Dokumen tersebut membahas tentang definisi, konsep, faktor penyebab, dan terminologi anak yang mengalami hambatan emosi dan perilaku. Definisi masih diperdebatkan karena pandangan ahli berbeda-beda, namun secara umum merujuk pada gangguan emosi dan tingkah laku yang menyimpang. Faktor penyebabnya terkait psikologis, psikososial, fisiologis, lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Berbagai ist
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
ANAK HAMBATAN
1. 1
Anak dengan Hambatan Emosi dan Sosial
(Children with Emotional and Social Disability)
A. Definisi dan Konsep Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan
Perilaku
1. Definisi Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku
Definisi atau pengertian anak yang mengalami hambatan emosi dan perilaku
masih menjadi perdebatan. Perdebatan mengenai batasan untuk definisi gangguan
emosi dan perilaku muncul karena masing – masing ahli yang mendefinisikan
anak dengan gangguan emosi dan perilaku ini masih melihat dari kajian ilmunya
masing-masing. Faktor yang menyebabkan ketidaksamaan definisi tunalaras,
sebagai berikut :
a. Para ahli dalam melakukan pengkajian ketunalarasan dari sudut pandang yang
berbeda, sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya.
b. Para ahli memiliki dasar dan tujuan yang berbeda dalam merumuskan definisi.
c. Pengukuran/assessment yang dilakukan berbeda dalam waktu maupun alat.
d. Jenis, bentuk dan tingkat penyimpangan tingkah laku yang dialami anak
sangat bervariasi.
e. Perkembangan ilmu tentang pendidikan anak tunalaras dan pendidikannya
cukup dinamis.
Hal ini menyebabkan belum adanya definisi anak yang mengalami hambatan
emosi dan perilaku yang dapat diterima secara umum. Berbagai macam istilah
yang dapat digunakan untuk menunjukkan definisi mengenai gangguan emosi dan
perilaku, misalnya emotional disturbances, behavior disorders, dan maladjusted
children (Coleman & Weber, 2002 dalam John W. Santrock, 2007: 237). Berikut
definisi anak yang mengalami hambatan emosi dan perilaku dari pandangan ahli
dan menurut undang-undang dasar :
a. Menurut UU-AS (Rosenberg, 1992) dijelaskan sebagai berikut : Gangguan
emosi adalah suatu kondisi yang menunjukan salah satu atau lebih gejala-
gejala berikut dalam kurun waktu tertentu, pada tingkat yang tinggi, dan
mempengaruhi prestasi belajar. Gejala-gejala tersebut yaitu:
2. 2
1) Ketidakmampuan belajar yang tidak disebabkan oleh faktor intelegensi,
syaraf, dan kesehatan.
2) Ketidakmampuan bergaul atau berhubungan baik guru maupun teman.
3) Perilaku dan perasaan yang tidak wajar pada situasi normal.
4) Perasaan depresi, sedih dan murung secara terus menerus.
5) Kecenderungan merasa takut atau cemas di dalam menghadapi masalah
pribadi maupun sekolah.
b. Menurut Nelson (1981): Seorang anak dikatakan tunalaras, apabila tingkah
laku mereka menyimpang dari ukuran menurut norma usia dan jenis
kelaminnya, dilakukan dengan frekwensi dan intensitas relatif tinggi, serta
dalam waktu yang relatif lama.
c. Kvaraceus dan Miller (Depdikbud, 1985) Memberikan batasan bahwa : Anak
tunalaras adalah individu yang tingkah lakunya tidak dewasa, melanggar
peraturan yang tertulis atau tidak tertulis dengan frekwensi yang cukup tinggi.
d. Definisi tunalaras dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dan PP. No. 71 Tahun 1991 tentang Pendidikan
Luar Biasa, dinyatakan bahwa “tunalaras merupakan gangguan atau kelainan
tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat” (Puslata Universitas Terbuka,
2008: 11)
2. Faktor – Faktor Penyebab Anak Mengalami Hambatan Emosi dan
Perilaku
Sebab-sebab anak menjadi tunalaras secara garis besarnya dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok (Rusli Ibrahim, 2005: 48), di antaranya:
a. Faktor Psychologis
Gangguan tingkah laku yang disebabkan terganggunya faktor psycologis.
