lain di kemudian hari untuk mengemukakan pendapat berbeda sesudah
ijma itu berlangsung.
2.5 Pengertian Qiyas
Qiyas adalah satu dari empat sumber hukum Islam yang disepakati para
ulama. Dalam hal ini, qiyas menempati posisi keempat, setelah Al - Quran,
hadits, dan ijma.
Secara bahasa, kata qiyas ()قياس berasal dari akar kata qaasa - yaqishu-
qiyaasan (قاس يقيس )قياسا yang artinya pengukuran. Para ulama ushul fiqih
mendefinisikan qiyas dalam redaksi yang beragam namun memiliki makna
yang sama.
Menurut istilah qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak memiliki nash
hukum dengan sesuatu yang ada nash hukum berdasarkan kesamaan illat atau
kemaslahatan yang diperhatikan syara. Qiyas juga dapat diartikan sebagai
kegiatan melakukan padanan suatu hukum terhadap hukum lain
Al Ghazali dalam al - Mustashfa mengartikan qiyas adalah menanggungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang lain dalam menetapkan hukum atau
meniadakan hukum dari keduanya. Penetapan atau peniadaan ini dilakukan
karena adanya kesamaan di antara keduanya.
Imam Syafi'i menyebut kedudukan qiyas lebih lemah daripada ijma.
Sehingga, qiyas menduduki tempat terakhir dalam kerangka sumber hukum
Islam. Dalam kitab Ar - Risalah karangannya, Imam Syafi'i mengatakan bahwa
antara qiyas dan ijtihad adalah dua kata yang bermakna satu.
2.6 Definisi Qiyas Dan Kehujjahannya
A. Definisi Qiyas
Mayoritas ulama melakukan Qiyas atas dasar perintah untuk
mengambil pelajaran atau berijtihad. Menurut jumhur ulama, qiyas
termasuk mengambil pelajaran dari suatu peristiwa. Dikutip dari buku
Qiyas: Sumber Hukum Syariah Keempat oleh Ahmad Sarwat, dasar
qiyas juga merujuk pada surat An Nisa ayat 59, yaitu perintah untuk
kembali kepada Allah dan Rasul.
10. 7
"Wahai orang - orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al - Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa: 59).
Dalam tafsir Mafatih Al - Ghaib, Al - Fahru ar - Razi menafsirkan
bahwa maksud dari mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul
dalam ayat tersebut adalah perintah untuk menggunakan qiyas. Pendapat
ini diperkuat dengan penggunaan Quran dan Sunnah Rasulullah SAW
dalam qiyas, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam istilah
qiyas.
B. Kehujjahan Qiyas
Kedudukannya sebagai sumber hukum mendapat tanggapan yang
beragam dikalangan ulama ushul fiqh. Pada dasarnya, ulama ushul fiqh
sepakat akan kebolehan penggunaan dan kehujahan qiyas dalam
masalah duniawi, seperti penalaran qiyas dalam hal obat - obatan dan
makanan. Ulama ushul fiqh juga sepakat atas kehujahan qiyas yang
dilakukan Rasulullah semasa hidupnya. Adapun perbedaan mereka
adalah dalam hal penggunaan qiyas terhadap hukum syari’at yang tidak
ada nashnya secara jelas. Secara lebih terperinci, ulama ushul fiqh
terpetakan menjadi lima golongan dalam menyikapi qiyas sebagai
metode penetapan hukum.
1. Pendapat jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa
dijadikan sebagai metode atau sarana mengistinbatkan hukum
syara’.
2. Pendapat ulama Zhahiriyyah, termasuk Imam al-Syawkani, bahwa
secara logika, qiyas memang diperbolehkan, tetapi tidak ada satu
nash pun dalam al - Qur’an yang menyatakan wajib Kelompok
11. 8
ulama Zahiriyah dan Syi’ah Imamiyah mereka sama sekali tidak
menggunakan Qiyas sebagai landasan hukum.
3. Pendapat Syi’ah Imamiyah dan Al - Nazhzham dari mu’tazilah,
berpendapat bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan
tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkannya adalah
sesuatu yang bersifat mustahil.
