Tema puisi pada masa Abbasiyah awal meliputi puji (madih), sindiran (hija'), kebanggaan (fakhr), dan ratapan (ritsa'). Para penyair menggunakan berbagai perumpamaan untuk menggambarkan sifat mulia yang dipuji dan buruk yang disindir.
MODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Pembaruan Tema Puisi pada Masa Abbasiyah Awal.pdf
1. Sejarah Sastra Arab Klasik
“Pembaruan Topik dan Tema Puisi pada Periode Abbasiyah Awal”
Oleh: Faizal Nur Kholidun
Syauqi Dhayf dalam bukunya Tarikh al-Adab al-‘Arabi seri 3 menyebutkan bahwa orang-
orang pada masa Abbasiyah meneruskan perkembangan tema-tema susastra kala itu yang
telah dimulai oleh orang-orang jahiliyah dan orang-orang masa kemunculan islam.
Karenanya mereka masih melestarikan syi’ir-syi’ir arab yang sudah terwariskan secara turun
temurun. Namun dalam tema-temanya mereka menyesuaikan dengan pikiran-pikiran mereka
yang kian maju dan daya rasa mereka yang santun dan halus. Tema-tema syi’ir pada masa
Abbasiyah sangat berbeda dengan tema-tema sy’ir pada masa sebelumnya, namun dalam hal
bentuk tidak ada beda, cenderung identik dan memiliki keterkaitan yang kuat.
Tema Al-Madih (pujian)
Tema syi’ir pada masa Abbasiyah awal yang disebutkan Syauqi Dhayf ialah al-madih
atau pujian. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penyair Jahiliy dan penyair pada masa
Islam menggambarkan seseorang atau seuatu yang dipujinya dengan menggunakan
perumpamaan bentuk ataupun rupa terpuji yang dihargai oleh orang-orang kala itu. Jika yang
dipuji adalah sesorang yang berpengaruh maka para penyair menggambarkannya seolah-
seolah ia adalah seorang khalifah atau penguasa yang memperlihatkan pekerjaaan dan
kebijakannya. Jika yang dipuji seorang pahlawan dalam ketentaraan maka mereka
menggambarkan bagaimana gagahnya ia keteika masuk dalam laga pertempuran.
Tema madih ini pun masih muncul dan berkembang pada masa Abbasiyah, seperti
yang kita lihat pada permulaan-permulaan syiir para penyair Abbasiy memulai dalam
penggambaran lahiriyah dengan bentuk yang seolah-olah hidup dan berpikir, dengan ringkas
mereka wujudkan yang dipujanya dengan gambaran yang lain dari pada yang lain dalam hal
kelapangan, kedermawanan, kebijaksanaan, keteguhan, harga diri, kesucian dari hal tercela,
kemuliaan diri, ketinggian cita-cita, keberanian, dan ketangkasannya. Para penyair dalam
pujiannya dengan sungguh menggambarkan dengan pen-tajsim-an yang nyaris nyata dan
kuat. Sehingga apa yang digambarkannya tersebut dapat menarik perhatian supaya orang-
orang meniru dan mau mengikuti seperti apa yang digambarkan dalam pujian dan pengalem
tersebut. Dengan pujian semacam ini para penyair dapat menyiarkan pendidikan budi pekerti
2. yang semestinya kepada orang-orang pada masa itu dan dapat memotivasi mereka kepada
keutamaan-keutamaan dan akhlak mulia yang mencerahkan.
Bahkan oleh Syauqi Dhoyf disebutkan bahwa para penyair pada masa Abbasiyah
dalam menggubah syair madih-nya kepada khalifah dan penguasa hingga pada permasalahan
hukum syariat dan hal-hal yang seyogyanya diambil dalam perundang-undangan, ketakwaan,
keadilan yang semestinya didapatkan oleh umat. Seperti perumpamaan dalam syairnya
Marwan bin Abi Hafshah, pada awal qasidah untuk Al-Mahdi:
حر : ِّالنبي َسنن
ا
َم
َلوحال ها
ها أحيا
ُأمير
المؤمنين
محمد
“ Amirul mu’minin-Muhammad- menghidupkan tradisi-tradisi Nabi, yakni : perihal
keharamannya, dan kehalalannya.”