Terganggunya faktor psycologis biasanya diwujudkan dalam bentuk tingkah laku
yang menyimpang, seperti: abnormal fixation, agresif, regresif, resignation, dan
concept of discrepancy.
b. Faktor Psychososial
3. 3
Gangguan tingkah laku yang tidak hanya disebabkan oleh adanya frustrasi,
melainkan juga ada pengaruh dari faktor lain, seperti pengalaman masa kecil yang
tidak atau kurang menguntungkan perkembangan anak.
c. Faktor Physiologis
Gangguan tingkah laku yang disebabkan terganggunya proses aktivitas organ-
organ tubuh, sehingga tidak atau kurang berfungsi sebagaimana mestinya, seperti
terganggu atau adanya kelainan pada otak, hyper thyroid dan kelainan syaraf
motoris.
Penyebab kentunalarasan menurut Sutjihati Somantri (2007: 143-147),
meliputi :
a. Kondisi / Keadaan Fisik
Masalah kondisi fisik dalam kaitannya dengan masalah gangguan emosi dan
prilaku, yang merupakan akibat langsung maupun tidak langsung. Ada ahli yang
meyakini bahwa disfungsi kelenjar endoktrin dapat mempengaruhi timbulnya
gangguan emosi dan prilaku, atau dengan kata lain kelenjar endoktrin
berpengaruh terhadap respon emosional seseorang. Gunzburg (dalam
simanjuntak, 1947) menyimpulkan bahwa disfungsi kelenjar endoktrin merupakan
salah satu penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endoktrin ini mengeluarkan
hormone yang mempengaruhi tenaga seseorang. Bila secara terus menerus
mengalami gangguan, maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik
dan mental seseorang sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan
wataknya.
b. Masalah Perkembangan
Erikson (dalam Singgih D. Gunarsa, 1985:107) menjelaskan bahwa setiap
memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan
atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada
dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan
yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, maka
perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga inividu dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial atau masyarakatnya. Sebalikya,
4. 4
apabila individu tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut maka akan
menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terutama
terjadi pada masa kanak-kanak dan masa pubertas.
Adapun ciri yang menonjol yang nampak pada masa kritis ini adalah sikap
menentang dan keras kepala. Kecenderungan ini di akibatkan karena anak sedang
dalam proses memahami dirinya. anak jadi merasa tidak puas dengan otoritas
lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-meledak. Emosi yang
kuat sering kali meluap-luap sehingga dapat menimbulkan ketegangan dan
kecemasan. Mereka sering kali menentang dan melanggar peraturan baik di rumah
maupun di sekolah. Kondisi seperti ini biasanya terjadi pada masa pubertas.
c. Lingkungan Keluarga
Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak, keluarga
memiliki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak.
Keluarga lah peletak dasar perasaan aman (emotional security) pada anak, dalam
keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan
sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan
aman dan dasar untuk perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi
dan perilaku pada anak.
Aspek yang mempengaruhi masalah gangguan emosi dan perilaku di
lingkungan keluarga.
1) Kasih sayang dan perhatian
Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua mengakibatkan anak
mencarinya di luar rumah. Dia bergabung dengan kawan-kawannya dan
membentuk suatu kelompok anak yang merasa senasib. Mengenai hal ini, Sofyan
S. Willis (1981) mengemukakan bahwa mereka berkelompok untuk memenuhi
kebutuhan yang hampir sama, antara lain untuk mendapatkan perhatian dari orang
tua dan masyarakat.
Tak jarang orang tua justru memberikan kasih sayang, perhatian, dan bahkan
perlindungan yang berlebihan (Over Protection). Sikap memanjakan
menyebabkan ketergantungan pada anak sehingga jika anak mengalami kegagalan
5. 5
dalam mencoba sesuatu ia lekas menyerah dan merasa kecewa, sehingga pada
akhirnya akan timbul rasa tidak percaya diri/rendah diri pada anak.
