SlideShare a Scribd company logo
1 of 109
Tantangan Kinerja Hukum Lima Tahun ke Depan
Koran SINDO
Sabtu, 7 Juni 2014
SIAPA pun presiden lima tahun yang akan datang jika tidak peduli pada kemuliaan hukum
dan tidak menghargai kekuatan hukum tanpa kecuali, pasti pemerintahan akan rontok dengan
sendirinya. Hal ini disebabkan antara kekuasaan dan hukum saling menguatkan satu sama
lain dan tidak relevan untuk dipertentangkan.
Hukum dan kekuasaan bak dua sisi dari satu mata uang: hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan, tetapi kekuasaan tanpa hukum adalah anarki (Mochtar Kusumaatmadja). Lalu,
bagaimana cara memuliakan hukum? Yaitu dengan menggunakan prinsip non-intervensi
kekuasaan terhadap bekerjanya hukum tanpa kecuali dan dengan alasan kepentingan apa pun.
Bagaimana dengan diskresi Jaksa Agung mengeluarkan saponeering? Di negara hukum
manapun diskresi ini tetap diakui sehingga Jaksa Agung memiliki wewenang penuh
berdasarkan perkiraannya sendiri. Di sinilah kerentanan intervensi kekuasaan sehingga
memerlukan seorang Jaksa Agung yang berintegritas tinggi, kredibel dan akuntabel sesuai
dengan landasan perundang-undangan yang berlaku. Selain kejaksaan, kepolisian juga
memiliki kerentanan atas intervensi kekuasaan; memang di negara mana pun, kepolisian tidak
lepas dari pengaruh kekuasaan.
Di Amerika Serikat (AS) saja pengaruh seorang walikota (mayor) terhadap kinerja kepala
kepolisian distrik sangat dominan. Untuk kepolisian mungkin, apalagi di Indonesia, jargon
independensi masih ”jauh panggang dari api”.
Suka atau tidak suka itulah kenyataannya. Independensi, integritas dan akuntabilitas kinerja
yang pas seharusnya dilekatkan pada kekuasaan kehakiman in casu seluruh hakim pada
tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung RI.
Jika kekuasaan kehakiman telah dapat dipengaruhi kekuasaan baik kekuasaan uang dan
pertemanan atau kepentingan politik maka merupakan saat kejatuhan suatu negara hukum
yang akan berujung pada anarki sosial dan struktural. Jika hal itu terjadi maka idealisme
hukum dengan cita keadilan dan kepastian hukum, apalagi kemanfaatan, hanyalah merupakan
halusinasi belaka, sehingga rakyat hanya dapat bermimpi datangnya ratu adil yang tidak akan
pernah tiba di Tanah Air.
Kejatuhan negara dengan kekuasaan pemerintahan yang cenderung otoriter serta kekuatan
masyarakat sipil tanpa daya merupakan sasaran empuk kekuasaan asing untuk kembali
menjajah negeri tercinta. Penjajahan itu melalui beberapa cara antara lain bantuan teknis
melalui hibah berbungkus kepentingan timbal balik dan tidak ada yang gratis serta
penempatan orang asing di beberapa posisi strategis baik sebagai penasihat/ahli ataupun
selaku ”manajer” pemerintahan (di belakang layar/ terselubung) baik pada pemerintah
maupun di lembaga legislatif (DPR RI) dengan dalih ”transfer of knowledge and skilled”.
Padahal dalih ini tidak pernah menjadi kenyataan sejak Orde Baru sampai saat ini. Hambatan
mendahulukan tenaga ahli pribumi disebabkan kurang perhatian dan penghargaan pemerintah
terhadap mereka sehingga tren kenaikan ”braindrain ” dan migrasi WNI ahli ke negara lain
semakin meningkat sedangkan tenaga asing menjadi ”tuan” di negeri tercinta.
Menurut pengamatan saya, kisruh dan kemelut menegakkan hukum di Tanah Air adalah
dimulai antara lain, oleh proses rekrutmen berbasis kompensasi dan nepotisme sampai saat
ini lebih dominan dari berbasis kompetensi dan keahlian.
Sistem promosi, mutasi dan demosi yang berjalan sarat kepentingan subjektif pemegang
kekuasaan sehingga terjadi apa yang dinamakan, ”the right man in the wrong place” atau
”the wrong man in the right place ”.
Buktinya yang saya amati pada era pemerintahan SBY ada beberapa menteri yang tidak
mengetahui pekerjaannya dan ada juga yang mengetahui pekerjaannya tetapi tidak tahu harus
bagaimana bertindak menjalankan jabatannya. Yang benar adalah jabatan-jabatan strategis
baik dalam bidang hukum dan ekonomi-keuangan seharusnya diserahkan pada ahlinya karena
dengan cara ini maka seorang presiden dapat ”tidur nyenyak” tanpa harus waswas apalagi
bersikap suudzon kepada pembantunya.
Presiden adalah kepala negara juga kepala pemerintahan oleh karena itu seorang presiden
tidak dapat mengelak apalagi melepaskan tanggung jawab di semua lini pemerintahan kepada
hanya para pembantunya karena muara keberhasilan atau ketidakberhasilan adalah pada
pundak seorang presiden dalam sistem presidensial versi UUD 1945. Semestinya hak
prerogatif memilih para pembantu presiden berada di tangan ”himself ”, bukan pada tangan
parpol pengusung (koalisi).
Karena baik buruk kinerja pembantu presiden, pada akhirnya di tangan presiden; rakyat tidak
mau tahu siapa pembantu presiden kecuali presiden sendiri yang dipandang tidak becus
memimpin rakyatnya; jika tidak berhasil.
Dalam konteks pembangunan hukum termasuk penegakan hukum, maka seorang presiden
yang komit terhadap pemuliaan hukum dan kekuatan hukum dalam menjalankan
pemerintahan merupakan modal keberhasilan.
Apalagi seorang presiden yang mampu memadukan pendekatan ekonomi dan hukum di satu
sisi dan pendekatan kedua disiplin ilmu tersebut dengan pendekatan politik karena kebijakan
ekonomi dan hukum yang tidak memperoleh legitimasi rakyat tidak akan berhasil melindungi
apalagi menyejahterakan rakyatnya.
Begitu pula sekalipun legitimasi politik telah di tangan seorang presiden jika tidak
ditindaklanjuti dengan kebijakan ekonomi dan hukum yang terpadu, sudah pasti ambruk di
tengah jalan. Contoh kasus BLBI dan Kasus Century adalah bukti nyata ketimpangan antara
ketiga disiplin ilmu tersebut sehingga mengakibatkan beban bagi pemerintahan lima tahun ke
depan dan belum tertuntaskan sampai saat ini.
Kekeliruan penetapan kebijakan di bidang ekonomi dan perbankan dalam kedua kasus
tersebut telah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp700 triliun yang kini selalu menjadi
beban APBN; belum terhitung hutang-hutang pemerintahan SBY yang telah mencapai
Rp3.000 triliun sampai saat ini. Pemerintahan lima tahun ke depan memerlukan seorang
presiden yang dapat menyinergikan (pemimpin musik orkestra) kinerja para pembantu di
bidang ekonomi, keuangan dan perbankan dengan pembantu di bidang hukum dan politik
termasuk koordinasi dengan badan legislatif.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
(Kampanye) Media yang Mencerdaskan
Koran SINDO
Selasa, 10 Juni 2014
PEMILIHAN umum tahun 2014 ini tampaknya menjadi pemilu paling seru sepanjang
sejarah Indonesia. Bukan dalam hal banyak sedikitnya partai politik atau kandidat yang
berlaga, namun pada hiruk-pikuk proses yang mengiringinya.
Tampaknya, adalah benar ketika Indonesia ditahbiskan sebagai ”surga riset” terbesar dunia.
Terlebih dalam konteks ilmu politik, karena segala macam realita dan fenomena bisa saja
terjadi. Bahkan, teori yang dipandang telah mapan (established) pun, bisa saja terjungkal
tersebab anomali yang terjadi di negeri plural nan besar ini. Tanpa bermaksud melupakan
sejarah, marilah sejenak kita tinggalkan hiruk-pikuk pileg.
Membincang pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon presiden, membuat suhu politik
dan psikologi sosial di tengah masyarakat kita semakin ”memanas”. Kondisinya bahkan lebih
panas ketimbang pileg yang diikuti oleh belasan parpol dan ribuan caleg sekalipun. Pilpres
2014 ini segera akan memolarisasikan masyarakat menjadi dua kutub utama. Kalau tidak ke
kubu satu, ke kubu dua. Prabowo-Hatta atau Jokowi- JK.
Polarisasi menjadi semakin sengit ketika kedua pasang calon secara head to head,
dikompetisikan, bahkan dikonfrontasikan. Nyaris tidak ada kekuatan pemecah, karena
menyimak trennya, jumlah kelompok yang memutuskan untuk tidak berpartisipasi (golput)
dalam pilpres menurun ketimbang pileg lalu. Pilpres dengan dua pasang calon, sudden death.
Sudden death satu putaran ini menjadi ”kurusetra” terakhir untuk para kandidat melakukan
”puputan”.
Segenap amunisi, senjata pamungkas dan jurus simpanan terampuh harus dikeluarkan.
Kekalahan di ujung laga, sungguh adalah sesuatu yang teramat menyakitkan bagi siapa pun.
Segala cara terkadang lantas dihalalkan untuk menghindarinya, termasuk cara-cara yang
menanggalkan etika.
Belantara Informasi
Ketika kemajuan teknologi informasi tidak lagi terbendung, benar kata Alfin Tofler, atmosfer
informasi bernama infosphere akan mempengaruhi sociosphere (atmosfer kehidupan sosial)
dan psychosphere (atmosfer psikologis). Keberlimpahan informasi seakan adalah belantara
yang berpotensi membingungkan, menyesatkan dan menipu masyarakat. Arus informasi
sesungguhnya bisa diatur, dihegemoni dan dikendalikan melalui skema agenda setting media.
Opini, berita, citra yang menunjukkan keseluruhan informasi tentang dunia atau tentang diri
seseorang juga bisa dipoles dan dibentuk, meskipun terkadang menafikan etika media.
Adalah benar ungkapan yang menyatakan jika ingin menguasai dunia, maka kuasailah media.
Pula, jika hendak kuasai Indonesia, kuasailah media.
Melvin de Fleur (Rahmat, 2002) menyebut bahwa media menyajikan stimuli perkasa yang
secara seragam diperhatikan oleh massa, membangkitkan desakan emosi, perubahan sikap
dan perilaku atau proses lain yang kadang tidak terkontrol oleh individu.
Konsep powerful mass media, mengajarkan bahwa perang media adalah salah satu medan
yang harus dimenangkan oleh setiap kandidat presiden dan tim sukses dalam kampanyenya.
Media massa kontemporer, koran, majalah, dan televisi menjadi mesin kampanye yang sangat
efektif untuk menyampaikan visi-misi dan kualitas kandidat, guna memikat hati para pemilih.
Perkembangan teknologi informasi bernama internet membuat peperangan media kian sengit.
Kurusetra itu kini bahkan diletakkan paksa dalam genggaman tangan setiap pemilih melalui
gawai (gadget), situs, SMS, Twitter, Facebook , maupun media sosial lain. Arus informasi
media itu, laiknya peluru (bullet theory), ditembakkan dan dijejalkan kepada khalayak, tidak
sekadar oleh media massa, namun oleh para simpatisan kandidat.
Konsekuensi positifnya, keberlimpahan informasi akan melahirkan masyarakat yang melek
media. Namun, sayangnya, dalam konteks pilpres, untuk mencari siapa presiden terbaik yang
akan membawa Indonesia menjadi bangsa bermartabat yang disegani dunia, melek media
tidaklah cukup.
Mengapa? Jawabnya karena sesungguhnya media yang sarat dengan kepentingan kapital
sekedar menawarkan realitas tangan kedua (second hand reality). Apa yang ditampilkan oleh
media, sesungguhnya adalah realitas yang telah diseleksi, dikondisikan bahkan terkadang
dimanipulasi. Seseorang yang melek media, sangat mungkin akan terseret dalam arus
informasi pencitraan semu yang memang telah didesain secara masif dan sistematis oleh
sindikasi media.
Skema agenda setting memungkinkan media menjejalkan informasi dan citra tertentu kepada
masyarakat, sementara realitas sesungguhnya jauh panggang dari api. Sayangnya, etika media
dan kaidah jurnalistik, lagi-lagi diabaikan.
Kampanye yang semestinya menjadi ajang pencerdasan masyarakat untuk melihat kualitas
calon pemimpinnya, justru dijadikan ajang pembodohan massal publik. Kampanye negatif,
kampanye hitam, fitnah, saling menjatuhkan, serta saling klaim dukungan yang tidak berdasar
menjadi wabah baru penipu demokrasi.
Menariknya, banyak kampanye hitam yang diduga justru dilakukan oleh tim sukses capres
yang bersangkutan. Dalam dunia psikologi, ini yang disebut sebagai self victimization.
Menyebarkan berita negatif dan fitnah terhadap capresnya sendiri dengan tujuan untuk
mengharapkan rasa iba masyarakat. Kultur masyarakat kita suka menolong pihak yang
dianggap teraniaya dan terzalimi pun dimanipulasi untuk mendulang suara.
Dalam keberlimpahan informasi, melek media ternyata tidak cukup. Manipulasi fakta dan
data media akan menjebak mereka yang melek media dalam arus pencitraan karbitan yang
masif. Yang dibutuhkan sekarang sesungguhnya adalah kecerdasan kita membaca media.
Kepingan-kepingan informasi, sesungguhnya adalah puzzle melintas zaman, yang harus kita
rangkai untuk memperoleh gambaran terbaik tentang siapa kandidat yang layak dipilih
menjadi presiden.
Akar Rumput
Di era keterbukaan dan keberlimpahan informasi, pertempuran pada akhirnya tidak sekadar
melibatkan tim sukses. Pertempuran pun pada akhirnya melibatkan massa di akar rumput
simpatisan capres. Pertempuran di ranah akar rumput ini sangat boleh jadi jauh lebih sengit
ketimbang pertempuran di level think tank partai, apalagi di level elite politik. Sangat
mungkin kita saksikan, para elite politik berangkulan mesra makan bersama, sementara masa
di akar rumput saling berbaku hujat, saling sindir, saling menjatuhkan.
Celakanya, terkadang perseteruan tersebut menjurus pada pertempuran dengan amunisi
prasangka, pencitraan, ghibbah, atau terkadang bahkan fitnah. Fanatisme yang berlebihan,
mati-matian membela, pengorbanan tak berbatas, gontok-gontokan, menghalalkan segala
cara, pemujaan hingga berujung kultus, sesungguhnya bukanlah ide cerdas dalam
berdemokrasi.
Terlebih apabila terjebak melakukan apa yang disebut Horton and Wohl (1956) sebagai
perilaku parasosial, mau melakukan apa saja, memuja capres, seperti para fans ‘ababil’
memuja selebriti pujaan.
Pilihan boleh berbeda, tetapi hati tidak boleh panas, emosi harus tetap terkendali. Kepala
harus tetap dingin seraya mengizinkan nalar dan rasio memandu kita memilih yang terbaik.
Biarkan kata hati, nurani, kecerdasan dan logika yang berbicara, bukan okol atau fanatisme
buta semata. Masyarakat semestinya segera sadar, betapa siapa pun kita, sesungguhnya
adalah sesama anak bangsa. Sesama saudara yang tengah berijtihad memilih pemimpin
terbaik bangsa.
Kita harus segera kembali bersinergi untuk menjaga dan membisik-bangun negeri indah ini.
Menjadi pemilih cerdas, saling berbagi informasi, berita, data yang akurat sangat dibutuhkan
agar kita bisa memilih presiden ideal, putra terbaik bangsa yang mampu membawa Indonesia
menjadi negeri yang hebat bermartabat.
ACHMAD M AKUNG
Dosen Psikologi Komunikasi Fakultas Psikologi Undip Semarang
Skenario Menuntaskan Transisi Demokrasi
Koran SINDO
Selasa, 10 Juni 2014
DALAM kajian transisi menuju demokrasi, yang kerap dibahas–setidaknya dari yang saya
amati–adalah tahap awal dari transisi, yaitu runtuhnya rezim otoriter, dan tahapan-tahapan
transisi secara keseluruhan yang disarikan dari pengalaman sejumlah negara.
Sejauh ini, saya belum pernah membaca kajian yang secara khusus membahas bagaimana
tahap akhir transisi dituntaskan sehingga demokrasi yang sejati terwujud. Kondisi ini bisa
dipahami karena transisi menuju demokrasi bersifat khas dan unik pada setiap negara.
Dari sisi tahapan, tentu yang paling dramatis adalah tahap awal, atau dalam penahapan oleh
Thomas Carothers (2002) disebut pembukaan (opening), di mana terjadi gejolak sosial,
liberalisasi politik dan perpecahan di tubuh rezim otoriter yang berkuasa yang menjadi
prakondisi bagi proses demokratisasi selanjutnya.
Indonesia sendiri mengalami detik-detik dramatis ini pada masa Reformasi 1997-1998.
Tingkat ketegangan dramatis sedikit berkurang pada fase berikutnya, yaitu terobosan
demokrasi (breakthrough), ketika sistem demokrasi baru dengan cepat ditanamkan ke dalam
negara yang tengah limbung mencari orientasi, melalui pemilihan umum (pemilu) demokratis
dan penguatan struktur dan institusi demokrasi.
Pada pengalaman Indonesia, kita menjalankan pemilu demokratis pada 7 Juni 1999, setahun
lebih beberapa hari dari pernyataan berhenti Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Pada masa
itu, kita menyaksikan ingar-bingar pembentukan partai politik dengan berbagai ideologi dan
identitasnya, pembentukan lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berbeda dengan
masa Orde Baru, dan ledakan kebebasan politik yang sempat berimbas pada ketegangan
sosial.
Mengikuti tahapan Carothers tersebut, fase pamungkas dari transisi adalah konsolidasi
demokrasi, yakni sebuah proses yang panjang dan evolutif dalam mentransformasikan
bentuk-bentuk demokrasi, atau demokrasi prosedural, menjadi substansi demokrasi melalui
reformasi lembaga-lembaga negara, pemilu yang semakin meningkat kualitasnya, penguatan
masyarakat sipil dan pembiasaan masyarakat untuk hidup di dalam alam dan aturan main
demokrasi.
Dalam beberapa kesempatan, saya menamakan proses pembiasaan masyarakat tersebut
sebagai proses memantapkan budaya demokrasi. Fase pamungkas ini tidak dramatis karena
terjadi di gedung parlemen atau instansi pemerintahan dan bukan di jalanan. Yang ditulis
adalah undang-undang, peraturan dan kebijakan; bukan pamflet atau tuntutan massa.
Saya menjadi anggota DPR RI periode 2004-2009 dan 2009-2014 (hingga mengundurkan diri
pada awal 2013) dan mengalami bagaimana proses konsolidasi demokrasi menjadi ”business
as usual” khususnya dalam proses kerja-kerja legislasi.
Sesekali ada keramaian, seperti dalam peristiwa kenaikan harga BBM atau penyelidikan
kasus Bank Century, namun itu berlangsung pada level kebijakan, bukan pada tingkatan
paradigma demokrasi. Suasana mirip ”business as usual” ini berpotensi menjebak kita dalam
transisi berkepanjangan tanpa arah dan tahapan yang jelas dalam merealisasikan demokrasi
yang sejati.
Menutup Defisit Demokrasi
Istilah ”defisit demokrasi” awalnya merupakan kritik terhadap legitimasi dan keterwakilan
dalam Masyarakat Ekonomi Eropa pada akhir 1970-an yang kemudian diadopsi dalam kajian
politik secara luas.
Dari banyak definisi, dapat kita simpulkan bahwa defisit demokrasi adalah situasi tidak
terpenuhinya secara mencukupi nilai-nilai demokrasi di dalam prosedur dan lembaga politik.
Ketidakcukupan itu tecermin dari tidak berfungsinya lembaga-lembaga politik secara
optimal, terutama karena terhambatnya pengaruh dan aspirasi rakyat kepada pemerintah.
Aspek berikutnya dari defisit demokrasi adalah rendahnya kinerja institusi lembaga negara
sehingga kepercayaan publik menurun dan pada gilirannya menggerus legitimasi
pemerintahan demokratis yang berkuasa.
Samuel Huntington (1991) bahkan pernah menyebut kegagalan kinerja ini dapat memicu arus
balik ke arah otoritarianisme pada negaranegara yang mengalami transisi demokrasi. Kinerja
lembaga negara ini tentu harus dapat diukur dengan pencapaian kesejahteraan ekonomi dan
sosial bagi seluruh rakyat.
Karena itu, dalam menuntaskan transisi demokrasi di Indonesia yang kita mulai sejak 16
tahun yang lalu, kita harus segera menutup defisit demokrasi yang masih menganga dalam
”neraca” kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Prioritas terbesar haruslah ditujukan untuk menjaga legitimasi lembaga-lembaga dalam rezim
pemerintahan demokratis dengan cara memastikan kinerja lembaga-lembaga tersebut dalam
memenuhi aspirasi dan kebutuhan rakyat. Langkah ini juga akan membawa kita melangkah
dari demokrasi prosedural ke demokrasi yang lebih substantif, yaitu demokrasi yang
membawa faedah konkret bagi rakyat.
Pilpres 2014
Dalam kesempatan sebelumnya, saya pernah menyatakan harapan saya agar Pemilu 2014 ini
dapat menjadi momentum kita menuntaskan transisi menuju demokrasi. Tentu pemilihan
presiden menjadi agenda penting dalam rangkaian pemilu. Dalam pemilihan presiden nanti,
kita berharap mendapatkan pemimpin yang mampu memastikan kinerja lembaga-lembaga
pemerintahan melalui terobosan dan bukan bersikap ”business as usual”.
Visi yang jelas harus juga ditopang dengan kemampuan mengomunikasikan visi tersebut agar
dapat menggerakkan seluruh elemen bangsa menuju satu titik cita-cita kita bersama. Kita
sudah melewati periode maksimal suatu presidensi dalam konstitusi (2x5 tahun) tanpa
ancaman non demokratis.
Ini adalah modal penting bagi konsolidasi demokrasi, yakni situasi ketika semua elemen
percaya bahwa jalan demokratis adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah
bahkan ketika ada kekecewaan terhadap pemimpin atau pemerintahan yang berkuasa.
Tidak ada aktor atau kelompok yang berusaha mencapai tujuan atau agendanya dengan cara-
cara non demokratis. Perpaduan antara pengalaman bangsa kita menempuh transisi selama 16
tahun yang berbuah kepercayaan terhadap jalan demokratis dengan terpilihnya pemimpin
visioner yang mampu menggerakkan dan memastikan kinerja lembaga-lembaga negara akan
melengkapi skenario menuntaskan transisi demokrasi di Indonesia.
Dengan tuntasnya transisi, kita akan masuk ke dalam demokrasi yang terkonsolidasi dan
substantif. Saatnya Indonesia melangkah ke demokrasi yang sejati.
ANIS MATTA
Presiden Partai Keadilan Sejahtera
Jakarta Stres
Koran SINDO
Rabu, 11 Juni 2014
ULANG tahun Jakarta ke-487 segera kita sambut di Juni 2014 ini. Ada yang unik di ulang
tahun saat ini, yakni bertepatan dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi)
mencalonkan diri sebagai Presiden RI 2014-2019.
Praktis kota ini dipimpin oleh Wakil Gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama atau sering
dipanggil Ahok. Bagaimanapun menjelang pilpres ini Ahok, hanya sebagai pejabat
sementara. Uniknya pula Ahok adalah wakil gubernur yang separtai dengan kandidat
presiden pesaing, Jokowi.
Secara politis membuat kegundahan tersendiri bagi Ahok. Terlalu mendukung partainya,
Ahok tidak akan menjadi gubernur pengganti jika kandidat partainya menang menjadi
presiden. Tidak mendukung kandidat partainya, agar jalan menuju Jakarta 1 mulus, membuat
dirinya begitu tidak nyaman dengan partainya. Dengan demikian, masa pilpres membawa
pejabat pengendali Kota Jakarta galau–istilah anak sekarang. Kegalauan pejabat politik dalam
pemerintahan daerah, dapat membuat tekanan tersendiri kepada birokrasi lokalnya (Richard
Batley: 1993). Jika birokrasi stres, masyarakat Jakarta kemungkinan ikut stres. Untuk itu, kita
perlu cermati.
Efek Administratif
Kota Jakarta yang sedang mengalami pertumbuhan masif dan membutuhkan pembenahan
yang besar, sangat membutuhkan ketekunan pengambil kebijakannya dalam mengelola
persoalan publik yang berkembang. Kebijakan-kebijakan yang unggul yang sudah dibuat
harus diimplementasikan dengan penuh serius dan profesional. Jakarta sendiri adalah
barometer Indonesia. Hal ini merupakan tekanan tambahan bagi pemangku kepentingan kota
ini untuk lebih kuat, progresif, andal, profesional, dan visioner mengelolanya.
Pengambil kebijakan kota ini juga membutuhkan administrasi publik yang mumpuni yang
diejawantahkan oleh birokrasi pemerintah daerah Kota ini. ”Public administration is a
political act, most obviously because it involves governmental discretion in the distribution of
resources....Can they be agents of change? If they operate outside their time and context, they
risk marginalization from all reality; if they operate within it, their transforming role is in
question.” (Batley: 1993).
Pengendali kebijakan kota ini memiliki seribu satu macam pemangku kepentingan. Secara
vertikal terdapat organisasi pemerintah pusat termasuk pengendali kebijakan pemerintahan
nasional RI, bahkan organisasi pemerintah negara lain, bahkan badan-badan semi otonom
internasional yang berkantor di kota ini.
Secara horizontal pengendali kebijakan kota Jakarta juga menghadapi pemerintah daerah
sekelilingnya dan berbagai pemerintah daerah yang memiliki hubungan kerja dengan
pemerintah Kota Jakarta. Hubungan dengan pihak swasta dan masyarakat pun menambah
kompleks jejaring dengan pemangku kepentingan kota ini.
Betapa Kota Jakarta menjadi tumpuan harapan berbagai pihak yang mengharap peran bangsa
Indonesia bagi diri mereka masing-masing. Jakarta adalah teras bangsa Indonesia, dan
barometer bangsa Indonesia bagi bangsa lain. Saat ini tumpuan ditujukan kepada pejabat
sementara Gubernur untuk menjadi pemandu manajemen kota ini. Pertanyaan akan banyak
diarahkan kepada Ahok dalam rangka transformasi Kota Jakarta. Bagaimana Ahok
mengendalikan birokrasi kota ini untuk mewujudkan berbagai kebijakan yang sudah dibuat.
Jika Ahok stres, sangat dimungkinkan birokrasinya stres. Kasus korupsi di tubuh sektor
perhubungan darat yang beliau tangani menjadi tolok ukur kedewasaan Ahok dalam
mengendalikan keseluruhan birokrasinya. Birokrasi Jakarta bagaimanapun telah
berpengalaman panjang menata kota ini. Sebagai pengendali kebijakan, seyogianya dapat
menempatkan birokrasinya tersebut sehingga tidak perlu menyeret stres masyarakatnya.
Sebetulnya efek administrasi dapat tergolong rendah karena sistem manajemen kota ini telah
terbangun ratusan tahun sejak Hindia Belanda. Pemangku kepentingan kota ini tertidur
sekalipun, sistem tetap bekerja. Yang jadi persoalan adalah jika pemangku kepentingan stres,
kemungkinan besar sistem terpengaruh. Kita dapat ukur, ketika Jokowi melakukan blusukan
betapa terkesiapnya birokrasi kota Jakarta. Setelah itu lelang jabatan, kemudian diteruskan
dengan rotasi jabatan. Jokowi membuat birokrasi Jakarta berputar agak keras.
Berbeda dengan Jokowi, Ahok lebih diarahkan kepada pengendalian birokrasi sejak awal.
Modelnya pun berbeda dan ditambah dengan suasana pencapresan ”bos” nya tadi. Sekarang
Ahok, jadi bos belum sepenuhnya. Efek administrasi dengan kondisi ”bos” kota Jakarta yang
berbeda, tampak direspons berbeda oleh administrasinya.
Orientasi Sistem
Masyarakat berharap transformasi Kota Jakarta menuju teras bangsa dan barometer bangsa
Indonesia yang makin bermartabat, berkelas, dan tangguh harus terus diwujudkan. Kepada
Ahok, pesan yang dapat dibuat selagi ulang tahun kota Jakarta dengan suasana pilpres, adalah
pertama, sudah selayaknya bekerjalah tetap dengan membangun sistem kota ini lebih banyak
berbicara. Ahok adalah dirigen yang mengarahkan sistem tersebut.
Kedua , bekerja dengan pendekatan terapi-kejut mungkin diminimalisasi lebih banyak ke arah
”adjustment” karena suasana pilpres membawa segala tindakan Ahok lebih banyak dibaca
politis. Peran Ahok yang berada di persimpangan dalam suasana pilpres ini, jika lebih banyak
terapi-kejut, akan berbuntut simalakama buat Ahok sendiri. Bahkan dapat menimbulkan
stagnasi yang akan betul-betul berbuntut kepada munculnya masyarakat Jakarta yang stres.
Ketiga, pengendalian sistem yang ada dengan warna ”adjustment” sekalipun tetap
berorientasi progresif. Ukurannya adalah outcome pelayanan publik kepada masyarakat.
Keempat, sistem antara yang dikendalikan diukur dengan ”adjustment” berpola ”zero defect
management” . Dukungan masyarakat akan melimpah jika mampu dibuktikan adanya
outcome yang nyata. Masyarakat kota ditandai oleh masyarakat yang pragmatis kontraktual.
Kelima, Jika Ahok mampu meminimalisasi terseretnya stres publik, niscaya Jakarta bukan
saja semakin maju bahkan semakin semarak dan berkualitas. Semoga.
IRFAN RIDWAN MAKSUM
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI, Anggota DPD RI
Tantangan Desentralisasi
Dalam debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tiga hari yang lalu,
masing-masing pasangan telah menyinggung tema desentralisasi.
Mereka sama-sama menyatakan keprihatinan bahwa sistem desentralisasi tampaknya telah
menjadi beban bagi pemerintah pusat dan bukannya mendorong pembangunan. Dalam
sejumlah forum terkait desentralisasi, para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota
merasa bahwa aturan-aturan yang lahir dari pihak pemerintah pusat terus bermunculan
padahal implementasinya sulit dilakukan.
Hal ini disebabkan pembuatan peraturan tersebut sering kali kurang mempertimbangkan
kondisi riil di lapangan. Program-program nasional minta diperlakukan sebagai prioritas
daerah, tetapi kenyataannya data yang digunakan pemerintah pusat untuk mengidentifikasi
masalah ataupun penerima manfaat tidaklah akurat. Fenomena ini menunjukan masalah
desentralisasi bukan hanya dirasakan negatif oleh pemerintah pusat, melainkan juga pihak-
pihak di daerah.
Sementara itu, pihak pusat juga prihatin pada sejumlah tantangan di tingkat daerah. Mereka
menyimpulkan para pejabat pemerintahan daerah semata peduli pada kepentingan sesaat yang
sifatnya politis, yakni untuk mempertahankan popularitas. Bahkan, kemudian muncul asumsi
bila kepala daerah yang terpilih berasal dari partai politik tertentu yang sama dengan kepala
divisi atau pejabat di pemerintah pusat, maka program nasional akan berjalan.
Wacana di atas sesungguhnya menggambarkan sejumlah isu serius terkait desentralisasi yang
diterapkan di Indonesia. Ada dua isu utama yang saya angkat di sini. Pertama, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki pemahaman yang berbeda- beda
tentang apa itu desentralisasi. Sudut pandang yang dominan adalah desentralisasi berarti
pemerintah pusat menyediakan sejumlah dana kepada pemerintah daerah dan menyerahkan
wewenang penggunaan dana tersebut kepada pemerintah daerah, sepenuh-penuhnya.
Sudut pandang seperti itu membuat kedua belah pihak sama-sama tertekan ketika ada inisiatif
kegiatan tertentu. Yang diributkan selalu terkait dana. Padahal, desentralisasi bukanlah
semata penyerahan uang dari pusat ke daerah. Di pihak lain, karena pemerintah pusat merasa
telah menyerahkan dana kepada daerah, mereka meminta pertanggungjawaban yang berlapis-
lapis kepada daerah, padahal implementasi penggunaan dana tersebut ternyata lebih
kompleks dari rencana di atas kertas semata.
Kedua, dialog yang berkembang seputar desentralisasi masih selalu berkutat pada relasi
antara pemerintah pusat dan daerah (khususnya dengan pemerintah kabupaten/kota). Artinya
pembicaraan selalu terbatas pada urusan pembagian tugas dalam kementerian atau lembaga
pemerintah tertentu. Dengan situasi riil terbatasnya kapasitas birokrasi di negeri ini, bisa
dibayangkan yang kemudian terjadi adalah saling lempar tanggung jawab. Yang mudah
dikerjakan akan diperebutkan, sementara hal-hal yang sulit dilakukan akan dilempar-lempar
ke pihak lain.
Desentralisasi dalam konteks tersebut belum menyentuh peranan komunitas lokal, termasuk
para aktor intelektual, bisnis, dan penggiat kemasyarakatan yang tinggal di daerah tersebut.
Ini suatu pemborosan sumber daya, karena pihak-pihak ini punya potensi yang dahsyat bila
digandeng untuk memperkuat kebijakan pemerintah. Artinya penjelasan kedua pasangan
capres dalam debat capres belum konkret menyentuh problem desentralisasi.
Yang selama ini mereka bincangkan barulah di tataran desentralisasi politik, padahal
desentralisasi juga menyangkut masalah administrasi dan juga fiskal. Sejumlah keluhan dari
daerah terkait data masyarakat adalah hal serius yang selama ini belum dianggap serius oleh
pemerintah pusat. Misalnya terkait pembagian bantuan sosial dalam Program Raskin,
Bantuan Siswa Miskin, serta Program Keluarga Harapan.
Program-program itu boleh jadi penting. Namun karena desain keterlibatan pemerintahan
daerah di sana hanya sebagai pelaksana, program tersebut luput melihat relevansi program
tersebut bagi perbaikan nasib masyarakat di daerah-daerah di Indonesia. Dari sejumlah
daerah di Indonesia bagian timur, misalnya, muncul keluhan mereka sulit melakukan
monitoring pelaksanaan program bantuan sosial yang dititipkan pemerintah pusat karena data
yang dipakai oleh pemerintah pusat sulit diakses oleh mereka dan kalaupun bisa diakses,
akurasinya terbukti tidak tepat.
Di daerah, hal semacam ini bisa menimbulkan gejolak sosial di mana kepala desa dan camat
bisa menjadi sasaran amuk massa. Ini pernah terjadi. Contoh lain yang penting adalah
masalah data yang tidak tersinkronisasi yang baik. Pemerintah pusat mengembangkan sistem
data terpadu yang berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) dan dikelola oleh Tim
Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K), namun sumber data tidak berasal
dari informasi terkini di lapangan.
Pihak daerah mengeluh kesulitan akses untuk memverifikasi sumber data. Akibatnya, terjadi
kesenjangan data orang miskin hingga 20%. Hal ini juga terjadi pada survei luas lahan
pertanian pangan yang menjadi landasan untuk menghitung berapa impor pangan yang
diperlukan. Di sejumlah daerah sudah muncul inovasi berbasis perbaikan pelayanan publik
untuk menghimpun data kemiskinan. Namun, upaya tersebut sering kali luput penghargaan
dari pemerintah pusat sehingga para pejabat di daerah mengalami demoralisasi. Informasi di
atas hanyalah sekeping masalah dari keseluruhan persoalan desentralisasi.
Apabila para capres dan cawapres ingin melakukan perbaikan, penting untuk melakukan
evaluasi yang ilmiah dan menyeluruh bersama pihak-pihak daerah dan tidak lagi
menggunakan pendekatan top-down semata. Saya mengusulkan kepada para capres dan
cawapres untuk secara konsisten untuk melibatkan pihak-pihak di daerah secara partisipatif
dalam merencanakan program-program pelayanan publik. Sejauh ini forum musrembang
yang menjadi input untuk perencanaan pemerintah lebih bersifat seremonial belaka.
Pihak-pihak daerah harus dilibatkan dalam lebih konkret karena mereka yang berhadapan
langsung dengan masyarakat. Budaya organisasi yang birokratif perlu menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman yang cepat dan tepat khususnya dalam konteks dunia yang
makin tinggi persaingannya.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
Debat Capres Perdana
Koran SINDO
Rabu, 11 Juni 2014
HAMPIR seluruh media massa dan jagat media sosial ramai membicarakan debat capres
perdana yang digelar KPU, Senin (9/6).
Layaknya sebuah tontonan di ruang publik, debat capres antara pasangan Prabowo-Hatta dan
Jokowi-JK ini tentu saja mengundang polemik, terutama jika menilai siapa pasangan yang
lebih unggul. Tentu masing-masing pendukung kandidat akan memberi argumentasi sendiri-
sendiri bahwa calonnyalah yang memenangi pertarungan opini.
Indikator Retorika
Ibarat sebuah pertunjukkan, tulisan ini mencoba memotret debat dalam indikator-indikator