4. Kelompok yang menggunakan qiys secara luas dan mudah.
2.7 Rukun Qiyas Dan Syaratnya
A. Rukun Qiyas
Rukun qiyas adalah hal - hal yang harus di penuhi agar qiyas dapat
mengeluarkan hukum. Rukun - rukun tersebut terdapat empat,
sebagaimana penjelasan berikut ini:
1. Ashl
Ashl adalah permasalahan yang sudah ada hukum melalui Al -
Quran, hadis atau ijma’. Hal inilah yang di jadikan tempat
mengqiyaskan hukum.
2. Hukum ashl
Hukum ashl adalah hukum yang di miliki oleh ashl yang
penetapannya tidak melalui qiyas, tetapi penetapannya melalui Al
- Quran, hadis atau ijma’.
3. Far’
Far adalah permasalahan - permasalahan yang belum ada
hukumnya.
4. Illat
Illat adalah sesuatu yang menjadi alasan wujudnya hukum
dalam ashl serta dapat menetapkan hukum pada far’.
12. 9
B. Syarat - Syarat Qiyas
1. Syarat far’ harus memiliki kesamaan illat dengan ashal. Dalam
teori mafhum, illat yang terdapat dalam far’ di haruskan minimal
sama ukurannya (lahnal khitob), atau dapat juga illatnya lebih
tinggi (fakhwal khithab).
2. Syaratnya ashl adalah ashl di tetapkan dengan dalil yang di sepakati
jika terjadi perselisihan (khilaf). Jika tidak terjadi khilaf maka
syaratnya penetapan hukumnya dengan dalil yang kemukakan oleh
yang mengqiyaskan.
Syarat dari illat ini adalah
1). Wujudnya illat menjadi faktor wujudnya hukum, misalnya illat
khamr yang memabukkan menjadi sebab hukum
keharaman khamr; 2). Tidak terjadi pertentangan
antar far’ dan ashl dalam sifat dan maknanya. Jika terjadi kontradiksi
dalam lafadh atau makna-nya maka tidak dapat di berlakukan qiyas.
Pertentangan dalam lafadhnya maksudnya adalah sifat-sifat
antara far’ dan ashl sama, tetapi hukumnya tidak berlaku. Misalnya
orang membunuh anaknya, hal ini tidak dapat di qiyaskan dengan
pembunuhan penganiayaan yang di sengaja (qatlu ‘amdin
‘udwanan). Kerena keduanya meskipun memiliki sifat yang sama
yaitu membunuh, tetapi di dalam pembunuhan orang tua terhadap
anaknya tidak memiliki tujuan penganiayaan, bisa saja
membunuhnya karena faktor yang lain seperti takut kelaparan, anak
nakal dan lain secamnya. Oleh karena itu membu nuhnya orang tua
terhadap anaknya tidak dapat di qiyaskan kepada qatlu ‘adin
‘udwanan (pembunuhan penganiayaan yang di sengaja).
3. Syarat dari hukumnya yaitu sama dengan illat, artinya
jika illat wujud maka hukumnya pun harus wujud, tetap
jika illatnya tidak berlaku maka hukumnya pun tidak berlaku.
13. 10
2.8 Macam - Macam Qiyas
1. Qiyas Aula
Qiyas Aula adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) mempunyai hukum yang lebih utama dari ‘illat yang
terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata lain, mulhaq (yang
disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat hukum yang lebih
utama daripada mulhaq bih (pembanding atau yang dibandingi).
Contohnya adalah menqiyaskan hukum haram memukul kedua orang
tua dengan hukum haram mengatakan “Ah” dalam QS. Al-Israa/17:23.
Tidak hanya mengqiyaskan atau menanalogikan, tetapi juga Qiyas
Aula memberi hukum yang lebih berat dibanding hukum asalnya.
2. Qiyas Musawi
Qiyas Musawi adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) mempunyai bobot hukum yang sama dengan ‘illat
yang terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata lain, mulhaq (yang
disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat hukum yang lebih
utama dari pada mulhaq bih (pembanding atau yang dibandingi).