2) Keharmonisan keluarga
Ketidakharmonisan keluarga dapat disebabkan oleh pecahnya keluarga atau
tidak adanya kesepakatan antara orang tua dalam menerapkan disiplin dan
pendidikan terhadap anak. Kondisi keluarga yang pecah atau rumah tangga yang
kacau menyebabkan anak kurang mendapatkan bimbingan yang semestinya.
Berdasarkan hasil studinya, Hetherington (dalam Kirk dan Gallagher, 1986)
menyimpulkan bahwa hampir semua anak yang menghadapi perceraian orang tua
mengalami masa peralihan yang sangat sulit.
3) Kondisi ekonomi
Lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah satu penyebab
tidak terpenuhinya kebutuhan anak, padahal seperti kita ketahui pada diri anak
akan timbul keinginan – keinginan untuk dapat menyamai temannya yang lain.
Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut di dalam keluarga dapat mendorong anak
mencari jalan sendiri yang kadang-kadang mengarah pada tindakan antisocial.
G.W. Bawengan (1977) menyatakan bahwa kondisi-kondisi seperti kemiskinan
atau pengangguran secara relatif dapat melengkapi rangsangan-rangsangan untuk
melakukan pencurian, penipuan dan perilaku menyimpang lainnya.
d. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua setelah keluarga. Sekolah
tidak hanya sekedar membekali anak dengan sejumlah ilmu pengetahuan tetapi
sekolah juga membina kepribadian anak. Akan tetapi sekolah tidak jarang dapat
menjadi penyebab timbulnya gangguan perilaku pada anak seperti yang
dikemukakan Sofyan Willis (1978) bahwa dalam rangka pembinaan anak didik
kearah kedewasaan kadang-kadang sekolah juga penyebab dari timbulnya
kenakalan remaja.
Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah antara
lain berasal dari guru sebagai tenaga pelaksana pendidikan dan fasilitas penunjang
6. 6
yang dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak
merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Anak lebih memilih membolos
dan berkeluyuran pada saat seharusnya ia berada di dalam kelas. Sebaliknya,
sikap guru yang terlampau lemah dan membiarkan anak didiknya tidak disiplin
mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan berani melakukan tindakan
yang menentang peraturan.
Selain guru, fasilitas pendidikan berpengaruh pula terhadap terjadinya
gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas yang
dibutuhkan anak didik untuk menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang
mengakibatkan anak menyalurkan aktifitasnya pada hal-hal yang kurang baik.
e. Lingkungan Masyarakat
Menurut Bandura (dalam Kirk dan Gallagher, 1986), salah satu hal yang
nampak mempengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah
keteladanan, yaitu menirukan perilku orang lain.
Disamping pengaruh- pengaruh yang bersifat positif, di dalam lingkungan
masyarakat juga terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negative yang
dapat memicu munculnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat yang negative
ditambah banyaknya hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak
merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Hal ini terutama terjadi di
kota-kota besar dimana tersedia berbagai fasilitas tontonan dan hiburan yang tak
tersaring oleh budaya lokal.
Masuknya kebudayaan asing dapat memberi dampak negatif pada anak. Anak
menganggap bahwa kebudayaan asing itu benar, sementara dipihak lain
masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber pada adat istiadat
dan agama. Selanjutnya konflik juga dapat timbul pada diri anak sendiri yang
disebabkan norma yang dianut di rumah atau keluarga bertentangan dengan norma
dan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
B. Terminologi Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku
Di masyarakat kita banyak istilah untuk memberikan label kepada anak tuna
laras. Istilah yang digunakan biasanya tergantung pada sudut pandang keilmuan
7. 7
yang mereka geluti, Seperti : Guru pada umumnya, menyebut anak sulit diatur,
anak sukar, anak nakal. Guru PLB (Pedagog), menyebut anak tuna laras. Ahli
social (Social Worker), Menyebut anak gangguan social. Ahli psikologi
(Psikolog), anak terganggu emosi atau anak terhambat emosi. Ahli hokum
(Lowyer), menyebut anak pra-nakal, anak nakal, anak pelanggar hokum. Orang
tua dan masyarakat awam, bias any menyebut anak nakal, anak keras kepala, anak
jahat, dan sebagainya.
