1. 1
DAFTAR ISI
HAKIM SARPIN SELAMATKAN KPK
Romli Atmasasmita 4
TERORISME BUKAN REPRESENTASI ISLAM
Faisal Ismail 7
DOSEN HUKUM JADI MALU
Moh Mahfud MD 10
PELUANG PARTAI BARU
Anas Urbaningrum 13
AHOK, DPRD, ETIKA, DAN PRIORITAS
Bambang Soesatyo 16
PROVOKASI NETANYAHU
Dinna Wisnu 19
RAPBD DAN CHECKS AND BALANCES
W Riawan Tjandra 22
KRIMINALISASI DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
Romli Atmasasmita 25
ANTARA PAHLAWAN DAN PECUNDANG
Bambang Usadi 28
ETIKA PENEGAKAN HUKUM
Janedjri M Gaffar 32
TURBULENSI POLITIK PARTAI GOLKAR
Firdaus Muhammad 35
DEMOKRASI JALAN KORUPSI
Moh Mahfud MD 38
JANGAN INTERVENSI KEDAULATAN HUKUM INDONESIA!
Firmandez 41
DIPLOMASI PERTAHANAN SEBAGAI ALAT KEBIJAKAN LUAR
NEGERI
Rodon Pedrason 45
MELAWAN BEGAL POLITIK DAN MANDAT PALSU
Bambang Soesatyo 49
2. 2
GOLKAR DI PERSIMPANGAN JALAN
Gun Gun Heryanto 52
PARPOL DI KEMENKUMHAM
Margarito Kamis 55
BERAPA APBN UNTUK PARPOL?
Anas Urbaningrum 58
PELAJARAN DARI KISRUH RAPBD DKI
M Alfan Alfian 61
PEMBERIAN DANA PARTAI POLITIK
Bawono Kumoro 64
TEKNIK MEDIASI IDEAL KASUS PEMDA DKI VS DPRD
Frans H Winarta 67
REMISI BAGI KORUPTOR
Victor Silaen 70
HUKUM BAGI RAKYAT KECIL
Marwan Mas 73
PERPRES GOLKAR
Moh Mahfud MD 76
MENGULANG SKENARIO KUDATULI PDI PADA GOLKAR DAN PPP
Bambang Soesatyo 79
MENAKAR OTONOMI PARTAI POLITIK
Wasisto Raharjo Jati 83
KETEGASAN LEE KUAN YEW
Dinna Wisnu 86
MEMBENDUNG RADIKALISME DI DUNIA MAYA
Agus Surya Bakti 89
DISKREPANSI PELEMBAGAAN PARPOL
Gun Gun Heryanto 93
SOLUSI GOLKAR: AKHIRNYA MUNAS JUGA
Hajriyanto Y Thohari 96
HUKUM ISLAM MODERN
Moh Mahfud MD 99
MENGAPA SARPIN (TIDAK) MELANGGAR KUHAP?
Romli Atmasasmita 102
3. 3
BAPAK BANGSA SINGAPURA ITU TELAH PERGI
Frans H Winarta 105
HAK ANGKET UNTUK KEMURNIAN DEMOKRASI
Bambang Soesatyo 108
IRONI PERDAMAIAN TIMUR TENGAH
Dinna Wisnu 111
MENGUATKAN KEMBALI CITA KEBANGSAAN
Anna Luthfie 114
REKOMENDASI ULAMA UNTUK PEMBERANTASAN KORUPSI
Romli Atmasasmita 118
PUTUSAN HAKIM BISA BERBEDA
Marwan Mas 121
GUBERNUR AHOK DI UJUNG TANDUK?
Tjipta Lesmana 124
RELAWAN DAN TIMSES MASUK BUMN?
Hendri B Satrio 127
KONSPIRASI POLITIK YASONNA LAOLY
Bambang Soesatyo 130
MASA DEPAN PENYELESAIAN KRISIS NUKLIR IRAN
Broto Wardoyo 134
MENANGANI ISIS DENGAN HUMANIS
Abdul Mu’ti 137
REFLEKSI KONFLIK DI TIMUR TENGAH
Dinna Wisnu 140
DUA SISI KOIN DIPLOMASI PERTAHANAN
Rodon Pedrason 143
PEMILIH JOKOWI YANG MULAI KECEWA
Moch Nurhasim 147
YAMAN DAN PERANG PROXY SAUDI-IRAN?
Indriana Kartini 150
PARTAI DEMOKRASI MINUS REGENERASI
Victor Silaen 153
KEKUATAN HUKUM DALAM PRAPERADILAN
Sudjito 156
4. 4
Hakim Sarpin Selamatkan KPK
Koran SINDO
5 Maret 2015
Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah
undang-undang khusus pembentukan lembaga negara di luar lembaga-lembaga negara yang
telah dicantumkan dalam UUD 1945.
Pembentukan KPK dilatarbelakangi oleh lahirnya TAP MPR Nomor XI/1998 yang menuntut
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Pada masa itu ada kebutuhan mendesak
untuk melengkapi reformasi di bidang ekonomi, politik, dan di bidang HAM.
UU KPK 2002 telah memuat rambu-rambu hukum pembatas kewenangan pimpinan dan
pegawai KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. KPK diposisikan sebagai
lembaga ad hoc yang memiliki tugas dan wewenang yang luar biasa (extra-ordinary) karena
korupsi telah diakui di Indonesia sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).
Rambu-rambu hukum pembatas dalam UU KPK bertujuan agar KPK dalam melakukan tugas
dan wewenangnya tidak melakukan penyalahgunaan wewenang.
Ada beberapa rambu pembatas bagi KPK. Pertama, KPK merupakan lembaga negara
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bebas dari pengaruh
kekuasaan mana pun. Kedua, KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya berdasarkan
lima asas: kepastian hukum yang harus diartikan bukan hanya menaati peraturan perundang-
undangan, akan tetapi juga kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas
dan wewenangnya; asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas
proporsionalitas dan harus dapat memahami penjelasannya.
Ketiga, pimpinan KPK yaitu lima orang, satu ketua merangkap anggota dan empat wakil
ketua merangkap anggota; harus bekerja secara kolektif; dalam mengambil keputusan yaitu
harus disepakati bersama dan disetujui bersama. Keempat, ada beberapa larangan terhadap
pimpinan KPK dan pegawai KPK, yaitu dilarang langsung maupun tidak langsung
berhubungan dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara tindak
pidana korupsi dengan alasan apa pun. Mereka juga dilarang menangani perkara tindak
pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota KPK. Juga ada
larangan menjabat sebagai komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas,
atau pengurus koperasi dan jabatan profesi lain atau kegiatan lain yang berhubungan dengan
jabatan tersebut. Kelima, KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3.
5. 5
Selain larangan-larangan tersebut UU KPK juga memandatkan kewajiban-kewajiban yang
harus dipatuhi pimpinan KPK, antara lain menegakkan sumpah jabatan.
***
Merujuk pada sejumlah larangan dan kewajiban sebagaimana disebut di dalam UU KPK,
tentu tidaklah mudah menjalankan tugas dan wewenang sebagai pimpinan dan pegawai KPK.
Apalagi sanksi melanggar larangan atau kewajiban tersebut adalah pemberhentian sementara
jika ditetapkan sebagai tersangka, dan jika terbukti melanggar ketentuan mengenai larangan
diancam pidana paling lama lima tahun dan diperberat dengan sepertiga dari ancaman pidana
pokok.
Rambu-rambu yang sering luput dari perhatian pimpinan KPK pada umumnya dan juga
masyarakat adalah status penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK. Berdasarkan
ketentuan Pasal 39 ayat (3) dihubungkan dengan Pasal 43 sampai Pasal 52 UU KPK, maka
penyelidik, penyidik, dan penuntut tetap harus didasarkan UU KUHAP Tahun 1981 sebagai
payung hukumnya.
Kekecualian yang dibolehkan berdasarkan UU KPK (Pasal 39) adalah terbatas hanya pada
kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan saja serta kewenangan memerintah
terhadap penyelidik, penyidik, dan penuntut hanya pada pimpinan KPK, bukan lagi atasan
mereka di instansi asalnya. Penyidik dan penuntut pada KPK adalah mereka yang harus telah
diberhentikan sementara dari instansi asalnya, kemudian diangkat oleh pimpinan KPK.
Jika pimpinan KPK hendak mengangkat penyidik sendiri pada KPK maka mereka yang
diangkat harus seorang PNS yang telah memiliki sertifikat lulus sebagai penyidik dari Mabes
Polri yang disahkan oleh Dirjen Administrasi Hukum Umum atas nama Menteri Hukum dan
HAM. Jika syarat-syarat penyidik dan atau penuntut harus seorang jaksa tidak dipenuhi oleh
pimpinan KPK, seluruh hasil kinerja yang telah dilakukan oleh ”penyidik” atau ”penuntut”
adalah batal demi hukum sehingga hasil penyidikan dan pembuatan surat dakwaan menjadi
tidak mengikat lagi.
***
Dalam konteks uraian di atas, maka putusan hakim Sarpin dalam pertimbangannya tidak
mempertimbangkan semua uraian ketentuan normatif yang telah diuraikan di atas. Hakim
Sarpin hanya fokus pada tugas dan wewenang KPK (Pasal 6 huruf c) dihubungkan dengan
ketentuan mengenai subjek hukum dan objek hukum yang merupakan kewenangan KPK
(Pasal 11).
Sidang praperadilan perkara BG menguji apakah KPK berwenang melakukan penyelidikan
dan pemeriksaan terhadap BG, seorang anggota Polri dan pejabat Polri dengan
pangkat/jabatan eselon II berdasarkan keputusan Presiden, dan apakah perkara BG terkait
nilai kerugian negara sebesar di atas Rp1 miliar, dan apakah perkara BG adalah perkara
6. 6
korupsi yang telah menarik perhatian masyarakat.
Kuasa hukum KPK dalam sidang praperadilan tidak dapat menunjukkan (bukan
membuktikan) bahwa dengan alat-alat bukti yang telah diperoleh, KPK berwenang
memeriksa subjek hukum dan objek hukum sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 11 UU
KPK.
Hakim Sarpin tidak mempertimbangkan tentang status hukum penyidik KPK dan tentang
asas kolektif pimpinan KPK. Seandainya hakim Sarpin berperilaku sama agresifnya dengan
pimpinan KPK Jilid III dan menempatkan status penyidik KPK yang memeriksa perkara BG
serta tentang asas kolektif pimpinan KPK dalam pertimbangan putusannya maka dapat
dibayangkan semua hasil kerja KPK Jilid III yang telah bertentangan dengan ketentuan
tersebut menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Alhasil KPK akan
kebanjiran gugatan TUN dan perdata melebihi gugatan praperadilan yang kini tengah
dihadapi bukan saja oleh KPK, melainkan juga oleh penyidik Polri dan kejaksaan.
Berdasarkan uraian di atas, saya berkesimpulan bahwa hakim Sarpin telah menyelamatkan
KPK!
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
7. 7
Terorisme Bukan Representasi Islam
Koran SINDO
6 Maret 2015
Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama dalam pertemuan puncak di Gedung Putih
yang dihadiri 60 delegasi dari 60 negara mengatakan bahwa teroris dan terorisme tidak
identik dengan Islam dan bukan representasi Islam.
Dengan tegas Obama mengatakan, ”Para teroris itu tidaklah berbicara mewakili satu miliar
muslim di dunia. Mereka menggambarkan diri sebagai pejuang suci, namun sebenarnya
mereka adalah teroris.” (KORAN SINDO, 28/2). Selanjutnya Presiden AS itu menekankan
agar seluruh pemimpin negara di dunia lebih aktif mencegah radikalisme dan
terorisme. Ideologi, propaganda, perekrut, dan penyandang dana yang menghasut orang untuk
melakukan kekerasan harus ditangani.
Benang merah yang dapat ditarik dari pidato Obama itu teroris dan terorisme adalah musuh
bersama yang harus dilawan dan dikalahkan oleh semua bangsa di dunia ini. Teroris dan
terorisme adalah musuh bersama bangsa-bangsa beradab yang menegakkan perdamaian,
kedamaian, keadaban, dan peradaban.
Pidato Obama itu tentu tidak terlepas dari fenomena kekerasan dan ”kejahatan” gerakan
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi. ISIS di bawah
komando al-Baghdadi secara sadis memenggal kepala beberapa jurnalis (termasuk jurnalis
AS), menawan 229 anak, melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak
sealiran, menebar teror, menyebar kebencian dan permusuhan, serta melakukan pembantaian
yang mengerikan di Irak dan Suriah terhadap kelompok (termasuk anak-anak, kaum wanita,
dan orang-orang lanjut usia) yang tidak seideologi dengan mereka. Kutukan dari masyarakat
internasional terhadap kekejaman ISIS datang dari berbagai belahan dunia.
AS dan sekutu Baratnya (seperti Inggris, Prancis, dan Jerman) serta negara-negara Arab-
muslim saling bekerja sama melakukan tindakan dan ”serangan” terhadap basis kekuatan
ISIS. Komunitas Kurdi di Irak juga angkat senjata melawan kekejaman ISIS. Kota Kobani
yang semula jatuh ke tangan ISIS kini telah direbut kembali oleh para pejuang Kurdi dari
tangan ISIS. Serangan AS dan sekutu Baratnya dan negara-negara Arab-muslim sudah
memperlihatkan hasilnya yang menyebabkan kekuatan ISIS mulai melemah.
Khawarij, Azahari, Noordin M Top
Dalam jubah yang berbeda, ISIS dapat disamakan dengan gerakan kaum Khawarij di zaman
Islam klasik. Dengan memekikkan jargon ”la hukma illa Allah” (tidak ada hukum selain
8. 8
hukum Allah), kaum Khawarij memaknai ayat itu menurut kepentingan ideologi mereka
sendiri dan memandang orang-orang di luar kelompoknya adalah halal darah mereka untuk
dibunuh. Orang-orang yang tidak sealiran dan tidak seideologi dengan mereka adalah halal
darah mereka untuk dihabisi nyawa mereka.