komunikasi politik yang sifatnya dialektis. Indikator pertama adalah kemampuan seni
berbicara (art of speech). Sebagai prosesi komunikasi, indikator debat yang akan diperhatikan
pertama kali oleh khalayak tentu saja retorika para capres. Retorika memberi kesan citra
personal yang terhubung dengan kapasitas individu di tengah adu gagasan.
Dalam hal tipologi retorika berdebat, dua pasangan memiliki kesamaan yakni pada pilihan
impromptu dengan cara mengungkapkan gagasan secara spontan, fleksibel, dan berorientasi
pada orisinalitas forum. Kekurangan tipe seperti ini tentu saja pada susunan kalimat dan
logika berpikir yang kurang sistematis.
Memang banyak pilihan tipologi retorika, ada manuskrip atau paparan yang berorientasi pada
naskah yang telah dipersiapkan. Jika ini dilakukan oleh capres saat berdebat, pasti
menjemukan! Ada juga tipe memoriter yakni capres memilih untuk berdebat dengan
mengandalkan hafalan-hafalan, bukan pada penguasaan yang mendalam. Ini tentu akan
mencelakakan kandidat terlebih jika apa yang dihafalkan lupa atau tidak memahami konteks
dari persoalan yang sesungguhnya.
Tipe lain yakni ekstemporer di mana capres yang hendak berdebat mempersiapkan outline
dan pokok-pokok penunjang pembahasan. Dengan outline itulah, dia banyak mengelaborasi
berbagai dinamisasi diskusi sehingga mampu meyakinkan pihak lain bahwa dirinya mampu
menjelaskan. Tipe terakhir memang paling ideal, tapi dalam debat-debat capres yang diatur
KPU sulit dilakukan mengingat pertanyaan moderator dan kandidat lain sangat mungkin
berbeda dari yang disiapkan sehingga pilihan impromptu menjadi keniscayaan bagi semua
pasangan. Hanya soal gaya memang JK berbeda sendiri, dia mengambil pilihan komunikasi
low context culture yang menekankan pada orientasi hasil, ketegasan makna meski
mengambil risiko untuk agresif di topik-topik sensitif seperti isu HAM.
Sementara Prabowo, Hatta, dan Jokowi lebih memilih high context culture dengan menjaga
harmoni dalam berdebat. Bedanya Hatta dan Jokowi stabil di pilihan high context culture,
sementara Prabowo tergiring masuk pada ”serangan” JK dengan menunjukkan bahasa tubuh
(kinesics) seperti isyarat tangan yang kerap mengacungkan jari telunjuk, ekspresi wajah, dan
tatapan mata Prabowo pun tak bisa dibohongi bahwa dia tidak nyaman dengan pernyataan
JK.
Peribahasa (vocalics) pun terasa. Nada tinggi, intensitas suara, dan intonasi Prabowo berubah
dan justru menunjukkan di debat perdana ini, Prabowo terangsang kurang siap secara mental
berada dalam situasi heteronomi komunikasi. Dominic Ifanta dalam bukunya,
Argumentativness and Verbal Agressivness (1996), mengemukakan ada dua sifat agresi yang
seyogianya dikelola terlebih dalam suatu perdebatan di muka umum yang ditayangkan oleh
media massa. Dua hal itu adalah tendensi mengajak atau menanggapi pihak lain berdebat
mengenai topik-topik kontroversial dan keagresifan verbal yang biasanya menyerang ide,
keyakinan, ego, atau konsep diri di mana argumen bernalar.
Substansi Gagasan
Indikator kedua yang dapat dinilai oleh khalayak tentu saja rasionalitas saat membingkai
gagasan. Dalam konteks inilah diperlukan sebuah skema berpikir yang logis, proporsional,
analitis, dan berbasis data. Debat harus berorientasi pada penyelesaian masalah (problem
solving-oriented) dari sekadar berorientasi citra (image oriented).
Dalam debat seluruh jargon-jargon besar sloganistik yang elitis seperti selama ini banyak
dikemukakan kandidat sudah harus beralih pada indikator-indikator nyata (real world
indicator). Debat harus mampu menghadirkan, apa dan bagaimana program masing-masing
capres dalam mengurai benang kusut pengelolaan negeri ini lima tahun ke depan. Capres
menjelaskan skema mengurangi masalah (reduce problem) secara terukur dengan dukungan
data atau fakta.
Semakin dangkal rasionalitas pemaparan program dan semakin kabur indikator-indikator
nyata penyelesaian masalah, akan semakin kalah dia dalam perdebatan. Di persoalan
substansial juga terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara kedua pasangan itu.
Prabowo- Hatta lebih menekankan pada konsep-konsep dan program-program besar,
sementara Jokowi- JK lebih menyasar program-program implementatif. Misalnya Prabowo
menyatakan demokrasi membutuhkan pendidikan politik, budaya politik, dalam mewujudkan
demokrasi yang produktif. Meskipun di sesi-sesi tengah debat capres Prabowo-Hatta juga
beberapa kali menyentuh program-program teknis seperti penggunaan teknologi modern
sebagai alat mengontrol pemerintahan, menjamin kualitas hidup pejabat negara untuk
mencegah korupsi, meningkatkan kemampuan manajerial penegak hukum, memperkuat
KPK,dan sebagainya.
Sementara di topik yang sama, Jokowi lebih membawa gagasan soal demokrasi dialogis itu
ke beberapa topik implementasi. Misalnya soal pemerintahan yang bersih dan efektif,
perlunya akuntabilitas sistem melalui teknologi modern seperti e-budgeting, e-performance,
pajak online, IMB online, dan sebagainya. Hanya sedikit Jokowi mengulas tujuan demokrasi
untuk kesejahteraan dengan cara mendengar suara rakyat.
Selebihnya, Jokowi dan JK banyak bicara ihwal mikro seperti pola perekrutan pegawai
berdasarkan sistem promosi dan seleksi terbuka. Sebenarnya keduanya mencoba menawarkan
gagasan makro dan mikro dalam perdebatan. Hanya, porsi elaborasinya yang berbeda.
Porsi bahasan paparan awal Prabowo-Hatta lebih banyak di area gagasan besar, sementara
Jokowi-JK di area gagasan operasional. Secara substansial keduanya memiliki gagasan yang
layak. Hanya, dalam konteks debat capres di negara mana pun, audiens cenderung lebih
mengapresiasi kandidat yang mampu menghadirkan indikator-indikator nyata.
Yang dikelola kandidat dalam debat capres sesungguhnya adalah kesan dan dukungan.
Impresifkah sang kandidat di mata masyarakat? Masih ada empat perdebatan lagi yang akan
menjadi uji publik untuk memastikan program-program apa yang ditawarkan para kandidat
lima tahun ke depan.
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
Presiden Bunga Negara
Koran SINDO
Kamis, 12 Juni 2014
PILIHAN hanya ada dua, yakni pasangan Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK. Apa sih susahnya
memilih satu di antara dua? Mengapa bertele-tele, menguras tenaga, dana dan pikiran?
Bukankah aktivitas memilih telah menjadi kodrat kemerdekaan setiap warga negara?
Kehidupan bernegara di era modern memang kompleks. Begitu banyak entitas terkait dan
berinteraksi satu dengan lainnya. Memilih presiden bukan sekadar urusan individu dan urusan
negara, melainkan juga urusan negara asing.
Memilih presiden bukan sekadar urusan duniawi, melainkan juga urusan ukhrowi. Memilih
presiden bukan sekadar urusan rasionalitas, melainkan juga urusan primordial dan spiritual.
Para agamawan bertutur, ”gunakan hak pilihmu sebaik-baiknya, sesuai hati nurani, sesuai
tuntunan kitab suci dan keteladanan nabimu”.
Apakah nasihat itu mempan menggusur praktik ”money politic”? Pemilu legislatif kemarin,
telah menjawab pertanyaan itu dengan bukti nyata. Apa pun motif memilih, satu hal yang
pasti bahwa presiden terpilih adalah figur yang telah diizinkan Allah. Tanpa izin dan
kehendak-Nya, tiada pernah daun kering jatuh dari pohonnya, dan tiada pernah terpilih
presiden terbaik bagi negeri ini.
Pada era otoriter, boleh jadi seorang presiden berkata ”L”Letat cetat cest moi” (negara
adalah saya). Rakyat pun mengamini perkataan itu. Presiden disanjung, dikultuskan, dan
pantang dikoreksi. Hidup dan mati para pengikutnya digantungkan kepada presidennya.
Begitulah karakteristik lembaga kepresidenan zaman itu. Berbeda halnya di era modern.
Rasionalitas memegang peranan penting. Presiden wajib merespons aspirasi publik (rakyat).
Kepresidenan bukan sekadar lembaga formal, melainkan lembaga publik, secara substansial
wajib peduli, kerja keras dan melakukan aktivitas terencana demi kepentingan rakyat.
Konsep kepresidenan sebagai kepala negara untuk ”nachwakersstaat ” (negara penjaga
malam), sudah tidak berlaku. Ketika kedaulatan negara di bidang politik, di bidang ekonomi,
atas wilayah, atas sumber daya alam, terhegemoni kekuasaan asing, pada saat demikian peran
presiden adalah mengembalikan kedaulatan tersebut.
Sikap politik, keberanian bertindak, wawasan kebangsaan sangat diperlukan. Perjalanan
bangsa di era reformasi menunjukkan bahwa politik praktis di bidang ekonomi ternyata
menciptakan gap cukup lebar antara stratifikasi mayoritas penduduk dibanding sekelompok
pengusaha dan politikus.
Seiring dengan masalah stratifikasi sosial itu, berlanjut ke masalah ketidakadilan sosial antara
pusat dan daerah. Problema otonomi daerah, bukan sekadar karena konsep ”setengah
matang”, melainkan perilaku ego kedaerahan. Ketidakadilan pembagian hasil pengelolaan
sumber daya alam, antara pusat-daerah, antara negeri sendiri dan investor asing, sangat
timpang, sehingga memunculkan konflik-konflik horizontal.
Penyelesaian konflik pun tak kunjung mencerminkan keadilan sosial, sehingga dalam banyak
kasus ”the haves always come ahead”, sementara ”the poor must pay more”. Kebersatuan
dalam bingkai semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”, hanya terpatri di lambang negara, akan
tetapi tidak pernah terimplementasikan dalam kebijakan dan praktik penyelenggaraan negara.
Peran lembaga kepresidenan, semakin dirasakan perlunya untuk mencegah kemerosotan lebih
parah kualitas kehidupan bernegara secara keseluruhan. Diperlukan suatu pemerintahan kuat
di bawah kepemimpinan presiden, yang mampu melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah
darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Upaya terencana melalui national planning dengan pola pembangunan semesta berencana di
era Presiden Soekarno atau melalui garis-garis besar haluan negara di era Presiden Soeharto,
layak diaktualisasikan.
Belajar dari pengalaman negeri Belanda, dulunya bagaikan kapal terapung dan hanya bisa
hidup ketika ditopang pasokan nutrisi dari Nusantara. Kini telah mampu membangun negara
kesejahteraan (welfare state) melalui pembangunan berkelanjutan tahun 1930-1945.
Program-program strategis dilaksanakan secara konsisten, antara lain: (1) melindungi dan
menjamin keselamatan buruh, (2) memberi santunan fakir miskin, orang lanjut usia dan
penderita sakit, (3) menjamin ketersediaan fasilitas umum, pendidikan, kesehatan dan
perumahan, (4) menjamin hak-hak individu di bidang politik, sosial dan budaya.
Keberhasilan mewujudkan welfare state, tak lepas dari peran pemerintah, yakni segala hal
yang dulunya diserahkan swasta dan pasar, kini diambil alih pemerintah sehingga stabilitas
politik dan ekonomi lebih terjamin.
Pada sebuah acara seminar, seorang bupati sengaja dihadirkan untuk membeberkan suka dan
duka dalam memimpin daerahnya. Setelah presentasi, dibuka pertanyaan dari peserta
seminar. Mengapa prestasi bagus daerahnya tidak pernah diekspos ke media agar publik
mengetahui dan bisa belajar dari keberhasilan kabupaten yang dipimpinnya?
Dengan senyum ramah, dijawabnya: ”Kami tidak punya media koran, media televisi ataupun
media radio. Ketika jurnalis kami undang untuk memberitakan prestasi kabupaten, hal
demikian dipandang kurang layak sebagai berita baik. Tampaknya, mereka lebih senang dan
tertarik mewartakan hal-hal yang hina daripada hal yang mulia, misal ketika di kabupaten ada
korupsi, perselingkuhan pejabat, musibah yang menimpa rakyat, dan sejenisnya”.
Benang merah perlu dirajut dari deskripsi realitas, pemikiran dan cerita bupati di atas, bahwa
setiap individu memiliki kemerdekaan dalam memilih apa yang dipandangnya baik atau
buruk. Ketika platform ideologi bangsa, yakni Pancasila, tidak pernah digubris lagi, maka
suka atau tidak suka, realitas kehidupan cenderung liberal, sesat pikir dan sesat arah. Saat
demikian, sulit menemukan manusia yang mampu mengembangkan sifat terpuji, suka
melengkapi kekurangan pihak lain.
Dalam bahasa puitis, ”tatkala hati orang berisi sejuta bunga, tetapi terselip satu sampah, tetap
saja yang dikabarkan sampahnya”. Dalam pengamatan saya, terhadap dua kubu yang kini
tengah ”bertarung” memperebutkan kursi kepresidenan pun, tidak jauh berbeda dengan
makna dari puisi tersebut. Pesan moral: ”Jadikanlah presiden sebagai bunga negara, bukan
sampah”. Wallahu a’lam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
Menjaga Nalar Sehat
Menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014, suasana batin masyarakat
layaknya menunggu pertandingan final sepak bola dunia.
Orang tak sabar menanti. Atau bisa juga suasananya mirip menjelang pertandingan Persib
melawan Persija. Para suporter yang fanatik dan militan semakin seru dan agresif melakukan
psywar menyerang lawan. Sebagai sebuah pertandingan, tentu saja hal itu bagus dan
membuat masyarakat bergairah untuk berpartisipasi memilih calonnya masing-masing,
sehingga angka golput menurun dibanding sebelumnya. Diduga kuat, partisipasi pemilih akan
naik mengingat capres-cawapres yang bertanding seimbang.
Tak ada bintang yang menonjol sehingga masih sulit diramal siapa yang akan muncul sebagai
pemenang. Sejauh ini saya ingin berbagi catatan dari kesan dan pengamatan semasa
kampanye ini. Pertama, keamanan berjalan baik. Ini mesti dijaga sampai presiden dan wakil
presiden terpilih dan dilantik. Terima kasih kepada polisi, masyarakat dan pimpinan partai
politik (parpol) yang memiliki komitmen untuk bersama-sama menjaga keamanan.
Menurunnya persaingan yang keras ini mungkin saja karena semua parpol tak lagi memiliki
perbedaan ideologi yang jelas, sehingga tidak membangkitkan emosi rakyat untuk membela
salah satu pasangan dengan fanatik. Kedua , emosi masyarakat mulai terusik dan terkena
provokasi ketika ada pihak-pihak yang melemparkan isu agama dan etnis ke tengah
masyarakat. Ditambah lagi ketika simbol-simbol dan figur ulama dilibatkan untuk
memberikan dukungan salah satu pasangan. Di sini mesti diingatkan, janganlah
mempermainkan agama yang begitu mulia dan luhur hanya untuk kepentingan politik
partisan dan sesaat.
Umat Kristen dan Islam pernah terlibat perang saudara berdarah-darah dengan memanipulasi
kitab suci untuk memperebutkan kekuasaan politik. Sampai sekarang pun konflik dan perang
di Timur Tengah, penyebab pokoknya adalah perebutan kekuasaan yang kemudian dicarikan
pembenaran dalil-dalil agama.
Ketiga, menurut perkiraan para ahli, sesungguhnya rakyat kita yang paham makna dan tujuan
demokrasi tidak mencapai 20% dari jumlah pemilih. Akibatnya, mereka akan sangat mudah
dipengaruhi oleh iklan di media massa dan tokoh-tokoh masyarakat yang mereka kenal dan
segani, terutama jajaran ulama. Oleh karena itu, masa kampanye ini timses capres-cawapres
sangat sadar bagaimana memainkan peran media massa, kiai, dan pesantren. Dunia pesantren
yang selama ini terpinggirkan, tiba-tiba menjadi pusat gravitasi para capres-cawapres dan
elite parpol untuk berkunjung, sowan, minta berkah, bahkan tidur di pesantren.
Dengan memegang komitmen seorang kiai, lalu dikalikan berapa ribu suara yang akan ikut di
belakangnya. Dalam hal ini mesti diingatkan, silakan kiai dan ulama ikut berpolitik
membangun negara. Tetapi jangan sampai integritasnya terbeli oleh para politisi yang target
akhirnya adalah kekuasaan dan fasilitas negara. Sangat disayangkan jika lembaga pendidikan
yang puluhan tahun dirintis dan dipelihara dengan serbasederhana dan penuh keikhlasan,
hanya dalam hitungan hari hancur oleh manuver politik para capres-cawapres yang
menawarkan imbalan mobil atau uang.
Keempat , yang juga mengesankan bagi saya adalah sikap para suporter, timses dan pengamat
politik yang kadang kala menggeser nalar sehatnya karena emosi pemihakannya pada salah
satu kubu calon yang tak terkontrol. Ibarat suporter sepak bola, kalau mereka itu anak-anak
remaja maka bisa dimaklumi kalau perilaku dan komentarnya emosional, lebay, dan tidak
peduli pada penilaian masyarakat. Tetapi sebagian mereka itu adalah memiliki predikat wakil
rakyat, aktivis intelektual, dan ulama.
Jangan lupa, apa yang mereka kemukakan itu akan menjadi catatan abadi karena direkam
oleh kamera televisi sehingga kapan saja bisa diputar ulang. Karena emosi dan preferensi
politiknya, kadang muncul pernyataan dan analisis politik yang lucu, yang tidak
mencerminkan persepsi dan harapan masyarakat selama ini bahwa dirinya seorang tokoh
panutan masyarakat lintas agama dan politik.
Dengan kata lain, masa-masa kampanye ini muncul perilaku dan wajah teman-teman kita
yang sedikit membuat kaget karena di luar dugaan kita semua. Kata orang tua, ketika terjadi
turbulen yang membuat seseorang merasa terancam atau tidak aman, kita akan mengenal sisi
lain dari diri kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita.
Kelima, selama masa kampanye ini telah berlangsung pendidikan politik yang amat berharga
bagi rakyat semua, meskipun juga sangat melelahkan. Yang saya khawatir, mereka yang
sejak awal hanya siap menang dan untung, namun tidak siap kalah dan rugi. Semua ongkos
politik yang telah dikeluarkan dianggapnya sebagai modal dan saham yang mesti kembali
modal dengan keuntungannya yang berlipat. Kalau ini yang terjadi, demokrasi dan pilpres tak
ubahnya sebagai perjalanan untuk menemukan harta karun berupa jabatan dan kekayaan.
Tetapi kalau saja tidak ada pikiran seperti itu, kita mesti salut dan kagum pada mereka yang
telah mengeluarkan dana, tenaga, emosi dan pikiran yang tidak bisa dihitung lagi besarannya
demi mematangkan demokrasi untuk kesejahteraan rakyat. Triliunan rupiah telah
dibelanjakan dan semoga benar-benar ikhlas andaikan kalah dalam bersaing.
Keenam, sisa-sisa hari ke depan menuju 9 Juli ini kita berharap bangsa ini lolos dan lulus
melewati ujian dan tikungan dalam berpolitik dan bernegara, sehingga akan melahirkan
pemerintahan baru yang mampu memenuhi janji-janji kampanyenya tanpa disertai berbagai
kecurangan dan konflik fisik sesama saudara dan rakyat sendiri. Kalau kita lulus, dan semoga
begitu, maka kelas, martabat dan kepercayaan dunia akan naik pada Indonesia.
Tetapi jika gagal, dunia akan tertawa sinis dan rakyat akan kehilangan kepercayaan pada
parpol, demokrasi dan pemerintahan yang terbentuk akan menanggung beban politis-
psikologis yang berat.
Debat Cherrybelle
Beberapa hari ini debat antara dua pasang capres dan cawapres yang akan bertanding pada 9
Juli 2014 nanti hangat menjadi topik diskusi di keseharian masyarakat Indonesia.
Di warung kopi, pool kendaraan, hingga menjadi trending topic di Twitter dan media sosial
lain. Walau dampaknya bagi para pemilih yang telah menetapkan hati sepertinya tidak terlalu
signifikan, debat memiliki arti penting sebagai salah satu usaha untuk memenangkan hati
swing voter di sisa masa kampanye yang tinggal menghitung hari.
Tanpa mengurangi perayaan atas ekspresi demokrasi baru yang terbangun indah di negara ini,
saya hendak mengajukan otokritik atas debat yang saya sebut sebagai ”Debat Cherrybelle”.
Terminologi ini memperkaya idiom debat yang biasa dipakai antara lain debat kusir, pokrol
bambu, dan sebagainya. Debat Cherrybelle dalam pandangan saya adalah debat yang energik,
cantik, ideal, dan menggairahkan, namun hanya eksis di layar kaca dan panggung-panggung,
tidak dapat dimiliki.
Singkat kata berkutat pada zona-zona ideal, namun tidak memberikan gambaran jelas
mengenai strategi mencapainya, apalagi program untuk membumikannya. Menurut Merriam
Webster Dictionary, debat didefinisikan sebagai ”a discussion between people in which they
express different opinions about something”. Jadi tulang punggung yang secara prinsip harus
ada dalam debat adalah rangkaian argumen yang berbeda terhadap suatu masalah tertentu.
Debat pada 9 Juni lalu agaknya masih jauh dari pemenuhan prinsip ini. Kedua kandidat masih
banyak menawarkan visi atau misi yang sifatnya end goal atau mimpi normatif atas negara
yang tentu saja semua orang akan sependapat dengannya. Barang jualan para kandidat
tentang negara yang menyejahterakan rakyatnya, pemerintahan yang bersih, berdaulat dan
dikagumi di mata dunia, serta pengelolaan aset kekayaan alam demi rakyat pada dasarnya
hanyalah parafrase dari pembukaan UUD 45 yang telah dicetuskan oleh bapak pendiri
bangsa.
Debat seperti ini dapat dianalogikan seperti taruhan bola antara dua orang yang dua-duanya
menjagokan Real Madrid. Di mana serunya? Dalam kerangka manajemen strategik, rencana
jangka panjang perusahaan dibangun melalui organization aspiration atau dream yang
kemudian diturunkan menjadi suatu inisiatif strategik. Di sinilah seninya. Strategi adalah cara
untuk meraih tujuan, di mana terdapat berbagai macam alternatif yang memiliki maslahat dan
konsekuensi masing-masing.
Dalam tataran strategik inilah perdebatan dapat dilakukan dengan lebih berwarna, menguji
kecerdasan berpikir para kandidat dalam membangun argumentasi yang holistik. Selain itu,
inisiatif strategi juga harus dibedakan dari apa yang disebut sebagai operational effectiveness.
Sang filosof manajemen Michael E. Porter dalam salah satu tulisannya di Harvard Business
Review (1996) berpendapat bahwa walaupun keduanya mirip dan dibutuhkan dalam meraih
tujuan jangka panjang, harus dibedakan dengan jelas.
Operational effectiveness adalah cara melakukan sesuatu yang sama dengan kompetitor,
namun dengan cara yang lebih baik. Sedangkan strategi adalah melakukan sesuatu yang
berbeda dari kompetitor. Memang tidaklah salah jika pemimpin menekankan pentingnya
efektivitas operasi dalam pemerintahan dan memang demikianlah salah satu permasalahan
yang ada. Namun, dalam kerangka jangka panjang, orientasi ini tidaklah cukup.
***
Telah lama operational effectiveness dilakukan oleh Jepang dan berhasil mencengangkan
dunia dengan menyaingi produk- produk barat yang telah hadir jauh sebelumnya.
Menggunakan total quality management (TQM), continuous improvement dan benchmarking,
perusahaan manufaktur Jepang dapat menekan biaya melalui turunnya buangan dengan tetap
mempertahankan kualitas dalam rentang toleransi. Kendati demikian, cara-cara efektivitas ini
kemudian menjadi umum dalam industri sehingga terjadi saturasi dan kesetimbangan
persaingan.
Strategi di sisi lain adalah cara berbeda yang dipilih dari sekian alternatif yang ada. Sebagai
contoh, sebuah perusahaan penerbangan dapat memilih strategi biaya rendah atau biaya
premium. Singapura mendeklarasikan dirinya sebagai service country dan membangun
seluruh platform dukung untuk itu, bagaimana dengan Indonesia? Sebagai contoh, seluruh
kandidat menyatakan dengan tegas untuk membangun pemerintahan yang bersih, dengan
sebelumnya mengelaborasi pentingnya pemerintahan yang bersih.
Tentu saja tidak ada seorang pun yang akan membantah pentingnya pemerintahan yang
bersih. Masalahnya di sini bagaimana strategi untuk menjalankannya, dari sekian banyak
elemen pembentuk pemerintahan yang bersih, mana yang akan menjadi prioritas, apa
hambatan potensialnya, dan bagaimana mengatasi hambatan potensial tersebut. Masyarakat
belum dapat melihat jelas dalam debat sebelumnya.
Pada beberapa kesempatan sebenarnya terbuka peluang menarik untuk mendapatkan debat
yang bermutu seperti pandangan Probowo-Hatta tentang perlunya meningkatkan
kesejahteraan aparatur negara untuk menghindari korupsi melawan pandangan Jokowi-JK
yang justru menekankan pada sistem politik berbiaya rendah dan transparansi anggaran
pemerintah.
Jika kedua strategi ini dibedah lebih dalam, akan muncul berbagai macam argumentasi yang
kaya dan mencerdaskan. Dengan demikian, format debat agaknya perlu diubah sehingga
lebih fleksibel dan mampu mengangkat hal seperti ini. Beberapa hal yang bisa diubah antara
lain, pertama, mengenai atmosfer, format debat dibuat lebih rileks dalam studio yang tertutup
sehingga konsentrasi para kandidat tidak terganggu dan dapat fokus pada masalah.
Dengan demikian, efek demam panggung dapat diminimalisasi. Kedua, para kandidat harus
diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan mengkritisi konsep yang dibawa kandidat lain
sehingga dokumen strategi tertulis perlu diberikan dan dipertukarkan sebelum acara. Dengan
demikian, ada kontra argumen yang dapat disajikan dalam acara puncak.
Ketiga, moderator perlu dilengkapi dengan hak untuk memperdalam dan mengadu ketajaman
argumen kedua kandidat. Dengan demikian, flow pembicaraan dapat lebih luwes dan
memberikan ruang lebih luas bagi moderator untuk mencairkan suasana.
Masih ada empat seri debat lagi yang akan diadakan pada 15, 22, 29 Juni dan debat akhir
pada 5 Juli 2014. Kita berharap KPU dapat mengevaluasi dan memperkaya debat berikutnya
sehingga masyarakat dapat terbantu untuk melabuhkan hatinya pada calon pasangan capres
dan cawapres yang benar-benar memiliki wawasan luas dan holistik pada permasalahan
bangsa. ●
WAHYU T SETYOBUDI
Staf Pengajar PPM School of Management
Memperebutkan Suara Kaum Sarungan
Pada 1985 Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi mendeklarasikan diri kembali ke Khitah
1926. Sejak itu NU menarik diri dari segala kegiatan politik praktis dan kembali menjadi
organisasi sosial keagamaan seperti awal berdiri. Hak politik warga NU tetap diberikan,
tetapi tidak boleh mengatasnamakan NU dan tidak boleh membawa bendera NU dalam
politik.
Komunitas NU dikenal sebagai komunitas muslim tradisionalis yang memiliki paham dan
tradisi keagamaan yang berbeda dari kelompok muslim modernis. Komunitas NU sudah
terbiasa mengamalkan tahlil, haul, berzanji, tarekat, dan amalan lain sejenis itu. Dalam
mengamalkan tahlil, haul, berzanji, dan tarekat biasanya komunitas NU memakai sarung.
Itulah sebabnya orang-orang NU diidentifikasi sebagai kaum sarungan.
Jumlah komunitas NU di Tanah Air diperkirakan mencapai 40 juta. Karena itu, setiap kali
diselenggarakan pilkada atau pilpres, kiai-kiai NU, pesantren-pesantren NU, tokoh-tokoh
NU, dan warga NU pada umumnya didekati oleh para caleg dan pasangan capres-cawapres
dengan tujuan untuk mendulang suara mereka.
Dalam Pemilu 2004, PDIP mengusung Megawati Soekarnoputri sebagai capres. Tidak dapat
diragukan, PDIP adalah partai besar dan mempunyai anggota dan simpatisan yang banyak di
seluruh Tanah Air. Nama besar Soekarno menjadi ikon yang menjadi daya pikat dan daya
tarik partai bersimbol kepala banteng moncong putih ini. Dalam upaya untuk meraih suara
yang lebih besar lagi, Mega menggandeng Hasyim Muzadi sebagai cawapres. Saat itu
Hasyim Muzadi masih menjabat (kemudian nonaktif) sebagai ketua umum Tanfidziyah NU.
Langkah tersebut tidak lain merupakan taktik-strategi dari PDIP untuk mengeduk suara
komunitas NU dalam Pilpres 2004 agar Mega-Hasyim keluar sebagai pemenang. Lebih-lebih
yang dihadapi Mega pada waktu adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan
dengan Jusuf Kalla (yang diusung oleh Partai Demokrat). Dipasangnya JK (yang berlatar
belakang kultur NU) sebagai cawapres SBY juga dapat dipahami sebagai taktik-strategi
Partai Demokrat untuk mendulang suara kaum sarungan agar pasangan SBY-JK tampil
sebagai pemenang.
Tokoh penting dan salah seorang pengurus teras PBNU lain yang digaet untuk menjadi
cawapres adalah Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Ia disandingkan dengan Wiranto, capres
yang diusung Partai Golkar. Dari perspektif politik praktis dan pertarungan pilpres 2004,
disandingkannya Gus Sholah dengan Wiranto dapat dibaca sebagai manuver politik Golkar
agar mendapat dukungan suara dari komunitas NU dan pasangan tersebut dapat keluar
sebagai pemenang. Adapun Abdurrahman Wahid (Gus Dur, tokoh NU yang sangat terkenal,
berpengaruh luas, dan mantan ketua umum PBNU), ia diusung sebagai capres oleh Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dan dipasangkan dengan Marwah Daud Ibrahim.
Tokoh-tokoh NU yang diusung sebagai capres atau dipasangkan sebagai cawapres dalam
Pilpres 2004 dapat dibaca sebagai manuver politik agar pasangan itu mendapat dukungan
suara dari komunitas NU. Taktik strategi lain untuk merebut suara komunitas NU adalah
pasangan capres-cawapres melakukan pendekatan dengan kiai-kiai, ulama, dan tokoh- tokoh
NU. Komunitas NU, terutama di kalangan pesantren dan pedesaan, dikenal sebagai
komunitas yang tawadu dan sangat menghormati para kiai, tokoh, dan ulama sebagai idola
dan panutan mereka.
Kaum sarungan ini memiliki dan mempraktikkan budaya paternalistik, terutama di pesantren-
pesantren dan pedesaan. Jika seorang kiai atau seorang alim memutuskan untuk mendukung
partai politik tertentu, para santri dan komunitas NU di sekitar pesantren dan di pedesaan itu
akan mendukung partai politik pilihan kiai mereka.
Para caleg, tim sukses, atau pasangan capres-cawapres sangat memahami kondisi psikologis
dan ikatan emosional-primordialisme ini dan mereka memanfaatkannya dengan cara
melakukan pendekatan yang dikemas dalam bahasa kunjungan silaturahmi. Secara langsung
atau tidak, para caleg atau pasangan capres-cawapres itu mengharapkan dan meminta
dukungan mereka.
***
Ada dua pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2014 sekarang ini. Pasangan dengan nomor
urut satu adalah Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang diusung sebagai capres-cawapres oleh
Gerindra dan mitra koalisinya. Pasangan dengan nomor urut dua adalah Joko Widodo- Jusuf
Kalla (JK) yang diusung sebagai capres-cawapres oleh PDIP dan mitra koalisinya. Seperti
pada pilpres-pilpres sebelumnya, pada Pilpres 2014 ini pasangan capres-cawapres mendekati
dan melakukan silaturahmi politik dengan para tokoh, ulama, dan kiai NU.
JK bersilaturahmi ke KH Hasyim Muzadi (tokoh penting NU, pengasuh Pondok Pesantren
Al-Hikam, dan mantan ketua umum PBNU). Jokowi bersilaturahmi ke KH Salahuddin
Wahid (tokoh terkenal NU, adik Gus Dur, dan pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang).
Prabowo Subianto menghadiri istighasah komunitas NU di suatu pondok pesantren di Jember
(Jawa Timur). Dengan maksud yang tidak berbeda, JK menghadiri pertemuan silaturahmi
dengan tokoh-tokoh dan masyarakat NU di Surabaya yang diorganisasi oleh Muhaimin
Iskandar (ketum PKB).
PKB adalah salah satu partai yang berkoalisi dengan PDIP. Fenomena pelibatan kiai-kiai dan
tokoh NU ini memperlihatkan betapa tumpang tindih kegiatan politik praktis dengan Khitah
NU 1926. Pelibatan NU dan tokoh-tokoh NU dalam kegiatan politik praktis yang diorganisasi
dan dimobilisasi oleh Ketum PKB (Muhaimin Iskandar) adalah tidak sejalan dengan jiwa,
ruh, dan semangat Khitah NU 1926.
Taktik-strategi lain yang dilancarkan Muhaimin Iskandar untuk mendapatkan dukungan suara
komunitas NU ialah dengan cara mengangkat isu bahwa jika Jokowi terpilih sebagai
presiden, menteri agama (menag) dalam kabinetnya akan berasal dari kalangan NU. Tidak
lama kemudian, isu prematur itu ditepis oleh Jokowi dengan mengatakan bahwa dia dan mitra
koalisinya belum sampai pada pembicaraan kriteria menteri dan calon para menterinya.
Dukungan suara komunitas NU di banyak daerah tidak sama. Ada yang mendukung
Prabowo-Hatta dan ada pula yang mendukung Jokowi- JK. Suara para kiai, tokoh, ulama, dan
warga NU terpecah. ●
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Urgensi Debat CalonPresiden
Secara akademik, urgensi debat calon presiden (capres) bisa menjadi alat ukur sejauh mana
sistematika berpikir, kemampuan mengemukakan gagasan, serta kecerdasan dalam
memahami persoalan bangsa. Di dalamnya akan tergambar bagaimana calon presiden
menyikapi, merumuskan, kemudian menemukan solusi secara operasional atas berbagai
masalah bangsa dan negara.
Debat juga bisa berfungsi sebagai sebuah proses formal kontestasi, sehingga publik bisa
menilai bagaimana gestur, keluasan pengetahuan dan pemahaman, serta kualitas
kenegarawanan seorang calon pemimpin. Biar rakyat yang akan menyimpulkan siapa calon
yang bersinergi visi-misi dan program kerjanya dengan kompetensi yang dimiliki, dan apakah
dapat dipercaya untuk melaksanakan semua yang dijanjikan.
Debat pertama capres-cawapres telah terlaksana dengan cukup baik, meski tentu masih
terdapat kelemahan, terutama pada konsep dan gagasan yang disampaikan masih belum
operasional. Dari sisi tontonan memang cukup menarik, sebab kita disuguhi tampilan yang
amat menarik dari dua pasangan, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf
Kalla (Jokowi-JK). Malah, banyak kelompok masyarakat yang melakukan nonton bareng
seperti saat menonton siaran langsung sepak bola.
Personalitas setiap pasangan calon memang cukup menjanjikan. Apalagi, keduanya juga
punya pesona kepribadian dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Dari situlah publik
dituntun pada bagaimana memilih pemimpin yang memiliki pesona kepribadian dan
kepemimpinan yang andal, sebab kemampuan berdiplomasi dalam menyampaikan apa yang
akan dikerjakan setelah terpilih, setidaknya akan menentukan poin penilaian publik.
Pemikiran Dua Kubu
Yang menarik didiskusikan adalah pada pemikiran yang masih tendensius dan cenderung
retorik. Padahal, temanya cukup menarik tentang ”Pembangunan demokrasi, pemerintahan
yang bersih, dan kepastian hukum”, yang setidaknya mengantar kita pada pemikiran dua
kutub. Pertama, ada yang menggaungkan konsep lantarannya dianggap debat calon presiden
yang memang harus menjual gagasan dan konsep. Apalagi presiden adalah pengambil
kebijakan, bukan pelaksana teknis. Visi-misi diurai secara normatif tetapi meski masih
miskin implementasi, padahal sangat penting diketahui publik.
Sejauh mana visi-misi dan program kerja bisa dilaksanakan, serta metode apa yang dipakai
untuk merealisasikannya justru masih kabur. Tidak diurai secara maksimal agar rakyat
pemilih bisa diyakinkan.
Kedua, visi-misi dan program kerja dielaborasi dengan implementasi operasional berdasarkan