Contohnya adalah menqiyaskan hukum haram merusak, membakar,
menghancurkan atau perbuatan apapun yang dapat merusak harta anak
yatim dengan “memakan harta anak yatim”, sebagaimana secara harfiah
disebutkan dalam QS al - Nisa/4: 2. ‘Illat hukum keharaman merusak
harta anak yatim tersebut sama bobotnya dengan memakan harta anak
yatim.
3. Qiyas Al-Adwan
Qiyas Al_Adwan adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) mempunyai bobot hukum yang lebih rendah daripada
‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata
lain, mulhaq (yang disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat
14. 11
hukum yang lebih rendah daripada mulhaq bih (pembanding atau yang
dibandingi).
Contohnya adalah menqiyaskan hukum bunga bank dengan riba
4. Qiyas Dilalah
Qiyas Dilalah adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) mempunyai hukum yang tidak menuntut adanya
kewajiban, tidak seperti ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Atau
dengan kata lain, mulhaq (yang disamakan atau yang dibandingkan)
tersebut memuat hukum tetapi tidak menuntut adanya kewajiban (tidak
mewajibkan adanya hukum).
Contohnya adalah pandangan Abu Hanifahtentang kewajiban zakat
terhadap harta yang berkembang bagi anak kecil dan
orang baligh (dewasa). Abu Hanifah mengqiyaskan harta anak kecil
dengan harta orang yang sudah baligh (dewasa) sebagaimana Qiyas
terhadap ibadah haji. Sebagaimana anak kecil tidak wajib untuk
melaksanakan ibadah haji, maka tidak wajib zakat terhadap harta anak
kecil
5. Qiyas Syibhi
Qiyas Syibhi adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) dapat diqiyaskan kepada dua hukum ashal (pokok).
Atau dengan kata lain, mulhaq (yang disamakan atau yang dibandingkan)
tersebut dapat diqiyaskan kepada dua mulhaq bih (pembanding atau yang
dibandingi).
15. 12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ijma’adalah kesepakatan mujtahid secara umum, mengenai suatu kejadian
yang disepakati.
Qiyas adalah mempersamakan suatu hukum atau satu peristiwa yang tidak
ada nashnya dengan suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada
persamaan ‘illaat hukumnya dari kedua peristiwa tersebut.
Qiyas sebagai Metodologi, ialah cara menetapkan hukum itu harus
berdasarkan rukun dan syarat qiyas, kalau tidak ada maka tidak bisa diambil
hukumnya
Qiyas pada dasarnya merupakan penerapan hukum yang terdapat
dalam ashal kepada far’un (cabang), yang belum terdapat di dalamnya sesuatu
hukum, qiyas dapat di laksanakan apabila di dalam ashal dan far’un itu
terdapat kesamaan ‘illat.
16. 13
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zhahrah, Muhammad, Ushul Fiqih (Beirut: Dar al – Fikr, 1958)
Amir Mu’allim dan Yusdani, Kofigurasi Pemikiran Hukum Islam,
(cet. Ke-1, Yogyakarta: 1999)
Habib Ash Shiddeqy, Pokok - Pokok Pegangan Imam Madzhab, Edisi II,
Semarang: Pustaka Firdaus, 1997)
Fathurahman Djamil, Filsafat hukum islam, cet. Ke- 1, Jakarta, logos wacana
ilmu, 1997)
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Terj el - Muttaqin, Jakarta: Pustaka
Amani, 2003.
Arif Farchan, Agus Maemun, Studi Tokoh: Metodologi Penelitian Mengenai
Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Semarang: Asy - Syifa, t. th
Kamal Muhtar, dkk, Ushul Fiqih, Jilid 2, Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti
Wakaf 1995.
Prof. Dr, H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana,
Cet. 1, 1997
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj, Mujib Rahmah et.al, Ushul
Fiqih, Jakarta: Firdaus, 2005.
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah, 2010
Effendi, Satria, M. Zein. Ushul Fiqih, Cet, 1: Jakarta: Kencana, 2005
Rifa’I, Moh. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha
Putra Semarang “Qiyas” 2014.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqih. Jakarta, Kencana.
Syafe’I, Rachmat, 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.