SlideShare a Scribd company logo
1 of 21
Download to read offline
Faktor Berpengaruh terhadap Perilaku Korupsi
                                       Kasus Indonesia
                                       Oleh Oswar Mungkasa
                             (Tugas Mata Kuliah Ekonomi Mikro 3, 2002)


1.       Pendahuluan
         Korupsi merupakan penyakit paling parah yang menggerogoti
perekonomian           negara-negara          di    dunia       ketiga.      Suatu      kemustahilan
mengharapkan negara menjadi makmur ketika korupsi sudah dianggap
menjadi bagian dari suatu kehidupan bangsa.
         Tingkat Korupsi yang demikian besar tentu saja akan berdampak
terhadap kondisi perekonomian. Salah satu contoh aktual adalah Nigeria.
Tahun 1985 pendapatan per kapita Nigeria mencapai 2.500 dollar AS. Namun,
sekarang tinggal 225 Dollar AS. Salah satu hasil studi Angang Hu (2000)1 dari
Center for China Study, Qinghua University menyebutkan bahwa kerugian
Cina akibat korupsi di berbagai proyek mencapai sekitar 3,4 sampai 4,5
persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Besarnya dampak korupsi
mengakibatkan kejahatan korupsi dianggap bukan tindak pidana biasa tetapi
merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
         Dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, maka                            tingkat korupsi di
Indonesia menunjukkan kondisi yang relatif sama jeleknya. Tidak ada data
yang pasti tentang besarnya korupsi di Indonesia, tetapi berdasar salah satu
indikator yang diakui secara internasional yaitu Corruption Perception Index
(CPI)2 yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) menempatkan
Indonesia pada peringkat ke-88 dari 91 negara yang dinilai. Posisi ini secara
substansial tidak beranjak dari tahun tahun sebelumnya (Kompas, 4



1
  Hasil penelitian ini dikemukakan dalam makalahnya Corruption and Anti-corruption Strategies in China yang
disampaikan dalam Simposium Korupsi di Amerika Serikat pada bulan februari 2001.
2 Transparency International (TI) merupakan sebuah lembaga pemantau tingkat korupsi di berbagai negara yang

berbasis di Berlin, Jerman. Sementara Corruption Perception Index 9CPI) dihitung berdasar persepsi pelaku
bisnis, analis, dan orang yang berkepentingan dengan pemberantasan korupsi.


Tugas Mikro III - Om                                  1
Desember 2001). Sekalipun angka ini masih dipertanyakan validitasnya,
tetapi realitasnya menunjukkan kondisi yang relatif serupa.
         Tentu saja banyak faktor yang dituding menjadi penyebab korupsi.
Kesemua faktor penyebab tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa
faktor berpengaruh dalam pengambilan keputusan korupsi dari sebuah
individu. Dalam makalah ini keseluruhan faktor penyebab tersebut
dikelompokkan dalam 3 (tiga) faktor berpengaruh terhadap kecenderungan
korupsi (atau tidak korupsi) yaitu tingkat gaji pegawai pemerintah, besarnya
pendapatan dari korupsi, besar/tingginya tingkat hukuman jika tertangkap,
dan kemungkinan (probabilitas) tertangkap.
         Pemahaman terhadap mekanisme pengaruh dari faktor-faktor tersebut
dipercaya dapat membantu pengambil kebijakan (pada berbagai tingkatan
pemerintahan/institusi) dalam menerapkan strategi penanganan korupsi.
         Memperhatikan hal tersebut di atas, maka maksud studi ini adalah
memberikan gambaran kecenderungan seseorang berperilaku korupsi
dengan memperhatikan faktor tingkat gaji pegawai negeri, kemungkinan
tertangkap, besarnya suap/hasil korupsi dan besarnya hukuman. Tujuan
studi adalah membangun sebuah model yang dapat memperlihatkan bentuk
hubungan antara (a) gaji pegawai negeri; (b) kemungkinan tertangkap; (c)
besarnya suap/hasil korupsi; dan (d) besarnya/tingginya hukuman terhadap
tingkat kecenderungan korupsi dari pelaku korupsi.


2.       Korupsi: Penyebab dan Faktor Berpengaruh
2.1      Definisi dan Bentuk Korupsi
          Korupsi berasal dari Bahasa Latin corruptus yang berarti mematahkan
atau memisahkan dan corrumpere atau merusak. Secara konsepsual, korupsi
adalah sebuah bentuk perilaku yang memisahkan diri dari etika, moralitas,
tradisi, hukum dan kebajikan sipil. Korupsi mencakup penyalahgunaan
kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa dalam
masyarakat untuk maksud pribadi (Lubis, 1998). Definisi klasik Bank Dunia



Tugas Mikro III - Om                    2
dan     Dana      Moneter    Internasional    (IMF),   korupsi   diartikan   sebagai
penggunaan posisi pengambilan kebijakan publik untuk secara ilegal
memperoleh keuntungan pribadi/kelompok.
          Sementara definisi lainnya adalah (a) Discretionary corruption, korupsi
yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan;
(b) Illegal corruption, suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu; (c) Mercenery
corruption, jenis tindak korupsi untuk kepentingan pribadi; (d) Ideological
corruption, korupsi illegal atau discretionery untuk kepentingan kelompok
(Benveniste, 1997).
          Sedikitnya terdapat tujuh macam bentuk korupsi, yaitu (a) korupsi
transaksional, korupsi yang melibatkan kedua belah pihak; (b) korupsi
memeras, jika salah satu pihak terpaksa melakukan korupsi; (c) korupsi
ontogenik, hanya melibatkan yang bersangkutan; (d) korupsi defensif, jika
dilakukan untuk membela diri; (e) korupsi investasi, berupa pelaksanaan
tugas dengan harapan mendapat imbalan; (f) korupsi nepotisme, pemberian
keistimewaan pada keluarga/teman/relasi; (g) korupsi suportif, tidak terlibat
langsung tapi memberi peluang atau pura-pura tidak tahu (Noeh, 1997).

2.2      Dampak Korupsi
         Dampak korupsi dapat dibedakan atas dampak negatip dan positip.
Dampak negatip yaitu (a) Menggagalkan pencapaian tujuan pelaksanaan
pembangunan; (b) Kenaikan biaya administrasi; (c) Jika dalam bentuk komisi,
akan mengurangi alokasi dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan
masyarakat umum; (d)              Berpengaruh buruk pada mental pegawai; (e)
Menurunkan kredibilitas pemerintah. Sementara dampak positip adalah (a)
Hasil     korupsi      sebagian   terbesar   dipergunakan   untuk    investasi;   (b)
Meningkatkan kualitas pegawai; (c) Perekrutan yang berlandaskan nepotisme
akan melipatgandakan jumlah pegawai, yang berakibat mengurangi jumlah
pengangguran (Lubis,1998).

2.3      Faktor Penyebab


Tugas Mikro III - Om                         3
Faktor penyebab korupsi, dapat dikategorikan sebagai (a) rendahnya
tingkat kesejahteraan pegawai dan sistem penerimaan pegawai. Dampak
sistem penerimaan pegawai yang baik (merit-system) diteliti oleh Evans and
Rauch [1996] di 35 negara berkembang. Hasilnya menunjukkan bahwa sistem
yang baik mengurangi tingkat korupsi. Pengaruh tingkat gaji                 pegawai
pemerintah diteliti oleh Rijckeghem and Weder (1997) yang menemukan
bahwa perbedaan gaji pegawai pemerintah relatif terhadap gaji swasta
berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi. Meningkatkan gaji pegawai
pemerintah sebesar dua kali lipat akan memperbaiki CPI sebanyak 2 point
(Lambsdorff, 2000); (b) faktor kultural. Budaya patron-client dalam birokrasi,
dan pendekatan kekeluargaan/perkawanan dalam pengambilan keputusan
merupakan bentuk budaya yang mendorong terjadinya korupsi.                    Pada
beberapa komunitas, tingkat kepercayaan diantara masyarakat masih tinggi.
La Porta et al. [1997: 336] menyatakan bahwa kepercayaan dapat membantu
mengurangi tingkat korupsi karena dapat membantu pegawai pemerintah
bekerjasama lebih baik diantara mereka dan dengan masyarakat umum. Hasil
ini berdasar pada penelitian di 33 negara (Lambsdorff, 2000); (c) kurang
efektifnya sistem pengawasan; (d) lemahnya penegakan hukum Berdasar
World Development Report (1997) yang terfokus pada kualitas hukum
menunjukkan penegakan hukum mempengaruhi tingkat korupsi di 59
negara; (e) kurangnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam
penanggulangan korupsi. Brunetti and Weder (1998) menunjukkan bahwa
keterbukaan, demokrasi, kebebasan pers, dan partisipasi masyarakat
merupakan faktor efektif mengurangi tingkat korupsi (Lambsdorff, 2000)

         Menurut       Huntington   (1968)       dalam   buku   klasiknya   tentang
pembangunan politik, mengutarakan beberapa kondisi yang menguntungkan
timbulnya korupsi yaitu (a) korupsi cendrung meningkat dalam suatu
periode pertumbuhan serta modernisasi yang cepat, karena perubahan nilai-
nilai, sumber-sumber baru kekayaan dan kekuasaan, dan perluasan
pemerintahan; (b) Negara dengan keragaman stratifikasi sosial, lebih banyak


Tugas Mikro III - Om                         4
polarisasi kelas, dan lebih banyak kecenderungan feodal, korupsi cenderung
berkurang; (c) Apabila banyak perusahaan asing di suatu negara maka
korupsi cenderung meningkat; (d) semakin partai politik kurang berkembang
mekar, semakin meluas korupsinya, lantaran lemahnya kontrol (Klitgaard,
1998).
         Menurut Rijckeghem (1997)3, keseluruhan faktor penyebab korupsi di
atas dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu tingkat gaji (w),
ketidakmemadaian pengawasan (p), tingkat/besarnya hukuman (f), besarnya
distorsi ekonomi, dan faktor lainnya (Rijckeghem, 1997).

3.       Pengaruh      Kemungkinan         Tertangkap,      Besarnya      Korupsi      dan
         Hukuman terhadap Kecenderungan Korupsi
3.1      Tinjauan Teoritis
         Model dalam makalah ini dijiwai oleh ‘Shirking Model’ (Shapiro dan
Stiglitz, 1984) dan dibangun dari hasil kerja Becker dan Stigler (1974), yang
mengasumsikan bahwa pegawai negeri memaksimalkan ‘expected income’.
Perilaku korupsi jika tertangkap dihukum dalam bentuk dipecat, sehingga
pejabat dengan pendapatan besar cenderung menjadi kurang korup. Ketika
tingkat suap tinggi atau kemungkinan tertangkap rendah, model ini
memperkirakan bahwa gaji yang dapat mengurangi korupsi adalah tinggi.
         Karena itu, buat pemerintah lebih efektif (cost effective) untuk
membayar ‘capitulation wages’ (gaji dibawah reservation wages) daripada
meningkatkan gaji. Lebih lanjut, hukuman dapat selalu diperberat sampai
pada tingkat yang dapat mencegah korupsi, karenanya gaji tinggi tidak
dibutuhkan.
         Implikasi kebijakan di atas tidak kuat untuk merumuskan proses
korupsi. Hal ini terlihat ketika dilakukan relaksasi terhadap asumsi pegawai
negeri memak-simalkan ‘expected income’, sehingga peran kebijakan gaji
menjadi lebih besar


3
  Faktor p, w, f ditambah besarnya korupsi (B) dinasukkan dalam model Rijckeghem pada bagian
selanjutnya dari makalah ini.