contoh-contoh tindakan yang pernah dilakukan. Pasalnya, konsep dan gagasan dianggapnya
sudah ada dalam visi-misi dan program kerja sehingga harus diurai secara operasional.
Mereka menjual implementasi secara aplikatif dengan harapan, biar rakyat yang memilah dan
memilih pada kepentingan apa yang ingin diperoleh dari kedua pasangan calon presiden.
Apalagi, debat bagi calon pemimpin telah menjadi keniscayaan dalam mencapai substansi
demokrasi. Di sinilah ajang bagi publik yang secara terbuka akan mengakses performa calon
pemimpinnya. Misalnya ada yang menampilkan kepemimpinan yang ”tegas dan cerdas”.
Sementara di sisi lain juga menjual desain kepemimpinan yang ”jujur dan merakyat”.
Sekiranya kedua komponen itu disatukan, diyakini setiap permasalahan bangsa akan
terselesaikan lebih cepat. Tentu disadari, tidak selamanya kemampuan retorika di atas
panggung bagi seorang pemimpin akan berbanding lurus dengan kualitas kepemimpinannya.
Dibutuhkan ketegasan dan kecerdasan memetakan permasalahan, termasuk pada kemampuan
mengeksekusi permasalahan yang dibutuhkan rakyat. Tetapi itu belum cukup, harus dibarengi
pula dengan keberanian dan kecepatan mengambil keputusan.
Visi Antikorupsi
Saat deklarasi kampanye berintegritas, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Bambang Widjojanto menilai, bahwa magnitudo tantangan pemberantasan korupsi belum
sepenuhnya dielaborasi dan dirumuskan secara utuh dan paripurna dalam visi-misi dua
pasangan calon (Suara Merdeka, 9/6/2014). Maka itu, KPK membagikan buku kepada
pasangan capres yang berisi pola pemberantasan korupsi yang komprehensif. Dalam debat
kemarin, visi antikorupsi belum tergambar dengan baik, padahal negeri ini butuh determinasi
yang progresif. Harapan ini bukan tanpa makna, sebab tingkat kedaruratan korupsi di negeri
ini tidak cukup hanya ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Jikapun KPK telah menunjukkan kinerja yang menjanjikan untuk perbaikan ke depan, tetap
saja bermunculan koruptor baru dari petinggi negara. Perlu elaborasi visi-misi capres,
terutama pada upaya ”pencegahan”. Misalnya, bagaimana memperbaiki sistem hukum yang
menurut Lawrence M Friedman terdiri atas substansi hukum atau isi peraturan hukum,
struktur hukum atau pelaksana hukum dan pembentuk hukum, serta budaya hukum
masyarakat. Tetapi dari ketiga komponen sistem hukum itu, yang paling bobrok adalah
struktur hukum kita.Kita belum menemukan bagaimana kedua pasangan capres memperbaiki
struktur hukum berupa pembinaan moral dan meningkatkan profesionalitas aparat hukum dan
pembentuk undang-undang.
Ketiga komponen sistem hukum itu harus bersinergi dan tidak boleh salah satunya pincang
karena dipastikan akan memengaruhi kualitas pemenuhan rasa keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum bagi masyarakat. Masih adanya upaya pelemahan KPK secara sistematis,
baik melalui pembentukan opini publik, maupun cara yang lebih berbahaya dengan
menggunakan proses legislasi di DPR, juga harus jadi atensi. Sebab Rancangan KUH Pidana
dan Rancangan KUHAP yang saat ini di DPR dan di dalamnya terdapat pasal-pasal
pelemahan KPK, seharusnya dijadikan fokus untuk memperkuat KPK.
Capres harus berani menyatakan akan mengevaluasi semua pasal yang mengancam
kewenangan KPK, bahkan meminta kepada koalisi partai pendukungnya untuk menunda
pembahasan kedua RUU itu di DPR sebelum pasal-pasal yang melemahkan KPK dihapus.
KPK harus diperkuat dan dijaga integritas dan kewenangannya, sebagai langkah konkret dari
keterusikan zona nyaman publik atas perilaku koruptor.
MARWAN MAS
Guru BesarIlmu Hukum Universitas 45, Makassar
Pesan Antikorupsi kepada Presiden 2014
Koran SINDO
Senin, 16 Juni 2014
KEGIGIHAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membongkar kasus-kasus
korupsi signifikan yang melibatkan penyelenggara negara setingkat menteri telah menambah
daftar menteri, dirjen, dan kepala daerah korup sepanjang tahun 2013–2014.
Dari banyak kasus korupsi yang telah ditangani KPK dan kejaksaan, terbukti bahwa bidang
perizinan dan pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan tempat subur dan potensial
penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara. Korupsi terjadi mulai dari hulu
(perencanaan program) sampai dengan hilir (pelaksanaan program) dengan nilai kerugian
negara mencapai triliunan rupiah.
Maka pantas jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia telah terjadi sistemik dan meluas
serta telah menghambat tujuan pembangunan nasional khususnya target pencapaian
kesejahteraan manusia dan pembangunan infrastruktur. Kerugian negara yang bersifat masif
melalui mafia proyek dan dikuatkan dengan kolaborasi penyelenggara negara yang tidak
amanah dan bertanggung jawab sekalipun telah dicokok KPK dan Kejaksaan, tetap saja tidak
bergeming karena masih kuat anggapan semua bisa dibeli dengan uang.
Beperkara sekalipun, terutama dalam lingkup penyidikan dan penuntutan, bahkan pada
tingkat pemeriksaan perkara di pengadilan, masih dipandang rentan suap dan gratifikasi
sehingga mengurangi efek jera yang signifikan untuk mereda atau menghentikan syahwat
duniawi aparatur penyelenggara negara.
Kondisi parah integritas penyelenggara negara harus dijadikan momentum presiden terpilih
2014 untuk segera menyusun strategi pemutarbalikan mindset dan sikap mental kinerja
aparatur penyelenggara negara termasuk aparatur penegak hukum secara berencana,
berkesinambungan dan konsisten. Perubahan strategi antikorupsi berbasis tujuan retributif-
represif harus diimbangi dengan tujuan berbasis restoratif-preemptif dan preventif.
Jika selama ini pemenjaraan dijadikan ikon sukses penegakan hukum maka kini dan sejak
2014 ikon ke depan adalah pemulihan kerugian negara oleh pelaku dan ganti rugi kepada
korban, baik perorangan, kelompok maupun korporasi. Strategi ini harus dijadikan pilihan
alternatif yang diharapkan dapat memulihkan situasi sosial ekonomi Indonesia secara utuh.
Perubahan strategi ini merupakan pilihan yang telah berhasil juga diterapkan di negara-
negara maju.
Namun dengan catatan bahwa untuk Indonesia, alternatif strategi tersebut harus dilaksanakan
berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas serta perubahan mindset dan sikap
pelaksananya khususnya petinggi hukum termasuk petugas Polri, jaksa, dan hakim.
Sebagai contoh, jika biaya perkara korupsi di Kejaksaan Agung atau di KPK sekitar Rp100
juta, tentu arah dan sasarannya harus perkara korupsi dengan nilai di atas Rp 100 juta
sehingga penanganan perkara korupsi dapat memberikan nilai tambah bagi keuangan negara;
tidak sebaliknya.
Dalam konteks ini, efek jera bukan satu-satunya solusi keberhasilan penanganan korupsi,
melainkan agar negara tidak dirugikan dua kali dalam perkara yang sama; kerugian pertama,
akibat perbuatan pelaku, dan kerugian kedua, karena uang yang dapat dikembalikan kepada
negara justru jauh lebih rendah dari biaya perkara yang disediakan dalam APBN.
Bagi kaum retribusionis, tentu gagasan strategi ini tidak sesuai dengan filosofi dan misinya.
Akan tetapi karakter pidana abad pertengahan tersebut seharusnya disesuaikan dengan
perubahan karakter pidana abad ke-20 dan ke-21 memasuki gelombang ekonomi
internasional.
Selain pertimbangan tersebut, karakter mental bangsa Indonesia sangat dipengaruhi juga
secara tradisional oleh gaya hidup dan perilaku pemimpinnya baik tingkat kabupaten/kota
maupun tingkat provinsi dan tingkat nasional termasuk seluruh petinggi K/L dan penegakan
hukum.
Lihat saja bagaimana pemimpin Singapura dapat mengubah sikap perilaku rakyatnya yang
awalnya tidak menghargai kebersihan dan kejujuran kini tampak berhasil membalikkan
keadaan sosial tersebut karena gaya hidup dan perilaku pemimpinnya. Begitu pula Hong
Kong dan Selandia Baru atau Skandinavia.
Perubahan strategi antikorupsi yang saya usulkan berhasil/tidaknya dapat dipengaruhi politik
perdagangan Indonesia ke depan yang seharusnya membatasi impor barang-barang mewah
secara selektif dan terkendali. Khusus barang-barang mewah adalah yang dapat mengubah
sikap mental konsumerisme kepada hidup hemat dan produktif. Antara lain dengan cara
meningkatkan kreativitas pengusaha pribumi dengan produk lokalnya dan berkualitas ekspor
yang dapat memberikan kontribusi devisa negara dibandingkan dengan menghabiskan devisa
untuk membayar hutang luar negeri.
Perubahan lain yang bersifat strategis adalah melakukan kajian perundang-undangan khusus
berkaitan dengan pemberantasan korupsi untuk mencapai tujuan hukum berbasis kepastian
hukum yang berkeadilan yang dilaksanakan dengan hati-hati, objektif, lugas dan tuntas, dan
sejauh mungkin tidak menyisakan celah multitafsir di kalangan pelaksananya.
Semua perundang-undangan pidana administratif harus dirumuskan dengan tetap
mengedepankan sanksi administratif dan hukuman terberat hanya hukuman kurungan dan
denda saja. Untuk perundang-undangan pidana khusus (lex specialis) harus ditetapkan
standar minimum khusus sesuai dengan pedoman dalam UNTOC 2000 dan maksimum
pidana penjara 20 tahun dan pidana denda yang tinggi khusus terhadap korporasi dilengkapi
dengan pidana tambahan (pencabutan izin usaha dan penyitaan) serta dihapuskannya pidana
mati sesuai dengan ICCPR.
Perubahan strategi di atas harus diselesaikan dalam waktu paling singkat 6 bulan dan paling
lama 1 tahun sejak pembentukan kabinet pemerintahan 2014.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Harapan atau Hiburan?
Kamis, 19Juni 2014
PENGUNJUNG transisi menuju demokrasi adalah situasi yang khas: ekspektasi akan hidup
yang lebih baik kian membuncah tapi pada saat yang sama energi dan euforia –bahkan
kesabaran– sudah menyurut.
Fase pungkas transisi, yaitu konsolidasi demokrasi, adalah jalan sepi yang ditempuh dengan
ketekunan, bukan panggung ingar-bingar penuh deklamasi. Dalam tahap ini diperlukan
pemimpin yang mampu menggerakkan sekaligus mendorong rakyat, agar mau melangkah
lagi agar tujuan transisi, yaitu demokrasi yang sejati dapat tercapai. Itulah yang kini terjadi di
Indonesia. Pemilu demokratis sudah tiga kali kita lewati dan kini kita tengah melaksanakan
pemilu demokratis keempat dengan ekosistem politik yang jauh lebih stabil.
Kita telah berusaha merumuskan arah yang ingin dituju agar transisi ini tidak menjadi jalan
berputar atau –malah lebih parah– berputar-putar tanpa arah. Tantangan itulah yang coba
dijawab dalam Sidang Umum MPR dan proses amendemen UUD 1945 pasca-Reformasi.
Kita berusaha untuk menulis kembali cetak biru dan mempertegas alasan kehadiran (raison
d'etre) Negara Kesatuan Republik Indonesia bagi semua warga bangsa yang berlindung
dalam naungannya.
Dalam perjalanannya, cetak biru itu harus berdialektika dengan realitas dan ekspektasi yang
terus berubah. Kini kita harus menjaga stamina agar negara dan warganya tidak kehabisan
tenaga untuk menuntaskan transisi demokrasi karena janji perbaikan hidup sebagian belum
terwujud.
Karena itu, kita harus bekerja bersama menuntaskan transisi demokrasi dan menghindarkan
Indonesia dari jebakan transisi berkepanjangan (prolonged transition), di mana nilai dan
sistem lama telah dihancurkan namun nilai dan sistem baru belum terbangun, atau belum
mampu menghasilkan kehidupan lebih baik sebagaimana yang dijanjikan.
Jebakan transisi berkepanjangan ini membutuhkan pemimpin yang mampu memecah
kebuntuan situasi sekaligus menjaga api harapan tetap menyala untuk mencapai garis tujuan.
Demokrasi “Media-Sentris”
Kita tengah berada di era “demokrasi melalui media” di mana media memegang peran
penting dalam mentransmisikan pesan ke dan dari masyarakat. Media telah menghablurkan
batas antara realitas yang kita alami sendiri dan realitas yang kita serap dari media. Hari ini
orang yang tidak tinggal di Jakarta bisa bercerita tentang macetnya Jakarta akibat
pengetahuan yang diserapnya dari media.
Ini juga yang mempengaruhi ruang politik kita. Media berperan sangat penting karena media
tidak semata mempresentasi realitas, tetapi merepresentasi (mewakilkan hadirnya) realitas ke
depan khalayak. Menurut ahli kajian media David Buckingham (2010), media tidaklah
menawarkan jendela bening tembus pandang untuk melihat “dunia", namun menghadirkan
sebuah “dunia” dalam versi yang telah dimediasi.
Media bukan menyediakan kacamata atau teropong, tapi menghadirkan akuarium sehingga
kita beranggapan bahwa akuarium itulah keseluruhan dunia ini. Yang terserak di luar
akuarium dianggap tidak penting dan bermakna. Logika media (terutama televisi/tv) adalah
“menonton dan ditonton” dengan dikotomi peran pasif-aktif yang semakin kabur, terutama
dalam konteks pemilihan umum.
Penonton yang selama ini dinilai pasif dan tidak berdaya, dalam politik menjadi berdaya
karena dialah pemilik suara yang diperebutkan. Sementara, para tokoh politik yang
diimajikan berkuasa, sebenarnya sedang memainkan pertunjukan yang naskahnya didiktekan
oleh massa rakyat melalui survei opini publik. Dalam situasi “media-sentris" seperti ini,
sangat mudah orang terjebak untuk menjadi penghibur bagi penonton.
Tokoh-tokoh politik menyajikan tontonan yang menyenangkan hati penontonnya, melalui
suatu pertunjukan buatan. Apa yang dipertontonkan belakangan ini tentu berbeda makna dan
motivasinya dengan, misalnya, kebiasaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX keliling
Yogyakarta pada malam hingga subuh. Pada suatu kesempatan beliau memberi tumpangan
kepada seorang mbok pasar.
Ketika sampai di pasar, orang-orang memberi tahu mbok bahwa yang memberinya
tumpangan adalah Ngarsa Dalem. Langsung mbok itu pingsan! Tidak ada media yang
meliput, tapi cerita itu hidup sampai sekarang. Cerita yang otentik, nyata, bukan pertunjukan.
Masyarakat umum mengetahuinya belasan tahun kemudian melalui buku Takhta Untuk
Rakyat.
Karena dikendalikan dengan logika hiburan, bukan otentisitas, tokoh politik terjebak untuk
menyederhanakan masalah dan cara penyelesaian masalah. Ini tak terelakkan karena dalam
demokrasi media-sentris, durasi, jam tayang, prime time, sound byte menjadi indikator utama.
Pesan pemimpin dikemas mirip iklan yang renyah dan berdimensi tunggal agar mudah
diingat tanpa elaborasi yang mendalam.
Gagasan Pemimpin
Di tengah arus media-sentris itu, kita kekurangan kesempatan menelaah gagasan pemimpin
secara mendalam. Ruang-ruang publik yang didominasi logika media dan budaya instan
berpotensi melahirkan figur pemimpin penghibur yang membuat kita tertawa sejenak
meskipun masalah tetap menggunung.
Pemimpin penghibur tidak mengajak penontonnya berkerut kening karena yang ditawarkan
adalah keceriaan sesaat dan tanpa memikirkan bagaimana besok atau lusa. Pemimpin
penghibur tidak menawarkan masa depan karena yang penting baginya adalah hari ini.
Pemimpin penghibur juga kerap khawatir penontonnya berpaling mencari tontonan lain yang
lebih menghibur.
Mirip logika rating dalam industri sinetron. Indonesia tidak membutuhkan pemimpin
penghibur atau pemimpin sinetron. Kita sudah melewati sejumlah krisis dan kini tengah
bersiap untuk naik kelas dari negara skala menengah menjadi negara kuat dalam ukuran
ekonomi dan pengaruh geopolitik.
Kondisi itu akan tercapai jika kita berhasil menuntaskan transisi demokrasi dan menghasilkan
negara bangsa yang kuat dan demokratis. Yang dibutuhkan adalah pemimpin penyala
harapan, bukan penyaji hiburan, bahwa hari esok yang lebih baik akan datang jika kita mau
bekerja keras, bukan dengan tertawa-tawa sejenak.
Peran penting pemimpin adalah menciptakan “state of mind” atau situasi psikologis di dalam
masyarakatnya dengan cara melahirkan dan mengartikulasikan tujuan yang menggerakkan
orang dari kepentingan mereka sendiri menuju kepentingan bersama yang lebih tinggi. (JW
Gardner, 1988). Kita membutuhkan lebih banyak ruang lagi untuk mendengarkan gagasan
pemimpin untuk mendapat harapan, bukan hiburan.
ANIS MATTA
Presiden Partai Keadilan Sejahtera
KPK Wajib Membayar Kerugian Rp100 Juta
Majelis hakim agung Tata Usaha Negara RI memutuskan KPK terbukti menyalahgunakan
wewenang dalam menyita harta kekayaan mantan hakim terpidana Syarifudin.
Ketika membaca berita itu seketika saya terhenyak karena serasa mustahil KPK yang terdiri
atas manusia terpilih dan berintegritas serta profesional, tiba-tiba terbukti telah bertindak
melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan. Bak pepatah tiada gading yang tak
retak dan pengakuan bahwa manusia selalu tidak luput dari kekeliruan atau kesalahan, itu
merupakan penghibur kekecewaan kita terhadap kinerja pimpinan KPK terkait putusan
majelis hakim agung dalam perkara TUN ini.
Namun, bagi KPK sebagai lembaga ”superbody” dan memiliki kewenangan luar biasa–antara
lain dapat bertindak sendiri tanpa izin (pengawasan) pengadilan– putusan kasasi dalam
perkara TUN tidak dapat diremehkan dan dianggap sepele. Apalagi, menilai putusan tersebut
ditengarai keliru atau dikriminalisasi ”miscarriage of justice”; justru sebaliknya harus
dijadikan bahan introspeksi bagi kelima pimpinan KPK dan bahan evaluasi atas kinerja
bawahan mereka: deputi dan direktur.
Jika perlu dibentuk majelis kode etik dan perilaku oleh kelima pimpinan KPK, sekalipun
setiap langkah dan pengambilan keputusan dalam lingkup tugas dan wewenang KPK selalu
harus memperoleh persetujuan kelima pimpinan KPK.
Tidak ada keengganan bagi kelima pimpinan KPK sesuai dengan UU KPK yang mewajibkan
untuk secara terbuka (transparan) mempertanggungjawabkan kepada publik, dan mengakui
telah terjadi kekeliruan dalam menetapkan kebijakan, termasuk tindakan perampasan harta
kekayaan terdakwa mantan hakim Syarifudin. Apalagi putusan kasasi dalam perkara ini tidak
menghalangi eksekusi sekalipun pimpinan KPK memutuskan untuk mengajukan PK.
***
Konsekuensi hukum putusan kasasi dalam perkara TUN ini memaksa KPK melaksanakan
eksekusi. Pertanyaannya, siapa yang harus melaksanakan eksekusi, jaksa pada KPK?
Persoalan kedua, jika putusan kasasi harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang tanpa
peduli akan pengajuan upaya hukum PK; uang dari mana yang harus dikeluarkan KPK
karena tidak ada pos khusus anggaran belanja KPK untuk membayar denda atau ganti rugi.
Apakah kelima pimpinan KPK harus tanggung renteng berdasarkan asas kolektif kolegial
dengan mengeluarkan dari kocek masing-masing sebesar Rp20 juta? Kekecewaan saya dalam
konteks putusan MA tersebut karena peristiwa ini pertama kalinya terjadi dalam sejarah
perjalanan KPK sejak didirikan pada 2003.
Hal kedua yang menarik untuk disampaikan kepada publik ialah siapa eksekutor putusan MA
tersebut karena KPK tidak memiliki jaksa/penuntut bidang tata usaha negara, kecuali
kejaksaan agung, akan tetapi apakah dimungkinkan jaksa TUN melakukan eksekusi untuk
kepentingan perorangan (terpidana)? Jaksa KPK hanya berwenang antara lain melaksanakan
eksekusi atas putusan dalam perkara pidana.
Namun, hukum adalah hukum dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (putusan kasasi tidak menunda eksekusi) serta siapa pun atau setiap lembaga
negara, termasuk KPK, wajib tunduk dan mematuhi putusan pengadilan.
Ke depan, kelima pimpinan KPK harus sangat berhati-hati menggeledah dan menyita harta
kekayaan seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang
karena integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas lembaga ini menjadi taruhannya di
hadapan 250 juta rakyat Indonesia; dan itulah yang selalu saya ingatkan kepada KPK melalui
berbagai tulisan saya.
***
Prinsip perlakuan hukum yang sama di muka hukum (equality before the law), termasuk bagi
setiap lembaga penegak hukum, termasuk KPK, tetap harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam
konteks ini saya dapat katakan bahwa prinsip ”zero tolerance against abuse of power” sama
pentingnya dengan prinsip ”zero tolerance against corruption”.
Karena harkat dan martabat kelima pimpinan KPK sama penting kedudukannya dengan
pengakuan atas harkat dan martabat seseorang sekalipun terpidana sebagai manusia sesama
makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pengetahuan saya, gugatan terhadap KPK juga pernah terjadi dalam putusan
pengadilan yang telah merampas harta kekayaan mereka yang diduga turut serta melakukan
tindak pidana korupsi dan didakwa bersama pelaku (dader) tetapi terhadap mereka yang turut
serta tidak pernah dijadikan tersangka (tanpa sprindik– surat perintah penyidikan), apalagi
dilimpahkan kepada pengadilan sebagai terdakwa.
Peristiwa ini kemudian dipandang sebagai perampasan tanpa dasar hukum yang berlaku
sekalipun perintah majelis pengadilan atau telah terjadi perampasan atas hak atas harta
kekayaan secara sewenang-wenang atau miscarriage of justice yang dilakukan pengadilan
yang merujuk kepada tindakan penyitaan yang telah dilakukan KPK.
Menurut hemat saya, pimpinan KPK wajib mengambil langkah-langkah eksaminasi bersama
meneliti kembali semua prosedur dan langkah hukum yang telah dilaksanakan dalam
beberapa perkara korupsi lampau. Lalu pimpinan KPK segera menerbitkan SOP baru untuk
mencegah peristiwa ini terjadi kembali.
Langkah ini penting karena KPK telah menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia dalam
pemberantasan korupsi, bukan pada output semata-mata, melainkan juga harus dibenarkan
dari sisi prosedur. Dunia hukum dan dalam praktik diharamkan bekerja atas dasar tujuan
menghalalkan cara, kecuali bagi dunia ilmu ekonomi.
Karena disiplin hukum selalu bekerja di atas landasan ”value oriented” bukan ”mechanistic
oriented”. Karena objek perbuatan yang dilarang dalam hukum ditujukan terhadap manusia
sesama subjek hukum dalam kehidupan masyarakat, bukan manusia sebagai objek
(perlakuan) hukum. ●
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Pilpres
Koran SINDO
Senin, 23 Juni 2014
TIADA terasa sekitar satu setengah tahun lagi penduduk di kawasan Asia Tenggara akan
memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Bila tidak ada perubahan lagi, MEA
akan efektif 1 Januari 2016. Namun hingga kini tidak terlihat jelas bagaimana Indonesia
secara khusus mempersiapkan diri.
Hal yang terlihat jelas justru ketiadaan inisiatif pemerintah secara sistematis menghadapinya
demikian pula masyarakat. Geliat semangat menyongsong MEA secara hakiki itu tidak hadir
dalam keseharian bangsa Indonesia. Sepertinya tidak ada yang berubah ada atau tidak MEA
2015.
Bila demikian, apakah menjadi sebuah masyarakat ASEAN itu relevan dan penting bagi
negara di Asia Tenggara dan negara lain di kawasan yang lain? Pertanyaan retoris itu
semestinya tidak membuat kita terlena menjadikannya tanpa makna.
Sebagai sebuah proses menjadi suatu kesatuan di kawasan, regionalisme yang didorong
negara (state-led process) ini sudah separuh jalan. Negara yang begitu banyak urusannya
memenuhi kebutuhan penduduknya secara domestik dengan berdiplomasi di luar negeri
sepertinya sudah kewalahan.
Akibatnya, bisa dimengerti bahwa menjadi MEA seperti apa, langkah apa yang harus
dilakukan hingga menyampaikan apa yang sudah dikerjakan kepada seluruh pemangku
kepentingan pun kurang efektif. Lalu apa yang harus dilakukan agar tidak sekadar sumpah
serapah yang keluar dari para pemangku kepentingan yang tiada guna.
Regionalisasi
Dalam khasanah literatur hubungan internasional dikenal istilah regionalisme dan
regionalisasi dalam integrasi kawasan. Secara sederhana beda antara keduanya terletak pada
siapa yang menjadi inisiator dan fasilitator proses integrasi tersebut.
Regionalisme didorong negara (state-led process), sedangkan regionalisasi didorong oleh
aktor non-negara (nonstate- led process). Ketika negara terlalu ”sibuk” dengan berbagai
urusan sehingga kehadirannya kala dibutuhkan tidak terasa, inisiatif dari swasta (perusahaan),
akademia, pers, lembaga sosial kemasyarakatan maupun nirlaba hingga individu menjadi
penting.
Caranya dengan melakukan sesuatu dalam kapasitas masing-masing dengan bentuk aktibitas,
cakupan, dan kedalaman program yang bisa dilakukan. Aktivitas mendasar yang bisa
mengawali adalah dengan mencari tahu dan menjelaskan kepada khalayak di sekitar kita
tentang hakikat MEA dan dampaknya.
Institusi resmi seperti Sekretariat ASEAN, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dapat dijadikan
rujukan awal. Paling tidak mereka memiliki dokumen-dokumen resmi standar atau dasar
tentang ASEAN dan komunitas ASEAN yang otoritatif.
Namun kadang bentuknya kaku, kurang menarik, dan monoton. Akibatnya esensi pesan
kurang dapat tersampaikan dengan baik. Selain itu, dengan materi standar, sedangkan
spektrum masyarakat yang dituju sangat beragam, menjadi semakin sulit menyampaikan
pesan secara tepat.
Untuk itu, perlu media yang tepat dan cara komunikasi yang efektif kepada berbagai lapisan
masyarakat dengan berbagai latar belakangnya. Kemajuan teknologi dapat memfasilitasi ini.
Pertanyaan lain, bagaimana kita memaknai pilpres yang strategis ini dengan kesiapan
Indonesia menghadapi MEA?
Pilpres
Saat ini bangsa Indonesia sedang bereuforia dalam pesta demokrasi memilih presiden untuk
masa lima tahun ke depan. Momen ini sangat krusial. Kita bersama sembilan negara ASEAN
akan menyongsong MEA 2015. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden akan menorehkan
sejarah membawa Indonesia berkontribusi bahkan siap memimpin ASEAN. Bila dipelajari
dari visi misi dua capres, masih terlihat minim perhatian pada kebijakan luar negeri. Apalagi
yang secara spesifik membahas ASEAN.
Dalam membedahnya dapat kita lihat dari dua hal. Pertama, platform kebijakan luar negeri
mereka. Pasangan Jokowi-JK menginginkan Indonesia menjadi kekuatan menengah (middle
power) dan memegang kendali sebagai kekuatan regional yang disegani. Adapun platform
pasangan Prabowo-Hatta adalah fokus pada kebijakan luar negeri bebas aktif.
Kedua , kebijakan luar negeri tidak bisa dipisahkan dari faktor idiosinkrasi presiden. Faktor
ini diartikan sebagai berbagai atribut personal yang melekat pada diri pribadi presiden.
Contohnya karakter, cara berpikir, kebiasaan, budaya, kepercayaan, dan nilai-nilai yang
diyakini serta sifat-sifat pribadi lainnya sebagai manusia.
Bila dibandingkan, kedua capres memiliki perbedaan yang mendasar dilihat dari sisi yang
diperlihatkan di depan publik dan sisi yang sebenarnya. Capres Prabowo berusaha
memunculkan citra sebagai macan Asia yang tegas, asertif, disegani. Ia muncul sebagai
antitesis atas kepemimpinan Presiden SBY yang relatif lebih tenang, kalem, hati-hati,
cenderung tidak decisive sehingga jauh sekali dari karakteristik seorang yang memiliki latar
belakang militer.
Adapun capres Jokowi menampilkan gaya yang apa adanya, sederhana, dan berusaha
menampilkan bahwa dirinya memiliki atau merepresentasikan rakyat yang sebenarnya di
tingkat akar rumput. Bukan figur superhero dan orang yang sempurna. Walau demikian, ia
memperlihatkan sosok yang mampu bekerja konkret dengan hasil yang jelas.
Dengan faktor idiosinkrasi dari kedua capres, keduanya memiliki tantangan yang sama untuk
”memimpin” negara-negara ASEAN. Kepemimpinan yang mampu memberikan contoh-
contoh kerja konkret di dalam negeri akan semakin disegani di luar negeri. Bukan
kepemimpinan yang memunculkan rasa kekhawatiran dan mengancam negara-negara lain di
kawasan ini. Ingat, di kawasan Asia Tenggara berlaku ASEAN Way yang suka atau tidak
masih tetap berlaku.
TIRTA N MURSITAMA, PHD
Ketua Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta; Plt Ketua
Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII)
GBHN dalam Perspektif Social Order
Koran SINDO
Rabu, 25 Juni 2014
WACANA formulasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali digulirkan melalui
seminar nasional, diselenggarakan sebuah universitas di Jakarta beberapa waktu kemarin.
Saya diundang sebagai salah satu pembicara.
Beberapa pemikiran pernah saya sampai pada acara serupa di Yogyakarta tahun 2012. Saya
berharap wacana ini tidak berhenti sebagai wacana belaka, tetapi ditindaklanjuti oleh rezim
pemerintahan baru hasil Pilpres 2014. Pada dimensi politik, pro dan kontra tentang wacana
reformulasi GBHN sudah lumrah. Masing-masing mengklaim benar sesuai logika politiknya.
Kebenaran pernyataan politik umumnya tergantung besar-kecil atau kuat-lemahnya kekuatan
politik.
Kalau perspektif politik dibiarkan mendominasi aktivitas pemerintahan dan menggeser
perspektif lain, sangat dikhawatirkan kelangsungan kehidupan bernegara menjadi tidak sehat,
dan tercapainya tujuan bernegara pun, terganggu. Oleh karena itu, sumbangan pemikiran dari
perspektif social order, penting dihadirkan, agar nantinya GBHN memiliki legitimitas dan
legalitas.
GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai
pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh lembaga
tertinggi negara, sebagai representasi seluruh rakyat.
Penjabarannya, dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Definisi itu
perlu disepakati, sebagai titik tolak menyamakan persepsi, agar pembicaraan mengenai
GBHN tidak simpang siur. Dalam perspektif social order, GBHN merupakan ”pernyataan
kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu”.
Di dalamnya ada filsafat keterkaitan sistemik antara GBHN dengan basis sosialnya. Artinya,
perencanaan kehidupan masa depan bangsa, wajib memperhatikan aspirasi rakyat dan
dinamika sosial. GBHN merupakan sarana memanusiakan (nguwongke) rakyat Indonesia
dalam rangka pertanggungjawaban sosial penyelenggaraan negara.
Oleh karena itu dibutuhkan analisis sosial, agar aspirasi dan dinamika sosial terakomodasi
dengan baik. Terkait dengan dinamika sosial, GBHN cukup memuat sari pati substansi ide-
ide segenap komponen bangsa dalam garis-garis besarnya saja, agar pemikiran dan aspirasi
rakyat yang terus berkembang dapat diakomodasi dengan mudah.
Dalam terminologi sistem hukum (Friedman, 2009), substansi hukum (GBHN) perlu
dipadukan dengan struktur hukum, dan kultur hukum, berupa ”semangat” penyelenggara
negara untuk mewujudkan kebahagiaan rakyat.
Oleh karena itu, program penyusunan sistem hukum nasional perlu digarap secara terpadu
dengan GBHN. Ke depan, GBHN hendaknya merupakan karya moral akademik-intelektual
negarawan, bukan sekadar karya politikus.
Idealnya, GBHN disusun atas dasar platform ideologi Pancasila, dalam rangka mencapai
tujuan negara, yakni: ”... membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...”
Inilah dimensi teologisnya. GBHN, hendaknya sudah menggambarkan tentang sistem hukum
nasional, memuat pokok-pokok lembaga negara permanen dan norma hukum operasional,
sebagai penerjemahan asas-asas hukum berdasarkan ideologi Pancasila.
Sudahkah pemerintahan kita melibatkan rakyat dalam penyusunan GBHN? Beberapa fakta di
bawah ini, menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, pada era Orde Lama, istilah GBHN
belum dikenal, tetapi ada istilah sejenis yang maknanya sama yaitu undang-undang
pembangunan nasional semesta berencana.
Untuk mempersiapkan UU tersebut, dibentuklah Dewan Perancang Nasional berdasarkan UU
No 80 Tahun 1958. Pada Pasal 3 ayat (2) diatur ”Dewan Perancang Nasional menyusun
rencana pembangunan nasional dengan memperhitungkan pembangunan segala kekayaan
alam dan pengerahan tenaga rakyat serta meliputi segala segi penghidupan bangsa Indonesia
dalam bentuk rancangan undang-undang pembangunan”.
Pada Pasal 9 diatur: “Para Anggota Dewan Perancang Nasional terdiri dari orang-orang ahli
yang memiliki hasrat dan semangat pembangunan sesuai dengan jiwa bagian pertimbangan
undang-undang ini dan terbagi atas: sarjana, ahli ekonomi, ahli teknik, ahli budaya dan
sarjana-sarjana lain yang ahli dalam soal-soal pembangunan; orang-orang yang dapat
mengemukakan soal-soal pembangunan di daerah Swatantra Tingkat I dan yang ahli dalam
soal-soal pembangunan; orang-orang dari golongan-golongan fungsional yang ahli dalam
soal-soal pembangunan; pejabat-pejabat sipil dan militer yang ahli dalam soal-soal
pembangunan.” Keterlibatan berbagai unsur masyarakat, merupakan cermin adanya sistem
pemerintahan yang akomodatif terhadap kehendak rakyat.
Kedua, pada era Orde Baru, berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 (pra-amendemen) pembuatan
GBHN dilakukan MPR, suatu majelis yang merepresentasikan masyarakat Indonesia tanpa
terkecuali.
MPR merupakan miniatur kedaulatan rakyat dan bangsa Indonesia. Karena hakikat
pembangunan sendiri merupakan peningkatan kualitas dan derajat kehidupan seutuhnya dari
seluruh rakyat Indonesia, maka bentuk operasional GBHN adalah Rencana Pembangunan
Nasional. Walaupun keterlibatan rakyat tidak langsung, komposisi keanggotaan MPR waktu
itu cukup memberikan ruang lebar bagi rakyat terlibat di dalam kegiatan itu.
Ketiga, pada era Reformasi, GBHN tidak dikenal. Orde Reformasi memiliki semangat politik
dan cara pandang tersendiri terhadap MPR dan GBHN.
Melalui amendemen UUD 1945, MPR tidak diamanatkan menetapkan GBHN. Presiden dan
wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Diselenggarakan
desentralisasi dan penguatan otonomi daerah. Perencanaan pembangunan dianggap cukup
ditumpukan pada visi-misi presiden-wakil presiden.
Secara empiris, visi-misi presiden-wakil presiden selama ini tidak mampu mengantarkan
bangsa ini semakin dekat dengan cita-citanya bernegara. Debat capres-cawapres, betapapun
bagus dari perspektif keterbukaan informasi, namun belum menunjukkan jati diri negarawan
dan karakter kepemimpinan pancasilais.
Rakyat diposisikan sebagai penonton, objek, dan tidak pernah menjadi subjek dalam
bernegara. Sembari menunggu kehadiran pemerintahan baru, yuk, kita pikirkan bersama,
kembalinya lembaga tertinggi negara MPR dan GBHN sebagai satu kesatuan. Wallahualam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

