Dokumen tersebut membahas tentang fenomena kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada di Indramayu pada tahun 2010, yang meliputi politik uang, pengambilan surat panggilan pemilih, mobilisasi aparatur hingga tingkat RT untuk mendukung calon tertentu, dan ditemukannya surat suara yang sudah dicoblos sebelum hari pemungutan suara. Dokumen ini menyerukan perbaikan sistem pemilu dan peningkatan kesadaran masyarakat unt
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Belakangan ini ramai dibicarakan mengenai Pilkada. Berbicara soal pilkada, tentu
kata pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Pilkada
dilakukan 1 kali dalam lima tahun. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan
Juni 2005.
Pemilihan kepala daerah di berbagai kabupaten/kota ini tentu tidak hanya merupakan
rutinitas demokrasi. Di sini dipertaruhkan harapan rakyat yang merindukan perubahan dan
perbaikan. Di sana dipertaruhkan arah pembangunan daerah selama lima tahun ke depan.
Meski sudah banyak rakyat yang apatis dengan pergantian dan pemilihan kepala daerah,
namun tidak sedikit yang optimis dan berharap akan lahir pemimpin yang jujur dan adil.
Dalam pelaksanaan pilkada, banyak terjadi fenomena politik yang tidak sehat.
Seringkali banyak terdapat kejanggalan demokrasi dalam proses keberlangsungan pilkada,
seperti fenomena elite politik yang “haus jabatan”, fenomena politik uang, dan bosisme
politik. Dengan melihat berbagai fenomena yang ada ini, topik fenomena pilkada ini menjadi
bahasan yang menarik untuk dibahas. Untuk ke depannya demi munculnya figur yang lebih
baik untuk memimpin daerah – daerah di negara kita ini.
Berikut di paper ini kita akan membicarakan apa itu pilkada dan dasar pelaksanaanya,
serta bagaimana pelanggaran atau fenomena tidak sehat dalam pilkada, dan bagaimana
menyikapinya.
Rumusan Masalah
1. Apa itu pilkada?
2. Apa dasar pelaksanaan pilkada di Indonesia?
3. Bagaimana fenomena pilkada di Indonesia?
4. Bagaimana menyikapi atau apa yang harus dilakukan terhadap fenomena pilkada yang
ada?
Yuca Siahaan
2. PEMBAHASAN
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada
atau pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah:
Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi
Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten
Walikota dan wakil walikota untuk kota
Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, pilkada
(pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum dimasukkan dalam rezim
pemilihan umum (pemilu).
Berbicara soal pemilihan kepala daerah (Pilkada), selain figur calon, kita tidak bisa
memisahkan juga dengan faktor-faktor yang terlibat dalam kesuksesan Pilkada, seperti: faktor
partai politik, elit politik, uang dan bosisme politik atau biasa disebut investasi politik.
Bagaimana hubungan kesuksesan Pilkada dengan ruling elite, uang dan bosisme politik ini?
Berikut ini akan dibahas dan telaah mengenai hubungan antar faktor tersebut di atas.
1. Ruling elite
Istilah elite politik dapat bermakna orang-orang / tidak hanya tokoh partai yang
berada di puncak piramida perpolitikan.
Ruling elite, yang dalam tulisan Anies Baswedan, mengatakan bahwa “ruling elite adalah
sekelompok elite di antara kaum elite - elite lain yang berkuasa menentukan arah kehidupan
bangsa dan negara.
Dalam hal Pilkada, yang dimaksud dengan ruling elite, adalah sekelompok orang
yang sangat berpengaruh secara politik, jadi tidak hanya tokoh partai politik yang ikut
menentukan proses pemilihan kepala daerah. Mungkin itu tokoh - tokoh partai politik,
pengusaha, pemerintah/birokrat, tokoh organisasi masyarakat (ormas), tokoh agama, tokoh
adat, maupun tokoh-tokoh kelompok masyarakat lainnya.
Jika ditanya seberapa besar pengaruh ruling elite dalam suksesi Pilkada, tentu besar.