Tugas Mikro III - Om                           5
Pegaai negeri mungkin terlibat dalam perilaku ‘satisficing (pemuasan)’
dan     bukannya         ‘maximizing     (pemaksimalan)’       dan   karenanya      korupsi
dilakukan hanya untuk mencapai pendapatan sewajarnya (fair income).
Pegawai negeri mungkin menghindari kesempatan korupsi, dengan
tersedianya       gaji      memadai,    bahkan       ketika   tindakan   tersebut    bukan
memaksimalkan ‘expected income’. Formalnya cara pandang ini dimodelkan
sebagai ‘fair-wage effort hypothesis’ (Akerloff and Yellen, 1990). Ditunjukkan
bahwa hipotesis ini berakibat peningkatan gaji (penurunan) mempunyai
dampak kuat pada korupsi daripada ketika PNS memaksimalkan ‘expected
income’ dan mengurangi korupsi melalui kebijakan gaji mungkin tidak
mahal. Ini konsisten dengan bukti penelitian terkini terhadap fair wage effort
hypothesis.

3.2      Korupsi dalam kerangka ‘maximizing’
         Dari sudut pandang penegakan hukum (Becker and Stigler, 1974)
bahwa pegawai negeri memaksimalkan ‘expected income’ dengan cara
menyeimbangkan keuntungan korupsi terhadap denda dan hukuman jika
tertangkap. Hukuman ini mencakup pemecatan (biaya sama dengan
perbedaan gaji dengan swasta ditambah kesempatan korupsi yang hilang)
dan hukuman lainnya.
         Pada model satu periode hubungannya sebagai berikut:



                EI = (1 – P( C)) (CB + Wg) + P( C) (Wp – f) …... (1)


                       EI   =   expected income
                       P    =   kemungkinan tertangkap dan dihukum
                       C    =   jumlah tindakan korupsi (variabel kontinu)
                       Wg   =   gaji pegawai pemerintah
                       Wp   =    gaji swasta
                       B    =    tingkat suap
                       F    =   hukuman lain/penjara


         Kecuali C maka semua variabel dan parameter P( C) adalah eksogen.


Tugas Mikro III - Om                             6
Persamaan diatas menunjukkan bahwa expected income merupakan
rata-rata tertimbang pendapatan ketika korupsi tidak terdeteksi dan ketika
terdeteksi. Ketika terdeteksi, pendapatan adalah hasil korupsi dan gaji
sementara jika tertangkap pendapatan adalah gaji swasta dikurangi
hukuman.
         Pada formulasi ini, kebijakan gaji pemerintah mempunyai dampak
terhadap korupsi sebab hukuman termasuk kehilangan pekerjaan. Namun
gaji tinggi tidak berarti korupsi berkurang, dengan kondisi pemerintah dapat
memanipulasi P(C) dan f . Akhirnya, kebijakan gaji kehilangan kefektifannya
ketika tingkat suap tinggi.
         Beragam penambahan dimungkinkan. Pertama, P dapat diekspresikan
sebagai      fungsi negatif hukuman (memasukkan pemecatan),                 P juga
dipengaruhi oleh suap terhadap penegak hukum. Kedua, ukuran suap (B)
mungkin bergantung pada keuntungan suap bagi pemberi suap, tingkat
hukuman dan kemungkinan tertangkap.
         Mempertimbangkan semua penambahan di atas maka formula
menjadi:



      EI = (1 – P( C,f,Wg-Wp)) (CB(P,f) + Wg) + P( C,f,Wg-Wp) (Wp – f)   … (2)




         Berdasar      formula di atas, penambahan         f kehilangan banyak
kemampuan mengurangi korupsi, sebagai hasil dari dampak terhadap
penegakan hukum oleh masyarakat yang berkurang sebagaimana pada
tingkat suap (yang bertambah). Instrumen kedua, P tidak lagi berada
dibawah kendali langsung pemerintah. Gaji Wg, dilain pihak, meningkat
perannya melalui dampak pada aktifitas penegakan hukum oleh masyarakat
(yang bertambah dengan meningkatnya pendapatan).

3.3      Korupsi dalam Kerangka Pemuasan (‘satisficing’)


Tugas Mikro III - Om                       7
Perilaku individu mungkin tidak cocok dengan penggambaran melalui
kerangka ‘maximizing’ di atas. Fehr et. al (1993) menemukan bukti bahwa gaji
memotivasi usaha bahkan ketika tidak ada hukuman untuk ‘shirking’.
Eksperimen ‘lost-letters’4 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat
jujur, dalam konteks tidak menggunakan kesempatan korupsi. Penemuan ini
mengindikasikan         bahwa        sebagian        masyarakat     tidak     menggunakan
kesempatan korupsi sepanjang diperlakukan adil.
         Secara formal ‘fair wage-effort’ hypothesys dimodelkan sebagai :


                       e = f (I/W*) = f ((W + N)/W*) …… (3.a)


                                e    =    usaha
                                I    =    pendapatan aktual
                                W*   =    gaji wajar (fair wage)
                                W    =    gaji yang diterima
                                 N    =    tunjangan


         Menurut teori, pekerja menyesuaikan usahanya kalau terdapat
perbedaan antara gaji dan ‘fair’ wage. Korupsi dapat dipahami dalam konteks
ini sebagai penyesuaian tunjangan (N). Dengan sedikit modifikasi maka teori
ini menjadi:



                              e = f (EI/EI*) …. (3.b)


                         EI = actual expected income
                        EI* = targeted/’fair’ exp. income



         Untuk membandingkan dengan kerangka maximizing diasumsikan
bahwa       hukuman       korupsi     melalui        pemecatan     (Wg-Wp),       kehilangan
kesempatan korupsi (CB), dan hukuman (f). Diasumsikan juga untuk


4 Eskperimen ini dimaksudkan untuk menilai tingkat kejujuran suatu komunitas dengan cara
penyebaran amplop berisi uang di tempat-tempat umum. Setiap amplop diberi alamat pemilik amplop,
sehingga jika si penemu jujur maka dia dapat mengirim kembali amplop tersebut pada pemiliknya.

Tugas Mikro III - Om                             8
penyederhanaan bahwa P adalah jumlah kejadian korupsi ( C) dikalikan
kemungkinan tertangkap untuk sebuah kegiatan korupsi (p). Asumsi ini
mengurangi kompleksitas analsis, tetapi tetap dapat diterima sebagai suatu
pedekatan untuk negara berkembang.
         Substitusi P = pC pada persamaan 1 didapatkan:



                  EI = (1 – pC)) (CB + Wg) + pC (Wp – f)              …... (4)




         Persamaan ini menjadi dasar analisis selanjutnya yang disebut ‘fair
wage-corruption’ hypothesis, yaitu hipotesis bahwa pegawai memilih
tingkatan korupsi dalam usaha mencapai EI = EI*




               EI = (1 – pC)) (CB + Wg) + pC (Wp – f) = EI* …... (5)




         Solusi untuk C adalah fungsi dari Wg relatif terhadap fair income EI*.
Kemungkinan tidak terdapat solusi untuk C.
         Penggabungan korupsi dan usaha dalam satu model sesuai dengan
yang digambarkan dalam literatur korupsi (PNS yang tidak ingin, tidak
punya kesempatan, atau korupsi tidak menguntungkan mungkin melakukan
strategi lain yaitu ngobyek (Gould, 1980).

3.4      Implikasi Tertentu
3.4.1 Hipotesis Fair Wage-Corruption
         Penyelesaian C (satisficing) menggunakan rumus ABC dan memilih
akar negatip sehingga:



                            B – p (Wg – Wp + f) -             D
                       C = ---------------------------------------------- ….. (6)
                                           2pB
Tugas Mikro III - Om                                9
D = [B – p (Wg – Wp + f)]2 – 4 p B (EI – Wg) ….. (6.a)




         Penggunaan hanya akar negatip karena akar positip mengakibatkan
semakin banyaknya korupsi dibanding maximizing dan berarti pareto-
inferior (keduanya pemerintah dan PNS akan lebih baik dengan kurangnya
korupsi), sehingga ditiadakan.
         Jika Wg = EI*, C=0, contohnya korupsi nol ketika pemerintah
membayar fair wage. Dari pers. 4 bahwa jika solusi ada (C>0) dan tertangkap
menjadi mahal (misal CB+Wg > Wp-f), pendapatan korupsi CB melampaui
perbedaan antara fair wage dan gaji PNS, EI* -Wg. Intuisinya adalah bahwa
pegawai memerlukan kompensasi untuk kemungkinan kehilangan pekerjaan
dan biaya lainnya yang berkaitan dengan tertangkap.
         Jika EI* bertambah maka korupsi meningkat tetapi EI* terlalu tinggi
mengakibatkan D negatip dan tidak ada solusi.
   Penurunan Pertama



           dC      -1             1
         ------ = ----- [ 1 + --------- [B+p (Wg – Wp + f)]] …. (6.a)
          dWg     2B            (D)0.5



         Penurunan ini juga merepresentasikan penurunan C terhadap (Wg –
Wp) jika EI* = Wp, yaitu fair wage sama dengan gaji swasta.
   Penurunan Kedua



          dC        1 [B - p (Wg – Wp + f)] – [2p (EI- Wg)] – (D)0.5
          ------ = ----- ----------------------------------------------------------- …. (6.b)
          dp       2 p2                              (D)0.5


Tugas Mikro III - Om                               10
Penurunan kedua ini selalu lebih besar atau sama dengan nol. (jika
solusi ada). Secara intuisi, peningkatan kemungkinan tertangkap mengurangi
expected income dari PNS, ceteris paribus, sepanjang dipecat adalah sesuatu
yang tidak diinginkan. Karenanya PNS akan menguragi korupsi jika
kemungkinan tertangkap meningkat.

3.4.2 Hipotesis Shirking
         Jika pegawai menginginkan maximizing EI solusi C dan turunan
pertama terhadap Wg dan p adalah



                        B – p (Wg – Wp + f)
                   C = --------------------------------       ………….. (7)
                                 2pB




   Penurunan Pertama

                                dC          -1
                               -------   = -----        ….. (7.a)
                                dWg          2B



   Penurunan Kedua

                                 dC       -1
                               ------- = -------    …… (7.b)
                                dp         2 p2



         Tiga observasi dapat dihasilkan. Pertama, jumlah korupsi skenario
satisficing adalah lebih kecil dari jumlah korupsi skenario maximizing, untuk


Tugas Mikro III - Om                               11
setiap tingkatan gaji (jika solusi ada, bandingkan pers 6 dan 7). Dalam
konteks ini, kesempatan korupsi tidak dipergunakan. Gaji yang mengurangi
korupsi selalu lebih besar untuk maximizing daripada satisficing. Kedua,
turunan C terhadap Wg sama dengan turunan (satisficing), minus term, yang
selalu negatif (jika B+p(Wg-Wp+f) positif). Oleh karenanya dalam skenario
maximizing peran gaji lebih besar dalam mengurangi korupsi. Juga turunan
lebih kecil untuk tingkat suap yang lebih besar, baik satisficing dan
maximicing, mengakibatkan peran lebih kecil bagi kebijakan gaji ketika suap
tinggi. Ketiga, turunan terhadap p negatip (maximizing) sementara positip
(satisficing).