More Related Content

What's hot

Makalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di IndonesiaMakalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di Indonesia
ARY SETIADI
 
Analisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesiaAnalisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesia
Bunda Violyn
 
Refleksi bidang politik akhir tahun 2013
Refleksi bidang politik akhir tahun 2013Refleksi bidang politik akhir tahun 2013
Refleksi bidang politik akhir tahun 2013
Beni Desrizal
 
Gereja dan Pemberantasan Korupsi
Gereja dan Pemberantasan KorupsiGereja dan Pemberantasan Korupsi
Gereja dan Pemberantasan Korupsi
Giovanni Promesso
 
Artikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannya
Artikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannyaArtikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannya
Artikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannya
Arini Dyah
 
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Fathur Rohman
 
Tugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiTugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsi
Yuni Sist
 
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da
Tito Mizteriuz
 

What's hot (20)

Makalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di IndonesiaMakalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di Indonesia
 
Laporan Ilmiah Kasus Korupsi E-KTP
Laporan Ilmiah Kasus Korupsi E-KTPLaporan Ilmiah Kasus Korupsi E-KTP
Laporan Ilmiah Kasus Korupsi E-KTP
 
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsikorelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
 
Analisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesiaAnalisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesia
 
Makalah korupsi
Makalah korupsiMakalah korupsi
Makalah korupsi
 
Refleksi bidang politik akhir tahun 2013
Refleksi bidang politik akhir tahun 2013Refleksi bidang politik akhir tahun 2013
Refleksi bidang politik akhir tahun 2013
 
Gereja dan Pemberantasan Korupsi
Gereja dan Pemberantasan KorupsiGereja dan Pemberantasan Korupsi
Gereja dan Pemberantasan Korupsi
 
Makalah korupsi
Makalah korupsiMakalah korupsi
Makalah korupsi
 
Artikel korupsi
Artikel korupsiArtikel korupsi
Artikel korupsi
 
Artikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannya
Artikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannyaArtikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannya
Artikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannya
 
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di bantenAnalisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
Analisa kasus korupsi dinasti ratu atut pada dinas kesehatan di banten
 
281669604 makalah-kasus-korupsi
281669604 makalah-kasus-korupsi281669604 makalah-kasus-korupsi
281669604 makalah-kasus-korupsi
 
makalah Korupsi
makalah Korupsimakalah Korupsi
makalah Korupsi
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015
 
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
 
Makalah korupsi STIP WUNA
Makalah korupsi STIP WUNA Makalah korupsi STIP WUNA
Makalah korupsi STIP WUNA
 
Tugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsiTugas makalah korupsi
Tugas makalah korupsi
 
Makalah korupsi di kalangan masyarakat
Makalah korupsi di kalangan masyarakatMakalah korupsi di kalangan masyarakat
Makalah korupsi di kalangan masyarakat
 
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da
84264 id-korelasi-korupsi-politik-dengan-hukum-da
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 

Viewers also liked

Viewers also liked (20)

(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran SINDO 1 Juli 2014-13 Agustus 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran SINDO 1 Juli 2014-13 Agustus 2014(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran SINDO 1 Juli 2014-13 Agustus 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran SINDO 1 Juli 2014-13 Agustus 2014
 
Tabloid bnn Edisi 71| Juli - Agustus 2014
Tabloid bnn Edisi 71| Juli - Agustus 2014Tabloid bnn Edisi 71| Juli - Agustus 2014
Tabloid bnn Edisi 71| Juli - Agustus 2014
 
