Makalah ini membahas tentang qaidah al-umuru bi maqashidiha. Qaidah ini berarti bahwa segala perkara tergantung kepada niatnya. Niat merupakan unsur penting dalam menentukan hukum suatu perbuatan. Qaidah ini memiliki dasar hukum yang kuat dalam Alquran dan hadis, antara lain surat Al-Bayyinah ayat 5 dan hadis dari Umar bin Khattab. Qaidah ini juga dielaborasi oleh para ulama fiqih
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
MAKNAH
1. 1
MAKALAH
KAIDAH POKOK QAWAID FIQHIYAH AL-UMŪRU BI MAQĀSHIDIHĀ
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qowaid Fiqiyyah
Dosen Pengampu : Dr. Makmun,M.HI
Disusun Oleh :
Indri Yani 1921609066
Isly Desilvi R. 1921609068
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARI’AH (FASYA)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS (UINSI) SAMARINDA
2022
2. 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan karunia serta rahmat-Nya berupa waktu, kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
berjudul “Hukum pidana islam dalam konteks keindonesiaan” dapat selesai tepat pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi. Tidak lupa kami juga
mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Dr. Makmun,M.HI selaku dosen mata kuliah Qowaid
Fiqiyyah yang telah memberi tugas makalah ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah Qowaid Fiqiyyah, maka
dari itu kami dari kelompok 4 akan mencoba mempaparkan dan menjelaskannya dalam bentuk isi
makalah. Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjut nya
yang lebih baik lagi.
Samarinda, Senin 21 2022
Penyusun
3. 3
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Al-Qawaid bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara
etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas,
dasar atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawa’id
al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id artinya dasar-dasar agama, qawa’id al-ilm, artinya
kaidah-kaidah ilmu.Qawaid Fiqhiyah merupakan satu materi ilmu yang memiliki faedah dan
peran yang sangat besar dalam menganalisa hukum dari beragam perumpamaan sehingga
mempermudah penetapan putusan hukum bagi seorang mujtahid.
Didalam kaidah fikih ini juga membahas kaidah-kaidah fikih yang asasi atau Al-Qawaid Al-
Khamsah (lima kaidah asasi). Diantaranya Al-Ummuru bi maqashidiha didalamnya membahas
apapun perkara yang terjadi itu tergantung pada niatnya dikalangan mazhab Hanbali bahwa
tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dari tempat dari
maksud adalah hati.
Rumusan Masalah
1. Pengertian Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
2. Apa Dasar Hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
3. Apa Cabang-cabang Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
4. Apa Contoh Kasus Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
4. 4
Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui makna Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha
2. Untuk mengetahui dasar hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha
3. Untuk mengetahui cabang-cabang yang terdapat diQaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
4. Untuk mengetahui kasus Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha
5. 5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qaidah al-Umuru bi Maqashidiha
Qaidah al-Umuru bi Maqashidiha merupakan qaidah yang ringkas lafalnya namun
memiliki arti luas, memuat semua aktifitas yang dilakukan seseorang, baik berupa perkataan
maupun berupa perbuatan. Qaidah ini juga membahas tentang bahwa hukum yang menjadi
konsekuensi atas setiap pekara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari
perkara tersebut. jadi Qaidah ini adalah “ segala perkara tergantung kepada niatnya “. Sedangkan
secara terminologi fiqh, niat adalah kesengajaan untuk melakukan ketaatan dan pendekatan
kepada Allah SWT dengan cara melakukan perbuatan atau dengan cara meninggalnya. Niat itu
sendiri menurut kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan
sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Misalnya di dalam melaksanakan shalat yang dimaksud
dengan niat adalah didalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram.
Sedangkan mazhab Hanbali juga menyatakan bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat
adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini /
beriktikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari perbuatan.
Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas
menyertainya dalam ibadah.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah
seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah SWT dengan
melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang dibolehkan oleh agama ataukah dia
melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah SWT, tetapi semata-mata
karena kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir di sebuah masjid, kemudian duduk-duduk atau
6. 6
tiduran di masjid tersebut, maka apakah dia berniat “ itikaf” ataukah tidak. Bila dia berniat itikaf
di masjid tersebut, maka dia mendapat pahala dari ibadah itikafnya.1
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah adalah tidak sah, tanpa
disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-kaidah
tersebut diatas.
Dari penjelasan tadi bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :
1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang
wajib dari yang sunnah.
Secara lebih merinci lagi, para fuqaha (ahli hukum islam) merinci masalah niat ini baik dalam
bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junuh, shalat qasar,
jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah dalam arti luas atau ibadah
ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiyat, sewa-menyewa,
perkawilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya.