Karena ruling elite mempunyai pengaruh politik yang cukup signifikan, menguasai basis
massa berupa pengikut, mempunyai dana dan akses modal yang cukup besar, dan menguasai
Yuca Siahaan
3. kontur maupun kultur masyarakat sekelilingnya. Dengan kekuasaannya tersebut ruling
elite akan sangat mempengaruhi calon pemilih untuk memilih pasangan calon walikota/wakil
dan bupati/wakil.
Ruling elite tentunya punya kepentingan politik terhadap Pilkada. Dengan terpilihnya
pasangan calon yang didukungnya, kepentingan politik dan ekonominya akan dapat
terakomodasi. Itu keniscayaan atau ekses politik yang gampang ditebak. Dukungan ruling
elite terhadap pasangan calon tertentu selalu berprinsip ‘take and give’seperti prinsip
ekonomi. Itu kecenderungan negatifnya.
Walaupun demikian berdampak negatif, ruling elite tetap punya pengaruh positif
terhadap pemilihan kepala daerah. Ruling elite dapat menggunakan pengaruh politiknya
untuk mengajak pengikutnya, kekuasaan politik serta dananya untuk mewujudkan Pilkada
yang lebih baik. Mereka dapat melakukan pencerahan kepada calon pemilih, mempengaruhi
pilihannya untuk memilih pasangan calon kepala daerah yang baik track record-nya. Mereka
juga dapat menyumbangkan dananya untuk keperluan kampanye pasangan calon kepala
daerah tanpa ‘deal’ mengharap proyek atau kemudahan birokrasi untuk kepentingan politik
dan bisnisnya.
2. Uang
Jika diukur dari jumlah uang yang harus dikeluarkan, kita harus mengakui bahwa
ongkos praktik politik di Indonesia memang tinggi, lebih - lebih untuk komponen tak
resminya. Meskipun tak ada yang mau menyebut besarannya, ongkos pendekatan seorang
calon kepala daerah dengan partai politik pasti tinggi.
Partai-partai di Indonesia masih cenderung memposisikan diri sebagai “kendaraan” untuk
calon bermodal besar. Sebaliknya, yang bermodal kecil, silakan minggir. Biaya belum
termasuk
ongkos
sosialisasi
politik
dan
kampanye,
apalagi
kalau
si
kandidat
melakukan money politics atau politik uang.
Istilah “alat yang lazim ditempuh untuk memenangkan suara dalam pilkada”
mengalami penafsiran yang berbeda-beda dan menimbulkan perdebatan yang tajam. Namun,
orang kemudian membedakan antara yang legal dan tidak legal.
Yang legal atau yang termasuk dalam kategori financial politics adalah biaya atau ongkos
yang tercatat dan dapat diaudit. Sedangkan yang tidak legal adalah yang tersembunyi dari
audit atau melanggar ketentuan, dan ini termasuk dalam kategori money politics.
Yuca Siahaan
4. 3. Bosisme Politik
Ada anekdot getir di kalangan masyarakat bahwa dalam Pilkada, pemenang
sebenarnya adalah pemilik modal.
Misalnya, dikatakan bahwa pemenang Pilkada kabupaten atau kota I sebenarnya bukanlah
pasangan A-B, melainkan bandarnya (istilah halusnya pemodal / investor/ donator).
Pada kenyataannya, bandar sangat pintar bermain dengan memodali semua kandidat
yang berpeluang menang. Itulah sebabnya mengapa hampir seluruh kandidat pilkada di
kabupaten atau kota tidak mempersoalkan kasus kontroversial yang merugikan rakyat. Dan
itulah sebabnya mengapa para kandidat bisa berlomba membagi “fasilitas” ke pihak-pihak
strategis laksana sinterklaus. Fenomena ini mengingatkan kita pada wacana tentang bosisme
politik (political bossism).
Bosisme politik diartikan sebagai sebuah sistem politik yang menempatkan sosok
tunggal yang dengan kekuatan penuh mengontrol jalannya politik. (Fred J. Cook dalam
bukunya “American Political Bosses and Machines” )
Si bos membawahi organisasi yang kompleks serta memadukan kepentingan ekonomi dan
politik sekaligus.