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 4-29 september 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 4-29 september 2015(sindonews.com) Opini sosial-budaya 4-29 september 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 4-29 september 2015
 
(sindonews.com) Opini ekonomi 12 februari 2015-11 April 2015
(sindonews.com) Opini ekonomi 12 februari 2015-11 April 2015(sindonews.com) Opini ekonomi 12 februari 2015-11 April 2015
(sindonews.com) Opini ekonomi 12 februari 2015-11 April 2015
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 april 2015-20 mei 2015
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 april 2015-20 mei 2015(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 april 2015-20 mei 2015
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 april 2015-20 mei 2015
 
Rekaman Piala Dunia 2014
Rekaman Piala Dunia 2014Rekaman Piala Dunia 2014
Rekaman Piala Dunia 2014
 
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014
 
Daerah otonom di Indonesia
Daerah otonom di IndonesiaDaerah otonom di Indonesia
Daerah otonom di Indonesia
 
(sindonews.com) opini sosial-budaya 29 september 2015-31 oktober 2015
(sindonews.com) opini sosial-budaya 29 september 2015-31 oktober 2015(sindonews.com) opini sosial-budaya 29 september 2015-31 oktober 2015
(sindonews.com) opini sosial-budaya 29 september 2015-31 oktober 2015
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 9 september 2015-26 oktober 2015
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi KORAN SINDO 16 september 2014-26 September 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi KORAN SINDO 16 september 2014-26 September 2014(Sindonews.com) Opini ekonomi KORAN SINDO 16 september 2014-26 September 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi KORAN SINDO 16 september 2014-26 September 2014
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 11 maret 2015-22 april 2015
 
Daftar Caleg Terpilih DPR RI dalam Pemilu 2014 (SK KPU No. 416/2014)
Daftar Caleg Terpilih DPR RI dalam Pemilu 2014 (SK KPU No. 416/2014)Daftar Caleg Terpilih DPR RI dalam Pemilu 2014 (SK KPU No. 416/2014)
Daftar Caleg Terpilih DPR RI dalam Pemilu 2014 (SK KPU No. 416/2014)
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran Sindo 23 januari 2015-9 Maret 2015
 
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
Opini sosial budaya Koran SINDO 26 September 2014-7 November 2014
 
Cara penghitungan kursi legislatif pemilu 2014 (sumber: ijrsh.com)
Cara penghitungan kursi legislatif pemilu 2014 (sumber: ijrsh.com)Cara penghitungan kursi legislatif pemilu 2014 (sumber: ijrsh.com)
Cara penghitungan kursi legislatif pemilu 2014 (sumber: ijrsh.com)
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 14.4.2014-10.5.2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi 14.4.2014-10.5.2014(Sindonews.com) Opini ekonomi 14.4.2014-10.5.2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi 14.4.2014-10.5.2014
 
Ppt gaya kepemimpinan sby
Ppt gaya kepemimpinan sbyPpt gaya kepemimpinan sby
Ppt gaya kepemimpinan sby
 

Similar to (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Demokrasi sistem rusak dan merusak
Demokrasi sistem rusak dan merusakDemokrasi sistem rusak dan merusak
Demokrasi sistem rusak dan merusak
Lilis Holisah
 
Perjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesiaPerjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesia
dedyprasetyo01
 
Negara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptorNegara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptor
Rosim Nyerupa
 
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp022 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
Operator Warnet Vast Raha
 
Demokrasi sistem gagal
Demokrasi  sistem gagalDemokrasi  sistem gagal
Demokrasi sistem gagal
Rizky Faisal
 
Hns 2013 kenegaraan esei 1 - bincangkan jenis-jenis kerajaan
Hns 2013 kenegaraan   esei 1 - bincangkan jenis-jenis kerajaanHns 2013 kenegaraan   esei 1 - bincangkan jenis-jenis kerajaan
Hns 2013 kenegaraan esei 1 - bincangkan jenis-jenis kerajaan
Aminah Ibrahim
 

Similar to (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014 (20)

Demokrasi sistem rusak dan merusak
Demokrasi sistem rusak dan merusakDemokrasi sistem rusak dan merusak
Demokrasi sistem rusak dan merusak
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Politik hukum
Politik hukumPolitik hukum
Politik hukum
 
Fenomena pilkada
Fenomena pilkadaFenomena pilkada
Fenomena pilkada
 
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASIMASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
 
Otda, Pilkada dan Pembangunan Demokrasi
Otda, Pilkada dan Pembangunan DemokrasiOtda, Pilkada dan Pembangunan Demokrasi
Otda, Pilkada dan Pembangunan Demokrasi
 
Perjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesiaPerjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesia
 
Negara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptorNegara pengkader koruptor
Negara pengkader koruptor
 
Pengaruh golput di indonesia
Pengaruh golput di indonesiaPengaruh golput di indonesia
Pengaruh golput di indonesia
 
Resensi buku negara dan bandit demokrasi
Resensi buku negara dan bandit demokrasiResensi buku negara dan bandit demokrasi
Resensi buku negara dan bandit demokrasi
 
Makalah demokrasi
Makalah demokrasiMakalah demokrasi
Makalah demokrasi
 
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp022 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
2 pemilihan-presiden-langsung-lembaga-kepresidenan-1253460710-phpapp02
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Makalah demokrasi
Makalah demokrasiMakalah demokrasi
Makalah demokrasi
 
Demokrasi sistem gagal
Demokrasi  sistem gagalDemokrasi  sistem gagal
Demokrasi sistem gagal
 
Hns 2013 kenegaraan esei 1 - bincangkan jenis-jenis kerajaan
Hns 2013 kenegaraan   esei 1 - bincangkan jenis-jenis kerajaanHns 2013 kenegaraan   esei 1 - bincangkan jenis-jenis kerajaan
Hns 2013 kenegaraan esei 1 - bincangkan jenis-jenis kerajaan
 
Makalah demokrasi
Makalah demokrasiMakalah demokrasi
Makalah demokrasi
 
Makalah demokrasi (2)
Makalah demokrasi (2)Makalah demokrasi (2)
Makalah demokrasi (2)
 

Recently uploaded

UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
Sumardi Arahbani
 

Recently uploaded (10)

HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
 
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
 
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
 
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
 
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
 
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxpdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
 
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
 
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
 
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
 
interpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxinterpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptx
 