Dalam literature asing (Inggris) yang mengupas tentang pendidikan dan
psikoterapi bagi anak yang gangguan emosi dan social, banyak ditemukan istilah
yang bermakna “sama” dengan istilah anak tuna laras, diantaranya :
a. Serious Emotional Disturbance Children (Anak yang mengalami gangguan
emosi pada taraf serius).
b. Emotional Conflict Children (Anak yang mengalami konflik emosi).
c. Emotional Distrubance Children (Anak yang terganggu perkembangan
emosi).
d. Emotional Handicap Children ( Anak yang terhambat perkembangan emosi).
e. Emotional Empairment Children ( Anak yang mengalami kerusakan fungsi
emosi).
f. Serious Emotional Disability Children (Anak yang mengalami
ketidakmampuan mengendalikan emosi secara serius).
g. Behavior Disorder Children (Anak yang berperilaku tidak
teratur/menimpang).
h. Behavior Handicap Children (Anak yang mengalami hambatan dalam
perilaku).
i. Behavior Impairment Children (Anak yang mengalami kerusakan dalam
perilaku).
j. Severe Behavior Handicap Children (Anak yang terhambat perilaku taraf
berat).
k. Social and Emotional Maladjusment Children (Anak yang tidak dapat
menyesuaikan diri karena gangguan social dan emosi).
8. 8
l. Emotional and Behavior Disorder Children (anak yang mengalami gangguan
emosi dan perilaku tidak teratur).
m. Social and Emotional Disturbance Children (Anak yang terganggu
perkembangan social dan emosi).
n. Juvenile Delinquency (Anak/remaja nakal).
Memperhatikan istilah-istilah di atas, ada beberapa hal yang perlu dipahami,
yaitu :
a. Istilah-istilah tersebut menunjukan makna yang sama. Yaitu adanya
penyimpangan/kelainan/hambatan tingkah laku pada anak.
b. Penyimpangan tingkah laku (ketunalarasan) sebagai dampak
gangguan/hambatan perkembangan pada aspek emosi, sosial, atau kedua-
duanya.
c. Dikatakan ketunalarasan apabila gejala penyimpangan/kelainan/gangguan
pada taraf serius (berat dan sangat berat).
d. Sudut pandang yang digunakan yaitu dari kacamata Psikologi, Sosiologis,
Pedagogik, dan Hukum.
C. Karakteristik Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku
Batasan anak tunalaras menurut Kauffman dalam Somantri (2006) yaitu
sebagai anak yang secara nyata dan menahun merespon lingkungan tanpa ada
kepuasan pribadi namun masih dapat diajarkan perilaku-perilaku yang dapat
diterima oleh masyarakat.dan dapat memuaskan pribadinya.
Anak tunalaras dalam berbagai disiplin ilmu memiliki kesamaan, terutama
pada karakeristiknya. Maka, dapat diketahui sebagai berikut karakteristik :
a. Ketidakmampuan untuk belajar yang tidak dapat dijelaskan oleh intelektual,
sensorik atau faktor kesehatan lainnya.
b. Ketidakmampuan untuk membangun atau mempertahankan hubungan
interpersonal yang memuaskan dengan teman sebaya maupun guru.
c. Bentuk ketidaktepatan perilaku atau perasaan dalam kondisi normal.
d. Suatu suasana hati yang mendalam dari ketidakbahagiaan atau depresi.
9. 9
e. Kecenderungan untuk mengembangkan gejala fisik, sakit atau ketakutan yang
terkait dengan masalah pribadi atau sekolah (psikosomatis).
D. Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan
1. Perkembangan Kognitif
Dalam berbagai riset IQ, anak tunalaras rata-rata berada pada rentangan dull
normal (sekitar IQ 90), dan hanya sedikit yang berada di atas normal (cerdas).
