1. PEMAHAMAN PANCASILA DAN UUD 1945 DALAM
MEMBANGUN SISTEM PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN
MENGATASI PERILAKU KORUPSI
MPKTA 16
KELOMPOK 6
Aditya Hidayatulloh,1406613611
Azalia Ambia Jacobs,1406614173
Isabella Aida,1406579290
Rizky Nuraini,1406613416
Sony Wicaksono,1406579164
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2014
2. BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pengamalan atau praktek Pancasila dan UUD 1945 dalam berbagai kehidupan sekarang ini
memang sudah sangat sulit untuk ditemukan. Tidak terkecuali dikalangan intelek dan kaum
elit pemerintah bangsa Indonesia tercinta ini. Aspek kehidupan berpolitik, ekonomi, dan
hukum serta hankam merupakan ranah kerjanya Pancasila di dunia Indonesia yang sudah
menjadi dasar Negara dan membawa Negara ini merdeka hingga 69 tahun lebih. Secara
hukum Indonesia memang sudah merdeka selama itu, namun jika kita telaah secara individu
(minoritas) hal itu belum terbukti. Masih banyak penyimpangan yang dilakukan para elit
politik dalam berbagai pengambilan keputusan yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai
Pancasila dan Keadilan bagi seluruh warga Negara Indonesia. Keadilan yang seharusnya
mengacu pada Pancasila dan UUD 1945 yang mencita-citakan rakyat yang adil dan makmur
sebagaimana mana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 hilanglah sudah ditelan
kepentingan politik pribadi. Perilaku korupsi sekarang ini merupakan tindakan yang sering
terjadi sekarangi ini. Dari tingkat bawah seperti pemerintahan desa yang melakukan tindak
penyelewenagan Raskin (beras miskin) hingga tindak penyelewengan tingkat negara yang
dilakukan oleh pejabat publik yang memangku kepentingan seluruh masyarakat Indonesia.
UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan hukum dan ideologi negara, seperti kurang
dipahami dalam penerapannya di sistem pemerintahan Indonesia. Pemahaman mengenai
UUD 1945 dan Pancasila sangat penting oleh seluruh pejabat publik yang bekerja dalam
sistem pemerintahan. Karena, dengannya pejabat yang bekerja dalam sistem pemerintahan
akan bertindak sesuai hukum dan menghindari perilaku penyelengan seperti tindak pidana
korupsi. Sistem pemerintahan pun juga demikian,masyarakat Indonesia secara umum
mengingkan perbaikan sistem pemerintahan Indonesia yang semrawut dan tidak jelas. Sistem
pemerintahan Indonesia masih sering ditutup-tutupi atau kurang transparan dalam
pelaksanaannya,sehingga dengan demikian memungkinkan para pejabat nakal untuk
melakukan tindak pidana korupsi. kondisi inilah yang membuat keingintahuan penulis
tentang bagaimana penerapan Pancasila dan UUD 1945 di sistem pemeerintahan untuk
menanggulagi tindak pidana korupsi.
3. 1.2 RUMUSAN MAKALAH
Berdasarkan latar belakang diatas,rumusan masalah dalam makalah ini adalah “ Bagaimana
Penerapan UUD 1945 dan Pancasila dalam sistem pemerintahan untuk mengatasi tindak
perilaku korupsi.”
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Adapaun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Apa dampak dari perilaku korupsi
2. Bagaimana sistem pemerintahan yang baik sesuai pancasila dan UUD 1945
3. Bagaimana penerapan Pancasila dan UUD 1945 dalam mengatasi perilaku korupsi
4. BAB 2
TINJAUAN LITERATUR
2.1 Good Governance (Sistem Pemerintahan yang baik)
Terdapat tiga terminologi yang masih rancu dengan istilah dan konsep good governance,
yaitu: good governance (tata pemerintahan yang baik), good government (pemerintahan yang
baik), dan clean governance (pemerintahan yang bersih). Untuk lebih dipahami makna
sebenarnya dan tujuan yang ingin dicapai atas good governance, maka adapun beberapa
pengertian dari good governance, antara lain :
1. Menurut Bank Dunia (World Bank)
Good governance merupakan cara kekuasaan yang digunakan dalam mengelola berbagai
sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat.
2. Menurut UNDP (United National Development Planning)
Good governance merupakan praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan.
Penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Dalam
konsep di atas, ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu:
a) Kesejahteraan rakyat (economic governance)
b) Proses pengambilan keputusan (political governance)
c) Tata laksana pelaksanaan kebijakan (administrative governance)
Dalam proses memaknai peran kunci stakeholders (pemangku kepentingan), mencakup 3
domain good governance, yaitu:
a) Pemerintah yang berperan menciptakan iklim politik dan hukum yang kondusif
b) Sektor swasta yang berperan menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan
c) Masyarakat yang berperan mendorong interaksi sosial, ekonomi, politik dan mengajak
seluruh anggota masyarakat berpartisipasi
5. 2.2 Tindak Perilaku Korupsi
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau
“corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio”
berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut
kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan
“corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia,
adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”(S.
Wojowasito-WJS Poerwadarminta: 1978).
Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya” (WJS Poerwadarminta: 1976). Selanjutnya untuk beberapa
pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk
kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya; dan
3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.
Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak,
berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat
amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor
ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah
kekuasaan jabatan.
6. BAB 3
DATA DAN PEMBAHASAN
3.1 Dampak Perilaku Korupsi
Dari berbagai studi komprehensif mengenai dampak korupsi terhadap ekonomi sudah banyak
dilakukan. Dari hasil studi komprehensif tersebut nampak berbagai dampak negatif akibat
korupsi. Korupsi dapat merperlemah investasi dan pertumbuhan ekonomi (Mauro:1995 dalam
Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi :2011: 55). Bahkan dalam penelitian yang
lebih elaboratif, dilaporkan bahwa korupsi mengakibatkan penurunan tingkat produktivitas
yang dapat diukur melalui berbagai indikator fisik, seperti kualitas jalan raya (Taanzi dan
Davoodi:2007 dalam Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi :2011: 55).
Berdasarkan laporan Bank Dunia, Indonesia dikategorikan sebagai Negara yang utangnya
parah, berpenghasilan rendah (severy indebted low income country) dan termasuk dalam
kategori Negara-negara termiskin di dunia sama seperti Mali dan Ethiopia. Berbagai dampak
masif korupsi yang merongrong berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara seperti
tergambar dalam uraian berikut ini.
1. Dampak di Bidang Ekonomi
Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enormous destruction effects)
terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan Negara, khususnya sisi ekonomi sebagai
pendorong utama kesejahteraan masyarakat. Masih menurut Mauro, korupsi memiliki
korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan dengan pengeluaran
pemerintah untuk program sosial dan kesejahteraan. Hal ini merupakan bagian dari inti
ekonomi makro. Berbagai macam permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah
apabila korupsi sudah merajalela, berikut ini dampak ekonomi yang akan terjadi , yaitu:
a). Lesunya Pertumbuhan ekonomi dan Investasi
Korupsi bertanggung jawab terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam
negeri. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan
ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga
karena kerugian dari pembayaran illegal, ongkos manajemen dalam negosiaasi dengan
pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan suatu kasus.
7. Menurut laporan yang disampaikan PERC (Political and Economic Risk Consultancy),
karena iklim yang tidak kondusif akan menyulitkan pertumbuhan investasi di Indonesia. Hal
ini terjadi karena tindak korupsi sampai tingkat yang mengkhawatirkan yang secara langsung
maupun tidak mengakibatkan ketidak percayaan dan ketakutan pihak investor asing untuk
menanamkan investasinya di Indonesia.
b). Penurunan Produktivitas
Dengan semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, maka produktifitas akan
semakin menurun. Hal ini terjadi karena terhambatnya sektor industri dan produksi
Penurunan produktivitas juga akan menyebabkan permasalahan yang lain, seperti tingginya
angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diiringi dengan meningkatnya pengangguran.
Ujung dari penurunan produktivitas adalah timbulnya kemiskinan masyarakat.
c). Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa Bagi Publik
Dampak ini bisa dirasakan, misalnya rusaknya jalan-jalan, tergulingnya kereta apai, beras
murah yang tidak layak makan, tabung gas yang meledak, bahan bakar yang merusak
kendaraan masyarakat, tidak layak dan tidak nyamannya angkutan umum merupakan
serangkaian kenyataan rendahnya kualitas barang dan jasa sebagai akibat korupsi.
d). Meningkatnya Hutang Negara
Korupsi yang terjadi di Indonesia akan meningkatkan hutang luar negeri yang semakin besar.
Data menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan hutang, Kementrian Keuangan RI, disebutkan
bahwa total hutang pemerintah per Mei 2011 mencapai US$201,07 miliar atau setara dengan
Rp. 1.716,56 triliun. Angka ini melebihi APBN Negara RI tahun 2012 yang mencapai sekitar
Rp. 1.300 triliun. Kondisi secara umum, hutang adalah hal yang biasa, asal digunakan untuk
kegiatan yang produktif hutang dapat dikembalikan. Dan apabila hutang digunakan untuk
menutup difesit yang terjadi, hal itu akan semakin memperburuk keadaan.