(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

  • 1. Tantangan Kinerja Hukum Lima Tahun ke Depan Koran SINDO Sabtu, 7 Juni 2014 SIAPA pun presiden lima tahun yang akan datang jika tidak peduli pada kemuliaan hukum dan tidak menghargai kekuatan hukum tanpa kecuali, pasti pemerintahan akan rontok dengan sendirinya. Hal ini disebabkan antara kekuasaan dan hukum saling menguatkan satu sama lain dan tidak relevan untuk dipertentangkan. Hukum dan kekuasaan bak dua sisi dari satu mata uang: hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, tetapi kekuasaan tanpa hukum adalah anarki (Mochtar Kusumaatmadja). Lalu, bagaimana cara memuliakan hukum? Yaitu dengan menggunakan prinsip non-intervensi kekuasaan terhadap bekerjanya hukum tanpa kecuali dan dengan alasan kepentingan apa pun. Bagaimana dengan diskresi Jaksa Agung mengeluarkan saponeering? Di negara hukum manapun diskresi ini tetap diakui sehingga Jaksa Agung memiliki wewenang penuh berdasarkan perkiraannya sendiri. Di sinilah kerentanan intervensi kekuasaan sehingga memerlukan seorang Jaksa Agung yang berintegritas tinggi, kredibel dan akuntabel sesuai dengan landasan perundang-undangan yang berlaku. Selain kejaksaan, kepolisian juga memiliki kerentanan atas intervensi kekuasaan; memang di negara mana pun, kepolisian tidak lepas dari pengaruh kekuasaan. Di Amerika Serikat (AS) saja pengaruh seorang walikota (mayor) terhadap kinerja kepala kepolisian distrik sangat dominan. Untuk kepolisian mungkin, apalagi di Indonesia, jargon independensi masih ”jauh panggang dari api”. Suka atau tidak suka itulah kenyataannya. Independensi, integritas dan akuntabilitas kinerja yang pas seharusnya dilekatkan pada kekuasaan kehakiman in casu seluruh hakim pada tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung RI. Jika kekuasaan kehakiman telah dapat dipengaruhi kekuasaan baik kekuasaan uang dan pertemanan atau kepentingan politik maka merupakan saat kejatuhan suatu negara hukum yang akan berujung pada anarki sosial dan struktural. Jika hal itu terjadi maka idealisme hukum dengan cita keadilan dan kepastian hukum, apalagi kemanfaatan, hanyalah merupakan halusinasi belaka, sehingga rakyat hanya dapat bermimpi datangnya ratu adil yang tidak akan pernah tiba di Tanah Air. Kejatuhan negara dengan kekuasaan pemerintahan yang cenderung otoriter serta kekuatan masyarakat sipil tanpa daya merupakan sasaran empuk kekuasaan asing untuk kembali
  • 2. menjajah negeri tercinta. Penjajahan itu melalui beberapa cara antara lain bantuan teknis melalui hibah berbungkus kepentingan timbal balik dan tidak ada yang gratis serta penempatan orang asing di beberapa posisi strategis baik sebagai penasihat/ahli ataupun selaku ”manajer” pemerintahan (di belakang layar/ terselubung) baik pada pemerintah maupun di lembaga legislatif (DPR RI) dengan dalih ”transfer of knowledge and skilled”. Padahal dalih ini tidak pernah menjadi kenyataan sejak Orde Baru sampai saat ini. Hambatan mendahulukan tenaga ahli pribumi disebabkan kurang perhatian dan penghargaan pemerintah terhadap mereka sehingga tren kenaikan ”braindrain ” dan migrasi WNI ahli ke negara lain semakin meningkat sedangkan tenaga asing menjadi ”tuan” di negeri tercinta. Menurut pengamatan saya, kisruh dan kemelut menegakkan hukum di Tanah Air adalah dimulai antara lain, oleh proses rekrutmen berbasis kompensasi dan nepotisme sampai saat ini lebih dominan dari berbasis kompetensi dan keahlian. Sistem promosi, mutasi dan demosi yang berjalan sarat kepentingan subjektif pemegang kekuasaan sehingga terjadi apa yang dinamakan, ”the right man in the wrong place” atau ”the wrong man in the right place ”. Buktinya yang saya amati pada era pemerintahan SBY ada beberapa menteri yang tidak mengetahui pekerjaannya dan ada juga yang mengetahui pekerjaannya tetapi tidak tahu harus bagaimana bertindak menjalankan jabatannya. Yang benar adalah jabatan-jabatan strategis baik dalam bidang hukum dan ekonomi-keuangan seharusnya diserahkan pada ahlinya karena dengan cara ini maka seorang presiden dapat ”tidur nyenyak” tanpa harus waswas apalagi bersikap suudzon kepada pembantunya. Presiden adalah kepala negara juga kepala pemerintahan oleh karena itu seorang presiden tidak dapat mengelak apalagi melepaskan tanggung jawab di semua lini pemerintahan kepada hanya para pembantunya karena muara keberhasilan atau ketidakberhasilan adalah pada pundak seorang presiden dalam sistem presidensial versi UUD 1945. Semestinya hak prerogatif memilih para pembantu presiden berada di tangan ”himself ”, bukan pada tangan parpol pengusung (koalisi). Karena baik buruk kinerja pembantu presiden, pada akhirnya di tangan presiden; rakyat tidak mau tahu siapa pembantu presiden kecuali presiden sendiri yang dipandang tidak becus memimpin rakyatnya; jika tidak berhasil. Dalam konteks pembangunan hukum termasuk penegakan hukum, maka seorang presiden yang komit terhadap pemuliaan hukum dan kekuatan hukum dalam menjalankan pemerintahan merupakan modal keberhasilan. Apalagi seorang presiden yang mampu memadukan pendekatan ekonomi dan hukum di satu sisi dan pendekatan kedua disiplin ilmu tersebut dengan pendekatan politik karena kebijakan ekonomi dan hukum yang tidak memperoleh legitimasi rakyat tidak akan berhasil melindungi
  • 3. apalagi menyejahterakan rakyatnya. Begitu pula sekalipun legitimasi politik telah di tangan seorang presiden jika tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan ekonomi dan hukum yang terpadu, sudah pasti ambruk di tengah jalan. Contoh kasus BLBI dan Kasus Century adalah bukti nyata ketimpangan antara ketiga disiplin ilmu tersebut sehingga mengakibatkan beban bagi pemerintahan lima tahun ke depan dan belum tertuntaskan sampai saat ini. Kekeliruan penetapan kebijakan di bidang ekonomi dan perbankan dalam kedua kasus tersebut telah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp700 triliun yang kini selalu menjadi beban APBN; belum terhitung hutang-hutang pemerintahan SBY yang telah mencapai Rp3.000 triliun sampai saat ini. Pemerintahan lima tahun ke depan memerlukan seorang presiden yang dapat menyinergikan (pemimpin musik orkestra) kinerja para pembantu di bidang ekonomi, keuangan dan perbankan dengan pembantu di bidang hukum dan politik termasuk koordinasi dengan badan legislatif. ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
  • 4. (Kampanye) Media yang Mencerdaskan Koran SINDO Selasa, 10 Juni 2014 PEMILIHAN umum tahun 2014 ini tampaknya menjadi pemilu paling seru sepanjang sejarah Indonesia. Bukan dalam hal banyak sedikitnya partai politik atau kandidat yang berlaga, namun pada hiruk-pikuk proses yang mengiringinya. Tampaknya, adalah benar ketika Indonesia ditahbiskan sebagai ”surga riset” terbesar dunia. Terlebih dalam konteks ilmu politik, karena segala macam realita dan fenomena bisa saja terjadi. Bahkan, teori yang dipandang telah mapan (established) pun, bisa saja terjungkal tersebab anomali yang terjadi di negeri plural nan besar ini. Tanpa bermaksud melupakan sejarah, marilah sejenak kita tinggalkan hiruk-pikuk pileg. Membincang pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon presiden, membuat suhu politik dan psikologi sosial di tengah masyarakat kita semakin ”memanas”. Kondisinya bahkan lebih panas ketimbang pileg yang diikuti oleh belasan parpol dan ribuan caleg sekalipun. Pilpres 2014 ini segera akan memolarisasikan masyarakat menjadi dua kutub utama. Kalau tidak ke kubu satu, ke kubu dua. Prabowo-Hatta atau Jokowi- JK. Polarisasi menjadi semakin sengit ketika kedua pasang calon secara head to head, dikompetisikan, bahkan dikonfrontasikan. Nyaris tidak ada kekuatan pemecah, karena menyimak trennya, jumlah kelompok yang memutuskan untuk tidak berpartisipasi (golput) dalam pilpres menurun ketimbang pileg lalu. Pilpres dengan dua pasang calon, sudden death. Sudden death satu putaran ini menjadi ”kurusetra” terakhir untuk para kandidat melakukan ”puputan”. Segenap amunisi, senjata pamungkas dan jurus simpanan terampuh harus dikeluarkan. Kekalahan di ujung laga, sungguh adalah sesuatu yang teramat menyakitkan bagi siapa pun. Segala cara terkadang lantas dihalalkan untuk menghindarinya, termasuk cara-cara yang menanggalkan etika. Belantara Informasi Ketika kemajuan teknologi informasi tidak lagi terbendung, benar kata Alfin Tofler, atmosfer informasi bernama infosphere akan mempengaruhi sociosphere (atmosfer kehidupan sosial) dan psychosphere (atmosfer psikologis). Keberlimpahan informasi seakan adalah belantara yang berpotensi membingungkan, menyesatkan dan menipu masyarakat. Arus informasi sesungguhnya bisa diatur, dihegemoni dan dikendalikan melalui skema agenda setting media.
  • 5. Opini, berita, citra yang menunjukkan keseluruhan informasi tentang dunia atau tentang diri seseorang juga bisa dipoles dan dibentuk, meskipun terkadang menafikan etika media. Adalah benar ungkapan yang menyatakan jika ingin menguasai dunia, maka kuasailah media. Pula, jika hendak kuasai Indonesia, kuasailah media. Melvin de Fleur (Rahmat, 2002) menyebut bahwa media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa, membangkitkan desakan emosi, perubahan sikap dan perilaku atau proses lain yang kadang tidak terkontrol oleh individu. Konsep powerful mass media, mengajarkan bahwa perang media adalah salah satu medan yang harus dimenangkan oleh setiap kandidat presiden dan tim sukses dalam kampanyenya. Media massa kontemporer, koran, majalah, dan televisi menjadi mesin kampanye yang sangat efektif untuk menyampaikan visi-misi dan kualitas kandidat, guna memikat hati para pemilih. Perkembangan teknologi informasi bernama internet membuat peperangan media kian sengit. Kurusetra itu kini bahkan diletakkan paksa dalam genggaman tangan setiap pemilih melalui gawai (gadget), situs, SMS, Twitter, Facebook , maupun media sosial lain. Arus informasi media itu, laiknya peluru (bullet theory), ditembakkan dan dijejalkan kepada khalayak, tidak sekadar oleh media massa, namun oleh para simpatisan kandidat. Konsekuensi positifnya, keberlimpahan informasi akan melahirkan masyarakat yang melek media. Namun, sayangnya, dalam konteks pilpres, untuk mencari siapa presiden terbaik yang akan membawa Indonesia menjadi bangsa bermartabat yang disegani dunia, melek media tidaklah cukup. Mengapa? Jawabnya karena sesungguhnya media yang sarat dengan kepentingan kapital sekedar menawarkan realitas tangan kedua (second hand reality). Apa yang ditampilkan oleh media, sesungguhnya adalah realitas yang telah diseleksi, dikondisikan bahkan terkadang dimanipulasi. Seseorang yang melek media, sangat mungkin akan terseret dalam arus informasi pencitraan semu yang memang telah didesain secara masif dan sistematis oleh sindikasi media. Skema agenda setting memungkinkan media menjejalkan informasi dan citra tertentu kepada masyarakat, sementara realitas sesungguhnya jauh panggang dari api. Sayangnya, etika media dan kaidah jurnalistik, lagi-lagi diabaikan. Kampanye yang semestinya menjadi ajang pencerdasan masyarakat untuk melihat kualitas calon pemimpinnya, justru dijadikan ajang pembodohan massal publik. Kampanye negatif, kampanye hitam, fitnah, saling menjatuhkan, serta saling klaim dukungan yang tidak berdasar menjadi wabah baru penipu demokrasi. Menariknya, banyak kampanye hitam yang diduga justru dilakukan oleh tim sukses capres yang bersangkutan. Dalam dunia psikologi, ini yang disebut sebagai self victimization.
  • 6. Menyebarkan berita negatif dan fitnah terhadap capresnya sendiri dengan tujuan untuk mengharapkan rasa iba masyarakat. Kultur masyarakat kita suka menolong pihak yang dianggap teraniaya dan terzalimi pun dimanipulasi untuk mendulang suara. Dalam keberlimpahan informasi, melek media ternyata tidak cukup. Manipulasi fakta dan data media akan menjebak mereka yang melek media dalam arus pencitraan karbitan yang masif. Yang dibutuhkan sekarang sesungguhnya adalah kecerdasan kita membaca media. Kepingan-kepingan informasi, sesungguhnya adalah puzzle melintas zaman, yang harus kita rangkai untuk memperoleh gambaran terbaik tentang siapa kandidat yang layak dipilih menjadi presiden. Akar Rumput Di era keterbukaan dan keberlimpahan informasi, pertempuran pada akhirnya tidak sekadar melibatkan tim sukses. Pertempuran pun pada akhirnya melibatkan massa di akar rumput simpatisan capres. Pertempuran di ranah akar rumput ini sangat boleh jadi jauh lebih sengit ketimbang pertempuran di level think tank partai, apalagi di level elite politik. Sangat mungkin kita saksikan, para elite politik berangkulan mesra makan bersama, sementara masa di akar rumput saling berbaku hujat, saling sindir, saling menjatuhkan. Celakanya, terkadang perseteruan tersebut menjurus pada pertempuran dengan amunisi prasangka, pencitraan, ghibbah, atau terkadang bahkan fitnah. Fanatisme yang berlebihan, mati-matian membela, pengorbanan tak berbatas, gontok-gontokan, menghalalkan segala cara, pemujaan hingga berujung kultus, sesungguhnya bukanlah ide cerdas dalam berdemokrasi. Terlebih apabila terjebak melakukan apa yang disebut Horton and Wohl (1956) sebagai perilaku parasosial, mau melakukan apa saja, memuja capres, seperti para fans ‘ababil’ memuja selebriti pujaan. Pilihan boleh berbeda, tetapi hati tidak boleh panas, emosi harus tetap terkendali. Kepala harus tetap dingin seraya mengizinkan nalar dan rasio memandu kita memilih yang terbaik. Biarkan kata hati, nurani, kecerdasan dan logika yang berbicara, bukan okol atau fanatisme buta semata. Masyarakat semestinya segera sadar, betapa siapa pun kita, sesungguhnya adalah sesama anak bangsa. Sesama saudara yang tengah berijtihad memilih pemimpin terbaik bangsa. Kita harus segera kembali bersinergi untuk menjaga dan membisik-bangun negeri indah ini. Menjadi pemilih cerdas, saling berbagi informasi, berita, data yang akurat sangat dibutuhkan agar kita bisa memilih presiden ideal, putra terbaik bangsa yang mampu membawa Indonesia menjadi negeri yang hebat bermartabat. ACHMAD M AKUNG Dosen Psikologi Komunikasi Fakultas Psikologi Undip Semarang
  • 7. Skenario Menuntaskan Transisi Demokrasi Koran SINDO Selasa, 10 Juni 2014 DALAM kajian transisi menuju demokrasi, yang kerap dibahas–setidaknya dari yang saya amati–adalah tahap awal dari transisi, yaitu runtuhnya rezim otoriter, dan tahapan-tahapan transisi secara keseluruhan yang disarikan dari pengalaman sejumlah negara. Sejauh ini, saya belum pernah membaca kajian yang secara khusus membahas bagaimana tahap akhir transisi dituntaskan sehingga demokrasi yang sejati terwujud. Kondisi ini bisa dipahami karena transisi menuju demokrasi bersifat khas dan unik pada setiap negara. Dari sisi tahapan, tentu yang paling dramatis adalah tahap awal, atau dalam penahapan oleh Thomas Carothers (2002) disebut pembukaan (opening), di mana terjadi gejolak sosial, liberalisasi politik dan perpecahan di tubuh rezim otoriter yang berkuasa yang menjadi prakondisi bagi proses demokratisasi selanjutnya. Indonesia sendiri mengalami detik-detik dramatis ini pada masa Reformasi 1997-1998. Tingkat ketegangan dramatis sedikit berkurang pada fase berikutnya, yaitu terobosan demokrasi (breakthrough), ketika sistem demokrasi baru dengan cepat ditanamkan ke dalam negara yang tengah limbung mencari orientasi, melalui pemilihan umum (pemilu) demokratis dan penguatan struktur dan institusi demokrasi. Pada pengalaman Indonesia, kita menjalankan pemilu demokratis pada 7 Juni 1999, setahun lebih beberapa hari dari pernyataan berhenti Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Pada masa itu, kita menyaksikan ingar-bingar pembentukan partai politik dengan berbagai ideologi dan identitasnya, pembentukan lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berbeda dengan masa Orde Baru, dan ledakan kebebasan politik yang sempat berimbas pada ketegangan sosial. Mengikuti tahapan Carothers tersebut, fase pamungkas dari transisi adalah konsolidasi demokrasi, yakni sebuah proses yang panjang dan evolutif dalam mentransformasikan bentuk-bentuk demokrasi, atau demokrasi prosedural, menjadi substansi demokrasi melalui reformasi lembaga-lembaga negara, pemilu yang semakin meningkat kualitasnya, penguatan masyarakat sipil dan pembiasaan masyarakat untuk hidup di dalam alam dan aturan main demokrasi. Dalam beberapa kesempatan, saya menamakan proses pembiasaan masyarakat tersebut sebagai proses memantapkan budaya demokrasi. Fase pamungkas ini tidak dramatis karena
  • 8. terjadi di gedung parlemen atau instansi pemerintahan dan bukan di jalanan. Yang ditulis adalah undang-undang, peraturan dan kebijakan; bukan pamflet atau tuntutan massa. Saya menjadi anggota DPR RI periode 2004-2009 dan 2009-2014 (hingga mengundurkan diri pada awal 2013) dan mengalami bagaimana proses konsolidasi demokrasi menjadi ”business as usual” khususnya dalam proses kerja-kerja legislasi. Sesekali ada keramaian, seperti dalam peristiwa kenaikan harga BBM atau penyelidikan kasus Bank Century, namun itu berlangsung pada level kebijakan, bukan pada tingkatan paradigma demokrasi. Suasana mirip ”business as usual” ini berpotensi menjebak kita dalam transisi berkepanjangan tanpa arah dan tahapan yang jelas dalam merealisasikan demokrasi yang sejati. Menutup Defisit Demokrasi Istilah ”defisit demokrasi” awalnya merupakan kritik terhadap legitimasi dan keterwakilan dalam Masyarakat Ekonomi Eropa pada akhir 1970-an yang kemudian diadopsi dalam kajian politik secara luas. Dari banyak definisi, dapat kita simpulkan bahwa defisit demokrasi adalah situasi tidak terpenuhinya secara mencukupi nilai-nilai demokrasi di dalam prosedur dan lembaga politik. Ketidakcukupan itu tecermin dari tidak berfungsinya lembaga-lembaga politik secara optimal, terutama karena terhambatnya pengaruh dan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Aspek berikutnya dari defisit demokrasi adalah rendahnya kinerja institusi lembaga negara sehingga kepercayaan publik menurun dan pada gilirannya menggerus legitimasi pemerintahan demokratis yang berkuasa. Samuel Huntington (1991) bahkan pernah menyebut kegagalan kinerja ini dapat memicu arus balik ke arah otoritarianisme pada negaranegara yang mengalami transisi demokrasi. Kinerja lembaga negara ini tentu harus dapat diukur dengan pencapaian kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi seluruh rakyat. Karena itu, dalam menuntaskan transisi demokrasi di Indonesia yang kita mulai sejak 16 tahun yang lalu, kita harus segera menutup defisit demokrasi yang masih menganga dalam ”neraca” kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Prioritas terbesar haruslah ditujukan untuk menjaga legitimasi lembaga-lembaga dalam rezim pemerintahan demokratis dengan cara memastikan kinerja lembaga-lembaga tersebut dalam memenuhi aspirasi dan kebutuhan rakyat. Langkah ini juga akan membawa kita melangkah dari demokrasi prosedural ke demokrasi yang lebih substantif, yaitu demokrasi yang membawa faedah konkret bagi rakyat. Pilpres 2014
  • 9. Dalam kesempatan sebelumnya, saya pernah menyatakan harapan saya agar Pemilu 2014 ini dapat menjadi momentum kita menuntaskan transisi menuju demokrasi. Tentu pemilihan presiden menjadi agenda penting dalam rangkaian pemilu. Dalam pemilihan presiden nanti, kita berharap mendapatkan pemimpin yang mampu memastikan kinerja lembaga-lembaga pemerintahan melalui terobosan dan bukan bersikap ”business as usual”. Visi yang jelas harus juga ditopang dengan kemampuan mengomunikasikan visi tersebut agar dapat menggerakkan seluruh elemen bangsa menuju satu titik cita-cita kita bersama. Kita sudah melewati periode maksimal suatu presidensi dalam konstitusi (2x5 tahun) tanpa ancaman non demokratis. Ini adalah modal penting bagi konsolidasi demokrasi, yakni situasi ketika semua elemen percaya bahwa jalan demokratis adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah bahkan ketika ada kekecewaan terhadap pemimpin atau pemerintahan yang berkuasa. Tidak ada aktor atau kelompok yang berusaha mencapai tujuan atau agendanya dengan cara- cara non demokratis. Perpaduan antara pengalaman bangsa kita menempuh transisi selama 16 tahun yang berbuah kepercayaan terhadap jalan demokratis dengan terpilihnya pemimpin visioner yang mampu menggerakkan dan memastikan kinerja lembaga-lembaga negara akan melengkapi skenario menuntaskan transisi demokrasi di Indonesia. Dengan tuntasnya transisi, kita akan masuk ke dalam demokrasi yang terkonsolidasi dan substantif. Saatnya Indonesia melangkah ke demokrasi yang sejati. ANIS MATTA Presiden Partai Keadilan Sejahtera
  • 10. Jakarta Stres Koran SINDO Rabu, 11 Juni 2014 ULANG tahun Jakarta ke-487 segera kita sambut di Juni 2014 ini. Ada yang unik di ulang tahun saat ini, yakni bertepatan dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mencalonkan diri sebagai Presiden RI 2014-2019. Praktis kota ini dipimpin oleh Wakil Gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama atau sering dipanggil Ahok. Bagaimanapun menjelang pilpres ini Ahok, hanya sebagai pejabat sementara. Uniknya pula Ahok adalah wakil gubernur yang separtai dengan kandidat presiden pesaing, Jokowi. Secara politis membuat kegundahan tersendiri bagi Ahok. Terlalu mendukung partainya, Ahok tidak akan menjadi gubernur pengganti jika kandidat partainya menang menjadi presiden. Tidak mendukung kandidat partainya, agar jalan menuju Jakarta 1 mulus, membuat dirinya begitu tidak nyaman dengan partainya. Dengan demikian, masa pilpres membawa pejabat pengendali Kota Jakarta galau–istilah anak sekarang. Kegalauan pejabat politik dalam pemerintahan daerah, dapat membuat tekanan tersendiri kepada birokrasi lokalnya (Richard Batley: 1993). Jika birokrasi stres, masyarakat Jakarta kemungkinan ikut stres. Untuk itu, kita perlu cermati. Efek Administratif Kota Jakarta yang sedang mengalami pertumbuhan masif dan membutuhkan pembenahan yang besar, sangat membutuhkan ketekunan pengambil kebijakannya dalam mengelola persoalan publik yang berkembang. Kebijakan-kebijakan yang unggul yang sudah dibuat harus diimplementasikan dengan penuh serius dan profesional. Jakarta sendiri adalah barometer Indonesia. Hal ini merupakan tekanan tambahan bagi pemangku kepentingan kota ini untuk lebih kuat, progresif, andal, profesional, dan visioner mengelolanya. Pengambil kebijakan kota ini juga membutuhkan administrasi publik yang mumpuni yang diejawantahkan oleh birokrasi pemerintah daerah Kota ini. ”Public administration is a political act, most obviously because it involves governmental discretion in the distribution of resources....Can they be agents of change? If they operate outside their time and context, they risk marginalization from all reality; if they operate within it, their transforming role is in question.” (Batley: 1993). Pengendali kebijakan kota ini memiliki seribu satu macam pemangku kepentingan. Secara vertikal terdapat organisasi pemerintah pusat termasuk pengendali kebijakan pemerintahan
  • 11. nasional RI, bahkan organisasi pemerintah negara lain, bahkan badan-badan semi otonom internasional yang berkantor di kota ini. Secara horizontal pengendali kebijakan kota Jakarta juga menghadapi pemerintah daerah sekelilingnya dan berbagai pemerintah daerah yang memiliki hubungan kerja dengan pemerintah Kota Jakarta. Hubungan dengan pihak swasta dan masyarakat pun menambah kompleks jejaring dengan pemangku kepentingan kota ini. Betapa Kota Jakarta menjadi tumpuan harapan berbagai pihak yang mengharap peran bangsa Indonesia bagi diri mereka masing-masing. Jakarta adalah teras bangsa Indonesia, dan barometer bangsa Indonesia bagi bangsa lain. Saat ini tumpuan ditujukan kepada pejabat sementara Gubernur untuk menjadi pemandu manajemen kota ini. Pertanyaan akan banyak diarahkan kepada Ahok dalam rangka transformasi Kota Jakarta. Bagaimana Ahok mengendalikan birokrasi kota ini untuk mewujudkan berbagai kebijakan yang sudah dibuat. Jika Ahok stres, sangat dimungkinkan birokrasinya stres. Kasus korupsi di tubuh sektor perhubungan darat yang beliau tangani menjadi tolok ukur kedewasaan Ahok dalam mengendalikan keseluruhan birokrasinya. Birokrasi Jakarta bagaimanapun telah berpengalaman panjang menata kota ini. Sebagai pengendali kebijakan, seyogianya dapat menempatkan birokrasinya tersebut sehingga tidak perlu menyeret stres masyarakatnya. Sebetulnya efek administrasi dapat tergolong rendah karena sistem manajemen kota ini telah terbangun ratusan tahun sejak Hindia Belanda. Pemangku kepentingan kota ini tertidur sekalipun, sistem tetap bekerja. Yang jadi persoalan adalah jika pemangku kepentingan stres, kemungkinan besar sistem terpengaruh. Kita dapat ukur, ketika Jokowi melakukan blusukan betapa terkesiapnya birokrasi kota Jakarta. Setelah itu lelang jabatan, kemudian diteruskan dengan rotasi jabatan. Jokowi membuat birokrasi Jakarta berputar agak keras. Berbeda dengan Jokowi, Ahok lebih diarahkan kepada pengendalian birokrasi sejak awal. Modelnya pun berbeda dan ditambah dengan suasana pencapresan ”bos” nya tadi. Sekarang Ahok, jadi bos belum sepenuhnya. Efek administrasi dengan kondisi ”bos” kota Jakarta yang berbeda, tampak direspons berbeda oleh administrasinya. Orientasi Sistem Masyarakat berharap transformasi Kota Jakarta menuju teras bangsa dan barometer bangsa Indonesia yang makin bermartabat, berkelas, dan tangguh harus terus diwujudkan. Kepada Ahok, pesan yang dapat dibuat selagi ulang tahun kota Jakarta dengan suasana pilpres, adalah pertama, sudah selayaknya bekerjalah tetap dengan membangun sistem kota ini lebih banyak berbicara. Ahok adalah dirigen yang mengarahkan sistem tersebut. Kedua , bekerja dengan pendekatan terapi-kejut mungkin diminimalisasi lebih banyak ke arah ”adjustment” karena suasana pilpres membawa segala tindakan Ahok lebih banyak dibaca politis. Peran Ahok yang berada di persimpangan dalam suasana pilpres ini, jika lebih banyak
  • 12. terapi-kejut, akan berbuntut simalakama buat Ahok sendiri. Bahkan dapat menimbulkan stagnasi yang akan betul-betul berbuntut kepada munculnya masyarakat Jakarta yang stres. Ketiga, pengendalian sistem yang ada dengan warna ”adjustment” sekalipun tetap berorientasi progresif. Ukurannya adalah outcome pelayanan publik kepada masyarakat. Keempat, sistem antara yang dikendalikan diukur dengan ”adjustment” berpola ”zero defect management” . Dukungan masyarakat akan melimpah jika mampu dibuktikan adanya outcome yang nyata. Masyarakat kota ditandai oleh masyarakat yang pragmatis kontraktual. Kelima, Jika Ahok mampu meminimalisasi terseretnya stres publik, niscaya Jakarta bukan saja semakin maju bahkan semakin semarak dan berkualitas. Semoga. IRFAN RIDWAN MAKSUM Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI, Anggota DPD RI
  • 13.
  • 14. Tantangan Desentralisasi Dalam debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tiga hari yang lalu, masing-masing pasangan telah menyinggung tema desentralisasi. Mereka sama-sama menyatakan keprihatinan bahwa sistem desentralisasi tampaknya telah menjadi beban bagi pemerintah pusat dan bukannya mendorong pembangunan. Dalam sejumlah forum terkait desentralisasi, para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota merasa bahwa aturan-aturan yang lahir dari pihak pemerintah pusat terus bermunculan padahal implementasinya sulit dilakukan. Hal ini disebabkan pembuatan peraturan tersebut sering kali kurang mempertimbangkan kondisi riil di lapangan. Program-program nasional minta diperlakukan sebagai prioritas daerah, tetapi kenyataannya data yang digunakan pemerintah pusat untuk mengidentifikasi masalah ataupun penerima manfaat tidaklah akurat. Fenomena ini menunjukan masalah desentralisasi bukan hanya dirasakan negatif oleh pemerintah pusat, melainkan juga pihak- pihak di daerah. Sementara itu, pihak pusat juga prihatin pada sejumlah tantangan di tingkat daerah. Mereka menyimpulkan para pejabat pemerintahan daerah semata peduli pada kepentingan sesaat yang sifatnya politis, yakni untuk mempertahankan popularitas. Bahkan, kemudian muncul asumsi bila kepala daerah yang terpilih berasal dari partai politik tertentu yang sama dengan kepala divisi atau pejabat di pemerintah pusat, maka program nasional akan berjalan. Wacana di atas sesungguhnya menggambarkan sejumlah isu serius terkait desentralisasi yang diterapkan di Indonesia. Ada dua isu utama yang saya angkat di sini. Pertama, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki pemahaman yang berbeda- beda tentang apa itu desentralisasi. Sudut pandang yang dominan adalah desentralisasi berarti pemerintah pusat menyediakan sejumlah dana kepada pemerintah daerah dan menyerahkan wewenang penggunaan dana tersebut kepada pemerintah daerah, sepenuh-penuhnya. Sudut pandang seperti itu membuat kedua belah pihak sama-sama tertekan ketika ada inisiatif kegiatan tertentu. Yang diributkan selalu terkait dana. Padahal, desentralisasi bukanlah semata penyerahan uang dari pusat ke daerah. Di pihak lain, karena pemerintah pusat merasa telah menyerahkan dana kepada daerah, mereka meminta pertanggungjawaban yang berlapis- lapis kepada daerah, padahal implementasi penggunaan dana tersebut ternyata lebih kompleks dari rencana di atas kertas semata. Kedua, dialog yang berkembang seputar desentralisasi masih selalu berkutat pada relasi antara pemerintah pusat dan daerah (khususnya dengan pemerintah kabupaten/kota). Artinya pembicaraan selalu terbatas pada urusan pembagian tugas dalam kementerian atau lembaga pemerintah tertentu. Dengan situasi riil terbatasnya kapasitas birokrasi di negeri ini, bisa
  • 15. dibayangkan yang kemudian terjadi adalah saling lempar tanggung jawab. Yang mudah dikerjakan akan diperebutkan, sementara hal-hal yang sulit dilakukan akan dilempar-lempar ke pihak lain. Desentralisasi dalam konteks tersebut belum menyentuh peranan komunitas lokal, termasuk para aktor intelektual, bisnis, dan penggiat kemasyarakatan yang tinggal di daerah tersebut. Ini suatu pemborosan sumber daya, karena pihak-pihak ini punya potensi yang dahsyat bila digandeng untuk memperkuat kebijakan pemerintah. Artinya penjelasan kedua pasangan capres dalam debat capres belum konkret menyentuh problem desentralisasi. Yang selama ini mereka bincangkan barulah di tataran desentralisasi politik, padahal desentralisasi juga menyangkut masalah administrasi dan juga fiskal. Sejumlah keluhan dari daerah terkait data masyarakat adalah hal serius yang selama ini belum dianggap serius oleh pemerintah pusat. Misalnya terkait pembagian bantuan sosial dalam Program Raskin, Bantuan Siswa Miskin, serta Program Keluarga Harapan. Program-program itu boleh jadi penting. Namun karena desain keterlibatan pemerintahan daerah di sana hanya sebagai pelaksana, program tersebut luput melihat relevansi program tersebut bagi perbaikan nasib masyarakat di daerah-daerah di Indonesia. Dari sejumlah daerah di Indonesia bagian timur, misalnya, muncul keluhan mereka sulit melakukan monitoring pelaksanaan program bantuan sosial yang dititipkan pemerintah pusat karena data yang dipakai oleh pemerintah pusat sulit diakses oleh mereka dan kalaupun bisa diakses, akurasinya terbukti tidak tepat. Di daerah, hal semacam ini bisa menimbulkan gejolak sosial di mana kepala desa dan camat bisa menjadi sasaran amuk massa. Ini pernah terjadi. Contoh lain yang penting adalah masalah data yang tidak tersinkronisasi yang baik. Pemerintah pusat mengembangkan sistem data terpadu yang berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) dan dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K), namun sumber data tidak berasal dari informasi terkini di lapangan. Pihak daerah mengeluh kesulitan akses untuk memverifikasi sumber data. Akibatnya, terjadi kesenjangan data orang miskin hingga 20%. Hal ini juga terjadi pada survei luas lahan pertanian pangan yang menjadi landasan untuk menghitung berapa impor pangan yang diperlukan. Di sejumlah daerah sudah muncul inovasi berbasis perbaikan pelayanan publik untuk menghimpun data kemiskinan. Namun, upaya tersebut sering kali luput penghargaan dari pemerintah pusat sehingga para pejabat di daerah mengalami demoralisasi. Informasi di atas hanyalah sekeping masalah dari keseluruhan persoalan desentralisasi. Apabila para capres dan cawapres ingin melakukan perbaikan, penting untuk melakukan evaluasi yang ilmiah dan menyeluruh bersama pihak-pihak daerah dan tidak lagi menggunakan pendekatan top-down semata. Saya mengusulkan kepada para capres dan cawapres untuk secara konsisten untuk melibatkan pihak-pihak di daerah secara partisipatif dalam merencanakan program-program pelayanan publik. Sejauh ini forum musrembang
  • 16. yang menjadi input untuk perencanaan pemerintah lebih bersifat seremonial belaka. Pihak-pihak daerah harus dilibatkan dalam lebih konkret karena mereka yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Budaya organisasi yang birokratif perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang cepat dan tepat khususnya dalam konteks dunia yang makin tinggi persaingannya. DINNA WISNU, PhD Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
  • 17.
