Dokumen tersebut membahas sumber-sumber hukum Islam yang sah, yaitu Al-Quran, sunnah Nabi, ijmak sahabat, dan qiyas. Dokumen tersebut menjelaskan bahwa hukum Islam hanya berasal dari wahyu Allah, dan menyoroti Al-Quran serta sunnah sebagai dalil utama yang pasti bersumber dari wahyu.
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Dalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum Islam
1. Dalil-Dalil Syariah – Sumber-Sumber Hukum Islam
Menurut aqidah Islam, hukum yang wajib dijalankan adalah hukum syariah, yakni hukum Allah,
bukan hukum buatan manusia. Karena itu, dalil yang darinya digali hukum harus bersumber dari
wahyu.
Penetapan bahwa dalil yang darinya digali hukum itu benar-benar bersumber dari wahyu harus
dengan qath’i (definitif/ pasti), sebab ini termasuk bagian dari akidah, sementara akidah tidak
boleh diambil kecuali dari sesuatu yang memberi keyakinan.
Apabila sumber hukum sudah salah, maka seluruh hukum-hukum yang dihasilkannya menjadi
salah pula.
اَمِبۢ ٌمْيِلَع َ هّٰللا َِّنا ۗأًْـيَش ِقَحْال َنِم ْيِنْغُي ََّل َّنَّالظ َِّنا ۗاًّنَظ ََِّّلا ْمُهُرَثْكَا ُعِبَّتَي اَم َو
َن ْوُلَعْفَي
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan
itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka kerjakan.” (QS. (10) Yunus: 36)
Dalil-Dalil Syariah yang Diakui
Dalil, menurut pengertian bahasa, adalah sesuatu yang menunjukan pada sesuatu yang kongkrit
(hissi) atau yang abstrak (maknawi). Menurut ulama fikih, dalil adalah sesuatu yang di dalamnya
terdapat petunjuk. Menurut ulama ushul, dalil adalah sesuatu yang dengan penelaahan yang sahih
bisa menghantarkan pada pengetahuan atas mathlûb khabari (hukum suatu perkara yang sedang
dicari status hukumnya), atau sesuatu yang dijadikan hujjah bahwa perkara yang dibahas
adalah hukum syariah (Az-Zain, Ilmu Ushûlil Fiqh al-Muyassar, hlm. 297).
Adapun dalil-dalil hukum syariah yang diakui dan telah memenuhi kualifikasi qath’i, pasti
bersumber dari wahyu, ada empat: Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.
1. Al-Qur’an
Dalil bahwa al-Qur’an berasal dari wahyu Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya,
merupakan dalil yang qath’i (pasti).
Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah yang berupa mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad ﷺ dengan bahasa Arab, terdapat di antara dua ujung mushaf, disampaikan
2. secara mutawatir, membacanya adalah ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan ditutup
dengan surat an-Nas (An-Nikmah, Ulûmul Qur’ân, hlm. 8).
Kemukjizatan al-Qur’an juga menjadi dalil yang qath’i bahwa al-Qur’an merupakan kalam
(firman) Allah, bukan perkataan manusia.
ا ْوُعْدا َو ۖ ٖهِلْثِم ْنِم ٍةَر ْوُسِب ا ْوُتْأَف َانِدْبَع ىٰلَع َانْلََّزن اَّمِم ٍبْيَر ْيِف ْمُتْنُك ِْنا َو
َْنيِقِد ٰص ْمُتْنُك ِْنا ِ هّٰللا ِن ُْود ْنِم ْمُكَءۤاَدَهُش
“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an, dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. (2) Al-Baqarah:
23)
Al-Qur’an yang merupakan kalam (firman) Allah itu dengan pasti menyebutkan bahwa wahyu
telah diturunkan kepada Rasulullah ﷺ .
