Dokumen tersebut membahas syarat-syarat ijma' menurut para ulama, yaitu: (1) yang bersepakat harus para mujtahid, (2) kesepakatan seluruh mujtahid, (3) para mujtahid harus umat Muhammad SAW, (4) dilakukan setelah wafatnya Nabi, dan (5) kesepakatan harus berhubungan dengan syariat. Dokumen juga membahas pendapat tambahan soal syarat ijma' dari beberapa mazhab.
1. Nama : Peri Heriyanto
Kelas : Jurnalistik/II/C
NIM : 1210405076
Syarat-Syarat Ijma’
Ada beberapa kriteria-kriteria ijma’, diantaranya adaah :
1. Yang bersepakatadalahpara mujtahid
Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid, secara umum, mujtahid itu diartikan
sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istimbath hukum dari dalil-
dalil syara’. Dalam kitab jam’ul jawami disebutkan bawa yang dimaksud mujtahid adalah
orang yang faqih. Dalam sulam ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama ijma’,
sebagaimana menurut pandangan ibnu Hazm dalam Hikam.
Selain pendapat diatas, ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi,
dan istilah ini sesuai dengan pendapat al-wadih dalam kitab isbat bahwa mujtahid yang
diterima fatwanya adalah ahlu ahli wal aqdi.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud
mujtahid adalah orang islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-
istinbath hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai
derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu pula penolakan mereka. Karena mereka
tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara’.
Maka, apabila dalam suatu masa tidak ada seorangpun yang mencapai derajat mujtahid,
tidak akan terjadi ijma’. Meskipun ada, tetapi hanya satu orang, itupun tidak bisa dikatakan
ijma’.karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya. Dengan demikian suatu
kesepakata bisa dikatakan ijma’ bila dilakukan oleh tiga orang atau lebih. Adapun
kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang, para ulama berbeda pendapat . Ada yang
2. menyatakan bahwa hal itu tidak bisa dikatakan ijma’. akan tetapi, menurut jumhur ulama, hal
itu termasuk ijma’, karena mewakili kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa itu.
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak, meskipun sedikit, maka
menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ itu harus mencakup
keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar
mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar
dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum
keseluruhan.
Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu
adalah hujjah,meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma’. karena kesepakatan sebagian besar
mereka menunjukan adanya kesepakatan terhadap dalil sahih yang mereka jadikan landasan
penetapan hukum. Dan jarang terjadi, kelompok kecil yang tidak sepakat, dapat mengalahkan
kelompok besar.
3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW
Para ulama berbeda pendapat tentang arti Muhammad SAW. Ada yang berpendapat
bahwa yang dimaksud umat Muhammad SAW adalah orang-orang mukallaf dari golongan
ahl al-halli wa al-aqdi. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang
mukalaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukalaf adalah orang muslim,
berakal, dan telah baligh.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa
dikatakan ijma’. Hal itu menunjukan adanya umat para Nabi lain yang ber-ijma. adapun ijma’
umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-ijma’
untuk melakukan suatu kesalahan.
3. 4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ijma itu tidak terjadi ketika nabi masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati
perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari’at.
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan
syari’at, seperti tentang wajib, sunnah, makruh, haram, dan lain-lain.
Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Gazali yang menyatakan bahwa kesepakatan
tersebut di khususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-juwaini
dalam kitab Al-warakat, safiudin dalam Qawaidul usul, Kamal bin Hamal dalam kitab Tahrir
dan lain-lain.
Adapun mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang memasukkannya sebagai syarat
ijma’. Sedang Al-Athar dalam kitab Hasiyah Jam’ul Jawami’ mengartikan zaman dalam
definisi ijma’ di atas dengan zaman mana saja.
Di samping syarat-syarat di atas, adapula syarat lain yang tidak di sepakati oleh para ulama
ushul, yaitu:
1. Mujtahid tersebut harus dari kalangan shahabat, syarat ini di kemukakan oleh Imam al Dzahiri,
Ibnu hazm, Ibn Hibban, dan Imam Hambali.
2. Mujtahid tersebut harus dari kerabat Nabi, syarat ini di kemukakan oleh golongan syi’ah
zaidiyah dan imamiyah
3. Orang yang melakukan ijma’ harus orang madinah, syarat ini di kemukakan oleh imam Malik
4. Meninggalnya semua orang yang melakukan ijma’ sesudah mereka mufakat atas suatu hukum,
syarat ini di kemukakan oleh imam Ahmad, Abu al Hasan al Asy’ari, Abu Bakr ibn Faurak.
5. Boleh melakukan ijma’ terhadap salah satu dari dua pendapat apabila ulama berbeda pendapat
dalam suatu masalah dengan mengeluarkan dua pendapat, ini dikemukakan oleh sebagian
syafi’iyah dan ahli hadits.
Sumber :