Al-Husain bin Muthair pun ikut memuji Al-Mahdi dengan:
ع كما
ُرقيب بحيث اَيواستح َّف ِّعي
َي و ُّف
س
خاليا كان إذا ِّيتح
“Ia malu dan menjaga diri dari hal tercela di kala sendiri seperti halnya ketika ia di
samping malaikat raqib.”
Abu al-‘Atahiyah memuji khalifah Harun al-Rasyid dalam syi’irnya:
ِّدوُق َر غير َّالشر عنها يدافع ٍةأم حفظ فى هللا ُراعىي ٍوراع
مفارقة
ليست
ِّدخلو بدار تجافي
الدنيا عن
وأيقن
أن
ها
“ Ia seorang pelindung sebagaimana Allah menjaga ummat, senantiasa melindungi
mereka dari keburukan tanpa tidur.
Ia menyingkir dari dunia dan yakin bahwa ia akan berpisah, pun bukan pula tempat
keabadian.”
Manshur al-Namary ikut memuji Harun al-Rasyid:
هللا بطاعة
ِّاعتصام ذى ُب
ِّ
ور
َك
ه
ـ
ُرون
ِّإمام من
ٍللعد ليست
إمام وال له
الجالل ذى إلى
ُق
َبر
ى
“Diberkatilah Harun dengan kepemimpinannya, memiliki tekad dan berpegang teguh taat
kepada Allah.
Ia memiliki kedekatan kepada Dzat yang memiliki kemuliaan, yang tidak (ia gunakan)
untuk berbuat adil dan (tidak untuk) memimpin.”
3. Terkadang khalifah memiliki kebijakan yang buruk seperti Al-Amin, namun para
penyair tetap memujinya dengan perumpamaan yang mulia, mereka tidak memuji perihal
pribadinya, melainkan memuji sebagai khalifah bagi kaum muslimin juga sebagai harapan
dan cita mereka seolah-olah mereka menginginkan apa yang ada diharapkannya sebagai syiar
sebagaimana yang umat harapkan, barangkali dengan hal tersebut dapat mengembalikan
khalifah pada jalan kekebenaran.
Syauqi Dhoyf menyebutkan para penyair Abbasiyah juga menggubah syiir madih
untuk para pahlawan pimpinan tentara rakyat yang memenangkan perang melawan bangsa
Turki dan Bizantium. Seperti khalifah al-Rasyid. Al-Ma’mun, dan al-Mu’tashim yang
memimpin langsung pasukan hingga mampu menaklukkan pasukan Bizantin, para penyair
lantas mengelu-elukan kemenangan mereka dengan menumpahkan kebahagiaan mereka
pada syiir-syiir mereka. Seperti tergambar pada penggalan puisi Ali bin Jabalah yang memuji
kepahlawanan Abi Dulaf al-‘Ijly, komandan pasukan al-Ma’mun yang terkenal:
. . . . . . . . . .
فى َلقخال فى ًةصيغ
يره ِّخ ٍفَلُد أبـــا هللا صــــاغك
ــرهَضَح إلى باديه بين ٍبعر من األرض فى من كل
ه ِّ
فتخرُم َيوم يكتسيهــــا ًةـــــَمُمكر منك مستـــعير
. . . . . . . . . .
“Allah telah mencetakmu duhai Abu Dulaf dalam bentuk ciptaan yang terbaik.
Tiap orang dari bangsa tanah Arab baik diantara kalangan baduwi sampai orang
perkotaannya,
meminjam kemuliaan darimu, yang ia kenakan di hari kebesarannya.”
Dari beberapa contoh puisi di atas dapat kita saksikan bahwa penyair-penyair masa
Abbasiyah ketika membuat puisi madih untuk khalifah mereka menyanjungnya atas
ketakwaannya dan keadilannya kepada rakyat. Ketika memuji pahlawan mereka cirikan
dengan keberaniannya. Pun ketika mereka memuji para mentri, ulama’, ataupun hakim,
mereka menyebutkan tentang kepiawaiannnya dalam berpolitik dan dengan ciri khusus yang
dimilikinya, yang mana sifat dan karakter tersebut adalah yang mereka harapkan ada dalam
4. karakter yang dipujinya dan dibutuhkan pemikiran yang jeli serta penggambaran yang indah
dalam tiap pujiannya.