Di ranah ekonomi, Si bos banyak memiliki usaha, serta lincah mengembangkan
modal dan menyiasati sistem, baik secara legal atau etis, maupun secara nakal. Sang kapitalis
selalu eksis di tengah cuaca politik apapun karena punya saham di kekuasaan. Dengan
kekuatan modal dan jejaring yang kuat di segala aspek serta dengan teknik canggih tertentu,
Si bos bisa mendiktekan kemauan politiknya kepada kandidat, bahkan mengatur perilaku
pemilih.
Memodali politik itu memang tidak salah, tapi harus etis, taat aturan, dan sewajarnya
saja. Yang dimodali wajib menegakkan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Persaingan
politik harus wajar dan etis pula. Soal etis dan taat aturan memang normatif.
Lalu apa yang harus dilakukan terhadap fenomena yang ada ini? Haruskah dibiarkan
demikian? Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki sistem, meningkatkan kualitas
kesadaran masyarakat dan tanggung jawab nyata para aktor serta partai politik. Euforia
politik masih terasa sekali, di mana ”kemaruk kekuasaan” lebih mengemuka ketimbang
berpolitik untuk mengabdi.
Yuca Siahaan
5. CONTOH KASUS
“Modus kecurangan dalam Pilkada Indramayu 2010”
Oleh: Mulyono Martono
Dugaan bahwa Pilkada Indramayu 2010 penuh dengan kecurangan, bukan isapan jempol.
Indikasi ke arah tersebut diperoleh dari laporan saksi dan relawan MULYA-JAYA. Berikut
adalah indikasi kecurangan dalam Pilkada Indramayu 2010.
1. Politik Uang. Inilah kecurangan dalam Pilkada Indramayu 2010 yang sangat kentara dan
makin tidak terkendali. Jumlah uang yang diberikan kepada calon pemilih bervariasi dari
Rp 50 ribu sampai Rp 150 ribu. Juga ada yang dalam bentuk barang atau bahan makanan.
Jika kultur politik uang ini membudaya dalam setiap hajatan politik di Indramayu
(pemilihan kuwu, pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah, pemilihan gubernur dan
presiden) tanpa ada upaya koreksi dari segenap elemen masyarakat Indramayu yang
cerdas dan tindakan pencegahan secara hukum, maka politik Indramayu berada dalam
kejumuduan (ketertutupan dan keterbelakangan). Politik uang ini juga yang kelak menjadi
sumber korupsi bagi mereka yang memenangkan kekuasaan dengan cara kotor seperti ini.
Pendidikan politik Indramayu makin jauh dari etika, moral dan tanggung jawab. Padahal,
pendidikan politik adalah pintu gerbang pemerintahan yang bersih, berwibawa dan
bertanggungjawab (Good Governance). Dan pemerintahan yang governanceadalah syarat
menuju pembangunan Indramayu yang benar dan berpihak kepada rakyat. Perpolitikan
Indramayu, pada akhirnya akan set back ke belakang dan makin jauh tertinggal dari
kabupaten – kabupaten lainnya.
2. Pengambilan surat panggilan pencoblosan. Salah satu modus yang ditemukan adalah,
adanya gerakan mengambil surat panggilan pencoblosan dari para pemilih. Setelah calon
pemilih ditawari uang, maka surat panggilan pencoblosan mereka diambil. Rupanya,
mereka belajar dari kesalahan bahwa memberikan uang saja, mungkin tidak efektif.
Karena itu, mengambil surat pencoblosan pun ditempuh. Akibatnya, para pemilih
otomatis kehilangan hak suara mereka karena tidak lagi bisa mencoblos tanpa
menunjukkan surat panggilan mereka. Gerakan ini dapat menurunkan tingkat partisipasi.
Dari hitungan kasar, diprediksi tingkat partisipasi Pilkada Indramayu 2010 ini hanya
berkisar 50% dari jumlah pemilih yang berjumlah 1.335.006 pemilih.
3.
Mobilisasi aparat hingga tingkat RT. Gerakan mobilisasi aparat pemerintahan untuk
mensukseskan salah satu pasangan, sungguh masif, terencana dan sampai tingkat RT.