2. Dampak terhadap penegakan hukum
a). Fungsi pemerintahan kacau
Korupsi tidak diragukan, menciptakan dampak negatif terhadap kinerja suatu sistem politik
atau pemerintahan. Pada dasarnya isu korupsi lebih sering bersifat personal (Mauro:1995
dalam Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi :2011:64-66). Namun, dalam
8. manifestasinya yang lebih luas, dampak korupsi tidak saja bersifat personal, melainkan juga
dapat mencoreng kredibilitas organisasi tempat si koruptor bekerja (contoh : kasus Gayus
Tambunan, pelaku korupsi yang kebetulan pegawai direktorat jenderal pajak, setidaknya
membawa nama jelek bagi instansi pajak). Pada tataran tertentu, imbasnya dapat bersifat
sosial. Pada sisi lain, masyarakat cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga
yang diduga terkait dengan tindak korupsi. Dampak korupsi yang menghambat berjalannya
fungsi pemerintahan sebagai pengampu kebijakan negara misalnya korupsi dapat
menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi dan memperlemah peran pemerintah
dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik. Suatu pemerintahan yang terlanda wabah
korupsi akan mengabaikan tuntutan pemerintahan yang layak. Peminpin/pejabat yang korup
sering mengabaikan kewajibannya oleh karena perhatiannya tergerus untuk kegiatan korupsi
semata-mata. Hal ini dapat mencapai titik yang membuat orang tersebut kehilangan
sensitifitasnya dan yang paling parah akhirnya dapat menimbulkan bencana bagi rakyat.
b). Hilangnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga Negara
Korupsi yang terjadi pada lembaga-lembaga negara di Indonesia mengakibatkan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga tersebut hilang (misalnya terhadap legislatif, DPR, Partai
Politik, dan Lembaga Peradilan. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia bisa di lihat mulai
kasus Gayus Tambunan sampai perang kepentingan di Kepolisian RI dalam menindak praktik
mafia hukum. Bahkan berita yang paling akhir adalah kasus korupsi pembangunan wisma
atlet di Palembang dan kasus Hambalang yang melibatkan pejabat pemerintahan dan para
petinggi partai politik.
3.2 Sistem Pemerintahan yang baik sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
Mewujudkan konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan yang baik
dan sinergi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber-
sumber alam, sosial, lingkungan dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk mencapai good
governance adalah adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum,
efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah
harus transparan, efektif dan efisien, serta mampu menjawab ketentuan dasar keadilan.
Sebagai bentuk penyelenggaraan negara yang baik maka harus keterlibatan masyarakat di
setiap jenjang proses pengambilan keputusan.
9. Namun dalam mengeluarkan kebijakan publik masih dikeluarkan produk hukum berupa
keputusan, kebijakan, dan/atau ketetapan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Dalam hal ini yang dimaksud dengan ketentuan hukum yang berlaku adalah syarat
lahirnya kebijakan publik dan sesuai dengan kewenangan pejabat negara yang melahirkan
kebijakan publik tersebut. Pengawasan adalah salah satu caranya dalam rangka mewujudkan
good governance. Pengawasan terhadap pejabat negara atas setiap kebijakan yang berdampak
pada masyarakat baik personal, kelompok, maupun masyarakat pada umumnya.
Pemerintahan yang baik dan bersih tidak akan lagi menjadi mimpi indah yang tentu harus
dibarengi dengan konsistensi hubungan baik pemerintah dan masyarakat. Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik harus sesuai dengan dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
yaitu “Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi
norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara
yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme”. Mencari orang yang jujur dan
memilik integritas tinggi sama halnya dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang unggul akan berpengaruh baik dengan
penyelenggaraan negara. Korupsi yang masih tetap eksis sampai saat ini adalah salahsatu
faktor yang mempersulit dicapainya good governance. Pemberantasan Korupsi Kolusi dan
Nepotisme (KKN) menjadi agenda wajib yang tidak pernah lelah untuk dilakukan. Inilah satu
hal yang tidak boleh dilewatkan untuk mencapai pemerintahan yang baik. Mencegah
(preventif) dan menanggulangi (represif) adalah dua upaya yang dilakukan. Pencegahan
dilakukan dengan memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open
government). Jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak
memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak
mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai. Jaminan yang
diberikan jika memang benar-benar bisa disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat.