Tema Al-Hija’ (sindiran)
Syauqi Dhoyf menuturkan bahwa bentuk dan corak perkembangan pada tema al-hija’ pada
masa Abbasiyah awal lebih luas dan lebih dalam daripada puisi al-madih. Syauqi
berpendapat puisi al-hija’ yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat umum dianggap
lebih menyentuh daripada puisi al-madih. Berbeda dengan cabang an-naqaidh yang
cenderung melemah, tema al-hija’ kian waktu malah lebih dikenal di kalangan penyair, pun
tak ketinggalan objek sindiran dari puisi al-hija’ adalah para khalifah dan mentri-mentrinya,
apapun yang sekira oleh para penyair dianggap serong dari kebenaran atau diterima oleh
khalayak maka akan mereka sindir. Karenanya puisi al-hija’ yang berkarakter mendidik ini
sebagai perbandingan dari puisi al-madih. Jika al-madih menggambarkan budi pekerti dan
akhlak mulia yang seharusnya ditiru, maka al-hija’ menampilkan perilaku-perilaku buruk
dari seorang individu maupun masyarakat yang harus dijauhi atau dihindari oleh masyarakat.
Seperti pada syi’irnya Basyar yang menyindir kekikiran Ibn Quza’ah:
ُحزين نداه ُرجىي أن مخافة هإن قزعة ابن بخل تبخل فال
تلق فلم
ــ
ه
إال
وأنت
كمين جئت إذا
ــ
للعرف ه
ب أغلق
ـ
ابه
“Maka janganlah kamu kikir seperti kikirnya Ibn Quza’ah. Sungguh ia sedih dan khawatir
jika dimintai bantuan.
Ketika kamu mendatanginya untuk (kebaikan) khalayak, ia menutup pintunya dan kamu
tidak akan menemukannya kecuali kamu mengendap-endap (mengintipnya).”
Tema Al-Fakhr (kebanggaan)
Pada masa Abbasiyah berkembang pula puisi dengan tema membanggakan diri ataupun
kelompok meskipun tidak se-gayeng puisi madih ataupun hija’ yang oleh Syauqi Dhoyf
disebut al-syi’r li al-fakhr. Puisi al-fakhr ini biasanya mengambarkan dan membanggakan
tentang sifat muru’ah, kehormatan, atapun karakter-karakter mulia lain, seperti bayt puisi
‘Auf bin Muhallim al-Khuza’iy:
ضيرِّع بها ُحميت قوم نيهز إذا سورتي أن على حلم لذو يوإن
5. والخفض الشدائد فى حقدا وبالحقد أهلها بالكرامة جزيَأل يوإن
“Sungguh aku memiliki kemurahan hati, yakni kehebatanku yang ketika orang-orang
menghasut (mengganggu) kehormatanku, aku mampu menahan diri..
Dan sungguh aku akan membalas dengan kemuliaan kepada mereka yang memuliakan.
Dan membalas mereka yang kikir dengan kekiran yang lebih keras lagi merendahkan.
Tema Al-Ritsa’ (ratapan)
Puisi ratapan pada masa Abbasiyah berkembang cukup luas. Tidak ada seorang khalifah,
mentri, ataupun pemimpin terkenal mati kecuali para penyair berramai-ramai
menyanjungnya dengan pujian dan sanjungan yang tinggi meratapi kematiannya. Seperti
ratapan dari Abdullah bin Ayyub al-Taymy yang meratapi kematian Manshur bin Ziyad salah
seorang pahlawan yang wafat ketika terjadi huru hara di Qayrawan pada masa khalifah al-
Rasyid:
والديار قبرك بجوار
قبور أوانس فإنهن القبور أما
ٍ
دار كل فى
وزفير ةرن واحد عليه مأتمهم والناس
ُكبير ُّمأش جبل جوفها فى ٍةخمس فى ٍأذرع ألربع عجبا
“Adapun kuburan-kuburan itu, mereka sebenarnya ketenangan-ketenangan disisi kuburmu.
Seperti rumah-rumah lah kuburan itu (berisi ketenangan).
Tiap orang akan menempati tempat kuburnya satu persatu. Di tiap rumah (kembalinya)
terdapat isak (tangis) kesedihan dan bunyi (sesenggukan).
Karena kagum kepada empat dzira’ di dalam lima, di lobangnya terdapat gunung yang
menjulang besar.”
Barangkali tidak ada tangis ratapan penyair kala itu yang lebih menyedihkan
ketimbang ratapan kepada Yazid bin Mazid yang terbunuh sia-sia kala itu, seperti tergambar
pada puisinya Manshur al-Namary:
فإن
الليالى سيفنى اًذكر له وأوشكت الليالى هأفنت تك وإن
“Dan jika saja malam-malam itu mendekat dan melewatinya. Sungguh ia memiliki sebutan
(nama baik) yang mampu memusnahkan malam-malam itu.”