Sumber kuat Posko MULYA-JAYA, diperoleh informasi bahwa gerakan mobilisasi ini
dilakukan melalui Camat, Kuwu, RT/RW, UPTD Kecamatan, Kepala Sekolah, PPK,
Yuca Siahaan
6. KPPS, TPS dan organisasi sayap. Upaya ini berlangsung terus-menerus dan bahkan
sampai subuh menjelang Jam-J pemilihan. Bagi pasangan MULYA-JAYA, upaya
kecurangan ini memang sudah dialami semenjak mereka mendeklarasikan diri maju dari
jalur independen. Berbagai upaya ‘memotong’ dukungan untuk Cabup Mulyono agar
gagal melaju menjadi calon independen pun dilakukan secara masif. Luar biasa !
Ketakutan akan kekalahan, telah menghilangkan kemuliaan dan akhlak untuk
berkompetisi sesuai tuntutan moral dan agama, serta tanggungjawab memberi contoh
kepada masyarakat bagaimana berdemokrasi yang cerdas, santun dan beretika.
4. Surat suara yang sudah dicoblos. Di beberapa TPS, ditemukan adanya indikasi bahwa
sejumlah surat suara Pilkada Indramayu, telah dicoblos sebelum pencoblosan untuk
pasangan tertentu. Indikasinya, lubang dimana salah satu pasangan calon yang dicoblos
amat kecil. Tidak sesuai dengan ukuran paku yang digunakan untuk mencoblos. Saksi
yang menghitung hasil coblosan, kadang harus beberapa kali memastikan bahwa benar itu
sebuah coblosan dengan beberapa kali meraba dan menerawang.
Modus kecurangan Pilkada Indramayu 2010 yang terungkap diatas, bisa dicegah jika semua
pihak, pemantau dan lembaga pengawas, bekerja dengan keras menjaga Pilkada Indramayu
2010 ini. Upaya hukum pun bisa dilakukan jika semua pasangan yang merasa dicurangi,
memanfaatkan jaminan Undang-undang untuk melaporkan kecurangan yang ada beserta
bukti-bukti pendukungnya. Semuanya tentu berpulang kembali kepada semua pihak yang
mengikuti Pilkada Indramayu 2010 ini.
Memang ini upaya yang membutuhkan kerja keras dan kesungguhan hati, tetapi jika tujuan
yang ingin dicapai adalah hasil Pilkada Indramayu 2010 yang bersih dan memenangkan hati
semua orang, tak ada jalan lain memang, semua upaya menegakkan kebenaran harus
dilakukan.
Yuca Siahaan
7. PENUTUP
1. Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut
pilkada atau pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang
memenuhi syarat.
2. Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
3. Dalam proses pilkada di negara kita telah terjadi fenomena elite politik yang
“haus jabatan”, fenomena politik uang, dan bosisme politik.
4. Untuk menangani fenomena yang ada, yang harus kita lakukan adalah memperbaiki
sistem, meningkatkan kualitas kesadaran masyarakat dan tanggung jawab nyata para
aktor serta partai politik. Euforia politik masih terasa sekali, di mana ”kemaruk
kekuasaan” lebih mengemuka ketimbang berpolitik untuk mengabdi.
Untuk menjawab harapan rakyat, ruling elite harus melepaskan kepentingan politik
maupun kepentingan bisnisnya. Tetapi lebih mengedepankan norma-norma politik demi
mengusung perubahan dan perbaikan. Kehausan akan jabatan sama seperti meneguk air laut,
semakin diteguk semakin haus. Jabatan kepala daerah memang jabatan prestisius, tapi
jangan diraih dengan menghalalkan segala cara.
Segala sesuatunya memang perlu uang, tapi uang bukan segala-galanya. Para pemilih
dalam Pilkada juga jangan sampai menggadaikan suaranya dengan uang atau fasilitas yang
dijanjikan. Yang diperlukan adalah sama-sama mengawasi dan membangun kesadaran untuk
menjadi pemilih cerdas. Pemilih yang sadar akan pentingnya menggunakan hak suara.
Tentunya dengan memilih calon kepala daerah yang jujur adil dan telah terbukti track
record dan prestasinya.
Para bos atau investor politik silakan saja menyumbangkan dana perjuangan untuk
pasangan calon. Tetapi jangan mengharap laba investasi politik. Jangan membajak demokrasi
dengan mengikat deal “proyek” dengan pasangan calon kepala daerah.
Yuca Siahaan