Salah satu tolok ukur kecerdasan adalah prestasi belajar. Namun keadaan tersebut
tidak dapat diberlakukan pada anak tunalaras. Misalnya prestasi anak tunalaras
rendah, hal itu tidak dapat dijadikan acuan kecerdasan anak tunalaras sebab
prestasi belajar anak tunalaras seringkali mengalami under achiever (prestasi
belajar di bawah kemampuan yang sebenarnya).
Prestasi anak tunalaras yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan
minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka
alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan
bahwa mereka memiliki intelegensi yang rendah. Kelemahan dalam
perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya gangguan
tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak dengan intelegensi rendah di sekolah
adalah ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya, padahal pada
dasarnya seorang anak tidak ingin berbeda dengan kelompoknya terutama yang
berkaitan dengan prestasi belajar. Mengenai hal ini Ny. Singgih Gunarsa (1982)
mengemukakan bahwa kecemasan dirinya berbeda dengan kelompoknya
menimbulkan kesulitan pada anak dengan cara penyelesaian yang seringkali tidak
sesuai dengan cara penyesuaian yang wajar.
Moerdiani (1987) menilai bahwa rendahnya prestasi belajar anak tunalaras di
sekolah diduga karena kehilangan minat belajar dan konsentrasi belajar rendah
akibat gangguan emosi. Di samping itu, mereka pada umumnya membenci
sekolah sebab sekolah menuntut anak tunalaras untuk mentaati peraturan atau
norma-norma yang berlaku.
Ketidakmampuan anak untuk bersaing dengan teman-temannya dalam belajar
dapat menyebabkan anak frustasi dan kehilangan kepercayaan pada dirinya
10. 10
sendiri sehingga anak mencari kompensasi yang sifatnya negatif, misalnya:
membolos, lari dari rumah, berkelahi, mengacau dalam kelas, dan sebagainya.
Akibat lain dari kelemahan intelegensi ini terhadap gangguan tingkah laku adalah
ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan sebab akibat dari suatu perbuatan,
mudah dipengaruhi serta mudah pula terperosok ke dalam tingkah laku yang
negatif.
2. Perkembangan Sosial-Emosi
Menurut Sutjihati Somantri (2007: 151) terganggunya perkembangan emosi
merupakan penyebab dari kelainan tingkah laku anak tunalaras. Ciri yang
menonjol pada anak tunalaras adalah kehidupan emosi yang tidak stabil,
ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara tepat, dan pengendalian diri
yang kurang sehingga anak tunalaras seringkali menjadi sangat emosional.
Terganggunya kehidupan emosi ini terjadi akibat ketidakberhasilan anak dalam
melewati fase-fase perkembangan. Kematangan emosional anak tunalaras
ditentukan dari hasil interaksi dengan lingkungannya, dimana anak belajar tentang
bagaimana emosi itu hadir dan bagaimana cara untuk mengekpresikan emosi-
emosi tersebut. Perkembangan emosi ini berlangsung secara terus menerus sesuai
dengan perkembangan usia.
Menurut Rusli Ibrahim (2005: 51) anak-anak tunalaras terlambat
perkembangan sikap-sikap sosial dan emosionalnya. Sikap-sikap tersebut dapat
diamati dalam kehidupan sehari-hari dari interaksinya dengan lingkungan, seperti
:
a. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan pola-pola kelompok yang lebih luas
dan kesadaran sosial mereka sangat rendah.
b. Menuntut perhatian yang terus menerus dari lingkungannya dan mereka suka
bermain sendirian.
c. Dalam kelompok, biasanya selalu mengikuti bukannya memimpin.
Sikap-sikap tersebut di atas bila dibiarkan akan mengakibatkan semakin berat
dalam bersosialisai. Anak tunalaras akan menjadi sulit untuk beperilaku dewasa,
dan akan mengalami kemunduran sikap-sikap sosial dan emosional. Kondisi
11. 11
emosi anak tunalaras cenderung tidak stabil dan ketidak stabilan aspek emosi ini
dapat dilihat pada tingkah lakunya sehari-hari. Anak tunalaras sering
menampakkan perilaku yang meyimpang, seperti mudah tersinggung, sedih, acuh
tak acuh, keras kepala, merasa cemas, agresif, menarik diri dari pergaulan dan
sebagainya.