Dalam fikih jinayah seperti kesengajaan, kondisi dipaksa atau terpaksa dan lain sebagainya,
sehingga Imam al-Suyuthi menyatakan:” apabila kau hitung maalah-masalah fikih yang
berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya.
Adapun kekecualian kaidah-kaidah ini antara lain :
1
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta:PT Kharisma Putra Utama, 2017)hlm34-35
7. 7
Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah hukum adat sehingga tidak bercampur
dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, azan, zikir dan membaca Al-Quran
kecuali apabila bacanya dalam rangka nazar. 2
Tidak diperlukan niat di dalam meninggalkan perbuatan seperti meninggalkan perbuatan
zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang (haram) karena dengan tidak melakukan
perbuatan tersebut, maksudnya sudah tercapai. Memang betul diperlukan niat apabila
mengharapkan dapat pahala dengan meninggalkan yang dilarang.
Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu
perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
B. Dasar Hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha
Qaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam maknanya
dibanding Qaidah-Qaidah lain dalam Fiqh islam. Pada dasarnya hukum Qaidah Al-Umuru bi
maqashidiha berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis yang ternyata mendapat legitimasi. Para
ulama Fiqh (Fuqaha) memberikan perhatian lebih pada Qaidah ini, mereka banyak
mengomentari dan mengembangkannya (syarh) dalam cabang-cabang Qaidah ini.
Dasar hukum Qaidah ini sebagai berikut :
1. Terdapat pada surah al-Bayyinah ayat 5 yang menjelaskan bahwa umat manusia dibumi
hanyalah menyembah pada Sang Robbi tidak ada sembahan makhluk lainnya kecuali pada-
Nya dengan menata kembali seberapa besar taatnya dan takwanya pada Sang Robbi.
َمََ أُِم ِوا إِااَل َم َ
ْأُِم ِواَّللهَ ااَل َصََنَ اَ َ الَِمل ا َم َ ه َ
َُ إَاُ َ أ
ِم ِلالاَّإاَهَم أ
َُْ ِلا َُاَّ ََُ َل
َذَلَّللَهَ إِم ا اَْ َيَممَة َل
“ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS al-Bayyinah: 5) 3
2 Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah,(Depok SlemanYogyakarta: Teras,2011) hlm 34
8. 8
Dalam surah al-Bayyinah diperjelas dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim dari Umar bin Khattab didalam hadis ini menjelaskan bahwa” Setiap perbuatan itu
bergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah
karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya dan barangsiapa
hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia atau karena wanita yang dinikahinya, waktu
kepada yang diniatkannya.”
Dasar Qaidah ini juga dilandasi pada Surat Ali Imran ayat 145, yang didalamnya
membahas pahala didunia dan diakhirat. Berbunyi :
َمإةَكَا أ
َُْ َوفاَّللَ إمََّ م
ُإنَ َم َََم ََُ َل أهَِاُ َااََ َ َ أ
ِم
أ ِم ََ
ُْإَ َر َل َََإ َُ َ َ إِاا َمَ َ
ِ إ
ِِ َِن َوَ إْ َ اا إ َُ َل َََإ َُ َ َ إِاا ََهإاِلِم َِن َوَ إْ َ اا إ ََُل ل ا
َُ ا َ َ َ
artinya: “Barang siapa menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia
itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat
itu.”
Dilandasi dari QS Al-Baqarah ayat 265 yang berbunyi :
َََثانإاََّ إ َُ َا هََّإقَ َل َ أ
ِم ََفَه إ َُ َصََغَ إاِ اراََمِ َوإََُّ َوما َنإ اا َ اَْأِم افَقَُ َل َ َا مذأ َ َفَقَََّلل إر
َا َوما َإَّللاَ َََّللَا ا أ
ِم َل ل تفَأَك لفَاِ َل َََإَّ َ
ُاا إرَم إمَكَك َ إهَنإا َ
ه ََََ ا اَّ إٌَّ َك لفَاِ َل ََََاَََََّ ممَإوال ه َ
ُ
Artinya :
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah
dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang
disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. 4
3
Prof. H. A. Djazuli,Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta:PTKharisma Putra Utama,2017)hlm37
4 Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhyyah, (DepokSleman Yogyakarta: Teras, 2011) hlm39
9. 9
Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu perbuat.”