         Pada kedua skenario (maximizing dan satisficing) maka :
   Hipotesis I  Korupsi berhubungan negatip dengan perbedaan relatif gaji
    pegawai negeri dan swasta
   Skenario fair wage hypothesis
     Hipotesis II  Korupsi berkurang/hilang ketika gaji sama dengan fair
     wage.
     Sebagai catatan, untuk tingkat suap rendah dan/atau hukuman tinggi
     dan/atau probabilitas tertangkap dan dihukum tinggi, korupsi hilang
     pada tingkat gaji rendah.
     Hipotesis III  jika gaji cukup tinggi (sehingga solusi ada pada skenario
     satisficing),     probabilitas   tertangkap   dan   dihukum   lebih   tinggi
     dihubungkan dengan korupsi yang lebih tinggi, dan bukan korupsi
     rendah.
     Catatan, hubungan negatip anatara p dan f adalah konsisten dengan
     hipotesis fair wage jika gaji rendah dan lingkungan kerja dengan tingkat
     suap rendah dan/atau hukuman tinggi dan/atau p tinggi.
   Skenario shirking hypothesis
     Hipotesis 4  jika lingkungan kerja dengan tingkat suap tinggi dan/atau f
     rendah dan/atau p rendah, gaji pemerintah berlipat gaji swasta agar
     korupsi hilang.


Tugas Mikro III - Om                        12
Hipotesis 5  p lebih besar dikaitkan dengan korupsi rendah

3.5     Kasus Indonesia
        Menurut Filmer (2001), berdasar penelitiannya tentang perbandingan
gaji pegawai negeri dan swasta, menemukan bahwa secara umum pegawai
negeri golongan III kebawah (yang mencakup sekitar 70 persen dari seluruh
jumlah pegawai negeri) mempunyai tingkat gaji yang lebih baik dari pegawai
swasta. Kondisi ini menyebabkan untuk kasus Indonesia, Model Rijckeghem
perlu dilakukan perubahan terutama menyangkut asumsi Wp lebih besar dari
Wg menjadi Wg lebih besar dari Wp, sehingga jika tertangkap maka fungsi
kerugian menjadi (Wg – f). Perubahan tersebut mengakibatkan persamaan (1)
berubah menjadi:




              EI = EI* = (1 – P(C)) (CB + Wg) + P(C) (Wg – f) …... (8)




         Substitusi P = pC maka persamaan (8) dapat ditulis sebagai:



               (1 – pC) (CB + Wg) + pC (Wg – f) – EI = 0 …... (9)




         Optimalisasi persamaan (9) dilakukan dengan menggunakan rumus
ABC dan memilih akar negatip sehingga:


                           (B – pf) – (E)0.5
                C = -------------------------------- ………………… (10)
                                   2pB




                  E = [B - pf)]2 - 4 p B (EI - Wg) ………. (10.a)

Tugas Mikro III - Om                      13
3.5.1 Kondisi Maksimisasi (Shirking Corruption)
         Pada kondisi ini dianggap pelaku korupsi memaksimalkan expected
incomenya, sehingga persamaan (10) menjadi

                                  (B – pf)
                         C = ------------------- …………          (11)
                                   2pB



   Pengaruh gaji pegawai pemerintah (Wg) terhadap korupsi (C)
    Pengaruh Wg terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama
persamaan (11) terhadap Wg, sebagai:


                            dC
                            ------- =       0    ….. (12.a)
                            dWg


         Persamaan (12.a) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari faktor
gaji pegawai pemerintah terhadap intensitas korupsi.

   Pengaruh kemungkinan tertangkap (p) terhadap korupsi (C)
    Pengaruh p terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan
(11) terhadap p, sebagai:


                             dC        -1
                           ------- = ---------    …… (12.b)
                            dp          2   p2


         Persamaan (12.b) menunjukkan bahwa kemungkinan tertangkap
berpengaruh            negatip   terhadap        intensitas   korupsi.   Semakin   besar
kemungkinan tertangkap akan mengakibatkan berkurangnya intensitas
korupsi.

    Pengaruh besarnya korupsi (B) terhadap korupsi (C)


Tugas Mikro III - Om                              14
Pengaruh B terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan
(11) terhadap B, sebagai:


                          dC         f
                        ------- = ---------   …… (12.c)
                        dB           2 B2


         Persamaan (12.c) menunjukkan bahwa besarnya korupsi berpengaruh
positip terhadap intensitas korupsi. Semakin besar jumlah yang didapatkan
dari hasil korupsi (atau suap) akan mengakibatkan meningkatnya intensitas
korupsi.

     Pengaruh tingkat/besar hukuman (f) terhadap korupsi (C)
      Pengaruh f terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan
(11) terhadap f, sebagai:


                          dC        -1
                        ------- = ---------   …… (12.d)
                         df          2B


         Persamaan (12.d) menunjukkan bahwa tingkat hukuman berpengaruh
negatip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi tingkat hukuman akan
mengakibatkan menurunnya intensitas korupsi.
         Hal lainnya bahwa pengaruh tingkat hukuman terhadap intensitas
korupsi tergantung pada besarnya hasil korupsi. Semakin besar hasil korupsi
maka semakin kecil pengaruh tingkat hukuman terhadap intensitas korupsi.

3.5.2 Kondisi Optimalisasi (Fair-Wage Corruption)

         Pada kondisi ini dianggap pelaku korupsi melakukan korupsi dalam
rangka mencapai expected income, sehingga formula yang dipergunakan
adalah persamaan (10).
         Pada kondisi ini maka beberapa persyaratan awal perlu dipenuhi yaitu
(i)      (E)0.5 harus positip agar terdapat solusi, sehingga [B - pf)]2 > 4 p B (EI -
         Wg) atau

Tugas Mikro III - Om                          15
[B - pf)]2 /4pB > (EI - Wg) ………. (13.a)




(ii)      (B – pf) harus positip agar terdapat solusi, sehingga (B – pf) > 0 atau



                               (B > pf) ………. (13.b)



(iii)     (B – pf) harus lebih besar dari (E)0.5 agar terdapat solusi, sehingga



                             (B - pf) > (E)0.5 ………. (13.c)




      Pengaruh gaji pegawai pemerintah (Wg) terhadap korupsi (C)
       Pengaruh Wg terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama
persamaan (10) terhadap Wg, sebagai:


                           dC             -1
                           ------- =    ------ ….. (14.a)
                           dWg           (E)0.5


          Persamaan (14.a) menunjukkan bahwa gaji pegawai pemerintah
berpengaruh negatip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi gaji
pegawai pemerintah maka semakin kecil intensitas korupsi.

      Pengaruh kemungkinan tertangkap (p) terhadap korupsi (C)
       Pengaruh p terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan
(10) terhadap p, sebagai:



         dC       1       (E)0.5            4 B (EI – Wg) + f (B – pf)
        ------ = ----- [ ---------- - 1 ] + --------------------------------- … (14.b)
         dp      2 p2        B                         2 PB (E)0.5

Tugas Mikro III - Om                           16
Dari persamaan (14.b) relatif sulit menunjukkan bentuk hubungan
antara C dan P. Hal ini terlihat dari persamaan (14.c) dan (14.d):




                                       1         (E)0.5
       persamaan (13.c)             ------- [ ---------- - 1 ] < 0 …………. (14.c)
                                      2 p2        B




                                     4 B (EI – Wg) + f (B – pf)
      persamaan (13.b)            ----------------------------------- > 0 …… (14.d)
                                            2 PB (E)0.5



          Persamaan (14.c) bisa lebih kecil atau lebih besar dari persamaan
(14.d).     Jika dC/dP < 0, maka persamaan (14.c) harus lebih besar dari
persamaan (14.d), sehingga:



         1        (E)0.5                 4 B (EI – Wg) + f (B – pf)
      - ----- [ ---------- - 1 ]    >    --------------------------------- … (14.e)
        2 p2       B                              2 PB (E)0.5


          Persamaan (14.e) dapat disederhanakan menjadi:



                B (E)0.5 - E > 4 pB (EI – Wg) + pf (B – pf) …. (14.f)




Tugas Mikro III - Om                            17
Tetapi kemudian persamaan (14.f) tetap sulit untuk diartikan, sehingga
pengaruh kemungkinan tertangkap terhadap intensitas korupsi menjadi tidak
sederhana. Bisa berpengaruh positip maupun negatip.

   Pengaruh besarnya korupsi (B) terhadap korupsi (C)
    Pengaruh B terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan
(10) terhadap B, sebagai:


         dC         1             (E)0.5          4 p (EI – Wg) - (B – pf)
       ------- = -------- [( f + --------- )] + ---------------------------------- …. (14.g)
        dB              2 B2          p                 2 p B (E)0.5


         Dari persamaan (14.g) relatif sulit menunjukkan pengaruh besarnya
hasil korupsi terhadap intensitas korupsi. Jika dC/dB > 0 maka 4 p (EI – Wg)
harus lebih besar dari (B – pf), sehingga:



                           B < 4 p (EI – Wg+ 0,25 f) …. (14.h)




         Dari persamaan (14.h) dapat diartikan bahwa besarnya hasil korupsi
berpengaruh positip terhadap intensitas korupsi jika persamaan (14.h)
terpenuhi, yaitu selisih expexted income dan actual income ditambah
besarnya hukuman harus lebih besar dari besarnya korupsi.
         Perilaku optimalisasi mengakibatkan bahwa besarnya korupsi hanya
akan berpengaruh positip jika tidak melebihi selisih antara pendapatan
sekarang dan pendapatan yang diharapkan ditambah besarnya hukuman
yang kemungkinan harus dibayar.                   Jika hasil korupsi besar sekali maka
pegawai negeri tidak akan melakukan korupsi.
   Pengaruh tingkat/besar hukuman (f) terhadap korupsi (C)
         Pengaruh f terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama
persamaan (10) terhadap f, sebagai:


                         dC         1         (B – pf)
                       ------- = --------- [ ----------- - 1 ] …… (14.i)
Tugas Mikro III - Om                               18
                        df          2B       (E)0.5
Persamaan (14.i) menunjukkan bahwa tingkat hukuman berpengaruh
positip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi tingkat hukuman akan
mengakibatkan meningkatnya intensitas korupsi. Artinya pelaku korupsi
akan tetap korupsi walaupun tingkat hukuman dinaikkan. Hal ini terkait
dengan kondisi pelaku korupsi hanya melakukan korupsi untuk memenuhi
kekurangan pendapatannya dari pendapatan yang diharapkan.