Kaum Khawarij adalah kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib karena Ali
menerima tahkim (arbitrase) dengan Muawiyah bin Abi Sufyan menyusul terjadi Perang
Shiffin. Salah satu korban gerakan radikalis-teroris Khawarij adalah Khalifah Ali bin Abi
Thalib (Khalifah Al-Rasyidin ke-4) yang mereka bunuh saat salat subuh di Masjid Kufah.
Momen yang sakral dan bersifat ilahiah itu dijadikan kesempatan oleh orang Khawarij untuk
menghabisi nyawa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dua pemimpin muslim lain yang juga
ditarget oleh kaum Khawarij untuk dibunuh adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (gubernur
Syria) dan Amru bin Ash (gubernur Mesir). Tapi, Muawiyah dan Amru selamat dan aman
dari ancaman maut orang-orang Khawarij.
Kaum Khawarij dapat dipandang sebagai aliran atau kelompok teroris pertama dalam sejarah
Islam. Di Indonesia gerakan terorisme antara lain digerakkan oleh Dr Azahari dan Noordin M
Top. Keduanya sebenarnya adalah warga negara Malaysia, tapi melakukan operasi dan aksi
teror di berbagai tempat di Indonesia bersama para teroris di negeri ini.
Azahari dan Noordin dikenal sangat pandai dan mahir merakit bom. Inilah salah satu ”modal”
utama dan senjata ampuh Azahari dan Noordin dalam melancarkan aksi terornya. Azahari
dan Noordin pada masanya dapat dipandang sebagai inspirator, motivator, dan dinamisator
gerakan terorisme di Indonesia untuk kurun waktu yang cukup panjang.
Densus 88 mengintai dan memburu Azahari dan Noordin dari waktu ke waktu, tapi keduanya
dapat mengelak dan meloloskan diri. Azahari dan Noordin diidentifikasi sebagai gembong
teroris yang menginspirasi dan mengeksekusi serangkaian aksi pengeboman beberapa gereja
di malam Natal (tahun 2000), bom Bali (2002), bom Hotel JW Marriot (2003), bom Kedubes
Australia (2004), dan bom Mega Kuningan (2009).
Akhirnya Densus 88 pada 2005 melakukan pengepungan dan menembak mati Dr Azahari di
Batu (Malang, Jawa Timur). Dalam penggerebekan, pada 2009 Densus 88 juga menembak
mati Noordin M Top di Surakarta.
Kematian Azahari dan Noordin tidak menghentikan gerakan terorisme di negeri ini. Densus
88 terus berupaya memberantas terorisme agar masyarakat dapat hidup tenang, aman, dan
damai.
Bukan Representasi Islam
Islam adalah agama perdamaian dan kedamaian. Secara harfiah arti Islam itu sendiri adalah
keselamatan, kedamaian atau perdamaian, ketundukan, dan kepasrahan diri. Tidak ada satu
pun ayat Alquran (juga dalam kitab suci agama-agama lain) yang menyuruh dan mengajarkan
9. 9
kepada para pemeluknya untuk melakukan terorisme, radikalisme, brutalisme, kekerasan,
kejahatan, perusakan, penyerangan, dan pembunuhan baik terhadap anggota umat seagama
maupun terhadap anggota jemaat tidak seagama.
Islam adalah agama yang mengajarkan kepada semua manusia tercipta salam (keselamatan
dan perdamaian) sesuai arti, esensi, visi, dan misi Islam itu sendiri. Dalam arti doktrin dan
praktik, Islam identik dengan kedamaian, perdamaian, keadaban, dan peradaban sebagai
tatanan kehidupan yang dibangun atas dasar moral kenabian dan etika ketuhanan.
Nabi Muhammad (nabi yang diutus oleh Allah untuk membawa dan menyiarkan agama
Islam) menyandang misi sebagai pembawa rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam),
bukan sebagai pembawa mudarat, bencana, malapetaka, dan laknat bagi alam semesta.
Presiden AS Barack Obama benar. Terorisme tidak identik dan bukan merupakan
representasi agama (Islam) dan tidak mewakili umat Islam. Timbulnya radikalisme,
ekstremisme, dan terorisme sama sekali tidak berasal dan tidak bersumber dari ajaran agama
yang sangat sakral dan bersifat ilahiah. Akar-akar radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di
kalangan minoritas kelompok agama lebih disebabkan oleh eksklusivitas pemaknaan agama,
rigiditas penafsiran teks-teks kitab suci, truth claim (klaim kebenaran) agama secara picik,
sempit, dan berlebih-lebihan, kesenjangan sosial ekonomi, dan radikalisasi-politisasi-
ideologisasi agama.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
10. 10
Dosen Hukum Jadi Malu
Koran SINDO
7 Maret 2015
Akhir pekan lalu, saat menunggu penerbangan ke Yogya, saya bertemu dengan Wakil Rektor
V yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Paripurna
Sugarda.
Pertemuan di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng itu memberi kami kesempatan untuk
bertukar pikiran tentang keadaan hukum di Indonesia. Kami sama-sama galau melihat
perkembangan hukum yang dalam praktik sering dijadikan semacam pencak silat untuk
mencari kemenangan, bukan alat untuk menegakkan yang benar.
Sebagai pengajar bidang hukum Pak Paripurna mengaku malu melihat perkembangan hukum
di Indonesia dewasa ini. Bagaimana tidak? Hukum tidak mampu menunjukkan fungsi dan
perannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Indonesia diserang wabah korupsi;
pemberantasan korupsi bukannya menguat, tetapi justru semakin melemah.
Para lulusan fakultas hukum yang bersebaran di berbagai lembaga penegak hukum bukan
hanya tidak mampu menjadikan hukum sebagai panglima dalam perang melawan korupsi,
melainkan banyak di antara mereka yang selain terlibat korupsi juga memperkuat budaya
korupsi. Lihat saja, betapa banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan sarjana hukum yang
dijebloskan ke penjara karena korupsi.
Pertengkaran terbuka antara sesama ahli dan penegak hukum karena yang satu membela
koruptor, sedangkan yang lain memperjuangkan penghukuman terhadap koruptor sering kali
menghina akal sehat publik. Anehnya, dalam kasus korupsi yang lain mereka bisa bertukar
posisi, yang semula berdiri sebagai pembela perjuangan anti-korupsi, dalam kasus yang
berbeda bisa menjadi pembela koruptor dengan dalil yang tadinya dipakai lawan. Yang
semula membela koruptor kini tampil gagah membela lawan koruptor.
Logika bisa ditukar-tukar, tergantung pada order. Dalil bisa dipilih sesuai dengan posisinya.
Hati nurani dan akal sehat publik menjadi tak penting karena yang penting menang atau bisa
manggung. ”Saya malu, Pak, melihat keadaan ini. Saking gundahnya, kalau membimbing
mahasiswa, saya sering tidak terlalu masuk pada substansi tesis atau disertasi. Saya sering
lebih banyak mengetuk hati dan meminta janji agar setelah lulus dari fakultas hukum nanti
tidak ikut-ikutan korupsi,” kata Pak Paripurna.
”Saya bukan hanya malu, tetapi juga takut. Saya takut untuk memberi pendapat hukum dalam
kasus-kasus konkret karena pendapat yang rasanya benar nanti di pengadilan bisa dibalik
11. 11
begitu saja oleh hakim, jaksa, atau pengacara sehingga kebenaran itu menjadi tak bernilai
bahkan sering dijadikan bahan untuk mengejek kita,” jawab saya.
Saya sendiri memang selalu menolak untuk tampil di pengadilan, misalnya menjadi saksi
atau ahli karena kesaksian dan keahlian sering ditekuk begitu saja di pengadilan. Kalau ada
orang mau berkonsultasi atau mau meminta nasihat hukum tentang kasus konkret yang
dihadapi saya sering menolak karena khawatir pendapat saya bisa berbalikan dengan
pendapat pengadilan dan dia jadi kecewa. ”Jangan saya, Anda cari pengacara profesional
saja,” demikian saya sering menjawab.
Saya bukannya bermaksud mengatakan bahwa perbedaan pendapat antarpihak itu salah.
Justru perbedaan antara jaksa, pengacara, dan ahli itu sangat penting dibeber secara terbuka
karena dari sanalah pencarian kebenaran bisa digali secara komprehensif. Masalahnya,
banyak yang bukan mencari benar, tetapi mencari menang dengan berbagai cara.
Nurani penegakan hukum sering dibuang begitu saja dari logika hukum yang memang bisa
dibangun dengan mencari-cari dalil yang logis. Dalam kasus korupsi, misalnya, filsafat, asas,
dan norma hukum sering kali dijungkirbalikkan untuk membela koruptor dan menguatkan
serangan terhadap lembaga-lembaga pemberantas korupsi.
Sebagai orang yang lama belajar hukum dan pernah duduk di lembaga penegak hukum, saya
tahu pasal-pasal hukum itu bisa saja dicari untuk membenarkan atau menyalahkan satu pihak,
tergantung pada apa yang diinginkan hakim. Seorang hakim, misalnya, kalau ingin
memenangkan seseorang bisa memakai pasal ini undang-undang nomor sekian, tapi kalau
mau mengalahkan atau menghukumnya bisa memakai pasal dan undang-undang bernomor
lain lagi. Pokoknya, semua ada pasalnya.
Oleh karena semua alternatif, mau menghukum atau membebaskan itu, selalu bisa dicarikan
dan selalu ada dalilnya, dalam memutus perkara ”keyakinan hakim” menjadi penentu
utama. Di antara banyak dalil yang bisa digunakan untuk membebaskan atau menghukum
seseorang itu seorang hakim harus bertumpu pada keyakinan dan bertanya kepada hati
nuraninya. Hakim harus bertanya pada hati nuraninya, mana yang paling tepat atau paling
mendekati kebenaran di antara berbagai alternatif yang dapat dijadikan vonis atas perkara
yang sedang ditanganinya.
Tapi, celakanya, kerap kali muncul putusan hakim yang dibuat bukan karena bisikan hati
nurani, melainkan karena kolusi. Putusan yang lahir dari kolusi itu kemudian dibungkus
dengan dalih ”itulah keyakinan hakim dan hakim tak boleh diintervensi”. Buktinya, banyak
hakim yang dihukum karena vonisnya yang korup. Banyak juga yang tidak bisa dijerat
hukum karena lihainya membungkus dengan pasal-pasal penguat yang dipilihnya secara
sepihak, tetapi putusannya sangat menusuk rasa keadilan.
Tidak jarang juga hakim membuat vonis-vonis jahat seperti itu karena berkolusi atau
bermafia ria dengan penegak hukum yang lain. Maka itu, bukan hanya Pak Paripurna,
12. 12
melainkan semua dosen fakultas hukum harus merasa malu atas perkembangan dunia hukum
di negara kita sekarang ini.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
13. 13
Peluang Partai Baru
Koran SINDO
10 Maret 2015
Demokrasi membuka ruang yang lapang bagi datang dan perginya partai politik. Sewaktu-
waktu partai politik bisa hadir, pada kesempatan lain bisa pula menghilang. Ada pula partai
yang dikenal nama dan keberadaannya, tapi sejatinya absen karena tidak terlibat dalam proses
yang menyangkut hajat publik. Jika eksistensi partai lazimnya terkait dengan aturan dalam
UU Partai Politik dan UU Pemilu, kehadiran partai lebih ditakar dari peran dan fungsi yang
nyata di dalam proses politik.
Kita akan menemukan paradoks pada jumlah dan kehadiran partai peserta pemilu sejak 1999.
Jika yang menjadi ukuran adalah peserta pemilu, tampak terjadi penyederhanaan karena
syarat dalam UU makin berat. Pemilu 1999 diikuti 48 peserta, 2004 ada 24, 2009 terdapat 38,
dan 2014 diikuti 12 kontestan. Namun, jika dilihat dari yang lulus ambang batas (threshold),
pada Pemilu 1999 ada 5 partai, 2004 ada 7, 2009 terdapat 9, dan 2014 menjadi 10 partai.
Kecenderungannya justru bertambah banyak.
Terkait dengan kehadiran partai, publik baru saja disuguhi lahirnya partai baru Partai
Persatuan Indonesia (Perindo). Kita juga mendengar analisis bahwa konflik Partai Golkar
berpotensi memunculkan partai baru. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga dirundung
pertentangan yang tak kalah serius. Ada juga suara lamat-lamat wacana pendirian partai baru
dari eksponen relawan Jokowi. Lalu, di mana peluang partai baru itu?
Partai Baru Pasca-Reformasi
Salah satu perubahan dramatis yang menggiring jatuhnya Orde Baru adalah menjamurnya
partai politik baru. Keran pendirian partai dibuka oleh UU Parpol yang terhitung cukup
”liberal”.
Pemilu pertama pasca-Orde Baru 1999 dimenangi PDI Perjuangan dengan angka yang
mencolok, 34%. Jawara lama, Partai Golkar, kempes tinggal 22,4%. Muncul partai baru
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menyalip PPP di jalur partai Islam. Ada pula Partai
Amanat Nasional (PAN) yang menyebut diri lahir dari spirit Reformasi. PDI Perjuangan bisa
dikategorikan baru meskipun sejatinya ”lama” karena pada pemilu itu masih ikut PDI–sering
disebut ”PDI Soerjadi”–yang hanya meraup 0,33% suara.
Pemilu 1999 ditandai migrasi politik besar-besaran ke partai-partai baru, terutama PDI
Perjuangan dan PKB. PAN yang awalnya diramalkan bakal sukses ternyata masih sebatas
fenomena politik kota. Ada pula Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengidentifikasi diri
14. 14
sebagai penerus Masyumi dan Partai Keadilan (PK) yang digerakkan jaringan aktivis Islam
politik baru. Tapi keduanya belum menonjol. Golkar masih bertahan dengan basisnya di
desa-desa dan terutama di luar Jawa.
Pemilu 2004 memotret hadirnya partai baru: Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) yang merupakan jelmaan PK. Gelar juara direbut Golkar dari PDI Perjuangan yang
mengalami kemerosotan dukungan sangat tajam. PDI Perjuangan hanya mendulang 18,5%
persen dan kehilangan kursi sangat besar di DPR. Demokrat meraup 7,45% yang dikonversi
menjadi 57 kursi, sementara PKS memperoleh 7,3% suara yang menghasilkan 45 kursi di
Senayan.