  • 18. Debat Capres Perdana Koran SINDO Rabu, 11 Juni 2014 HAMPIR seluruh media massa dan jagat media sosial ramai membicarakan debat capres perdana yang digelar KPU, Senin (9/6). Layaknya sebuah tontonan di ruang publik, debat capres antara pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK ini tentu saja mengundang polemik, terutama jika menilai siapa pasangan yang lebih unggul. Tentu masing-masing pendukung kandidat akan memberi argumentasi sendiri- sendiri bahwa calonnyalah yang memenangi pertarungan opini. Indikator Retorika Ibarat sebuah pertunjukkan, tulisan ini mencoba memotret debat dalam indikator-indikator komunikasi politik yang sifatnya dialektis. Indikator pertama adalah kemampuan seni berbicara (art of speech). Sebagai prosesi komunikasi, indikator debat yang akan diperhatikan pertama kali oleh khalayak tentu saja retorika para capres. Retorika memberi kesan citra personal yang terhubung dengan kapasitas individu di tengah adu gagasan. Dalam hal tipologi retorika berdebat, dua pasangan memiliki kesamaan yakni pada pilihan impromptu dengan cara mengungkapkan gagasan secara spontan, fleksibel, dan berorientasi pada orisinalitas forum. Kekurangan tipe seperti ini tentu saja pada susunan kalimat dan logika berpikir yang kurang sistematis. Memang banyak pilihan tipologi retorika, ada manuskrip atau paparan yang berorientasi pada naskah yang telah dipersiapkan. Jika ini dilakukan oleh capres saat berdebat, pasti menjemukan! Ada juga tipe memoriter yakni capres memilih untuk berdebat dengan mengandalkan hafalan-hafalan, bukan pada penguasaan yang mendalam. Ini tentu akan mencelakakan kandidat terlebih jika apa yang dihafalkan lupa atau tidak memahami konteks dari persoalan yang sesungguhnya. Tipe lain yakni ekstemporer di mana capres yang hendak berdebat mempersiapkan outline dan pokok-pokok penunjang pembahasan. Dengan outline itulah, dia banyak mengelaborasi berbagai dinamisasi diskusi sehingga mampu meyakinkan pihak lain bahwa dirinya mampu menjelaskan. Tipe terakhir memang paling ideal, tapi dalam debat-debat capres yang diatur KPU sulit dilakukan mengingat pertanyaan moderator dan kandidat lain sangat mungkin berbeda dari yang disiapkan sehingga pilihan impromptu menjadi keniscayaan bagi semua pasangan. Hanya soal gaya memang JK berbeda sendiri, dia mengambil pilihan komunikasi low context culture yang menekankan pada orientasi hasil, ketegasan makna meski
  • 19. mengambil risiko untuk agresif di topik-topik sensitif seperti isu HAM. Sementara Prabowo, Hatta, dan Jokowi lebih memilih high context culture dengan menjaga harmoni dalam berdebat. Bedanya Hatta dan Jokowi stabil di pilihan high context culture, sementara Prabowo tergiring masuk pada ”serangan” JK dengan menunjukkan bahasa tubuh (kinesics) seperti isyarat tangan yang kerap mengacungkan jari telunjuk, ekspresi wajah, dan tatapan mata Prabowo pun tak bisa dibohongi bahwa dia tidak nyaman dengan pernyataan JK. Peribahasa (vocalics) pun terasa. Nada tinggi, intensitas suara, dan intonasi Prabowo berubah dan justru menunjukkan di debat perdana ini, Prabowo terangsang kurang siap secara mental berada dalam situasi heteronomi komunikasi. Dominic Ifanta dalam bukunya, Argumentativness and Verbal Agressivness (1996), mengemukakan ada dua sifat agresi yang seyogianya dikelola terlebih dalam suatu perdebatan di muka umum yang ditayangkan oleh media massa. Dua hal itu adalah tendensi mengajak atau menanggapi pihak lain berdebat mengenai topik-topik kontroversial dan keagresifan verbal yang biasanya menyerang ide, keyakinan, ego, atau konsep diri di mana argumen bernalar. Substansi Gagasan Indikator kedua yang dapat dinilai oleh khalayak tentu saja rasionalitas saat membingkai gagasan. Dalam konteks inilah diperlukan sebuah skema berpikir yang logis, proporsional, analitis, dan berbasis data. Debat harus berorientasi pada penyelesaian masalah (problem solving-oriented) dari sekadar berorientasi citra (image oriented). Dalam debat seluruh jargon-jargon besar sloganistik yang elitis seperti selama ini banyak dikemukakan kandidat sudah harus beralih pada indikator-indikator nyata (real world indicator). Debat harus mampu menghadirkan, apa dan bagaimana program masing-masing capres dalam mengurai benang kusut pengelolaan negeri ini lima tahun ke depan. Capres menjelaskan skema mengurangi masalah (reduce problem) secara terukur dengan dukungan data atau fakta. Semakin dangkal rasionalitas pemaparan program dan semakin kabur indikator-indikator nyata penyelesaian masalah, akan semakin kalah dia dalam perdebatan. Di persoalan substansial juga terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara kedua pasangan itu. Prabowo- Hatta lebih menekankan pada konsep-konsep dan program-program besar, sementara Jokowi- JK lebih menyasar program-program implementatif. Misalnya Prabowo menyatakan demokrasi membutuhkan pendidikan politik, budaya politik, dalam mewujudkan demokrasi yang produktif. Meskipun di sesi-sesi tengah debat capres Prabowo-Hatta juga beberapa kali menyentuh program-program teknis seperti penggunaan teknologi modern sebagai alat mengontrol pemerintahan, menjamin kualitas hidup pejabat negara untuk mencegah korupsi, meningkatkan kemampuan manajerial penegak hukum, memperkuat KPK,dan sebagainya.
  • 20. Sementara di topik yang sama, Jokowi lebih membawa gagasan soal demokrasi dialogis itu ke beberapa topik implementasi. Misalnya soal pemerintahan yang bersih dan efektif, perlunya akuntabilitas sistem melalui teknologi modern seperti e-budgeting, e-performance, pajak online, IMB online, dan sebagainya. Hanya sedikit Jokowi mengulas tujuan demokrasi untuk kesejahteraan dengan cara mendengar suara rakyat. Selebihnya, Jokowi dan JK banyak bicara ihwal mikro seperti pola perekrutan pegawai berdasarkan sistem promosi dan seleksi terbuka. Sebenarnya keduanya mencoba menawarkan gagasan makro dan mikro dalam perdebatan. Hanya, porsi elaborasinya yang berbeda. Porsi bahasan paparan awal Prabowo-Hatta lebih banyak di area gagasan besar, sementara Jokowi-JK di area gagasan operasional. Secara substansial keduanya memiliki gagasan yang layak. Hanya, dalam konteks debat capres di negara mana pun, audiens cenderung lebih mengapresiasi kandidat yang mampu menghadirkan indikator-indikator nyata. Yang dikelola kandidat dalam debat capres sesungguhnya adalah kesan dan dukungan. Impresifkah sang kandidat di mata masyarakat? Masih ada empat perdebatan lagi yang akan menjadi uji publik untuk memastikan program-program apa yang ditawarkan para kandidat lima tahun ke depan. DR GUN GUN HERYANTO Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
  • 21. Presiden Bunga Negara Koran SINDO Kamis, 12 Juni 2014 PILIHAN hanya ada dua, yakni pasangan Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK. Apa sih susahnya memilih satu di antara dua? Mengapa bertele-tele, menguras tenaga, dana dan pikiran? Bukankah aktivitas memilih telah menjadi kodrat kemerdekaan setiap warga negara? Kehidupan bernegara di era modern memang kompleks. Begitu banyak entitas terkait dan berinteraksi satu dengan lainnya. Memilih presiden bukan sekadar urusan individu dan urusan negara, melainkan juga urusan negara asing. Memilih presiden bukan sekadar urusan duniawi, melainkan juga urusan ukhrowi. Memilih presiden bukan sekadar urusan rasionalitas, melainkan juga urusan primordial dan spiritual. Para agamawan bertutur, ”gunakan hak pilihmu sebaik-baiknya, sesuai hati nurani, sesuai tuntunan kitab suci dan keteladanan nabimu”. Apakah nasihat itu mempan menggusur praktik ”money politic”? Pemilu legislatif kemarin, telah menjawab pertanyaan itu dengan bukti nyata. Apa pun motif memilih, satu hal yang pasti bahwa presiden terpilih adalah figur yang telah diizinkan Allah. Tanpa izin dan kehendak-Nya, tiada pernah daun kering jatuh dari pohonnya, dan tiada pernah terpilih presiden terbaik bagi negeri ini. Pada era otoriter, boleh jadi seorang presiden berkata ”L”Letat cetat cest moi” (negara adalah saya). Rakyat pun mengamini perkataan itu. Presiden disanjung, dikultuskan, dan pantang dikoreksi. Hidup dan mati para pengikutnya digantungkan kepada presidennya. Begitulah karakteristik lembaga kepresidenan zaman itu. Berbeda halnya di era modern. Rasionalitas memegang peranan penting. Presiden wajib merespons aspirasi publik (rakyat). Kepresidenan bukan sekadar lembaga formal, melainkan lembaga publik, secara substansial wajib peduli, kerja keras dan melakukan aktivitas terencana demi kepentingan rakyat. Konsep kepresidenan sebagai kepala negara untuk ”nachwakersstaat ” (negara penjaga malam), sudah tidak berlaku. Ketika kedaulatan negara di bidang politik, di bidang ekonomi, atas wilayah, atas sumber daya alam, terhegemoni kekuasaan asing, pada saat demikian peran presiden adalah mengembalikan kedaulatan tersebut. Sikap politik, keberanian bertindak, wawasan kebangsaan sangat diperlukan. Perjalanan bangsa di era reformasi menunjukkan bahwa politik praktis di bidang ekonomi ternyata menciptakan gap cukup lebar antara stratifikasi mayoritas penduduk dibanding sekelompok pengusaha dan politikus.
  • 22. Seiring dengan masalah stratifikasi sosial itu, berlanjut ke masalah ketidakadilan sosial antara pusat dan daerah. Problema otonomi daerah, bukan sekadar karena konsep ”setengah matang”, melainkan perilaku ego kedaerahan. Ketidakadilan pembagian hasil pengelolaan sumber daya alam, antara pusat-daerah, antara negeri sendiri dan investor asing, sangat timpang, sehingga memunculkan konflik-konflik horizontal. Penyelesaian konflik pun tak kunjung mencerminkan keadilan sosial, sehingga dalam banyak kasus ”the haves always come ahead”, sementara ”the poor must pay more”. Kebersatuan dalam bingkai semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”, hanya terpatri di lambang negara, akan tetapi tidak pernah terimplementasikan dalam kebijakan dan praktik penyelenggaraan negara. Peran lembaga kepresidenan, semakin dirasakan perlunya untuk mencegah kemerosotan lebih parah kualitas kehidupan bernegara secara keseluruhan. Diperlukan suatu pemerintahan kuat di bawah kepemimpinan presiden, yang mampu melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya terencana melalui national planning dengan pola pembangunan semesta berencana di era Presiden Soekarno atau melalui garis-garis besar haluan negara di era Presiden Soeharto, layak diaktualisasikan. Belajar dari pengalaman negeri Belanda, dulunya bagaikan kapal terapung dan hanya bisa hidup ketika ditopang pasokan nutrisi dari Nusantara. Kini telah mampu membangun negara kesejahteraan (welfare state) melalui pembangunan berkelanjutan tahun 1930-1945. Program-program strategis dilaksanakan secara konsisten, antara lain: (1) melindungi dan menjamin keselamatan buruh, (2) memberi santunan fakir miskin, orang lanjut usia dan penderita sakit, (3) menjamin ketersediaan fasilitas umum, pendidikan, kesehatan dan perumahan, (4) menjamin hak-hak individu di bidang politik, sosial dan budaya. Keberhasilan mewujudkan welfare state, tak lepas dari peran pemerintah, yakni segala hal yang dulunya diserahkan swasta dan pasar, kini diambil alih pemerintah sehingga stabilitas politik dan ekonomi lebih terjamin. Pada sebuah acara seminar, seorang bupati sengaja dihadirkan untuk membeberkan suka dan duka dalam memimpin daerahnya. Setelah presentasi, dibuka pertanyaan dari peserta seminar. Mengapa prestasi bagus daerahnya tidak pernah diekspos ke media agar publik mengetahui dan bisa belajar dari keberhasilan kabupaten yang dipimpinnya? Dengan senyum ramah, dijawabnya: ”Kami tidak punya media koran, media televisi ataupun media radio. Ketika jurnalis kami undang untuk memberitakan prestasi kabupaten, hal demikian dipandang kurang layak sebagai berita baik. Tampaknya, mereka lebih senang dan tertarik mewartakan hal-hal yang hina daripada hal yang mulia, misal ketika di kabupaten ada korupsi, perselingkuhan pejabat, musibah yang menimpa rakyat, dan sejenisnya”. Benang merah perlu dirajut dari deskripsi realitas, pemikiran dan cerita bupati di atas, bahwa
  • 23. setiap individu memiliki kemerdekaan dalam memilih apa yang dipandangnya baik atau buruk. Ketika platform ideologi bangsa, yakni Pancasila, tidak pernah digubris lagi, maka suka atau tidak suka, realitas kehidupan cenderung liberal, sesat pikir dan sesat arah. Saat demikian, sulit menemukan manusia yang mampu mengembangkan sifat terpuji, suka melengkapi kekurangan pihak lain. Dalam bahasa puitis, ”tatkala hati orang berisi sejuta bunga, tetapi terselip satu sampah, tetap saja yang dikabarkan sampahnya”. Dalam pengamatan saya, terhadap dua kubu yang kini tengah ”bertarung” memperebutkan kursi kepresidenan pun, tidak jauh berbeda dengan makna dari puisi tersebut. Pesan moral: ”Jadikanlah presiden sebagai bunga negara, bukan sampah”. Wallahu a’lam. PROF DR SUDJITO SH MSI Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
  • 24. Menjaga Nalar Sehat Menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014, suasana batin masyarakat layaknya menunggu pertandingan final sepak bola dunia. Orang tak sabar menanti. Atau bisa juga suasananya mirip menjelang pertandingan Persib melawan Persija. Para suporter yang fanatik dan militan semakin seru dan agresif melakukan psywar menyerang lawan. Sebagai sebuah pertandingan, tentu saja hal itu bagus dan membuat masyarakat bergairah untuk berpartisipasi memilih calonnya masing-masing, sehingga angka golput menurun dibanding sebelumnya. Diduga kuat, partisipasi pemilih akan naik mengingat capres-cawapres yang bertanding seimbang. Tak ada bintang yang menonjol sehingga masih sulit diramal siapa yang akan muncul sebagai pemenang. Sejauh ini saya ingin berbagi catatan dari kesan dan pengamatan semasa kampanye ini. Pertama, keamanan berjalan baik. Ini mesti dijaga sampai presiden dan wakil presiden terpilih dan dilantik. Terima kasih kepada polisi, masyarakat dan pimpinan partai politik (parpol) yang memiliki komitmen untuk bersama-sama menjaga keamanan. Menurunnya persaingan yang keras ini mungkin saja karena semua parpol tak lagi memiliki perbedaan ideologi yang jelas, sehingga tidak membangkitkan emosi rakyat untuk membela salah satu pasangan dengan fanatik. Kedua , emosi masyarakat mulai terusik dan terkena provokasi ketika ada pihak-pihak yang melemparkan isu agama dan etnis ke tengah masyarakat. Ditambah lagi ketika simbol-simbol dan figur ulama dilibatkan untuk memberikan dukungan salah satu pasangan. Di sini mesti diingatkan, janganlah mempermainkan agama yang begitu mulia dan luhur hanya untuk kepentingan politik partisan dan sesaat. Umat Kristen dan Islam pernah terlibat perang saudara berdarah-darah dengan memanipulasi kitab suci untuk memperebutkan kekuasaan politik. Sampai sekarang pun konflik dan perang di Timur Tengah, penyebab pokoknya adalah perebutan kekuasaan yang kemudian dicarikan pembenaran dalil-dalil agama. Ketiga, menurut perkiraan para ahli, sesungguhnya rakyat kita yang paham makna dan tujuan demokrasi tidak mencapai 20% dari jumlah pemilih. Akibatnya, mereka akan sangat mudah dipengaruhi oleh iklan di media massa dan tokoh-tokoh masyarakat yang mereka kenal dan segani, terutama jajaran ulama. Oleh karena itu, masa kampanye ini timses capres-cawapres sangat sadar bagaimana memainkan peran media massa, kiai, dan pesantren. Dunia pesantren yang selama ini terpinggirkan, tiba-tiba menjadi pusat gravitasi para capres-cawapres dan elite parpol untuk berkunjung, sowan, minta berkah, bahkan tidur di pesantren. Dengan memegang komitmen seorang kiai, lalu dikalikan berapa ribu suara yang akan ikut di
  • 25. belakangnya. Dalam hal ini mesti diingatkan, silakan kiai dan ulama ikut berpolitik membangun negara. Tetapi jangan sampai integritasnya terbeli oleh para politisi yang target akhirnya adalah kekuasaan dan fasilitas negara. Sangat disayangkan jika lembaga pendidikan yang puluhan tahun dirintis dan dipelihara dengan serbasederhana dan penuh keikhlasan, hanya dalam hitungan hari hancur oleh manuver politik para capres-cawapres yang menawarkan imbalan mobil atau uang. Keempat , yang juga mengesankan bagi saya adalah sikap para suporter, timses dan pengamat politik yang kadang kala menggeser nalar sehatnya karena emosi pemihakannya pada salah satu kubu calon yang tak terkontrol. Ibarat suporter sepak bola, kalau mereka itu anak-anak remaja maka bisa dimaklumi kalau perilaku dan komentarnya emosional, lebay, dan tidak peduli pada penilaian masyarakat. Tetapi sebagian mereka itu adalah memiliki predikat wakil rakyat, aktivis intelektual, dan ulama. Jangan lupa, apa yang mereka kemukakan itu akan menjadi catatan abadi karena direkam oleh kamera televisi sehingga kapan saja bisa diputar ulang. Karena emosi dan preferensi politiknya, kadang muncul pernyataan dan analisis politik yang lucu, yang tidak mencerminkan persepsi dan harapan masyarakat selama ini bahwa dirinya seorang tokoh panutan masyarakat lintas agama dan politik. Dengan kata lain, masa-masa kampanye ini muncul perilaku dan wajah teman-teman kita yang sedikit membuat kaget karena di luar dugaan kita semua. Kata orang tua, ketika terjadi turbulen yang membuat seseorang merasa terancam atau tidak aman, kita akan mengenal sisi lain dari diri kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Kelima, selama masa kampanye ini telah berlangsung pendidikan politik yang amat berharga bagi rakyat semua, meskipun juga sangat melelahkan. Yang saya khawatir, mereka yang sejak awal hanya siap menang dan untung, namun tidak siap kalah dan rugi. Semua ongkos politik yang telah dikeluarkan dianggapnya sebagai modal dan saham yang mesti kembali modal dengan keuntungannya yang berlipat. Kalau ini yang terjadi, demokrasi dan pilpres tak ubahnya sebagai perjalanan untuk menemukan harta karun berupa jabatan dan kekayaan. Tetapi kalau saja tidak ada pikiran seperti itu, kita mesti salut dan kagum pada mereka yang telah mengeluarkan dana, tenaga, emosi dan pikiran yang tidak bisa dihitung lagi besarannya demi mematangkan demokrasi untuk kesejahteraan rakyat. Triliunan rupiah telah dibelanjakan dan semoga benar-benar ikhlas andaikan kalah dalam bersaing. Keenam, sisa-sisa hari ke depan menuju 9 Juli ini kita berharap bangsa ini lolos dan lulus melewati ujian dan tikungan dalam berpolitik dan bernegara, sehingga akan melahirkan pemerintahan baru yang mampu memenuhi janji-janji kampanyenya tanpa disertai berbagai kecurangan dan konflik fisik sesama saudara dan rakyat sendiri. Kalau kita lulus, dan semoga begitu, maka kelas, martabat dan kepercayaan dunia akan naik pada Indonesia. Tetapi jika gagal, dunia akan tertawa sinis dan rakyat akan kehilangan kepercayaan pada
  • 26. parpol, demokrasi dan pemerintahan yang terbentuk akan menanggung beban politis- psikologis yang berat.
  • 27.
  • 28. Debat Cherrybelle Beberapa hari ini debat antara dua pasang capres dan cawapres yang akan bertanding pada 9 Juli 2014 nanti hangat menjadi topik diskusi di keseharian masyarakat Indonesia. Di warung kopi, pool kendaraan, hingga menjadi trending topic di Twitter dan media sosial lain. Walau dampaknya bagi para pemilih yang telah menetapkan hati sepertinya tidak terlalu signifikan, debat memiliki arti penting sebagai salah satu usaha untuk memenangkan hati swing voter di sisa masa kampanye yang tinggal menghitung hari. Tanpa mengurangi perayaan atas ekspresi demokrasi baru yang terbangun indah di negara ini, saya hendak mengajukan otokritik atas debat yang saya sebut sebagai ”Debat Cherrybelle”. Terminologi ini memperkaya idiom debat yang biasa dipakai antara lain debat kusir, pokrol bambu, dan sebagainya. Debat Cherrybelle dalam pandangan saya adalah debat yang energik, cantik, ideal, dan menggairahkan, namun hanya eksis di layar kaca dan panggung-panggung, tidak dapat dimiliki. Singkat kata berkutat pada zona-zona ideal, namun tidak memberikan gambaran jelas mengenai strategi mencapainya, apalagi program untuk membumikannya. Menurut Merriam Webster Dictionary, debat didefinisikan sebagai ”a discussion between people in which they express different opinions about something”. Jadi tulang punggung yang secara prinsip harus ada dalam debat adalah rangkaian argumen yang berbeda terhadap suatu masalah tertentu. Debat pada 9 Juni lalu agaknya masih jauh dari pemenuhan prinsip ini. Kedua kandidat masih banyak menawarkan visi atau misi yang sifatnya end goal atau mimpi normatif atas negara yang tentu saja semua orang akan sependapat dengannya. Barang jualan para kandidat tentang negara yang menyejahterakan rakyatnya, pemerintahan yang bersih, berdaulat dan dikagumi di mata dunia, serta pengelolaan aset kekayaan alam demi rakyat pada dasarnya hanyalah parafrase dari pembukaan UUD 45 yang telah dicetuskan oleh bapak pendiri bangsa. Debat seperti ini dapat dianalogikan seperti taruhan bola antara dua orang yang dua-duanya menjagokan Real Madrid. Di mana serunya? Dalam kerangka manajemen strategik, rencana jangka panjang perusahaan dibangun melalui organization aspiration atau dream yang kemudian diturunkan menjadi suatu inisiatif strategik. Di sinilah seninya. Strategi adalah cara untuk meraih tujuan, di mana terdapat berbagai macam alternatif yang memiliki maslahat dan konsekuensi masing-masing. Dalam tataran strategik inilah perdebatan dapat dilakukan dengan lebih berwarna, menguji kecerdasan berpikir para kandidat dalam membangun argumentasi yang holistik. Selain itu, inisiatif strategi juga harus dibedakan dari apa yang disebut sebagai operational effectiveness. Sang filosof manajemen Michael E. Porter dalam salah satu tulisannya di Harvard Business
  • 29. Review (1996) berpendapat bahwa walaupun keduanya mirip dan dibutuhkan dalam meraih tujuan jangka panjang, harus dibedakan dengan jelas. Operational effectiveness adalah cara melakukan sesuatu yang sama dengan kompetitor, namun dengan cara yang lebih baik. Sedangkan strategi adalah melakukan sesuatu yang berbeda dari kompetitor. Memang tidaklah salah jika pemimpin menekankan pentingnya efektivitas operasi dalam pemerintahan dan memang demikianlah salah satu permasalahan yang ada. Namun, dalam kerangka jangka panjang, orientasi ini tidaklah cukup. *** Telah lama operational effectiveness dilakukan oleh Jepang dan berhasil mencengangkan dunia dengan menyaingi produk- produk barat yang telah hadir jauh sebelumnya. Menggunakan total quality management (TQM), continuous improvement dan benchmarking, perusahaan manufaktur Jepang dapat menekan biaya melalui turunnya buangan dengan tetap mempertahankan kualitas dalam rentang toleransi. Kendati demikian, cara-cara efektivitas ini kemudian menjadi umum dalam industri sehingga terjadi saturasi dan kesetimbangan persaingan. Strategi di sisi lain adalah cara berbeda yang dipilih dari sekian alternatif yang ada. Sebagai contoh, sebuah perusahaan penerbangan dapat memilih strategi biaya rendah atau biaya premium. Singapura mendeklarasikan dirinya sebagai service country dan membangun seluruh platform dukung untuk itu, bagaimana dengan Indonesia? Sebagai contoh, seluruh kandidat menyatakan dengan tegas untuk membangun pemerintahan yang bersih, dengan sebelumnya mengelaborasi pentingnya pemerintahan yang bersih. Tentu saja tidak ada seorang pun yang akan membantah pentingnya pemerintahan yang bersih. Masalahnya di sini bagaimana strategi untuk menjalankannya, dari sekian banyak elemen pembentuk pemerintahan yang bersih, mana yang akan menjadi prioritas, apa hambatan potensialnya, dan bagaimana mengatasi hambatan potensial tersebut. Masyarakat belum dapat melihat jelas dalam debat sebelumnya. Pada beberapa kesempatan sebenarnya terbuka peluang menarik untuk mendapatkan debat yang bermutu seperti pandangan Probowo-Hatta tentang perlunya meningkatkan kesejahteraan aparatur negara untuk menghindari korupsi melawan pandangan Jokowi-JK yang justru menekankan pada sistem politik berbiaya rendah dan transparansi anggaran pemerintah. Jika kedua strategi ini dibedah lebih dalam, akan muncul berbagai macam argumentasi yang kaya dan mencerdaskan. Dengan demikian, format debat agaknya perlu diubah sehingga lebih fleksibel dan mampu mengangkat hal seperti ini. Beberapa hal yang bisa diubah antara lain, pertama, mengenai atmosfer, format debat dibuat lebih rileks dalam studio yang tertutup sehingga konsentrasi para kandidat tidak terganggu dan dapat fokus pada masalah.
  • 30. Dengan demikian, efek demam panggung dapat diminimalisasi. Kedua, para kandidat harus diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan mengkritisi konsep yang dibawa kandidat lain sehingga dokumen strategi tertulis perlu diberikan dan dipertukarkan sebelum acara. Dengan demikian, ada kontra argumen yang dapat disajikan dalam acara puncak. Ketiga, moderator perlu dilengkapi dengan hak untuk memperdalam dan mengadu ketajaman argumen kedua kandidat. Dengan demikian, flow pembicaraan dapat lebih luwes dan memberikan ruang lebih luas bagi moderator untuk mencairkan suasana. Masih ada empat seri debat lagi yang akan diadakan pada 15, 22, 29 Juni dan debat akhir pada 5 Juli 2014. Kita berharap KPU dapat mengevaluasi dan memperkaya debat berikutnya sehingga masyarakat dapat terbantu untuk melabuhkan hatinya pada calon pasangan capres dan cawapres yang benar-benar memiliki wawasan luas dan holistik pada permasalahan bangsa. ● WAHYU T SETYOBUDI Staf Pengajar PPM School of Management
  • 31.
  • 32. Memperebutkan Suara Kaum Sarungan Pada 1985 Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi mendeklarasikan diri kembali ke Khitah 1926. Sejak itu NU menarik diri dari segala kegiatan politik praktis dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan seperti awal berdiri. Hak politik warga NU tetap diberikan, tetapi tidak boleh mengatasnamakan NU dan tidak boleh membawa bendera NU dalam politik. Komunitas NU dikenal sebagai komunitas muslim tradisionalis yang memiliki paham dan tradisi keagamaan yang berbeda dari kelompok muslim modernis. Komunitas NU sudah terbiasa mengamalkan tahlil, haul, berzanji, tarekat, dan amalan lain sejenis itu. Dalam mengamalkan tahlil, haul, berzanji, dan tarekat biasanya komunitas NU memakai sarung. Itulah sebabnya orang-orang NU diidentifikasi sebagai kaum sarungan. Jumlah komunitas NU di Tanah Air diperkirakan mencapai 40 juta. Karena itu, setiap kali diselenggarakan pilkada atau pilpres, kiai-kiai NU, pesantren-pesantren NU, tokoh-tokoh NU, dan warga NU pada umumnya didekati oleh para caleg dan pasangan capres-cawapres dengan tujuan untuk mendulang suara mereka. Dalam Pemilu 2004, PDIP mengusung Megawati Soekarnoputri sebagai capres. Tidak dapat diragukan, PDIP adalah partai besar dan mempunyai anggota dan simpatisan yang banyak di seluruh Tanah Air. Nama besar Soekarno menjadi ikon yang menjadi daya pikat dan daya tarik partai bersimbol kepala banteng moncong putih ini. Dalam upaya untuk meraih suara yang lebih besar lagi, Mega menggandeng Hasyim Muzadi sebagai cawapres. Saat itu Hasyim Muzadi masih menjabat (kemudian nonaktif) sebagai ketua umum Tanfidziyah NU. Langkah tersebut tidak lain merupakan taktik-strategi dari PDIP untuk mengeduk suara komunitas NU dalam Pilpres 2004 agar Mega-Hasyim keluar sebagai pemenang. Lebih-lebih yang dihadapi Mega pada waktu adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (yang diusung oleh Partai Demokrat). Dipasangnya JK (yang berlatar belakang kultur NU) sebagai cawapres SBY juga dapat dipahami sebagai taktik-strategi Partai Demokrat untuk mendulang suara kaum sarungan agar pasangan SBY-JK tampil sebagai pemenang. Tokoh penting dan salah seorang pengurus teras PBNU lain yang digaet untuk menjadi cawapres adalah Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Ia disandingkan dengan Wiranto, capres yang diusung Partai Golkar. Dari perspektif politik praktis dan pertarungan pilpres 2004, disandingkannya Gus Sholah dengan Wiranto dapat dibaca sebagai manuver politik Golkar agar mendapat dukungan suara dari komunitas NU dan pasangan tersebut dapat keluar sebagai pemenang. Adapun Abdurrahman Wahid (Gus Dur, tokoh NU yang sangat terkenal, berpengaruh luas, dan mantan ketua umum PBNU), ia diusung sebagai capres oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan dipasangkan dengan Marwah Daud Ibrahim.
  • 33. Tokoh-tokoh NU yang diusung sebagai capres atau dipasangkan sebagai cawapres dalam Pilpres 2004 dapat dibaca sebagai manuver politik agar pasangan itu mendapat dukungan suara dari komunitas NU. Taktik strategi lain untuk merebut suara komunitas NU adalah pasangan capres-cawapres melakukan pendekatan dengan kiai-kiai, ulama, dan tokoh- tokoh NU. Komunitas NU, terutama di kalangan pesantren dan pedesaan, dikenal sebagai komunitas yang tawadu dan sangat menghormati para kiai, tokoh, dan ulama sebagai idola dan panutan mereka. Kaum sarungan ini memiliki dan mempraktikkan budaya paternalistik, terutama di pesantren- pesantren dan pedesaan. Jika seorang kiai atau seorang alim memutuskan untuk mendukung partai politik tertentu, para santri dan komunitas NU di sekitar pesantren dan di pedesaan itu akan mendukung partai politik pilihan kiai mereka. Para caleg, tim sukses, atau pasangan capres-cawapres sangat memahami kondisi psikologis dan ikatan emosional-primordialisme ini dan mereka memanfaatkannya dengan cara melakukan pendekatan yang dikemas dalam bahasa kunjungan silaturahmi. Secara langsung atau tidak, para caleg atau pasangan capres-cawapres itu mengharapkan dan meminta dukungan mereka. *** Ada dua pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2014 sekarang ini. Pasangan dengan nomor urut satu adalah Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang diusung sebagai capres-cawapres oleh Gerindra dan mitra koalisinya. Pasangan dengan nomor urut dua adalah Joko Widodo- Jusuf Kalla (JK) yang diusung sebagai capres-cawapres oleh PDIP dan mitra koalisinya. Seperti pada pilpres-pilpres sebelumnya, pada Pilpres 2014 ini pasangan capres-cawapres mendekati dan melakukan silaturahmi politik dengan para tokoh, ulama, dan kiai NU. JK bersilaturahmi ke KH Hasyim Muzadi (tokoh penting NU, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, dan mantan ketua umum PBNU). Jokowi bersilaturahmi ke KH Salahuddin Wahid (tokoh terkenal NU, adik Gus Dur, dan pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang). Prabowo Subianto menghadiri istighasah komunitas NU di suatu pondok pesantren di Jember (Jawa Timur). Dengan maksud yang tidak berbeda, JK menghadiri pertemuan silaturahmi dengan tokoh-tokoh dan masyarakat NU di Surabaya yang diorganisasi oleh Muhaimin Iskandar (ketum PKB). PKB adalah salah satu partai yang berkoalisi dengan PDIP. Fenomena pelibatan kiai-kiai dan tokoh NU ini memperlihatkan betapa tumpang tindih kegiatan politik praktis dengan Khitah NU 1926. Pelibatan NU dan tokoh-tokoh NU dalam kegiatan politik praktis yang diorganisasi dan dimobilisasi oleh Ketum PKB (Muhaimin Iskandar) adalah tidak sejalan dengan jiwa, ruh, dan semangat Khitah NU 1926. Taktik-strategi lain yang dilancarkan Muhaimin Iskandar untuk mendapatkan dukungan suara
  • 34. komunitas NU ialah dengan cara mengangkat isu bahwa jika Jokowi terpilih sebagai presiden, menteri agama (menag) dalam kabinetnya akan berasal dari kalangan NU. Tidak lama kemudian, isu prematur itu ditepis oleh Jokowi dengan mengatakan bahwa dia dan mitra koalisinya belum sampai pada pembicaraan kriteria menteri dan calon para menterinya. Dukungan suara komunitas NU di banyak daerah tidak sama. Ada yang mendukung Prabowo-Hatta dan ada pula yang mendukung Jokowi- JK. Suara para kiai, tokoh, ulama, dan warga NU terpecah. ● FAISAL ISMAIL Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
  • 35. Urgensi Debat CalonPresiden Secara akademik, urgensi debat calon presiden (capres) bisa menjadi alat ukur sejauh mana sistematika berpikir, kemampuan mengemukakan gagasan, serta kecerdasan dalam memahami persoalan bangsa. Di dalamnya akan tergambar bagaimana calon presiden menyikapi, merumuskan, kemudian menemukan solusi secara operasional atas berbagai masalah bangsa dan negara. Debat juga bisa berfungsi sebagai sebuah proses formal kontestasi, sehingga publik bisa menilai bagaimana gestur, keluasan pengetahuan dan pemahaman, serta kualitas kenegarawanan seorang calon pemimpin. Biar rakyat yang akan menyimpulkan siapa calon yang bersinergi visi-misi dan program kerjanya dengan kompetensi yang dimiliki, dan apakah dapat dipercaya untuk melaksanakan semua yang dijanjikan. Debat pertama capres-cawapres telah terlaksana dengan cukup baik, meski tentu masih terdapat kelemahan, terutama pada konsep dan gagasan yang disampaikan masih belum operasional. Dari sisi tontonan memang cukup menarik, sebab kita disuguhi tampilan yang amat menarik dari dua pasangan, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Malah, banyak kelompok masyarakat yang melakukan nonton bareng seperti saat menonton siaran langsung sepak bola. Personalitas setiap pasangan calon memang cukup menjanjikan. Apalagi, keduanya juga punya pesona kepribadian dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Dari situlah publik dituntun pada bagaimana memilih pemimpin yang memiliki pesona kepribadian dan kepemimpinan yang andal, sebab kemampuan berdiplomasi dalam menyampaikan apa yang akan dikerjakan setelah terpilih, setidaknya akan menentukan poin penilaian publik. Pemikiran Dua Kubu Yang menarik didiskusikan adalah pada pemikiran yang masih tendensius dan cenderung retorik. Padahal, temanya cukup menarik tentang ”Pembangunan demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan kepastian hukum”, yang setidaknya mengantar kita pada pemikiran dua kutub. Pertama, ada yang menggaungkan konsep lantarannya dianggap debat calon presiden yang memang harus menjual gagasan dan konsep. Apalagi presiden adalah pengambil kebijakan, bukan pelaksana teknis. Visi-misi diurai secara normatif tetapi meski masih miskin implementasi, padahal sangat penting diketahui publik. Sejauh mana visi-misi dan program kerja bisa dilaksanakan, serta metode apa yang dipakai untuk merealisasikannya justru masih kabur. Tidak diurai secara maksimal agar rakyat pemilih bisa diyakinkan.