ْلُقيَاٍءْيَشُرَبْكَاةَداَهَشِۗلُقُ هّٰللاٌۗۢدْيِهَشْيِنْيَبْمُكَنْيَب َوَۗي ِح ْوُا َوَّيَلِااَذٰهُنٰا ْرُقْال
ْمُك َِرذْنُ َِّلٖهِبْۢنَم َوَغَلَبْۗمُكَّنِٕىَاَن ُْودَهْشَتَلَّنَاَعَمِ هّٰللاةَهِلٰاۗى ٰرْخُاْلُقا ََّّلُدَهْشَاْۚلُق
َن ْوُك ِرْشُت اَّمِم ٌء ْۤي ِرَب ْيِنَّنِا َّو ٌد ِاح َّو ٌهِٰلا َوُه اَمَّنِا
“Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah." Dia menjadi saksi
antara aku dan kamu. Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi
peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)...” (QS al-
An’am [6]: 19)
َن ْوُرَذْنُي اَم اَذِا َءۤاَعالد مالص ُعَمْسَي ََّل َو ِۖيْح َوْالِب ْمُكُِرذْنُا ااَمَّنِا ْلُق
“Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu
sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka
diberi peringatan.” (QS al-Anbiya’ [21]: 45)
Dua ayat ini dan yang lainnya merupakan dalil-dalil yang qath’i bahwa al-Qur’an disampaikan
melalui wahyu yang berasal dari Allah SWT (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50).
3. Selain dari bahasanya, isi Al-Qur'an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya
perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman (QS. Al-Fath), juga
tentang akan menangnya pasukan Romawi atas Persia (QS. Ar-Ruum) dsb. Selain itu, isi Al-
Qur'an juga menunjukan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau kisah
tentang sebagian iptek, misalnya penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh
bantuan angin dsb, yang pada akhirnya terbukti kebenarannya. Semua itu menunjukan bahwa Al-
Qur'an memang bukan datang dari manusia, melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan
Pengatur alam semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk
menjadikan Al-Qur'an sebagai landasan kehidupan dan hukum manusia.
2. As-Sunnah
As-Sunnah dan al-Hadits pengertiannya sama, yaitu perkataan, perbuatan dan ketetapan yang
datang dari Rasulullah ﷺ (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, I/178).
Kedudukan as-Sunnah sebagai dalil yang qath’i—yang merupakan dalil yang dibawa oleh
wahyu, yang maknanya dari Allah SWT, sementara redaksinya dari Rasulullah saw.—telah
disebutkan dengan tegas dan jelas di dalam beberapa ayat al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
ىَوَهْلا نَع قطهنَي اَمَ*و ىَوحي يهحَو الإ َوه هنإ
“Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS an-Najm [53] : 3-4)
ِّبَر هنم يَلإ ىَوحي اَم عيبتَأ اَيَّنإ هلق
Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku
kepadaku.” (QS al-A’raf [7]: 203)
ابَقعهلا يددَش َهيلال ينإ َهيلال اويقاتَو اوهَتهانَف ههنَع هماكَهَن اَمَو وهذخَف ولسيرال ماكَتآ اَمَو
“Apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa yang dia larang atas kalian,
tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-
Nya.” (QS al-Hasyr [59]: 7)
Ayat-ayat ini dan yang lainnya menunjukkan dengan tegas dan jelas bahwa as-Sunnah yang
diucapkan Rasulullah ﷺ tidak lain adalah wahyu dari Allah SWT. Dengan tegas dan jelas pula
4. Allah SWT telah memerintahkan kita agar menaati apa saja yang Rasulullah perintahkan, dan
menjauhi apa yang beliau larang. Dalil bahwa as-Sunnah datang melalui wahyu adalah dalil
yang qath’i. Oleh karena itu, kedudukan as-Sunnah sebagai dalil ditetapkan berdasarkan nash
yang qath’i ats-tsubut qath’i ad-dilalah, yakni sumber dan maknanya pasti (An-Nabhani,
Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50).
Al-Qur'an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur'an, Rasulullah ﷺ juga menerima wahyu
yang lain, yaitu ‘Al-Hikmah’ yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan,
perbuatan, ataupun ketetapan (diamnya).