Good governance diyakini bisa terjadi apabila hal tersebut memang bisa dilakukan.
Sedangkan penanggulangan dapat dilakukan dengan mempercepat pembentukan Badan
Independen untuk mengatasi KKN. Badan tersebut berfungsi melakukan penyidikan dan
penuntutan kasus KKN. Saat ini yang benar-benar sudah terrealisasi adalah pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memperkenalkan hakim-hakim khusus yang
diangkat khusus untuk kasus korupsi (hakim ad hock) dan memperlakukan asas pembuktian
terbalik secara penuh.
10. 3.3 Pancasila dan UUD 1945 dalam mengatasi perilaku korupsi
Setiap negara di dunia ini mempunyai dasar negara yang dijadikan landasan dalam
menyelenggarakan pemerintah negara. Seperti Indonesia, Pancasila dijadikan sebagai dasar
negara atau ideologi negara untuk mengatur penyelenggaraan negara. Hal tersebut sesuai
dengan bunyi pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 yang berbunyi : “Maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia yang berbentuk
dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada........dst”.
Dengan demikian kedudukan pancasila sebagai dasar negara termaktub secara yuridis
konstitusional dalam pembukaan UUD 1945, yang merupakan cita-cita hukum dan norma
hukum yang menguasai hukum dasar negara RI dan dituangkan dalam pasal-pasal UUD 1945
dan diatur dalam peraturan perundangan. Konflik yang sering terjadi di Indonesia merupakan
konflik yang sebagian besar disebabkan karena krisis moral dan tidak bisa mengamalkan
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila. Era globalisasi yang sedang melanda
masyarakat dunia, cenderung melebur semua identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru.
Masyarakat Indonesia ditantang untuk makin memperkokoh jatidirinya. Bangsa Indonesia
pun dihadapkan pada problem krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas.
Hal ini didukung dengan fakta sering dijumpai masyarakat Indonesia yang dari segi perilaku
sama sekali tidak menampakkan identitas mereka sebagai masyarakat Indonesia. Padahal
bangsa ini mempunyai identitas yang jelas, yang berbeda dengan kapitalis dan fundamentalis,
yaitu Pancasila. Adanya krisis identitas bangsa yang terjadi selama beberapa dekade
menyebabkan mentalitas bangsa menjadi tergerus dan menurunnya kepercayaan masyarakat
terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Ketika krisis kepercayaan itu terjadi,
pada masa kini masyarakat hanya menjadikan Pancasila sebagai “buah bibir” saja tanpa bisa
menghayati dan mengamalkannya secara utuh. Munculnya paham fundamentalis dan
kapitalis sebagai kenyataan akan hal tersebut. Sebagai contoh adalah kasus korupsi ditengah-
tengah masyarakat. Kecenderungan tindak korupsi tersebut hanya memihak dan
menguntungkan satu pihak saja, sedangkan masyarakat sebagai korban dari korupsi tersebut.
Adanya tindak pidana korupsi disebabkan karena lemahnya moral individu, di samping itu,
lemahnya penegakan hukum dalam menindaklanjuti tindak pidana korupsi yang semakin
merajalela. Perspektif ke depan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum
berdasarkan UUD 1945 yang memiliki dasar negara Pancasila, sehingga diperlukan kajian
11. tentang konsepsi sistem hukum di Indonesia. Hal ini dengan tegas dinyatakan pada
Pembukaan UUD 1945 alenia IV dan pada Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, kedudukan Pancasila sebagai norma hukum
tertinggi yang dalam tata hukum global sebagai ideologi dan dasar negara hukum di
Indonesia. Selain krisis identitas yang bersifat moralitas dan kekuasaan, muncul kasus
fundamentalis agama dalam hal tindak pidana korupsi. Faktor pendidikan dikalangan
keagamaan menjadi sangat penting dan strategis dalam membangun moral, mental, dan
karakter bangsa yang peka dan anti korupsi. Fundamentalisme Agama sebagai akibat
lemahnya pengamalan nilai ideologi Pancasila agama merupakan pondasi hidup setiap
manusia, tanpa adanya agama manusia tidak bisa berpikir secara naluri dan tidak bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pasca bergulirnya gerakan reformasi,
Pancasila dilalaikan oleh banyak pihak. Pancasila tidak lagi menjadi acuan dalam kehidupan
politik dan tak lagi digunakan sebagai kerangka penyelesaian masalah nasional. Bahkan,
banyak orang bersikap sinis dan takut ditertawakan jika berbicara tentang Pancasila.