Pencapaian Demokrat dan PKS adalah fenomena migrasi politik akibat kekecewaan pemilih
terhadap pemerintah dan PDI Perjuangan. Demokrat yang berpusat pada sosok SBY dan PKS
yang gencar berkampanye ”bersih dan peduli” dianggap sebagai lokasi harapan baru.
Fenomena partai baru berlanjut pada pemilu 2009. Ketika Demokrat naik menjadi juara
dengan raihan 20,85%, Partai Golkar dan PDI Perjuangan mengalami penurunan, masing-
masing mendapat 14,5% dan 14%. PKB yang dilanda konflik internal terjun bebas suaranya
tinggal 4,9% saja. Muncullah Gerindra yang sangat gencar ”menjual” Prabowo dan
nasionalisme ekonomi serta Hanura yang berpusat pada figur Wiranto. Keduanya memetik
suara yang cukup untuk modal ke Senayan.
Pemilu paling mutakhir 2014 silam ternyata juga ditandai dengan kehadiran partai baru.
Partai NasDem yang merupakan implikasi politik Munas Golkar di Riau berhasil menembus
Senayan dengan 6,7% suara, melampaui PPP dan Hanura. Ini terkait anjloknya suara
Demokrat lebih dari separuh suara sebelumnya dan sedikitnya partai peserta pemilu.
Suara hangus pada Pemilu 2014 sangat kecil, yakni 1,46% suara PBB dan 0,91% suara Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Persentase suara hangus yang kecil ini dinikmati
pula oleh parpol lain selain NasDem.
Tampak nyata bahwa pemilu pasca-Reformasi selalu ditandai hadirnya partai baru yang
berhasil menembus ketatnya kompetisi. Bukan hanya sukses memberangkatkan kadernya ke
parlemen, tetapi juga tampil dengan pesan politik yang tidak bisa diremehkan. Partai baru
berhasil berselancar di atas gelombang kekecewaan publik sekaligus menawarkan harapan
baru. Itulah yang akan diuji pada masa antara menuju pemilu berikutnya.
Pemilih Rasional dan Diferensiasi
Memperhatikan realitas pemilu pasca-Orde Baru, peluang politik bagi partai baru dibuka oleh
berlangsungnya mekanisme reward and punishment. Berkembangnya jumlah pemilih
rasional akibat faktor pendidikan dan terpaan media–termasuk media sosial–sukses menekan
jumlah pemilih tradisional yang bergaya ”pejah-gesang nderek pemimpin”.
15. 15
Pemilih rasional relatif mandiri dan bisa memberi hukuman kepada partai yang dinilai tidak
memuaskan. Pemilih rasional mampu mengekspresikan dukungan dan penolakan, kepuasan
dan kekecewaan kepada partai. Terhadap partai yang kinerjanya baik, setidaknya dalam
konteks citra, pemilih bisa menghargai dan melanjutkan dukungan. Kepada partai yang
kinerjanya melempem dan tidak amanah, pemilih berani untuk teriak kecewa dan bergerak
mencari alternatif lain. Arus kekecewaan selalu mengalir ke tempat atraktif yang dinilai ada
harapan.
Tantangan terbesar dihadapi partai-partai koalisi pendukung pemerintah. Jika kepuasan
publik terhadap kinerja pemerintah rendah, para pemilihnya mudah pindah ke lain hati.
Partai-partai koalisi oposisi juga menghadapi tantangan tak kalah serius. Jika tidak cukup
terampil sebagai kekuatan penyeimbang yang konsisten dan bermutu, tidak mudah pula
mempertahankan jumlah pendukung apa lagi untuk menambah jumlah dukungan.
Dalam situasi seperti itu, jika tampil partai baru yang tampil dengan kesegaran politik,
kemungkinan migrasi dukungan cukup terbuka. Syarat utamanya, partai tersebut tampil
sebagai alternatif dengan diferensiasi yang nyata. Diferensiasi politik harus diperkuat
perangkat-perangkat yang mutlak dibutuhkan sebuah partai yang bertenaga, yakni
kepemimpinan dan ketokohan yang menjanjikan, platform yang jelas dan kuat, jaringan yang
luas dan menembus akar rumput, kader yang cakap dan berkomitmen, serta strategi
sosialisasi yang efektif. Apalagi jika ditopang mesin popularitas yang masif.
Bagi partai baru yang demikian, pemilih kalkulatif-rasional pasti menyediakan diri untuk
menerima partai baru yang ”berbeda” dan membawa program yang nyata.
ANAS URBANINGRUM
Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
16. 16
Ahok, DPRD, Etika, dan Prioritas
Koran SINDO
10 Maret 2015
Membangun dan membenahi Jakarta atau menonton pertarungan DPRD DKI versus
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok? Jika kisruh itu dipermanenkan hingga
tahun 2017, Jakarta tidak bisa produktif dan sulit mewujudkan suasana kondusif. Warga
Jakarta tentu lebih menginginkan Gubernur DKI dan DPRD DKI fokus dan memprioritaskan
pembangunan serta pembenahan kota yang tampak sangat semrawut dewasa ini.
Saat Gubernur DKI berperang kata-kata dan saling tuduh dengan DPRD DKI, banyak ruas
jalan di Ibu Kota berlubang dan mengancam keselamatan pengendara motor. Di sejumlah
ruas jalan, lubang-lubang itu bahkan tak tersentuh oleh kerja perbaikan jalan. Pada saat yang
sama, warga Jakarta dan sekitarnya juga diteror isu begal yang mengancam pengendara
motor. Jumlah aksi begal di wilayah DKI mungkin lebih rendah dibandingkan kota-kota
penyangga. Tapi rasa takut juga menyergap warga Ibu Kota. Dua masalah ini memerlukan
perhatian serius dan penanganan dari seluruh unsur dalam Musyawarah Pimpinan Daerah
(Muspida) DKI. Di dalamnya ada Gubernur DKI, Ketua DPRD DKI, Kapolda Metro Jaya,
dan Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya.
Beruntung bahwa untuk mencegah aksi begal, Polda dan Pangdam Jaya berinisiatif
melakukan operasi guna menumbuhkan rasa aman bagi warga. Namun warga Ibu Kota tetap
saja kecewa karena Pemprov DKI seperti tak peduli dengan banyaknya ruas jalan yang
rusak.
Faktor lain yang juga membuat warga Ibu Kota tidak nyaman adalah kebisingan. Warga
Jakarta sudah bosan dengan kebisingan yang rasanya seperti tak berkesudahan. Sejak
pemilihan presiden (pilpres) hingga periode sengketa Pilpres 2014, kemudian berlanjut
dengan kisruh Polri versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta nyaris tak pernah
teduh dan tenang. Ketika kebisingan akibat kisruh Polri versus KPK mulai reda, justru
Gubernur DKI dan DPRD DKI menyulut kebisingan baru.
Sebagian besar warga Jakarta benar-benar mulai muak menyaksikan berlarut-larutnya
disharmoni Gubernur DKI dan DPRD DKI. Muak karena dari aspek perilaku, baik Gubernur
DKI Jakarta maupun DPRD DKI sudah tidak punya etika lagi. Kedua kubu tidak lagi
memprioritaskan fungsi masing-masing sebagai pejabat publik di Jakarta.
Publik melihat masing-masing ingin saling menjatuhkan. Setiap hari, masing-masing
melontarkan caci maki, saling hina dan saling tuduh di ruang publik. Mereka tidak lagi
menghargai dan menghormati harkat dan martabatnya sebagai pejabat publik maupun sebagai
17. 17
pemimpin dan sosok elite di Ibu Kota ini. Mereka menyulap dan menjadikan Jakarta sebagai
panggung untuk mempertontonkan rivalitas yang tak perlu.
Bukan fokus bekerja, mereka dilantik dan digaji untuk sekadar berkelahi atau adu kuat.
Untuk apa Jakarta memiliki gubernur dan DPRD kalau dua instrumen kepemimpinan itu
hanya fokus pada perang kata-kata, saling ancam dan saling hina? Tentu saja perseteruan
berkepanjangan antara Gubernur DKI dan DPRD DKI menjadi contoh buruk tentang
kepemimpinan dan tata kelola Ibu Kota. Jangan pernah ditiru.
Persoalan bermuara pada penolakan masing-masing terhadap pentingnya mengedepankan
etika pejabat publik. Sebagaimana bisa disimak selama ini, tak ada kesantunan dalam dialog
terbuka maupun ketika membuat dan mengeluarkan pernyataan. Tak jarang pilihan kata-kata
mereka sungguh tidak pantas. Egois dan merasa paling benar sendiri. Orang lain selalu dan
pasti salah. Lebih parah lagi, senang menantang pihak lain, membuat pernyataan yang
bersifat mengancam, marah dan enggan untuk mengerti orang lain.
Disorientasi
Target Ahok yang ingin membenahi birokrasi dan tata kelola Pemprov DKI memang patut
diacungi jempol. Tapi gaya Ahok sebagaimana yang dikenal selama ini belum tentu bisa
diterima seluruh unsur di dalam birokrasi Pemprov DKI. Tidak semua pegawai DKI bisa
menerima jika diperlakukan sangat keras dan kasar oleh atasannya. Gaya yang demikian
belum tentu efektif untuk mencapai target.
Dalam beberapa kesempatan, Ahok juga tampak kasar terhadap DPRD DKI. Sikap yang
demikian sudah barang tentu menimbulkan reaksi perlawanan dari DPRD DKI. Sebaliknya
DPRD DKI pun secara terbuka sering merendahkan martabat Gubernur DKI. DPRD DKI
memang wajib mengkritik atau mengecam kebijakan Gubernur DKI. Tapi kritik dan kecaman
itu tidak boleh mengurangi penghormatan terhadap institusi kegubernuran DKI.
Tidak semua persoalan harus diobral ke ruang publik. Dalam konteks etika pejabat publik,
ada masalah yang bisa diselesaikan melalui dialog dan lobi di ruang tertutup. Semangat inilah
yang tampaknya tidak dimiliki lagi oleh Gubernur DKI dan DPRD DKI saat ini. Idealnya,
semua masalah diketahui publik. Tapi, jika hanya menimbulkan keresahan atau kebisingan,
tetap saja publik yang dirugikan.
Kasus anggaran siluman di APBD DKI tahun 2015 tidak perlu menimbulkan kebisingan jika
Gubernur DKI dan pimpinan DPRD DKI mau berdialog dan bersepakat mencoret proyek-
proyek yang tidak tercantum dalam e-budgeting. Tapi, kalau kemudian Kemendagri bisa
menerima dua versi APBD DKI tahun 2015, itu jadi pertanda bahwa tidak ada dialog dan
Gubernur DKI serta DPRD DKI memang sengaja memperuncing rivalitas di antara mereka.
Lantas, apa yang didapat warga Jakarta? Tak lain dari kebisingan yang sesungguhnya tak
perlu. Karena rivalitas itu terus dikembangkan dan melebar tak keruan, Gubernur DKI dan
18. 18
DPRD DKI pun seperti terjangkit virus disorientasi karena tak tahu lagi mana yang prioritas
dalam konteks membangun dan membenahi Jakarta. Masing-masing hanya fokus pada
pendirian tentang siapa salah-siapa benar. Mereka lupa bahwa sesuai dengan jabatan dan
fungsi masing-masing, Gubernur DKI dan DPRD DKI harus memprioritaskan pembangunan
dan pembenahan kota serta pelayanan kepada warga Jakarta.
Kisruh Gubernur DKI dengan DPRD DKI yang terus berkembang mulai menimbulkan
kegelisahan di sebagian masyarakat. Kisruh di Jakarta ini seperti mengeskalasi disharmoni
yang terjadi antara Presiden Joko Widodo dengan sebagian kekuatan di DPR RI selepas
pembatalan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai kapolri. Di DPR ada upaya
untuk mengegolkan pelaksanaan hak angket, sementara DPRD DKI pun sedang berupaya
memuluskan penggunaan hak angket terkait dengan kontroversi APBD DKI tahun 2015.
Penggunaan hak angket menjadi opsi yang dipilih DPRD DKI karena ada delapan peraturan
yang ditabrak Gubernur DKI. Gubernur DKI antara lain dinilai melanggar lima aturan
perundang-undangan, meliputi Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2014, UU No. 17 Tahun 2004, dan UU
No. 17 Tahun 2003. Menurut DPRD DKI, proses penyusunan RAPBD 2015 tidak
berdasarkan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat kelurahan
sampai provinsi dan tidak mengacu pada data Badan Perencanaan Daerah (Bappeda),
melainkan dari hasil tim ahli (Tim 20) yang tidak kompeten menurut aturan yang berlaku.
DPRD DKI pantas marah karena RAPBD DKI 2015 rancangan Tim 20 itu tidak boleh
dibahas DPRD DKI. Karenanya, Gubernur DKI dinilai meniadakan fungsi anggaran DPRD
DKI. Penggunaan hak angket oleh DPRD DKI bisa menjadi sangat sensitif karena
perseteruan Gubernur DKI dan DPRD DKI bisa menyeret Presiden Joko Widodo ke dalam
kasus hukum karena manipulasi APBD DKI yang dipersoalkan terjadi semasa Jokowi
menjabat sebagai gubernur DKI.
DPRD DKI memang wajib menyelidiki draf APBD DKI 2015 jika benar diserahkan secara
sepihak oleh Gubernur DKI ke Kementerian Dalam Negeri atau tanpa persetujuan DPRD
DKI. Hak angket yang digagas di DPR maupun DPRD DKI memiliki dasar dan alasan yang
kuat. Jika hasil penyelidikan itu menemukan data dan fakta yang kuat, bisa saja langkah
selanjutnya yang akan ditempuh legislatif berujung pada proses pemakzulan.
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR RI; Wakil Ketua Umum Kadin
19. 19
Provokasi Netanyahu
Koran SINDO
11 Maret 2015
Minggu lalu terjadi sebuah peristiwa ganjil dalam sejarah sistem politik di Amerika Serikat
(AS) dan mungkin juga di dunia. Kepala pemerintahan Israel, Benyamin Netanyahu,
memberikan pidato di depan Kongres AS tanpa melewati protokol diplomatik dari Gedung
Putih. Netanyahu datang atas undangan dari Ketua DPR (House of Representative) yang
berasal dari Partai Republikan John Boehner dan berpidato di hadapan Kongres.