Berlandaskan pada QS Al-Fath ayat 18 yang berbunyi :
ََارإِم َ ََ ا أ
ِم ََ َ
ه َا إلَُ َأيثِم ََ َُإاَيَك إرَََاوا اُ ََك ََُ َرَ َاَك َم َ َْأ ِم ٌَِّإَ َيَااواَاَََّاا إةَْ َ هَ َُإِ
َِاإ َك إراََاََ ََّ َل إرََإهَ ََ َذَ ا َاَّا َ َُ
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu
menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan
yang dekat (waktunya).”
C. Cabang-cabang Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha
Dalam Qaidah ini memiliki beberapa cabang yang didalamnya membahas lebih dalam
tentang niat, sekurang-kurangnya ada enam cabang Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha, cabang-
cabangnya sebagai berikut :
1. Qaidah 1
Suatu amalan yang disyaratkan untuk ditentukan (dijelaskan), maka kesalahannya membatalkan
pekerjaannya.
Misalnya : seseorang hendak melakukan shalat dhuhur kemudian niat shalat ashar atau
sebaliknya, maka shalatnya tidak sah. Demikian pula seseorang hendak berpuasa untuk
membayar kafarat zihar dengan niat puasa kafarat sumpah, maka puasanya tidak sah.
Qaidah 2
10. 10
Suatu amalan yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan untuk dirinci, kemudian
dijelaskan secara rinci dan ternyata salah, maka membahayakan (tidak sah).
Qaidah 3
Amalan yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan baik secara garis besar maupun secara rinci ,
apabila ditentukan (dijelaskan) dan ternyata keliru, maka kekeliruannya tidak membahayakan
(tidak membatalkan).
Qaidah 4
Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum, tetapi tidak menjadikan umum pada lafadz
yang khusus.
Qaidah tersebut dari Imam al-Rafi’i, lalu disebutkan oleh Imam al-Nawawi dalam kitab al-
Raudhah. Contoh : orang yang bersumpah tidak akan bicara dengan seseorang tetapi yang
dimaksud seseorang adalah Umar, maka sumpahnya hanya berlaku pada Umar.
Orang yang bersumpah tidak akan minum air dari orang lain karena dahaga maka sumpahnya
hanya berlaku pada air, yakni dia tidak melanggar sumpah dengan makan makanan dari orang
lain tadi.
Qaidah 5
Maksud suatu lafadz mengikuti niat orang yang mengungkapkan, kecuali dalam satu tempat,
yaitu lafadz sumpah di hadapan qadhi, maka maksud lafadz mengikuti niat qadhi, bukan niat
orang yang bersumpah.
Contoh : orang junub membaca dzikir dari ayat Al-Quran, maka hukumnya haram, bila niat
dzikir maka membawa Al-Quran bersama barang lain, bila niat membawa Al-Quran maka
hukumnya haram, dan bila niat membawa barang atau niat membawa kedua-keduanya maka
hukumnya tidak haram.
11. 11
Qaidah 6
Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah, karena suatu halangan padahal ia berniat
untuk melakukannya jika tiada halangan maka ia mendapatkan pahala.
D. Contoh Kasus
Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka
hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr, atau
menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram.
Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah uang lalu
mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu tidak
mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja.
Akan tetapi jika ia mengambilnya dengan tujuan/niat untuk memilikinya, maka ia dihukumkan
sama dengan ghashib (orang yang merampas harta orang). 5
Jika dompet itu hilang, maka ia harus menggantinya secara mutlak.
Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat untuk
mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia dibolehkan
karena dharurat. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di Bank konvensional itu dengan
tujuan/niat memperoleh bunga dari bank itu, maka hukumnya haram.
5 A. Ghazali Ihsan,Kaidah-Kaidah HukumIslam,( Semarang: BasscomMultimedia Grafika, 2015)hlm 32-37
12. 12
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Qaidah al-Umur bi Maqahidiha merupakan qaidah yang ringkas lafalnya namun memiliki arti
luas, memuat semua aktifitas yang dilakukan seseorang, baik berupa perkataan maupun berupa
perbuatan. Qaidah ini juga membahas tentang bahwa hukum yang menjadi konsekuensi atas
setiap pekara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari perkara tersebut.
Qaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam maknanya dibanding
Qaidah-Qaidah lain dalam Fiqh islam. Pada dasarnya hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha
berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis yang ternyata mendapat legitimasi. Qaidah ini
memiliki enam macam cabang yang diantaranya cabang yang pertama membahas tentang suatu
amalan yang disyaratkan untuk ditentukan (dijelaskan), maka kesalahannya membatalkan
pekerjaannya.
13. 13
DAFTAR PUSTAKA
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)
Andiko,Toha, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011)
Ihsan, A. Ghazali , Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Semarang: Basscom Multimedia Grafika,
2015)