4.       Kesimpulan
         Beberapa hal dapat disimpulkan dari hasil kajian ini yaitu:
a.       Perilaku korupsi dipengaruhi oleh banyak faktor yang dalam kajian ini
         diklasifikasikan dalam 4 (empat) kategori yaitu tingkat gaji pemerintah
         (Wg), kemungkinan tertangkap (p), besarnya korupsi (B), dan
         besarnya/tingginya hukuman (f).
b.       Pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap intensitas korupsi
         beragam tergantung pada kondisi yang ada. Dalam kajian ini
         dibedakan antara perilaku korupsi yang memaksimalkan pendapatan
         dan korupsi yang mengoptimalkan pendapatan (haanya untuk
         memenuhi kekurangan antara pendapatan aktual dan pendapatan
         yang     diharapkan).       Model       awal   mengasumsikan     gaji   pegawai
         pemerintah (Wg) lebih kecil dari gaji swasta (Wp), sementara untuk
         kondisi Indonesia Wp lebih kecil dari Wg. Secara ringkas hasil kajian
         tersebut adalah sebagai berikut:


     Faktor             Skenario I  Wp > Wg                Skenario II  Wp < Wg
                       Maksimisasi    Optimalisas       Masimisasi      Optimalisasi
                                             i
Gaji pegawai Negatip                  Negatip           Tidak ada Negatip
pemerintah                                              pengaruh


Tugas Mikro III - Om                              19
(Wg)
Kemungkinan            Negatip     Positip        Negatip    Tidak jelas
tertangkap (p)
Besarnya               Positip     Tidak jelas    Positip    Positip jika
korupsi (B)                                                  B < 4p (EI – g +
                                                             0,25f)
Besarnya         Negatip       Tidak jelas   Negatip         Positip
hukuman (f)
Keterangan: sel dibaca  pengaruh faktor Wg/p/B/f terhadap intensitas korupsi untuk
masing-masing skenario


         Pada skenario I (Wp > Wg), maka model dapat menjelaskan secara
         baik hanya untuk kondisi maksimisasi, sementara pada kondisi
         optimalisasi hanya dapat menjelaskan hubungan Wg dan p terhadap
         intensitas korupsi.
         Pada skenario II (Wp < Wg), maka model dapat menjelaskan secara
         baik hanya untuk kondisi maksimisasi, sementara pada kondisi
         optimalisasi model tidak dapat menjelaskan hubungan p terhadap
         intensitas korupsi.
c.       Pada kasus Indonesia, maka pengurangan intensitas korupsi dapat
         dilakukan melalui:
         (i)      jika diasumsikan bahwa pelaku korupsi memaksimumkan
                  expected income maka menaikkan gaji pegawai pemerintah
                  tidak akan mengurangi tingkat korupsi. Hanya menaikkan
                  besarnya hukuman yang dapat menurunkan intensitas korupsi.
         (ii)     Jika diasumsikan bahwa pelaku korupsi mengoptimalkan
                  pendapatan aktualnya sehingga dapat menutup kekurangan
                  pendapatannya, maka kenakan gaji pegawai pemerintah akan
                  menurunkan intensitas korupsi. Sementara besarnya hukuman
                  bukan merupakan strategi yang tepat untuk menurunkan
                  intensitas korupsi.
d.       Kebijakan untuk menanggulangi korupsi sangat tergantung pada
         asumsi/kondisi obyektif yang ada.




Tugas Mikro III - Om                         20
DAFTAR PUSTAKA

Buku
1.       Benveniste, Guy. Birokrasi. Cetakan Keempat. PT. Rajagrafindo, Jakarta
         1997.
2.       Klitgaard, Robert. Membasmi Korupsi. Diterjemahkan oleh Hermoyo
         dari judul asli Controlling Corruption. Jakarta, Yayasan Obor
         Indonesia, 1998.
3.       Lubis, Mochtar dan Scott, James C. (Ed.). Bunga Rampai Korupsi.
         Cetakan Ketiga. LP3ES, Jakarta, 1995.
4.       Noeh, Munawar Fuad. Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. Zihrul
         Hakim, Jakarta, 1997.


Makalah
1.       Filmer, Deon dan Lindauer, David L. Does Indonesia Have A ‘Low Pay’
         Civil Service?. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol. 37, No.2,
         2001.
1.       Lambsdorff, Johann Graf. Corruption in Empirical Research - A Review.
         Internet center for Corruption Research, 2000.
2.       Rijckeghem, Caroline Van dan Beatrice Weder. Corruption and the Rate
         of Temptation: Do Low Wages in the Civil Service Cause Corruption?.
         International Monetary Fund, June 1997.

Media Massa

1.       Kompas 4 Desember 2001. Pemberantasan Korupsi. Kemajuan itu
         Masih Sebatas Kata.




Tugas Mikro III - Om                     21

More Related Content

What's hot

Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia revisi
Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia  revisi Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia  revisi
Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia revisi Marlinda
 
Anti korupsi hitam putih
Anti korupsi hitam putihAnti korupsi hitam putih
Anti korupsi hitam putihMusanif Efendi
 
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIAUPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIAMarlinda
 
pendidikan anti korupsin .Faktor2 penyebap korupsi
pendidikan anti korupsin .Faktor2 penyebap korupsipendidikan anti korupsin .Faktor2 penyebap korupsi
pendidikan anti korupsin .Faktor2 penyebap korupsiharjunode
 
Materi 5 dampak korupsi 2010
Materi 5 dampak korupsi 2010Materi 5 dampak korupsi 2010
Materi 5 dampak korupsi 2010Fathur Rohman
 
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan Pencegahannya
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan PencegahannyaTugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan Pencegahannya
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan PencegahannyaSiti Nurjannah
 
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di bantenAnalisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di bantennurfitriyah1712
 
BE &GG, Antoni Butarbutar, Hapzi Ali, Ethics and Business; Corruption and Fra...
BE &GG, Antoni Butarbutar, Hapzi Ali, Ethics and Business; Corruption and Fra...BE &GG, Antoni Butarbutar, Hapzi Ali, Ethics and Business; Corruption and Fra...
BE &GG, Antoni Butarbutar, Hapzi Ali, Ethics and Business; Corruption and Fra...Antoni Butarbutar
 
Pencegahan Dan Upaya Pemberantasan Korupsi
Pencegahan Dan Upaya Pemberantasan KorupsiPencegahan Dan Upaya Pemberantasan Korupsi
Pencegahan Dan Upaya Pemberantasan KorupsiAlungPriaGumilang
 
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansosProposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansosAndy Susanto
 
Irvan korupsi di_masyarakat_41614110109[1]
Irvan korupsi di_masyarakat_41614110109[1]Irvan korupsi di_masyarakat_41614110109[1]
Irvan korupsi di_masyarakat_41614110109[1]irvan sidik
 
Anti Korupsi Latsar CPNS
Anti Korupsi Latsar CPNSAnti Korupsi Latsar CPNS
Anti Korupsi Latsar CPNSMuslihin Hilim
 

What's hot (20)

Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia revisi
Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia  revisi Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia  revisi
Makalah upaya pemberantasan korupsi di indonesia revisi
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 
Anti korupsi hitam putih
Anti korupsi hitam putihAnti korupsi hitam putih
Anti korupsi hitam putih
 
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIAUPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
 
pendidikan anti korupsin .Faktor2 penyebap korupsi
pendidikan anti korupsin .Faktor2 penyebap korupsipendidikan anti korupsin .Faktor2 penyebap korupsi
pendidikan anti korupsin .Faktor2 penyebap korupsi
 
Materi 5 dampak korupsi 2010
Materi 5 dampak korupsi 2010Materi 5 dampak korupsi 2010
Materi 5 dampak korupsi 2010
 
Anti Korupsi
Anti KorupsiAnti Korupsi
Anti Korupsi
 
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan Pencegahannya
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan PencegahannyaTugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan Pencegahannya
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan Tentang Korupsi dan Pencegahannya
 
Makalah korupsi
Makalah korupsiMakalah korupsi
Makalah korupsi
 
Bab 4 dampak korupsi
Bab 4 dampak korupsiBab 4 dampak korupsi
Bab 4 dampak korupsi
 
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di bantenAnalisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
 
BE &GG, Antoni Butarbutar, Hapzi Ali, Ethics and Business; Corruption and Fra...
BE &GG, Antoni Butarbutar, Hapzi Ali, Ethics and Business; Corruption and Fra...BE &GG, Antoni Butarbutar, Hapzi Ali, Ethics and Business; Corruption and Fra...
BE &GG, Antoni Butarbutar, Hapzi Ali, Ethics and Business; Corruption and Fra...
 
Pencegahan Dan Upaya Pemberantasan Korupsi
Pencegahan Dan Upaya Pemberantasan KorupsiPencegahan Dan Upaya Pemberantasan Korupsi
Pencegahan Dan Upaya Pemberantasan Korupsi
 
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSILANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
 
281669604 makalah-kasus-korupsi
281669604 makalah-kasus-korupsi281669604 makalah-kasus-korupsi
281669604 makalah-kasus-korupsi
 
Makalah
MakalahMakalah
Makalah
 
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansosProposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
 
Irvan korupsi di_masyarakat_41614110109[1]
Irvan korupsi di_masyarakat_41614110109[1]Irvan korupsi di_masyarakat_41614110109[1]
Irvan korupsi di_masyarakat_41614110109[1]
 
Korupsi
KorupsiKorupsi
Korupsi
 
Anti Korupsi Latsar CPNS
Anti Korupsi Latsar CPNSAnti Korupsi Latsar CPNS
Anti Korupsi Latsar CPNS
 

Similar to FAKTOR KORUPSI

Sosial dan budaya pa (2)
Sosial dan budaya pa (2)Sosial dan budaya pa (2)
Sosial dan budaya pa (2)Nur Hidayah
 
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI. KEL.1.pptx
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI. KEL.1.pptxPENDIDIKAN ANTI KORUPSI. KEL.1.pptx
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI. KEL.1.pptxanfisaputraappulemba
 
Makalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunan
Makalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunanMakalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunan
Makalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunanMuhammad Iqbal
 
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIRKORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIRZaitun Hakimiah NS
 
Anti Corruption and Good Governance
Anti Corruption and Good Governance Anti Corruption and Good Governance
Anti Corruption and Good Governance Dadang Solihin
 
Dampak masif korupsi dampak masif korupsi
Dampak masif korupsi dampak masif korupsiDampak masif korupsi dampak masif korupsi
Dampak masif korupsi dampak masif korupsiRMIKpolbitrada
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiSeptian Muna Barakati
 
Tugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uasTugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uasnetieli
 
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...Monica Rizki Lestari
 
Bahaya Laten Korupsi
Bahaya Laten KorupsiBahaya Laten Korupsi
Bahaya Laten KorupsiAzinuddin Haq
 
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010Fathur Rohman
 
Dampak Korupsi.pptx
Dampak Korupsi.pptxDampak Korupsi.pptx
Dampak Korupsi.pptxNorAsvianti
 
penanggulangan money laundring perkara korupsi.docx
penanggulangan money laundring perkara korupsi.docxpenanggulangan money laundring perkara korupsi.docx
penanggulangan money laundring perkara korupsi.docxHRLEGALERGYORBINTANE
 
Penyebab kegagalan birokrasi di indonesia
Penyebab kegagalan birokrasi di indonesiaPenyebab kegagalan birokrasi di indonesia
Penyebab kegagalan birokrasi di indonesiaMendeko Jo
 
Tugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiTugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiYuni Sist
 

Similar to FAKTOR KORUPSI (20)

Sosial dan budaya pa (2)
Sosial dan budaya pa (2)Sosial dan budaya pa (2)
Sosial dan budaya pa (2)
 
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI. KEL.1.pptx
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI. KEL.1.pptxPENDIDIKAN ANTI KORUPSI. KEL.1.pptx
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI. KEL.1.pptx
 
Makalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunan
Makalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunanMakalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunan
Makalah kasus korupsi penggelapan pajak gayus tambunan
 
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIRKORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
KORUPTOR YANG KEHILANGAN RASA CINTA TANAH AIR
 
Anti Corruption and Good Governance
Anti Corruption and Good Governance Anti Corruption and Good Governance
Anti Corruption and Good Governance
 
Dampak masif korupsi dampak masif korupsi
Dampak masif korupsi dampak masif korupsiDampak masif korupsi dampak masif korupsi
Dampak masif korupsi dampak masif korupsi
 
Kpk lengkap
Kpk lengkapKpk lengkap
Kpk lengkap
 
Artikel korupsi
Artikel korupsiArtikel korupsi
Artikel korupsi
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 
Makalah korupsi
Makalah korupsiMakalah korupsi
Makalah korupsi
 
Tugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uasTugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uas
 
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...
 