ِنِمْؤُمْال ىَلَع ُ هّٰللا َّنَم ْدَقَلٖهِتٰيٰا ْمِهْيَلَع ا ْوُلْتَي ْمِهِسُفْنَا ْنِم َّل ْوُس َر ْمِهْيِف َثَعَب ْذِا َْني
ٍلٰلَض ْيِفَل ُلْبَق ْنِم ا ْوُناَك ِْنا َو َۚةَمْك ِحْال َو َبٰتِكْال ُمُهُمِلَعُي َو ْمِهْيِك َزُي َوٍْنيِبم
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus
di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan
Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar
dalam kesesatan yang nyata.” (QS Ali Imran: 164)
ُمُهُمِلَعُي َو ْمِهْيِكَزُي َو ٖهِتٰيٰا ْمِهْيَلَع ا ْوُلْتَي ْمُهْنِم َّل ْوُس َر َنٖيِمُ ْاَّل ىِف َثَعَب ِْيذَّال َوُه
ْنِم ا ْوُناَك ِْنا َو َةَمْك ِحْال َو َبٰتِكْالٍْنيِبم ٍلٰلَض ْيِفَل ُلْبَق
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab
dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata.” (QS Al-Jumu’ah: 2)
اْريِبَخ اْفيِطَل َانَك َ هّٰللا َِّنا ِۗةَمْك ِحْال َو ِ هّٰللا ِتٰيٰا ْنِم َّنُكِت ْوُيُب ْيِف ىٰلْتُي اَم َن ْرُكْذا َو
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah
nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Ahzab: 34)
3. Ijmak Sahabat
Ijmak Shahabat adalah kesepakatan para Sahabat tentang hukum suatu perkara, bahwa
hukum tersebut merupakan hukum syariah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 52).
5. Arti Ijmak Sahabat ini bukan berarti kesepakatan atas pendapat pribadi Sahabat, melainkan
kesepakatan atas hukum tertentu bahwa ia merupakan hukum syariah. Sebab, pendapat Sahabat
bukan wahyu, dan masing-masing mereka tidak ma’shum (terpelihara) dari kesalahan.
Kesepakatan mereka atas hukum suatu perkara menunjukkan bahwa mereka mengetahui dalil,
lalu mereka bersepakat atas hukum tersebut, tetapi dalil hukum itu tidak mereka riwayatkan
Dengan kata lain, bahwa mereka tidak akan bersepakat kecuali atas perkara yang ada nash-nya
(Abu Zahra, Ushûl al-Fiqh, hlm. 198).
Adapun dalil yang membuktikan bahwa Ijmak Sahabat merupakan dalil hukum syariah yang
qath’i, bersumber dari wahyu, adalah:
Pertama: Allah SWT telah memuji mereka di dalam al-Qur’an dengan nash yang qath’i ats-
tsubut qath’i ad-dilâlah, yakni sumber dan maknanya pasti.
َي ِضَّر ٍانَسِْحاِب ْمُه ْوُعَبَّتا َْنيِذَّال َو ِارَصْنَ ْاَّل َو َْني ِر ِج ٰهُمْال َنِم َن ْوُل َّوَ ْاَّل َن ْوُقِبهسال َو
ْمُهْنَع ُ هّٰللاُر ٰهْنَ ْاَّل اَهَتْحَت ْي ِرْجَت ٍتهنَج ْمُهَل َّدَعَا َو ُهْنَع ا ْوُضَر َوااَهْيِف َْنيِدِل ٰخ
ُمْيِظَعْال ُز ْوَفْال َكِلٰۗذ ادَبَا
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.” (QS at-Taubah: 100)
Pujian Allah ini ditujukan kepada semua Sahabat. Karena itu, hukum yang disepakati oleh
mereka yang mendapat pujian dari Allah ini pasti benar. Sebab, mustahil mereka sepakat atas
sesuatu yang salah, karena hal itu bertentangan dengan pujian Allah kepada mereka.
Kedua: Sahabat adalah orang yang menjadi tempat kita mengambil agama ini. Merekalah yang
menyampaikan al-Qur’an kepada kita. Allah SWT telah berjanji untuk menjaga al-Qur’an.