Isi pidato Netanyahu adalah ajakan agar masyarakat Amerika menolak dialog damai antara
Iran dan AS. Ia ingin meyakinkan publik bahwa perundingan tersebut adalah usaha yang sia-
sia dan akan memberikan peluang bagi Iran untuk mengembangkan teknologi senjata
nuklirnya. Ia juga mengkritik kerja Badan Atom Internasional yang dianggap tidak dapat
mendeteksi kelihaian Iran dalam menyembunyikan maksud sesungguhnya dari rekayasa
program nuklir Iran.
Presiden AS Barack Obama mencemooh pidato Netanyahu sebagai tidak menyediakan
alternatif apa pun untuk membangun komunikasi dengan Teheran. Obama sendiri
menyatakan tidak mau bertemu dengan Netanyahu yang dalam minggu ini telah diprotes
melalui serangkaian unjuk rasa di dalam negeri. Kunjungan Netanyahu ke Washington DC
itu sendiri adalah bagian dari langkah diplomatiknya untuk mengganggu perundingan nuklir
yang sedang dilakukan Menteri Luar Negeri John Kerry dan mitranya dari Iran, Mohammed
Javad Zarif.
Jika selama ini dalam perundingan isu Iran John Kerry memberikan update perkembangan
kepada Israel, kali ini kebiasaan tersebut tidak dilakukan karena dikhawatirkan akan
mengganggu proses perundingan. Hal ini tentu membuat Israel naik pitam karena mereka
dibiarkan “dalam gelap” dan hanya bisa menebak-nebak apa isi dari perundingan AS-Iran.
Perundingan nuklir Iran dengan P5+1 setelah terpilihnya Hassan Rouhani sebagai presiden
Iran adalah proses yang panjang dan melelahkan. P5+1 adalah kelompok negara yang
membuka jalur diplomasi dengan Iran atas isu program nuklirnya, yakni 5 negara anggota
tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman.
Banyak orang yang awalnya pesimistis bahwa Rouhani akan membawa Iran mendekat
kepada dunia Barat karena kekuatan Dewan Ulama yang masih menjadi penentu arah
modernisasi Iran. Kesangsian ini sedikit demi sedikit berkurang dengan konsistennya Iran
dan enam negara besar lain untuk mendiskusikan masa depan teknologi nuklir Iran. Meski
demikian, di lain sisi, banyak pihak, khususnya Israel, yang menganggap perundingan
20. 20
tersebut hanya tarik-ulur Iran saja untuk secara diam-diam meningkatkan teknologi
pengayaan uranium mereka.
Dalam pidatonya di depan Kongres AS, Netanyahu ingin meyakinkan Kongres bahwa
kesepakatan AS-Iran adalah kesepakatan yang sangat buruk dan itu sebabnya harus ditolak.
Netanyahu berharap akan muncul kesadaran Iran adalah ancaman yang lebih besar bagi dunia
dibandingkan ancaman dari NIIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
Isi pidatonya itu juga ditujukan kepada negara-negara Arab Sunni dan Timur Tengah, mulai
dari Arab Saudi hingga Mesir, yang saat ini juga memandang curiga perundingan Iran dengan
P5+1. Negara-negara Arab Sunni di Timur Tengah saat ini melihat meluasnya pengaruh Iran
ke Irak, Suriah, Lebanon dan saat ini di Yaman sebagai suatu ancaman. Alasan ini juga yang
menjadi penyebab penanganan NIIS yang setengah hati meskipun NIIS telah menelan korban
ribuan orang, termasuk para relawan kemanusiaan dari negara-negara Barat yang bekerja di
sana. Dibandingkan dengan bantuan yang diberikan kepada para pejuang yang melawan
rezim Assad, bantuan untuk perlawanan NIIS terbilang tidak penuh.
Rasa khawatir ini yang juga dieksploitasi Netanyahu untuk mengadu domba negara-negara di
Timur Tengah, khususnya antara Sunni dan Syiah. Dalam pidatonya di hadapan 435 anggota
parlemen yang terdiri atas 245 dari Partai Republik dan 188 dari Partai Demokrat, Netanyahu
mengatakan bahwa Iran dan NIIS adalah setali tiga uang.
Ia dengan terang-terangan mengatakan bahwa peperangan yang terjadi di lapangan adalah
perang antara NIIS dengan Iran sehingga membantu memerangi NIIS tidak berarti lantas
mendorong Iran menjadi teman. Provokasi ini tentu ditujukan kepada negara-negara Timur
Tengah yang menjadi aliansi AS saat ini.
Netanyahu memanfaatkan rasa khawatir negara-negara tersebut terkait dengan ide AS untuk
memasukkan Iran sebagai kawan aliansi di kawasan Timur Tengah. Israel mencoba
membangun dinding pemisah ideologi yang lebih lebar dan tinggi antara muslim Sunni dan
muslim Syiah. Hal ini dilakukan karena beberapa hari sebelumnya, John Kerry telah
melakukan safari politik ke negara-negara Timur Tengah untuk mendiseminasi hasil
perundingan dengan Iran.
Padahal ketika John Kerry bertemu dengan Raja Salman dari Arab Saudi dan menteri luar
negeri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi, dan Uni Emirat Arab, ia telah menegaskan
bahwa perundingan AS tidak akan membuat Iran berpeluang menggunakannya senjata
pemusnah massal. Ia juga menegaskan komitmen AS untuk mencegah ekspansi Iran di Timur
Tengah.
Kekhawatiran Netanyahu cukup beralasan setelah Yordania melakukan penyerangan dan
komitmen untuk memberantas NIIS setelah pilot mereka dibakar hidup-hidup. Demikian pula
dengan Mesir yang memberikan respons keras terhadap NIIS setelah 21 warganya yang
beragama Kristen dipenggal hidup-hidup.
21. 21
Israel menjadi khawatir bahwa negara-negara Arab yang sebelumnya masih setengah hati
memerangi NIIS menjadi motor untuk menghancurkan NIIS sehingga artinya juga secara
politik memberi peluang pengaruh pada Iran untuk berkembang. Sepak terjang Israel dan
polarisasi politik Sunni-Syiah di Timur Tengah tampaknya memperberat perundingan Iran
dan kelompok P5+1.
Provokasi Netanyahu jelas telah menjauhkan proses perdamaian. Pidatonya di Kongres AS
juga bukan kebetulan karena dari sisi waktu pihak-pihak yang terlibat telah berkomitmen
untuk menyelesaikan perundingan di akhir bulan Maret ini. Pidato itu juga bukan kebetulan
karena dalam beberapa minggu terakhir Netanyahu telah mendapat serangan politik dari
lawan politik baik di dalam maupun di luar partainya. Terakhir ia didemo 40.000 orang di
Rabin Square, Tel Aviv, minggu lalu.
Bagi Iran, perundingan nuklir ini memiliki implikasi ekonomi penting terkait dengan rencana
untuk menghapuskan sanksi ekonomi yang telah membuat ekonomi mereka terpuruk dalam
lima tahun terakhir. Di dalam negeri, Iran sendiri pun mendapatkan banyak tekanan kepada
Rouhani terkait dengan perundingan nuklir ini. Oleh sebab itu, dalam perundingan, Iran
menghendaki pencabutan sejumlah sanksi yang efeknya dapat langsung dirasakan masyarakat
seperti pembukaan rekening Iran di pasar Eropa dan Asia agar negara-negara lain dapat
segera membeli minyak dari Iran.
Bagi Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, kita patut mewaspadai
gagasan-gagasan yang mirip dengan ide Netanyahu, yakni gagasan yang bertujuan memecah
belah persaudaraan antarumat Islam yang demokratis dan moderat. Jangan sampai kecurigaan
menghentikan langkah menuju perdamaian.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
22. 22
RAPBD dan Checks and Balances
Koran SINDO
11 Maret 2015
Kontroversi seputar penyusunan RAPBD DKI Jakarta merupakan pembelajaran bagi publik
mengenai arti penting APBD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Versi Gubernur DKI, pada setiap pos penganggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terdapat dugaan --meminjam terminologi Wamenkeu
Mardiasmo-- “dana siluman” yang tiba-tiba nongol dalam Rancangan APBD yang diserahkan
ke Kementerian Dalam Negeri. Konon, terdapat selisih dana Rp 12,1 triliun dalam RAPBD
yang diajukan melalui e-budgeting dengan yang disetujui dalam rapat paripurna DRPD. Hal
itulah yang kemudian mendorong Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
mengaudit RAPBD 2015.
Tak boleh diingkari bahwa dalam mekanisme penyusunan RAPBD dalam perspektif UU
Keuangan Negara dan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah mengharuskan adanya tiga fase penting, yaitu proses perencanaan partisipatif, proses
politik di DPRD, dan proses teknokratik.
Pertama, dalam proses perencanaan partisipatif, penyusunan RAPBD harus melewati
mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan daerah (arena eksekutif) maupun arena
penjaringan aspirasi masyarakat (arena DPRD) untuk menyerap seluas-luasnya kebutuhan
rakyat DKI. Melalui dua jalur proses penyerapan aspirasi rakyat tersebut dapat dibangun
kesepakatan bersama antara legislatif dan eksekutif dalam Kebijakan Umum Anggaran
(KUA) Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang kemudian dijabarkan melalui
perumusan detail RAPBD dan pada akhirnya bermuara pada pengesahan RAPBD dalam
rapat paripurna DPRD.
Kedua, proses politik di DPRD merupakan ranah legitimasi politik yang merupakan wujud
kedaulatan rakyat. Maka kewenangan DPRD dalam pengesahan RAPBD ke depan lebih baik
difokuskan pada wilayah strategis proses penganggaran daerah. Artinya, agar tak timbul
dugaan maupun fitnah mengenai keterlibatan (oknum) anggota DPRD maupun SKPD dalam
manipulasi anggaran daerah, DPRD perlu membatasi keterlibatannya hanya sebatas
pembahasan di komisi dan di rapat paripurna saja. Demikian pula pengawasan DPRD cukup
dibatasi pada level kebijakan daerah yang difokuskan pada pertanggungjawaban Gubernur.
DPRD tak perlu memasuki wilayah satuan tiga (SKPD) dalam pelaksanaan pengawasan
anggaran.
23. 23
Ketiga, proses teknokratik penganggaran daerah perlu diserahkan sepenuhnya kepada
eksekutif baik dalam penyusunan draf RAPBD sampai pada mekanisme alokasinya dalam
kebijakan pembiayaan program maupun kegiatan. Meskipun tak terkait langsung dengan
kewenangan Banggar di DPRD, ada baiknya inspirasi yang diperoleh dari Putusan
Mahkamah Konstitusi RI No. 35/PUU-XI/2013 yang membatasi keterlibatan Badan
Anggaran (Banggar) DPR terhadap mekanisme penyusunan anggaran yang tak boleh lagi
sampai pada satuan III kementerian (satker) bisa dijadikan pembelajaran untuk mencegah
jerat politik uang terhadap para anggota DPRD.
Performance Budgeting
Sejatinya, selama ini melalui paket UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah
dilakukan reformasi birokrasi dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah, yaitu
mengubah sistem keuangan tradisional menjadi sistem anggaran kinerja (performance
budgeting). Sistem tradisional, sistem penyusunannya adalah dengan pendekatan incremental
dan line item dengan penekanan pada pertanggungjawaban dalam setiap input yang
dialokasikan.
Melalui reformasi keuangan negara tersebut, sistem penyusuan anggaran harus disusun
dengan pendekatan atau sistem anggaran kinerja (performance budgeting), dengan penekanan
pertanggungjawaban tidak sekadar pada input tetapi juga pada output dan outcome.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan sistem anggaran kinerja harus dilakukan melalui
proses penyusunan yang bersifat partisipatif (bottom-up) melalui perencanaan anggaran
berbasis kinerja yang menggunakan parameter kemanfaatan (outcome) dari setiap mata
anggaran yang disusun. Dengan demikian, sangat mudah untuk menelusuri adanya
kecurangan dalam penyusunan maupun pengalokasian anggaran.
Keuangan negara yang disusun dengan pendekatan kinerja memuat hal-hal sebagai berikut:
(1) sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; (2) standar pelayanan yang diharapkan
dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; serta (3) bagian
pendapatan keuangan negara yang membiayai administrasi umum, belanja operasi dan
pemeliharaan, dan belanja modal/pembangunan. Untuk mengukur kinerja keuangan
pemerintah tersebut, dikembangkan standar analisis belanja, tolok ukur kinerja, dan standar
biaya.
Dengan digunakannya sistem anggaran berbasis kinerja saat ini, sungguh merupakan langkah
yang sangat ceroboh dan gegabah jika ada oknum-oknum di lingkungan SKPD maupun
DPRD DKI Jakarta yang berani menyisipkan mata anggaran yang dalam penyusunannya tak
bertitik tolak dari parameter anggaran kinerja di atas. Apalagi dengan telah dimulainya
penerapan sistem e-budgeting di lingkungan pemerintahan, termasuk di DKI Jakarta, pola
penyisipan mata anggaran semacam itu cepat ataupun lambat pasti bisa terlacak.
Prinsip pengeluaran negara/daerah dalam sistem anggaran berbasis kinerja ditopang oleh
prinsip-prinsip akuntabilitas dan value of money, kejujuran dalam penataan keuangan
24. 24
negara/daerah, transparansi dan pengendalian. Cara kerja tak profesional dalam penyusunan
dan penggunaan anggaran baik oleh legislatif maupun eksekutif telah mengingkari semangat
reformasi pengelolaan keuangan negara/daerah yang diusung UU Keuangan Negara dan UU
Perbendaharaan Negara serta PP No. 58 Tahun 2005 yang dilaksanakan melalui Permendagri
No. 13 Tahun 2006 jo Permendagri No. 59 Tahun 2007 dan Permendagri No. 21 Tahun
2011.
Pesan penting dari “buruk rupa” draf APBD DKI Jakarta jika dikaitkan dengan inspirasi yang
terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 35/PUU-XI/2013 adalah bahwa
perlunya purifikasi fungsi kelembagaan dalam konstelasi sistem checks and balances.