Bahaya Laten Korupsi
Bahaya Laten KorupsiBahaya Laten Korupsi
Bahaya Laten Korupsi
 
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
 
Dampak Korupsi.pptx
Dampak Korupsi.pptxDampak Korupsi.pptx
Dampak Korupsi.pptx
 
penanggulangan money laundring perkara korupsi.docx
penanggulangan money laundring perkara korupsi.docxpenanggulangan money laundring perkara korupsi.docx
penanggulangan money laundring perkara korupsi.docx
 
Fraud Dan Korupsi
Fraud Dan KorupsiFraud Dan Korupsi
Fraud Dan Korupsi
 
Makalah korupsi
Makalah korupsiMakalah korupsi
Makalah korupsi
 
Penyebab kegagalan birokrasi di indonesia
Penyebab kegagalan birokrasi di indonesiaPenyebab kegagalan birokrasi di indonesia
Penyebab kegagalan birokrasi di indonesia
 
Tugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiTugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsi
 

More from oswar mungkasa

sinergitas kebijakan-rencana-program (KRP) dalam konteks Pemanfaatan Ruang
sinergitas kebijakan-rencana-program (KRP) dalam konteks Pemanfaatan Ruangsinergitas kebijakan-rencana-program (KRP) dalam konteks Pemanfaatan Ruang
sinergitas kebijakan-rencana-program (KRP) dalam konteks Pemanfaatan Ruangoswar mungkasa
 
HUD Magazines Edisi 3 Maret 2013. 6 Tahun Program 1.000 Tower. 1.000 Tower 1....
HUD Magazines Edisi 3 Maret 2013. 6 Tahun Program 1.000 Tower. 1.000 Tower 1....HUD Magazines Edisi 3 Maret 2013. 6 Tahun Program 1.000 Tower. 1.000 Tower 1....
HUD Magazines Edisi 3 Maret 2013. 6 Tahun Program 1.000 Tower. 1.000 Tower 1....oswar mungkasa
 
Perkembangan Penyediaan Prasarana-Sarana Dasar Permukiman dan Penanganan Perm...
Perkembangan Penyediaan Prasarana-Sarana Dasar Permukiman dan Penanganan Perm...Perkembangan Penyediaan Prasarana-Sarana Dasar Permukiman dan Penanganan Perm...
Perkembangan Penyediaan Prasarana-Sarana Dasar Permukiman dan Penanganan Perm...oswar mungkasa
 
Gambaran Umum Perkembangan Statistik Perumahan dan Permukiman di Indonesia
Gambaran Umum Perkembangan Statistik Perumahan dan Permukiman di IndonesiaGambaran Umum Perkembangan Statistik Perumahan dan Permukiman di Indonesia
Gambaran Umum Perkembangan Statistik Perumahan dan Permukiman di Indonesiaoswar mungkasa
 
Prinsip-Prinsip Dasar_Kebijakan dan Strategi Perumahan dan Permukiman bagi Ma...
Prinsip-Prinsip Dasar_Kebijakan dan Strategi Perumahan dan Permukiman bagi Ma...Prinsip-Prinsip Dasar_Kebijakan dan Strategi Perumahan dan Permukiman bagi Ma...
Prinsip-Prinsip Dasar_Kebijakan dan Strategi Perumahan dan Permukiman bagi Ma...oswar mungkasa
 
Pembelajaran Pembangunan Sanitasi
Pembelajaran Pembangunan SanitasiPembelajaran Pembangunan Sanitasi
Pembelajaran Pembangunan Sanitasioswar mungkasa
 
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Pertama
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian PertamaPercik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Pertama
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Pertamaoswar mungkasa
 
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Kedua
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian KeduaPercik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Kedua
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Keduaoswar mungkasa
 
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Kedua
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian KeduaPercik Edisi III Tahun 2010 Bagian Kedua
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Keduaoswar mungkasa
 
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian PertamaPercik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertamaoswar mungkasa
 
Air sebagai Hak Asasi Manusia (Presentasi)
Air sebagai Hak Asasi Manusia (Presentasi)Air sebagai Hak Asasi Manusia (Presentasi)
Air sebagai Hak Asasi Manusia (Presentasi)oswar mungkasa
 
Percik Edisi Khusus Sanitasi November 2010
Percik Edisi Khusus Sanitasi November 2010Percik Edisi Khusus Sanitasi November 2010
Percik Edisi Khusus Sanitasi November 2010oswar mungkasa
 
Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Kasus DKI Jakarta. D...
Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Kasus DKI Jakarta. D...Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Kasus DKI Jakarta. D...
Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Kasus DKI Jakarta. D...oswar mungkasa
 

More from oswar mungkasa (14)

sinergitas kebijakan-rencana-program (KRP) dalam konteks Pemanfaatan Ruang
sinergitas kebijakan-rencana-program (KRP) dalam konteks Pemanfaatan Ruangsinergitas kebijakan-rencana-program (KRP) dalam konteks Pemanfaatan Ruang
sinergitas kebijakan-rencana-program (KRP) dalam konteks Pemanfaatan Ruang
 
HUD Magazines Edisi 3 Maret 2013. 6 Tahun Program 1.000 Tower. 1.000 Tower 1....
HUD Magazines Edisi 3 Maret 2013. 6 Tahun Program 1.000 Tower. 1.000 Tower 1....HUD Magazines Edisi 3 Maret 2013. 6 Tahun Program 1.000 Tower. 1.000 Tower 1....
HUD Magazines Edisi 3 Maret 2013. 6 Tahun Program 1.000 Tower. 1.000 Tower 1....
 
Perkembangan Penyediaan Prasarana-Sarana Dasar Permukiman dan Penanganan Perm...
Perkembangan Penyediaan Prasarana-Sarana Dasar Permukiman dan Penanganan Perm...Perkembangan Penyediaan Prasarana-Sarana Dasar Permukiman dan Penanganan Perm...
Perkembangan Penyediaan Prasarana-Sarana Dasar Permukiman dan Penanganan Perm...
 
Gambaran Umum Perkembangan Statistik Perumahan dan Permukiman di Indonesia
Gambaran Umum Perkembangan Statistik Perumahan dan Permukiman di IndonesiaGambaran Umum Perkembangan Statistik Perumahan dan Permukiman di Indonesia
Gambaran Umum Perkembangan Statistik Perumahan dan Permukiman di Indonesia
 
Prinsip-Prinsip Dasar_Kebijakan dan Strategi Perumahan dan Permukiman bagi Ma...
Prinsip-Prinsip Dasar_Kebijakan dan Strategi Perumahan dan Permukiman bagi Ma...Prinsip-Prinsip Dasar_Kebijakan dan Strategi Perumahan dan Permukiman bagi Ma...
Prinsip-Prinsip Dasar_Kebijakan dan Strategi Perumahan dan Permukiman bagi Ma...
 
Sanitasi Ekologis
Sanitasi EkologisSanitasi Ekologis
Sanitasi Ekologis
 
Pembelajaran Pembangunan Sanitasi
Pembelajaran Pembangunan SanitasiPembelajaran Pembangunan Sanitasi
Pembelajaran Pembangunan Sanitasi
 
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Pertama
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian PertamaPercik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Pertama
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Pertama
 
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Kedua
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian KeduaPercik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Kedua
Percik Edisi IV Tahun 2010 Bagian Kedua
 
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Kedua
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian KeduaPercik Edisi III Tahun 2010 Bagian Kedua
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Kedua
 
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian PertamaPercik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama
Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama
 
Air sebagai Hak Asasi Manusia (Presentasi)
Air sebagai Hak Asasi Manusia (Presentasi)Air sebagai Hak Asasi Manusia (Presentasi)
Air sebagai Hak Asasi Manusia (Presentasi)
 
Percik Edisi Khusus Sanitasi November 2010
Percik Edisi Khusus Sanitasi November 2010Percik Edisi Khusus Sanitasi November 2010
Percik Edisi Khusus Sanitasi November 2010
 
Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Kasus DKI Jakarta. D...
Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Kasus DKI Jakarta. D...Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Kasus DKI Jakarta. D...
Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Kasus DKI Jakarta. D...
 

