BE &GG, Antoni Butarbutar, Hapzi Ali, Ethics and Business; Corruption and Fra...
Korupsi Indonesia
1. BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi
sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa
kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi terutama terhadap pengadilan koruptor kelas
kakap dibanding koruptor kelas teri.
Beragam lembaga dan produk hukum telah dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga
dapat menggeser kasta pemberantasan korupsi. Seandainya saja kita sadar, pemberantasan
korupsi meski sudah pada tahun keenam perayaan hari antikorupsi ternyata masih jalan ditempat
dan berkutat pada tingkat “kuantitas”. Keberadaan lembaga-lembaga yang mengurus korupsi
belum memiliki dampak yang menakutkan bagi para koruptor, bahkan hal tersebut turut
disempurnakan dengan pemihakan-pemihakan yang tidak jelas.
Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti Indonesia, hukuman yang setengah-
setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga merupakan masalah besar, karena
boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit penyakit birokrasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Kendala/hambatan-hambatan apa sajakah yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia ?
2. Upaya-upaya apa sajakah yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi di Indonesia ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis membuat tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui hambatan apa saja yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
2. Mengetahui upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sebab-Akibat Korupsi
Di lingkungan masyarakat Asia, selain mekarnya kegiatan pemerintah yang dikelola oleh
birokrasi, terdapat pula ciri spesifik dalam birokrasi itu sendiri yang menjadi penyebab
2. meluasnya korupsi. Kebanyakan model birokrasi yang terdapat di Negara-Negara Asia termasuk
Indonesia adalah birokrasi patrimonial. Adapun kelemahan yang melekat pada birokrasi seperti
ini antara lain tidak mengenal perbedaan antara lingkup “pribadi” dan lingkup “resmi”. Hal ini
menyebabkan timbulnya ketidakmampuan membedakan antara kewajiban perorangan dan
kewajiban kemasyarakatan atau perbedaan antara sumber milik pribadi dan sumber milik
pemerintah.
Selain itu, yang patut diperhatikan ialah korupsi yang bermula dari adanya konflik
loyalitas diantara para pejabat publik. Pandangan-pandangan feodal yang masih mewarnai pola
perilaku para birokrat di Indonesia mengakibatkan efek konflik loyalitas. Para birokrat kurang
mampu mengidentifikasi kedudukannya sendiri sehingga sulit membedakan antara loyalitas
terhadap keluarga, golongan, partai atau pemerintah.
Akibat yang paling nyata dari merajalelanya korupsi di tingkat teknis operasional adalah
berkembangnya suasana yang penuh tipu-muslihat dalam setiap urusan administrasi. Seandainya
saja kita meneliti secara cermat, banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi, seperti :
munculnya pola-pola kejahatan terorganisasi, lambannya tingkat pelayanan karena pelayanan
harus ditembus oleh uang sogok atau pengeruh personal, berbagai sektor pembangunan menjadi
lumpuh karena alat kontrol untuk mengawasinya tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Kelesuan juga menyelimuti dunia swasta karena mereka tidak lagi melihat pembagian
sumberdaya masyarakat secara adil. Hal ini sejalan dengan pendapat Myrdal (1977 : 166-170),
bahwa :
1. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnya
hasrat untuk terjun di bidang usaha dan kurang tumbuhnya pasaran nasional.
2. Permasalahan masyarakat majemuk semakin dipertajam oleh korupsi dan bersamaan dengan
itu kesatuan negara juga melemah. Juga karena turunnya martabat pemerintah, tendensi-tendensi
itu turut membahayakan stabilitas politik.
3. Karena adanya kesenjangan diantara para pejabat untuk memancing suap dengan
menyalahgunakan kekuasaannya, maka disiplin sosial menjadi kendur, dan efisiensi merosot.
Dengan demikian, akibat-akibat korupsi itu tidak hanya bisa ditelaah secara teoritis tetapi
memang banyak dialami oleh masyarakat yang melemah oleh korupsi. Dan korupsi itu sendiri
bisa menghancurkan keberanian orang untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moral yang tinggi.
Bahkan kerusakan oleh korupsi yang sudah menjelma menjadi kerusakan pikiran, perasaan,
3. mental dan akhlak dapat membuahkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk akal.
Sehingga terjadilah ketidakadilan dan kesenjangan yang sangat besar.
2.2 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia.
Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian di lapangan, ternyata
hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam meredam korupsi antara lain
adalah :
1. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.
2. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung
terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
3. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak
ada check and balance.
4. Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik dan
sistem administrasi negara Indonesia.
5. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus
yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh
jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan negara yang
semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang
diemban.
2.3 Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi dan hambatan-
hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya, dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk menangkalnya, yakni :
1. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan norma-norma lainnya yang berlaku.
4. 2. Menciptakan kondisi birokrasi yang ramping struktur dan kaya fungsi.
Penambahan/rekruitmen pegawai sesuai dengan kualifikasi tingkat kebutuhan, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas.
3. Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut betul-
betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis.
4. Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat
yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan
korup dapat ditutup.
5. Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan
kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani kasus
korupsi.
6. Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki idealisme,
keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara objektif, jujur, kritis
terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
7. Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah, ceramah atau
penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu
sistem, jika memang individu-individu di dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan
harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan, diselewengkan atau
dikorup.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya telah
menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi
serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-
kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi
sebagai prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-
delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan
terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya.
Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah
5. diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman.
Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi
dapat dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajdi “jalan tak ada ujung”, melainkan
“jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk mengatasi persoalan korupsi
dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak
manusia.
3.2 Saran
Bertolak dari pemberantasan korupsi yang masih mengambang antara harapan dan
kenyataan, penyusun memberikan saran sebagai berikut.
1. Penegakan hukum yang konsisten dan perlunya peningkatkan landasan moral untuk para
pejabat.
2. Upaya-upaya yang dilakukan tidaklah hanya teori belaka saja, melainkan tindakan nyata.