Eksekutif perlu dibatasi pada wilayah teknokratik APBD saja, tak perlu terlalu jauh
mencampuri wilayah legislasi dan politik anggaran. Sebaliknya DPRD juga perlu membatasi
diri sebatas pada wilayah politik anggaran baik dalam proses penyusunan APBD, pengesahan
melalui rapat paripurna sampai pada alokasinya.
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sejatinya juga telah
mengamanatkan agar pemerintah lebih menempatkan diri sebagai administrator dan tak perlu
terlalu dalam memasuki arena politik legislasi maupun politik anggaran. Demikian pula UU
Aparatur Sipil Negara dengan tegas mengembalikan fungsi aparatur sipil negara sebagai
pelayan publik, jangan menjadi birokrat yang berpolitik. Pembahasan anggaran di DPRD
merupakan arena politik yang tak boleh menyeret aparatur sipil negara ”bermain api” di arena
politik.
Baik eksekutif maupun legislatif di DKI perlu menahan diri agar sama-sama dapat mengingat
dengan baik bahwa kursi-kursi dan fasilitas yang mereka nikmati dibayar oleh rakyat dan
harus dikembalikan melalui pengabdian terbaik bagi rakyat. Siklus banjir DKI tak akan
berhenti hanya dengan memperdebatkan APBD!
DR W RIAWAN TJANDRA
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
25. 25
Kriminalisasi dalam Pemberantasan
Korupsi
Koran SINDO
12 Maret 2015
Hiruk-pikuk jargon kriminalisasi terkait pimpinan KPK dan pendukung KPK telah
menyeruak di beberapa media nasional. Kriminalisasi dalam doktrin hukum pidana adalah
suatu perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana kemudian merupakan
tindak pidana berdasarkan UU yang berlaku. Sebaliknya, ada dekriminalisasi yaitu perbuatan
yang semula diancam pidana kemudian menjadi tidak diancam pidana berdasarkan UU yang
berlaku.
Mengikuti doktrin tersebut, tidak ada yang keliru tentang kriminalisasi sepanjang
dilaksanakan berdasarkan UU yang berlaku, bukan kehendak penyidik semata. Dalam
konteks jargon kriminalisasi yang telanjur keliru seharusnya sebagai warga negara yang baik
menjunjung tinggi dan menghormati asas persamaan di muka hukum (equality before the
law) dan di sisi lain penyidik harus mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence).
Asas hukum pidana pertama dan kedua tersebut dicantumkan di dalam UUD 1945 selain
konvensi internasional tentang hak sipil dan hak politik. Dua asas hukum pidana tersebut
harus berada dalam suatu keseimbangan dan mencegah prinsip tujuan menghalalkan cara
karena bertentangan dengan prinsip proporsionalitas (Remmelink, 2003) yaitu harus sesuai
antara tujuan dan cara mencapai tujuan.
Prinsip hukum ini rambu-rambu bagi setiap langkah penyidikan dan di sisi lain seharusnya
menjadi pegangan bagi setiap orang yang (akan) diperiksa penyidik. Jika ada orang yang
menolak diperiksa penyidik sepanjang dilaksanakan berdasarkan perintah UU, terhadapnya
sesuai UU dapat dilakukan upaya paksa untuk diperiksa. Sebaliknya, penyidik dapat
dipraperadilankan jika terperiksa (tersangka) berpendapat bahwa langkah hukum penyidikan,
penahanan, penuntutan, atau penghentian penyidikan dan penuntutan atau tuntutan ganti
rugi/rehabilitasi telah melanggar ketentuan Pasal 77 KUHAP. Selain alasan-alasan tersebut,
mereka dapat merujuk putusan hakim Sarpin Rizaldi, penetapan tersangka secara melawan
hukum.
Mekanisme hukum praperadilan adalah satu-satunya yang dibenarkan berdasarkan UU yang
berlaku di Indonesia ketika hak-hak asasi setiap orang telah dilanggar atau dirampas dari diri
kita, tidak ada lain lagi. Cara-cara Denny Indrayana yang mengaku pendukung KPK dari
sudut hukum justru tindakan melawan UU yang berlaku. Di dalam KUHAP kepatuhan untuk
26. 26
memenuhi panggilan penyidik merupakan kewajiban setiap orang. Saat ini yang kita saksikan
telah di luar akal sehat kita sebagai ahli hukum (pidana) karena telah terjadi perlawanan
terhadap asas persamaan di muka hukum yang telah dicantumkan di dalam UUD 1945, bukan
hanya UU KUHAP; dan itu hanya dapat dibenarkan jika asas praduga tak bersalah telah
dilanggar penyidik; tapi harus melalui mekanisme praperadilan.
Cara-cara aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti-korupsi khususnya DI, BW, dan
YH mengadu ke Istana bukan cara-cara berdasarkan hukum yang berlaku. Langkah itu cara-
cara politis untuk ”memaksa” Presiden selaku kekuasaan eksekutif memengaruhi atau
mengintervensi proses penyidikan terhadap mereka. Langkah dan tindakan mereka justru
tidak dapat diterima dari sudut etika pengampu ilmu hukum dan bertentangan sama sekali
dengan asas-asas dan kaidah yang berlaku dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Cara
tersebut bahkan bertentangan dengan sistem ketatanegaraan yang diakui UUD 1945 di mana
telah diakui pemisahan kekuasaan eksekutif dari kekuasaan yudikatif dan kekuasaan
legislatif.
Merujuk pada uraian ini saya mendukung sepenuhnya kebijakan Presiden Joko Widodo yang
telah menyatakan tidak akan ikut campur dengan proses hukum yang tengah dilakukan oleh
Bareskrim. Adapun yang dinyatakan oleh Presiden untuk hentikan kriminalisasi adalah jika
proses penyidikan dilakukan tanpa dasar fakta dan ketentuan hukum yang berlaku.
Penyalahgunaan wewenang dimaksud adalah tindakan yang telah melampaui batas
kewenangan, tindakan yang telah mencampuradukkan wewenang atau penyidik bertindak
sewenang-wenang (tanpa dasar hukum yang berlaku) sebagaimana telah dicantumkan dalam
Pasal 17 tentang Larangan Penyalahgunaan Wewenang (UU RI Nomor 30 Tahun 2014).
Jika kita bandingkan tindakan hukum yang telah dilakukan oleh KPK terhadap setiap
tersangka korupsi yang juga berdasarkan UU yang berlaku, penulis melihat tidak ada bedanya
dengan tindakan hukum yang telah dilakukan Bareskrim Polri misalnya pemborgolan.
Sedangkan penyidik KPK adalah anggota Polri juga sehingga tidak ada alasan apa pun untuk
memojokkan penyidik Bareskrim telah melakukan kriminalisasi.
Justru ”kriminalisasi” yang kasatmata adalah ketika KPK menetapkan seseorang sebagai
tersangka tanpa yang bersangkutan memperoleh informasi pertama dari penyidik KPK dan
tanpa sprindik (kasus MSG) atau tidak semua pimpinan membubuhkan tanda tangan
menyepakati dan menyetujui penetapan dimaksud atau penetapan tersangka karena alasan-
alasan pribadi atau untuk kepentingan politik.
Saya mengimbau mereka yang telah ditetapkan tersangka atau calon tersangka oleh
Bareskrim bersikap ikhlas dan melawan melalui mekanisme praperadilan atau menyiapkan
diri untuk membela diri di sidang pengadilan tipikor dengan penasihat hukum dan ahli-ahli
yang tepercaya. Di dalam sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum itulah,
kita semua dapat menyaksikan kebenaran ”kriminalisasi” yang telah Anda tuduhkan kepada
Bareskrim.
28. 28
Antara Pahlawan dan Pecundang
Koran SINDO
12 Maret 2015
Sebagian masyarakat dan pemerhati permasalahan Polri-KPK menunjukkan respons yang
sudah tidak rasional. Seberapa pun penjelasan yang diberikan Polri tentang keterlibatan
komisioner KPK sulit dipercaya sebagai bentuk proses penegakan hukum.
Sebaliknya, komisioner KPK tetap dipercaya tidak bersalah meski fakta yang didukung
beberapa alat bukti mengarahkannya sebagai tersangka, atau paling tidak menjadi pembenar
dengan mengatakan tidak sebanding kasus yang disangkakan komisioner KPK non-aktif
dengan kasus yang sedang ditangani KPK.
Tampaknya pesan Ali bin Abi Thalib yang cukup terkenal, ”Jangan menjelaskan tentang
dirimu kepada siapa pun karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu
tidak percaya itu” menemukan relevansinya.
Sangat jarang yang melihat proses penegakan hukum yang dilakukan Polri terhadap
komisioner KPK non-aktif diterima sebagai salah satu mekanisme yang dapat dinilai sebagai
bentuk konkret dari mekanisme kontrol terhadap kinerja KPK, termasuk kinerja komisioner
KPK. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, kekuasaan cenderung
korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup, demikian juga KPK tanpa kontrol (berarti
kekuasaan absolut) akan melahirkan potensi penyimpangan penegakan hukum di KPK.
Penguatan KPK seharusnya dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan penguatan
secara internal dan penguatan secara eksternal. Penguatan internal mengharuskan KPK
menerima, berlapang dada, dan bahkan membuka diri ketika siapa saja personelnya termasuk
komisioner KPK yang diduga bermasalah dengan pidana kemudian diproses secara hukum
sehingga menghindarkan segala putusan hukum KPK bisa menjadi bias dan tidak kredibel
karena melibatkan personel yang cacat hukum.
Pendekatan penguatan KPK secara eksternal dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas
proses penegakan hukum di KPK dalam kasus tindak pidana korupsi. Namun, harus
dipastikan penegakan hukum itu dilakukan secara profesional dan proporsional dengan
mengedepankan kepastian hukum dan rasa keadilan, asas, kaidah dan hak-hak hukum
terperiksa/tersangka.
Harus disadari bahwa upaya praperadilan terhadap proses penegakan hukum di KPK yang
dilayangkan beberapa pihak seyogianya dinilai sebagai bentuk nyata dari mekanisme kontrol
untuk memperkuat KPK agar lebih berhati-hati dan profesional dalam menangani perkara
29. 29
hukum. Di samping itu, penegakan hukum yang dilakukan lembaga eksternal seperti Polri
terhadap komisioner KPK harus dinilai sebagai mekanisme kontrol untuk memperkuat
internal KPK. KPK harus menunjukkan sisi kenegarawanan dengan berperilaku sebagai
lembaga negara yang menjunjung tinggi hukum dan kewibawaan negara salah satunya
menghormati putusan praperadilan. KPK harus tetap menjunjung tinggi asas praduga tak
bersalah dan seharusnya tidak lagi melakukan pembangkangan terhadap putusan
praperadilan, baik dalam bentuk demo pegawai maupun perilaku lain sebagai bentuk
perbuatan melawan hukum.
Konsekuensi dari putusan praperadilan dengan pembatalan status tersangka pemohon dan
penetapan bahwa KPK tidak berwenang menangani perkara pemohon memiliki konsekuensi
bahwa KPK harus menghentikan penyidikan dan tidak lagi menangani perkara pemohon.
Tetapi, disebabkan KPK tidak diperkenankan menghentikan penyidikan dan tidak memiliki
kewenangan penanganan perkara pemohon, mengharuskan perkara pemohon harus
dilimpahkan ke kejaksaan atau kepolisian untuk dihentikan penyidikannya (dikeluarkan SP3).
Penyerahan penanganan perkara pemohon oleh KPK kepada kejaksaan harus disertai
penyerahan berkas perkara secara lengkap tidak hanya dalam bentuk surat pengantar.
Di sinilah pentingnya KPK mendefinisikan posisinya sebagai pahlawan sesungguhnya dalam
pemberantasan korupsi atau sekadar ”pecundang” yang menampilkan diri bak pahlawan
dengan sengaja menggiring opini publik secara tidak proporsional ketika komisioner KPK
berhadapan dengan masalah hukum yang diproses Polri atau keharusan KPK melimpahkan
perkara pemohon praperadilan.
Modal sosial yang cukup dimiliki KPK saat ini memberikan kesempatan kepada KPK untuk
menjelaskan kepada publik tentang pendidikan kesadaran taat hukum dan mengikuti prosedur
hukum secara benar. Pada saat yang sama, KPK harus menunjukkan sinergi dengan lembaga
penegak hukum lain dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Di lain pihak, Polri secara institusional harus mampu menampilkan diri secara elegan dalam
menanggapi berbagai isu yang berkembang. Termasuk di dalamnya tentang profesionalitas
penegakan hukum terhadap komisioner KPK non-aktif, membangun komunikasi massa yang
baik dan profesional, serta menegaskan dan memublikasikan proses penegakan hukum yang
sudah dilakukan Polri secara internal terhadap anggotanya yang terbukti melakukan
pelanggaran kode etik dan tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.
Polri pada 2012 menjelaskan ke publik bahwa sekitar 200-an personel Polri dipecat dan
diproses hukum karena terbukti melakukan tindak pidana, mulai dari kekerasan sampai tindak
pidana korupsi. Polri harus cukup ”firm” menjawab semua isu yang berkembang soal
penegakan hukum terhadap komisioner KPK non-aktif untuk memastikan publik, akademisi,
dan aktivitas anti-korupsi mendapatkan penjelasan yang masuk akal dan dapat diterima.
Keterlibatan Kombes Victor Simanjuntak dalam penangkapan BW semestinya dijawab
dengan proporsional sesuai kewenangan yang diberikan UU No. 2 Tahun 2002. Aturan
30. 30
tersebut tidak melarang polisi non-penyidik (bukan penegak hukum) terlibat dalam
penangkapan karena berdasarkan Pasal 16 sebagai penegas Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002,
baik sebagai penegak hukum maupun sebagai aparat keamanan, polisi sebagai personel Polri
diberi wewenang terlibat dalam penangkapan sebagaimana Polri non-penyidik juga pernah
dimintai bantuan untuk mendukung penegakan hukum seperti penggeledahan oleh KPK. Toh
pun, penangkapan BW tetap melibatkan penyidik yang sah dan diberi wewenang oleh
undang-undang serta ditunjuk dan ditetapkan pimpinan Polri.
Keputusan ada di KPK untuk memastikan diri menjadi pahlawan sesungguhnya dalam
penegakan hukum sekaligus sebagai negarawan, atau sebaliknya pada akhirnya akan menjadi
pecundang dengan membela mati-matian komisioner KPK non-aktif yang bermasalah dengan
hukum dan melakukan pembangkangan dengan menolak putusan praperadilan.
KPK harus memastikan berperan dalam pembangunan kesadaran hukum di Indonesia dengan
melakukan tugas penegakan hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi secara
proporsional, profesional, dan menghindarkan potensi keterlibatan campur tangan politik dan
vested interest dalam proses penegakan hukum.
Polri dituntut mampu bermain cantik mengelola isu dengan cara ”menumpangi” opini publik
yang sedang berkembang dan meluruskan isu yang tak berdasar secara elegan seiring
semangat opini publik yang terbentuk. Penegakan hukum terhadap komisioner KPK oleh
Polri harus mampu meyakinkan publik bahwa dampaknya justru memberikan penguatan
internal terhadap institusi KPK dalam melakukan penegakan hukum di bidang pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Hal yang harus disyukuri saat ini adalah daya kritis masyarakat menunjukkan telah menuju
pada jalur yang benar setelah beberapa kali dalam periode kepemimpinan presiden yang
berbeda, komisioner KPK harus berhadapan dengan proses penegakan hukum di Polri.
Setidaknya ini dapat diindikasikan dengan dukungan masyarakat, melalui sosial media seperti
Facebook dan Twitter terhadap KPK.
Apabila pada kasus Bibit-Chandra dukungan mencapai 2 juta lebih pengguna Facebook dan
Twitter, sampai saat ini dukungan KPK di grup dan halaman (fanpage) Facebook hanya
mencapai paling tinggi sekitar 30.000 lebih pengguna, demikian juga di Twitter justru
hashtag #SaveKPK#SavePolri pengikutnya lebih banyak (5.000 lebih follower) dibanding
hanya hashtag #SaveKPK yang paling banyak memiliki 3.000 lebih follower.
Namun, perlawanan masif terhadap proses penegakan hukum yang masih cenderung berpihak
pada KPK bukan berpihak terhadap kepastian hukum itu sendiri. Perlawanan ini lebih
nyaring dilakukan oleh akademisi, aktivis anti-korupsi, dan pihak-pihak yang berkepentingan
lainnya yang secara sosiologis berada di kelompok intelektual.
Ini mengharuskan Polri meresponsnya dengan membangun argumentasi proses penegakan
hukum berbasis kepastian hukum yang rasional dan mampu mematahkan argumentasi yang
31. 31
berkembang, serta menjaga dari pernyataan-pernyataan yang berakibat blunder, serta
berusaha terus-menerus membangun komunikasi massa yang simpatik dan empatik.
BRIGJEN POL DR BAMBANG USADI MM
Analis Kebijakan Utama (Anjak) Utama Lemdikpol
32. 32
Etika Penegakan Hukum
Koran SINDO
12 Maret 2015
Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945. Negara hukum mengandung konsekuensi tidak hanya penyelenggaraan negara yang
harus memiliki dasar dan sesuai dengan aturan hukum, melainkan juga berarti tindakan warga
negara tidak boleh melanggar aturan hukum yang berlaku. Terhadap pelanggaran hukum,
akan diberikan tindakan hukum yang berujung pada penjatuhan sanksi.
Dalam kerangka negara hukum, penegakan hukum merupakan elemen penting karena
menentukan apakah negara hukum akan menjadi slogan semata atau mewujud dalam
keseluruhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya penegakan, hukum akan
kehilangan maknanya sebagai pedoman perilaku dan kehilangan sifat paksaan sebagai
karakter utama. Di sisi lain, dalam proses penegakan hukum juga terdapat potensi
menimbulkan permasalahan dan pertentangan, bahkan terhadap tujuan hukum itu sendiri.
Karena itu, pelaksanaan oleh aparat penegak hukum menjadi wilayah krusial dalam rangka
mewujudkan negara hukum. Tidak mengherankan jika BM Taverne menyatakan, ”Beri aku
hakim yang baik, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, maka aku akan berantas kejahatan
walau tanpa undang-undang secarik pun.”
Tujuan Penegakan Hukum
Pernyataan Taverne adalah suatu pernyataan ekstrem. Setidaknya ada dua hal penting dari
penyataan tersebut. Pertama, aparat penegak hukum yang diwakili hakim, jaksa, dan polisi
memiliki peran penting dalam penegakan hukum untuk memberantas kejahatan, bahkan
walau tanpa undang-undang. Tentu saja dalam kondisi saat ini tidak mungkin menegakkan
hukum tanpa ada dasar aturan hukum tertulis.
Kedua, pernyataan ”tanpa undang-undang secarik pun” menunjukkan bahwa hukum tidak
harus selalu dimaknai sebagai undang-undang. Tidak adanya undang-undang tidak berarti
tidak ada hukum. Konsekuensinya, penegakan undang-undang tidak selalu sama dengan
penegakan hukum. Karena itu, penegakan hukum tidak boleh dimaknai sekadar sebagai
pelaksanaan ketentuan dalam undang-undang.
Penegakan hukum harus diabdikan untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Ketiga tujuan hukum tersebut bermuara pada terwujudnya tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketertiban hanya akan tercapai jika ada
keadilan, kepastian, dan keputusan hukum yang bermanfaat. Dalam pelaksanaannya mungkin
33. 33
saja terdapat kondisi atau peristiwa di mana pelaksanaan aturan ternyata menimbulkan
ketidakadilan bahkan mengganggu ketertiban sosial. Tentu saja tujuan hukum harus lebih
dikedepankan jika hal itu terjadi. Untuk itulah aparat penegak hukum dibekali dengan
kewenangan diskresi dan tentu saja harus memperhatikan etika penegakan hukum.
Etika Penegakan Hukum
Etika secara sederhana dapat diartikan sebagai seperangkat nilai yang menentukan baik atau
buruk suatu tindakan yang akan dipilih untuk dilakukan. Ukuran baik buruk dapat bersumber
pada nilai universal atau ditentukan oleh keadaan khusus suatu peristiwa. Etika lebih terkait
dengan persoalan sikap dan tata cara bertindak, bukan dengan substansi dari tindakan itu
sendiri. Ada kalanya dari sisi substansi suatu tindakan adalah benar, tetapi pilihan cara dari
tindakan itu tidak baik.
Etika penegakan hukum sangat penting untuk dikembangkan dan dijalankan karena beberapa
alasan. Pertama, hukum adalah norma yang bersumber pada tata nilai yang dipandang adil
dan benar yang menjadi salah satu ciri puncak peradaban manusia. Karena itu, penegakan
hukum juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan standar etika bangsa
beradab. Hukum yang ditegakkan dengan cara biadab dengan sendirinya akan menurunkan
derajat substansi hukum menjadi sekadar nafsu untuk menghukum atau menuntut balas.
Kedua, etika semakin diperlukan mengingat semakin berkembangnya kelembagaan aparat
penegak hukum. Yang dimaksud dengan penegak hukum saat ini bukan hanya hakim, jaksa,
dan polisi, tetapi telah berkembang sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan jenis
pelanggaran hukum yang semakin kompleks dan membutuhkan keahlian spesifik untuk
menanganinya dan tidak dapat dibebankan hanya kepada polisi dan jaksa.
Selain itu, mengingat aparat hukum diberi kuasa memaksa oleh negara, diperlukan
mekanisme untuk mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Upaya untuk
menciptakan aparat penegak hukum yang baik dilakukan dengan membentuk aparat penegak
hukum lain yang memiliki kewenangan koordinasi dan supervisi, bahkan penindakan jika ada
aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum.
Salah satu potensi negatif dari perkembangan aparat penegak hukum itu adalah kemungkinan
tumpang tindih kewenangan dan perlawanan dengan menggunakan kuasa hukum yang
dimiliki. Hal inilah yang terjadi misalnya dalam hubungan antara KPK dan Polri. Tentu saja
hal ini tidak berarti penegakan hukum harus dikembalikan kepada satu lembaga saja karena
tidak sesuai dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi dan justru akan memperbesar
kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.
Etika penegakan hukum menjadi penting untuk mencegah terjadinya gesekan antaraparat
penegak hukum. Apabila proses penegakan hukum, terutama terkait dengan aparat penegak
hukum yang lain, dilakukan dengan cara-cara yang menjunjung etika, tentu pertentangan
antaraparat penegak hukum tidak perlu terjadi.
34. 34
Penegakan hukum yang etis tentu tidak boleh dimaknai sebagai pembiaran jika ada aparat
penegak hukum yang melanggar hukum. Etika lebih pada cara menangani pelanggaran
hukum. Hal ini dapat dimulai sejak ada indikasi awal pelanggaran hukum yang sebaiknya
segera berkoordinasi antarpimpinan sehingga pelanggaran tidak berlanjut.
Etika juga terkait dengan momentum tindakan penegakan hukum yang harus tepat sehingga
tidak menimbulkan persepsi perlawanan atau pembalasan serta tidak mencederai martabat
kelembagaan. Demikian pula jika memang harus ada tindakan terhadap aparat penegak
hukum, tentu harus dilakukan dengan cara-cara beradab dan sudah pada tempatnya tetap
memerhatikan status sebagai aparat penegak hukum.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
35. 35
Turbulensi Politik Partai Golkar
Koran SINDO
13 Maret 2015
Polemik panjang kisruh internal Partai Golongan Karya (Golkar) berakhir. Keputusan
Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly memenangkan kubu Agung
Laksono versi Munas Ancol sebagai ketua umum DPP Golkar. Pemerintah menganulir
kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) versi Munas Bali. Keputusan pemerintah tersebut
sejak awal dibaca kecenderungannya berpihak ke kubu Agung yang pro-pemerintah.
Penetapan Agung Laksono sebagai pimpinan yang sah dalam menakhodai Golkar, sejatinya
bukan titik akhir penyelesaian konflik partai beringin, melainkan menjadi indikasi prahara
yang melahirkan turbulensi politik di internal Golkar. Sebelumnya, Mahkamah Partai Golkar
(MPG) tertanggal 3 Maret 2015 telah memenangkan kubu Agung Laksono. Keputusan MPG
menjadi rujukan Kemenkumham dalam menetapkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil
Munas Ancol secara selektif di bawah kepemimpinan Agung Laksono. Dalam hal ini, surat
Kemenkumham diterbitkan berdasarkan Pasal 32 ayat 5 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik, dinyatakan bahwa keputusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara
internal dalam perselisihan kepengurusan.
Kemudian, pemerintah meminta DPP di bawah kepemimpinan Agung Laksono untuk segera
membentuk kepengurusan partai secara selektif dengan kewajiban mengakomodasi kader-
kader Golkar yang memenuhi kriteria, prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela.
Keputusan pemerintah tersebut berpotensi ditafsirkan sebagai intervensi terhadap Golkar. Hal
itu sulit dielakkan dengan menilik latar belakang kepentingan politik yang tergabung dalam
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pemerintahan Jokowi-JK dan Koalisi Merah
Putih (KMP) sebagai kelompok oposisi. Secara politik, pemerintahan Jokowi berkepentingan
terhadap dukungan Partai Golkar sebagai salah satu kekuatan penentu di KMP. Artinya,
kemenangan kubu Agung Laksono yang pro-pemerintah berpotensi menjadikan soliditas
KMP makin rapuh.
Intervensi pemerintah lebih awal terendus dari manuver Agung cs sebelum Munas Bali
digelar, ditandai intensitasnya melakukan komunikasi politik dengan Jusuf Kalla (JK) selaku
wapres yang juga tokoh senior Golkar yang masih berpengaruh. Klimaksnya, setelah kubu
ARB berhasil menggelar Munas Bali, menyusul Munas Ancol yang ditengarai berada
bayang-bayang kuasa JK. Hasilnya, Golkar terbelah hingga MPG harus turun tangan yang
melapangkan jalan Agung cs menyusul pemerintah memberikan ketetapan hukum. Dengan
demikian, aura intervensi pemerintah berjalan sistematis meski hal itu ditampik
Kemenkumham.
36. 36
Turbulensi Golkar
Dalam konstelasi politik ini, Golkar kini terjebak dalam fragmentasi yang akut ditandai
perpecahan para elitenya. Sulit diingkari, politik Golkar mengalami turbulen hingga
terdisorientasi arah politiknya menyongsong pemilu mendatang. Kekuatan kader potensial
yang tergabung dalam kubu ARB kini dieliminasi.
Akibatnya, Golkar berpotensi lumpuh termasuk dalam kemampuan koordinasi ke daerah
yang kini justru fokus menghadapi pilkada di sejumlah daerah di Tanah Air. Setidaknya,
Golkar butuh waktu untuk memulihkan situasi politik internal yang kini terbelah. Kekuatan
Golkar secara politik melemah setelah tumbangnya rezim ARB yang selama ini
mengendalikan partai.
Fragmentasi internal Golkar tidak terlepas dari kisruh para elitenya saat Pilpres 2014 lalu,
hingga berujung pada Munas Bali dan Ancol yang menjadi ”tradisi baru” konflik Golkar.
Dualisme kepemimpinan Golkar versi kedua munas tersebut menguras energi Golkar hingga
butuh waktu untuk memulihkannya. Kini Golkar mengalami stagnasi bahkan kemunduran
berpolitik, jika menilik tradisi politiknya pasca-Orde Baru.
Fragmentasi politik Golkar senantiasa mewarnai dinamika politik partai yang lahir dari rahim
Orde Baru tersebut. Sepanjang reformasi, Golkar acap dilanda polemik yang mengilhami
lahirnya partai baru yang lahir dari ”rahim politik Golkar”. Sejumlah partai yang lahir dari
konflik internal Golkar yang mengharuskan kader terbaiknya hengkang dan memilih
membuat rumah politik baru, di antaranya Wiranto mendirikan Partai Hanura, Edi Sudrajat
mendirikan PKPI, Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, dan Surya Paloh
mendirikan Partai Nasdem. Bukan mustahil, kubu ARB jika tidak ada ruang rekonsiliasi
politik, juga berpotensi mendirikan partai baru.