FAKTOR KORUPSI

  • 1. Faktor Berpengaruh terhadap Perilaku Korupsi Kasus Indonesia Oleh Oswar Mungkasa (Tugas Mata Kuliah Ekonomi Mikro 3, 2002) 1. Pendahuluan Korupsi merupakan penyakit paling parah yang menggerogoti perekonomian negara-negara di dunia ketiga. Suatu kemustahilan mengharapkan negara menjadi makmur ketika korupsi sudah dianggap menjadi bagian dari suatu kehidupan bangsa. Tingkat Korupsi yang demikian besar tentu saja akan berdampak terhadap kondisi perekonomian. Salah satu contoh aktual adalah Nigeria. Tahun 1985 pendapatan per kapita Nigeria mencapai 2.500 dollar AS. Namun, sekarang tinggal 225 Dollar AS. Salah satu hasil studi Angang Hu (2000)1 dari Center for China Study, Qinghua University menyebutkan bahwa kerugian Cina akibat korupsi di berbagai proyek mencapai sekitar 3,4 sampai 4,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Besarnya dampak korupsi mengakibatkan kejahatan korupsi dianggap bukan tindak pidana biasa tetapi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, maka tingkat korupsi di Indonesia menunjukkan kondisi yang relatif sama jeleknya. Tidak ada data yang pasti tentang besarnya korupsi di Indonesia, tetapi berdasar salah satu indikator yang diakui secara internasional yaitu Corruption Perception Index (CPI)2 yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-88 dari 91 negara yang dinilai. Posisi ini secara substansial tidak beranjak dari tahun tahun sebelumnya (Kompas, 4 1 Hasil penelitian ini dikemukakan dalam makalahnya Corruption and Anti-corruption Strategies in China yang disampaikan dalam Simposium Korupsi di Amerika Serikat pada bulan februari 2001. 2 Transparency International (TI) merupakan sebuah lembaga pemantau tingkat korupsi di berbagai negara yang berbasis di Berlin, Jerman. Sementara Corruption Perception Index 9CPI) dihitung berdasar persepsi pelaku bisnis, analis, dan orang yang berkepentingan dengan pemberantasan korupsi. Tugas Mikro III - Om 1
  • 2. Desember 2001). Sekalipun angka ini masih dipertanyakan validitasnya, tetapi realitasnya menunjukkan kondisi yang relatif serupa. Tentu saja banyak faktor yang dituding menjadi penyebab korupsi. Kesemua faktor penyebab tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa faktor berpengaruh dalam pengambilan keputusan korupsi dari sebuah individu. Dalam makalah ini keseluruhan faktor penyebab tersebut dikelompokkan dalam 3 (tiga) faktor berpengaruh terhadap kecenderungan korupsi (atau tidak korupsi) yaitu tingkat gaji pegawai pemerintah, besarnya pendapatan dari korupsi, besar/tingginya tingkat hukuman jika tertangkap, dan kemungkinan (probabilitas) tertangkap. Pemahaman terhadap mekanisme pengaruh dari faktor-faktor tersebut dipercaya dapat membantu pengambil kebijakan (pada berbagai tingkatan pemerintahan/institusi) dalam menerapkan strategi penanganan korupsi. Memperhatikan hal tersebut di atas, maka maksud studi ini adalah memberikan gambaran kecenderungan seseorang berperilaku korupsi dengan memperhatikan faktor tingkat gaji pegawai negeri, kemungkinan tertangkap, besarnya suap/hasil korupsi dan besarnya hukuman. Tujuan studi adalah membangun sebuah model yang dapat memperlihatkan bentuk hubungan antara (a) gaji pegawai negeri; (b) kemungkinan tertangkap; (c) besarnya suap/hasil korupsi; dan (d) besarnya/tingginya hukuman terhadap tingkat kecenderungan korupsi dari pelaku korupsi. 2. Korupsi: Penyebab dan Faktor Berpengaruh 2.1 Definisi dan Bentuk Korupsi Korupsi berasal dari Bahasa Latin corruptus yang berarti mematahkan atau memisahkan dan corrumpere atau merusak. Secara konsepsual, korupsi adalah sebuah bentuk perilaku yang memisahkan diri dari etika, moralitas, tradisi, hukum dan kebajikan sipil. Korupsi mencakup penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa dalam masyarakat untuk maksud pribadi (Lubis, 1998). Definisi klasik Bank Dunia Tugas Mikro III - Om 2
  • 3. dan Dana Moneter Internasional (IMF), korupsi diartikan sebagai penggunaan posisi pengambilan kebijakan publik untuk secara ilegal memperoleh keuntungan pribadi/kelompok. Sementara definisi lainnya adalah (a) Discretionary corruption, korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan; (b) Illegal corruption, suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu; (c) Mercenery corruption, jenis tindak korupsi untuk kepentingan pribadi; (d) Ideological corruption, korupsi illegal atau discretionery untuk kepentingan kelompok (Benveniste, 1997). Sedikitnya terdapat tujuh macam bentuk korupsi, yaitu (a) korupsi transaksional, korupsi yang melibatkan kedua belah pihak; (b) korupsi memeras, jika salah satu pihak terpaksa melakukan korupsi; (c) korupsi ontogenik, hanya melibatkan yang bersangkutan; (d) korupsi defensif, jika dilakukan untuk membela diri; (e) korupsi investasi, berupa pelaksanaan tugas dengan harapan mendapat imbalan; (f) korupsi nepotisme, pemberian keistimewaan pada keluarga/teman/relasi; (g) korupsi suportif, tidak terlibat langsung tapi memberi peluang atau pura-pura tidak tahu (Noeh, 1997). 2.2 Dampak Korupsi Dampak korupsi dapat dibedakan atas dampak negatip dan positip. Dampak negatip yaitu (a) Menggagalkan pencapaian tujuan pelaksanaan pembangunan; (b) Kenaikan biaya administrasi; (c) Jika dalam bentuk komisi, akan mengurangi alokasi dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan masyarakat umum; (d) Berpengaruh buruk pada mental pegawai; (e) Menurunkan kredibilitas pemerintah. Sementara dampak positip adalah (a) Hasil korupsi sebagian terbesar dipergunakan untuk investasi; (b) Meningkatkan kualitas pegawai; (c) Perekrutan yang berlandaskan nepotisme akan melipatgandakan jumlah pegawai, yang berakibat mengurangi jumlah pengangguran (Lubis,1998). 2.3 Faktor Penyebab Tugas Mikro III - Om 3
  • 4. Faktor penyebab korupsi, dapat dikategorikan sebagai (a) rendahnya tingkat kesejahteraan pegawai dan sistem penerimaan pegawai. Dampak sistem penerimaan pegawai yang baik (merit-system) diteliti oleh Evans and Rauch [1996] di 35 negara berkembang. Hasilnya menunjukkan bahwa sistem yang baik mengurangi tingkat korupsi. Pengaruh tingkat gaji pegawai pemerintah diteliti oleh Rijckeghem and Weder (1997) yang menemukan bahwa perbedaan gaji pegawai pemerintah relatif terhadap gaji swasta berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi. Meningkatkan gaji pegawai pemerintah sebesar dua kali lipat akan memperbaiki CPI sebanyak 2 point (Lambsdorff, 2000); (b) faktor kultural. Budaya patron-client dalam birokrasi, dan pendekatan kekeluargaan/perkawanan dalam pengambilan keputusan merupakan bentuk budaya yang mendorong terjadinya korupsi. Pada beberapa komunitas, tingkat kepercayaan diantara masyarakat masih tinggi. La Porta et al. [1997: 336] menyatakan bahwa kepercayaan dapat membantu mengurangi tingkat korupsi karena dapat membantu pegawai pemerintah bekerjasama lebih baik diantara mereka dan dengan masyarakat umum. Hasil ini berdasar pada penelitian di 33 negara (Lambsdorff, 2000); (c) kurang efektifnya sistem pengawasan; (d) lemahnya penegakan hukum Berdasar World Development Report (1997) yang terfokus pada kualitas hukum menunjukkan penegakan hukum mempengaruhi tingkat korupsi di 59 negara; (e) kurangnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan korupsi. Brunetti and Weder (1998) menunjukkan bahwa keterbukaan, demokrasi, kebebasan pers, dan partisipasi masyarakat merupakan faktor efektif mengurangi tingkat korupsi (Lambsdorff, 2000) Menurut Huntington (1968) dalam buku klasiknya tentang pembangunan politik, mengutarakan beberapa kondisi yang menguntungkan timbulnya korupsi yaitu (a) korupsi cendrung meningkat dalam suatu periode pertumbuhan serta modernisasi yang cepat, karena perubahan nilai- nilai, sumber-sumber baru kekayaan dan kekuasaan, dan perluasan pemerintahan; (b) Negara dengan keragaman stratifikasi sosial, lebih banyak Tugas Mikro III - Om 4
  • 5. polarisasi kelas, dan lebih banyak kecenderungan feodal, korupsi cenderung berkurang; (c) Apabila banyak perusahaan asing di suatu negara maka korupsi cenderung meningkat; (d) semakin partai politik kurang berkembang mekar, semakin meluas korupsinya, lantaran lemahnya kontrol (Klitgaard, 1998). Menurut Rijckeghem (1997)3, keseluruhan faktor penyebab korupsi di atas dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu tingkat gaji (w), ketidakmemadaian pengawasan (p), tingkat/besarnya hukuman (f), besarnya distorsi ekonomi, dan faktor lainnya (Rijckeghem, 1997). 3. Pengaruh Kemungkinan Tertangkap, Besarnya Korupsi dan Hukuman terhadap Kecenderungan Korupsi 3.1 Tinjauan Teoritis Model dalam makalah ini dijiwai oleh ‘Shirking Model’ (Shapiro dan Stiglitz, 1984) dan dibangun dari hasil kerja Becker dan Stigler (1974), yang mengasumsikan bahwa pegawai negeri memaksimalkan ‘expected income’. Perilaku korupsi jika tertangkap dihukum dalam bentuk dipecat, sehingga pejabat dengan pendapatan besar cenderung menjadi kurang korup. Ketika tingkat suap tinggi atau kemungkinan tertangkap rendah, model ini memperkirakan bahwa gaji yang dapat mengurangi korupsi adalah tinggi. Karena itu, buat pemerintah lebih efektif (cost effective) untuk membayar ‘capitulation wages’ (gaji dibawah reservation wages) daripada meningkatkan gaji. Lebih lanjut, hukuman dapat selalu diperberat sampai pada tingkat yang dapat mencegah korupsi, karenanya gaji tinggi tidak dibutuhkan. Implikasi kebijakan di atas tidak kuat untuk merumuskan proses korupsi. Hal ini terlihat ketika dilakukan relaksasi terhadap asumsi pegawai negeri memak-simalkan ‘expected income’, sehingga peran kebijakan gaji menjadi lebih besar 3 Faktor p, w, f ditambah besarnya korupsi (B) dinasukkan dalam model Rijckeghem pada bagian selanjutnya dari makalah ini. Tugas Mikro III - Om 5