6. Nampak pada puisi-puisi diatas tentang kecermatan berpikir dan tingginya khayalan
para penyair masa itu yang dapat kita rasakan karena mereka berlomba-lomba menciptakan
makna dan istilah yang aneh dan sulit dicerna.
Tema Al-Ghazal (Cinta)
Barangkali penyair pada masa Abbasiyah menurut Syauqi Dhayf tidak terlalu
memperhatikan ataupun tertarik dengan tema cinta atau tema romantis ini, karena sedikitnya
bukti puisi yang ditemukan dari masa Abbasiyah tentang tema ini, kecuali hanya dari
beberapa penyair tertentu saja. Seperti Nampak pada bayt syi’ir Abu Nawas berikut:
َـن
َق أزراره من
َمر
ا كأن
ثي
ــ
ابه
َأ
ط
لعـ
إذا
م
ـ
ا
زدته
نظرا حسنا وجهه يزيدك
ُـير
َأ من
وراَحال جفانها ٍينِّعب
خ
ــ
َطال
فَّتال
تـ
طراَق ُهمـاؤ ب َّتصو َخو
ــ
ٍد
س
ـ
ٍابري
لو
“Seolah-olah pakaiannya memperlihatkan rembulan dari kancingnya.
Soleknya menambahkan keindahan padamu, ketika aku berlama-lama memandangnya.
Dengan mata yang berpadu dengan kelopak bawahnya yang layu.
Dan dengan pipi yang seimbang nan serasi ketika air turun menetes (di sisinya).”
Tema Al-Zuhd (kezuhudan)
Pada masa Abbasiyah beredar pula puisi-puisi dengan tema kezuhudan. Tema inilah yang
paling banyak bersinggungan dengan kehidupan rakyat jelata kala itu diantara puisi yang
berpengaruh dan puisi kelakar, karena wong-wong cilik masa itu sama sekali tidak mengenal
atau mencicip kemewahan sedikitpun, kehidupan keberagamaan mereka pun lurus dan
sebagiannya mereka tempuh hanya untuk ibadah dan berlaku zuhud.
Seperti yang terlihat pada puisi Abu Nawas berikut:
َّرب ويا
ٍقرقي التراب فى ٍحسن أيا
عتيق التراب فى ٍهوج َّرب
سحيق المحل نائى ٍلمنز إلى راحل كإن الدار لقريب فقل
عريق الهالكين فى نسب وذو هالك وابن هالك إال الناس وما
7. صديق ثياب فى ٍعدو عن له فتتكش لبيب الدنيا امتحن إذا
“Duhai Dzat Tuhan yang mulia (dan memuliakan) tanah (bumi). Wahai Tuhan baik yang
lemah lembut pada tanah (bumi).
Maka katakanlah kepada rumah yang dekat (dunia) kau akan pergi (menuju) ke rumah
yang jauh nan terpencil (akhirat).
Manusia hanyalah (makhluk) yang akan binasa, anak dari (makhluk) yang binasa. Dan ia
yang memiliki nasab bangsawan pun termasuk golongan yang akan binasa.
Ketika orang berakal diuji maka akan tampak dunia bak musuh dalam pakaian yang
sebenarnya “
Jika Abu Nawas sibuk dengan kezuhudannya karena melihat ulah manusia, berbeda
dengan Ibnu Hazim dan para penyair lain yang menggubah puisi zuhudnya untuk mengajak
orang-orang agar berlaku qana’ah, merasa cukup, dan ridha atas apa yang mereka terima.
Seperti nampak pada puisinya berikut:
فى َّالعز فإن ٍ
سبيأ َعنواق
ِّ
الياس ِّ
الناس إلى رعَضت ال هللا إلى ع َراض
ِّ
الناس عن استغنى من َّيالغن إن ٍم ِّح َر وذي ربىُق ذي كل عن ِّنَغتواس
“Mintalah kepada Allah, usah memohon kepada manusia. Puaslah dengan keputusasaan,
karena kehormatan ada pada kesia-siaan.
Merasa cukuplah dari tiap sanak kerabat. Sungguh kekayaan (yang sebenarnya) adalah ia
yang merasa cukup dari manusia.