Sebagaimana telah kita pahami bahwa anak tunalaras mengalami hambatan
dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau lingkungannya. Hal ini
tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk
membentuk hubungan sosial dengan semua orang. Dalam banyak kejadian
ternyata mereka dapat menjalin hubungan sosial yang sangat erat dengan teman-
temannya. Mereka mampu membentuk suatu kelompok yang kompak dan akrab
serta membangun keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya.
Anak tunalaras memiliki penghayatan yang keliru, baik tehadap dirinya
sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya. Mereka menganggap dirinya tak
berguna bagi orang lain dan merasa tidak berperasaan. Oleh karena itu timbullah
kesulitan apabila akan menjalin hubungan dengan mereka. Apabila berhasil
sekalipun mereka akan menjadi sangat tergantung kepada seseorang yang pada
akhirnya dapat menjalin hubungan sosial dengannya.
Karakteristik sosial/emosional tunalaras dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Karakteristik Sosial
Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain:
1) Perilaku itu tidak diterima masyarakat, biasanya melanggar norma budaya.
2) Perilaku itu bersifat menggangu, dan dapat dikenai sanksi oleh kelompok
sosial.
3) Perilaku itu ditandai dengan tindakan agresif, yaitu :
a) Tidak mengikuti aturan.
b) Bersifat mengganggu.
c) Bersifat membangkang dan menentang.
d) Tidak dapat bekerjasama.
e) Melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kejahatan
remaja.
12. 12
b. Karakteristik Emosional
1) Hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, misalnya tekanan batin dan
rasa cemas.
2) Ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu, rendah diri, ketakutan dan sifat
perasa/sensitif.
Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras mempunyai dampak
negatif bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Perasaan tidak berguna
bagi orang lain, perasaan rendah diri, tidak percaya diri, perasaan bersalah
menyebabkan mereka merasakan adanya jarak dengan lingkungannya. Salah satu
dampak serius yang mereka alami adalah tekanan batin berkepanjangan sehingga
menimbulkan perasaan merusak diri mereka sendiri. Bila mereka kurang
mendapatkan perhatian dan penanganan dengan segera, maka mereka akan
semakin terperosok dan jarak yang memisahkan mereka dari lingkungannya.
Mengenai tekanan batin yang bekepanjangan ini menurut Schoss (Kirk &
Gallagher, 1986) disebabkan oleh hal-hal berikut:
a. Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness)
Anak-anak telah mempergunakan semua perilaku penyesuaiannya untuk
mencoba mengatasi keadaan yang sulit. Ketidakmampuan mereka untuk
mengatasi kesulitan tersebut menjadi tergeneralisasi sehingga ketika mereka
mempunyai perilaku yang baik sekalipun mereka tidakmau mempergunakannya.
Mereka mengarahkan kegagalannya pada faktor yang tak terkendali, tidak dapat
merespon dengan baik terhadap stimuli sosial atau peristiwa, cenderung
mengurangi usaha yang dilakukan setelah mengalami kegagalan, dan
menunjukkan rasa rendah diri.
b. Keterampilan sosial yang minim (social skill deficiency)
Perkembangan kepribadian yang tertekan akan menimbulkan
kekurangterampilan dalam memperoleh penguatan (reinforcement) perilaku sosial
yang positif. Kondisi ini akan mengurangi terjadinya interaksi sosial yang positif.
c. Konsekuensi paksaan (coercive consequences)
13. 13
Tekanan batin yang berlarut-larut tergantung pada konsekuensi paksaan. Jika
anak yang sedang cemas menarik diri menerima reaksi positif dari lingkungannya
(simpati, dukungan, jaminan,dll) mereka tetap gagal mengembangkan perilaku
pribadi dan keterampilan sosial yang mengarah kepada perilaku yang efektif.
Menghadapi keadaan diatas, kita hendaknya dapat mempengaruhi lingkungan
mereka, mengajar dan menguatkan keterampilan sosial antarpribadi yang lebih
efektif, serta menghindarkan mereka dari ketergantungan dan penguatan
ketakberdayaan. Bahwa perilaku menyimpang pada anak tunalaras merugikan
lingkungannya kiranya sudah jelas dan seringkali orang tua maupun guru merasa
kehabisan akal menghadapi anak dengan gangguan perilaku seperti ini.