  • 6. Pegaai negeri mungkin terlibat dalam perilaku ‘satisficing (pemuasan)’ dan bukannya ‘maximizing (pemaksimalan)’ dan karenanya korupsi dilakukan hanya untuk mencapai pendapatan sewajarnya (fair income). Pegawai negeri mungkin menghindari kesempatan korupsi, dengan tersedianya gaji memadai, bahkan ketika tindakan tersebut bukan memaksimalkan ‘expected income’. Formalnya cara pandang ini dimodelkan sebagai ‘fair-wage effort hypothesis’ (Akerloff and Yellen, 1990). Ditunjukkan bahwa hipotesis ini berakibat peningkatan gaji (penurunan) mempunyai dampak kuat pada korupsi daripada ketika PNS memaksimalkan ‘expected income’ dan mengurangi korupsi melalui kebijakan gaji mungkin tidak mahal. Ini konsisten dengan bukti penelitian terkini terhadap fair wage effort hypothesis. 3.2 Korupsi dalam kerangka ‘maximizing’ Dari sudut pandang penegakan hukum (Becker and Stigler, 1974) bahwa pegawai negeri memaksimalkan ‘expected income’ dengan cara menyeimbangkan keuntungan korupsi terhadap denda dan hukuman jika tertangkap. Hukuman ini mencakup pemecatan (biaya sama dengan perbedaan gaji dengan swasta ditambah kesempatan korupsi yang hilang) dan hukuman lainnya. Pada model satu periode hubungannya sebagai berikut: EI = (1 – P( C)) (CB + Wg) + P( C) (Wp – f) …... (1) EI = expected income P = kemungkinan tertangkap dan dihukum C = jumlah tindakan korupsi (variabel kontinu) Wg = gaji pegawai pemerintah Wp = gaji swasta B = tingkat suap F = hukuman lain/penjara Kecuali C maka semua variabel dan parameter P( C) adalah eksogen. Tugas Mikro III - Om 6
  • 7. Persamaan diatas menunjukkan bahwa expected income merupakan rata-rata tertimbang pendapatan ketika korupsi tidak terdeteksi dan ketika terdeteksi. Ketika terdeteksi, pendapatan adalah hasil korupsi dan gaji sementara jika tertangkap pendapatan adalah gaji swasta dikurangi hukuman. Pada formulasi ini, kebijakan gaji pemerintah mempunyai dampak terhadap korupsi sebab hukuman termasuk kehilangan pekerjaan. Namun gaji tinggi tidak berarti korupsi berkurang, dengan kondisi pemerintah dapat memanipulasi P(C) dan f . Akhirnya, kebijakan gaji kehilangan kefektifannya ketika tingkat suap tinggi. Beragam penambahan dimungkinkan. Pertama, P dapat diekspresikan sebagai fungsi negatif hukuman (memasukkan pemecatan), P juga dipengaruhi oleh suap terhadap penegak hukum. Kedua, ukuran suap (B) mungkin bergantung pada keuntungan suap bagi pemberi suap, tingkat hukuman dan kemungkinan tertangkap. Mempertimbangkan semua penambahan di atas maka formula menjadi: EI = (1 – P( C,f,Wg-Wp)) (CB(P,f) + Wg) + P( C,f,Wg-Wp) (Wp – f) … (2) Berdasar formula di atas, penambahan f kehilangan banyak kemampuan mengurangi korupsi, sebagai hasil dari dampak terhadap penegakan hukum oleh masyarakat yang berkurang sebagaimana pada tingkat suap (yang bertambah). Instrumen kedua, P tidak lagi berada dibawah kendali langsung pemerintah. Gaji Wg, dilain pihak, meningkat perannya melalui dampak pada aktifitas penegakan hukum oleh masyarakat (yang bertambah dengan meningkatnya pendapatan). 3.3 Korupsi dalam Kerangka Pemuasan (‘satisficing’) Tugas Mikro III - Om 7
  • 8. Perilaku individu mungkin tidak cocok dengan penggambaran melalui kerangka ‘maximizing’ di atas. Fehr et. al (1993) menemukan bukti bahwa gaji memotivasi usaha bahkan ketika tidak ada hukuman untuk ‘shirking’. Eksperimen ‘lost-letters’4 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat jujur, dalam konteks tidak menggunakan kesempatan korupsi. Penemuan ini mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat tidak menggunakan kesempatan korupsi sepanjang diperlakukan adil. Secara formal ‘fair wage-effort’ hypothesys dimodelkan sebagai : e = f (I/W*) = f ((W + N)/W*) …… (3.a) e = usaha I = pendapatan aktual W* = gaji wajar (fair wage) W = gaji yang diterima N = tunjangan Menurut teori, pekerja menyesuaikan usahanya kalau terdapat perbedaan antara gaji dan ‘fair’ wage. Korupsi dapat dipahami dalam konteks ini sebagai penyesuaian tunjangan (N). Dengan sedikit modifikasi maka teori ini menjadi: e = f (EI/EI*) …. (3.b) EI = actual expected income EI* = targeted/’fair’ exp. income Untuk membandingkan dengan kerangka maximizing diasumsikan bahwa hukuman korupsi melalui pemecatan (Wg-Wp), kehilangan kesempatan korupsi (CB), dan hukuman (f). Diasumsikan juga untuk 4 Eskperimen ini dimaksudkan untuk menilai tingkat kejujuran suatu komunitas dengan cara penyebaran amplop berisi uang di tempat-tempat umum. Setiap amplop diberi alamat pemilik amplop, sehingga jika si penemu jujur maka dia dapat mengirim kembali amplop tersebut pada pemiliknya. Tugas Mikro III - Om 8
  • 9. penyederhanaan bahwa P adalah jumlah kejadian korupsi ( C) dikalikan kemungkinan tertangkap untuk sebuah kegiatan korupsi (p). Asumsi ini mengurangi kompleksitas analsis, tetapi tetap dapat diterima sebagai suatu pedekatan untuk negara berkembang. Substitusi P = pC pada persamaan 1 didapatkan: EI = (1 – pC)) (CB + Wg) + pC (Wp – f) …... (4) Persamaan ini menjadi dasar analisis selanjutnya yang disebut ‘fair wage-corruption’ hypothesis, yaitu hipotesis bahwa pegawai memilih tingkatan korupsi dalam usaha mencapai EI = EI* EI = (1 – pC)) (CB + Wg) + pC (Wp – f) = EI* …... (5) Solusi untuk C adalah fungsi dari Wg relatif terhadap fair income EI*. Kemungkinan tidak terdapat solusi untuk C. Penggabungan korupsi dan usaha dalam satu model sesuai dengan yang digambarkan dalam literatur korupsi (PNS yang tidak ingin, tidak punya kesempatan, atau korupsi tidak menguntungkan mungkin melakukan strategi lain yaitu ngobyek (Gould, 1980). 3.4 Implikasi Tertentu 3.4.1 Hipotesis Fair Wage-Corruption Penyelesaian C (satisficing) menggunakan rumus ABC dan memilih akar negatip sehingga: B – p (Wg – Wp + f) - D C = ---------------------------------------------- ….. (6) 2pB Tugas Mikro III - Om 9
  • 10. D = [B – p (Wg – Wp + f)]2 – 4 p B (EI – Wg) ….. (6.a) Penggunaan hanya akar negatip karena akar positip mengakibatkan semakin banyaknya korupsi dibanding maximizing dan berarti pareto- inferior (keduanya pemerintah dan PNS akan lebih baik dengan kurangnya korupsi), sehingga ditiadakan. Jika Wg = EI*, C=0, contohnya korupsi nol ketika pemerintah membayar fair wage. Dari pers. 4 bahwa jika solusi ada (C>0) dan tertangkap menjadi mahal (misal CB+Wg > Wp-f), pendapatan korupsi CB melampaui perbedaan antara fair wage dan gaji PNS, EI* -Wg. Intuisinya adalah bahwa pegawai memerlukan kompensasi untuk kemungkinan kehilangan pekerjaan dan biaya lainnya yang berkaitan dengan tertangkap. Jika EI* bertambah maka korupsi meningkat tetapi EI* terlalu tinggi mengakibatkan D negatip dan tidak ada solusi.  Penurunan Pertama dC -1 1 ------ = ----- [ 1 + --------- [B+p (Wg – Wp + f)]] …. (6.a) dWg 2B (D)0.5 Penurunan ini juga merepresentasikan penurunan C terhadap (Wg – Wp) jika EI* = Wp, yaitu fair wage sama dengan gaji swasta.  Penurunan Kedua dC 1 [B - p (Wg – Wp + f)] – [2p (EI- Wg)] – (D)0.5 ------ = ----- ----------------------------------------------------------- …. (6.b) dp 2 p2 (D)0.5 Tugas Mikro III - Om 10
  • 11. Penurunan kedua ini selalu lebih besar atau sama dengan nol. (jika solusi ada). Secara intuisi, peningkatan kemungkinan tertangkap mengurangi expected income dari PNS, ceteris paribus, sepanjang dipecat adalah sesuatu yang tidak diinginkan. Karenanya PNS akan menguragi korupsi jika kemungkinan tertangkap meningkat. 3.4.2 Hipotesis Shirking Jika pegawai menginginkan maximizing EI solusi C dan turunan pertama terhadap Wg dan p adalah B – p (Wg – Wp + f) C = -------------------------------- ………….. (7) 2pB  Penurunan Pertama dC -1 ------- = ----- ….. (7.a) dWg 2B  Penurunan Kedua dC -1 ------- = ------- …… (7.b) dp 2 p2 Tiga observasi dapat dihasilkan. Pertama, jumlah korupsi skenario satisficing adalah lebih kecil dari jumlah korupsi skenario maximizing, untuk Tugas Mikro III - Om 11
  • 12. setiap tingkatan gaji (jika solusi ada, bandingkan pers 6 dan 7). Dalam konteks ini, kesempatan korupsi tidak dipergunakan. Gaji yang mengurangi korupsi selalu lebih besar untuk maximizing daripada satisficing. Kedua, turunan C terhadap Wg sama dengan turunan (satisficing), minus term, yang selalu negatif (jika B+p(Wg-Wp+f) positif). Oleh karenanya dalam skenario maximizing peran gaji lebih besar dalam mengurangi korupsi. Juga turunan lebih kecil untuk tingkat suap yang lebih besar, baik satisficing dan maximicing, mengakibatkan peran lebih kecil bagi kebijakan gaji ketika suap tinggi. Ketiga, turunan terhadap p negatip (maximizing) sementara positip (satisficing). Pada kedua skenario (maximizing dan satisficing) maka :  Hipotesis I  Korupsi berhubungan negatip dengan perbedaan relatif gaji pegawai negeri dan swasta  Skenario fair wage hypothesis Hipotesis II  Korupsi berkurang/hilang ketika gaji sama dengan fair wage. Sebagai catatan, untuk tingkat suap rendah dan/atau hukuman tinggi dan/atau probabilitas tertangkap dan dihukum tinggi, korupsi hilang pada tingkat gaji rendah. Hipotesis III  jika gaji cukup tinggi (sehingga solusi ada pada skenario satisficing), probabilitas tertangkap dan dihukum lebih tinggi dihubungkan dengan korupsi yang lebih tinggi, dan bukan korupsi rendah. Catatan, hubungan negatip anatara p dan f adalah konsisten dengan hipotesis fair wage jika gaji rendah dan lingkungan kerja dengan tingkat suap rendah dan/atau hukuman tinggi dan/atau p tinggi.  Skenario shirking hypothesis Hipotesis 4  jika lingkungan kerja dengan tingkat suap tinggi dan/atau f rendah dan/atau p rendah, gaji pemerintah berlipat gaji swasta agar korupsi hilang. Tugas Mikro III - Om 12
  • 13. Hipotesis 5  p lebih besar dikaitkan dengan korupsi rendah 3.5 Kasus Indonesia Menurut Filmer (2001), berdasar penelitiannya tentang perbandingan gaji pegawai negeri dan swasta, menemukan bahwa secara umum pegawai negeri golongan III kebawah (yang mencakup sekitar 70 persen dari seluruh jumlah pegawai negeri) mempunyai tingkat gaji yang lebih baik dari pegawai swasta. Kondisi ini menyebabkan untuk kasus Indonesia, Model Rijckeghem perlu dilakukan perubahan terutama menyangkut asumsi Wp lebih besar dari Wg menjadi Wg lebih besar dari Wp, sehingga jika tertangkap maka fungsi kerugian menjadi (Wg – f). Perubahan tersebut mengakibatkan persamaan (1) berubah menjadi: EI = EI* = (1 – P(C)) (CB + Wg) + P(C) (Wg – f) …... (8) Substitusi P = pC maka persamaan (8) dapat ditulis sebagai: (1 – pC) (CB + Wg) + pC (Wg – f) – EI = 0 …... (9) Optimalisasi persamaan (9) dilakukan dengan menggunakan rumus ABC dan memilih akar negatip sehingga: (B – pf) – (E)0.5 C = -------------------------------- ………………… (10) 2pB E = [B - pf)]2 - 4 p B (EI - Wg) ………. (10.a) Tugas Mikro III - Om 13