َن ْوُظِف ٰحَل ٗهَل اَّنِا َو َرْكِالذ َانْلََّزن ُنَْحن اَّنِا
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan
menjaganya.” (QS al-Hijr [15]: 9)
ٍدْيِمَح ٍْميِكَح ْنِم ٌلْي ِزْنَتۗ ٖهِفَْلخ ْنِم ََّل َو ِهْيَدَي ِْنيَب ْۢنِم ُلِاطَبْال ِهْيِتْأَي ََّّل
6. “Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. [41]
Fushilat: 42)
Sahabat adalah orang yang membawanya kepada kita. Dengan demikian, janji Allah itu juga
menunjukkan jaminan-Nya kepada orang yang membawanya, yaitu para Sahabat. Selain itu,
mustahil mereka yang membawa agama dan al-Qur’an kepada kita sepakat melakukan kesalahan
dan kedustaan, karena secara logika hal ini mustahil terjadi. Sebab, jika terjadi maka hal itu
bertentangan dengan jaminan Allah melalui dalil yang qath’i. Dengan demikian, Ijmak Sahabat
merupakan dalil yang qath’i (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm.51).
Karena itu, hanya Ijmak Sahabat saja yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Imam Dawud berkata:
هطَقَف ةَابَحيصال اعَهْجإ َوه اَيَّنإ اعَهْجاإل
Ijmak (yang diakui) tidak lain hanyalah Ijmak Sahabat saja (Asy-Syaukani, Irsyâdul Fukhûl,
hlm. 53).
Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullâh mengatakan:
باذَك َوهَف َاعَهْجإلها ىَعيدا نَم
Siapa saja yang mengklaim ada ijmak (setelah masa Sahabat) maka ia berdusta. (Al-Jauziyah,
A’lâm al-Muwaqqi’în, I/498).
4. Qiyas
Qiyas adalah menyertakan suatu perkara terhadap yang lainnya dalam hukum syariah karena
adanya kesamaan ‘illat (kondisi yang mengharuskan berlakunya hukum syariah tertentu) di
antara keduanya (Abu Rusytah, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl Dirâsât fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 85).
Dalil yang qath’i yang menunjukkan bahwa qiyas adalah hujjah dalam menentukan hukum
berangkat dari tempat yang menjadikan qiyas sebagai dalil syariah, dalam hal ini tidak lain
adalah nash itu sendiri yang menjadi rujukan qiyas. Sebab, ‘illat dalam qiyas tidak diambil
kecuali apabila nash telah menunjukkannya. Dengan demikian, menganggap qiyas sebagai
dalil syariah merupakan suatu keharusan.
7. Qiyas pada hakikatnya kembali pada nash itu sendiri. Oleh karena itu, qiyas dikatakan dengan
ma’qul an-nash (nash yang rasional). Atas dasar ini, qiyas ini dalilnya adalah nash itu sendiri
yang mengandung ‘illat, yakni kondisi yang mengharuskan berlakunya hukum syariah tertentu.
Jadi, apabila dalil ‘illat adalah al-Qur’an maka dalil qiyas ini juga al-Qur’an. Apabila
dalil ‘illat adalah as-Sunnah maka dalil qiyas ini juga adalah as-Sunnah. Apabila
dalil ‘illat adalah Ijmak Sahabat maka dalil qiyas ini adalah juga Ijmak Sahabat. Dengan
demikian, dalil qiyas adalah dalil yang qath’i, sama dengan dalil-dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan
Ijmak Sahabat. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, III/320).
Contoh qiyas: mengadakan transaksi jual-beli tatkala adzan sholat Jum’at adalah haram.
ِةَعُمُجْال ِم َّْوي ْنِم ِةوٰلَّصلِل َِيد ْوُن اَذِا ا اْوُنَمٰا َْنيِذَّال اَهيَااٰيِ هّٰللا ِرْكِذ ىِٰلا ا ْوَعْساَف
َن ْوُمَلْعَت ْمُتْنُك ِْنا ْمُكَّل ٌْريَخ ْمُكِلٰذ َۗعْيَبْال واُرَذ َو
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’ah, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian
itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. (62) Al-Jumu’ah: 9)
‘Illat pada ayat di atas adalah lalai dari sholat Jum’at. Oleh karena itu, sewa-menyewa, transaksi
perdagangan, maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan ‘illat, yaitu melalaikan dari
shalat Jum’at, maka perbuatan tersebut hukumnya di-qiyas-kan dengan perbuatan jual-beli, yaitu
haram.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.
Bacaan: Majalah al-Wa’ie edisi 123