Pancasila tak lagi menjadi acuan, baik dalam pengambilan keputusan maupun penyusunan
perundang-undangan. Jarang pula masalah nasional yang menentukan jalannya sejarah
bangsa direfleksikan atau dipertanyakan kembali dalam kerangka dasar negara, Pancasila.
Masalah itu, antara lain terlihat dalam meningkatnya jumlah penduduk miskin dan
penganggur, kesehatan dan pendidikan bagi rakyat miskin, konflik etnis dan antarumat
beragama, serta meluasnya sikap korupsi. Itu semua jauh dari Pancasila. Sehingga perlunya
penerapan kembali nilai-nilai pancasila dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia
terlebih di era reformasi sekarang yang lebih menonjolkan kebebasan dalam setiap tindakan.
12. BAB 4
PENUTUP
KESIMPULAN
Indonesia adalah salah satu negara didunia yang sedang berjuang dan mendambakan clean
and good governance. Namun keadaan saat ini menunjukkan jelas hal tersebut masih sangat
jauh dari harapan. Kepentingan politik, KKN, peradilan yang tidak adil, bekerja diluar
kewenangan, dan kurangnya integritas dan transparansi adalah beberapa masalah yang
membuat pemerintahan yang baik masih belum bisa tercapai. Masyarakat dan pemerintah
masih bertolak berlakang untuk mengatasi masalah tersebut. Justru seharusnya menjalin
harmonisasi dan kerjasama mengatasi masalah-masalah yang ada. Disamping itu perilaku
korupsi yang sedang menjamur di Indonesia harus diberantas,mengingat dampak dari
perilaku korupsi yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Penerapan Pancasila dan UUD
1945 oleh seluruh masyarakat Indonesia merupakan obat yang mujarab untuk menuju sistem
pemerintahan yang baaik dan menghentikan perilaku korupsi. Pentingnya nilai-nilai pancasila
sebagai dasar negara Indonesia dan sumber hukum harus diamalkan oleh setiap perilaku
pejabat publik sebagai pemangku kebijakan publik. Apabila setiap pejabat sudah mampu
menerapkan dan mengamalkan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 dengan benar,maka akan
terbentuklah sebuah identitas diri yang diharapkan oleh para pendiri bangsa ini. Identitas
pejabat negara yang jujur,penuh integritas dan taat hukum. Dari pejabat publik yang
mempunyai identitas yang berlandaskan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 tersebut,maka
tidak ada yang tidak mungkin untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih baik dari
sekarang. Sistem pemerintahan yang baik,yang diharapkan oleh masyarakat yang mampu
mengelola pemerintahan dengan penuh tanggung jawab,tranparan dan berorietasi pada
masyarakat umum. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa yang besar yang telah dari setengah
abad mengaku merdeka hendaklah berbenah dan kembali pada jati diri bangsa yang
berpedoman pada Pancasila. Lebih memahami nilai dari kandungan Pancasila dan
melaksanakannya dengan kesadaran dan keikhlasan hidup berbagsa, sebagai bangsa yang
besar. Untuk memwujudkan negara yang maju dengan sistem pemerintahan yang baik dan
disegani negara lain dengan berpegang teguh pada Pancasila.
13. DAFTAR PUSTAKA
Dimyati, Hartono Muhammad.Lima Langkah Membangun Pemerintahan Yang
Baik.Michigan:Ind Hill
Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.
Kalla, M. Jusuf, 2009. Korupsi, Mengorupsi Indonesia, Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2011.
Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta
Marpaung,Leden.1992.Tindak Pidana Korupsi:Masalah dan Pemecahannya.Jakarta: Sinar
Grafika
Setijo,Pandji.2012.Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa,Ed.4.
Jakarta : PT Gramedia
Suwarno, P. J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/12/06/eksistensi-good-governance-di-indonesia/
diakses pada 8 November 2014
http://bahasa.kompasiana.com/2013/08/28/definisi-korupsi-dan-korupsi-definisi-587121.html
diakses pada 8 November 2014
https://www.academia.edu/1409098/KORUPSI_SEBAGAI_AKIBAT_KEGAGALAN_IMP
LEMENTASI_PANCASILA diakses pada 8 November 2014
http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27903/Buku-Pendidikan-Anti-Korupsi-untuk-
Perguruan-Tinggi.pdf diakes pada 8 November 2014
http://korupsidalampandanganpancasila.blogspot.com/2009/01/korupsi.html. diakses pada 8
November 2014