  • 14. 3.5.1 Kondisi Maksimisasi (Shirking Corruption) Pada kondisi ini dianggap pelaku korupsi memaksimalkan expected incomenya, sehingga persamaan (10) menjadi (B – pf) C = ------------------- ………… (11) 2pB  Pengaruh gaji pegawai pemerintah (Wg) terhadap korupsi (C) Pengaruh Wg terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan (11) terhadap Wg, sebagai: dC ------- = 0 ….. (12.a) dWg Persamaan (12.a) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari faktor gaji pegawai pemerintah terhadap intensitas korupsi.  Pengaruh kemungkinan tertangkap (p) terhadap korupsi (C) Pengaruh p terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan (11) terhadap p, sebagai: dC -1 ------- = --------- …… (12.b) dp 2 p2 Persamaan (12.b) menunjukkan bahwa kemungkinan tertangkap berpengaruh negatip terhadap intensitas korupsi. Semakin besar kemungkinan tertangkap akan mengakibatkan berkurangnya intensitas korupsi.  Pengaruh besarnya korupsi (B) terhadap korupsi (C) Tugas Mikro III - Om 14
  • 15. Pengaruh B terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan (11) terhadap B, sebagai: dC f ------- = --------- …… (12.c) dB 2 B2 Persamaan (12.c) menunjukkan bahwa besarnya korupsi berpengaruh positip terhadap intensitas korupsi. Semakin besar jumlah yang didapatkan dari hasil korupsi (atau suap) akan mengakibatkan meningkatnya intensitas korupsi.  Pengaruh tingkat/besar hukuman (f) terhadap korupsi (C) Pengaruh f terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan (11) terhadap f, sebagai: dC -1 ------- = --------- …… (12.d) df 2B Persamaan (12.d) menunjukkan bahwa tingkat hukuman berpengaruh negatip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi tingkat hukuman akan mengakibatkan menurunnya intensitas korupsi. Hal lainnya bahwa pengaruh tingkat hukuman terhadap intensitas korupsi tergantung pada besarnya hasil korupsi. Semakin besar hasil korupsi maka semakin kecil pengaruh tingkat hukuman terhadap intensitas korupsi. 3.5.2 Kondisi Optimalisasi (Fair-Wage Corruption) Pada kondisi ini dianggap pelaku korupsi melakukan korupsi dalam rangka mencapai expected income, sehingga formula yang dipergunakan adalah persamaan (10). Pada kondisi ini maka beberapa persyaratan awal perlu dipenuhi yaitu (i) (E)0.5 harus positip agar terdapat solusi, sehingga [B - pf)]2 > 4 p B (EI - Wg) atau Tugas Mikro III - Om 15
  • 16. [B - pf)]2 /4pB > (EI - Wg) ………. (13.a) (ii) (B – pf) harus positip agar terdapat solusi, sehingga (B – pf) > 0 atau (B > pf) ………. (13.b) (iii) (B – pf) harus lebih besar dari (E)0.5 agar terdapat solusi, sehingga (B - pf) > (E)0.5 ………. (13.c)  Pengaruh gaji pegawai pemerintah (Wg) terhadap korupsi (C) Pengaruh Wg terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan (10) terhadap Wg, sebagai: dC -1 ------- = ------ ….. (14.a) dWg (E)0.5 Persamaan (14.a) menunjukkan bahwa gaji pegawai pemerintah berpengaruh negatip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi gaji pegawai pemerintah maka semakin kecil intensitas korupsi.  Pengaruh kemungkinan tertangkap (p) terhadap korupsi (C) Pengaruh p terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan (10) terhadap p, sebagai: dC 1 (E)0.5 4 B (EI – Wg) + f (B – pf) ------ = ----- [ ---------- - 1 ] + --------------------------------- … (14.b) dp 2 p2 B 2 PB (E)0.5 Tugas Mikro III - Om 16
  • 17. Dari persamaan (14.b) relatif sulit menunjukkan bentuk hubungan antara C dan P. Hal ini terlihat dari persamaan (14.c) dan (14.d): 1 (E)0.5 persamaan (13.c)  ------- [ ---------- - 1 ] < 0 …………. (14.c) 2 p2 B 4 B (EI – Wg) + f (B – pf) persamaan (13.b)  ----------------------------------- > 0 …… (14.d) 2 PB (E)0.5 Persamaan (14.c) bisa lebih kecil atau lebih besar dari persamaan (14.d). Jika dC/dP < 0, maka persamaan (14.c) harus lebih besar dari persamaan (14.d), sehingga: 1 (E)0.5 4 B (EI – Wg) + f (B – pf) - ----- [ ---------- - 1 ] > --------------------------------- … (14.e) 2 p2 B 2 PB (E)0.5 Persamaan (14.e) dapat disederhanakan menjadi: B (E)0.5 - E > 4 pB (EI – Wg) + pf (B – pf) …. (14.f) Tugas Mikro III - Om 17
  • 18. Tetapi kemudian persamaan (14.f) tetap sulit untuk diartikan, sehingga pengaruh kemungkinan tertangkap terhadap intensitas korupsi menjadi tidak sederhana. Bisa berpengaruh positip maupun negatip.  Pengaruh besarnya korupsi (B) terhadap korupsi (C) Pengaruh B terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan (10) terhadap B, sebagai: dC 1 (E)0.5 4 p (EI – Wg) - (B – pf) ------- = -------- [( f + --------- )] + ---------------------------------- …. (14.g) dB 2 B2 p 2 p B (E)0.5 Dari persamaan (14.g) relatif sulit menunjukkan pengaruh besarnya hasil korupsi terhadap intensitas korupsi. Jika dC/dB > 0 maka 4 p (EI – Wg) harus lebih besar dari (B – pf), sehingga: B < 4 p (EI – Wg+ 0,25 f) …. (14.h) Dari persamaan (14.h) dapat diartikan bahwa besarnya hasil korupsi berpengaruh positip terhadap intensitas korupsi jika persamaan (14.h) terpenuhi, yaitu selisih expexted income dan actual income ditambah besarnya hukuman harus lebih besar dari besarnya korupsi. Perilaku optimalisasi mengakibatkan bahwa besarnya korupsi hanya akan berpengaruh positip jika tidak melebihi selisih antara pendapatan sekarang dan pendapatan yang diharapkan ditambah besarnya hukuman yang kemungkinan harus dibayar. Jika hasil korupsi besar sekali maka pegawai negeri tidak akan melakukan korupsi.  Pengaruh tingkat/besar hukuman (f) terhadap korupsi (C) Pengaruh f terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan (10) terhadap f, sebagai: dC 1 (B – pf) ------- = --------- [ ----------- - 1 ] …… (14.i) Tugas Mikro III - Om 18 df 2B (E)0.5
  • 19. Persamaan (14.i) menunjukkan bahwa tingkat hukuman berpengaruh positip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi tingkat hukuman akan mengakibatkan meningkatnya intensitas korupsi. Artinya pelaku korupsi akan tetap korupsi walaupun tingkat hukuman dinaikkan. Hal ini terkait dengan kondisi pelaku korupsi hanya melakukan korupsi untuk memenuhi kekurangan pendapatannya dari pendapatan yang diharapkan. 4. Kesimpulan Beberapa hal dapat disimpulkan dari hasil kajian ini yaitu: a. Perilaku korupsi dipengaruhi oleh banyak faktor yang dalam kajian ini diklasifikasikan dalam 4 (empat) kategori yaitu tingkat gaji pemerintah (Wg), kemungkinan tertangkap (p), besarnya korupsi (B), dan besarnya/tingginya hukuman (f). b. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap intensitas korupsi beragam tergantung pada kondisi yang ada. Dalam kajian ini dibedakan antara perilaku korupsi yang memaksimalkan pendapatan dan korupsi yang mengoptimalkan pendapatan (haanya untuk memenuhi kekurangan antara pendapatan aktual dan pendapatan yang diharapkan). Model awal mengasumsikan gaji pegawai pemerintah (Wg) lebih kecil dari gaji swasta (Wp), sementara untuk kondisi Indonesia Wp lebih kecil dari Wg. Secara ringkas hasil kajian tersebut adalah sebagai berikut: Faktor Skenario I  Wp > Wg Skenario II  Wp < Wg Maksimisasi Optimalisas Masimisasi Optimalisasi i Gaji pegawai Negatip Negatip Tidak ada Negatip pemerintah pengaruh Tugas Mikro III - Om 19
  • 20. (Wg) Kemungkinan Negatip Positip Negatip Tidak jelas tertangkap (p) Besarnya Positip Tidak jelas Positip Positip jika korupsi (B) B < 4p (EI – g + 0,25f) Besarnya Negatip Tidak jelas Negatip Positip hukuman (f) Keterangan: sel dibaca  pengaruh faktor Wg/p/B/f terhadap intensitas korupsi untuk masing-masing skenario Pada skenario I (Wp > Wg), maka model dapat menjelaskan secara baik hanya untuk kondisi maksimisasi, sementara pada kondisi optimalisasi hanya dapat menjelaskan hubungan Wg dan p terhadap intensitas korupsi. Pada skenario II (Wp < Wg), maka model dapat menjelaskan secara baik hanya untuk kondisi maksimisasi, sementara pada kondisi optimalisasi model tidak dapat menjelaskan hubungan p terhadap intensitas korupsi. c. Pada kasus Indonesia, maka pengurangan intensitas korupsi dapat dilakukan melalui: (i) jika diasumsikan bahwa pelaku korupsi memaksimumkan expected income maka menaikkan gaji pegawai pemerintah tidak akan mengurangi tingkat korupsi. Hanya menaikkan besarnya hukuman yang dapat menurunkan intensitas korupsi. (ii) Jika diasumsikan bahwa pelaku korupsi mengoptimalkan pendapatan aktualnya sehingga dapat menutup kekurangan pendapatannya, maka kenakan gaji pegawai pemerintah akan menurunkan intensitas korupsi. Sementara besarnya hukuman bukan merupakan strategi yang tepat untuk menurunkan intensitas korupsi. d. Kebijakan untuk menanggulangi korupsi sangat tergantung pada asumsi/kondisi obyektif yang ada. Tugas Mikro III - Om 20
  • 21. DAFTAR PUSTAKA Buku 1. Benveniste, Guy. Birokrasi. Cetakan Keempat. PT. Rajagrafindo, Jakarta 1997. 2. Klitgaard, Robert. Membasmi Korupsi. Diterjemahkan oleh Hermoyo dari judul asli Controlling Corruption. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998. 3. Lubis, Mochtar dan Scott, James C. (Ed.). Bunga Rampai Korupsi. Cetakan Ketiga. LP3ES, Jakarta, 1995. 4. Noeh, Munawar Fuad. Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. Zihrul Hakim, Jakarta, 1997. Makalah 1. Filmer, Deon dan Lindauer, David L. Does Indonesia Have A ‘Low Pay’ Civil Service?. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol. 37, No.2, 2001. 1. Lambsdorff, Johann Graf. Corruption in Empirical Research - A Review. Internet center for Corruption Research, 2000. 2. Rijckeghem, Caroline Van dan Beatrice Weder. Corruption and the Rate of Temptation: Do Low Wages in the Civil Service Cause Corruption?. International Monetary Fund, June 1997. Media Massa 1. Kompas 4 Desember 2001. Pemberantasan Korupsi. Kemajuan itu Masih Sebatas Kata. Tugas Mikro III - Om 21