Tradisi Kekuasaan
Turbulensi politik akibat fragmentasi para elite Golkar diakibatkan lemahnya ideologi partai
sebagai visi para kader menentukan arah politik Golkar, namun lebih bersifat pragmatis.
Potensi konflik yang selalu mewarnai dinamika politik Golkar adalah penegas meredupnya
militansi kader dalam mengawal Partai Golkar.
Orientasi kekuasaan Golkar juga condong lebih pragmatis, misalnya kubu Agung memilih
merapat pada kekuasaan yang berhasil menelikung ARB cs yang menandai petaka politik
Golkar akibat syahwat politik yang tak terkendali. Pemerintahan dan kekuasaan menjadi
identik dengan tradisi politik Golkar.
Posisi oposisi bagi Golkar menjadi pilihan sulit, betapa tradisi Golkar selama ini merupakan
partai yang tidak lepas dari kekuasaan hingga kini. Keberadaan JK dalam pemerintahan
Jokowi menjadi indikatornya. Tetapi di parlemen, Golkar berusaha berseberangan dengan
37. 37
pemerintah, namun mungkin akhirnya merapat pascakemenangan kubu Agung yang pro-
pemerintah.
Golkar sebagai salah satu penyangga KMP seharusnya mengambil posisi berlawanan dengan
pemerintah. Golkar harusnya mampu membangun karakter diri sebagai oposisi di parlemen.
Oposisi tersebut bukan dalam kalkulasi politis pragmatis belaka, tetapi menjadi oposisi yang
konsisten mengawal kemungkinan terjadinya penyimpangan pemerintahan Jokowi-JK.
Elite Golkar harus sadar bahwa fragmentasi elite merugikan masa depan partai. Harus lahir
kesadaran bersama untuk menyelamatkan Golkar menjadi partai mandiri dengan jati dirinya
sendiri, tanpa intervensi pihak luar. Dengan pilihan itu, beringin akan kembali rindang
memberikan warna dominan dalam konstelasi politik nasional tanpa jebakan fragmentasi
elite. Mungkinkah?
FIRDAUS MUHAMMAD
Dosen Komunikasi Politik UIN Alauddin Makassar; Direktur Eksekutif The Political Society
38. 38
Demokrasi Jalan Korupsi
Koran SINDO
14 Maret 2015
Lama tak berkomunikasi, beberapa waktu yang lalu tiba-tiba Ahmad Khoirul Umam berkirim
e-mail yang meminta saya membuat pengantar untuk buku yang akan diterbitkannya. Mantan
wartawan yang dulu sering meliput aktivitas saya ini, sekarang sudah menjadi kandidat
doktor di University of Queensland, Brisbane, Australia.
Di sela-sela keseriusan menyiapkan disertasi doktornya, Umam sempat menulis buku
Pergulatan Demokrasi dan Politik Antikorupsi di Indonesia. Buku itu berisi kegundahan dan
kemarahan akademisnya, karena ternyata demokrasi di Indonesia gagal menjadi sistem dan
mekanisme yang mampu secara efektif memerangi korupsi. Umam meminta saya membuat
pengantar atas buku yang berisi kekecewaan atas perkembangan politik di negara yang
dicintainya, Indonesia.
Saya agak terperangah ketika membaca statement di dalam draf buku itu bahwa teori-teori
yang menjelaskan bahwa demokrasi merupakan sistem atau jalan politik yang tepat untuk
memberantas korupsi ternyata tak berlaku atau gagal diberlakukan di Indonesia. Indonesia
telah gagal menjadikan demokrasi sebagai sistem dan alat politik yang legal untuk
memberantas korupsi.
Pandangan-pandangan Sandholtz dan Kotzle (2000), Blake dan Martin (2006), atau Hellman
(2008) yang meneorikan bahwa semakin demokratis suatu negara akan semakin efektif
pemberantasan korupsinya, ternyata tak berlaku di Indonesia. Indonesia telah melakukan
reformasi untuk membangun sistem politik yang demokratis karena keyakinan bahwa
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta penegakan hukum pada
umumnya akan bisa dilaksanakan secara efektif melalui demokrasi. Ternyata kita kecele.
Demokrasi untuk mengatasi berbagai krisis yang kita bangun, ternyata kalah dalam perang
melawan korupsi.
Reformasi yang dibayar sangat mahal dengan melakukan amendemen atas UUD 1945 agar
elemen-elemen penting demokrasi lebih mendapat tempat yang kuat di dalam konstitusi,
ternyata tak membuat korupsi berkurang. Alih-alih berkurang, korupsi semakin menggurita
dan merajalela.
Banyak yang kemudian mengejek demokratisasi yang dulu kita bangga-banggakan. Ada yang
mengatakan bahwa reformasi kita telah jauh kebablasan membangun demokrasi yang justru
tak efektif dan keok melawan korupsi. William Liddle mengatakan bahwa demokrasi telah
menjadi alat korupsi karena korupsi justru dilakukan melalui mekanisme
39. 39
demokrasi. Sementara Saiful Mujani dalam buku Kuasa Rakyat (2012) mengatakan bahwa
demokrasi di Indonesia bukan lagi sistem politik yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, melainkan sudah menjadi dari rakyat, oleh elite, dan untuk elite.
Tetapi benarkah kita telah gagal memerangi korupsi melalui demokrasi yang kita bangun
dengan susah payah? Inilah yang harus didiagnosa. Bahwa setelah reformasi berjalan sekitar
17 tahun Indonesia tidak berhasil memerangi korupsi secara efektif, adalah fakta tak
terbantahkan. Tetapi untuk mengatakan bahwa demokrasi tidak bisa dijadikan sistem,
sekaligus alat untuk memberantas korupsi, mungkin tidak sepenuhnya tepat untuk
menjelaskan Indonesia.
Persoalannya, demokratisasi di Indonesia hanya berjalan pada periode pertama pemerintahan
hasil Pemilu 1999. Pemilu 1999 adalah pemilu yang paling demokratis setelah Pemilu 1955.
Itulah sebabnya pada periode tersebut kita memiliki anggota-anggota DPR yang cukup bagus,
mengeluarkan banyak UU yang cukup berkualitas, sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Bahkan pada periode pertama reformasi, kita melahirkan lembaga-lembaga penegak hukum
yang, pada mulanya sangat membanggakan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi
Yudisial, Mahkamah Konstitusi. Pada era ini, konsolidasi demokrasi tampak berhasil dan
memberi harapan akan efektivitasnya memerangi korupsi.
Namun lama-kelamaan, tepatnya setelah Pemilu 2004, sistem yang demokratis mulai
bergeser menjadi oligarkis. Demokrasi menjadi pasar jual-beli untuk jabatan-jabatan
politik. Demokrasi menjadi tidak substansial, tetapi lebih prosedural semata sehingga ia pun
secara praktis mudah dijadikan alat untuk korupsi. Bukan rahasia lagi bahwa pemilihan-
pemilihan pejabat publik, baik yang langsung dilakukan oleh rakyat maupun melalui DPR,
marak dengan isu politik uang dan koncoisme.
Pemilu legislatif menjadi ajang bebas untuk saling bantai melalui kekuatan uang dan
kecurangan, begitu juga pemilihan kepala daerah dipenuhi oleh penyalahgunaan jabatan dan
permainan uang. Banyak parpol yang kemudian bukan menjadi organisasi politik yang
demokratis, melainkan oligarkis sehingga keputusan-keputusan penting hanya ditentukan
oleh beberapa gelintir orang. Keputusan yang bersifat oligarkis itu kemudian diteruskan
melalui rekayasa secara struktural sehingga yang di bawah, mau tidak mau, harus selalu
menerima.
Selain diidentifikasi sebagai sistem yang oligarkis, kepolitikan kita dapat juga disebut sebagai
sistem yang poliarkis, yakni sistem yang dalam pengambilan keputusan publiknya hanya
ditentukan oleh elite-elite berbagai organisasi politik, pejabat negara, ormas, pebisnis, dan
berbagai organisasi profesi yang menonjol.
Apa pun identifikasi kepolitikan yang lebih tepat, apakah oligarkis atau poliarkis, untuk
Indonesia saat ini yang jelas bukanlah sistem demokrasi yang substantif. Menjadi niscaya,
sistem yang muncul tak berjaya menghadapi korupsi karena isinya memang bukan
demokrasi.
40. 40
Keadaan seperti ini, kalau dibiarkan terus-menerus, sungguh membahayakan kelangsungan
kebernegaraan kita. Sebab berdasarkan dalil dan fakta historis, jika suatu negara membiarkan
berlakunya sistem yang tidak mampu menegakkan ketidakadilan maka tinggal menunggu
keruntuhannya. Diperlukan kesadaran kolektif para pemimpin untuk membelokkan situasi ini
ke jalan demokrasi yang benar. Bukan demokrasi yang bisa diperalat untuk korupsi.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
41. 41
Jangan Intervensi Kedaulatan Hukum
Indonesia!
Koran SINDO
14 Maret 2015
Sikap tegas dan lugas selalu mengandung risiko. Itulah yang dihadapi Indonesia ketika
menolak berkompromi dengan sindikat narkotika internasional.
Pemimpin pemerintahan dua negara sahabat, Brasil dan Australia, terang-terangan menghina
dan coba mengintervensi proses penegakan hukum. Namun, demi kedaulatan dan martabat
bangsa, Indonesia tidak boleh goyah dengan penghinaan itu.
Keputusan Pemerintah Indonesia mengeksekusi warga negara asing (WNA) terpidana mati
kasus narkoba sudah tepat. Tidak ada yang salah sebab perang terhadap sindikat narkotika
internasional harus dipahami sebagai bagian dari ketahanan nasional. Penetrasi sindikat
narkoba internasional telah menimbulkan ekses yang sangat serius terhadap generasi muda di
Tanah Air. Tak kurang dari 50 orang tewas setiap hari karena mengonsumsi narkoba. Untuk
memperkokoh kekuatannya di negara ini, sindikat narkoba internasional juga telah menyusup
ke tubuh birokrasi negara.
Itulah sekilas dari ekses akibat keleluasaan sindikat narkotika internasional membangun
bisnis haramnya di negara ini. Maka itu, eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba, dari
mana pun asal negara sang terpidana, sudah sangat tepat. Dalam konteks kepentingan
nasional, eksekusi mati itu bagian dari perang melawan sindikat kejahatan itu.
Eksekusi terpidana mati itu pun harus dimaknai sebagai pesan bangsa Indonesia kepada
semua sindikat kejahatan narkoba di seluruh dunia bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia
tak mau lagi berkompromi. Ketegasan sikap itu merupakan pengejawantahan dari UUD 1945.
Konstitusi Indonesia memerintahkan negara melindungi segenap warga negara dan tumpah
darah Indonesia dari berbagai bentuk ancaman, termasuk ancaman narkoba terhadap generasi
muda. Dengan demikian, tidak satu pun negara lain yang boleh mengintervensi penegakan
hukum di Indonesia, apalagi penegakan hukum dalam konteks memerangi kejahatan narkoba.
Eksekusi mati terhadap terpidana sering dibenturkan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi
manusia (HAM). Pertanyaannya, apakah para gembong narkoba itu masuk kelompok
pelanggar HAM?
Jelas bahwa para penjahat narkoba, direncanakan atau tidak, telah merenggut hak hidup orang
lain karena produk yang mereka perdagangkan secara ilegal itu memiliki kekuatan untuk
42. 42
menghilangkan nyawa para penggunanya. Sanksi hukuman mati diperlukan untuk
menumbuhkan efek jera bagi para pelaku kejahatan narkoba itu.
Memang, sangat wajar jika Presiden Brasil Dilma Rousseff marah karena Indonesia pada17
Januari 2015 telah mengeksekusi Marco Archer, orang Brasil yang terbukti bersalah
melakukan perdagangan narkoba di Indonesia. Apalagi, WNA asal Brasil lainnya, Rodrigo
Gularte, juga harus menghadapi sanksi serupa karena kesalahan yang sama. Wajar juga bila
Perdana Menteri Australia Tony Abbott bersama Menteri Luar Negeri Julie Bishop berupaya
menyelamatkan nyawa dua terpidana mati warga Australia, Andrew Chan dan Myuran
Sukumaran, dari sanksi hukuman mati di Indonesia.
Sebagai kepala pemerintahan, Abbott memang tidak boleh tinggal diam. Dia wajib melobi
Pemerintah Indonesia guna menyelamatkan warganya. Namun, Rousseff dan Abbott juga
harus mau menghormati hukum yang berlaku di Indonesia. Selain itu, keduanya pun harus
memahami kepentingan nasional Indonesia. Sindikat narkotika dari berbagai belahan dunia
telah menjadikan Indonesia sebagai pasar tujuan paling potensial. Menghadapi kenyataan itu,
Indonesia wajib memberi perlawanan maksimal. Salah satu bentuknya adalah hukuman mati
bagi gembong-gembong narkoba.
Picu Ketersinggungan
Sistem hukum di Brasil dan Australia barangkali masih memberi toleransi bagi para gembong
narkoba. Para gembong narkoba diberi keleluasaan untuk beroperasi dengan sanksi sangat
minimal yang nyaris tanpa efek jera. Rousseff dan Abbott tentu saja tidak bisa memaksa
Indonesia menerapkan sanksi yang sama terhadap para gembong narkoba.
Tantangan yang harus dihadapi Indonesia dengan kedua negara itu praktis berbeda.
Mengapa? Karena, puluhan juta orang tua, para pendidik, tokoh agama, dan para pemuka
masyarakat sudah sepakat memosisikan Indonesia sebagai darurat narkoba. Setiap hari
korban tewas terus berjatuhan. Penetrasi sindikat narkoba sudah menyusup ke tubuh birokrasi
negara. Sipir penjara, oknum penegak hukum, hingga oknum pengajar sudah menjadi bagian
dari jaringan sindikat narkotika internasional.