  • 36. Kedua, visi-misi dan program kerja dielaborasi dengan implementasi operasional berdasarkan contoh-contoh tindakan yang pernah dilakukan. Pasalnya, konsep dan gagasan dianggapnya sudah ada dalam visi-misi dan program kerja sehingga harus diurai secara operasional. Mereka menjual implementasi secara aplikatif dengan harapan, biar rakyat yang memilah dan memilih pada kepentingan apa yang ingin diperoleh dari kedua pasangan calon presiden. Apalagi, debat bagi calon pemimpin telah menjadi keniscayaan dalam mencapai substansi demokrasi. Di sinilah ajang bagi publik yang secara terbuka akan mengakses performa calon pemimpinnya. Misalnya ada yang menampilkan kepemimpinan yang ”tegas dan cerdas”. Sementara di sisi lain juga menjual desain kepemimpinan yang ”jujur dan merakyat”. Sekiranya kedua komponen itu disatukan, diyakini setiap permasalahan bangsa akan terselesaikan lebih cepat. Tentu disadari, tidak selamanya kemampuan retorika di atas panggung bagi seorang pemimpin akan berbanding lurus dengan kualitas kepemimpinannya. Dibutuhkan ketegasan dan kecerdasan memetakan permasalahan, termasuk pada kemampuan mengeksekusi permasalahan yang dibutuhkan rakyat. Tetapi itu belum cukup, harus dibarengi pula dengan keberanian dan kecepatan mengambil keputusan. Visi Antikorupsi Saat deklarasi kampanye berintegritas, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menilai, bahwa magnitudo tantangan pemberantasan korupsi belum sepenuhnya dielaborasi dan dirumuskan secara utuh dan paripurna dalam visi-misi dua pasangan calon (Suara Merdeka, 9/6/2014). Maka itu, KPK membagikan buku kepada pasangan capres yang berisi pola pemberantasan korupsi yang komprehensif. Dalam debat kemarin, visi antikorupsi belum tergambar dengan baik, padahal negeri ini butuh determinasi yang progresif. Harapan ini bukan tanpa makna, sebab tingkat kedaruratan korupsi di negeri ini tidak cukup hanya ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Jikapun KPK telah menunjukkan kinerja yang menjanjikan untuk perbaikan ke depan, tetap saja bermunculan koruptor baru dari petinggi negara. Perlu elaborasi visi-misi capres, terutama pada upaya ”pencegahan”. Misalnya, bagaimana memperbaiki sistem hukum yang menurut Lawrence M Friedman terdiri atas substansi hukum atau isi peraturan hukum, struktur hukum atau pelaksana hukum dan pembentuk hukum, serta budaya hukum masyarakat. Tetapi dari ketiga komponen sistem hukum itu, yang paling bobrok adalah struktur hukum kita.Kita belum menemukan bagaimana kedua pasangan capres memperbaiki struktur hukum berupa pembinaan moral dan meningkatkan profesionalitas aparat hukum dan pembentuk undang-undang. Ketiga komponen sistem hukum itu harus bersinergi dan tidak boleh salah satunya pincang karena dipastikan akan memengaruhi kualitas pemenuhan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi masyarakat. Masih adanya upaya pelemahan KPK secara sistematis, baik melalui pembentukan opini publik, maupun cara yang lebih berbahaya dengan menggunakan proses legislasi di DPR, juga harus jadi atensi. Sebab Rancangan KUH Pidana dan Rancangan KUHAP yang saat ini di DPR dan di dalamnya terdapat pasal-pasal
  • 37. pelemahan KPK, seharusnya dijadikan fokus untuk memperkuat KPK. Capres harus berani menyatakan akan mengevaluasi semua pasal yang mengancam kewenangan KPK, bahkan meminta kepada koalisi partai pendukungnya untuk menunda pembahasan kedua RUU itu di DPR sebelum pasal-pasal yang melemahkan KPK dihapus. KPK harus diperkuat dan dijaga integritas dan kewenangannya, sebagai langkah konkret dari keterusikan zona nyaman publik atas perilaku koruptor. MARWAN MAS Guru BesarIlmu Hukum Universitas 45, Makassar
  • 38. Pesan Antikorupsi kepada Presiden 2014 Koran SINDO Senin, 16 Juni 2014 KEGIGIHAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membongkar kasus-kasus korupsi signifikan yang melibatkan penyelenggara negara setingkat menteri telah menambah daftar menteri, dirjen, dan kepala daerah korup sepanjang tahun 2013–2014. Dari banyak kasus korupsi yang telah ditangani KPK dan kejaksaan, terbukti bahwa bidang perizinan dan pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan tempat subur dan potensial penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara. Korupsi terjadi mulai dari hulu (perencanaan program) sampai dengan hilir (pelaksanaan program) dengan nilai kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Maka pantas jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia telah terjadi sistemik dan meluas serta telah menghambat tujuan pembangunan nasional khususnya target pencapaian kesejahteraan manusia dan pembangunan infrastruktur. Kerugian negara yang bersifat masif melalui mafia proyek dan dikuatkan dengan kolaborasi penyelenggara negara yang tidak amanah dan bertanggung jawab sekalipun telah dicokok KPK dan Kejaksaan, tetap saja tidak bergeming karena masih kuat anggapan semua bisa dibeli dengan uang. Beperkara sekalipun, terutama dalam lingkup penyidikan dan penuntutan, bahkan pada tingkat pemeriksaan perkara di pengadilan, masih dipandang rentan suap dan gratifikasi sehingga mengurangi efek jera yang signifikan untuk mereda atau menghentikan syahwat duniawi aparatur penyelenggara negara. Kondisi parah integritas penyelenggara negara harus dijadikan momentum presiden terpilih 2014 untuk segera menyusun strategi pemutarbalikan mindset dan sikap mental kinerja aparatur penyelenggara negara termasuk aparatur penegak hukum secara berencana, berkesinambungan dan konsisten. Perubahan strategi antikorupsi berbasis tujuan retributif- represif harus diimbangi dengan tujuan berbasis restoratif-preemptif dan preventif. Jika selama ini pemenjaraan dijadikan ikon sukses penegakan hukum maka kini dan sejak 2014 ikon ke depan adalah pemulihan kerugian negara oleh pelaku dan ganti rugi kepada korban, baik perorangan, kelompok maupun korporasi. Strategi ini harus dijadikan pilihan alternatif yang diharapkan dapat memulihkan situasi sosial ekonomi Indonesia secara utuh. Perubahan strategi ini merupakan pilihan yang telah berhasil juga diterapkan di negara- negara maju. Namun dengan catatan bahwa untuk Indonesia, alternatif strategi tersebut harus dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas serta perubahan mindset dan sikap
  • 39. pelaksananya khususnya petinggi hukum termasuk petugas Polri, jaksa, dan hakim. Sebagai contoh, jika biaya perkara korupsi di Kejaksaan Agung atau di KPK sekitar Rp100 juta, tentu arah dan sasarannya harus perkara korupsi dengan nilai di atas Rp 100 juta sehingga penanganan perkara korupsi dapat memberikan nilai tambah bagi keuangan negara; tidak sebaliknya. Dalam konteks ini, efek jera bukan satu-satunya solusi keberhasilan penanganan korupsi, melainkan agar negara tidak dirugikan dua kali dalam perkara yang sama; kerugian pertama, akibat perbuatan pelaku, dan kerugian kedua, karena uang yang dapat dikembalikan kepada negara justru jauh lebih rendah dari biaya perkara yang disediakan dalam APBN. Bagi kaum retribusionis, tentu gagasan strategi ini tidak sesuai dengan filosofi dan misinya. Akan tetapi karakter pidana abad pertengahan tersebut seharusnya disesuaikan dengan perubahan karakter pidana abad ke-20 dan ke-21 memasuki gelombang ekonomi internasional. Selain pertimbangan tersebut, karakter mental bangsa Indonesia sangat dipengaruhi juga secara tradisional oleh gaya hidup dan perilaku pemimpinnya baik tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi dan tingkat nasional termasuk seluruh petinggi K/L dan penegakan hukum. Lihat saja bagaimana pemimpin Singapura dapat mengubah sikap perilaku rakyatnya yang awalnya tidak menghargai kebersihan dan kejujuran kini tampak berhasil membalikkan keadaan sosial tersebut karena gaya hidup dan perilaku pemimpinnya. Begitu pula Hong Kong dan Selandia Baru atau Skandinavia. Perubahan strategi antikorupsi yang saya usulkan berhasil/tidaknya dapat dipengaruhi politik perdagangan Indonesia ke depan yang seharusnya membatasi impor barang-barang mewah secara selektif dan terkendali. Khusus barang-barang mewah adalah yang dapat mengubah sikap mental konsumerisme kepada hidup hemat dan produktif. Antara lain dengan cara meningkatkan kreativitas pengusaha pribumi dengan produk lokalnya dan berkualitas ekspor yang dapat memberikan kontribusi devisa negara dibandingkan dengan menghabiskan devisa untuk membayar hutang luar negeri. Perubahan lain yang bersifat strategis adalah melakukan kajian perundang-undangan khusus berkaitan dengan pemberantasan korupsi untuk mencapai tujuan hukum berbasis kepastian hukum yang berkeadilan yang dilaksanakan dengan hati-hati, objektif, lugas dan tuntas, dan sejauh mungkin tidak menyisakan celah multitafsir di kalangan pelaksananya. Semua perundang-undangan pidana administratif harus dirumuskan dengan tetap mengedepankan sanksi administratif dan hukuman terberat hanya hukuman kurungan dan denda saja. Untuk perundang-undangan pidana khusus (lex specialis) harus ditetapkan standar minimum khusus sesuai dengan pedoman dalam UNTOC 2000 dan maksimum
  • 40. pidana penjara 20 tahun dan pidana denda yang tinggi khusus terhadap korporasi dilengkapi dengan pidana tambahan (pencabutan izin usaha dan penyitaan) serta dihapuskannya pidana mati sesuai dengan ICCPR. Perubahan strategi di atas harus diselesaikan dalam waktu paling singkat 6 bulan dan paling lama 1 tahun sejak pembentukan kabinet pemerintahan 2014. ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
  • 41.
  • 42. Harapan atau Hiburan? Kamis, 19Juni 2014 PENGUNJUNG transisi menuju demokrasi adalah situasi yang khas: ekspektasi akan hidup yang lebih baik kian membuncah tapi pada saat yang sama energi dan euforia –bahkan kesabaran– sudah menyurut. Fase pungkas transisi, yaitu konsolidasi demokrasi, adalah jalan sepi yang ditempuh dengan ketekunan, bukan panggung ingar-bingar penuh deklamasi. Dalam tahap ini diperlukan pemimpin yang mampu menggerakkan sekaligus mendorong rakyat, agar mau melangkah lagi agar tujuan transisi, yaitu demokrasi yang sejati dapat tercapai. Itulah yang kini terjadi di Indonesia. Pemilu demokratis sudah tiga kali kita lewati dan kini kita tengah melaksanakan pemilu demokratis keempat dengan ekosistem politik yang jauh lebih stabil. Kita telah berusaha merumuskan arah yang ingin dituju agar transisi ini tidak menjadi jalan berputar atau –malah lebih parah– berputar-putar tanpa arah. Tantangan itulah yang coba dijawab dalam Sidang Umum MPR dan proses amendemen UUD 1945 pasca-Reformasi. Kita berusaha untuk menulis kembali cetak biru dan mempertegas alasan kehadiran (raison d'etre) Negara Kesatuan Republik Indonesia bagi semua warga bangsa yang berlindung dalam naungannya. Dalam perjalanannya, cetak biru itu harus berdialektika dengan realitas dan ekspektasi yang terus berubah. Kini kita harus menjaga stamina agar negara dan warganya tidak kehabisan tenaga untuk menuntaskan transisi demokrasi karena janji perbaikan hidup sebagian belum terwujud. Karena itu, kita harus bekerja bersama menuntaskan transisi demokrasi dan menghindarkan Indonesia dari jebakan transisi berkepanjangan (prolonged transition), di mana nilai dan sistem lama telah dihancurkan namun nilai dan sistem baru belum terbangun, atau belum mampu menghasilkan kehidupan lebih baik sebagaimana yang dijanjikan. Jebakan transisi berkepanjangan ini membutuhkan pemimpin yang mampu memecah kebuntuan situasi sekaligus menjaga api harapan tetap menyala untuk mencapai garis tujuan. Demokrasi “Media-Sentris” Kita tengah berada di era “demokrasi melalui media” di mana media memegang peran penting dalam mentransmisikan pesan ke dan dari masyarakat. Media telah menghablurkan batas antara realitas yang kita alami sendiri dan realitas yang kita serap dari media. Hari ini orang yang tidak tinggal di Jakarta bisa bercerita tentang macetnya Jakarta akibat
  • 43. pengetahuan yang diserapnya dari media. Ini juga yang mempengaruhi ruang politik kita. Media berperan sangat penting karena media tidak semata mempresentasi realitas, tetapi merepresentasi (mewakilkan hadirnya) realitas ke depan khalayak. Menurut ahli kajian media David Buckingham (2010), media tidaklah menawarkan jendela bening tembus pandang untuk melihat “dunia", namun menghadirkan sebuah “dunia” dalam versi yang telah dimediasi. Media bukan menyediakan kacamata atau teropong, tapi menghadirkan akuarium sehingga kita beranggapan bahwa akuarium itulah keseluruhan dunia ini. Yang terserak di luar akuarium dianggap tidak penting dan bermakna. Logika media (terutama televisi/tv) adalah “menonton dan ditonton” dengan dikotomi peran pasif-aktif yang semakin kabur, terutama dalam konteks pemilihan umum. Penonton yang selama ini dinilai pasif dan tidak berdaya, dalam politik menjadi berdaya karena dialah pemilik suara yang diperebutkan. Sementara, para tokoh politik yang diimajikan berkuasa, sebenarnya sedang memainkan pertunjukan yang naskahnya didiktekan oleh massa rakyat melalui survei opini publik. Dalam situasi “media-sentris" seperti ini, sangat mudah orang terjebak untuk menjadi penghibur bagi penonton. Tokoh-tokoh politik menyajikan tontonan yang menyenangkan hati penontonnya, melalui suatu pertunjukan buatan. Apa yang dipertontonkan belakangan ini tentu berbeda makna dan motivasinya dengan, misalnya, kebiasaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX keliling Yogyakarta pada malam hingga subuh. Pada suatu kesempatan beliau memberi tumpangan kepada seorang mbok pasar. Ketika sampai di pasar, orang-orang memberi tahu mbok bahwa yang memberinya tumpangan adalah Ngarsa Dalem. Langsung mbok itu pingsan! Tidak ada media yang meliput, tapi cerita itu hidup sampai sekarang. Cerita yang otentik, nyata, bukan pertunjukan. Masyarakat umum mengetahuinya belasan tahun kemudian melalui buku Takhta Untuk Rakyat. Karena dikendalikan dengan logika hiburan, bukan otentisitas, tokoh politik terjebak untuk menyederhanakan masalah dan cara penyelesaian masalah. Ini tak terelakkan karena dalam demokrasi media-sentris, durasi, jam tayang, prime time, sound byte menjadi indikator utama. Pesan pemimpin dikemas mirip iklan yang renyah dan berdimensi tunggal agar mudah diingat tanpa elaborasi yang mendalam. Gagasan Pemimpin Di tengah arus media-sentris itu, kita kekurangan kesempatan menelaah gagasan pemimpin secara mendalam. Ruang-ruang publik yang didominasi logika media dan budaya instan berpotensi melahirkan figur pemimpin penghibur yang membuat kita tertawa sejenak meskipun masalah tetap menggunung.
  • 44. Pemimpin penghibur tidak mengajak penontonnya berkerut kening karena yang ditawarkan adalah keceriaan sesaat dan tanpa memikirkan bagaimana besok atau lusa. Pemimpin penghibur tidak menawarkan masa depan karena yang penting baginya adalah hari ini. Pemimpin penghibur juga kerap khawatir penontonnya berpaling mencari tontonan lain yang lebih menghibur. Mirip logika rating dalam industri sinetron. Indonesia tidak membutuhkan pemimpin penghibur atau pemimpin sinetron. Kita sudah melewati sejumlah krisis dan kini tengah bersiap untuk naik kelas dari negara skala menengah menjadi negara kuat dalam ukuran ekonomi dan pengaruh geopolitik. Kondisi itu akan tercapai jika kita berhasil menuntaskan transisi demokrasi dan menghasilkan negara bangsa yang kuat dan demokratis. Yang dibutuhkan adalah pemimpin penyala harapan, bukan penyaji hiburan, bahwa hari esok yang lebih baik akan datang jika kita mau bekerja keras, bukan dengan tertawa-tawa sejenak. Peran penting pemimpin adalah menciptakan “state of mind” atau situasi psikologis di dalam masyarakatnya dengan cara melahirkan dan mengartikulasikan tujuan yang menggerakkan orang dari kepentingan mereka sendiri menuju kepentingan bersama yang lebih tinggi. (JW Gardner, 1988). Kita membutuhkan lebih banyak ruang lagi untuk mendengarkan gagasan pemimpin untuk mendapat harapan, bukan hiburan. ANIS MATTA Presiden Partai Keadilan Sejahtera
  • 45.
  • 46. KPK Wajib Membayar Kerugian Rp100 Juta Majelis hakim agung Tata Usaha Negara RI memutuskan KPK terbukti menyalahgunakan wewenang dalam menyita harta kekayaan mantan hakim terpidana Syarifudin. Ketika membaca berita itu seketika saya terhenyak karena serasa mustahil KPK yang terdiri atas manusia terpilih dan berintegritas serta profesional, tiba-tiba terbukti telah bertindak melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan. Bak pepatah tiada gading yang tak retak dan pengakuan bahwa manusia selalu tidak luput dari kekeliruan atau kesalahan, itu merupakan penghibur kekecewaan kita terhadap kinerja pimpinan KPK terkait putusan majelis hakim agung dalam perkara TUN ini. Namun, bagi KPK sebagai lembaga ”superbody” dan memiliki kewenangan luar biasa–antara lain dapat bertindak sendiri tanpa izin (pengawasan) pengadilan– putusan kasasi dalam perkara TUN tidak dapat diremehkan dan dianggap sepele. Apalagi, menilai putusan tersebut ditengarai keliru atau dikriminalisasi ”miscarriage of justice”; justru sebaliknya harus dijadikan bahan introspeksi bagi kelima pimpinan KPK dan bahan evaluasi atas kinerja bawahan mereka: deputi dan direktur. Jika perlu dibentuk majelis kode etik dan perilaku oleh kelima pimpinan KPK, sekalipun setiap langkah dan pengambilan keputusan dalam lingkup tugas dan wewenang KPK selalu harus memperoleh persetujuan kelima pimpinan KPK. Tidak ada keengganan bagi kelima pimpinan KPK sesuai dengan UU KPK yang mewajibkan untuk secara terbuka (transparan) mempertanggungjawabkan kepada publik, dan mengakui telah terjadi kekeliruan dalam menetapkan kebijakan, termasuk tindakan perampasan harta kekayaan terdakwa mantan hakim Syarifudin. Apalagi putusan kasasi dalam perkara ini tidak menghalangi eksekusi sekalipun pimpinan KPK memutuskan untuk mengajukan PK. *** Konsekuensi hukum putusan kasasi dalam perkara TUN ini memaksa KPK melaksanakan eksekusi. Pertanyaannya, siapa yang harus melaksanakan eksekusi, jaksa pada KPK? Persoalan kedua, jika putusan kasasi harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang tanpa peduli akan pengajuan upaya hukum PK; uang dari mana yang harus dikeluarkan KPK karena tidak ada pos khusus anggaran belanja KPK untuk membayar denda atau ganti rugi. Apakah kelima pimpinan KPK harus tanggung renteng berdasarkan asas kolektif kolegial dengan mengeluarkan dari kocek masing-masing sebesar Rp20 juta? Kekecewaan saya dalam konteks putusan MA tersebut karena peristiwa ini pertama kalinya terjadi dalam sejarah perjalanan KPK sejak didirikan pada 2003.
  • 47. Hal kedua yang menarik untuk disampaikan kepada publik ialah siapa eksekutor putusan MA tersebut karena KPK tidak memiliki jaksa/penuntut bidang tata usaha negara, kecuali kejaksaan agung, akan tetapi apakah dimungkinkan jaksa TUN melakukan eksekusi untuk kepentingan perorangan (terpidana)? Jaksa KPK hanya berwenang antara lain melaksanakan eksekusi atas putusan dalam perkara pidana. Namun, hukum adalah hukum dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (putusan kasasi tidak menunda eksekusi) serta siapa pun atau setiap lembaga negara, termasuk KPK, wajib tunduk dan mematuhi putusan pengadilan. Ke depan, kelima pimpinan KPK harus sangat berhati-hati menggeledah dan menyita harta kekayaan seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang karena integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas lembaga ini menjadi taruhannya di hadapan 250 juta rakyat Indonesia; dan itulah yang selalu saya ingatkan kepada KPK melalui berbagai tulisan saya. *** Prinsip perlakuan hukum yang sama di muka hukum (equality before the law), termasuk bagi setiap lembaga penegak hukum, termasuk KPK, tetap harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam konteks ini saya dapat katakan bahwa prinsip ”zero tolerance against abuse of power” sama pentingnya dengan prinsip ”zero tolerance against corruption”. Karena harkat dan martabat kelima pimpinan KPK sama penting kedudukannya dengan pengakuan atas harkat dan martabat seseorang sekalipun terpidana sebagai manusia sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pengetahuan saya, gugatan terhadap KPK juga pernah terjadi dalam putusan pengadilan yang telah merampas harta kekayaan mereka yang diduga turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan didakwa bersama pelaku (dader) tetapi terhadap mereka yang turut serta tidak pernah dijadikan tersangka (tanpa sprindik– surat perintah penyidikan), apalagi dilimpahkan kepada pengadilan sebagai terdakwa. Peristiwa ini kemudian dipandang sebagai perampasan tanpa dasar hukum yang berlaku sekalipun perintah majelis pengadilan atau telah terjadi perampasan atas hak atas harta kekayaan secara sewenang-wenang atau miscarriage of justice yang dilakukan pengadilan yang merujuk kepada tindakan penyitaan yang telah dilakukan KPK. Menurut hemat saya, pimpinan KPK wajib mengambil langkah-langkah eksaminasi bersama meneliti kembali semua prosedur dan langkah hukum yang telah dilaksanakan dalam beberapa perkara korupsi lampau. Lalu pimpinan KPK segera menerbitkan SOP baru untuk mencegah peristiwa ini terjadi kembali. Langkah ini penting karena KPK telah menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia dalam
  • 48. pemberantasan korupsi, bukan pada output semata-mata, melainkan juga harus dibenarkan dari sisi prosedur. Dunia hukum dan dalam praktik diharamkan bekerja atas dasar tujuan menghalalkan cara, kecuali bagi dunia ilmu ekonomi. Karena disiplin hukum selalu bekerja di atas landasan ”value oriented” bukan ”mechanistic oriented”. Karena objek perbuatan yang dilarang dalam hukum ditujukan terhadap manusia sesama subjek hukum dalam kehidupan masyarakat, bukan manusia sebagai objek (perlakuan) hukum. ● ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung
  • 49.
  • 50. Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Pilpres Koran SINDO Senin, 23 Juni 2014 TIADA terasa sekitar satu setengah tahun lagi penduduk di kawasan Asia Tenggara akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Bila tidak ada perubahan lagi, MEA akan efektif 1 Januari 2016. Namun hingga kini tidak terlihat jelas bagaimana Indonesia secara khusus mempersiapkan diri. Hal yang terlihat jelas justru ketiadaan inisiatif pemerintah secara sistematis menghadapinya demikian pula masyarakat. Geliat semangat menyongsong MEA secara hakiki itu tidak hadir dalam keseharian bangsa Indonesia. Sepertinya tidak ada yang berubah ada atau tidak MEA 2015. Bila demikian, apakah menjadi sebuah masyarakat ASEAN itu relevan dan penting bagi negara di Asia Tenggara dan negara lain di kawasan yang lain? Pertanyaan retoris itu semestinya tidak membuat kita terlena menjadikannya tanpa makna. Sebagai sebuah proses menjadi suatu kesatuan di kawasan, regionalisme yang didorong negara (state-led process) ini sudah separuh jalan. Negara yang begitu banyak urusannya memenuhi kebutuhan penduduknya secara domestik dengan berdiplomasi di luar negeri sepertinya sudah kewalahan. Akibatnya, bisa dimengerti bahwa menjadi MEA seperti apa, langkah apa yang harus dilakukan hingga menyampaikan apa yang sudah dikerjakan kepada seluruh pemangku kepentingan pun kurang efektif. Lalu apa yang harus dilakukan agar tidak sekadar sumpah serapah yang keluar dari para pemangku kepentingan yang tiada guna. Regionalisasi Dalam khasanah literatur hubungan internasional dikenal istilah regionalisme dan regionalisasi dalam integrasi kawasan. Secara sederhana beda antara keduanya terletak pada siapa yang menjadi inisiator dan fasilitator proses integrasi tersebut. Regionalisme didorong negara (state-led process), sedangkan regionalisasi didorong oleh aktor non-negara (nonstate- led process). Ketika negara terlalu ”sibuk” dengan berbagai urusan sehingga kehadirannya kala dibutuhkan tidak terasa, inisiatif dari swasta (perusahaan), akademia, pers, lembaga sosial kemasyarakatan maupun nirlaba hingga individu menjadi penting.
  • 51. Caranya dengan melakukan sesuatu dalam kapasitas masing-masing dengan bentuk aktibitas, cakupan, dan kedalaman program yang bisa dilakukan. Aktivitas mendasar yang bisa mengawali adalah dengan mencari tahu dan menjelaskan kepada khalayak di sekitar kita tentang hakikat MEA dan dampaknya. Institusi resmi seperti Sekretariat ASEAN, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dapat dijadikan rujukan awal. Paling tidak mereka memiliki dokumen-dokumen resmi standar atau dasar tentang ASEAN dan komunitas ASEAN yang otoritatif. Namun kadang bentuknya kaku, kurang menarik, dan monoton. Akibatnya esensi pesan kurang dapat tersampaikan dengan baik. Selain itu, dengan materi standar, sedangkan spektrum masyarakat yang dituju sangat beragam, menjadi semakin sulit menyampaikan pesan secara tepat. Untuk itu, perlu media yang tepat dan cara komunikasi yang efektif kepada berbagai lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakangnya. Kemajuan teknologi dapat memfasilitasi ini. Pertanyaan lain, bagaimana kita memaknai pilpres yang strategis ini dengan kesiapan Indonesia menghadapi MEA? Pilpres Saat ini bangsa Indonesia sedang bereuforia dalam pesta demokrasi memilih presiden untuk masa lima tahun ke depan. Momen ini sangat krusial. Kita bersama sembilan negara ASEAN akan menyongsong MEA 2015. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden akan menorehkan sejarah membawa Indonesia berkontribusi bahkan siap memimpin ASEAN. Bila dipelajari dari visi misi dua capres, masih terlihat minim perhatian pada kebijakan luar negeri. Apalagi yang secara spesifik membahas ASEAN. Dalam membedahnya dapat kita lihat dari dua hal. Pertama, platform kebijakan luar negeri mereka. Pasangan Jokowi-JK menginginkan Indonesia menjadi kekuatan menengah (middle power) dan memegang kendali sebagai kekuatan regional yang disegani. Adapun platform pasangan Prabowo-Hatta adalah fokus pada kebijakan luar negeri bebas aktif. Kedua , kebijakan luar negeri tidak bisa dipisahkan dari faktor idiosinkrasi presiden. Faktor ini diartikan sebagai berbagai atribut personal yang melekat pada diri pribadi presiden. Contohnya karakter, cara berpikir, kebiasaan, budaya, kepercayaan, dan nilai-nilai yang diyakini serta sifat-sifat pribadi lainnya sebagai manusia. Bila dibandingkan, kedua capres memiliki perbedaan yang mendasar dilihat dari sisi yang diperlihatkan di depan publik dan sisi yang sebenarnya. Capres Prabowo berusaha memunculkan citra sebagai macan Asia yang tegas, asertif, disegani. Ia muncul sebagai antitesis atas kepemimpinan Presiden SBY yang relatif lebih tenang, kalem, hati-hati, cenderung tidak decisive sehingga jauh sekali dari karakteristik seorang yang memiliki latar belakang militer.
  • 52. Adapun capres Jokowi menampilkan gaya yang apa adanya, sederhana, dan berusaha menampilkan bahwa dirinya memiliki atau merepresentasikan rakyat yang sebenarnya di tingkat akar rumput. Bukan figur superhero dan orang yang sempurna. Walau demikian, ia memperlihatkan sosok yang mampu bekerja konkret dengan hasil yang jelas. Dengan faktor idiosinkrasi dari kedua capres, keduanya memiliki tantangan yang sama untuk ”memimpin” negara-negara ASEAN. Kepemimpinan yang mampu memberikan contoh- contoh kerja konkret di dalam negeri akan semakin disegani di luar negeri. Bukan kepemimpinan yang memunculkan rasa kekhawatiran dan mengancam negara-negara lain di kawasan ini. Ingat, di kawasan Asia Tenggara berlaku ASEAN Way yang suka atau tidak masih tetap berlaku. TIRTA N MURSITAMA, PHD Ketua Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta; Plt Ketua Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII)
  • 53.
  • 54. GBHN dalam Perspektif Social Order Koran SINDO Rabu, 25 Juni 2014 WACANA formulasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali digulirkan melalui seminar nasional, diselenggarakan sebuah universitas di Jakarta beberapa waktu kemarin. Saya diundang sebagai salah satu pembicara. Beberapa pemikiran pernah saya sampai pada acara serupa di Yogyakarta tahun 2012. Saya berharap wacana ini tidak berhenti sebagai wacana belaka, tetapi ditindaklanjuti oleh rezim pemerintahan baru hasil Pilpres 2014. Pada dimensi politik, pro dan kontra tentang wacana reformulasi GBHN sudah lumrah. Masing-masing mengklaim benar sesuai logika politiknya. Kebenaran pernyataan politik umumnya tergantung besar-kecil atau kuat-lemahnya kekuatan politik. Kalau perspektif politik dibiarkan mendominasi aktivitas pemerintahan dan menggeser perspektif lain, sangat dikhawatirkan kelangsungan kehidupan bernegara menjadi tidak sehat, dan tercapainya tujuan bernegara pun, terganggu. Oleh karena itu, sumbangan pemikiran dari perspektif social order, penting dihadirkan, agar nantinya GBHN memiliki legitimitas dan legalitas. GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh lembaga tertinggi negara, sebagai representasi seluruh rakyat. Penjabarannya, dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Definisi itu perlu disepakati, sebagai titik tolak menyamakan persepsi, agar pembicaraan mengenai GBHN tidak simpang siur. Dalam perspektif social order, GBHN merupakan ”pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu”. Di dalamnya ada filsafat keterkaitan sistemik antara GBHN dengan basis sosialnya. Artinya, perencanaan kehidupan masa depan bangsa, wajib memperhatikan aspirasi rakyat dan dinamika sosial. GBHN merupakan sarana memanusiakan (nguwongke) rakyat Indonesia dalam rangka pertanggungjawaban sosial penyelenggaraan negara. Oleh karena itu dibutuhkan analisis sosial, agar aspirasi dan dinamika sosial terakomodasi dengan baik. Terkait dengan dinamika sosial, GBHN cukup memuat sari pati substansi ide- ide segenap komponen bangsa dalam garis-garis besarnya saja, agar pemikiran dan aspirasi rakyat yang terus berkembang dapat diakomodasi dengan mudah.
  • 55. Dalam terminologi sistem hukum (Friedman, 2009), substansi hukum (GBHN) perlu dipadukan dengan struktur hukum, dan kultur hukum, berupa ”semangat” penyelenggara negara untuk mewujudkan kebahagiaan rakyat. Oleh karena itu, program penyusunan sistem hukum nasional perlu digarap secara terpadu dengan GBHN. Ke depan, GBHN hendaknya merupakan karya moral akademik-intelektual negarawan, bukan sekadar karya politikus. Idealnya, GBHN disusun atas dasar platform ideologi Pancasila, dalam rangka mencapai tujuan negara, yakni: ”... membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...” Inilah dimensi teologisnya. GBHN, hendaknya sudah menggambarkan tentang sistem hukum nasional, memuat pokok-pokok lembaga negara permanen dan norma hukum operasional, sebagai penerjemahan asas-asas hukum berdasarkan ideologi Pancasila. Sudahkah pemerintahan kita melibatkan rakyat dalam penyusunan GBHN? Beberapa fakta di bawah ini, menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, pada era Orde Lama, istilah GBHN belum dikenal, tetapi ada istilah sejenis yang maknanya sama yaitu undang-undang pembangunan nasional semesta berencana. Untuk mempersiapkan UU tersebut, dibentuklah Dewan Perancang Nasional berdasarkan UU No 80 Tahun 1958. Pada Pasal 3 ayat (2) diatur ”Dewan Perancang Nasional menyusun rencana pembangunan nasional dengan memperhitungkan pembangunan segala kekayaan alam dan pengerahan tenaga rakyat serta meliputi segala segi penghidupan bangsa Indonesia dalam bentuk rancangan undang-undang pembangunan”. Pada Pasal 9 diatur: “Para Anggota Dewan Perancang Nasional terdiri dari orang-orang ahli yang memiliki hasrat dan semangat pembangunan sesuai dengan jiwa bagian pertimbangan undang-undang ini dan terbagi atas: sarjana, ahli ekonomi, ahli teknik, ahli budaya dan sarjana-sarjana lain yang ahli dalam soal-soal pembangunan; orang-orang yang dapat mengemukakan soal-soal pembangunan di daerah Swatantra Tingkat I dan yang ahli dalam soal-soal pembangunan; orang-orang dari golongan-golongan fungsional yang ahli dalam soal-soal pembangunan; pejabat-pejabat sipil dan militer yang ahli dalam soal-soal pembangunan.” Keterlibatan berbagai unsur masyarakat, merupakan cermin adanya sistem pemerintahan yang akomodatif terhadap kehendak rakyat. Kedua, pada era Orde Baru, berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 (pra-amendemen) pembuatan GBHN dilakukan MPR, suatu majelis yang merepresentasikan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
  • 56. MPR merupakan miniatur kedaulatan rakyat dan bangsa Indonesia. Karena hakikat pembangunan sendiri merupakan peningkatan kualitas dan derajat kehidupan seutuhnya dari seluruh rakyat Indonesia, maka bentuk operasional GBHN adalah Rencana Pembangunan Nasional. Walaupun keterlibatan rakyat tidak langsung, komposisi keanggotaan MPR waktu itu cukup memberikan ruang lebar bagi rakyat terlibat di dalam kegiatan itu. Ketiga, pada era Reformasi, GBHN tidak dikenal. Orde Reformasi memiliki semangat politik dan cara pandang tersendiri terhadap MPR dan GBHN. Melalui amendemen UUD 1945, MPR tidak diamanatkan menetapkan GBHN. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Diselenggarakan desentralisasi dan penguatan otonomi daerah. Perencanaan pembangunan dianggap cukup ditumpukan pada visi-misi presiden-wakil presiden. Secara empiris, visi-misi presiden-wakil presiden selama ini tidak mampu mengantarkan bangsa ini semakin dekat dengan cita-citanya bernegara. Debat capres-cawapres, betapapun bagus dari perspektif keterbukaan informasi, namun belum menunjukkan jati diri negarawan dan karakter kepemimpinan pancasilais. Rakyat diposisikan sebagai penonton, objek, dan tidak pernah menjadi subjek dalam bernegara. Sembari menunggu kehadiran pemerintahan baru, yuk, kita pikirkan bersama, kembalinya lembaga tertinggi negara MPR dan GBHN sebagai satu kesatuan. Wallahualam. PROF DR SUDJITO SH MSI Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM