Makalah ini membahas tentang anak berkebutuhan khusus khususnya yang mengalami kesulitan belajar. Pembahasan meliputi definisi kesulitan belajar, faktor-faktor penyebabnya, karakteristik anak tersebut, sebab-sebabnya, identifikasi, serta dampak yang ditimbulkan. Tujuan makalah ini adalah untuk memahami berbagai aspek terkait kesulitan belajar pada anak.
1. MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS “KESULITAN BELAJAR”
OLEH:
BAGUS DICKY (125514019)
ALFIAN DWI ERNANTO (125514030)
ROHMA EKA INDRI AHADIAH (125514202)
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2014
2. 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Setiap anak unik dan luar biasa. Beberapa anak mempunyai perbedaan yang kita
sebut anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus dapat berarti banyak
hal. Kadang-kadang anak belajar secara berbeda, atau mendengarkan dengan alat
bantu, atau membaca dengan huruf Braille. Seorang anak mungkin mempunyai
kesulitan dalam untuk berkomunikasi atau memberikan perhatian. Seorang anak
dapat lahir dengan kebutuhan khusus, atau memperolehnya karena kecelakaan atau
kondisi kesehatannya. Kadang-kadang seorang anak akan mengembangkan
perilaku tertentu dan kemudian menjadi terhambat perkembangannnya. Tetapi
apapun masalah yang dialami seorang anak dalam proses belajarnya, emosi,
tingkah laku, atau tubuh fisiknya, ia tetap seorang manusia. Ia tidak ditentukan oleh
ketidakmampannya; alih-alih ketidakmampuannya adalah sebagian dari jati dirinya.
2. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah:
1. Definisi kesulitan belajar
2. Faktor-faktor yang menimbulkan kesulitan belajar
3. Karateristik anak berkesulitan belajar
4. Sebab-sebab kesulitan belajar
5. Identifikasi anak berkesultan belajar
6. Masalah dan dampak dari anak berkesulitan belajar
3. Tujuan
Adapun tujuan kami dalam pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui definisi kesulitan belajar
2. Untuk mengetahui berbagai macam faktor yang menimbulkan kesulitan belajar
3. Untuk mengetahui karateristik anak berkesulitan belajar
4. Untuk mengetahui sebab-sebab kesulitan belajar
5. Untuk dapat mengidentifikasi anak berkesulitan belajar
6. Untuk mengetahui masalah dan dampak yang timbul pada anak berkesulitan
belajar
3. 2
PEMBAHASAN
A. DEFINISI KESULITAN BELAJAR
Anak berkesulitan belajar termasuk ke dalam kelompok tersendiri yang
disebut learning diabilities atau berkesulitan belajar atau ketakcakapan belajar.
Siapakah anak berkesulitan belajar itu? Tidak kurang dari 40 istilah telah
diusulkan untuk menggambarkan atau merujuk kepada apa yang disebut dengan
anak berkesulitan belajar. Dan tidak kurang dari 38 definisi telah dirumuskan untuk
mengartikan istilah berkesulitan belajar. Banyak istilah atau sebutan yang sering
digunakan di dalam berbagai literatur untuk merujuk anak yang mengalami kesulitan
belajar khusus antara lain sebutan berikut ini.
Attention deficit disorder
Clumsy child syndrome
Perceptual handicap
Brain injury
Minimal brain dysfunction
Dyslexia
Dyslogic syndrome
Learning disorder
Educational handicap
Mild handicap
Neurological impairment
Hyperactivity
Hyperkinesis
Definisi lain dikemukakan oleh Samuel A.Kirk (1971) bahwa Children Listed
under the caption of specific learning disabilities are children who cannot be grouped
under the traditional categories of exceptional children, but who show significant
retardation in learning to talk, or who do not develop normal visual or auditory
perception, or who have great difficulty in learning to read, to spell, to write, or to
make arithmetic calculations.
Haring (1974) menambahkan, “learning disability is a behavioral deficit almost
always associated with academic performance and that can be remediated by
precise individual instruction programming”.
4. 3
Definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas menunjukkan bahwa
learning disability (ies) tidak digolongkan ke dalam salah satu keluarbiasaan seperti
yang dibahas sebelumnya, melainkan merupakan kelompok tersendiri. Kesulitan
belajar lebih didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual, memori,
maupun ekspresif di dalam proses belajar. Meskipun gangguan ini bisa terjadi di
dalam berbagai tingkat kecerdasan normal atau bahkan di atas normal. Anak-anak
yang berkesulitan belajar memiliki ketidakteraturan dalam proses fungsi mental dan
fisik yang bisa menghambat alur belajar yang normal, menyebabkan keterlambatan
dalam kemampuan perseptual-motorik tertentu atau kemampuan berbahasa.
Umumnya masalah ini tampak ketika anak mulai mempelajari mata-mata pelajaran
dasar seperti menulis, membaca, berhitung, dan mengeja.
Keragaman jenis kesulitan belajar yang mungkin dialami seorang anak
memang menimbulkan adanya klasifikasi yang cermat tentang kesulitan belajar ini.
Oleh karena itu muncul berbagai istilah atau sebutan bagi kesulitan belajar seperti
telah diutarakan di atas. Akan tetapi di dalam kenyataan, kesulitan yang satu
seringkali dibarengi oleh kesulitan lain sehingga terjadi tumpang tindih antar
kesulitan..
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar atau learning
disabilities merupakan istilah generik yang merujuk kepada keragaman kelompok
yang mengalami gangguan dimana gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-
kesulitan yang signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar.
B. FAKTOR-FAKTOR YANG MENIMBULKAN KESULITAN BELAJAR
Kephart (1967) mengelompokkan penyebab kesulitan belajar ini dalam tiga kategori
utama yaitu: kerusakan otak, gangguan emosional, dan pengalaman. Kerusakan otak
berarti terjadinya kerusakan syaraf seperti dalam kasus-kasus encephalitis, meningitis,
dan toksik. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan gangguan fungsi otak yang diperlukan
untuk proses belajar pada anak dan remaja. Demikian pula anak-anak yang mengalami
disfungsi minimal otak (minimal brain dysfunction) pada saat lahir akan menjadi masalah
besar pada saat anak mengalami proses belajar.
1. Faktor Gangguan Emosional
Faktor gangguan emosional yang menimbulkan kesulitan belajar terjadi karena
adanya trauma emosional yang berkepanjangan yang mengganggu hubungan
funsional sistem urat syaraf. Dalam kondisi seperti ini perilaku-perilaku yang terjadi
seringkali seperti perilaku pada kasus kerusakan otak. Namun demikian tidak semua
trauma emosional menimbulkan gangguan belajar.
2. Faktor Pengalaman
Faktor ‘pengalaman’ yang dapat menimbulkan kesulitan belajar mencakup faktor-
faktor seperti kesenjangan perkembangan atau kemiskinan pengalaman lingkungan.
Kondisi ini biasanya dialami oleh anak-anak yang terbatas memperoleh rangsangan
lingkungan yang layak, atau tidak pernah memperoleh kesempatan menangani
peralatan dan mainan tertentu, dimana kesempatan semacam itu dapat
mempermudah anak dalam mengembangkan keterampilan manipulatif dalam
5. 4
penggunaan alat tulis seperti pensil dan ballpoint. Kemiskinan pengalaman lain
seperti kurangnya rangsangan auditif menyebabkan anak kurang memiliki
perbendaharaan bahasa (berkata-kata) yang diperlukan untuk berpikir logis dan
bernalar. Biasanya kemiskinan pengalaman ini berkaitan erat dengan kondisi sosial
ekonomi orang tua sehingga seringkali berkaitan erat dengan masalah kekurangan
gizi yang pada akhirnya dapat mengganggu optimalisasi perkembangan dan
keberfungsian otak.
Bagan 8.1 menelusuri tahapan kesulitan belajar, yang diklasifikasikan ke dalam
empat tataran, dari mulai penyebab sampai hasil. Tataran I menunjukkan penyebab asli,
baik yang terjadi pada saat kelahiran maupun setelah lahir. Hasil dari tataran I ini terwujud
dalam tataran II yang mungkin berupa kerusakan otak, ketidakseimbangan kimiawai,
hambatan emosional, kesenjangan kematangan, dan/atau kemiskinan pengalaman yang
dapat menimbulkan kesulitan dalam persepsi, pembentukan konsep, memori, dan proses
lainnya sebagaimana tampak dalam tataran III. Kesulitan-kesulitan yang terjadi pada tataran
III menghasilkan berbagai gaya belajar sebagaimana tampak pada tataran IV. Jika ditilik dari
proses tersebut maka suatu kesulitan belajar bisa disebabkan oleh faktor ganda.
6. 5
Dengan menilik faktor-faktor diatas, faktor pada tataran I dan II lebih banyak menyangkut
aspek medis, biologis, atau sosiologis sehingga bidang medis akan lebih banyak terlibat
dalam menangani masalah ini. Pada tataran III akan lebih banyak melibatkan ahli diagnostik
dan ahli psikologi; sedangkan pada tataran IV akan lebih banyak melibatkan guru dan ahli
pendidikan. Untuk kepentingan layanan pendidikan dan psikologis di dalam diagnosis dan
7. 6
remedial, keragaman gaya belajar seperti tampak pada tataran IV harus menjadi fokus
utama penyembuhan.
Gaya belajar seperti tampak pada tataran IV merupakan hal baru tetapi merupakan
dimensi yang amat penting dalam memahami faktor kesulitan belajar. Sebagai contoh
seorang anak yang mempunyai ga
ya belajar auditif tentu tidak akan efektif mencerna informasi yang disajikan melalui
rangsangan visual. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekeliruan dalam gaya
penyajian dapat menimbulkan kelambanan atau kegagalan yang dialaminya dalam belajar
seyogyanya melakukan analisis tugas dan perilaku anak sebagai dasar pengembangan
program pengajaran yang sepadan dengan gaya belajar dan gaya kognitif anak.
C. KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Anak yang berprestasi rendah (underachiviers) umumnya kita temui di sekolah karena
tidak menguasai mata pelajaran tertentu yang diprogramkan oleh guru berdasarkan
kurikulum yang berlaku. Sebagian besar dari mereka mempunyai nilai pelajaran yang sangat
rendah ditandai pula dengan hasil tes IQ berada di bawah rerata normal. Untuk golongan ini
disebut dengan istilah lain, yaitu slow learners. Pencapaian prestasi rendah umumnya
disebabkan oleh faktor minimal brain dysfuncton, dyslexia, atau perceptual disability. Di
Amerika Serikat anal yang berprestasi rendah disebut dengan istilah spesific learning
disability.
1. Aspek Kognitif
Kasus kesulitan membaca (dyslexia) yang sering ditemukan di sekolah merupakan
contoh klasik dari kekurangan keberfungsian aspek kognitif anak berkesulitan belajar. Tidak
jarang anak yang mengalami kesulitan membaca menunjukkan kemampuan berhitung atau
matematika yang tinggi. Kasus semacam tadi membuktikan bahwa anak berkesulitan belajar
memiliki kemampuan kognitif yang normal, akan tetapi kemampuan tersebut tidak berfungsi
secara optimal sehingga terjadi keterbelakangan akademik (academic retardation) yakni
terjadinya kesenjangan antara apa yang mestinya dilakukan anak dengan apa yang
dicapainya secara nyata.
2. Aspek Bahasa
Di dalam proses belajar kemampuan berbahasa merupakan alat untuk memahami
dan menyatakan pikiran. Oleh karena itu pula aspek kemampuan bahasa seringkali tidak
dipisahkan dari aspek kognitif karena proses berbahasa pada hakikatnya adalah proses
kognitif. Tampak jelas bahwa masalah kemampuan berbahasa anak akan berpengaruh
signifikan terhadap kegagalan belajar.
3. Aspek Motorik
Masalah motorik merupakan masalah yang umumnya dikaitkan dengan kesulitan belajar.
Masalah motorik anak berkesulitan belajar biasanya menyangkut keterampilan motorik-
perseptual yang diperlukan untuk mengembangkan keterampilan meniru rancangan atau
pola. Kemampuan ini sangat diperlukan menggambar, menulis, atau menggunakan gunting.
8. 7
Keterampilan tersebut sangat memerlukan koordinasi yang baik antara tangan dan mata
yang dalam banyak hal koordinasi tersebut tidak dimiliki anak berkesulitan belajar.
4. Aspek Sosial dan Emosi
Dua karakteristik yang sering diangkat sebagai karakteristik sosial-emosional anak
berkesulitan belajar ialah: kelabilan emosional dan ke-impulsif-an. Kelabilan emosional
ditunjukkan oleh sering berubahnya suasana hati dan tempramen. Ke-impulsif-an merujuk
kepada lemahnya pengendalian terhadap dorongan-dorongan berbuat.
D. SEBAB-SEBAB KESULITAN BELAJAR
1. Ketidakberfungsian Minimal Otak (minimal brain dysfunction)
Ketidakberfungsian minimal otak digunakan untuk merujuk suatu kondisi gangguan syaraf
minimal pada anak. Ketidakberfungsian ini bisa didapatkan dalam berbagai macam
kombinasi kesulitan seperti: persepsi, konseptualisasi, bahasa, memori, pengendalian
perhatian, impulse(dorongan), atau fungsi motorik.
Sekalipun sistem seperti itu bisa mulai tampak pada usia taman kanak-kanak, tetapi
untuk anak tertentu mungkin belum tampak pada saat anak memasuki sekolah dasar.
Mereka mungkin menghadapi kesulitan untuk mengikuti kegiatan kelas seperti membaca,
mengeja, dan berhitung; kesulitan dalam memahami konsep konkrit maupun abstrak;
penampilannya cenderung kacau atau tak beraturan-tinggi dalam bidang tertentu dan
rendah dalam bidang lainnya. Mereka sering menunjukkan gejala kurang mampu
memusatkan perhatian, ketidakstabilan emosi, frustrasi, dan sikap permusuhan.
Beberapa simptom spesifik dari ketidakberfungsian otak minimal ialah:
a. Kelemahan dalam persepsi dan pembentukan konsep
Kelemahan dalam membedakan ukuran.
Kelemahan dalam membedakan kiri-kanan dan atas-bawah.
Kelemahan tilikan ruang.
Kelemahan orientasi waktu.
Kelemahan dalam memperkirakan jarak.
Kelemahan membedakan bagian-keseluruhan.
Kelemahan memahami keutuhan.
9. 8
b. Gangguan bicara dan komunikasi
Kelemahan membedakan stimulus auditif.
Perkembangan bahasa yang lamban.
Seringkali kehilangan pendengaran.
Seringkali berbicara tak teratur.
c. Gangguan funsi motorik
Seringkali gemetar atau menunjukkan kekakuan gerak.
Hiperaktivitas.
Hipoaktivitas.
d. Kemunduran prestasi dan penyesuaian akademik
Ketidakcakapan membaca.
Ketidakcakapan berhitung.
Ketidakcakapan mengeja.
Ketidakcakapan menulis dan menggambar.
Kelambanan menyelesaikan pekerjaan.
Kebimbangan memahami instruksi.
e. Karakteristik emosional
Impulsif.
Eksplosif.
Kelemahan kendali emosi dan dorongan.
Toleransi rendah terhadap frustasi.
f. Gangguan proses berpikir
Ketidakcakapan berpikir abstrak.
Umumnya berpikir konkret.
Kesulitan membentuk konsep.
Seringkali berpikirnya tak terorganisasi.
Keterbatasan rentang memori.
Seringkali berpikir autistik.
10. 9
2. Aphasia
Aphasia merujuk kepada suatu kondisi dimana anak gagal menguasai ucapan-ucapan
bahasa yang bermakna pada usia sekitar 30 tahunan. Ketidakcakapan bicara ini tidak dapat
dijelaskan karena faktor ketulian, keterbelakangan mental, gangguan organ bicara, atau
faktor lingkungan.
Aphasia tampak dalam berbagai bentuk dengan simptom yang cukup kompleks.
Secara garis besar simptom aphasia dapat digolongkan ke dalam tiga karakteristik utama
berikut ini.
a. Receptive aphasia
Tidak dapat mengidentifikasi apa yang didengar.
Tidak dapat melacak arah.
Kemiskinan kosakata.
Tidak dapat memahami apa yang terjadi dalam gambar.
Tidak dapat memahami apa yang dia baca.
b. Expressive aphasia
Jarang bicara di kelas.
Kesulitan dalam melakukan peniruan.
Banyak pembicaraan yang tidak sejalan dengan ide.
Jarang menampilkan gesture (gerak tangan).
Ketidakcakapan menggambar dan menulis.
c. Inner aphasia
Tidak mampu melakukan asosiasi; oleh karena itu sulit berpikir abstrak.
Memberikan respon yang tak layak atas panggilan/sahutan.
Lamban merespon.
3. Dyslexia
Disleksia (dyslexia) atau ketidakcakapan membaca, adalah jenis lain gangguan belajar.
Semula istilah disleksia ini digunakan di dalam dunia medis, tetapi saat ini digunakan pada
dunia pendidikan dalam mengidentifikasi anak-anak berkecerdasan normal yang mengalami
kesulitan berkompetisi dengan temannya di sekolah. Simptom umum yang sering
ditampilkan anak disleksa ialah:
11. 10
Kelemahan orientasi kanan-kiri.
Kecenderungan membaca kata bergerak mundur; seperti “dia” dibaca “aid”
Kelemahan keterampilan jari.
Kesulitan dalam berhitung, kesalahan hitung.
Kelemahan memori.
Kesulitan auditif.
Kelemahan memori-visual, tidak mampu memvisualkan kembali objek, kata, atau
huruf.
Dalam membaca keras tidak mampu menkonversikan simbol visual kedalam
simbol auditif yang sejalan dengan bunyi kata secara benar. Kata yang
diucapkan tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya.
4. Kelemahan Perseptual atau Perseptual-Motorik
Kelemahan perseptual dan perseptual-motorik sebenarnya merujuk kepada masalah
yang sama. Sebenarnya persepsi dapat diidentifikasi tanpa mengaitkan dengan aspek
motorik. Persepsi itu sendiri berfungsi membedakan stimulus sensoris, yang pada
gilirannya harus diorganisasikan ke dalam pola-pola yang bermakna. Seorang anak
membedakan dan menafsirkan objek sebagai suatu kesatuan. Akan tetapi jika
kelemahan perseptual-motorik itu terjadi, hubungan antara persepsi dan gerak motorik
akan terganggu. Kondisi ini menjadikan anak tidak dapat melakukan pengamatan secara
tepat dan tidak mampu menterjemahkan pengamatan itu ke dalam alur gerak motorik,
dan bahkan anak tidak dapat mendengar dan melihat secara normal. Biasanya anak
yang mengalami gangguan perseptual motorik ini mengalami kesulitan dalam
memahami dan menyatakan ide.
Simptom umum yang sering ditunjukkan oleh anak yang mengalami kelemahan
perseptual atau perseptual-motorik ialah:
Kemiskinan koordinasi visual-motorik.
Gangguan keseimbangan badan pada waktu berjalan maju, mundur, dan
menyamping.
Kurang terampil dalam melompat.
Kesulitan mengamati diri dalam konteks ruang dan waktu.
Kesulitan melakukan gerak ritme normal; saat menulis cenderung mengurangi
atau menambah ukuran, bentuk, warna, ketebalan.
Kesulitan dalam mengikuti konsistensi objek; d menjadi b.
12. 11
A. IDENTIFIKASI ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Keragaman definisi kesulitan belajar membawa keragaman pula dalam orientasi
filosofis tentang identifikasi dan pengajaran bagi anak berkesulitan belajar. Meskipun
demikian prinsip-prinsip dasar evaluasi bagi seluruh anak berkesulitan belajar perlu
diketahui dan dipahami. Prinsip-prinsip dasar tersebut ialah:
1. Tes atau teknik evaluasi lain harus diberikan dalam bahasa anak, dapat dipahami
oleh anak.
2. Evaluasi harus dilakukan oleh tim dari berbagai disiplin, setidak-tidaknya terdiri atas
seorang guru atau ahli lain yang mengetahui masalah kesulitan belajar.