3. Perolehan Bahasa Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku
Pemerolehan bahasa dan komunikasi anak tunalaras yaitu bergaul dan
berhubungan sosial baik hanya dengan teman sebaya yang menuruti kehendaknya.
Tapi dengan orang dewasa sulit. Komunikasi dengan orang lain cenderung
menggunakan bahasa yang kasar. Anak tunalaras mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Ketidakmampuan anak tunalaras
dalam melalui interaksi sosial yang baik dengan lingkungannya disebabkan oleh
pengalaman-pengalaman yang tidak/kurang menyenangkan. Salah satu dampak
serius yang mereka alami adalah tekanan batin berkepanjangan sehingga
menimbulkan perasaan merusak diri mereka sendiri. Bila mereka kurang
mendapatkan perhatian dan penanganan dengan segera, maka mereka akan
semakin terperosok dan jarak yang memisahkan mereka dari lingkungan sosialnya
akan semakin bertambah lebar.
Karakteristik anak tunalaras relatif berbeda dengan anak berkebutuhan khusus
lainnya ataupun anak normal pada umumnya. Perbedaan karakteristik tersebut
muncul sebagai akibat dari ketunalarasan yang disandangnya. Ketidakmatangan
emosi dan sosial selalu berdampak pada keseluruhan perilaku dan pribadinya,
termasuk dalam belajarnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kemampuan
berbahasa anak tunalaras memiliki perbedaan dengan anak normal, baik dalam
bahasa lisan, maupun bahasa tulisan.
14. 14
Hambatan yang dialami oleh anak tunalaras dalam berbahasa memiliki
pengaruh yang cukup luas, terutama dalam kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain, sebab dalam berkomunikasi terlebih dahulu harus memiliki
keterampilan berbahasa yang cukup, yaitu terampil menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis. Hambatan berbahasa diwarnai banyak faktor yang
mempengaruhinya, diantaranya: “faktor pengajar, faktor pengajar dan faktor
sistem” (Tarigan:1987). Faktor yang mengakibatkan lemahnya kemampuan
berbahasa pada anak tunalaras, Anderson S. Lynch dalam Nursaid (1992:6),
mengemukakan:
a. Faktor lingkungan, misalnya keakuratan penyimak mendengarkan bunyi-
bunyi bahasa atau ujaran-ujaran.
b. Tingkat kesukaran kata, frase, dan kalimat-kalimat yang digunakan pengajar.
c. Kondisi kejiwaan penyimak, misalnya tidak memiliki waktu yang memadai
untuk melakukan kegiatan menyimak atau terburu-buru.
d. Kecenderungan isi pesan yang mempengaruhi sikap penyimak.
e. Faktor ekstra linguistic, misalnya kemampuan penyimak untuk
mendayagunakan isyarat-isyarat lingkungan tempat berlangsungnya proses
menyimak untuk menyusun pemahamannya.
Hallahan dan Kaufman (1977) mengemukakan bahwa “anak tunalaras banyak
mengalami kesulitan dalam satu atau lebih bidang studi, seperti membaca”.
Menurut Badudu (1990) “Pengajaran tidak ditekankan pada segi keterampilan
berbahasa, tetapi lebih banyak pada pengetahuan bahasa”. Dan hasil penelitian
Pratomo, (1995) menyimpulkan bahwa “pendekatan komunikatif mampu
membantu siswa untuk memiliki keterampilan berbahasa baik lisan maupun
tulisan”.
Pengalaman berinteraksi agar peserta didik dapat menggunakan bahasa secara
komunikatif dalam berbagai aktivitas telah direncanakan secara bervariasi melalui
berbagai rangsangan, seperti tave recorder, rangsangan gambar, bahan bacaan
penggunaan lingkungan sekitar yang relevan dengan tema dan kebutuhan
15. 15
berkomunikasi. Dalam merencanakan evaluasi pembelajaran guru tidak hanya
merencanakan alat evaluasi untuk mengukur hasil belajar semata, tetapi telah
berusaha memahami bagaimana rumusan evaluasi yang dapat dilaksanakan
selama proses pembelajaran. Dalam perencanaan evaluasi pembelajaran, guru
menggunakan istilah asesmen, karena asesmen lebih luas cakupannya daripada
evaluasi.