Menghadapi kenyataan seperti itu, rakyat Indonesia mendesak agar sistem hukum di negara
ini menolak berkompromi dengan penjahat narkoba. Bagi Indonesia, memberi toleransi
kepada para gembong narkoba internasional adalah sebuah perjudian bodoh karena
menjadikan masa depan generasi muda sebagai taruhannya. Indonesia jelas tidak boleh
memainkan perjudian itu. Sebaliknya, rakyat mendesak pemerintah agar merespons
kenyataan mengerikan itu dengan sikap sangat tegas dan lugas. Rakyat solid mendukung
ketika Presiden Joko Widodo menolak permohonan grasi 11 terpidana mati, termasuk warga
Perancis, Brasil, dan dua warga Australia.
Pemerintah sangat siap ketika sikap tegas ini menimbulkan ketegangan diplomatik,
khususnya antara Indonesia dan Australia, walau Abbott berulang memohon pembatalan
43. 43
eksekusi mati tersebut. Upaya Australia mengajukan pertukaran tahanan juga kandas karena
memang sistem hukum Indonesia tidak mengenal pertukaran tahanan. Begitu pula ketika
Negara Kanguru tersebut akan menanggung semua biaya penahan dua warga negara selama
menjalankan hukuman di Indonesia asalkan keduanya tidak dijatuhi hukuman mati. Rupanya,
Brasil dan Australia menolak untuk memahami tantangan yang dihadapi Indonesia itu.
Presiden Rousseff terang-terangan menghina Indonesia ketika menolak menerima surat
kepercayaan Duta Besar Indonesia untuk Brasil Totok Riyanto. Langkah tegas pemerintah
langsung menarik pulang Totok sangat tepat. Abbott juga ikut-ikutan menghina Indonesia
ketika dia mengungkit bantuan negaranya untuk korban tsunami Aceh. Tentu saja, dalam
konteks diplomasi yang berkeadaban, perilaku Rousseff dan Abbott tak lazim.
Abbott tak hanya memicu pertikaian diplomatik dengan Jakarta, tetapi juga menimbulkan
ketersinggungan masyarakat di berbagai pelosok daerah. Dia minta Indonesia balas budi atas
bantuan satu miliar dolar dari Australia saat peristiwa tsunami Aceh. Bantuan itu dibarter
dengan tidak mengeksekusi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Keduanya adalah
anggota kelompok Bali Nine yang dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 17 April
2005. Sukumaran, 33, dan Chan, 31, terbukti berupaya menyelundupkan heroin seberat 8,2
kilogram.
Pernyataan Abbott memancing kemarahan rakyat Indonesia. Masyarakat di berbagai daerah
merespons perilaku Abbott dengan gerakan pengumpulan ”Koin untuk Australia” sambil
terus mendesak penegak hukum mengeksekusi Sukumaran dan Chan. Sedangkan pada level
pemerintah, Kementerian Luar Negeri RI menilai Abbott sebagai diplomat amatiran dan
menolak mengomentari pernyataan pemimpin Australia itu. Sikap Kementerian Luar Negeri
RI sejalan dengan pandangan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop yang menilai
perilaku Abbott justru tidak membantu menyelesaikan masalah.
Abbott boleh saja menyandang jabatan perdana menteri Australia. Namun, sudah beberapa
kali dia berbuat kontroversi yang tak perlu. Sebelum menyinggung bantuan Australia untuk
bencana tsunami Aceh, dia sempat membuat masalah dengan Presiden Rusia Vladimir Putin
ketika meminta kompensasi atas kematian warga Australia dalam kecelakaan pesawat
Malaysia Airlines MH17. Mungkin, Abbott masih akan membuat pernyataan-pernyataan
yang kontroversial di kemudian hari.
Menghadapi perilaku Abbott seperti itu, Indonesia tidak perlu berlebihan dalam
menyikapinya. Di negerinya sendiri, Abbott sering menjadi bahan olok-olok. Karena itu,
Pemerintah Indonesia harus konsisten dengan pendirian maupun keputusannya, termasuk
untuk kasus eksekusi dua anggota Bali Nine itu.
Indonesia melalui prinsip politik luar negeri bebas dan aktif tentu akan menghargai negara
lain untuk memperjuangkan kepentingan warga mereka. Namun, negara lain juga tidak boleh
mengintervensi apalagi menghina kedaulatan hukum Indonesia.
45. 45
Diplomasi Pertahanan sebagai Alat
Kebijakan Luar Negeri
Koran SINDO
14 Maret 2015
Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia menjadi topik hangat di dunia internasional
belakangan ini. Banyak negara yang memprotes dan melabeli Pemerintah Indonesia sangat
tidak manusiawi.
Salah satu negara yang paling keras mengecam hukuman mati di Indonesia adalah Australia,
sebagai akibat dari dua warganya yang berada pada top list akan dieksekusi segera karena
dakwaan sebagai pemimpin jaringan penyelundup narkoba ”Bali Nine”. Dua warga negara
Australia terpidana Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, mendorong Perdana
Menteri Tony Abbott mengeluarkan berbagai jurus diplomatiknya yang terkesan sangat
agresif dan cenderung arogan, agar pemerintahan Presiden Jokowi membatalkan
eksekusi. Namun, Pemerintah Indonesia bergeming dan rencana pelaksanaan hukuman mati
tetap berjalan.
Bulan lalu Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyatakan, Australia akan
melakukan boikot pariwisata Bali. Pernyataan Bishop tersebut diperparah dengan ucapan
Abbot yang mengatakan, bangsa Indonesia jangan lupa kebaikan Australia yang telah
mengucurkan dana miliaran dolar untuk membantu para korban tsunami di Aceh tahun
2004. Sontak pernyataan kedua petinggi Negeri Kanguru tersebut mengejutkan dunia dan
membuat rakyat Indonesia meradang dan tersinggung karena telah merendahkan harga diri
bangsa Indonesia.
Pernyataan politik Abbott dan Bishop sebenarnya sesuatu hal yang wajar, tetapi dalam
pergaulan tingkat tinggi, protes seorang kepala pemerintahan yang mengaitkan dengan
bantuan kemanusiaan, sungguh sangat tidak elok, tidak elegan, sangat menyinggung dan
menyakiti bangsa Indonesia. Dari keteguhan pemerintahan Indonesia untuk tidak
mengampuni kedua narapidana Bali Nine, berkembang menjadi sikap antipati masyarakat
Indonesia kepada Australia.
Jika dicermati lebih jauh pernyataan-pernyataan Abbott dan Bishop, yang mengancam
pemboikotan pariwisata ke Pulau Dewata, kiranya Pemerintah Australia perlu berhitung
dengan cermat dengan segala rencana boikot-boikot mereka terhadap Indonesia. Sebab jika
boikot dilakukan, maka Indonesia dapat saja menjalankan diplomasi pertahanan terhadap
Australia, dengan memblokade jalur pelayaran kapal-kapal dagang negara tersebut, yang
akan berakibat kerugian lebih besar di pihak Australia.
46. 46
Memang tidak dapat dimungkiri bahwa Bali selama ini merupakan tujuan wisata utama
warga Australia. Meskipun demikian, secara persentase, Australia masih menduduki
peringkat ketiga setelah dua negara ASEAN, Singapura dan Malaysia, dari sisi jumlah
wisatawan yang berkunjung ke Bali sepanjang tahun lalu. Artinya, turis yang berasal dari
intern ASEAN masih lebih banyak daripada Australia dari total 9,3 juta wisatawan ke Bali.
Demikian juga halnya dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dimiliki
Indonesia. Dari tiga ALKI milik Indonesia, jalur laut melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar,
Laut Flores, Selat Lombok atau ALKI-II, merupakan jalur laut utama yang sering dilayari
kapal-kapal dagang Australia. Sekitar 80% komoditas Negeri Kanguru yang diangkut ke
China melalui ALKI-II yang terletak di antara Pulau Lombok dan Bali.
Masih segar dalam ingatan kita pada tahun 2006 yang lalu ratusan warga Lombok, Nusa
Tenggara Barat (NTB), menyampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah NTB, agar
pemerintah menutup Selat Lombok sebagai jalur utama perdagangan kapal-kapal Australia.
Tuntutan warga NTB tersebut dipicu oleh campur tangan Australia terhadap masalah dalam
negeri Indonesia. Kebijakan Pemerintah Australia memberikan visa kepada sejumlah warga
Papua merupakan bentuk intervensi masalah dalam negeri Indonesia, yang tidak berhak
dicampuri oleh Australia.
Jika Selat Lombok terlarang bagi kapal-kapal dagang Australia, maka dipastikan
perdagangan negara tersebut akan terganggu. Pada pertengahan 2011 sebuah peternakan sapi
kenamaan Australia, Bullo River Stasion, dengan sangat terpaksa dijual oleh
pemiliknya. Ketiadaan pembeli dan kehilangan pasar untuk menyalurkan produksi daging
peternakan seluas 160.000 hektare itu menjadi penyebabnya. Kebijakan larangan ekspor sapi
ke Indonesia oleh Pemerintah Australia pada waktu sangat memukul para peternak di
Australia dan menimbulkan kesulitan ekonomi yang masif.
Australia merupakan negara pengekspor hewan ternak terbesar di dunia, dan Indonesia
merupakan pasar terbesar bagi para peternak Australia yang mampu menghasilkan potensi
devisa sebesar 461 juta dolar Australia. Dapat dibayangkan, betapa besar kerugian yang akan
dialami Australia jika jalur dagang negara tersebut ditutup.
Menurut data yang ada, Indonesia mampu menyerap 60% total produksi hewan ternak
Australia. Indonesia dengan potensi pasar sebesar 245 juta penduduk memang merupakan
”ladang harta karun” yang dapat memakmurkan bangsa Australia. Jika jalur dagang tertutup,
maka akan memunculkan gelombang protes baru terhadap pemerintahan Abbott yang dapat
menjadi faktor kehancuran pemerintahan perdana menteri yang berasal dari Partai Liberal
Australia tersebut.
Mencermati situasi politik nasional yang berkembang saat ini, selayaknya Indonesia
meningkatkan peran diplomasi pertahanan, terutama dalam konteks hubungan bilateral
dengan Australia. Konsep diplomasi pertahanan sejatinya adalah sebagai alat penting bagi
kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri sebuah negara.
47. 47
Bagi negara-negara ASEAN, diplomasi pertahanan merefleksikan kewaspadaan nasional
untuk mengatasi berbagai masalah nasional dalam lingkup regional. Dalam prosesnya,
diplomasi pertahanan melibatkan segenap komponen negara, baik politisi, pihak militer,
pejabat pemerintahan, para pakar, bahkan LSM.
Dalam menghadapi isu boikot yang dicanangkan Australia ini, TNI dapat memainkan peran
diplomasi pertahanan tersebut. Seperti kejadian tahun 2014, akibat isu penyadapan yang
dilakukan Australia terhadap Presiden SBY. Merespons pelecehan tersebut, Pemerintah
Indonesia menugaskan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memperketat wilayah
perbatasan dengan menggelar latihan besar-besaran di sekitar Selat Lombok. Kehadiran TNI
dengan kekuatan besar dan persenjataan mutakhir membuat parlemen Australia khawatir.
Karena dari wilayah sekitar Lombok dan Makassar, Australia bisa dijangkau dengan mudah.
Kebijakan aktivasi diplomasi pertahanan merupakan langkah yang imperatif atau sangat
penting diterapkan Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat yang memiliki kebijakan
dalam negeri independen dan bebas dari intervensi negara mana pun.
Serangkaian kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat Indonesia kiranya tidak hanya cukup ditunjukkan dengan keteguhan terhadap
pelaksanaan hukuman mati, tetapi perlu dan penting didukung dengan kebijakan pertahanan
yang sinkron dengan keputusan politik. Adalah sama pentingnya keteguhan terhadap sebuah
keputusan yang telah dibuat, disertai dengan unjuk kesiapan menghadapi ancaman boikot dari
negara lain.
Banyak yang mungkin berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu gelar kekuatan bersenjata,
seakan-akan siap perang dengan Australia. Memang diplomasi pertahanan tidaklah ditujukan
untuk kesiapan berperang karena hakikatnya diplomasi pertahanan merupakan jalan damai
yang diinginkan sebuah negara untuk melindungi kepentingan nasional negara tersebut.
Ada dua keuntungan yang bisa didapat Indonesia dengan menggelar kekuatan bersenjata di
sekitar Selat Lombok. Pertama, secara diplomatik Indonesia dapat menunjukkan keunggulan
diplomasi dan memberikan keuntungan ekonomi. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan
pernyataan blokade jalur pelayaran di Selat Lombok, tetapi secara halus Indonesia dapat
memberitahukan kepada setiap negara pengguna ALKI-II untuk sementara waktu
menghentikan kegiatan dagang mereka melalui jalur tersebut karena sedang dipergunakan
untuk latihan militer, sebagai latihan rutin kesiapan militer Indonesia dalam menjaga teritori
Indonesia. Jika jalur dagang di ALKI-II tidak dapat dilalui, maka Australia akan mengalami
kerugian besar, bahkan Indonesia dapat memainkan harga ternak yang ingin dijual Australia,
jika Negeri Kanguru ini tetap ingin mengekspor komoditi mereka melalui ALKI-II.
Kedua, pemerintahan Presiden Jokowi dapat meraih kepercayaan dan sekaligus dukungan
rakyat, bahwa pemerintah bersungguh-sungguh mengembangkan kekuatan dan meningkatkan
kemampuan militer Indonesia yang dapat menjaga integritas wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia serta martabat bangsa.
48. 48
Pernyataan yang dikeluarkan Abbott dan Bishop terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia
merupakan sebuah refleksi sikap arogansi sebuah negara lain yang memandang rendah
bangsa Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan Abbott tidak lagi merupakan sebuah ucapan
santun dan diplomatis, tetapi lebih merupakan sebuah bentuk ucapan yang kasar dan tidak
mencerminkan ucapan seorang pemimpin yang menghargai bangsa lain.
Seyogianya Pemerintah Indonesia menyikapi intervensi tersebut dengan diplomatis, elegan
dan taktis tanpa perlu terjebak dengan manuver-manuver Abbott yang memiliki agenda
menghindarkan diri dari cercaan bangsanya sendiri.
RODON PEDRASON
Pengajar di Universitas Pertahanan Indonesia; Sedang Menyelesaikan Program PhD di
Ruprecht-Karls-Universität, Heidelberg, Jerman; Penerima Beasiswa Unggulan BPKLN
Kemdikbud RI