3. Kriteria penetapan kesulitan belajar hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut:
a) Seorang anak dikatakan mengalami kesulitan belajar jika anak tidak mampu
mencapai prestasi sesuai dengan usia dan tingkat kecakapan dalam satu atau
lebih bidang:
Ekspresi lisan
Mendengarkan pemahaman
Ekspresi tulisan
Keterampilan membaca dasar
Membaca pemahaman
Perhitungan matematis, atau
Berpikir matematis
b) Seorang anak tidak diidentifikasikan sebagai mengalami kesulitan belajar jika
kesenjangan antara kecakapan dan prestasi disebabkan oleh:
Hambatan visual, pendengaran, atau motorik
Keterbelakangan mental
Gangguan emosional
Ketidakberuntungan lingkungan, budaya, atau ekonomis.
4. Pelaporan hasil identifikasi hendaknya menyatakan:
a) Kesulitan belajar khusus apa yang dialami anak,
b) Dasar yang digunakan untuk menentukan jenis kesulitan,
c) Perilaku-perilaku yang relevan yang tercatat selama dilakukan pengamatan,
d) Hubungan antara perilaku tersebut dengan keberfungsian akademik anak,
13. 12
e) Temuan-temuan medis yang relevan dengan pendidikan,
f) Kesenjangan antara prestasi dan kecakapan yang tak dapat diatasi tanpa
pendidikan dan layanan khusus,
g) Pertimbangan tentang pengaruh ketakberuntungan lingkungan, budaya, dan
ekonomi.
F. MASALAH DAN DAMPAK DARI ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Telah diungkapkan di atas bahwa perilaku bermasalah yang muncul sebagai
akibat dari kesulitan belajar sangat bervariasi sesuai dengan spesifikasi kesulitan itu.
Namun demikian, secara umum perilaku bermasalah yang muncul dari kesulitan
belajar terutama akan terkait dengan masalah penyesuaian diri maupun akademik
anak, hubungan sosial, dan stabilitas emosi. Bagi anak sendiri kondisi seperti ini
dapat menimbulkan kegagalan dalam memenuhi tuntutan dan tugas belajar. Dengan
kata lain dalam banyak hal anak tidak mampu menguasai tugas-tugas
perkembangan yang harus dicapainya.
Bagi keluarga, kondisi anak seperti itu dapat menimbulkan kekhawatiran
orang tua, apalagi jika orang tua tidak memahami masalah yang dialami anaknya.
Kekecewaan, perasaan, dan pikiran aneh bisa muncul pada orang tua dan tak
mustahil menimbulkan frustasi orang tua atau keluarga.
Bagi penyelenggara pendidikan, perilaku bermasalah karena kesulitan belajar
menimbulkan dampat terhadap perlunya penempatan dan pelayanan khusus.
Meskipun demikian penempatan dan pelayanan khusus ini tidak berarti perlu
penyelenggaraan kelas khusus bagi anak kesulitan belajar. Penyelenggaraan kelas
khusus akan membawa dampak kurang baik karena anak tidak bisa berkomunikasi
atau berinteraksi dengan teman sebayanya yang normal. Penempatan dan layanan
khusus tersebut akan lebih baik jika diwujudkan dalam layanan semacam resource
room, dimana anak memperoleh layanan tanpa harus dipisahkan dari kelompoknya.
Dalam layanan semacam ini, perlu tersedia guru khusus yang dapat memberikan
layanan dan konsultasi bagi guru kelas dimana anak tersebut ada. Melalui kegiatan
bersama antara guru kelas dan guru khusus tadi, rancangan layanan pendidikan dan
psikologis dikembangkan.
Mengingat harapan tersebut di Indonesia masih sulit diwujudkan, maka hal
yang paling mungkin ialah membekali para guru dan calon guru sekolah dasar
dengan pengetahuan/keterampilan memahami dan membantu anak berkesulitan
belajar.
14. 13
PENUTUP
Kesimpulan
Kesulitan belajar atau learning disabilities merupakan istilah generik yang
merujuk kepada keragaman kelompok yang mengalami gangguan dimana
gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang
dapat menimbulkan gangguan proses belajar.
Anak berkesulitan belajar merupakan kelompok tersendiri. Kesulitan belajar
lebih didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual, memori,
maupun ekspresif di dalam proses belajar.
15. 14
DAFTAR PUSTAKA
Delphie,Bandi (2007). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Dalam
Setting Pendidikan Inklusi. Sleman:Penerbit KTSP
Somantri.Sutjihati (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung :Penerbit
Refika Aditama