Lebih lanjut Oller (1979) dalam Halimah (2002:176), mengemukakan bahwa
“evaluasi dalam berkomunikasi hendaknya lebih ditekankan pada kemampuan
menghasilkan dan memahami informasi, bukan semata-mata pada ketepatan
bahasa yang dipergunakan dan apabila terjadi kesalahan berbahasa baru
diperhitungkan apabila mengganggu kelancaran berkomunikasi”. Agar anak
tunalaras memiliki keterampilan berbahasa sebagaimana layaknya anak pada
umumnya, hendaknya dalam pembelajaran bahasa Indonesia mengembangkan
pendekatan komunikatif dan menyediakan sarana yang memadai untuk kegiatan
pembelajaran.
4. Dampak Ketunalarasan dalam Kegiatan Belajar
Sebagaimana kelompok khusus anak luar biasa, anak tunalaras memiliki
karakteristik tersendiri dalam belajarnya, yang relatif berbeda dengan kelompok
anak luar biasa yang lain ataupun anak normal. Perbedaan karakteristik tersebut
muncul sebagai akibat dari ketunalarasan yang disandangnya. Diketahui bahwa
ketidakmatangan sosial dan atau emosionalnya selalu berdampak pada
keseluruhan prilaku dan pribadinya, termasuk dalam perilaku belajarnya. Secara
umum dikatakan bahwa proses belajar akan berlangsung secara optimal, bila salah
satu diantaranya ada kesiapan psikologis dari peserta didik. Anak tunalaras karena
ketidakmatangan dalam aspek sosial dan atau emosional jelas akan menghambat
kesiapan psikologisnya, sehingga optimalisasi proses belajarnya juga akan
terhambat.
Karakteristik perilaku belajar anak tunalaras tidak jauh berbeda, bahkan sulit
dibedakan dengan kelompok anak tunagrahita dan anak berkesulitan belajar, yang
membedakan hanyalah bahwa pada anak tunalaras frekuensi lebih tinggi dan
16. 16
selalu tertuju pada perilaku-perilaku maladaptive. Hasil studi lain juga
menunjukkan bahwa anak tunalaras pada umumnya memiliki IQ yang rendah,
prestasi rendah,dan juga berasal dari kelas sosial yang rendah pula. Mereka juga
banyak mengalami kesulitan dalam satu atau lebih bidang studi, seperti membaca
dan matematika, serta perilakunya tidak memenuhi harapan sesuai dengan usia
dan kemampuannya (Hallahan dan Kaufman, 1977 ; Chary, 1966 ;
Kvaraceus,1961 ; Scarpitti, 1964).
Terlepas dari kajian Cruickshank diatas, berikut ini merupakan ciri-ciri
menonjol yang sering dijumpai pada anak tunalaras dalam belajarnya :
a. Daya konsentrasi terbatas
b. Kurang mampu belajar dari pengalaman
c. Kurang motivasi
d. Kurang disiplin
e. Kurang memiliki motif berprestasi
f. Kurang memiliki sikap kerjasama dan toleransi
g. Sensitif terhadap hal-hal yang dianggap merugikan dirinya.
h. Kurang memiliki kesabaran
i. Kurang mampu berfikir secara komperehensif dan kemampuan analisisnya
rendah.
j. Memiliki cara-cara tersendiri dalam mengolah dan memahami informasi.
k. Cepat melakukan imitasi dan identifikasi terhadap hal-hal diluar dirinya yang
dianggap menarik.
l. Sugestible, mudah dipengaruhi dan terpengaruh oleh lingkungan
m. Cenderung mengabaikan tugas dan tanggung jawab yang diberikan
n. Cenderung tunduk pada guru tertentu yang memiliki kelebihan sesuai dengan
interesnya.